Category: Sumatra Barat

Sistem Persenjataan dan Strategi Tempur Pada Masa Perang Padri

Di samping tentara yang campin, terlatih, dan berani, persenjataan dan strategi yang dijalankan sangat menentukan kemenangan pihak-pihak yang tengah berperang. Hal yang sama juga berlaku pada masa Perang Padri. Masing-masing pihak yang bersiteru sama-sama menyiapkan sumber daya tentara yang siap bertempur ke medan laga, melengkapi angkatan perang atau tentaranya dengan persenjataan yang tercanggih untuk masanya, serta juga menerapkan strategi tempur yang diperhitungkan bisa mengalahkan alwan.

Selama ini ada pendapat yang mengatakan bahwa angkatan perang Belanda lebih banyak jumlahnya. Pendapat ini didasarkan pada adanya tentara bantuan dari orang-orang Indonesia non-Minang (Hulptroepen), serta orang Minang atau Hulpbende. Khusus untuk yang disebut terakhir ini sering dikatakan “…jumlahnya tak terkira banyaknya”. Juga sering dikatakan bahwa strategi perang Belanda lebih hebat karena dikomandoi oleh para perwira veteran berbagai perang di Eropa atau di banyak tempat di Hindia Belanda. Acap pula dikatakan bahwa tentara Belanda jauh lebih hebat atau canggih persenjataannya. Berbagai lukisan tentang perang Padri menjadi dasar untuk pernyataan terakhir ini.

Apakah pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan kenyataan di lapangan? Apakah jumlah tentara kaum Padri tidak banyak serta persenjataannya tidak lengkap dan canggih? Apakah kaum Padri tidak memiliki strategi perang dalam menghadapi Belanda atau strategi perang mereka kalah hebat dibandingkan dengan yang dimiliki Belanda?Apakah para tuanku Padri bukan ahli strategi perang? 

Tulisan ini mencoba menampilkan aspek-aspek persenjataan yang dimiliki dan strategi tempur yang dipaktikkan oleh kaum Padri dan Belanda selama Perang Padri. Aspek-aspek ini adalah aspek-aspek yang sangat penting tetapi cendrung dikemukakan secara fragmentaris serta partial dalam sejumlah kitab atau tulisan mengenai Perang Padri selama ini.

II

Masing-masing pihak yang terlibat dalam Perang Padri sesungguhnya memiliki senjata yang mumpumi dan strategi perang yang hebat. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa begitu lamanya perang berlangsung dan begitu sulitnya masing-masing pihak yan berperang mengalahkan lawannya. Sehingga akhirnya bisa dikatakan bahwa pihak Belanda bisa memenangkan perperangan bukan karena kehebatan tentaranya, bukan karena kecanggihan senjatannya, dan bukan pula karena kehebatan strategi tempur yang dirancang para komandan atau ahli perangnya, tetapi karena kelicikan yang mereka jalankan.

Kaum Padri, di samping memiliki tentara yang banyak, berani dan militan, juga memiliki sistem persenjataan dan sistem perlindungan diri yang canggih, serta strategi perang yang jitu. Informasi mengenai persenjataan dan sistem perlindungan diri kaum Padri, serta strategi tempur yang mereka miliki bisa ditemukan dalam memoar Tuanku Imam Bonjol dan juga dalam sumber-sumber yang dibuat oleh orang Belanda. Dari sumber-sumber itu bisa diketahui bahwa kaum Padri memiliki beragam jenis senjata, mulai dari jenis yang paling sederhana (atau senjata ‘tradisional’) hingga yang paling canggih (modern) untuk masanya. Beberapa jenis senjata ‘tradisional’ yang lazim dikenal dan paling banyak digunakan adalah pedang, tombak, ranjau, sejwa, umban tali, keris, rencong, pisau, cinangke, damaq, sakin, kulipah, dlsnya. Dikatakan bahwa senjata jenis ini dipergunakan oleh para pejuang Padri. Dikatakan juga sebagian dari senjata jenis ini, misalnya  pisau, keris dan pedang, telah menjadi ‘pakaian’ bagi kaum Padri. Maksudnya jenis-jenis senjata ini hampir selalu dibawa oleh atau diselipkan di pinggang para pejuang Padri ke mana pun mereka pergi.

Beberapa Jenis Senjata Orang Minang Hingga Abad ke-19

Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879, Derde Deel; Volkbeschrijving Taal, 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882.

Jenis-jenis senjata yang canggih (modern) yang dimiliki dan digunakan kaum Padri adalah setengga (disebut juga bedil atau senapan) dan meriam. Walaupun kedua senjata ini sering disebut sebagai senjata modern, pada saat Perang Padri, kedua jenis senjata bukan barang baru bagi para pejuang Padri. Bedil atau meriam telah lama dikenal orang Minang. Dari beberapa sumber diketahui bahwa kedua jenis senjata ini telah lazim digunakan orang Minang pada abad ke-17, atau bahkan telah digunakan juga pada abad ke-16. Tembakan senapan atau meriam telah lazim dilakukan orang Minang untuk menyambut atau melepas tamu. Thomas Dias yang tahun 1684 mengunjungi istana Pagaruyung (yang berlokasi di Kumanis) disambut dengan tembakan-tembakan senjata dan juga dentuman meriam berkali-kali).

Bahwa senapan atau bedil telah begitu akrab dengan orang Minang, bisa dilihat dari dijadikannya kata bedil itu sebagai kata kerja (verb) dalam bahasa Minang. Dalam memoar Tuanku Imam Bonjol banyak sekali ditemui kata kerja “membedil”.

Seperti disebut di atas, ada banyak “senjata tradisional” yang digunakan oleh kaum Padri, namun yang lazim disebut dan digunakan adalah pedang, tombak, dan ranjau. Tuanku Imam sendiri beberapa kali menyebut dirinya menggunakan pedang melawan musuh, salah satu di antaranya adalah saat sejumlah tentara bantuan Belanda (orang Payakumbuh dan Bugis) berhasil masuk ke bonjol (benteng Padri) dan menyusup ke rumah Tuanku Imam. Setelah kaki tangan Belanda itu melakukan aksi dengan menangkap dan melukai beberapa penghuni rumah, Tuanku Imam Bonjol melawan penyusup dengan pedang. Gemercingan bunyi pedang Tuanku Imam beradu dengan bayonet atau senapan para penyusup. Tuanku Imam sangat mahir memainkan pedangnya hingga banyak penyusup yang tewas dibabatnya. Namun karena dia mengamuk seorang diri dan musuh berjumlah banyak maka tak pelak lagi dia juga kena tusuk bayonet serta kena hantam senapan. Walaupun musuh kemudian melarikan diri, seusai perkelahian itu diketahui Tuanku Imam mengalami luka dan ada 13 liang luka di sekujur tubuhnya.

Pedang juga menjadi senjata andalan para tuanku Padri yang lainnya. Tuanku Nan Barampek, para panglima perang dan tangan Tuanku Imam Bonjol, berkali-kali menggunakan pedangnya dalam menghadapi lawan.

Jadi pedang adalah senjata yang paling lazim digunakan pejuang Padri.

Ranjau adalah jenis senjata kaum Padri yang banyak disebut oleh penulis Belanda. Senjata jenis ini banyak mendapat perhatian karena sangat ditakuti serta terbukti ampuh dalam menghadapi musuh. Sebagai mana dikatakan Boelhouwer dan juga Elout serta Kielstra, ranjau adalah ‘senjata rahasia’ yang terbuat dari bambu, kayu dan besi. Ranjau terdiri dari berbagai bentuk dan difungsikan pada atau dengan beberapa media.

Pertama, ranjau telapak kaki. Ranjau jenis ini paling banyak digunakan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 2 sampai 3 cm, dipotong pendek sekitar 20 s.d. 30 cm., salah satu ujungnya diruncingkan dan kemudian ditanam di tanah yang berumput sehingga kalau terpijak akan melukai telapak kaki.

Kedua, ranjau perut. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 3 s.d. 5 cm. atau terbuat dari bambu jenis sariak, sejenis bambu dengan diameter 2 s.d. 3 cm, atau dari batang kayu kecil dengan diameter 3 s.d. 5 cm. yang dipotong dengan panjang sekitar 90 cm 100 cm. Salah satu ujungnya juga diruncingkan. Ranjau jenis ini ditanam didalam tanah yang banyak ditumbuhi ilalang dan ujung yang runcing sengaja ditinggalkan dipermukaan tanah dengan ketinggian sekitar 60 s.d. 70 cm. pada posisi miring (dengan kemiringan + 60°). Ranjau jenis ini ditujukan kepada musuh yang berlari di padang ilalang. Biasanya ranjau jenis ini akan menusuk perut penyerang yang kurang waspada.

Ketiga, ranjau dalam lubang. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bilah bambu dan potongan kayu yang diruncingkan. Beda utamanya adalah ranjau jenis ini ditanam didalam lubang dengan ukuran 1 X 2 X 1,5 meter lebar, panjang dan dalamnya. Lubang yang ditanami ranjau tersebut ditutup dengan dedaunan guna mengelabui musuh. Sehingga ketika musuh berlari dan kurang awas akan terjebak dan masuk ke dalam lubang yang dipasangi ranjau.

Keempat, ranjau badan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bilah bambu dengan panjang 10 s.d. 15 dan lebar 1 s.d 1,5 cm. yang salah satu ujungnya diruncingkan, atau terbuat dari kayu dengan panjang 10 s.d. 15 c,. dan diameter 1 s.d. 1,5 cm dan salah satu ujungnya juga diruncingkan. Khusus untuk ranjau yang terbuat dari kayu kadang-kadang salah satu ujungnya juga dipasangi besi yang runcing. Ranjau jenis ini, dalam jumlah beberapa buah, dibawa oleh para pejuang Padri pada saat mereka berperang. Biasanya ranjau-ranjau ini diikat menjadi satu dengan simpul khusus dan  digantungkan didada (sebagaimana layaknya jalinan peluru yang digantungkan di dada tentara). Ranjau jenis ini bisa digunakan sebagai ‘senjata rahasia’ yang dilemparkan kepada musuh (sebagaimana yang dilakukan para ninja). Ranjau jenis ini bisa juga digunakan pada saat pemiliknya mundur (lari) dikejar musuh. Caranya dengan menjatuhkan ranjau-ranjau tersebut ke tanah sehingga musuh yang tidak hati-hati bisa menginjak ranjau badan ini.

Ranjau telapak kaki, ranjau perut, dan ranjau dalam lubang umumnya di pasang di sekitar benteng. Jadi ranjau adalah bagian dari strategi perlindungan benteng.

Seperti disebut di atas, di samping senjata ‘tradisional’, kaum Padri juga memiliki senjata ‘modern’. Setengga atau bedil adalah senjata ‘modern’ yang banyak dimiliki dan digunakan pejuang Padri. Dikatakan banyak memang ada dasarnya. Tidak hanya Tuanku Imam, sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa pejuang Padri memiliki banyak bedil. Tuanku Imam sendiri misalnya menyebut bahwa dalam serbuan ke Suliki pasukannya dilengkapi dengan 300 bedil. Waktu menyerang Rao dan Rokan dibawa 250 bedil. Waktu menyerang Malalak dibawa 7.050 bedil. Raaff, Stuers, Elout dan Kielstra sering menyebut bahwa pasukan Padri berjumlah ribuan orang dengan ratusan senapan. Mereka juga sering mengatakan bahwa ketika merebut benteng-benteng Padri ditemukan ratusan pucuk bedil di dalamnya.

Di samping dibuat sendiri, senjata kaum Padri juga didapat dengan jalan membelinya di Tanah Semenanjung dan juga dari Aceh. Para pedagang Padri sangat penting artinya dalam pengadaan bedil ini. Bedil dari Tanah Semenanjung dibawa para saudagar melalui sungai-sungai yang mengalir di kawasan timur  kawasan darek. Sungai Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan adalah ‘jalan raya’ yang digunakan oleh para saudagar Padri untuk memasok senjata dan berbagai barang kebutuhan perang lainnya. Bedil dari Aceh umumnya didatangkan oleh saudagar Aceh yang menjadi mitra dagang saudagar Padri. Senjata dan berbagai barang kebutuhan perang dipasok saudagar Aceh hingga kawasan pesisir Sumatra barat bagian utara (kawasan pantai Pasaman hingga Natal). Selanjutnya senjata dan barang-barang itu dibeli dan dibawa ke darek oleh saudagar Padri. Ini pulalah sebabnya, sejak awal tahun 1830-an, Belanda berupaya mematikan ‘jalan dagang’ di kawasan timur darek dan juga berupaya menguasai kawasan pesisir Pasaman.

Bentuk bedil yang dipakai kaum Padri sangat sederhana. Panjangnya sekitar dua meter dengan popor yang juga sangat sederhana dan kuncinya juga sangat sederhana. Penggunaan senapan itu memerlukan keahlian khusus, kalau tidak sipengguna akan merasakan goncangan yang kuat serta akan terkena semburan api yang keluar dari bedil saat meletus. Bedil tersebut menggunakan mesiu dengan kualitas rendah. Pelurunya terbuat dari timah yang dibulatkan. Mesiu dan peluru dibuat sendiri atau produksi lokal (namun ada juga yang diimpor dari Tanah Semenanjung dan Aceh). Mesiu biasanya ditempatkan dalam karapai, salapah atau labu kecil yang isinya telah dibuang. Mesiu diambil dari tempatnya dengan tabung bambu kecil yang sekaligus sebagai alat takar dan dituangkan kedalam bedil. Pola penempatan seperti ini menyebabkan mesiu sangat rentan basah, terutama bila hari hujan atau melintasi sungai. Sering kali dilaporkan bahwa senjata tidak bisa bingkas (dimanfaatkan) karena mesiu basah.

Melihat bentuk dan cara pemakaian bedi, serta hasil yang didapatkan maka Nahuijs dan Boelhouwer menyebut bahwa pejuang Padri adalah penembak yang piawai.

Satu lagi senjata ‘modern’ yang dimiliki kaum Padri adalah meriam. Sama dengan bedil, ada banyak meriam yang dimiliki kaum padri, namun tidak diketahui jumlah pastinya. Bila dihitung dari berbagai sumber, bisa dikatakan bahwa jumlahnya ada puluhan (kalau tidak ratusan). Di samping dibawa dalam berbagai kampanye militer, umumnya meriam Padri ditempatkan di benteng. Rata-rata tiap benteng memiliki empat hingga enam meriam. Hal ini bisa dilihat dari Benteng Bonjol, Benteng Lintau, Benteng Katiagan, Benteng Sumadang, Lubuk Ambalau, dlsbnya.

Ukuran meriam Padri cukup beragam, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Meriam yang dibawa dalam sejumlah penyerbuan umumnya berukuran kecil (2 pon), tetapi meriam yang ditempatkan di benteng berukuran besar (12 pon).

Kebanyakan meriam yang digunakan Padri buatan Inggris, dan itu didatangkan dari Tanah Semenanjung.

Tidak hanya didatangkan dari Tanah Semenanjung, kaum Padri juga menggunakan meriam yang didatangkan dari Aceh atau meriam yang di masa lampau digunakan oleh VOC. Ada beberapa contoh untuk pernyataan ini, dan salah satu diantaranya adalah meriam yang digunakan Tuanku Imam Bonjol.  Sebagaimana disebut dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjol menggunakan meriam yang pernah ditempatkan di Benteng Pasaman (benteng yang digunaka sejak masa VOC), yang dikatakan meriam itu dahulunya ‘pernah digunakan untuk mengalahkan Negeri Mesir’. Ada dua meriam yang pernah ada di benteng tersebut, namun keduanya sudah lama tidak digunakan dan terlantar. Satu buah sudah tergeletak di tengah padang (rumput/ilalang) dan yang satu lagi sudah terbenam ke dalam lubuk (sungai). Karena Tuanku Imam Bonjol ingin mendapatkan dan menggunakakannya maka kedua meriam itu diperbaiki. Berkat kecanggihan ahli senjatanya, kedua meriam tersebut berfungsi lagi dan menjadi meriam andalan Tuanku Imam Bonjol.

Sebagaimana layaknya meriam-meriam yang lain, kedua meriam lama itu juga diberi nama. Meriam yang tergeletak di tengah pada dinamai Air Benteng dan meriam yang sudah terbenam dalam lubuk dinamai Air Tajun.

Salah satu meriam di Bonjol yang sering dibawa-bawa untuk berperang dinamai Bujang Palembang.

Di samping memiliki peluru besi, kaum Padri juga menggunakan batu bulat sebagai peluru (anak meriam)nya. Hal ini dikemukakan oleh Boelhouwer ketika dia memasuki Bonjol.

Meriam sangat penting artinya bagi kaum Padri. Gerak maju Belanda menuju benteng Padri umumnya banyak terhambat karena bantuan meriam ini. Raaff melaporkan bahwa upaya dia dan pasukannya berkali-kali gagal menaklukkan benteng Padri di Lintau karena benteng tersebut dilengkapi dengan sejumlah meriam. Dan kesukarannya semakin menjadi-jadi ketika meriam yang dimiliki pasukannya juga berhasil direbut oleh pasukan Tuanku Lintau. Hal yang sama juga dilaporkan oleh sejumlah komandan perang Belanda yang pernah menyerang Bonjol. Benteng Bonjol sangat susah ditaklukan, karena dilengkapi dengan sederetan meriam berukuran besar.

Jadi meriam adalah senjata andalan kaum Padri dan menjad bagian yang tidak terpisahkan dari banyak benteng Padri.

Benteng merupakan bagian dari pertahanan diri kaum Padri. Ada banyak benteng kaum Padri dan “…benteng mereka ada di mana-mana”, kata Kielstra. Orang Padri khususnya dan Minang umumnya menamakan benteng dengan kubu atau bonjo. Di samping sebagai tempat bertahan menghadapi musuh, benteng juga dijadikan tempat tinggal dan juga gudang kaum Padri. Bangunan yang ada dalam benteng terbuat dari kayu yang kokoh dan atap nya terbuat dari sirap atau nipah.

Benteng kaum Padri umumnya berlokasi di atas bukit yang sulit untuk didatangi (dan ditaklukkan).  Posisi dan kesukaran menaklukkan benteng-benteng Padri tersebut dilukiskan oleh Raaff dan Boelhouwer.  Raaff menggambarkan Benteng Marapalam (Lintau), sedangkan Boelhouwer mengisahkan Benteng Ujung Rajo, Benteng Lubuk Ambalau dan Benteng Bonjol. Dikatakan bahwa benteng-benteng tersebut berada di puncak bukit, dengan kemiringan  tebing yang hampir tegak lurus. Kalau ada jalan menuju benteng itu, maka jalan itu berupa jalan  yang sempit dan mendaki pula. Juga dikatakan bahwa benteng itu sering dikelilingi oleh parit yang cukup lebar berisi air yang dalam. Di dalam parit itu juga sering dipasangi ranjau. Benteng sering dikelilingi oleh pagar pohon kelapa atau pohon nibung, dinding batu, gundukan tanah, atau bambu (aur) berduri yang rimbun dan rapat sehingga sangat sulit untuk ditembus. Di luar benteng, terutama di dataran rendah menuju benteng sering pula ditanami dengan ranjau (rantau telapak kaki, ranjau perut dan ranjau lobang). Di jalan sempit menuju benteng juga sering diletakkan potongan-potongan batang kayu atau batu besar, yang bila terpaksa akan digelindingkan ke bawah untuk menghajar, menghalangi atau melindas musuh yang ingin masuk ke dalam benteng. Di tempat-tempat yang strategis atau di pusat-pusat perlawanan Padri membangun lebih dari satu benteng. Di Gunung Tajadi (Bonjol) misalnya, kaum Padri membangun tujuh benteng.

Menaklukan benteng Padri adalah salah satu tujuan Belanda. Bila benteng telah dikuasai, biasanya Padri di kawasan itu juga akan mengaku kalah. Penguasaan Benteng Ujung Rajo dan Benteng Bonjol misalnya adalah contoh dari pernyataan di atas. Segera setelah Benteng Ujung Rajo dikuasai, nagari tersebut (dan juga nagari-nagari di sekitarnya) bisa dikatakan sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Benteng Bonjol dikuasai maka dapat dikatakan bahwa berakhirlah perlawanan kaum Padri.

Perang juga memiliki aturan. Seakan-akan telah ‘disepakti’, bahwa bila ada pihak yang kalah atau ingin menyerah, maka pihak yang kalah akan menaikan alam putih (alam adalah kata lama Minang untuk bendera). Pihak yang kalah biasanya juga akan membayar ‘tanda kalah’ yang biasanya berupa sebungkal emas dan penyerahan senjata. Sering pula pihak yang kalah diwajibkan ‘menjamu makan’ pihak yang menang dan menyatakan ketundukan dalam ‘jamuan’ tersebut.

Dalam sejarah Perang Padri diketahui bahwa sebagian pemimpin dan pasukan Padri yang kalah bergabung dengan Belanda. Bagi yang tidak mau bergabung atau mengaku tunduk ditangkap dan dibuang. Mereka yang ditangkap umumnya dipenjarakan di Padang, sedangkan mereka yang dibuang dikirim ke Pulau Jawa, namun ada juga ke pulau-pulau lain. Tuanku Imam Bonjol misalnya dibuang ke Pulau Jawa, Ambon dan terakhir ke Sulawesi (Utara).

Sebagaimana yang akan dikemukakan pada bagian berikut, hampir semua senjata dan siasat perang kaum Padri itu juga dimiliki oleh Belanda dan tentara bantuannya. Namun ada suatu ‘senjata khusus’ yang dimiliki kaum Padri dan itu tidak dimiliki oleh tentara Belanda dan Hulptroepen atau Hulpbendenya, yaitu doa kepada Allah dan seruan takbir. ‘Senjata’ ini sering digunakan oleh tuanku Padri dan pejuang Padri. Hal ini diakui dan dinyatakan, tidak hanya oleh Tuanku Imam Bonjol, tetapi juga oleh para komandan tempur serta penulis Belanda. Raaff dan Elout serta Michiels menyebut adanya sejumlah tuanku yang merapal doa sebelum bertempur, serta mengumandangkan Allahu Akbar saat menyerang pasukan Belanda, yang mereka katakan kafir dan anjing. ‘Senjata’ inilah yang paling membedakan antara kaum Padri dan Belanda, serta antek-anteknya.

III

Seperti telah disebut di atas, senjata-senjata yang digunakan oleh Belanda dan tentara bantuannya relatif sama dengan yang digunakan oleh kaum Padri. Tentara Belanda dan Hulptroepen hampir semuanya dilengkapi dengan senjata ‘modern’. Masing-masing memiliki senjata (bedil). Sehingga bisa dikatakan jumlah senapan hampir sama banyaknya dengan jumlah tentara Belanda dan Hulptroepen mereka.

Kalau ingin juga dibandingkan atau dicari perbedaannya, maka seperti kata Nahuijs, kualitas senapan tentara Belanda dan Hulptroepennya jauh lebih bagus dibandingkan dengan senjata kaum Padri. Mesiu yang mereka miliki juga jauh lebih baik kualitasnya bila dibandingkan dengan mesiu kaum Padri. Di samping itu, senjata tentara Belanda dan Hulptroepen mereka juga dilengkapi dengan bayonet. Dan tentara Belanda terlatih menggunakan bayonet tersebut.

Pasukan Belanda juga dilengkapi dengan meriam karena itu dalam data ketentaraaan Belanda selalu disebut adanya kesatuan artileri.

Meriam menjadi bagian terpenting kampanye militer Belanda. Nampaknya meriam selalu dibawa-serta dalam setiap serbuan yang dilakukan. Karena itu setiap meriam memiliki kereta pengangkut. Para kuli, yang umumnya adalah tentara ninik mamak, mendapat tugas mengangkut atau mendorong kereta meriam ini. Meriam ‘mobile’ yang digunakan pasukan Belanda memiliki ukuran yang beragam, mulai dari 3 s.d. 4 pon. Setiap kali aksi militer dilakukan dibawa 2 hingga 8 pucuk meriam.

Membawa meriam yang berat dan dalam jumlah yang cukup banyak jelas merepotkan serta menggangu mobilitas pasukan. Itulah sebabnya, para pejabat militer Belanda senantiasa mengupayakan pembukaan atau pembangunan jalan baru sehingga proses pengangkutan meriam dan mobiltas pasukan bisa lebih mudah. Pengalihan jalan setapak via Tambangan dan Sipinang ke arah Lembah Anai, yang dilakukan mulai tahun 1833 adalah bagian dari kebijakan tersebut.

Belanda sangat mengandalkan meriam dalam hampir semua kampanye militer mereka. Serbuan terhadap Benteng Lintau, Guguk Sigandang, Kapau, Ujung Rajo, Bonjol dlsbnya didukung oleh penggunaan meriam. Daya rusak meriam yang lebih hebat menjadi alasan penggunaan meriam oleh Belanda. Belanda menginginkan penghancuran musuh dengan cepat dan penggunaan meriam diyakini akan memudahkan upaya mereka mewujudkan tujuan itu.

Seperti dikatakan oleh Tuanku Imam, masuknya pasukan Belanda ke dalam benteng dan rumahnya karena hancurnya dinding benteng tersebut karena tembakan meriam.

Satu-satunya sistem persenjataan Belanda yang tidak dimiliki kaum Padri adalah kapal perang. Memang, dalam perang menghadapi Padri, Belanda juga mengerahkan sejumlah kapal perang. Tercatat ada 14 kapal perang yang pernah dikirim dan ikut-serta dalam berbagai ekspedisi militer di daerah ini. Kapal-kapal perang itu dipergunakan saat menyerang Benteng Ujung Rajo, Air Bangis, kota-kota atau daeral-daerah di bagian utara Pantai Barat, seperti Natal, Sibolga, Barus hingga Singkel. Kapal-kapal yang dilengkapi dengan meriam dengan ukuran 20 s.d. 34 pon, itu ikut menghanjar kota-kota atau daerah-daerah yang diserang. Ikut-sertanya kapal perang dengan persenjataan yang canggih tersebut memang sangat membantu gerakan militer Belanda. Hampir semua kota atau daerah yang diserang dengan mengikutsertakan kapal perang bisa ditaklukan (dikuasai).

Untuk memaksimalkan operasi kapal-kapal perang tersebut Belanda membangun Pangkalan Angkatan laut di Pariaman dan Tiku.

Seperti disebutkan dalam tulsian lain dari seri tulisan 200 Tahun Perang Padri ini, dalam menghadapi kaum Padri, Belanda juga membangun sejumlah benteng di berbagai tempat di Sumatra Barat. Benteng-benteng itu, di samping difungsikan sebagai tempat berlindung, juga digunakan sebagai ‘kantor’ pejabat militer dan sipil di daerah di mana benteng berada. Beberapa benteng yang terkenal adalah benteng di Batusangkar yang dinamai dengan Fort van der Capellen dan di Bukittinggi yang dinamai dengan Fort de Kock. Di samping itu ada sejumlah benetng lagi,yaitu Benteng Kayutanam, Tanjuang Barulak, Suliki, Amerangon, dlsbnya. Karena juga difungsikan sebagai kantor pejabat militer dan sipil daerah, maka nagari-nagari di mana benteng tersebut berada kemudian menjadi ibu kota unit administratif setingkat Afdeeling atau Onderafdeeling dalam struktur pemerintah Hindia Belanda.

Menariknya, hingga zaman Jepang (dan juga hingga beberapa waktu yang lalu) di hampir semua kota tersebut, tepatnya di dekat bangunan benteng Belanda di kota itu, selalu dipajangkan meriam lama. Mungkin ditujukan untuk mengenang perang yang dulunya pernah terjadi, dan mungkin untuk mengatakan bahwa walaupun memiliki benteng dan meriam serta persenjataan yang hebat, Belanda akhirnya juga bisa dikalahkan.

IV

Persenjataan tentara bantuan Belanda (Hulptroepen) hampir sama dengan tentara Belanda (tulen). Yang agak berbeda adalah senjata pasukan tentara Urang Awak. Umumnya mereka menggunakan bedil dan senjata ‘tradisonal’ sebagaimana dimiliki dan digunakan kaum Padri. Seperti yang akan dibicarakan pada bagian berikut, tidak banyak catatan tentang aksi tempur dan kehebatan berperang pasukan bantuan Urang Awak. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku pada Hulptroepen yang terdiri orang-orang dari etnis lain di Nusantara selain Minang.

Walapun demikian ada juga sedikit laporan dan catatan mengenai kehebatan pasukan Hulptropen dan Hulpbende ini. Dari laporan dan catatan itu setidaknya diketahui adanya dua kehebatan mereka.

Pertama, Hulptroepen sangat mahir rmenggunakan senapan. Tembakan mereka umumnya selalu mengenai sasaran. Kemampuan menembak yang hebat ini antara lain dilatarbelakangi rajinnya mereka berlatih. Seperti dikatakan Boehouwer, setiap ada waktu senggang maka anggota Hulptroepen akan menyibukkan diri dengan berlatih menembak. Latihan diadakan di lapangan terbuka dengan media berupa sebuah dinding setinggi 1,5 meter yang di bagian atasnya diletakan dua bilah bambu dengan panjang sekitar 20 cm dan lebar 5 cm secara bersilangan, yang akan dijadikan sasaran tembakan. Bambu yang bersilang itu ditembak dari jarak 200 langkah. Menurut Boelhouwer hampir setiap tembakan mengenai sasaran. Ini sesuatu yang dianggapnya luar biasa dan sukar dipercaya.

Kedua, anggota Hulptroepen dan Hulpbende juga mahir menggunakan bayonet. Kielstra menyebut, bahwa beberapa komandan perang Belanda memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan bayonet dalam sejumlah aksi penyerangan yang diakukan. Tuanku Imam Bonjol sendiri juga mengatakan bahwa dia diserang oleh anggota Hulptroepen dan Hulpbende (orang Bugis dan Payakumbuh) yang menggunakan bayonet.

Latihan pengunaan bayonet untuk Hulptroepen (dan juga tentara Belanda) sering dilakukan di dalam benteng.

Sejumlah pejabat Belanda, seperti Raaff, Stuers dan Nahuijs juga mengemukakan dan mendeskripsikan bagaimana kehebatan tentara bantuan Urang Awak mereka menggunakan senapan, pedang, tombak, dan keris. Sayangnya, karena mereka sering bertempur bersama tentara Belanda dan Hulptroepen yang umumnya tentara ‘profesional’ maka kehebatan mereka jadi hilang. Di samping itu, banyak pula dari mereka yang kurang atau tidak mampu menjadi kebugaran tubuh sebelum pergi berperang. Sering dikatakan bahwa mereka sering begadang, mengisap madat atau minum tuak sebelum pergi berperang sehingga ketika tiba waktu berperang, tenaga mereka sudah tidak ada lagi, atau karena badan tidak fit dan fikiran agak kacau, mereka tidak bisa menampilkan kehebatan mereka menembak atau menggunakan senjata.

Kehebatan anak kemenakan kaum adat akan nampak kalau mereka berperang (tanpa bantuan Belanda dan Hultroepen) melawan kaum Padri. Kenyataan terlihat dalam memoar Tuanku Imam Bonjol.

Suatu saat pasukan Padri Bonjol menyerang Suliki. Ternyata Suliki memiliki kubu pertahanan yang hebat. Kubunya berada di atas bukit dan dikelilingi oleh parit. Tidak hanya itu, di luar kubu, di bagian atas bukit juga ditempatkan kapuak (anyaman bambu berbentuk lingkaran besar) yang diisi dengan batang padi, serta juga tahi (tinja) yang ditempatkan pada wadah tertentu. Ketika pasukan Padri berhasil mendekati kubu maka pasukan yang bertahan didalam kubu menggelindingkan gulungan-gulungan batang padi dalam kapuak sehingga melindas dan membawa turun kaum Padri yang tengah mendekati kubu. Kemudian ketika kaum Padri mendekat lagi ke kubu maka mereka disirami mereka dengan tahi (tinja) sehingga berlumuran tahilah mereka semua. Mendapat serangan tahi (tinja) ini membuat pasukan Padri melarikan diri ke parit (untuk membasuh dan membersihkan diri). Setelah ‘senjata pamungkas’ tentara ninik mamak itu berhasil diatasi oleh kaum Padri barulah kubu itu berhasil ditaklukkan dan seisi benteng serta penduduk Suliki mengaku kalah.

V

Secara umum Perang Padri tidak menghadirkan sistem persenjataan dan strategi perang yang baru. Masing-masing pihak yang berperang menggunakan senjata yang relatif sama dengan yang dimiliki pihak lawan. Kalaupun ada perbedaan maka perbedaan yang paling nampak adalah kualitas persenjataan kaum Padri sedikit lebih tertinggal dibandingkan dengan senjata pasukan Belanda. Perbedaan lainnya adalah pasukan Belanda juga diperkuat oleh kapal perang dengan persenjataan yang juga lebih besar dan tinggi mutunya.

Sistem perbentengan kaum Padri dan Belanda juga relatif tidak begitu berbeda. Sistem perbentengan mereka sama-sama canggih dan sama-sama sukar untuk ditaklukan.

Strategi perang yang dijalankan, walaupun ada sedikit perbedaan, secara umum juga relatif sama. Strategi-strategi yang dimaksud antara lain: pertama, strategi perang yang sifatnya ofensif; kedua, strategi perang yang sifatnya defensif; ketiga, strategi perang yang dilakukan dengan menyerang secara tiba-tiba kemudian menghindar dengan cepat; keempat, strategi pengepungan terhadap benteng utama atau pemukiman utama musuh; kelima, strategi perang dengan membuat banyak benteng untuk menaklukan benteng utama musuh; keenam, strategi perang mengajak musuh berdamai pada saat terdesak kemudian mengingkari perjanjian bila bala bantuan telah tiba. Dari enam strategi ini, hanya strategi keenam yang nyaris tidak pernah dipratikan kaum Padri. Hal ini nampaknya berhubungan dengan ideologi (kepercayaan/agama). Kaum Padri yang berperang atas nama agama (Islam) jelas menghargai janji. Dalam ajaran agama mereka(Islam), janji adalah hutang yang harus dipenuhi. Sebaliknya,  Belanda menjadikan perang sebagai bagian dari ekspansi politik, di mana dalam dunia politik dihalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan. Termasuk melanggar janji yang telah diucapkan. Tuanku Imam Bonjol berkali-kali menyebut tentang pengkhiatan atas janji-janji yang dibuat Belanda.

Peranan ideologi (agama) atau kepercayaan tidak hanya terlihat dari keteguhan kaum Padri memegang janji, tetapi juga dalam ‘cara berperang’. Para pejuang Padri sangat percaya pada kekuatan gaib. Sering kali mereka pergi berperang setelah menemukan waktu yang cocok sesuai dengan ‘penglihatan’ para tuanku mereka. Para tuanku mereka percayai memiliki kekuatan gaib (keramat). Sehingga perkataan tuanku selalu dipatuhi. Kepercayaan kepada para tuanku ini juga memiliki makna negatif dalam pertempuran. Sebagaimana dilaporkan Raaff, Elout dan Boelhouwer, sering kali pejuang Padri tiba-tiba meninggalkan pertempuran yang sudah hampir mereka menangkan karena tuanku atau pemimpin perang mereka luka atau tewas. Sering pula dilaporkan bahwa pasukan Padri tiba-tiba meninggalkan pengepungan sebuah benteng, padahal penghuni benteng sudah sangat kelaparan atau sekarat, karena pemimpin mereka luka atau tewas. Pejuang Padri percaya pada konsep pars pro toto, kehebatan seseorang pemimpin (komandan pasukan) akan memengaruhi kehebatan atau keberuntungan seluruh anggota pasukan.

Aspek kepercayaan seperti yang dimiliki dan diamalkan kaum Padri ini jelas tidak pernah ditemukan atau dipraktikan oleh pasukan Belanda dan para pembantu mereka.

Perang Padri adalah perang terlama pertama yang dialami oleh pemerintah Hindia setelah mereka berkuasai setelah Pemerintahan Sementara (Tuschen Bestuur) Inggris. Masing-masing pihak sama serius dan sungguh-sungguh maju ke medan tempur. Dengan sistem persenjataan dan strategi tempur yang relatif sama, maka ‘aspek lain’ di luar persenjataan dan strategi tempurlah yang akhirnya menjadi penentu kemenangan salah satu pihak (Belanda).

Sebelum mengakhiri tulisan ini, bukan sekedar apologia atas kekalahan kaum Padri, perlu diulang sekali lagi, bahwa sesungguhnya sistem persenjataan dan strategi tempur kaum Padri dan Belanda relatif sama dan seimbang, serta nyaris tidak ada yang baru yang ditampilkan dalam pertempuran itu. Namun, kalau ingin dicari juga sesuatu yang baru dalam Perang Padri dan itu mungkin tidak pernah digunakan dalam perang modern adalah penggunaan tahi (tinja) oleh tentara Urang Awak. Penggunaan tahi (tinja) untuk menyerang musuh, sebagai upaya terakhir sebelum dikalahkan, tidak hanya menampilkan aspek ‘kreatif ‘ dalam berperang tetapi juga sebagai pembuktian bahwa perlawanan mesti dilakukan hingga penggunaan ‘senjata’ terakhir yang bisa menghinakan musuh.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Haan, F. de, “Naar Midden Sumatra in 1684” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 39 (1897), hal. 327-66.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Budak di Sumatra Barat pada Masa Perang Padri

Penulisan sejarah Perang Padri selama ini, apalagi yang ditulis oleh orang Indonesia, didominasi oleh penulisan sejarah politik, yang umummya menyajikan peristiwa-peristiwa besar dan tokoh-tokoh besar. Karena itu, aspek-aspek yang ditampilkan lebih terfokus pada permusuhan dan kesumat antara kaum Padri dan kaum adat (penghulu), kecamuk perang antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, peran atau heroisme Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Harimau Nan Salapan, serta kehebatan atau kedurjanaan para pejabat sipil dan militer Belanda, seperti Raaff, Stuers, Gilavry, Elout, Michiels, dlsbnya. Keberadaan dan kejadian-kejadian yang dialami ‘orang kecil’ atau ‘masyarakat kebanyakan’ relatif terabaikan. Keberadaan dan pengalaman historis para prajurit atau hulptroepen, kuli angkat, atau penduduk berbagai kampung yang terlibat serta sekaligus menjadi korban perang, misalnya, hampir tidak pernah diungkapkan.  

Satu lagi kelompok ‘orang kecil’ yang sangat sedikit dikaji/dikemukakan adalah budak. Padahal, keberadaan dan pengalaman historis ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau (Sumatra Barat) sangat erat kaitannya dengan Perang Padri. Bisa dikatakan, bahwa dalam struktur masyarakat Minangkabau, ‘kelas’ budak ini hadir karena Perang Padri. Proses kehadiran, respon dan perlakuan terhadap budak saat itu menjadikan Perang Padri semakin dinamis dan sekaligus rumit. Sayangnya, seperti yang disebut di atas, sebagian besar karya tentang Perang Padri tidak menyinggung atau hanya menyinggung secara sepintas saja mengenai keberadaan dan pengalaman historis mereka. Sajian yang sedikit itu malahan membuat keberadaan dan pengalaman sejarah budak semakin tidak jelas. Apalagi tulisan yang sedikit itu umumnya ditulis dalam kaitannya dengan penghapusan (afschaffing) budak di Sumatra Barat khususnya dan di Indonesia yang dimulai pada sejak tahan 1860 dan dilaksanakan tahun 1870-an.

Berdasarkan kenyataan itulah, tulisan ini mencoba menyajikan kaitan antara Perang Padri dengan keberadaan budak pada masyarakat Minangkabau dan bagaimana pengalaman historis para budak pada masa perang tersebut. Di samping itu tulisan ini juga akan mengungkapkan siapa yang dimaksud dengan budak.? Bagaimana budak diperlakukan dan bagaimana kelompok masyarakat ‘non-budak’ merespon kehadiran dan keberadaan mereka? Akhirnya juga akan disajikan bagaimana sikap pemerintah Belanda terhadap keberadaan budak.

II

Perang Padri memiliki hubungan yang  sangat erat dengan ‘kelas’ budak. Hubungan ini setidaknya dapat dilihat dari tiga sisi sejarah budak di Sumatra Barat (Minangkabau). Sisi pertama, Perang Padri adalah kurun waktu munculnya ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau. Sisi kedua, Perang Padri adalah periode semakin banyaknya budak Nias di Sumatra Barat dan semakin luasnya wilayah sebaran budak Nias di daerah ini. Sisi ketiga, Perang Padri adalah kurun waktu ‘tarik ulur kebijakan’ dan ‘jaga gengsi’ di kalangan politisi dan pejabat kolonial dalam menyikapi keberadaan atau penghapusan budak.

Sumber-sumber sejarah menginformasikan bahwa budak mulai hadir dalam masyarakat Minangkabau, terutama di daerah pedalaman, secara masif pada masa Perang Padri. Dari sumber-sumber itu juga diketahui bahwa jumlah budak bertambah dengan sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat. 

Walaupun sumber-sumber adat tidak menyebut adanya ’kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau tradisional (sebelum Gerakan dan Perang Padri), namun bisa dipastikan, pada masa adat jahiliyah orang Minang telah mengenal budak. Adanya kata lacieh,dalam perbendaharaan kata lama (archaic word) Minangkabau, yang kira-kira sama padanannya dengan kata budak, mengindikasikan bahwa orang Minang ‘tempo jahalia’ telah mengenal budak. Tulisan yang Fakih Sangir yang menyebut bahwa ada kelompok bandit yang merampok serta menawan penduduk suatu kampung , kemudian menjual tawanannya tersebut adalah salah satu contoh bahwa sebelum masa Padri orang Minangkabau telah mengenal praktik ‘menjual orang’ (budak). Dalam konteks inilah pernyataan Verkerk Pistorius, yang juga diulangi oleh EP. van Kerckhoff  bisa kita pahami, bahwa sebelum ‘masa putih’ budak bukannya tidak dikenal di darek.

Budak memang hadir dalam jumlah yang besar di kalangan orang Minang seiring dengan adanya Gerakan dan kemudian Perang Padri. Dalam aksi mereka, kaum Padri menyerang berbagai perkampungan yang dikatakan belum menjalankan agama Islam dengan benar dan sungguh-sungguh. Dalam aksi tersebut banyak kaum lelaki yang luka dan meninggal, banyak rumah yang dirusak dan dibakar, banyak harta-benda, termasuk binatang ternak warga kampung yang diserang yang diambil (dirampas). Tidak itu saja, banyak pula penduduk kampung yang dikalahkan yang ditawan dan dijadikan budak.

Mengambil atau merampas harta penduduk kampung yang dikalahkan, atau menawan dan menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebagai budak adalah bagian dari aksi yang dilakukan kaum Padri dalam menyebarkan faham keagamaannya. Aksi ini kemungkinan besar dipengaruhi dari apa yang dilihat oleh pembawa faham Padri dari Tanah Arab. Ketika mereka berada di Tanah Suci, kaum Wahabi yang tengah mengadakan revolusi keagamaan, melakukan aksi kekerasan dalam dakwah mereka, termasuk merampas barang-barang milik lawan, menawan dan menjadikan lawan yang kalah sebagai budak. Aksi seperti itu dibawa pulang dan diperkenalkan pula oleh pengagum Wahabisme itu (Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang) ke Minangkabau. Pengagum ajaran Wahabi itu dinamakan kaum Padri. Aksi ‘ala Wahabi tersebut semakin massif dipraktikkan  ketika pengaruh Padri semakin kuat, dan itu terjadi karena kebanyakan tuanku Padri hanya mengamimi faham yang dibawa ‘trio’ ulama tersebut.

Sebagaimana disampaikan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, banyak kampung yang diserang oleh kaum Padri. Ada belasan, kalau tidak puluhan kampung yang mereka dan kalahkan. Karena Tuanku Imam lebih banyak berkisah mengenai aksi kaum Padri Bonjol, maka kampung-kampung yang mereka serang umumnya berada di kawasan Bonjol, Agam utara, Limapuluh kota bagian barat hingga Bangkinang, serta kampung-kampung di Lubuk Sikaping, Pasaman Barat, Rao, Rokan Hulu serta Mandahiling. Secara terang benderang Tuanku Imam menyebut bahwa banyak harta-benda dan ternak penduduk kampung yang diserang yang dirampas, dan banyak warga kampung yang diserang yang ditawan dan dijadikan budak.

Harta benda dan ternak yang dirampas tersebut dibawa ke Bonjol. Begitu juga warga berbagai kampung yang ditawan dan dijadikan budak juga dibawa ke Bonjol. Sehingga bisa dikatakan bahwa Bonjol ‘penuh’ oleh budak saat itu.

Nahuijs, Boelhouwer, Stuers, Lange dan sejumlah penulis Belanda lain juga menyebut bahwa aksi perampasan harta-benda serta menawan dan menjadikan budak penduduk kampung yang dikalahkan juga dilakukan oleh tokoh Padri yang lain dari daerah yang lain. Tuanku Nan Renceh dari Agam dan Tuanku Lintau dari Tanah Datar termasuk yang disebut-sebut sebagai pemimpin Padri yang banyak merampas harta benda penduduk dan menawan serta menjadikan budak penduduk kampung yang mereka kalahkan. Aksi-aksi Tuanku Nan Renceh (dan juga Tuanku Lintau) ini juga sampai terdengar di kawasan timur Sumatra. Sehingga di kawasan itu, sebagaimana disebut John Anderson, Gerakan atau Perang Padri lebih dikenal sebagai Gerakan Nan Rincih (Renceh). Namun bila diperbandingkan, aksi Padri Bonjol bisa dikatakan sebagai aksi yang paling banyak melakukan perampasan harta-benda penduduk, yang paling banyak menawan, serta menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebaagi budak. Khusus untuk yang disebut terakhir, ada kaitannya dengan posisi daerah/wilayah ‘operasi’ Padri Bonjol.  Kaum Padri Bonjol umumnya beraksi di daerah pinggiran (rantau), sehingga perlawanan dari kaum adat (penghulu) tidak begitu kuat. Di samping itu, aksi Padri Bonjol banyak dilakukan di kawasan Mandailing (Batak) yang warganya sejak waktu yang lama juga telah menjadi sasaran para pencari budak. Sebagaimana dikatakan oleh John Anderson dan juga Tome Pires, orang Batak telah lama dicari dan dijadikan budak, serta dijadikan sebagai komoditas perdagangan.

Budak Batak

Sumber: Anderson, John, Mission to the Eastcoast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826).

Para tawanan atau budak terdiri dari penduduk laki-laki dan perempuan. Umumnya lelaki yang badannya kekar dan perempuan yang parasnya cantik. Di samping itu juga ada anak-anak (anak-anak dari warga kampung yang ditawan). Orang tua nyaris tidak ada, karena sengaja ditinggalkan di kampung yang ditaklukkan, lagi pula orang tua itu pasti tidak bisa berjalan jauh menuju Bonjol atau menuju nagari basis kedudukan kaum Padri.

Tidak diketahui berapa jumlah pasti budak kaum Padri di seluruh darek. Diperkirakan jumlahnya pasti ribuan. Data yang disajikan Stuers mengatakan bahwa saat memasuki Bonjol tahun 1832 Elout menyebut bahwa ada sekitar 2.000 budak pusat Padri itu. Dikatakan bahwa Tuanku Imam dan Tuanku Muda (panglima Peang Tuanku Imam) masing-masing memiliki 300 budak, Khatib memiliki 200 budak. Tuanku-tuanku yang lainnya juga memiliki cukup banyak budak.

Seperti disebut oleh Boelhouwer dan Lange, di Bonjol budak tersebut umumnya tinggal dalam benteng, tempat para pemimpin Padri tinggal. Di samping itu mereka juga tinggal di kampung-kampung di mana para pemiliknya bermukim.

Sebagai ‘barang’ kepunyaan, nasib budak sangat tergantung pada kehidupan tuannya. Ketika tuannya kelaparan maka para budak juga ikut kelaparan. Hal ini terjadi ketika Belanda menyerang dan memblokade benteng Bonjol dalam waktu yang lama, sehingga warga Bonjol kekurangan makanan. Saat itu, jangankan para budak, tuan pemilik budak juga menderita kelaparan. Ketika wabah berkembang dan menyerang tuannya di Bonjol, maka para budak juga ikut sakit kena wabah, bahkan bisa jadi para budak lebih dulu meninggal daripada tuannya karena tidak mendapat pengobatan yang layak.

Para budak memang diperlakukan sesuai dengan keinginan para pemiliknya. Mereka dijaga ketat agar tidak melarikan diri (upaya melarikan diri, dan cukup banyak yang berhasil, senantiasa dilakukan oleh para budak, terutama budak Batak). Para budak umumnya dipekerjakan mengolah sawah. Budak juga diperjualbelikan. Harga budak lelaki adalah f.30,- dan harga budakperempuan (gadis) f.60,- Para penjual (orang yang menjadi perantau penjualan budak) mendapat 1/3 atau ¼ dari harga penjualan. Tidak hanya diperjualbelikan, budak juga dijadikan sebagai hadiah. Tuanku Imam Bonjol misalnya pernah memberi Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik hadiah beberapa orang budak perempuan Batak.

Aksi-aksi penyerbuan kampung, perampaan harta-benda dan penawanan, serta menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak sudah dihentikan Padri Bonjol sejak tahun 1829/1830. Penghentian aksi ini ada hubungannya dengan kembalinya empat orang haji utusan kaum Padri Bonjol untuk melihat praktik dakwah dan keagamaan di Tanah Arab. Dikatakan bahwa di Mekkah dan Medinah tidak ada lagi aksi dan praktik kekerasan dalam dakwah. Sejak itu, sesungguhnya, jumlah budak Padri tidak bertambah lagi. Namun demikian, budak yang sudah mereka miliki tidak dibebaskan. Budak-budak itu tetap mereka ‘piara’ hingga, seperti yang akan dibicarakan, dibebaskan oleh Belanda nantinya.

Aksi kekerasan kaum Padri berupa perampasan harta benda, penawanan dan menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak mendapat kecaman keras dari kaum adat (penghulu). Hal ini bisa dimaklumi, karena kampung-kampung yang diserang oleh kaum Padri adalah kampung-kampung yang dikatakan sebagai pendukung kaum adat. Kenyataan ini sangat nampak di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Walaupun terletak di daerah rantau, beberapa kampung yang diserang Padri Bonjol di Lubuk Sikaping, Rao dan Pasaman Barat juga bisa dikatakan sebagai kampungnya kaum adat, karena perlawanan gigih di kampung-kampung itu dipimpin langsung oleh para penghulu.

Sehubungan dengan itu, kaum penghulu, yang diwakili oleh anak-kemenakan mereka yang tergabung dalam Hulpbende (‘geromboan’ atau pasukan bantuan Melayu dalam tentara Belanda), sangat bersemangat membantu Belanda dalam menyerang kaum Padri. Tentara ninik-mamak ini akan semakin beringas kalau kaum dan kampung Padri telah kalah. Mereka segera melepaskan dendam kaumnya dengan menghajar kaum Padri yang sudah kalah, merampas harta-benda kaum Padri yang sudah takluk, termasuk juga menjadikan mereka sebagai tawanan dan juga budak. Pasukan ninik-mamak dari Tanah Datar, khususnya dari Batipuh, adalah kelompok Hulpbende yang paling bersemangat menyerang kaum Padri. Itu pulalah sebab di nagari itu paling banyak ditemukan budak (semasa Perang Padri dan sesudahnya hinga dibebaskan tahun 1870-an).

Elout dan pejabat Belanda sesungguhnya melarang menjadikan tawanan perang sebagai budak sesungguhnya. Tetapi, laranga itu tidak sepenuhnya dipatuhi oleh pemimpin perang dari kalangan Hulpbende (penghulu). Apalagi Regen Patipuh yang memiliki kedudukan istimewa di mata pejabat Belanda. Kedudukan istimewa yang banyak perbuatannya dibiarkan saja oleh petinggi Belanda, termasuk menjadikan budak tawanan perangnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Raja Gedombang, pemimpin masyarakat Batak (Mandahiling) yang bergabung dengan tentara Belanda. Raja Gedombang dari Huta Godang, dengan sengaja mengajukan dirinya kepada Elout, Resident van Padang en Onderhoorigheden, untuk membantu Belanda. Raja Gedombang ingin membantu Belanda karena ingin membalas kekejaman kaum Padri terhadap warganya (orang Tapanuli), termasuk menjadikan kaum perempuannya sebagai budak.

Raja Gedombang memang membuktikan kata-katanya. Dia mengerahkan ribuan rakyatnya berperang membantu Belanda melawan Padri. Dia juga melakukan balas dendam menghajar Padri dan menawan penduduk perkampungan Padri. Sayangnya, niat Raja Gedombang untuk menjadikan warga perkampungan Padri sebagai budak tidak bisa diwujudkan sepenuhnya. Karena seperti telah disebut di atas, Elout khususnya dan petinggi Belanda pada umumnya melarang Raja Gedombang menjadikan tawanan perang (kaum Padri) sebagai budak (dan Raja Gedombang mematuhinya). Di samping  itu Raja Gedombang tewas sebelum niatnya bisa diwujudkan.

Pelarangan kepemilikan budak sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Belanda di daerah ini sejak tahun 1820. Ini berarti setahun setelah pemerintah mengambil alih daerah ini dari tangan Inggris. Pelarangan kepemilikan budak di Sumatra Barat adalah kelanjutan dari ide atau gagasan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa sejak tahun 1818.

Walaupun telah digagas untuk diterapkan tahun 1820, ternyata hingga tahun 1832 belum ada penguasa daerah yang betul-betul menjalankan kebijakan tersebut. Penguasa daerah nampaknya ogah-ogahan menerapkan kebijakan tersebut. hal ini, bisa jadi sebagai hasil lobby para pemilik budak. Barulah tahun 1832 munculnya perintah pembebasan budak dan itu dilakukan oleh Elout. Tahun 1832 kebijakan tersebut dilaksanakan karena adanya ‘niat baik’ sang residen untuk menghabiskan praktik perbudakan di daerah ini. Alasan lainnya dan ini adalah alasan yang ‘paling utama’, sebagaimana dikatakan Stuers, adalah perbudakan itu tidak sesuai dengan ‘semangat/jiwa Eropa’.

Selanjutnya, seperti yang dikatakan juga oleh Stuers, penghapusan perbudakan adalah satu cara penihilan pengaruh negatif Padri (Islam) di tengah masyarakat. Dikatakan bahwa perbudakan diperkenalkan oleh kaum Padri dan dikerjakan oleh orang Islam.

Dengan alasan itu pulalah, ketika memasuki Bonjol, Elout atas nama pemerintah Hindia Belanda membebaskan 2.000 orang budak yang ada di tangan kaum Padri Bonjol. Dan seperti yang telah disebut sebelumnya,  600 budak yang dibebaskan itu adalah milik Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda, 200 orang milik Khatib dan sisanya milik sejumlah tuanku lainnya.

Elout juga memerintahkan pembebasan sejumlah budak yang ada di tangan sejumlah tuanku yang ada di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Bahkan Elout juga menyuruh bebaskan para budak yang dihadiahkan oleh Tuanku Imam Bonjol kepada Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik.

Pembebasan budak disambut hangat oleh petinggi masyarakat Mandahiling dan kaum penghulu. Namun pada saat yang bersamaan mereka juga kecewa dengan sikap pemerintah. Mereka kecewa karena mereka tidak bisa membalaskan dendam dengan menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Mereka kecewa karena pemerintah Belanda melarang mereka menjadi kaum Padri sebagai budak.

Walaupun demikian, seperti yang telah dikatakan di atas, di sejumlah nagari kaum penghulu dan tentara ninik mamak tetap saja menawan kaum Padri dan menjadikan mereka sebagai budak. Beberapa petinggi Belanda sesudah Elout seakan-akan membiarkan para penghulu menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Ini adalah bagian dari politik kolonial licik, yang akan menumbuhkan rasa dendam di kalangan kaum Padri dan kaum penghulu (adat). Dendam antara dua kelompok yang bersiteru ini tetap dipelihara oleh pejabat Belanda hingga perang usai. Bahkan setelah perang usai, kaum penghulu dibiarkan memelihara atau mempertahankan budak-budak mereka, hingga perbudakan dihapuskan dari Sumatra Barat (Minangkabau) pada tahun 1870-an.

III

Perang Padri tidak hanya berarti bagi kemunculan budak di kawasan darek (budak dari kaum Padri dan juga dari kalangan penghulu), tetapi juga bagi keberadaan budak di kawasan pesisir. Perang Padri telah memicu pertambahan budak di kawaasan pesisir. Tidak itu saja, Perang Padri telah menyebabkan meluaskan wilayah sebaran atau operasional budak pesisir. Pada masa Perang Padri, banyak budak yang sebelumnya menetap atau beroperasi di kawasan pesisir, mulai masuk ke pedalalaman.

Walaupun pertambahan, sebaran domisili dan wilayah operasi budak pesisir semakin meluas pada masa Perang Padri, namun yang jelas keberadaan mereka tidak ada hubungannya dengan kaum Padri atau kalangan penghulu. Mereka juga bukan tawanan atau diperbudak oleh kaum Padri atau kaum penghulu. Budak pesisir bukan dari etnik Minang dan bukan berurusan dengan orang Minang. Budak pesisir adalah orang Nias dan umumnya dimiliki oleh Christenen (orang Kristen/Eropa) dan Chinezen (orang Tionghoa).

Budak pesisir atau budak Nias telah ada di kawasan pesisir jauh sebelum Perang Padri meletus. Mereka datang atau dibawa dari Pulau Nias. VOC punya andil besar dalam mendatangkan budak Nias ke Pantai Barat (Padang). Di samping itu, peran saudagar Aceh dan Melayu juga tidak bisa dikatakan kecil dalam perdagangan budak Nias. Bahkan H.J. Domis mengatakan bahwa orang Aceh dan Melayulah yang memulai perdagangan budak Nias.

Pada hari-hari pertama Belanda menguasai Padang, penguasa kolonial sempat mendata jumlah budak Nias yang ada di kota tersebut. Jumlahnya sebanyak 1.861 orang. Dari sajian data ini bisa dikatakan bahwa semua orang Nias yang ada di Padang saat itu adalah budak. Seperti yang disebut di atas, semua budak ini dimiliki oleh orang Eropa dan Tionghoa.

Orang Minang yang tinggal di Padang tidak ada yang memiliki budak, baik budak Nias atau budak Melayu (Minang). Stuers menyebut bahwa orang Minang di Padang tidak mengenal budak. Kalau pun ada orang yang ‘terikat’ dengan orang kaya di Padang, maka mereka bukan termasuk kelas budak, tetapi pandelingen (orang beroetang). Jumlah pandelingen juga tidak begitu banyak, serta status dan perlakuan terhadap mereka juga jauh berbeda daripada budak. Mereka lebih bebas dalam beraktivitas (tentu dengan seizin tuannya).

Budak Nias sering digunakan untuk menghasilkan uang oleh tuannya. Mereka juga diperjualbelikan. Ketika Perang Padri mulai berkecamuk dan tentara Belanda mulai mengalami kekurangan tukang angkat barang ke daerah pedalaman, maka para pemilik budak di Padang menawarkan budak-budak mereka kepada pemerintah. Tentara Belanda yang kekurangan tenaga menerima tawaran tersebut dan sejak saat itu, sejak tahun 1822/1823 mulai banyak budak Nias yang masuk ke daerah pedalaman.

Tentara Belanda menyukai budak Nias karena mereka lebih patuh bila dibandingkan dengan kuli angkat Melayu (orang Minang). Budak Nias dikatakan tidak pernah melalaikan kewajibannya atau lari, namun kuli angkat orang Minang acap lalai, suka memeras, dan sering melarikan diri bila ada kesempatan untuk lai. Kolonel Nahuijs mengalami pengalaman seperti ini, sejumlah kuli angkat yang telah dibayarnya melarikan diri dan tidak ditemukan lagi saat dia datang ke tempat kuli angkat yang dia tinggalkan. Sehingga dia terpaksa menyewa kuli angkat yang lain, yang tahan harga, yang mengenakan harga yang tinggi kepada Nahuijs karena meminta tenaganya dalam waktu yang mendesak.

Di samping ke arah pedalaman, budak Nias juga menyebar ke kota pantai lainnya di pesisir barat Sumatra Barat. Salah satu di antaranya ke Pariaman. Penyebaran ke kota yang berlokasi di utara Padang ini ada hubungannya dengan keberadaan orang Tionghoa di kota tersebut. Orang atau saudagar Tionghoa tersebutlah yang membawa mereka pertama kali ke sana.

Seperti yang telah disebut bagian terdahulu, seiring dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk ingin menghapuskan keberadaan budak, maka selama Perang Padri kita saksikan pula adanya sejumlah kebijakan untuk menghapuskan keberadaan budak di Sumatra Barat. Kebijakan ini terutama sekali diterapkan pada budak Nias. Kebijakan itu misalnya terlihat dari adanya pelarangan pemakaian budak Nias sebagai pembawa barang pasukan Belanda, dan program pemulangan budak Nias ke kampung asalnya. Namun, kebijakan ini nampaknya tidak berhasil. Budak Nias masih dipakai sebagai kuli angkut dan budak-budak yang dipulangkan ternyata kemudian kembali lagi ke Padang, atau dikembalikan oleh pedagang budak ke Padang. Sebagaimana disajikan dalam artikel yang berjudul “Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar” (1854), hingga berakhirnya Perang Padri atau bahkan hingga tahun 1850-an, budak Nias masih merupakan salah satu komoditas perdagangan di Pantai Barat Sumatra. Di samping ke Padang, beberapa tulisan lain juga menyebut mengenai perdagangan budak Nias ke Aceh, ke Tanah Semenanjung Malaysia, dan juga Batavia.

Sama dengan yang dialami oleh budak Minang, penghapusan status budak bagi orang Nias baru terjadi tahun 1870-an. Momen itu terjadi seiring dengan diperlakukan Undang-undang Penghapusan Perbudakan di Hindia Belanda, sebagaimana yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1859, No. 46 dan 47. Walaupun dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1860, namun Undang-undang tersebut baru mulai direalisasikan di Sumatra Barat tahun 1870-an. Sejak saat itu dilakukanlah pembebasan para budak dan juga orang berhutang, serta kemanakan di bawah lutuik, yang umumnya dimiiki orang Minang keturunan non-Padri di sejumlah daerah di darek, serta pembebasan sejumlah budak Nias di koa Padang dan Pariaman. Sejak waktu tersebut, secara resmi berakhirlah keberadaan budak, baik budak Minang, budak Mandahiling (Batak) atau budak Nias di Sumatra Barat. Sejak saat itu berakhir pulalah salah satu warisan, salah satu ‘legacy’ Perang Padri di Sumatra Barat (Minangkabau).

Sumber:

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Domis, “Het Eiland Nias” dalam J. Olivier Jz.,  De Oosteerling, Tijdschrift Bij Uitsluiting Toegewijd Aan de Verbreiding der Kennis van oost-Indie, 2de Deel, no. 1, 1835.

Kerckhoff, Ch. E.P. van, “Eenige Mededelingen en Opmerkingen Betreffende de Slavernij in Nederlandsch-Indie en Hare Afschaffing” dalam Indische Gids, 13, 1891.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Pistorius, Verkerk, “Iets Over de Slaven en de Afstammelingen van Slaven in den Padangsche Bovenlanden” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 16, 1868.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

“Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar”, dalam TNI, 16, 1854.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Para Pengkhianat Pada Masa Perang Padri

Apakah Puan dan Tuan menganggap bahwa kaum Padri semuanya adalah orang-orang yang setia dan istiqamah berperang untuk mewujudkan cita-cita mereka? Kalau jawaban Puan dan Tuan ‘ya’, maka jawaban Puan dan Tuan itu salah. Banyak tokoh Padri yang juga menjadi pengkhianat. Di sisi lain, kalau Puan dan Tuan menganggap bahwa kolonialis Belanda berperang dengan sungguh-sungguh demi mencapai ambisi dan birahi kekuasannnya, maka Puan dan Tuan benar. Sebagai kolonialis, demi mencapai tujuannya Belanda menghalalkan segala macam cara. Berkata bohong, mengingkari janji yang telah dibuat, dan mengkhianati kawan yang sebelumnya mendukung mereka adalah hal yang sangat lumrah bagi Belanda. Semua itu tidak dilakukannya sekali saja, tetapi berkali-kali.

Berdasarkan realitas sejarah tersebut, di samping diisi oleh berbagai peristiwa yang menampilkan keharmonisan dan kerja sama yang erat, Perang Padri sesungguhnya juga sarat dengan aksi-aksi munafik dari para pengkhianat, dan itu dilakukan oleh pihak Padri dan juga Belanda.

Keberadaan dan pengalaman para pengkhianat pada masa Perang Padri relatif belum diungkapkan selama ini. Kalaupun ada beberapa tulisan yang menyajikannya, maka sajiannya relatif terbatas dan bersifat desriptif naratif saja. Padahal, tidak diragukan lagi, aksi-aksi para pengkhianat itu sangat besar artinya, bahkan bisa dikatakan, aksi-aksi mereka itu mampu mengubah jalannya jalan sejarah. Di samping itu, aksi-aksi tersebut sangat kompleks sifatnya. Aksi-aksi itu tidak bisa dilihat sebagai aksi personal dari si pengkhianat semata, tetapi juga sarat dengan aspek dan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan tentu saja politik daerah yang melingkupi sang pengkhianat secara keseluruhan.

Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan dinamika sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri dari perspektif yang relatif berbeda dari yang dikemukakan sebelum ini. Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Siapa para pengkhianat tersebut? Siapa yang mereka khianati? Bagaimana aksi pengkhianatan yang mereka lakukan? Mengapa mereka berkianat? Sejauh mana pengkhianatan tersebut memberi dampak terhadap kelompok yang dikhianati atau menguntungkan pihak lawan?

II

Secara umum, pengkhianat diartikan sebagai seseorang yang tidak setia kepada kawan, kelompok, dan bangsa. Namun, kadang-kadang, defenisi kata pengkhianat itu ditambah juga dengan pernyataan “…, serta mengalihkan kesetiaan dan dukungannya kepada kelompok lain yang sebelumnya dianggap sebagai musuh”.

Karena melibatkan kaum Paderi dan Belanda maka ada dua kelompok pengkhianat pada masa Perang Padri: pertama, pengkhianat dari kelompok Padri dan kedua pengkhianat dari kelompok Belanda.

Pengkhianat dari kalangan Padri adalah Urang Awak. Pengkhianat dari kalangan Belanda lebih beragam bangsa  dan etnisnya. Pertama tentu saja orang Belanda itu sendiri, kedua orang Minang yang bekerja sama dengan Belanda, dan ketiga, orang-orang dari suku bangsa lain yang menjadi bagian dari hulptroepen (tentang bantuan Belanda).

Bila dicermati dengan saksama, maka para pengkhianat dari kalangan Padri bisa dibagi menjadi tiga kelompok utama:

Pertama, tokoh Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah para petinggi Padri yang berasal dari kalangan ulama (tuanku), memiliki ideologi Padri dan memperjuangkan implementasi ideologi tersebut, telah terlibat dalam perjuangan menggasak kaum non-Padri serta Belanda dalam waktu yang lama (sejak awal gerakan), bahkan memiliki peran yang penting (seperti panglima perang) dalam berbagai aksi fisik kaum Padri. Mereka tinggal di pusat-pusat pemukiman dan aksi Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah Tuanku Mudo, tangan kanan dan panglima perang Tuanku Imam Bonjol (Bonjol) dan Intan Bekati, Tuanku Halaban (Halaban), Tuanku Alam dan sejumlah tuanku lainnya.

Kedua, pendukung Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai peran penting dalam memberikan ‘support’ pada perjuangan atau aksi Padri. Peran mereka umumnya pemberi dukungan logistik dan material. Dengan kata lain mereka kurang atau tidak terlibat secara langsung dalam aksi fisik (militer) melawan Belanda. Kelompok pendukung Padri ini umumnya terdiri dari para saudagar (saudagar Padri). Mereka tidak berdomisili dan tidak tinggal di pusat pemukiman kaum Padri, melainkan tinggal di kawasan ‘pinggiran’, di mana mereka lebih leluasa beraktivitas (berniaga), serta lebih leluasa menjalin hubungan dan kontak dagang dengan dunia luar. Kalau pun mereka bergabung dengan dan mendatangi pusat pemukiman kaum Padri, maka itu dalam waktu yang sebentar atau bukan untuk alasan berjuang secara fisik bersama kaum Padri. Misalnya karena alasan untuk menyelamatkan diri (dalam waktu yang singkat) dari serangan musuh. Bila keadaan telah aman, mereka akan kembali ke tempat mereka beraktivitas. Dua dari sekian banyak wakil pendukung Padri ini adalah Peto Magek dan Tuanku Nan Cerdik.

Ketiga, pengikut Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah kaum ulama, namun bukan pengikut fanatik paham Padri, mereka bahkan mengkritisi ajaran Padri. Sayangnya, demi alasan keselamatan diri, mereka tidak secara terang-terangan menampilkan sikap kritis tersebut. Bisa dikatakan mereka adalah pembaharu (kaum Muda) di kalangan Padri. Banyak dari mereka termasuk ‘ulama modern’, dalam artian memiliki pemahaman akan ajaran Islam yang relatif berbeda dengan tokoh Padri ‘konvensional’, yang menerima ajaran Padri sebagai disampaikan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19. Kelompok pengikut Padri ini umumnya bergelar haji, karena mereka telah menunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima. Mereka telah mendapat pemahaman akan ajaran Islam langsung dari ‘sumbernya’ di Mekkah dan Medinah pada kurun waktu yang berbeda pemahaman Islam dan semangat zamannya dari era Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Dua dari sekian banyak pengikut Padri ini adalah Haji Ibrahim dan Tuanku Haji Nan Garang.

Pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul sejak awal tahun 1830-an. Ini berarti sekitar 10 tahun sejak perang berkecamuk atau tiga 30 tahun sejak paham (ideologi) Padri mulai diperkenalkan.

Bila dilihat dari perspektif durasi perang, para pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul pada periode mulai ‘lelahnya’ pihak yang berperang. Setelah berperang sekitar 10 tahun kelelahan mulai hadir di kalangan Padri. Mereka lelah karena banyak energi yang terkuras, cadangan makanan mulai berkurang, senjata dan amunisi yang semakin sedikit, kawan seperjuangan banyak yang meninggal,  dan ‘akhir’ perang masih belum jelas. Dalam suasana seperti ini, bagi yang lemah fisik atau lemah ‘iman’, meninggalkan perang atau menyeberang ke kelompok lawan yang dirasa akan menang adalah jalan terbaik. Di sinilah lahirnya pengkhianat di kalangan Padri.

Bila dilihat dari perspektif ideologi, para pengkhianat umumnya muncul pada saat perlu diadakannya evaluasi terhadap sebuah faham. Evaluasi terhadap sebuah ideologi atau faham cenderung dilakukan setelah 25 s.d. 30 tahun sejak ideologi atau faham tersebut diperkenalkan. Evaluasi terhadap paham itu sering diikuti oleh adanya diskursus intelektual di kalangan penganut ideologi atau bahkan kegaduhan pisik sebagai kelanjutan dari perdebatan pemikiran itu. Lahirnya pengkhianat adalah juga bagian dari proses evaluasi itu. Mereka hadir karena harapan atau janji eskatologis dari ideolgi yang dianut tidak juga terwujud.

Bila dilihat dari jarak waktu, maka bisa dikatakan bahwa munculnya para pengkhianat di kalangan Padri cocok dengan uraian di atas, yakni sekitar 25-30 tahun sejak ajaran Padri pertama kali diperkenalkan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19.

Evaluasi terhadap ajaran Padri diawali oleh Tuanku Imam Bonjol. Seperti dinyatakan dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjollah yang menyampaikan gagasan untuk mengevaluasi paham yang mereka amalkan selama ini. Gagasan Tuanku Imam disetujui oleh tokoh-tokoh utama Padri, seperti Tuanku Mudo, Tuanku Kadi Besar, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Proses evaluasi dilakukan dengan mengirim anak-kemenakan mereka ke Mekkah ‘untuk mencari hukum kitabullah nan adil’. Sekembali dari Mekkah (1829/1830), anak-kemenakan mereka tersebut mengatakan bahwa aksi-aksi kekerasan dalam menyebarkan (dakwah) Islam tidak diamalkan lagi di Tanah Suci. Sejak itulah terjadi perubahan yang besar dalam aksi dan dakwah kaum Padri.

Segera setelah itu, Tuanku Imam Bonjol melarang aksi-aksi kekerasan dalam dakwah. Dia menegaskan agar barang-barang rampasan harus dikembalikan, penjagaan dan keamaman nagari (berhadapan dengan Belanda) diserahkan kepada para basa, penghulu dan raja. Selanjutnya Tuanku Imam mengatakan dia ‘tinggal dituahnya saja’, akan fokus pada soal agama (di surau).

Catatan sejarah menyajikan, selepas pernyataan Tuanku Imam itulah sesungguhnya muncul para pengkhianat di kalangan Padri. Jadi pengkhianat muncul etelah evaluasi ideologi diadakan.

Di samping faktor internal, munculnya para pengkhianat di kalangan Padri juga disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor luar yang dimaksud adalah semakin intensifnya serangan Belanda. Sejak usainya perlawanan Pangeran Diponegoro (1830), Belanda memokuskan upayanya untuk mengakhiri perlawanan kaum Padri. Jumlah tentara yang diterjunkan ke medan tempur Sumatra Barat semakin banyak, dan komandan tempur yang dikirim ke Sumatra Barat saat itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk ‘memenangkan perang’.

Intensifnya serangan Belanda membuat sebagian kaum Padri mulai berpaling dan kemudian mengkhianati kawan seperjuangannya.

Pengkhianatan pertama dikalangan Padri dilakukan oleh tokoh Padri (ulama konvensional). Tidak tanggung-tanggung pengkhianat pertama itu adalah Tuanku Mudo, panglima perang Padri dan tangan kanan Tuanku Imam Bonjol. Pengkhianatannya diwujudkan dengan menjadi kaki tangan Belanda (diangkat menjadi Regen Bonjol). Segera setelah menjadi kaki tangan Belanda, Tuanku Mudo membuktikan kepatuhannya pada ‘tuannya’ yang baru, yakni dengan menyerang Sundatar dan Rao. Sundatar dan Rao sebelumnya adalah basis Padri dan pendukung utama Padri. Di samping itu Tuanku Mudo juga membiarkan Belanda menduduki Bonjol dan mengizinkan sejumlah aksi Belanda di wilayahnya.

Tokoh Padri berikutnya yang menjadi pengkhianat adalah Tuanku Halaban (diangkat menjadi Regen Halaban). Sama dengan Tuanku Mudo, segera setelah menjadi kaki tangan Belanda Regen Halaban ini aktif memerangi kaum Padri Limaupuluh Kota dan juga di kawasan Agam dan Tanah Datar.

Sebagai pejabat bumiputra (Inlandsche Hoofden) setingkat Regen mereka digaji f.250,- per bulan.

Hampir bersamaan waktunya dengan pengkhianatan Tuanku Mudo dan Tuanku Halaban, juga terjadi pengkhianatan di kalangan pendukung Padri (saudagar). Sosok pendukung Padri yang pertama berkhianat adalah Peto Magek. Peto Magek adalah seorang pedagang besar (Padri) yang berdomisili di Katiagan. Katiagan adalah sebuah nagari yang terletak di kawasan pantai Pasaman, di utara Padang. Hingga awal tahun 1930-an kekuasaan Belanda belum begitu utuh di sana. Peto magek aktif berdagang dengan saudagar Aceh yang saat itu masih leluasa mendatangi kawasan pesisir di utara Sumatra Barat. Peto Magek menjual berbagai komoditas niaga yang dihasilkan daerah pedalaman kepada saudagar Aceh yang datang ke daerahnya serta menjadi pembeli barang-barang dagang yang dimasukkan saudagar Aceh ke daerahnya, dan kemudian mengirimnya ke daerah pedalaman (Bonjol, Lubuk Sikaping dan Rao), ke daerah Padri.

Kegiatannya ini sangat membantu kaum Padri, namun pada saat yang bersamaan membuat Belanda marah besar. Belanda marah, karena Peto Magek membantu kaum Padri dan merugikan Belanda (seretnya aktivitas niaga Belanda).

Belanda menyerang Peto Magek dan perkampungan pusat niaganya. Sang saudagar Padri tersebut kalah dan melarikan diri ke kawasan Padri. Namun beberapa waktu kemudian Peto Magek sudah bergabung dengan Belanda. Di samping adanya peran iparnya yang mengajaknya untuk meninggalkan Padri, ‘darah dagang yang mengalir dalam tubuhnya’ dikatakan sebagai salah satu alasan dia memilih bergabung dengan Belanda. Bergabung dengan Belanda memberi kesempatan kepada untuk tetap aktif dan mendapat perlindungan dari penguasa dalam dunia niaga. Setelah bergabung dengan Belanda, Peto Magek sering membantu Belanda saat kolonialis itu terdesak oleh kaum Padri.

Satu lagi pendukung Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda adalah Tuanku Nan Cerdik. Tuanku Nan Cerdik adalah juga seorang saudagar besar yang aktif berniaga di kawasan sebelah utara Pariaman. Sama dengan Katiagan, hingga saat itu, kekuasaan Belanda belum begitu utuh di kawasan tersebut, sehingga memungkinkan dia dan saudagar asing aktif berdagang di sana. Kampung halamannya adalah Naras. Di nagari itulah Tuanku Nan Cerdik aktif berdagang, memasukkan berbagai barang dagang dari luar untuk selanjutnya diperdagangtkan pula di daerah pedalaman dan memperdagangkan berbagai barang dagangan yang dibawa dari darek dengan saudagar asing.

Aktivitas dagangnya ini membuat Belanda marah. Kegiatannya jelas membantu Padri dan merugikan Belanda.

Di samping aktif berniaga, konflik internal tingkat nagari atau rivalitas dengan tokoh lain di nagarinya yang mendukung Belanda juga membuat Tuanku Nan Cerdik dibenci Belanda. Faktor-faktor itulah yang akhirnya membuat Belanda menyerangnya.

Tidak mudah menaklukan Tuanku nan Cerdik. Sang Tuanku memberikan perlawanan yang gigih dan memakai taktik perlawanan yang jitu (bahkan sempat pula bergabung dengan kekuatan Padri di Bonjol). Namun akhirnya Tuanku Nan Cerdik takluk dan menerah kepada Belanda. Oleh Belanda dia tidak dihukum atau dipenjara, bahkan ‘diapresiasi’ sehingga membuatnya mendukung Belanda. Setelah bergabung dengan Belanda dia kemudian dianugerahi beberapa fasilitas, termasuk diberi gelar ‘Raja Bicara’ dan gaji f.100 per bulan.

Sebagai pendukung Belanda, Tuanku Nan Cerdik banyak membantu ‘tuannya’. Dari dia Belanda mendapat banyak keterangan tentang Bonjol dan kekuatan serta kelamahan Padri. Berkat bantuannyalah berbagai operasi Belanda di kawasan Pariaman utara, Tiku, hingga Agam barat laut, dan tentu saja Bonjol lebih mudah dilakukan.

Sayangnya, seperti yang akan dibicarakan nanti, dia kemudian dikhianati pula oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik adalah salah satu contoh pengkhianat yang kena khianat dalam sejarah Perang Padri.

Sesungguhnya pengkhianat dari kelompok pengikut Padri (ulama muda atau haji) telah muncul beberapa waktu sebelum tampilnya pengkhianat dari kalangan tokoh (ulama konvensional) dan pendukung Padri (saudagar). Namun karena ‘greget’ dari pengkhianatan mereka tidak kuat maka pengkhianatan mereka itu kurang nampak. Pengkhianatan dari kelompok pendukung Padri muncul lebih awal dari atau pada saat bersamaan dengan kembalinya anak-kemenakan tokoh Padri dari Mekkah. Hal ini disebabkan oleh karena mereka adalah juga orang-orang yang juga pergi ke Mekkah dan mendapat kesan tentang ‘damainya’ Islam di Tanah Suci (seperti yang didapat anak-kemenakan tokoh Padri).

Pengkhianatan pengikut Padri adalah pengkianatan kaum cendekiawan. Mereka adalah para haji yang mendapat pengetahuan keislaman dari sumbernya di Tanah Suci. Pengkhianatan mereka dilakukan dengan cara menjauh atau tidak mendukung dari aksi-aksi kekerasan tokoh Padri. Sikap ini terutama dilakukan secara personal, namun juga disampaikan kepada kawan dan sahabat yang sejalan dengan ide mereka. Walau pun tidak menyebut jumlah, Kielstra mengatakan pengaruh pengkhianatan pengikut Padri ini cukup besar dan pendukungnya cukup banyak. Pengkhianatan mereka juga diwujudkan melalui aksi berhubungan dengan pejabat Belanda. Mereka berkorespondesi dengan Mac Gilavry, Resident van Padang en Onderhoorigheden. Gilavry memuji-muji sikap dan pemahaman mereka (yang moderat) terhadap Islam. Mereka merespon pujian dan tawaran kerja sama yang dikemukakan Gilavry dengan jalan meminta dukungan finansial. Permohonan yang tidak dipenuhi Gilavry, namun ideologis, Belanda telah menang, karena berhasil menjaga kaum muda dan para haji muda itu tetap berjarak dari tokoh Padri. Pengkhianatan kaum intelektual umumnya buka melalui aksi fisik.

Gilavry bisa dikatakan sebagai tokoh Belanda yang pertama yang berhasil menggiring kaum muda (haji) menjadi pengkhianat. Korespondensi yang dilakukan dan puji-pujian yang disampaikan serta ajakan untuk ‘bekerja sama’ adalah sebagian dari mantra yang disampaikan Gilavry dalam upaya menarik pengikut Padri menjadi pengkhianat.

Di samping Gilavry, tokoh Belanda yang paling berhasil menghadirkan pengkhianat Padri adalah Elout. Eloutlah yang menjinakkan Tuanku Mudo, Tuanku Halaban, Peto Magek, Tuanku Nan Cerdik dan banyak lagi tuanku-tuanku Padri lainnya. Eloutlah yang menjadikan mereka pendukung Belanda dan kemudian mengajak mereka memerangi kaum Padri. Iming-iming jabatan (sebagai Regen, Tuanku Laras), gelar, tidak menyebut-nyebut atau mengungkit-ngungkit ‘dosa’ mereka terhadap Belanda di masa lalu, serta gaji yang besar adalah bagian dari strategi yang dijalankan Elout untuk membuat tokoh-tokoh kunci kaum Padri mengkhianati kawan dan perjuangannya.

Pengkhianatan orang-orang hebat Padri dalam jumlah yang cukup banyak tidak serta-merta berdampak negatif pada perlawanan kaum Padri menentang Belanda. Bahkan pada saat yang bersamaan dengan terjadinya pengkhianatan massal tokoh kunci Padri tersebut terjadi perlawanan serentak orang Minang terhadap Belanda (awal 1833). Dan dalam kenyataannya, dibutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat atau lima tahun lagi, oleh Belanda sehingga kolonialis itu mampu mengalahkan Padri (merebut Bonjol dan menawan Tuanku Imam). Dengan kata lain, pengkhianatan yang dilakukan oleh para panglima atau tokoh Padri relatif tidak banyak artinya bagi perlawanan kaum Padri. Kenyataan ini pulalah yang kemudian menyebabkan Belanda mengkhianati pula tokoh-tokoh Padri yang berkhianat tersebut.

III

Para pengkhianat pada kelompok Belanda terdiri dari orang Belanda, orang-orang Minang pendukung Belanda, dan tentara non-Minang (Hulptroepen). Pengkhianat dari kalangan Belanda adalah para pejabat sipil dan militer setingkat residen dan gubernur. Stuers, Elout dan Micheals adalah tiga pejabat yang bisa dikatakan sebagai ‘bapak’ pengkhianat Belanda dalam sejarah Perang Padri. Melihat dari kurun waktu kekuasaan mereka, maka bisa dikatakan bahwa pengkhianatan dilakukan sekitar empat atau lima tahun setelah Belanda terlibat dalam Perang Padri dan tetap berlanjut hingga akhir perang secara keseluruhan. Bahkan, bila dikaitkan dengan keberadaan pemerintahan Belanda di Sumatra Barat, maka pengkhianatan itu tetap dilakukan hingga beberapa dasawarsa setelah Perang Padri usai.

H.J.J.L. de Stuers, C.P.J. Elout, dan A.V. Michiels

Bila dibandingkan dari kesemua tokoh tersebut, maka Elout adalah pengkhianat tulen, bapaknya dari ‘bapak’ pengkhianat Belanda. Dialah yang paling banyak mengkhianati ‘kawannya’.

Ada tiga aksi pengkhianatan yang mereka lakukan. Pertama, mengkhianati orang-orang yang mendukung mereka sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Kedua, mengkhianati tokoh pengkhianat Padri atau mengkhianati orang Padri yang mendukung Belanda ketika perang telah berkecamuk. Ketiga, mengkhianati tokoh-tokoh Padri (orang Padri secara keseluruhan), dengan siapa mereka membuat berbagai perjanjian damai.

Pengkhianat pertama adalah Stuers dan dia mengkhianati orang Minang yang mendukung Belanda sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Pengkhianatan yang dilakukan adalah menurunkan jabatan Sutan Alam Bagagar Syah dari Hoofderegent van Minangkabau menjadi Regent van Minangkabau saja. Stuers juga meniadakan lagi Kerajaan Minangkabau dan raja Minangkabau, karena keberadaan dan posisinya telah digantikan oleh Hoofdafdeeling van Minangkabau serta Hoofdregent van Minangkabau. Mengaktualkan kembali Kerajaan dan Raja Minangkabau adalah salah satu yang dijanjikan sewaktu Belanda saat pertama mereka menjalin kerja sama dengan keluarga kerajaan.

Pengkhianatan Stuers terhadap Bagagar Syah dilakukan karena Belanda sudah ‘di atas angin’, bantuan Bagagar Syah tidak diperlukan lagi, dan Bagagar Syah sudah sangat tergantung padanya. Bagagar Syah diberi gaji yang besar dan keluarga kerajaan (Muning Syah serta Tuan Gadis diberi uang pensiun).

Seperti disebu di atas, Elout mengkhianati banyak ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah, Tuanku Nan Cerdik, Raja Buo, Tuanku Alam adalah beberapa ‘kawannya’ yang dikhianati. Berbeda dengan Stuers, pengkhiatanatan Elout betul-betul sadis. Tidak saja diturunkan dari jabatan, Elout bahkan memenjarakan (mengasingkan) ‘kawan-kawannya’ dan bahkan tega membunuh ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik dipenjarakan (diasingkan) ke Batavia dan Tuanku Alam dan Raja Buo dibunuh.

Pengkhianatan Elout betul-betul licik. Dia menuduh kawan-kawannya (khususnya Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik) mengkhianati Belanda, sebuah tuduhan yang kemudian tidak terbukti. Artinya, Elout hanya ingin menyingkirkan mereka. Mereka disingkirkan karena peran dan arti mereka relatif tidak ada bagi kampanye militer Belanda dan ekspansi politik/administratif kolonial di Sumatra Barat.

Seorang lagi ‘kawan’ yang dikhianati Elout adalah Sentot Ali Basya. Sentot, panglima perang Pangeran Diponegoro didatangkan dengan ratusan anak buahnya ke Sumatra Barat untuk memerangi kaum Padri. Namun kemudian dia dituduh berkhianat oleh Elout. Dia dituduh menjalin hubungan erat dengan orang Minang dan ingin mendepak Belanda dalam upaya menjadikan dirinya sebagai raja di Minangkabau. Elout melupakan jasa-jasa Sentot dan mengasingkannya ke Bengkulu.

Micheals adalah Gubernur Sipil dan Militer pertama Gouvernement van Sumatra’s Westkust yang dibentuk tahun 1837. Dia mempunyai tugas menuntaskan perlawanan Padri dan anasir-anasir yang mengganggu ketertiban dan keamanan (rust en orde) daerah. Karena itu dia melibas sebuah orang dan kelompok masyarakat yang dirasa mengganggu misi yang diembannya. Dalam kaitan dengan inilah dia mengkhianati Regen Batipuh yang sejak waktu yang lama sangat setia mendukung Belanda memerangi Padri. Sebagaimana banyak dikemukan oleh banyak penulis, atas jasa-jasanya Regen Batipuh yang mendapat banyak fasilitas dari Belanda, mulai dari gaji yang sangat besar (f.500,-), berbagai bintang dan penghargaan, hak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya, ide dan sarannya yang umumnya diiyakan pejabat Belanda, dan banyak kemudahan lainnya.

Seusai Perang Padri sang regen meminta fasilitas yang lebih lagi, salah satu di antaranya keinginan untuk menjadi Raja Minangkabau, sebuah posisi yang telah diidamkannya sejak masa sebelum Padri dikalahkan. Belanda tidak penah mau mengabulkan permintaannya ini. Akumulasi dari berbagai tuntunannya yang tidak dipenuhi oleh Belanda itulah akhirnya sang regen memberontak. Micheals bersikap tegas terhadapnya. Setelah berperang dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Regen Batipuh berhasil dikalahkan. Dia ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Keponakannya dan 60 orang pengikutnya yang lain juga ditangkap.

Sama dengan Elout, bila mengganggu kekuasaannya, Micheals melupakan jasa besar yang pernah diberikan ‘kawannya’.

Pengkhiatan terhadap tokoh (orang Minang secara keseluruahan) yang pernah membuat perjanjian damai dengan Belanda sesungguhnya telah dilakukan oleh Stuers. Ada banyak perjanjian yang dibuat Belanda dengan kaum Padri, hampir semua isi perjanjian itu dikhiatani. Dua dari sekian banyak perjanjian yag sangat nyata dikhianati adalah Perjanjian Masang dan Perjanjian Tuanku Keramat (dan Tuanku Saleh, Tuanku Di Bawah Tabing dan Datuk Ujung) dengan Stuers. Perjanjian-perjanjian yang salah satu isinya adalah saling tidak menyerang selalu dikhianati oleh Belanda. Isi perjanjian dengan segera dikhianati bila mereka merasa kuat dan Padri lemah.

Kolonialis Belanda memang dikenal sebagai bangsa yang paling suka membuat perjanjian dan sekaligus paling suka mengkhianati janji. Dalam konteks mengkhianati janji, kolonialis Belanda adalah juaranya.

IV

Pengkhianat dari kalangan tentara non-Minang (Hulptroepen) umumnya terdiri dari pasukan yang berasal dari suku Jawa dan Madura. Mereka mengkhianati Belanda (tuan besarnya). Mereka berkhianat kepada Belanda dan kemudian bersimpati atau bergabung dengan kaum Padri. Para pengkhianat dari kelompok ini umumnya ‘orang kecil’, dari kalangan ‘prajurit’.

Pengkhianatan mereka terhadap Belanda memberi arti yang besar bagi kaum Padri. Jumlah pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura ini tidak diketahui dengan pasti, tapi dari data-data yang disajikan Kielstra, jumlah anggota Hulptroepen yang desersi berkisar 5 s.d. 10 orang dalam setiap tahun laporan. Tuanku Imam Bonjol juga mengatakan bahwa beberapa orang Jawa (tentara Jawa) memberikan banyak informasi dan bantuan terhadapnya (kaum Padri). Tuanku Tambusai bahkan pernah mengatakan bahwa belasan tentara Jawa bergabung dengan pasukannya.

Kesamaan agama adalah latar belakang utama mau bergabungnya ‘tentara Madura’ dan ‘tentara Jawa’ dengan kaum Padri. Kielstra dan Lange mengatakan bahwa  Tuanku Tambusai menyebut-nyebut kesamaan agama mereka kepada tentara Madura dan Jawa saat mengajak mereka bergabung dengannya (dan meninggalkan Belanda). Penulis-penulis Belanda juga sering mengatakan bahwa kesamaan agama membuat tentara Madura dan Jawa merasa dekat dengan kaum Padri.

Pengkhianatan kalangan prajurit Madura dan Jawa ini diganjar dengan pemecatan dari kesatuan Hulptroepen. Dalam catatan dan buku-buku Belanda disebut disersi.

Tidak hanya dari kalangan prajurit, pengkhianat dari etnis Jawa juga terdiri dari petingginya. Bahkan pucuk pimpinan tertinggi mereka, Sentot Ali Basya juga bisa dikatakan sebagai pengkhianat terhadap Belanda. Namun, berbeda juga dengan pengertian umum tentang pengkhianat, maka pengkhianatan Sentot agak istimewa. Sentot mengkhianati Belanda bukan untuk bergabung dengan musuh Belanda (kaum Padri), tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri (dia ingin menjadi raja di Minangkabau). ‘Hukuman’ atas pengkhianatannya adalah dibuang ke Bengkulu. Elout yang menentukan hukuman tersebut.

Berbeda dengan Sentot, karena mereka telah bergabung dengan kaum Padri, maka ‘hukuman’ terhadap para pengkhianat dari kalangan prajurit Madura dan Jawa hanya sampai pada tingkat dipecat dari kesatuan Hulptroepen atau tuduhan disersi saja. Sangat sedikit atau hampir tidak ada dari mereka yang ditawan atau dipenjara. Mereka kemudian mendapat ‘rumah baru’ di pusat atau perkampungan Padri. Diperkirakan, mereka kemudian menjadi ‘sumando’ urang Awak.

V

Pengkhianat menjadi bagian dari Perang Padri. Ada pengkhianat dari kalangan Padri dan pengkhianat dari kalangan Belanda.

Sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri menyajikan data bahwa sesungguhnya pengkhianatan umumnya dilakukan oleh para petinggi Padri dan petinggi Belanda. Pengkhianatan merugikan kelompok yang dikhianati. Pengkhianatan umumnya ‘diganjar’ dengan berbagai kemudahan oleh pihak tempat pengkhianat bergabung.

‘Ganjaran’ yang diberikan Belanda umumnya sangat memuaskan, karena berupa jabatan tinggi, gaji (uang) yang banyak, dan berbagai fasilitas yang sesuai dengan kapasitas para pengkhianat sebagai orang penting.

Pengalaman sejarah juga mengatakan bahwa Belanda (pejabat Belanda) sesungguhnya adalah juga pengkhianat.

Karena pengkhianat bertemu dengan pengkhianat, maka pengkhianat yang lebih besar dan mempunyai kekuasaan (pejabat Belanda) umumnya mengkhianati pula para pengkhianat yang bergabung dengannya. Hampir semua pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda akhirnya dikhianati oleh Belanda. Sebagian dikhianati pada saat Perang Padri masih berlangsung, namun sebagian lainnya setelah perang usai. Tidak jarang, beberapa dekade setelah perang usai. Tuanku Nan Tinggi, Tuanku Lareh Sungaipuar misalnya dikhianati pemerintah jauh setelah perang usai.

Bila diperbandingkan, maka terlihat bahwa sangat banyak kaum Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda.  Seperti telah disebut di atas, umumnya pengkhianat Padri tersebut adalah orang-orang hebat dan punya pengaruh sosial, politik dan ekonomi yang besar. Sebaliknya, sangat sedikit kalangan Belanda yang bergabung dengan Padri. Dan dari yang sedikit itu, mereka bukan pula kalangan ‘orang besar’. Namun berbeda dengan pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda yang umumnya terlantar dan disia-siakan Belanda pada akhirnya, maka tentara Jawa dan Madura yang bergabung dengan Padri mendapat tempat dan penghargaan yang tinggi dari kaum Padri dan Urang Awak. Mereka diajak sama-sama memerangi kolonailis dan kemudian juga diterima menjadi ‘urang sumando’.

Bila dilihat dari perspektif historiografi nasional, maka pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura inilah yanglayak dinobatkan sebagai pahlawan. Mereka mengkhianati kolonialis dan bergabung dengan pejuang yang berperang melawan penjajah.

Masih banyak dinamika sejarah para pegkhianat ini yang masih belum terungkap, dan dinamika sejarahnya itu sangat menarik untuk dicermati. Apalagi gejala dan perilaku khianat ini tetap ada pada masa-masa sesudah Perang Padri bahkan – mungkin – sekarang. Untuk itu, untuk memahaminya secara lebih utuh, perlu pengetahuan dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keberadaan para pengkhianat di masa lampau. Bukankah masa kini dibentuk oleh masa lampau, dan sebagian persoalan masa kini bisa dicarikan jalan keluarnya dengan mengambil hikmah dari peristiwa di masa lampau? Karena itu sangat ditunggu adanya sejarawan atau peminat sejarah yang akan mengkaji dunia pengkhinat di daerah ini di masa lampau. Ditunggu.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Orang Tionghoa di Sumatra Barat Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti yang besar dalam proses penganekaragaman penduduk Sumatra Barat. Untuk mendukung aksi militernya, pemerintah Belanda membawa tentara reguler dan tentara bantuan (hulptropen), yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa ke Sumatra Barat. Selain bangsa Belanda, dalam jajaran tentara reguler juga ada orang Perancis dan Jerman, serta orang India dan Tionghoa. Pada jajaran hulptropen ada orang Jawa, Madura, Bugis, Ambon, dan Gorontalo. Pada masa sebelum perang, sebagian besar dari orang-orang ini belum pernah hadir di Sumatra Barat. Kalau pun pernah datang, seperti Bugis, jumlahnya relatif terbatas.

Perang Padri, tidak saja tercatat sebagai iven historis yang menghadirkan keberagaman bangsa/etnik bagi Sumatra Barat, tetapi juga memberi kesempatan kepada ‘orang asing’ tersebut masuk ke daerah pedalaman. 

Memang benar, hingga meletusnya Perang Padri, daerah pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau) masih merupakan terra incognita (daerah yang belum dikenal) bagi ‘orang asing’, khususnya bagi orang Eropa. Hingga meletusnya Perang Padri hanya dua kali daerah pedalaman dikunjungi orang Eropa. Pertama Thomas Dias yang mendatangi daerah pedalaman Minangkabau dari pantai timur (1684) dan Thomas Stamford Raffles yang didampingi istri dan beberapa kawan Eropanya yang memasuki daerah pedalaman dari pantai barat (1818).

Perang Padri mengubah semua itu. ‘Orang asing’ yang masa-masa sebelumnya hanya tinggal dan beraktivitas di kawasan pantai, maka sejak meletusnya Perang Padri, mereka dengan mudah dan leluasa bisa masuk ke daerah pedalaman. ‘Orang asing’ yang masuk ke pedalaman itu tidak hanya dari kalangan tentara, tetapi juga masyarakat sipil yang aktivitasnya nyaris tidak berhubungan dengan kampanye militer. Salah satu kelompok masyarakat yang dimaksud adalah orang Tionghoa.

Keberadaan dan dinamika sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa Perang Padri relatif belum dikaji oleh sejarawan atau ilmuwan sosial lainnya selama ini. Karena itu, walaupun dalam lingkup yang relatif terbatas, tulisan ini akan mencoba mengungkapkannya. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Berapa jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa-masa awal Perang Padri dan di mana konsentrasi pemukiman mereka? Bagaimana peran sosial, politik dan ekonomi mereka pada masa Perang Padri? Bagaimana hubungan mereka dengan penguasa kolonial dan bagaimana pula respon Urang Awak terhadap peran sosial-ekonomi orang Tionghoa, terutama di daerah pedalaman, selama Perang Padri?

II

Orang Tionghoa mulai hadir dan beraktivitas di Pantai Barat Sumatra sejak penghujung abad ke-16 dan mereka datang dari Banten. Kedatangan mereka tidak terlepas dari kegiatan perdagangan dan pela­yaran yang tengah tumbuh dan berkembang di kawasan barat Sumatra saat itu. Mereka datang untuk mencari lada dengan kapal-kapal mereka sendiri. Memasuki dekade ke-4 abad ke-17 mereka telah bermukim di kota Pariaman dan itu adalah pemukiman mereka yang pertama di kawasan ini. Pada perempat ketiga abad ke-17, ketika Belanda (VOC) menjadikan kota Padang sebagai pusat kegiatan politik dan ekonominya, orang Tionghoa juga menjadikan kota itu sebagai pusat pemukiman dan aktivitas niaga mereka. Pada abad ke-18 orang Tionghoa bisa ditemukan dan telah beraktivitas di banyak kota dagang Pantai Barat Sumatra.

Padang dan Pariaman adalah dua kota yang menjadi konsentrasi pemukiman dan aktivitas orang serta saudagar Tionghoa di Sumatra Barat.

Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat sebelum masa Perang Padri. Namun sebagaimana disebut E. Francis, tahun 1683 di Padang telah disetujui pengangkatan Letnan Cina, dan E. Netscher menyebut bahwa tahun 1781 di Padang telah ada Kapten Cina yang bernama Louw Tjoanko. Adanya Letnan dan Kapten Cina menunjukan terdapatnya konsentrasi pemukim Tionghoa dalam jumlah yang banyak di kota itu.

Hierarki jabatan ‘kepala’ kelompok masyarakat (penduduk) pada masa penjajahan sekaligus menggambarkan jumlah kelompok masyarakat yang bersangkutan. Penambahan jumlah penduduk senantiasa diikuti oleh pengangkatan ‘kepala’ yang baru serta pengakuan ‘kepala’ yang baru tersebut oleh pemerintah. Ketika jumlahnya relatif sedikit, pemerintah menetapkan (mengakui) jabatan ‘kepala’ cukup setingkat Letnan, namun ketika jumlah mereka semakin bertambah, ‘kepala’nya ditingkatkan menjadi Kapten. Bila jumlah semakin bertambah maka diangkat Mayor. Hingga akhir abad ke-18 jabatan ‘kepala’ tertinggi orang Tionghoa di Padang hanya setingkat Kapten (jabatan Mayor dicapai pada parohan kedua abad ke-19).

Tidak hanya jumlahnya yang banyak, orang Tionghoa juga memiliki peran sosial, ekonomi dan politik yang relatif besar. Dalam politik kolonialnya, Belanda menempatkan orang Tionghoa pada posisi kedua dalam struktur masyarakat tanah jajahannya. Posisi ini terlihat jelas dalam tata kota Padang. Pemukiman orang Tionghoa berada pada ‘lapisan kedua’ dalam tata ruang kota. Maksudnya, pemukiman orang Tionghoa berbatasan langsung dengan pemukiman orang Belanda (Eropa) yang berada di pusat kota.

Orang Tionghoa di Padang dan Pariaman khususnya aktif dalam dunia niaga, dan mereka menjadi mitra bisnis utama VOC. Di Padang mereka berperan sebagai pemegang hak penarikan pajak pelabuhan, dan perdagangan beberapa komoditas niaga. Hak ini didapat dengan cara memenangkan lelang yang dilakukan kompeni.

Orang Tionghoa di Padang juga memiliki peran politik yang kuat. Salah satu peran politik yang mereka mainkan dicatat oleh Netscher. Pada saat Padang akan diserang Inggris (1781), Kapten Cina mengirim surat kepada Gubernur Jendral di Batavia yang isinya meminta Gubernur Jendral agar mengirim sebuah kapal ke Padang untuk membawa warga Eropa dan Tionghoa Padang ke Batavia. Sayangnya, Batavia tidak bisa memenuhi permintaan itu, sehingga orang Eropa dan Tionghoa Padang beserta semua warga kota lainnya takluk pada Inggris. Peran politik yang mereka mainkan juga terlihat saat mana mereka bersama-sama dengan orang Eropa berupaya sekuat tenaga mempertahankan (membela) Padang dari serangan Inggris.

Pada masa pemerintahan pendudukan Inggris (1781) hingga berkuasanya Belanda kembali tahun 1819 orang Tionghoa Padang relatif tidak punya peran sosial, politik, dan ekonomi yang penting. Bahkan ketika François Le Mėme, bajak laut Perancis menguasai Padang untuk beberapa hari, orang Tionghoa termasuk kelompok masyarakat yang mendapat perlakuan buruk. Harta kekayaan mereka sebanyak 25.000 rijksdaalders (ringgit) dikuras habis dan banyak dari mereka melarikan diri ke arah mudik (pedalaman). Rumah-rumah yang ditinggalkan banyak yang dibakar. Bahkan ada dari mereka yang dibunuh, salah seorang di antaranya adalah ‘pembantu’ Kapten Cina yang digantung di pintu rumah sang Kapten.

III

Seiring dengan berkuasanya Belanda kembali (1819) muncul pula informasi tentang keberadaan orang Tionghoa di Padang khususnya dan Sumatra Barat pada umumnya. Saat itu mulai ada data tentang jumlah mereka. Stuers menyebut bahwa hari-hari pertama berkuasanya Belanda, jumlah orang Tionghoa di Padang sebanyak 200 orang. Sebagai perbandingan, jumlah orang Eropa sebanyak 150 orang (yang terdiri pegawai dan tentara Belanda serta mantan pegawai VOC, orang Inggris, dan ‘orang Indo’ hasil perkawinan perempuan bumiputera dengan orang Eropa), 200 orang India (Bengalezen), 7.000 orang Melayu (Minangkabau) dan 1.500 orang Nias.

Disebutkan juga bahwa pemukiman orang Tionghoa berada di pinggir sungai (Batang Arau) dan dekat dengan rumah atau gedung-gedung utama pemerintah. Orang Tionghoa di Padang memiliki rumah dan tanah yang luas. Rumah mereka umumnya ‘sederhana’. ‘Sederhana’nya rumah mereka adalah sebuah realitas daerah. Seperti disebut Nahuijs, pada saat dia berkunjung ke Padang (1824) tidak satu pun rumah yang bagus di kota itu. Jangankan rumah penduduk biasa, rumah dan kantor milik pemerintah saja berada dalam ‘kondisi yang menyedihkan’.

Sejak hadir pertama kali di kota Padang pada pertengahan abad ke-17, orang Tionghoa telah ‘mendapat’ tanah, di mana rumah mereka dibangun. Tanah-tanah tersebut umumnya mereka dapatkan dari ‘Panglima Padang’ (Urang Kaya Kecil). Sayangnya, seperti disebut Kielstra, tanah-tanah tersebut dikatakan tidak tercatat (teregister). Bukti yang dimiliki pemiliknya hanya berupa ‘surat jual beli’ dengan pemilik lama. Walaupun demikian, hampir semua tanah tersebut mendapat pengakuan dari pemerintah. Karena itulah, ketika  pajak bangunan diperkenalkan, rumah-rumah milik orang Tionghoa ini termasuk salah satu ‘objek pajak’ yang memberikan pemasukan cukup besar bagi pemerintah. Itu pulalah sebabnya, orang Tionghoa termasuk satu kelompok masyarakat yang relatif awal kena pajak di Sumatra Barat. Karena berada di pusat pemerintahan, mereka dapat dikatakan tidak bisa berkelit untuk tidak membayar pajak.

Di Padang ada sebuah Sekolah Melayu yang didirikan oleh seorang pendeta dari Ordo Lancaster berkebangsaan Inggris. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk menampung (mendidik) anak-anak Melayu, ‘anak Indo’, dan anak-anak Tionghoa. Dilaporkan bahwa yang rajin bersekolah adalah anak-anak Tionghoa, sedangkan anak-anak Melayu dan anak-anak Indo ‘tidak serius’. Secara pendidikan, anak-anak orang Tionghoa dikatakan jauh lebih hebat daripada ‘anak-anak Kristen’ (anak-anak Indo) dan anak-anak Melayu.

Nahuijs yang dalam bukunya mengungkapkan tata kota, lingkungan sosial serta dunia niaga dan politik kota Padang tahun 1824 menyebut adanya sejumlah saudagar Tionghoa di kota itu. Nahuijs menyebut bahwa mereka menjadi pachter candu serta aktif dalam dunia niaga pantai Barat, termasuk perniagaan dengan Batavia. Di samping aktif berdagang, Kielstra juga menyebut bahwa orang Tionghoa juga dipercaya pemerintah untuk menarik pajak (bangunan), dan pajak pasar, pajak sarang burung, dan bea pelabuhan. Salah satu saudagar besar Tionghoa di Padang saat itu dan sekaligus menjabat Kapten Cina adalah Lau Tiang King.

Pedagang Tionghoa memegang peranan yang penting dalam dunia niaga Pantai Barat saat itu. Pentingnya peran mereka sangat terlihat dalam perdagangan antarkota pantai, antara kota-kota pantai dengan pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Banyak, Pulau Batu, dan Nias), serta antara Padang dengan Batavia. Dilaporkan juga, walau pun tidak dilakukan secara reguler, mereka juga menjalin kontak dagang dengan Tanah Semenanjung (Pulau Penang). Peran ini bisa mereka lakoni karena mereka memiliki armada niaga (kapal dagang) yang bisa digunakan untuk pelayaran jarak jauh. Regeering Almanaak 1831, 1832, 1833 menginformasikan sejumlah saudagar Tionghoa sebagai pemilik kapal dagang yang ada di kota Padang. Sumber yang sama juga menginformasikan nama-nama kapal serta tonase kapal tersebut. Beberapa di antara pemilik kapal itu adalah Lim Piet dengan kapal jenis wankang bernama ‘Kim Banan’ dengan tonase 35 ton, Lim Tjioen dengan kapal jenis wankang bernama ‘Sen Singhang’ dengan tonase 128 ton, Kim Wattjouw dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Bin’ dengan tonase 30 ton, dan Kim Phokthaij dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Leksoeli’ dengan tonase 14 ton.

Di samping itu, laporan tahunan yang dibuat Stuers, serta tulisan-tulisan tentang Sumatra Barat pada masa Perang Padri juga menyebut adanya sejumlah perahu yang dimiliki orang Tionghoa di daerah ini. Perahu-perahu yang relatif kecil ini umumnya berlayar (berdagang) ke sejumlah negeri di utara Padang (Pariaman, Tiku, Katiagan, dan Air Bangis) dan ke sejumlah negeri di selatan Padang, seperti Salido, Pulau Cingkuak, Air Haji dan Indrapura. Kapal-kapal ini juga digunakan untuk berniaga ke pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Mentawai, Pulau Banyak, Pulau Batu, dan Pulau Nias).

Kesempatan menjadi penarik pajak pasar adalah momen historis yang sangat penting artinya bagi perluasan wilayah pengaruh (aktivitas) orang Tionghoa di Sumatra Barat. Menjadi penarik pajak pasar memberi kesempatan bagi orang Tionghoa untuk masuk ke daerah pedalaman. Hal ini disebabkan karena umumnya pasar-pasar yang akan dipajaki berada di daerah pedalaman. Sebagai telah disebut di atas, daerah pedalaman adalah daerah yang sebelumnya nyaris tidak pernah didatangi oleh orang Tionghoa pada masa sebelum Perang Padri.

Masuknya orang Tionghoa ke daerah pedalaman tidak hanya dilakoni oleh kalangan sipil (para penarik pajak), tetapi juga oleh kalangan militer. Boelhouwer menyebut bahwa ada sejumlah opsir Tionghoa dalam pasukan tentara Belanda yang ikut bertempur melawan kaum Padri di darek. Informasi Boelhouwer ini sangat penting artinya, karena setakat ini, hampir tidak ada tulisan yang mengungkapkan keterlibatan orang Tionghoa dalam kesatuan militer Belanda pada masa Perang Padri.

Di samping adanya sejumlah opsir yang menandai ikut-sertanya orang Tionghoa dalam aksi militer melawan kaum Padri, sesungguhnya pada saat itu juga ada sejumlah orang Tionghoa yang terlibat dalam korp keamanan. Sejak awal kekuasaannya, Belanda yang kekurangan sumber daya manusia dalam sektor keamanan warga (daerah) senantiasa berusaha melibat warga untuk ikut-serta menciptakan rust en orde (ketertiban dan keamanan). Pada awal tahun 1820-an misalnya orang Tionghoa dilibatkan dalam Burgerwacht (Satuan Pengamanan Kota). Pada tahun 1833 orang Tionghoa diikutsertakan dalam Korp Pengaman Kota yang dinamakan ‘Korp Cina’. Kesatuan ini terdiri dari sejumlah warga Tionghoa yang berbadan tegap (sehat) di bawah komando pimpinannya dan dengan senjatanya sendiri bertugas untuk menjaga ketertiban, mencegah kerusuhan (mendamaikan orang yang berkelahi), mencegah kebakaran atau ikut-serta memadamkan kebakaran, menjaga dan mengamankan kampung atau daerah tempat tinggal mereka. Mereka juga dibebani tugas mengamankan berbagai acara kegiatan sosial-keagamaan orang Tionghoa di Padang.

Altar Klenteng Tionghoa di Padang Akhir Abad ke-19

(Sumber: KITLV 3393)

Seperti disebut di atas, pimpinan tertinggi orang Tionghoa di Padang masa Perang Padri adalah setingkat Kapten (tidak berbeda dari kondisi terakhir era VOC). Salah satu Kapten Cina yang populer dan dekat hubungannya dengan pejabat Belanda saat itu adalah Lau Tiang King. Sang Kapten sering diundang dan ikut-serta dalam berbagai acara yang diadakan pejabat Belanda (Residen) di kota Padang.

Tidak hanya menjalin hubungan yang dekat dengan pejabat sipil atau militer Belanda, orang Tionghoa di Padang juga berhubungan akrab dengan NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij). NHM adalah sebuah perusahaan dagang Belanda yang didukung serta diberi banyak kemudahan oleh pemerintah dalam menjalankan bisnisnya. Beberapa tahun setelah perusahaan itu membuka keagenannya di Padang (1826), perusahan itu telah langsung akrab dengan saudagar Tionghoa dan menjadikannya sebagai salah satu mitra bisnisnya. Barang-barang yang didatangkan NHM dibeli dan kemudian didistribusikan oleh saudagar Tionghoa atau sebaliknya, sebagian barang yang akan dikirim keluar oleh NHM, didapatkan dari saudagar Tionghoa. Pada perkembangan selanjutnya, sejumlah saudagar Tionghoa juga tercatat sebagai ‘nasabah’ perusahaan itu, terutama sekali setelah perusahaan tersebut juga berperan sebagai lembaga perbankan. Mereka diberi modal (pinjaman) oleh NHM, namun sayangnya, banyak dari mereka yang gagal membayar hutang sehingga menyulitkan operasional NHM di kawasan tersebut.

Seperti telah disebut sebelumnya, orang Tionghoa tidak hanya bermukim dan beraktivitas di kota Padang. Mereka juga bermukim dan beraktivitas di Pariaman. Boelhouwer menyebut bahwa ada Kampung Cina di Pariaman, dan mereka adalah orang-orang yang rajin. Walaupun tidak disebutkan secara tegas tentang peran yang mereka mainkan, dari aktivitas yang dilakukan, misalnya “menjemur kopi di atas tikar di halaman rumahnya agar cepat kering” bisa dikatakan mereka adalah saudagar (pengumpul) kopi.

Tidak diketahui berapa jumlah orang Tionghoa di kota yang terletak di bagian utara Padang tersebut. Namun pada tahun 1836 dikatakan di sana adalah Letnan Cina.

Satu lagi informasi mengenai orang Tionghoa di Padang atau di Pariaman adalah mengenai kedekatan mereka dengan orang Nias. Stuers mengatakan bahwa sejumlah saudagar Tionghoa memiliki budak orang Nias. Sedangkan salah satu laporan pejabat NHM menyebut bahwa ada sejumlah orang Tionghoa yang memperistri orang Nias.

IV

Ada perbedaan respon yang berbeda antara orang Minang yang bermukim di daerah pesisir (Padang dan Pariaman) dengan yang tinggal di pedalaman terhadap orang Tionghoa. Urang Awak yang tinggal di Padang dan Pariaman nampaknya tidak mempersoalkan keberadaan dan peran sosial, politik, dan ekonomi yang dimainkan orang Tionghoa. Bahkan mereka tidak mempedulikan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah kepada orang Tionghoa (menjadi pachter atau penarik pajak) atau menjadi penjual candu. Kontak dan interaksi yang sudah lama menyebabkan cairnya hubungan di antara mereka.

Relatif tidak adanya respon negatif orang Minang yang tinggal di Padang atau Pariaman terhadap orang Tionghoa juga disebabkan oleh kuatnya posisi sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di kota-kota tersebut. Persatuan di antara mereka juga sangat kuat. Dalam hal ini, keberadaan ‘Burgerwacht’ dan ‘Korp Cina’ sangat penting artinya. Satuan ini akan melindungi komunitas Tionghoa dari setiap gangguan yang dilakukan kelompok masyarakat lain. Hal lain yang membuat minimnya respon negatif orang Minang di Padang dan Pariaman terhadap orang Tionghoa adalah adanya keberpihakan pemerintah terhadap mereka. Pembukaan Raad van Justitie (Pengadilan) di Padang tahun 1833 antara lain ditujukan untuk memberikan keadilan (perlindungan hukum) kepada orang Tionghoa, India, dan Eropa yang ‘dizalimi’ secara pidana atau perdata.

Berbeda dengan daerah pantai, Urang Awak di pedalaman memberi respon yang negatif terhadap kehadiran orang Tionghoa di negeri mereka. Dilaporkan bahwa berkali-kali penarik pajak (pasar) Tionghoa diserang oleh warga pedalaman. Berkali-kali mereka diburu oleh warga pedalaman sehingga lari terbirit-birit menyelamatkan diri ke rumah penghulu yang juga menjadi kaki tangan Belanda. Ada juga laporan tentang orang Tionghoa (penarik pajak) yang disamun (dirampok) di daerah pedalaman.

Respon negatif orang Minang di daerah pedalaman bisa dilihat dari dua sisi. Pertama mereka menyerang orang Tionghoa karena mereka tidak setuju terhadap pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Jadi, orang Tionghoa (pengumpul pajak Tionghoa) dalam hal ini hanya menjadi sasaran perlawanan terhadap kebijakan (pemerintah) Belanda semata. Dalam kasus ini, orang Tionghoa hanya menjadi tumbal kekesalan orang Minang terhadap pemerintah Belanda. Kedua, orang Minang memang tidak suka dengan orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda (menjadi penarik pajak) serta peran mereka sebagai penjual candu, suatu produk yang sangat ditentang oleh Padri. Karena ketidaksukaan itu mereka menyerang setiap orang Tionghoa penarik pajak atau yang mereka anggap sebagai wakil dari saudagar penjual candu.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, secara perlahan namun pasti, respon negatif tersebut mulai berkurang. Laporan pemerintah dan NHM mengatakan bahwa ada sejumlah pedagang pedalaman yang bekerja sama dengan saudagar Tionghoa di Padang. Mereka ‘mengambil barang’ pada saudagar Tionghoa di Padang dan menjual barang dagangan mereka kepada saudagar Tionghoa pula. Praktik ini semakin banyak terjadi pada tahun-tahun terakhir Perang Padri. Di Padang sendiri sejumlah saudagar Urang Awak bekerja sama dengan saudagar Tionghoa.

V

Perang Padri adalah salah iven historis terpenting dalam kaitannya dengan meluasnya sebaran pemukiman dan pengaruh jangkauan pengaruh sosial-ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat.

Selepas Perang Padri, seiring dengan munculnya pusat-pusat administrasi dan ekonomi di daerah pedalaman, semakin banyak orang Tionghoa yang menetap dan beraktivitas di darek. Perluasan wilayah pemukiman dan aktivitas niaga mereka ini mulai terlihat dengan nyata sejak tahun 1860-an, yakni seiring dengan mulai suksesnya Tanam Paksa Kopi dan bangkitnya ekonomi daerah pedalaman. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa orang Tionghoa bisa ditemukan di hampir semua kota penting di daerah pedalaman (dan pantai).

Sebagaimana di Padang, di kota-kota di daerah pedalaman atau di kawasan pantai orang Tionghoa tinggal mengelompok, umumnya di pusat kota, serta dekat gedung atau bangunan penting pemerintah. Sebagian pusat pemukiman mereka tersebut dinamakan Urang Awak dengan Kampuang Cino.

Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tidak ditemukan adanya catatan sejarah berkenaan dengan respon negatif, berupa penyerangan fisik terhadap orang Tionghoa, seperti yang terjadi pada masa Perang Padri, yang dilakukan Urang Awak.

Gaduh terhadap orang Tionghoa muncul lagi tahun 1944, saat mana adanya pembunuhan terhadap sejumlah orang Tionghoa di Pariaman. Dikatakan bahwa pembunuhan tersebut berhubungan erat dengan ulah beberapa orang di antara mereka yang diketahui menjadi mata-mata Jepang. Kemarahan terhadap ulah mata-mata itulah yang menyebabkan munculnya amuk massa terhadap orangTionghoa. Pembunuhan dan amuk massa tersebut menyebabkan eksodusnya orang Tionghoa dari kota itu, khususnya ke kota Padang.

Peristiwa itu menyebar luas ke seluruh Sumatra Barat sehingga banyak pula orang Tionghoa yang bermukim di kota-kota yang lebih kecil di Sumatra Barat juga pindah ke kota yang lebih besar, seperti Bukittinggi dan Padang.

Kegaduhan politik tahun 1950-an, seperti PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indoensia) dan gonjang-ganjing politik tahun 1960-an adalah iven historis lain yang juga menyebabkan semakin ditinggalkannya kota-kota, terutama di daerah pedalaman, oleh orang Tionghoa. Di samping itu, semakin lesunya ekonomi daerah semenjak tahun 1950-an, adalah faktor penting lain yang menyebabkan semakin terkonsentrasinya orang Tionghoa di kota yang (masih) penting dalam aktivitas ekonomi, yakni Padang dan Bukittinggi. Untuk masa yang akan datang, wallahu’alam.

Namun, di tengah naik-turunnya hubungan orang Awak dengan orang Tionghoa, ada yang menarik dari jalinan interaksi mereka. Orang Minang termasuk salah satu suku bangsa di Indoensia yang bisa dikatakan memiliki jiwa dagang yang nyaris setara dengan orang Tionghoa. Di samping itu, orang Tionghoa menjadi ‘role model’ dari suatu aktivitas yang menjadi ciri khas Urang Awak, yakni suka merantau. Bahkan salah satu dari sekian banyak jenis merantau dikaitkan dengan orang Tionghoa, yakni marantau cino (merantau meninggalkan kampung untuk waktu yang lama atau bahkan tidak pulang lagi ke kampung halamannya). Tidak itu saja, tambo, historiografi tradisional Minangkabau, menyebut Urang Awak berkerabat dengan orang Tionghoa. Tambo dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau (Sutan Maharaja) adalah saudara dari nenek moyang orang Tionghoa (Maharaja Dipang).

Sumber:

Almanak van Nederlandsch Indie voor het Jaar 1831-1833. Batavia: Land Drukkerij, 1831-1833.

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827

ARA NHM 9064;10, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1833/34

ARA NHM 9064; 15, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1838/39

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Pajak (Belasting) Pada Masa Perang Padri

Di tengah kecamuk Perang Padri, di tengah berbagai krisis dan wabah, pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak (belasting) kepada orang Minang. Seiring dengan perjalanan waktu, jenis pajak yang dikenakan semakin lama semakin beragam, dan orang yang kena pajak semakin lama semakin banyak. Urang Awak pendukung Belanda dalam memerangi kaum Padri juga ikut dipajaki. Namun yang lebih menyakitkan, di samping pemerintah, ada kelompok masyarakat tertentu yang diuntungkan dengan pengintroduksian pajak ini.

Pengenaan pajak yang makin lama semakin memberatkan, namun di sisi lain mendatangkan keuntungan kepada kelompok masyarakat tertentu, membuat sebagian besar warga masyarakat Sumatra Barat bereaksi, bahkan mereka memberontak. Aksi atau pemberontakan itu, walaupun untuk sementara, membuat pemerintah menarik kebijakannya memajaki rakyat. Nampaknya pemerintah perlu dilawan dulu baru mengubah kebijakannya.

Tulisan ini membicarakan berbagai jenis pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat pada masa Perang Padri, reaksi masyarakat terhadap pajak tersebut, serta respon pemerintah terhadap reaksi  masyarakat itu. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah: Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak terhadap warga Sumatra Barat? Apa saja jenis pajak yang dikenakan kepada warga daerah ini? Di samping pemerintah siapa lagi yang diuntungkan oleh pajak-pajak itu? Bagaimana reaksi rakyat terhadap pengenaan pajak dan bagaimana sikap pemerintah terhadap reaksi rakyat?

II

Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan pajak kepada masyarakat Minangkabau di daerah pedalaman tahun 1823. Itu berarti dua tahun setelah kolonialis itu menghajar kaum Padri dengan bantuan para pendukungnya, yang umumnya anak-kemanakan penghulu yang meminta bantuan Belanda di Padang. Pengenaan pajak tersebut diawali oleh usulan Du Puy sebagai Resident van Padang, yang diperkuat oleh komandan tentara daerah ini Letkol A.T. Raaff, kepada Gubernur Jendral. Duo petinggi sipil dan militer itu mengusulkan kepada Batavia agar mengenakan pajak terhadap warga keresidenan (termasuk warga Padang Hulu/Pedalaman), karena pajak akan dapat membantu keuangan pemerintah. Dikatakan juga bahwa pengenaan adalah bagian dari kewajiban warga kepada kerajaan (pemerintah). Di samping itu, juga dikemukakan keterangan yang pernah disampaikan oleh dua keturunan Raja Suraso, yang mengatakan bahwa mayoritas penghulu dan warga pedalaman mendukung kehadiran (kebijakan) Belanda.

Pengenaan pajak adalah salah satu dari sekian banyak usulan yang dikirim oleh Du Puy dan Raaff kepada Gubernur Jendaral. Satu lagi usulan yang sangat erat kaitannya dengan pengenaan pajak ini adalah usulan pembentukan (reorganisasi) pemerintahan daerah. Penataan pemerintahan daerah ini sangat penting artinya bagi pengenaan pajak, karena para pejabat yang diangkat itulah nantinya yang akan dijadikan sebagai ujung tombak pemungutan pajak.

Gubernur Jendral merespon usulan Du Puy dan Raaff dengan menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 4 November 1823. Dua dari sekian banyak isinya adalah disetujuinya pengenaan pajak dan penataan pemerintahan daerah.

Berkenaan dengan pengenaan pajak, Gubernur Jendral tidak serta-merta menerima usulan Du Puy dan Raaff. Namun dengan ‘penuh kebijaksanaan’ sang Gubernur Jendral hanya menyetujui pengenaan hoofdgeld (pajak kepala/pajak perseorangan) dan gebouwde eigendommen (pajak bangunan).

Gubernur Jendral mendasari keputusannya pada kenyataan sosial dan budaya daerah (Minang­kabau pedalaman khususnya), bahwa selama ini Urang Minang belum pernah mengenal dan dikenai pajak. Jadi untuk sementara, sebaiknya dikenakan saja ‘uang kepala’ dan ‘pajak bangunan’ kepada mereka. Anggaplah ini sebagai pengenalan pajak kepada mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa nanti, bila tiba masanya, akan dikenakan berbagai jenis pajak atau bea kepada rakyat.

Pajak perseorangan dikenakan sebesar f.1,- (satu gulden) per orang per tahun untuk orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan. Pajak bangunan dikenakan pajak paling tinggi f.6,- dan paling rendah f.1,- per tahun. Pajak dibayar dengan uang tunai atau hasil bumi atau lewat tenaga (untuk mengerjakan ‘proyek’ pemerintah, seperti pembuatan jalan, jembatan atau bangunan-bangunan lain milik pemerintah).

Pengenaan pajak seperti ini, untuk fase pengenalan, dirasa sudah ‘cukup’. Diperkirakan ada 800.000 penduduk keresidenan saat itu. Dari angka-angka itu pemerintah berharap bisa memajaki 2/5 bagian dari kesemua penduduk {sisanya 2/5 bagian diperkirakan adalah anak-anak di bawah 16 tahun dan 1/5 bagian lainnya adalah orang-orang yang sangat miskin, yang tidak mampu beli ‘brood’ atau roti (maksudnya beras) untuk dimakan, sehingga tidak mungkin dikenakan pajak}.

Satu lagi keputusan Gubernur Jendral adalah penataan (reorganisasi) pemerintah daerah. Penataan pemerintahan daerah ini ditandai dengan pengangkatan sejumlah pejabat Urang Awak, mulai dari Hoofdregent, Regnt, Kepala Laras, Kepala Nagari, dan Kepala Kampung dalam struktur pemerintahan daerah. Di samping sebagai imbalan kepada mereka yang berperan besar dalam proses berkuasanya Belanda di daerah pedalaman dan memerangi kaum Padri, pengangkatan para pejabat ini juga ditujukan untuk menyukseskan pengenaan (penarikan) pajak terhadap penduduk. Sebab salah satu klausul dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral itu adalah ‘pengenaan pajak’ akan dibantu oleh Inlandsche Hoofden (para pejabat Urang Awak).

Juga diputuskan bahwa pengumpulan pajak juga dilakukan oleh orang (pachter) China yang memenangkan ‘lelang’ yang diselenggarakan pemerintah.

Di samping kedua jenis pajak di atas, Batavia juga mengizinkan pengenaan bea (pajak) penjualan opium (candu) di daerah darek. Pajak opium dianggap berbeda dari kedua jenis pajak di atas, karena ‘lingkupnya lebih terbatas’, bukan masyarakat secara keseluruhan. Berbeda juga dengan kedua jenis pajak di atas, penarikan bea atau pajak penjualan candu, diutamakan, dilakukan oleh penghulu. Ada dua alasan pemberian hak kepada penghulu ini, pertama sebagai balas budi kepada mereka yang mendukung pemerintah, dan kedua sebagai bagian dari politik adu domba. Maksudnya, pemakaian candu adalah suatu praktik yang sangat dibenci oleh kaum Padri, dan dengan memberikan hak penarikan bea (pajak) candu kepada penghulu secara langsung atau tidak Belanda semakin membenturkan penghulu dengan kaum Padri. Dan demi imbalan yang akan didapat tentu para penghulu membela penjualan dan pemakaian candu.

Tiga jenis pajak yang diperkenalkan diakhir tahun 1823 di atas tidak berjalan seperti diharapkan. Hasil yang didapat relatif jauh dari target. Laporan resmi pemerintah menyalahkan perang yang masih berkecamuk sebagai alasan mandeknya penagihan pajak. Namun dalam kenyataannya, rakyat betul-betul tidak mau (menolak) membayar pajak.

Pada tahun 1825 (dan beberapa tahun berikutnya) tensi perang sedikit menurun. Ekspedisi militer Belanda ke dan di daerah pedalaman berkurang secara drastis.  Stuers yang menjabat Resident van Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah Taklukannya) saat itu mengambil kebijakan ‘berdamai’ dengan kaum Padri. Stuers membuat banyak perjanjian damai dengan Padri. Perjanjian damai ini sebetulnya hanya taktik Belanda semata, karena saat itu tentara mereka yang di Sumatra Barat dikerahkan ke Jawa untuk menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro. Menariknya, perjanjian-perjanjian damai yang sangat menguntungkan Belanda itu disetujui saja oleh pihak Padri. Salah satu dari sekian banyak isi perjanjian itu adalah pengenaan beberapa jenis pajak {seperti pasar, opium, tembakau, pajak kain, pajak minuman keras (suri atau tuak), pajak jalan, pajak penyembelihan, pajak garam (pajak terhadap garam yang didatangkan selain dari Pulau Jawa, dan beberapa jenis pajak lainnya}. Salah satu alasan pengenaan berbagai macam pajak ini adalah hasilnya nanti akan dinikmati oleh warga.

Pengenaan berbagai jenis pajak ini kemudian dikukuhkan dalam Surat Keputusan Residen yang ditandatangani oleh Stuers. Dalam Surat Keputusan itu juga ditegaskan bahwa hak pengumpulan pajak (khususnya pajak pasar) dipegang oleh Lau Tiang King, pemuka China di Padang. Hak ini dipegangnya untuk masa tiga tahun. Lau Tiang King juga mengsubkontrakkan pula hak penarikan pajak ini kepada sejumlah orang China lainnya.

Karena wilayah daerah administratif keresidenan juga mencakup pulau-pulau di lepas pantai barat, maka pajak juga dikenakan di pulau-pulau tersebut. Ankergeld (uang jangkar) adalah satu jenis pajak yang paling diandalkan dari pulau-pulau itu (terutama Pulau-pulau Batu dan Kepulauan Mentawai). Satu lagi jenis pajak yang ditargetkan akan menghasilkan banyak uang adalah pajak sarang burung. Di samping berbagai jenis pajak di atas, Sturs juga melanjutkan penarikan bea pelabuhan, dan pajak ekspor-impor berbagai komoditas perdagangan yang keluar masuk pelabuhan (tidak hanya untuk kota Padang, tetapi juga kota-kota lain, seperi Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji serta pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Batu dan Mentawai). Untuk aktivitas yang terakhir dibangun kantor duane (bea cukai) yang termasuk canggih di kota Padang saat itu.

Kantor Duane (Bea Cukai) dan Penjara Padang Tahun 1826

(Sumber: H.J.J.L. de Stuers, Vstiging en Uitbreiding der Nederlander ter Westkust van Sumatra (II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1850)

Pengenaan pajak pada berbagai ‘kebutuhan pokok’ warga memang bagian dari agenda politik ekonomi Belanda. Pengenaan pajak tersebut adalah bagian dari eksploitasi ekonomi pemerintah kolonial.

Di Sumatra Barat, pengenaan pajak adalah bagian dari ekspansi politik ke daerah pedalaman, karena sejak awal telah diperhitungkan, bahwa pengenaan pajak akan menjadi salah satu sumber pemasukan Belanda di daerah ini. Karena itu, data-data mengenai ‘anggaran pendapatan dan belanja daerah’ Pantai Barat Sumatra, senantiasa menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama.

Sejak pertama kali pajak diperkenalkan, pemerintah telah menghitung berapa ‘pendapatan” yang akan diperolehnya. Seperti yang disebutkan di atas, pada tahun 1823 penghitungan dimulai dari memperkirakan jumlah penduduk yang akan dikenakan hoofdgeld. Penghitungan juga dilakukan dengan memperkirakan berapa banyak konsumsi opium, candu, garam, kain (pakaian), minuman keras (suri atau tuak), banyaknya orang yang bepergian, banyaknya orang yang berjualan dan mendatangi pasar, dlsbnya. Hasil hitung-hitungannya ‘tidak begitu besar’. Umumnya, jumlah untuk masing-masing jenis pajak berkisar antara f.1.500,- hingga f.20.000,- per tahun (sebagian kecil lebih dari f.200.000,- per tahun).

Sama dengan pengalaman tahun 1823, pengenaan pajak yang diperkenalkan oleh Stuers tahun 1825 juga tidak bisa diterapkan sebagaimana yang diharapkan. Secara umum masyarakat menolak membayar pajak. Hanya pajak-pajak atau bea-bea komoditas atau kegiatan yang tidak begitu langsung bersintuhan dengan rakyat (hanya dengan saudagar) yang hampir seutuhnya bisa ditarik, seperti uang jangkar, pajak garam, pajak sarang burung, dlsbnya. Stuers menyebut bahwa pada tahun 1825-1826 ‘hanya’ terkumpul f.98.500,- Jumlah ini jelas sedikit, sebab tahun 1820 di kawasan pantai (Padang, Pariaman dan Pulau Cingkuak) saja, dikumpulkan sekitar f.60.000,- Padahal wilayah yang dikuasai pada tahun 1825/1826 jauh lebih luas, penduduknya banyak, dan umumnya adalah daerah yang kaya.

Memasuki tahun 1830-an, Belanda mulai mengubah kebijakan politiknya di Sumatra Barat. Perang Diponegoro telah usai. Tentara mulai didatangkan kembali ke Sumatra Barat. Kampanye militer melawan Padri semakin ditingkatkan. Orang-orang yang dianggap musuh atau berkianat kepada pemerintah dengan segera ditumpas atau dibuang ke daerah lain. Ini semua bisa terjadi, karena residen dan petinggi (komandan) militer yang memimpin daerah adalah orang-orang yang tegas dan memegang prinsip “perang harus dimenangkan“. Bersamaan dengan itu, sejumlah tokoh yang dulunya pro-Padri berpihak kepada Belanda, bahkan diangkat menjadi pejabat seperti regen. Akibatnya Belanda semakin berlantas angan terhadap orang Minang.

Sikap tegas dan kerasnya pemimpin sipil dan militer tersebut juga diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi, salah satu diantaranya adalah penarikan pajak. Tahun 1832 diputuskan untuk mengoptimalkan penarikan pajak. Residen Gilavry misalnya mengintruksikan aparatnya, termasuk para pejabat bumiputera (Kepala Laras dan Kepala Nagari) untuk mendukung upaya penarikan pajak.

Pengenaan pajak yang dilakukan dengan tegas itu (baik pembayaran dengan uang tunai atau kerja pada ‘proyek’ pemerintah) dirasakan masyarakat sebagai beban yang berat. Pengenaan pajak dirasa berat oleh masyarakat, karena perang yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun telah mengakibatkan ekonomi masyarakat turun ke tingkat yang rendah.

Bukan hanya besarnya dan banyaknya pajak yang mesti dibayar dengan tunai atau dengan tenaga, sikap para pejabat pemerintah dari kalangan Urang Awak (Kepala Laras dan Kepala Nagari) serta penarik pajak (pachter) China juga membuat masyarakat semakin muak dengan kebijakan pemerintah ini. Itulah sebabnya muncul perlawanan dari rakyat. Perlawanan pertama ditujukan terhadap para pachter China. Ada sejumlah laporan yang menyebut bahwa penduduk memburu atau bahkan menyerang pachter China di sejumlah pasar di Tanah Datar dan Agam. Ada dari mereka yang luka-luka atau babak belur dihajar massa, dan ada pula yang lari terbirit-birit dikejar penduduk, serta terpaksa menyelamatkan diri ke rumah penghulu (yang juga kaki tangan Belanda).

Perlawanan kedua ditujukan kepada pemerintah. Warga daerah, baik kaum Padri dan non-Padri, melawan secara serentak. Melawan dalam artian menyerang dan membunuh aparat pemerintah, baik tentara atau pihak sipil, termasuk pejabat Urang Awak pendukung Belanda. Perlawanan terjadi di mana-mana dan banyak korban yang jatuh di pihak Belanda. Di Lubuk Sikaping misalnya jatuh korban sekitar 60 orang, di Bonjol sebanyak 40-an orang, di Suliki 20-an orang, di sejumlah daerah di Agam dan Tanah Datar juga jatuh korban yang jumlah puluhan orang.

Pemerintah kaget melihat reaksi rakyat tersebut. Sampai-sampai Komisaris (Gubernur) Jendral Hindia Belanda Johannes van den Bosch menyempatkan datang ke Sumatra Barat saat itu. Dia mengakui bahwa rakyat menderita dan rakyat kecewa dengan sikap atau kebijakan yang dipraktikkan pemerintah. Karena itu, salah satu dari sekian banyak solusi yang ditawarkan van den Bosch adalah mengakhiri pengenaan sejumlah pajak dan kerja wajib.

Solusi atau tawaran van den Bosch ini kemudian ditegaskan dalam Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah janji-janji khidmad pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Sumatra Barat. Karena berhubungan dengan sikap dan keputusan yang diambil oleh van den Bosch, maka salah satu janji yang dinyatakan dalam Plakat Panjang ini adalah penghapusan berbagai macam, kerja wajib pada proyek-proyek pemerintah (dikecualikan pajak atau bea opium, pajak pelabuhan).

Penghentian pengenaan pajak dianggap sebagai salah satu kemenangan oleh Urang Awak. Mereka sangat senang dengan sikap pemerintah itu. Janji untuk menghentikan penarikan pajak dan sejumlah janji lain yang dinyatakan dalam Plakat Panjang selalu diingat sebagai “kemenangan” oleh kebanyakan orang Minang. Mereka menang karena mereka melawan, mereka menang karena melawan secara bersama (kaum Padri dan juga non-Padri). Karena itu, kebanggaan akan Plakat Panjang adalah kebanggaan seluruh orang Minang.

III

Untuk beberapa dekade setelah usainya Perang Padri, Belanda memang mematuhi janjinya, tidak mengenakan pajak kepada orang Minang. Namun pada tahun 1908, janji tersebut dilanggar Belanda. Belanda memperkenalkan pajak, bahkan pajak yang dikenakan jauh lebih banyak dari masa Perang Padri. Sebagian dari pajak yang diperkenalkan tersebut adalah jenis pajak yang dulu sudah dikenakan kepada penduduk, tetapi sebagian lainnya adalah jenis yang baru. Beberapa di antara pajak-pajak itu adalah: pajak kepala, pajak penghasilan, pajak pasar, pajak jalan, pajak ganti kerja rodi, pajak tanah, pajak keuntungan, pajak peralatan rumah tangga, pajak rumah gadang (rumah adat), pajak tembakau, pajak anjing dan pajak ternak (sapi dan kerbau), dll.

Khusus untuk yang terakhir ini (pajak ternak sapi dan kerbau), walaupun setiap tahun penduduk membayar pajak atas ternaknya, namun jika mereka ingin menjual ternak itu, maka mereka harus pula membayar sejumlah pajak (bea) lagi. Di antaranya, pertama kali mereka harus membayar uang izin penjualan, kemudian harus membayar pajak masuk pasar, setelah ternak terjual dikenai lagi pajak (pajak penjualan), sebelum ternak dipotong dikenai lagi pajak (bea/pajak pemeriksaan kesehatan hewan), masuk rumah potong bayar pajak lagi dan terakhir ada lagi pajak sembelihan.

Pembayaran pajak yang hampir sama juga ditemukan pada berbagai aktivitas perekonomian dan kegiatan yang lain , seperti pajak jual beli di pasar, pajakmembawa barang, pajak industri, pajak pertambangan, pajak perkebunan, dan masih ada banyak, dlsbnya.

Banyak sekali pajak yang dikenakan kepada penduduk Sumatra Barat saat itu. Mengapa Belanda melanggar janji yang dikemukakannya saat Perang Padri?

Ada banyak jawaban untuk itu, dan dua di antanya adalah: pertama, Belanda mengalami kesukaran ekonomi yang serius (defisit) di Sumatra Barat. Tanam paksa kopi yang menjadi sumber pemasukan utama pemerintah di Sumatra Barat sejak tahun 1840-an nyaris tidak lagi memberikan keuntungan pada tahun-tahun pertama abad ke-20 (bahkan sejak tahun-tahun terakhir abad ke-19). Sejalan dengan itu potnsi niaga danekonomiSumatra Barat juga menurun dengan drastis. Untuk itu perlu dicari sumber pemasukan yang baru. Dan pajak adalah alternatif yang paling mungkin serta paling mudah; kedua, berbeda dengan masa Perang Padri, pada awal abad ke-20 Belanda telah betul-betul menguasai Sumatra Barat secara politik (bahkan hampir seluruh Hindia Belanda). Di samping itu, percaya diri pemerintah tengah tumbuh, apalagi saat itu dia baru saja memenangkan Perang Aceh. Kondisi seperti ini membuat pemerintah, memiliki keleluasaan membuat dan menjalankan politik/kebijakan ekonomi apapun yang mereka anggap akan menguntungkannya. Kondisi ini, juga membuat pemerintah melakukan apa saja terhadap upaya yang merintangi kebijakan yang dijalankannya, termasuk memberantas dengan menggunakan kekerasan secara cepat dan besar-besaran terhadap perlawanan rakyat atas kebijakan yang mereka buat.

Pengenaan pajak oleh Belanda pada awal abad ke-20 memang menimbulkan perlawanan dari warga Sumatra Barat. Terjadi pemberontakan di banyak tempat, seperti di Kamang, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Talawi, dlsbnya. Namun, perlawanan-perlawanan itu dengan segera bisa ditumpas, banyak korban dikalangan penduduk, dan sebagian pemimpinnya tewas terbunuh, dipenjara atau dibuang ke daerah lain. Artinya, perlawanan rakyat menentang pajak pada awal abad ke-20 tidak membuahkan hasil.

Kegagalan perlawanan secara fisik pada tahun 1908 sesungguhnya dilanjutkan oleh Urang Awak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga tahun 1920-an. Kali ini dilakukan melalui cara-cara non-politik, seperti himbauan sebagai hasil rapat (pertemuan) yang dadakan oleh para penghulu dan politisi, atau resolusi-resolusi yang dinyatakan oleh partai politik (Syarikat Islam misalnya). Namun semua upaya itu tidak membuahkan hasil. Pemerintah tetap mengenakan pajak pada rakyat, dan sejak saat itu pajak telah menjadi bagian dari kewajiban rakyat.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Perang Padri dan Bagi-Bagi Jabatan pada Pemerintahan Daerah

Bagi-bagi jabatan atau pemberian jabatan oleh pejabat yang memenangkan kontestasi politik bukanlah hal yang baru di Indonesia. Penciptaan jabatan atau posisi baru dalam struktur pemerintahan yang diperuntukkan bagi orang yang membantu pemenangan pejabat atau untuk anggota ‘tim sukses’ oleh pejabat yang berkuasa bukan pula hal yang baru di negeri ini. Hal ini nampaknya telah menjadi tradisi dan memiliki sejarah yang panjang dan telah dipraktikkan oleh banyak pejabat serta dalam banyak kesempatan di masa lampau.

Kolonialis Belanda adalah salah satu ‘sosok’ yang ikut-serta memperkenalkan dan mentradisikan bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan  baru untuk para pendukungnya, serta Perang Padri adalah sebuah iven historis, di mana ‘tradisi’ ini dengan sangat nyata dipraktikkan.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan bagaimana tradisi bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan baru dalam struktur pemerintahan daerah diperkenalkan oleh pejabat Belanda pada masa Perang Padri. Sehubungan dengan itu ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: pertama, mengapa pejabat Belanda membagi-bagi atau memberikan jabatan kepada para pendukungnya? Kepada siapa jabatan-jabatan itu diberikan? Jabatan-jabatan apa yang diciptakan untuk para pendukung tersebut? Bagaimana pola dan strategi bagi-bagi jabatan oleh para pejabat itu? Dan terakhir bagaimana tradisi bagi-bagi jabatan atau penciptaan jabatan tersebut dalam perjalanan sejarah Sumatra Barat (Minangkabau) secara umum?

II

Bagi-bagi jabatan oleh pejabat Belanda pada masa Perang Padri berhubungan erat dengan kerjasama yang mereka lakukan dengan beberapa tokoh daerah dan penciptaan jabatan-jabatan baru ada hubungannya dengan pembentukan unit administratif pemerintahan (reorganisasi pemerintahan) oleh Belanda di daerah ini. Namun, di atas dari semua itu, bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan-jabatan baru sangat nyata ‘nuansa balas budi’ oleh pejabat Belanda kepada orang-orang yang telah membantunya.

Keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, secara khusus, ada hubungannya dengan permintaan bantuan yang diajukan oleh keturunan Raja Pagaruyung dan penandatangan Perjanjian 10 Februari 1821. Permintaan bantuan yang dilakukan berulang-ulang kali itulah yang akhirnya direspon  oleh Du Puy, yang saat itu menjabat sebagai Residen Padang. Respon itu kemudian diwujudkan dalam sebuah perjanjian lima pasal yang ditandatangani oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar Syah dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir dari Suruaso, Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso, serta 12 penghulu yang mewakili 108 penghulu lainnya di Tanah Datar dan sekitarnya.

Dalam perjanjian tersebut dinyatakan beberapa hal, di antaranya ara penghulu dari negeri-negeri di bekas Kerajaan Minangkabau akan menyerahkan Pagaruyung, Sungai Tarab dan Suruaso, serta negeri-negari lainnya di dalam kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda, serta pemerintah Hindia Belanda akan menaklukkan negeri-negeri yang diserahkan itu, dan melindungi penduduk negeri-negeri tersebut dari kaum Padri, serta mengusir kaum Padri dan mengembalikan ketentraman di pedalaman. Di samping itu juga disepakati bahwa para penghulu tersebut akan menyediakan kaum lelaki untuk menjadi kuli pembawa barang perlengkapan serdadu Belanda dan menyediakan makanan.

Dalam praktiknya, kaum penghulu juga mengerahkan anak kemenakan mereka untuk membantu Belanda memerangi kaum Padri. Sebagaimana dilaporkan Stuers, Nahuijs, Boelhouwer, Lange dan sejumlah penulis lainnya, ada ribuan anak kemenakan penghulu tersebut yang menyertai Belanda memerangi kaum Padri.

Perjanjian 10 Februari 1821 adalah dokumen yang melegitimasi Belanda melakukan ekspansi politik ke pedalamaman Minangkabau. Dan dukungan anak kemenakan kaum penghulu itulah yang menjadi salah satu faktor yang membantu Belanda sukses mendesak kaum Padri dan akhirnya memenangkan perang.

Seiring dengan kemenangannya melawan Padri, Belanda memperluas wilayah administratifnya ke daerah pedalaman. Perluasan wilayah itu diwujudkan dengan penggantian nama Residentie van Padang menjadi Residentie van Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukkannya). Perluasan daerah administratif, yang juga bisa dikatakan sebagai reorganisasi pemerintahan daerah tahun 182 ini, merupakan perluasan wilayah Residentie van Padang (yang hanya mencakup daerah sekitar Padang, Pariaman, Air Haji, dan Pulau Cingkuak) ditambah dengan daerah Tanah Datar dan sebagian Agam.

Tahun 1825 dan 1833 karena daerah yang berhasil dikuasai semakin luas, maka wilayah yang menjadi bagian dari daerah administratif Residentie van Padang en Onderhoorigheden juga semakin luas. Pada tahun 1833, walupun belum dikuasai sepenuhnya, Belanda telah memasuki hampir seluruh wilayah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sebagian Tapanuli bagian selatan.

Perluasan daerah administratif atau reorganisasi pemerintahan pada masa Perang Padri memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan daerah Sumatra Barat. Arti penting yang dihadirkannya adalah dilibatkannya orang Minang dalam jajaran pemerintahan dan diciptakannya sejumlah jabatan baru dalam struktur pemerintah daerah, jabatan yang baru atau posisi yang belum pernah dikenal sebelumnya di daerah ini.

Proses pengikutsertaan orang Minang dalam pemerintahan daerah serta penciptaan jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan daerah ini juga memiliki dinamika yang khas. Dikatakan khas karena adanya sejumlah pejabat Belanda dengan kebijakan yang berbeda dalam proses bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan dalam pemerintahan daerah ini.

III

A.T. Raaff adalah pejabat Belanda (Resident van Padangsche Onderhoorigheden) yang pertama kali membagi-bagi jabatan kepada sejumlah Urang Awak, dan Raaff sekaligus menjadi tokoh pertama yang menciptakan jabatan-jabatan tertentu kepada Urang Awak. Satu tokoh yang mendapat hadiah jabatan itu adalah Sutan Alam Bagagar Syah. Tidak diragukan lagi, Sutan Alam Bagagar Syah dihadiahi jabatan karena perannya dalam mengundang Belanda agar mau memerangi kaum Padri, serta perannya sebagai salah satu penandatangan Perjanjian 10 Februari 1821 yang melempangkan jalan bagi Belanda untuk menguasai Minangkabau serta melakukan aksi militer memerangi kaum Padri.

Raaff juga dianggap sebagai pejabat yang pertama kali menciptakan jabatan yang baru, jabatan yang belum pernah ada sebelumnya dalam struktur pemerintahan daerah Sumatra Barat (Minangkabau). Setidaknya ada tiga jabatan baru yang diciptakan Raaff untuk pendukungnya: pertama, jabatan Hoofdregent (Regen Kepala); kedua, jabatan Regent (Regen); ketiga, jabatan Larashoofd (Kepala Laras). Di samping ketiga jabatan ini ada dua lagi jabatan yang diakui Raaff, yakni Dorphoofd (Kepala Nagari) dan Kepala Korong (Gehucht).

Tiga jabatan yang disebut pertama tidak pernah ada dalam struktur pemerintahan daerah (Hindia Belanda) di Minangkabau (Pantai Barat Sumatar) sebelumnya dan juga tidak pernah ada dalam struktur pemerintahan tradisional Minangkabau sebelumnya. Sedangkan jabatan Dorphoofd (Kepala Nagari) dab Gehuchthoofd (Kepala Korong/Kampung) sudah dikenal orang Minang sebelumnya.

Hoofdregent mengepalai sebuah wilayah yang dinamakan Hoofdafdeeling, Regent mengepalai daerah setingkat Regentschap, Larashoofd mengepalai Laras (Kelarasan) daerah yang terdiri beberapa nagari, sedangkan Dorfhoofd mengepalai daerah setingkat nagari, dan Gehuchthoofd mengepalai Korong/Kampung).

Ada dua Hoofdafdeelingen saat pertama kali diperkenalkan, yakni Hoofdafdeeling van Padang (yang merupakan gabungan dari empat Regentschappen yaitu 1. Padang, 2. Pariaman, 3. Pulau Cingkuak dan 4. Air Haji) serta Hoofdafdeelingvan Minangkabau (yang terdiri dari empat Regentschappen yaitu 1. Tanah Datar, 2. Tanah Datar Di Bawah (Lintau), 3. Agam, 4. Limapuluh Kota).

Sutan Alam Bagagar Syah dihadiahi jabatan sebagai Hoofderegent van Minangkabau dan sekaligus menjadi Regent van Tanah Datar. Dia juga dianugerahi gelar Raja Alam Minangkabau dengan gaji antara f.300,- sampai dengan f.400,- per bulan.

Walaupun dibentuk empat Regentschappen, namun karena kekuasaan Belanda belum sempurna di kawasan pedalaman, maka jabatan Regen Tanah Datar Di Bawah (Lintau) dan Regen Limapuluh Kota masih ditiadakan.

Belum utuhnya kekuasaan Belanda di daerah pedalaman menyebabkan pemberian jabatan untuk para pendukung Belanda lebih tertumpu di Tanah Datar dan sebagian Agam. Itu pulalah sebabnya hingga tahun 1825 jabatan Kepala Laras baru bisa diberikan kepada para penghulu di dua daerah tersebut. Menurut Kielstra sampai tahun 1825 ada sebanyak 23 Kepala Laras yang diangkat oleh Belanda di Tanah Datar dan 7 Kepala Laras di Agam.  Banyaknya Kepala Laras yang diangkat di Tanah Datar sangat beralasan, karena para penghulu daerah itulah yang ikut-serta menandangtangani Perjanjian 10 Februari 1821 dan dengan sungguh-sungguh mengerahkan anak kemenakan mereka membantu Belanda memerangi kaum Padri.

Informasi mengenai jumlah Kepala Laras tahun 1825 di atas diberikan oleh de Stuers, yang saat itu menjabat Residen Padang dan Daerah Taklukannnya.

Masa pemerintahan de Stuers juga memberikan informasi kepada kita tentang keberadaan Kepala Nagari dalam pemerintahan daerah. Stuers menjadikan nagari sebagai ujung tombak pemerintahan daerah. Karena itu, di samping mengakui keberadaan Nagari dan Kepala Nagari yang telah ada sebelumnya, Stuers juga pernah berupaya membentuk 80 nagari baru di daerah ini (namun karena kondisi belum memungkinkan, dalam artian kekuasaan Belanda belum utuh, maka hanya sekitar 30-an yang terwujud). Jabatan Kepala Nagari umumnya diberikan kepada para penghulu yang ikut menandatangani Perjanjian 10 Februari 1821 dan juga penghulu yang aktif mendukung kampanye militer Belanda mengganyang Padri.

Di samping memfokuskan perhatian pada Kepala Nagari dan unit pemerintahan setingkat Nagari di daerah pedalaman, Stuers juga tercatat sebagai Residen yang aktif membagi-bagi jabatan serta menciptakan jabatan Regen di kawasan pantai. Pada masa pemerintahannyalah dibentuk Regentschap Indrapura dan Pariaman.

H.J.J.L. de Stuers, Salah Seorang Resident van Padang en Onderhoorheden yang Terlibat Aktif dan bagi-bagi Jabatan dan Penciptaan Jabatan Baru untuk Para Pendukung Belanda di Sumatra Barat (Minangkabau)

Memasuki tahun 1830-an bagi-bagi jabatan tetap dilanjutkan oleh pejabat Residen yang berkuasa saat itu, dan Elout (1831-1834) tercatat sebagai Residen yang paling royal memberi jabatan kepada pendukungnya. Setakat ini, dari sumber yang tersedia, setidaknya ada tiga jabatan Regen yang diberikan dan diciptakannya di Minangkabau pada tahun-tahun tersebut. Ketiga jabatan itu diberikan kepada Tuanku Mudo yang dipercaya sebagai Regen Bonjol, Tuanku Halaban sebagai Regen Halaban dan Tuanku Batipuh (Kali Raja Asal Pariangan) sebagai Regen Batipuah.

Bagi-bagi jabatan ini juga dilakukannya di daerah Tapanuli yang saat itu menjadi bagian Residentie Padang en Onderhoorigheden. Jabatan Regen diberikan kepada Raja Gadombang yang diakui Belanda sangat setia dan sungguh-sungguh membantu pemerintah memerangi kaum Padri. Raja Gadombang tercatat sebagai sosok yang juga mengerahkan ribuan warga membantu Belanda memerangi kaum Padri.

Pada era Elout, gaji yang diberikan kepada Regen ternyata tidak sama besarnya. Gaji tersebut bervariasi antara f.250,- hingga f.500,- per bulan. Gaji yang paling besar diterima oleh Regen Batipuh, kemudian Raja Gadombang dan yang paling sedikit adalah Regen Halaban.

Gaji Kepala Laras, baik pada masa pemerintahan Raaff, Stuers atau Elout berkisar antara f.40,- hingga f.100,- per bulan. Sedangkan gaji Kepala Nagari berkisar antara f.20,- sampai dengan f.30,- per bulan.

Gaji Hoofdregent,  Regen, Kepala Laras dan Kepala Nagari dianggap sangat besar untuk saat itu. Di samping gaji, para pejabat tersebut juga mendapat fasilitas yang lainnya seperti adanya pembantu yang digaji oleh pemerintah serta kemudahan lain, seperti hak-hak istimewa dalam tata pemerintahan (politik) dan sosial-kemasyarakatan lainnya.

IV

Ada perbedaan yang cukup menarik dari bagi-bagi jabatan yang diberikan oleh tiga residen daerah ini. Raaff memberikan jabatan kepada sosok-sosok yang berperan-serta secara langsung mengundang dan menandatangani perjanjian yang memungkinkan Belanda terlibat dalam Perang Padri. Raaff sangat menghargai Alam Bagagar Syah sehingga diberi jabatan yang paling tinggi (Hoofdregent van Minangkabau) dan sekaligus menjadi Regent van Tanah Datar kepada Alam Bagagar Syah.

Raaff nampaknya masing menganggap raja sebagai lembaga dianggap bertuah dan memiliki peran yang besar dalam upaya melempangkan jalannya melakukan ekspansi politik ke daerah pedalaman.

Bagi-bagi jabatan para era Raaff masih terbatas di daerah Tanah Datar dan sebagian Agam.

Berbeda dengan Raaf, Stuers lebih memokuskan pemberian jabatan kepada Kepala Nagari. Stuers berkeinginan menjadi nagari sebagai ujung tombak pemerintahannya dan sekaligus garda terdepan dalam upanya pemerintah melawan Padri. Di mata Stuers para Kepala Nagari inilah yang paling langsung berhubungan dengan warga (penduduk). Karena itulah, di samping melanjutkan keberadaan Kepala Nagari yang telah ada sebelumnya, Stuers berupaya menciptakan sebanyak 80 Kepala Nagari (yang teralisir hanya sekitar 30-an).

Seperti yang disebut di atas, Stuers juga memberikan perhatian yang besar bagi pengangkatan Kepala Laras. Pada masa pemerintahannyalah keberadaan dan informasi mengenai Kepala Laras betul-betul nyata dan bisa ditemukan. Stuers memandang bahwa Kepala Laras adalah pejabat yang penting dalam membantu menjalankan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah daerah.

Politik ‘Pro-Kepala Nagari’ dan ‘Pro-Kepala Laras’ Stuer ini juga terlihat dari keputusannya menghilangkan jabatan Hoofdregent dan menghapuskan keberadaan Keregenan Tanah Datar Di Bawah (Lintau) dan Keregenan Limapuluh Kota, serta tidak mengangkat satupun Regen sampai akhir masa jabatannya.

Tidak hanya menghilangkan jabatan Hoofdregent yang diberikan kepada Sutan Alam Bagagarsyah, Stuers juga meniadakan keberadaan Raja dan Kerajaan Minangkabau. Dengan kata lain, Stuers betul-betul tidak menghargai keberadaan pejabat dan jabatan pada level atas dalam struktur pemerintahan daerah.

Satu lagi kebijakan politik Stuers adalah membentuk Keregenan Indrapura dan Pariaman. Pembentukan kedua Keregenan ini ada hubungannya dengan pengurangan tensi, atau ketegangan antara Belanda dengan kaum Padri. Sebab sejak tahun 1825 ada pengurangan jumlah tentara Belanda di daerah ini. Sejak tahun itu sebagian tentara Belanda, bahkan tentara pilihan, dikirim ke Pulau Jawa untuk mengakhiri pelawanan Pangeran Diponegoro. Dalam keadaan minim tentara itulah Stuers cenderung mengalihkan aksi militer dan kebijakan politik (termasuk pengangkatan pejabat dan pembentukan unit administratif yang baru) ke kawasan pantai barat. Pada saat itu pulalah Stuers berupaya menghidupkan aktivitas niaga di kawasan pantai barat, di mana Keregenan Indrapura dan Pariaman berada.

Kebijakan bagi-bagi jabatan yang dijalankan Residen Elout sangat berbeda dari apa yang dipraktikkan Raaff dan Stuers. Elout cenderung menghadiahi orang yang betul-betul membantunya melawan kaum Padri dan cenderung untuk memberikan jabatan setingkat Regen. Mereka adalah orang-orang yang membantu Belanda di daerah-daerah yang hingga akhir 1820an relatif belum jatuh ke tangan Belanda, seperti Tuanku Muda menjadi Regen Bonjol, Tuanku Halaban, Intan Bekati menjadi Regen Halaban dan Tuanku Batipuh, Kali Raja Asal Negeri Pariangan sebagai Regen Batipuh. Mereka adalah orang-orang yang ‘pasang badan’ atau turun langsung ke medan laga menghadapi kaum Padri atau memberikan nasihat yang membantu Belanda ‘menjinakkan’ kaum Padri. Bila dilihat dari gelar Regen Bonjol, Halaban, dan Batipuh yakni Tuanku Muda, Tuanku Halaban, dan Tuanku Batipuh terlihat juga kecendrungan lain dari Elout, yakni memberikan jabatan Regen kepada ulama (setidaknya sosok yang memiliki pengaruh atau pernah menjadi bagian dari kaum Padri). Tuanku adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang tinggi.

Bisa dikatakan bahwa jabatan Regen dihadiahkan Elout kepada sosok-sosok yang nyaris tidak ada kaitannya dengan undangan kepada Belanda untuk masuk ke Minangkabau serta penandatanganan Perjanjian 10 Februari 1821. Tidak hanya itu, Elout bahkan menganggap tidak ada artinya bantuan yang diberikan oleh para ‘supporter’ atau ‘tim sukses’ generasi awal mereka. Penihilan bantuan mereka itu antara lain terlihat dari ditangkap serta dibuangnya Sutan Alam Bagagarsyah ke Batavia karena dituduh berkianat kepada Belanda (tuduhan ini kemudian dianulir karena dianggap tidak terbukti  oleh sebuah tim yang dipimpin oleh Stuers).

Demikianlah fenomena bagi-bagai jabatan dan penciptaan jabatan baru pada masa Perang Padri yang sangat dinamis dan sarat kepentingan.

V

Dari gambar di atas bisa dikatakan bahwa fenomena bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan baru marak dilakukan pada masa Perang Padri. Namun perlu juga dipahami, bahwa fenomena ini bukanlah hal yang betul-betul terjadi di Sumatera Barat (Minangkabau) pada masa Perang Padri dan bukan pula fenomena yang terakhir dipraktikkan pada masa Perag Padri. Fenomena bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan-jabatan baru ternyata telah diperkenalkan oleh Belanda pada masa sebelum Perang Padri dan tetap dilanjutkan pada era setelah Perang Padri.

Pemberian jabatan kepada Urang Awak, dengan jabatan yang bergengsi tinggi, dilakukan oleh Belanda (VOC) tahun 1667, yakni satu tahun setelah kompeni itu berkuasa di daerah ini. Jabatan itu diberikan kepada Orang Kaya Kecil, satu dari delapan penghulu di Padang, yang tahun 1663 pergi ke Batavia untuk mengundang dan meminta bantuan VOC mengusir Aceh dari daerahnya. Atas undangannya itulah VOC memiliki semacam ‘mandat’ melakukan aksi militer memerangi dan mengusir Aceh dari Padang khususnya dan Pantai Barat Sumatra pada umumnya.

Setelah berhasil mendepak Aceh, VOC menganugerahi Orang Kaya Kecil gelar Panglima dengan ‘honorable inkomste’ (penghasilan/gaji penghormatan) sebesar 15 kati lada atas setiap 330 kati lada yang diekspor dari kawasan ini.

VOC tidak hanya menganugerahi gelar pada Orang Kaya Kecil, tetapi juga kepada delapan penghulu yang ikut mendukung berkuasanya kompeni tersebut di daerah ini. Seiring dengan perjalanan waktu, seiring pula dengan semakin banyaknya bantuan yang diberikan oleh penghulu di kota itu, maka tahun 1730 jumlah penghulu ditingkatkan menjadi 12 dan salah seorang dari mereka dianugerahi gelar Datuk Bendahara. VOC juga menentukan bahwa bila Panglima berasal dari suku penganut tradisi Koto Piliang maka Datuk Bendahara haruslah bagian dari tradisi Bodi Caniago.

Sesungguhnya, sebelum Belanda, praktik pemberian gelar ini telah dilakukan oleh Aceh. Bahkan, gelar Panglima itu sendiri diadopsi VOC dari gelar yang diberikan pengausa Aceh terhadap pejabat bumiputera tertinggi yang mewakinya di kota Padang.

Jadi bagi-bagi atau pemberian jabatan telah dilakukan di daerah ini sejak waktu yang jauh di masa lampau. Dan bagi-bagi jabatan ditujukan kepada sosok-sosk yang mendukung serta membantu pejabat atau pemerintah yang berkuasa.

Setelah Perang Padri usai, bagi-bagi atau penciptaan jabatan baru tetap dilanjutkan oleh pejabat Belanda. A.V. Michiels yang menjadi Gouverneur van Sumatra’s Westkust antara tahun 1837 sampai 1849 misalnya memperkenakan jabatan Penghulu Kepala yang diciptakan untuk mengepalai sebuah Nagari. Jabatan ini, sebagian didasarkan pada hak waris secara tradisional dan sebagian lagi ditentukan oleh keputusan yang ditetapkan oleh pejabat (Belanda) yang akan mengangkatnya. Gubernur van Swieten (1849-1858) melanjutkan praktik pemberian gelar Tuanku Laras dan Penghulu Kepala serta penciptaan jabatan baru. Van Swiete memperkenalkan jabatan baru yang dinamakan Penghulu Suku Rodi.

Berbeda dengan bagi-bagi jabatan pada masa Perang Padri yang diberikan kepada orang-orang yang membantu pemerintah memerangi kaum Padri, maka pemberian jabatan pada era pasca-Padri diperuntukan bagi figur-figur yang membantu pemerintah menyukseskan jalannya pemerintahan serta kebijakan politik ekonomi pemerintah, seperti praktik Tanam Paksa Kopi yang diperkenalkan tahun 1847.

Pola pemberian jabatan kepada orang-orang yang membantu pejabat khususnya dan pemerintah umumnya tetap berlanjut pada awal abad ke-20 hingga beberapa waktu belakangan di Sumatra Barat. Ada banyak kasus dan contoh serta ada banyak sumber untuk itu. Fenomena ini adalah pengalaman sejarah yang sangat menarik dan penting untuk diungkapkan. Dengan mempelajari pengalaman masa lampau itu diharapkan akan lebih mudah memahami praktik bagi-bagi atau pemberian jabatan kepada para pendukung atau ‘tim sukses’ yang marak dilakukan akhir-akhir ini. Mudah-mudahan ada sejarawan atau peminat sejarah yang ingin mengkaji serta mengungkapkan fenomena ini dengan sungguh-sungguh dan lebih komprehensif. Semoga.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Westenenk, L.C., “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Wabah dan Penyakit Pada Masa Perang Padri

Perang Padri adalah perang yang sarat dengan kekerasan. Tujuan masing-masing pihak yang terlibat dalam perang itu adalah memenangkan pertempuran. Untuk menang dihalalkan segala macam cara, termasuk membunuh atau mencederai lawan. Tekad masing-masing pihak ini mengakibatkan jatuhnya korban. Ada banyak korban jiwa, harta dan benda dalam perang yang berlangsung sekitar dua puluh tahun tersebut. Sayangnya, sampai saat ini, belum atau tidak diketahui berapa banyak jiwa yang melayang dan tidak diketahui pula berapa jumlah orang yang luka-luka atau cacat akibat perang tersebut. Namun dari berbagai sumber yang sampai ke tangan kita, bisa dipastikan jumlahnya pasti mencapai ribuan orang.

Perang tidak saja mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan mengakibatkan luka atau cacat tubuh, tetapi juga menyebabkan terusirnya banyak warga dari kampung (nagari)nya, rusaknya atau hancurnya rumah, mesjid, sarana dan prasarana transportasi, sarana dan prasarana sanitasi, kesukaran-kesukaran ekonomi, merosotnya kesejahteraan warga, serta kacaunya sistem, struktur dan praktik sosial-budaya. Berbagai dampak perang tersebut, secara langsung atau tidak, berpengaruh terhadap kesehatan warga. Dengan kata lain, kesehatan warga menjadi menurun. Tidak diragukan lagi, bahwa pada masa Perang Padri ada banyak warga yang sakit. Warga sakit karena daya tahan tubuh mereka yang berkurang sehingga tidak mampu melawan bibit penyakit yang sudah umum menjangkiti warga. Di samping itu, mereka sakit karena berkembangnya berbagai penyakit dan wabah di tengah masyarakat.

Setakat ini, persoalan penyakit atau wabah yang berkembang selama Perang Padri nyaris belum pernah dikaji atau diungkapkan oleh sejarawan atau peminat sejarah. Padahal, aspek ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iven historis tersebut dan nyata adanya pada saat itu. Penyakit dan wabah adalah ‘siksaan’ lain yang dialami warga pada saat perang berlangsung, dan ini sesungguhnya sebuah aspek perang yang sangat layak diungkapkan dan dikemukakan.

Tulisan ini mencoba menampilkan beberapa penyakit dan wabah yang dialami warga dan melanda Sumatra Barat pada masa berlangsungnya Perang Padri. Karena itu beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: pertama, penyakit-penyakit apa sajakah yang meruyak pada masa Perang Padri?; kedua, wabah apakah yang melanda Sumatra Barat selama masa Perang Padri? Mengapa penyakit atau wabah tersebut bisa muncul dan bagaimana warga daerah atau tentara (pemerintah) Belanda mengatasinya?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyan ini, pada bagian berikut akan disajikan beberapa penyakit yang lazim dikenal atau menjangkiti warga Sumatra Barat.

II

Sebagaimana diketahui, penyakit adalah sesuatu yang menyebabkan atau terjadinya gangguan yang berbahaya pada makhluk hidup, yang umumnya terkait dengan tanda atau gejala tertentu dan berbeda dari cidera fisik. Penyakit juga sering dipahami sebagai gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau kelainan sistem fa’al atau jaringan pada organ tubuh (pada makhluk hidup). Sedangkan wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang dalam waktu yang relatif cepat serta sering disertai oleh jatuhnya korban (jiwa) dalam jumlah yang banyak.

Adanya penyakit adalah hal yang lazim di Minangkabau dan sudah lama menjangkiti orang Minang. Sebagai mana dikutip oleh seorang peneliti pada awal tahun 1860-an di kawasan Agam, ada ‘responden’ yang mengatakan bahwa penyakit sudah ada semenjak manusia (orang Minang) ada.

Dikatakan ada sejumlah penyakit yang lazim menjangkiti Urang Awak. Seperti dicatat oleh Ludeking, ada sekitar 30-an penyakit yang dikenal Minangkabau hingga pertengahan abad ke-19. Beberapa di antaranya adalah sakit kulit {kudis, puru (frambusia), kurap longsong, kurap ayam, kurap besi, biring, kayap, dlsbnya), demam (kuro atau malaria dan kapiala), cacingan, sakit mata, sakit telinga, batuk (TBC), ketumbuhan (cacar), diare, sakit gigi, gondok, sawan (epilepsi), asma, kolera, pneumonia, hepatitis, tetanus, spilis, dlsbnya.

Diakui juga, bahwa sebagian dari penyakit ini sudah begitu biasa menyerang atau diidap penduduk, namun beberapa di antaranya tidak begitu sering menjangkiti warga, seperti spilis. Namun untuk kasus yang terakhir ini, dikatakan juga, bisa saja kasusnya berkembang di tengah masyarakat, namun warga tidak mau mengatakan alias mereka cenderung untuk merahasiakannya.

Ludeking juga mengutip pendapat warga yang mengatakan bahwa kehilangan kesadaran sesudah mengonsumsi genever (sejenis minuman keras) dan sesudah mengonsumsi opium (madat) juga sebagai penyakit. Kondisi tubuh yang kurus, tidak bertenaga, dan hilang gairah hidup atau sebaliknya menjadi begitu agresif sesudah mengonsumsi genever serta opium juga dikatakan warga sebagai penyakit (walaupun begitu warga tidak memberikan nama tertentu terhadap gejala yang dialami pengidapnya).

Gila juga dianggap sebagai penyakit. Sebagai bagian dari dunia timur yang dikatakan juga sarat dengan unsur yang sifatnya irasional, maka untuk penyakit gila ini Urang Awak cenderung mengaitkannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia magis. Seperti yang dikemukakan van der Toorn, penyakit gila yang diidap seseorang bisa saja disebabkan oleh dukun.

Satu lagi penyakit yang berhubungan dengan ‘dunia gaib‘ adalah keracunan. Di samping keracunan oleh racun yang ada di alam (dari getah, daun, kulit atau akar tumbuhan), keracunan sebagaimana dipahami Urang Awak adalah penyakit yang disebabkan oleh racun yang dibuat dan dikirim oleh dukun melalui kekuatan gaib. Penyakit yang disebabkan oleh racun ‘gaib’ ini dikisahkan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, bahwa Datuk Bandaro meregang nyawa karena ‘termakan’ (racun) yang diberikan orang padanya saat diadakan pesta.

Van der Toorn mengatakan, bahwa sesungguhnya hampir semua penyakit yang dikenal orang Minangkabau bisa dikaitkan penyebabnya dengan dunia gaib. Beberapa contoh peyakit yang disebut Toorn adalah sakit gila (sijundai), sakit kulit (biring), sakit perut (naik galang-galang), susah melahirkan karena bayi yang akan keluar ‘ditahan’, dlsbnya.

Di samping hal-hal yang bersifat irasional, ada sejumlah penyebab (penyebab empiris) munculnya penyakit-penyakit itu. Sebagaimaan dikemukakan oleh Ludeking dan Kleiweg, penyebab umum yang dimaksud adalah lingkungan, makanan, dan pakaian serta pola hidup yang kurang atau tidak sehat.

Walaupun dikatakan cukup makmur dan sejahtera, dalam berbagai sumber berupa buku atau dokumen (seperti karya Nahuijs, Stuers, Elout, Boelhouwer, Michiels, Ludeking, Kleiweg, serta sejumlah laporan bulanan dan tahunan yang dibuat oleh Gubenur Sumatra’s Westkust) diketahui bahwa secara umum lingkungan tempat tinggal Urang Awak masih banyak yang tidak sehat. Dikatakan bahwa banyak rumah di Minangkabau kurang bagus sirkulasi udaranya, tata ruangnya tidak bagus dan isi rumah sangat padat dan terdiri dari berbagai macam barang ditumpuk. Bagian bawah rumah juga sering dijadikan sebagai kandang ayam atau sapi, pekarangan rumah becek, peralatan makan dan minum kurang bersih, tempat mandi, cuci, dan buang air yang tidak lengkap/kurang baik, dlsbnya. Lingkungan yang kurang sehat ini juga dikaitkan dengan adanya tikus atau kecoak atau serangga-serangga lain yang berkeliaran di dalam rumah atau juga masuk ke dalam makanan atau bahan makanan.

Dikatakan juga bahwa makanan Urang Awak tempo doeloe kurang diolah dengan baik. Sering ditemukan daging yang kurang dibersihkan dengan baik dan atau dimasak tidak sampai sempurna.

Sebagian besar pakaian Urang Awak juga tidak sehat. Pakaian yang dipakai tidak atau kurang bersih. Pakaian sering dipakai dalam waktu yang lama (berhari-hari). Bahkan dikatakan pakaian yang dipakai juga banyak tuma.

Kondisi di atas sesungguhnya adalah gambaran pada abad ke-19. Namun dari bahan yang lebih tua yang berasal dari abad ke-16 (Dorleans) ditemukan juga catatan mengenai lingkungan yang kotor dan badan Urang Awak yang tidak bersih.

Demikianlah, hingga masa Perang Padri kondisi lingkungan yang kurang sehat, makanan dan pola makan yang kurang sempurna pengolahannya, dan pakaian yang umumnya tidak bersih menjadi faktor-faktor penyebab utama banyak penyakit yang berkembang dan diidap warga Sumatra Barat.

Di samping adanya sejumlah penyakit yang sudah dianggap lazim diidap warga, wabah sebagai kejadian ‘luar biasa’ juga pernah melanda daerah ini. Di samping menjadi bagian dari meruyaknya sejenis penyakit dalam wilayah yang luas (regional atau global), sejumlah wabah penyakit juga melanda Sumatra Barat dalam skala lokal, maksud wabah yang terjadi dalam wilayah Sumatra Barat sendiri. Wabah seperti ini di antaranya terjadi pada masa Perang Padri.

III

Sumber-sumber yang berasal dari pelaku sejarah atau saksi hidup Perang Padri menyebut ada sejumlah penyakit dan wabah yang berkembang di Sumatra Barat saat itu. Namun karena dikisahkan oleh dua kelompok orang dengan dua pemahaman yang berbeda tentang konsep penyakit serta wabah, maka ada dua bentuk penyakit dan wabah yang disajikan dalam catatan mereka. Bentuk pertama adalah penyakit sebagaimana dipahami ‘orang modern’ yang rasional (dunia medis) dan kedua penyakit sebagaimana dipahami ‘orang kampung’ yang irasional.

Salah satu jenis penyakit yang banyak disebut adalah penyakit kulit. Nahuijs, Stuers, Boelhouwer, Lange menyebut adanya penyakit kulit yang diidap warga, termasuk para tentara Belanda (tentara Eropa, bumiputera non-Minang dan lasykar Melayu pendukung Belanda), serta juga kalangan Padri. Mereka juga menyebut bahwa penyakit itu banyak diidap oleh masyarakat luas.

Nahuijs sendiri mengatakan bahwa dia sempat mengidap penyakit ini. Dia juga mengatakan bahkan dia melihat sejumlah warga yang mengidap penyakit kulit di kawasan Tanah Datar. Boelhouwer juga melihat sejumlah orang yang menderita sakit kulit di kawasan Rao. Dia bahkan menyebut bahwa ada banyak warga yang kotor pakaiannya dan nyaris tidak mengindahkan kebersihan tubuhnya dan itu diduga sebagai penyebab banyaknya warga mengidap penyakit ini. Walaupun tidak menyebut secara tegas di mana lokasinya, Stuers dalam laporan tahunannya juga mengatakan bahwa penyakit kulit banyak diidap orang Melayu (sebutan terhadap orang Minang non-Padri), serta  juga sejumlah tentara Belanda dan hulp-tropen (tentara Jawa, Madura).

Tiga penyakit lain yang pernah meruyak pada masa Perang Padri adalah kolera, demam, dan disentri. Tiga penyakit menyerang banyak tentara dan warga daerah, serta luas wilayah penyebarannya (sehingga bisa dikatakan sebagai wabah).

Kolera adalah penyakit (wabah) yang relatif awal disebut dan juga sering terjadi pada kurun waktu Perang Padri. Pada awal tahun 1820-an Anderson mengemukakan bahwa kolera mewabah di bagian timur Sumatra. Karena orang Minang, khususnya kaum Padri sering bepergian ke kawasan timur Sumatra diperkirakan penyakit ini juga menyebar ke kawasan pedalaman (Minangkabau).

Penyakit ini dikatakan berjangkit lagi pada awal tahun 1830-an. Sebuah pengalaman nyata mengenai wabah ini dikisahkan oleh Boelhouwer. Pengalaman Boelhouwer ini juga dikemukakan kembali oleh Kielstra dan Lange. Dikatakan bahwa dalam pelayaran dari Batavia menuju Padang, satu minggu setelah belayar, di kapal yang ditumpangi Boelhouwer (Jessy) berjangkit penyakit kolera, penyakit yang dikatakan Boelhouwer sebagai sesuatu ‘yang mengerikan.’ Dikatakan mengerikan karena datang dengan tiba-tiba dan langsung menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Sering terjadi, penumpang kapal masih berdiri atau berada dalam keadaan sehat, namun tiba-tiba dia mengaduh dan mengeluh dengan mengatakan “aduh, sakit sekujur tubuh saya dan sakit sekali perut saya”, kemudian dia terjatuh. Sang korban dibawa ke ruangan perawatan, segera dirawat dokter, tetapi tidak lama kemudian dia telah meninggal. Dikatakan mengerikan juga terlihat data yang disajikan, bahwa pernah pada suatu pagi tujuh jenazah yang dilemparkan ke laut. Dikatakan mengerikan bahwa dalam beberapa hari saja telah jatuh korban 25 orang tentara dan 12 anak kapal (pelaut). Ini adalah jumlah yang besar, karena di kapal itu ada 200 tentara, berarti seperdelepan anggota pasukan telah tewas oleh penyakit mengerikan tersebut.

Berkumpulnya orang yang demikian banyak pada suatu tempat yang relatif kecil serta penggunaan berbagai fasilitas, terutama fasilitas sanitasi secara bersama, adalah satu penyebab meruyaknya penyakit tersebut dalam waktu yang sangat singkat. Disyukuri, bahwa penyakit ini ‘hanya’ berjangkit beberapa hari. Cepatnya fase wabah ini, antara lain disebabkan oleh penanganan yang tepat dan cepat, hal ini disebabkan oleh tersedianya dan dimungkinkan oleh kinerja dokter yang menangani penyakit tersebut.

Penyakit lainnya adalah demam. Deman yang mengerikan juga pernah mewabah pada masa Perang Padri. Sebagaimana dikutip oleh Mohammad Radjab, pada akhir Oktober 1835 seorang budak perempuan Batak berhasil melarikan diri dari bonjol (kubu atau benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol). Dia lari dan meminta perlindungan Belanda. Banyak hal yang diceritakan wanita tersebut tentang keadaan dalam benteng, salah satu di antaranya adalah mewabahnya semacam penyakit (demam). Dikatakan bahwa tiga atau empat orang warga bonjol menjadi korban demam ini setiap hari.

Penyebab meruyaknya penyakit ini, diperkirakan, ada hubungannya dengan berbagai kesulitan yang dihadapi warga bonjol. Warga mengalami kekurang pangan yang serius. Hal ini sesuai benar dengan informasi yang dikatakan perempuan Batak itu, bahwa penghuni bonjol saat itu sudah sangat menderita. Cadangan beras sudah habis, sehingga prajurit Padri mesti keluar bonjol pada malam hari untuk mendapatkan atau membeli beras yang harganya sangat mahal. Makan dijatah dan budak-budak hanya diberi makan satu kali satu hari dalam porsi yang sedikit, serta tanpa garam (garam hanya untuk para tuanku dan keluarganya).

Kekurangan pangan dan juga kekurangan berbagai bahan kebutuhan hidup lainnya disebabkan oleh pengepungan dan serangan-srangan yang dilakukan Belanda terhadap benteng. Sejak pembunuhan 11 Januari 1833, yang mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak 46 orang serdadu (27 orang tentara Belanda dan 19 orang tentara bumiputera non-Minang), Belanda mengintensifkan upaya penaklukan bonjol. Upaya penaklukan dan pengepungan yang lama inilah yang menyebabkan kurangnya cadangan pangan dan berbagai kebutuhan hidup lainnya di kalangan kaum Padri penduduk bonjol. Kekurangan-kekurangan itu pulalah yang menjadi penyebab lemahnya daya tahan tubuh mereka ketika ada bakteri/virus sebagi sumber peyakit datang.

Demam yang mematikan sesungguhnya terjadi berulang kali selama masa Perang Padri. Korbannya tidak hanya rakyat atau Urang Awak, tetapi juga para serdadu Belanda. Dikalangan serdadu, korbannya tidak hanya meliputi para prajurit, tetapi juga perwira petinggi militernya. Salah satu korban demam mengerikan ini adalah Letnan Kolonel A.T. Raaff, komandan tentara dan kemudian juga residen untuk daerah ini. Dalam tulisan-tulisan yang dibuat pada masa atau segera setelah Perang Padri berakhir, seperti laporan tahunan Stuer, buku Stuers, Kielstra dan Lange, dikatakan bahwa penyebab kematian Raaff hanya ‘karena sangat lelah berperang melawan Padri”. Namun dalam tulisan yang muncul pada awal abad ke-20, di antaranya Memorie van Overgave J. Ballot, yang ditulis 12 Agustus 1915, dikatakan bahwa penyebab kematiannya adalah demam yang parah, dikatakan ‘Raaff overleed namelijk aan zware koortsen’ (Raaff meninggal karena demam yang parah).

Tidak hanya Raaf, sejumlah perwira dan prajurit yang lain juga dilaporkan pernah diserang deman parah ini. Kielstra menyebut bahwa Baud, Acting Resident pengganti Raaff juga pernah menderita deman parah sehingga kondisinya menjadi sangat lemah. Kielstra menyebut bahwa penyakit yang sama juga menyerang sejumlah perwira dan prajurit di Tanah Datar dan Agam. Salah satu dari sekian banyak korban itu adalah seorang komandan pasukan artileri ke-13, ajudan Baud yang meninggal di Fort de Kock. Di samping itu disebut juga tentang sejumlah prajurit yang sempat dirawat karena demam yang ganas di Rumah Sakit Fort de Kock.

Penyakit lain yang juga mewabah pada masa Padri adalah disentri. Ada sejumlah laporan tentang wabah ini, namun satu yang paling sering disebut adalah wabah yang terjadi tahun 1823. Kielstra menulis bahwa jumlah tentara Belanda yang sakit sangat banyak. 21 anggota serdadu Belanda dari pasukan keenam dari battalion infantri pertama diserang oleh penyakit ini. Jumlah serdadu bumiputera (Jawa dan Madura) yang sakit sekitar 20 sampai 30 orang. Sedangkan jumlah yang sakit dari kalangan ‘serdadu Urang Awak’ pendukung Belanda tidak terhitung banyaknya (karena memang tidak dihitung). Banyak dari penderita disentri ini kemudian meninggal. Kondisi lapangan, terutama penggunaan fasilitas sanitasi secara bersama, diperkirakan penyebab utama berjangkitnya penyakit ini. Pola pengolahan makanan yang kurang atau tidak sempurna juga diduga sebagai penyebab meruyaknya penyakit ini.  

Di samping penyakit-penyakit yang disebut di atas, ada satu  lagi penyakit yang berjangkit pada masa Perang Padri, yakni penyakit galkoort (deman empedu). Salah satu kasus penyakit ini terjadi di Pariaman. Pada saat berjangkitnya tidak ada kampung di Pariaman yang tidak kena, dan nyaris tidak ada rumah yang bebas dari serangan penyakit ini. Dikatakan bahwa rata-rata enam sampai delapan penghuni rumah jatuh sakit. Komandan tentara Belanda di Pariaman dan sejumlah prajuritnya juga diserang penyakit ini. Demam empedu dianggap sebagai salah satu penyakit yang ganas, sehingga tidak bisa diobat oleh dokter yang ada di Pariaman. Untuk pengobatannya orang Belanda yang sakit mesti dibawa ke Padang.

Ada sejumlah penyakit lain yang berjangkit di Sumatra Barat dan menyerang warga daerah, serta kalangan tentara. Namun penyakit-penyakit itu tidak disebutkan (tidak diketahui namanya). Salah satu penyakit itu dilaporkan oleh Elout, dan dikutip Kielstra. Dikatakan bahwa dalam waktu lima bulan, 70 orang dari 283 serdadu yang datang bersama Elout ke Sumatra Barat  menderita sakit. Apa nama penyakitnya tidak disebutkan.

Penyakit yang tidak disebutkan namanya yang diderita oleh serdadu juga disebut oleh Muhammad Radjab. Radjab menyebut ada sejumlah penyakit yang menyerang serdadu Belanda dan itu menambah beban atau penderitaan mereka yang senantiasa diserang oleh pejuang Padri.

IV

Sumber-sumber dari tangan pertama pihak Padri, seperti Memoar Tuanku Imam Bonjol atau Fakih Saghir, nyaris menyebut upaya yang dilakukan pihak Padri dalam rangka mengatasi penyakit atau wabah yang menyerang penduduk. Walaupun demikian, merujuk keterangan dari Ludeking dan Zwaan, diperkirakan bahwa pengobatan dilakukan dengan cara tradisional, dengan menggunaan dedauan, kulit pohon, dan akar tumbuhan. Di samping itu, pengobatan juga dilakukan dengan menggunakan ‘kepandaian’ sang tuanku. Sebagaimana disebut oleh Darwis Datoek Madjolelo, Tuanku Imam Bonjol sendiri adalah sosok yang memiliki kekuatan gaib (‘kepandaian’) yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Kepandaian yang sama juga dimiliki oleh sejumlah tuanku yang lain.

Sebaliknya, sumber-sumber yang dibuat Belanda menginformasikan adanya upaya yang mereka lakukan dan upaya itu bersifat modern. Upaya-upaya itu antara lain dengan menyediakan tenaga dokter dan para medis lainnya. Dalam setiap gugus tempur yang dikirim dari Batavia ke Padang (Sumatera Barat) atau pada setiap kapal perang selalu ada dokter dan para medis. Stuers, Lange, dan Kielstra juga menyebut bahwa senantiasa ada dokter dan para medis yang diikutsertakan dalam setiap kampanye militer di daerah ini.  

Dengan kata lain, adanya dokter dan para medis yang senantiasa siap memberikan perawatan atau pengobatan terhadap tentara yang sakit adalah contoh lain tentang kesiapsiagaan Belanda mengatasi penyakit atau wabah yang mungkin akan menjangkiti pasukannya.

Di samping adanya dokter dan para medis, untuk mendukung kampanye militer dan membantu tentara yang sakit atau cedera di medan tempur, pemerintah Belanda kolonial juga mendirikan rumah sakit. Ada sejumlah rumah sakit yang didirikan saat itu, di antaranya di Fort van der Capellen, Fort de Kock, Pariaman, Suliki, Lubuk Sikaping, dlsbnya. Rumah sakit-rumah sakit ini sangat besar artinya dalam merawat tentara yang sakit.

Dalam beberapa catatan dan tulisan dikatakan bahwa dokter tentara adalah dokter hebat. Obat yang digunakan adalah obat-obat yang dibrikan dokter tentara adalah obat-obat terbaik. Rumah sakit tentara adalah lembaga pengobatan yang hebat dan terbaik.

Sejak masa Perang Padri hingga awal abad ke-20, ada ‘mitos’ di Sumatra Barat yang mengatakan bahwa dokter tentara (dan obat-obat yang diberikannya), serta rumah sakit tentara adalah dokter dan rumah sakit yang hebat. Ada ‘mitos’ yang mengatakan bahwa setiap penyakit akan sembuh kalau dibawa dirawat oleh dokter tentara atau berobat ke rumah sakit tentara.

Mitos seperti ini diperkuat pula oleh kehadiran rumah sakit tentara yang terbesar dan terlengkap untuk Sumatra pada awal abad ke-20 (yang pada awalnya ditujukan untuk merawat tentara yang sakit atau cedera dalam Perang Aceh).

Penyakit atau wabah yang berjangkit pada masa Perang Padri serta penanganan yang dilakukan terhadapnya, menjadi dasar bagi upaya pengenalan dan pemberantasan penyakit oleh ahli dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1850-an. Sejak pertengahan abad ke-19 dilakukan sejumlah penelitian mengenai jenis-jenis penyakit dan wabah yang pernah ada di Sumatra Barat. Dilakukan juga penyelidikan terhadap cara-cara penanggulangan atau pengobatan penyakit-penyakit tersebut oleh Urang Awak. Seperti yang telah disebut pada bagian terdahulu, tokoh yang melakukan upaya ini antara lain E.W.A. Ludeking, J.P. Kleiweg de Zwaan dan J.L. van der Toorn.

Seperti dikatakan oleh Ludeking, Zwaan dan Toorn, Urang Awak lazim melakukan penanganan atau pengobatan secara tradisional. Pengobatan secara trasidisional ini, antara lain, dilakukan dengan menggunakan ramuan alami yang terbuat dari berbagai macam dedaunan, kulit pohon dan akar pohon. Pengobatan ‘cara tradisional’ juga berarti menggunakan jasa dukun.

Di samping itu, Nahuijs mengatakan bahwa orang Minang juga menggunakan sumber air panas (mata air panas) untuk pengobatan. Penyakit yang disembuhkan melalui pengobatan melalui cara ini adalah penyakit kulit. Metode pengobatan yang dilakukan si penderita adalah merendamkan diri mereka ke dalam air panas (sumur panas bumi) untuk beberapa lama dan dilakukan secara berulang-ulang selama beberapa hari. Nahuijs melihat sejumlah warga Tanah Datar yang mengobati penyakit kulit yang mereka idap di sumur-sumur air panas yang banyak terdapat di kawasan itu. Menuru Nahuijs, diperkirakan, kandungan belerang yang ada dalam air tersebut mampu membunuh bakteri penyebab sakit kulit itu.

Perang Padri tidak hanya mewariskan pengalaman perang yang mengakibatkan korban jiwa dan cacat fisik bagi tentara atau warga daerah, tetapi juga catatan-catatan – yang umumnya terserak-serak dalam berbagai dokumen dan buku – mengenai beberapa jenis penyakit dan berbagai wabah yang pernah berkembang serta meruyak pada masa perang tersebut. Informasi dalam dokumen atau buku-buku tersebut menanti jamahan tangan para sejarawan dan peminat sejarah untuk mengungkapkannya dengan lebih sungguh-sungguh dan komprehensif. Pengungkapan yang lebih sungguh-sungguh dan komprehensif diharapkan akan menghasilkan sebuah karya yang utuh tentang penyakit dan wabah di Sumatra Barat pada masa Perang Padri. Informasi yang disajikan tersebut pasti merupakan suatu pengetahuan yang bisa dijadikan sebagai modal bagi kita untuk memahami dunia kesehatan Urang Awak di masa lalu. Isi buku tersebut akan menjadi dasar pula guna memahami jenis-jenis penyakit dan wabah yang senantiasa ada dan menyerang warga daerah, serta cara-cara yang telah dijalankan dalam rangka mengobati dan memberantas penyakit dan wabah tersebut. Kita tunggu karya tersebut, dan tulisan ini hanya bersifat pemancing bagi lahirnya karya yang utuh itu.

Sumber:

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in M.DCCC.XXIII. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadell, M.DCCC.XXVI.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bonjol, Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatn, 1951.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Dorleans, Bernard, Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2016.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Ludeking, E.W.A., Natuur en Geneeskundige Topographie van Agam (Westkust van Sumatra). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867.

Memorie van Overgave J. Ballot, 1915.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Zwaan, J.P. Kleiweg de, De Geneeskunde der Minangkau-Maleiers. Amsterdam: Meulenhoff & Co., 1910.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Bonjol Pada Masa Perang Padri

Bonjol adalah benteng terakhir kaum Padri menghadapi Belanda. Penaklukan Bonjol adalah ‘the ultimate target’ yang harus dicapai oleh tentara Belanda. Di mata pemerintah Belanda, klaim kemenangan melawan Padri baru bisa dinyatakan kalau Bonjol dikuasai dan Tuanku Imam ditawan atau dikalahkan.

Dalam kenyataannya, sangat susah bagi Belanda untuk menaklukkan Bonjol. Dibutuhkan waktu yang relatif lama dan pengerahan tentara yang banyak sebelum kolonialis itu berhasil memenangkan perang. Mengapa itu bisa terjadi? Apakah ada kaitan antara susahnya proses penaklukan tersebut dengan lingkungan geografis kawasan di mana Bonjol berada? Apakah ada kaitannya dengan sistem pertahanan/perbentengan Padri? Atau apakah ada hubungannya dengan keadaan sosial, politik, dan budaya masyarakat setempat?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sehingga bisa menyajikan gambaran mengenai Bonjol pada masa Perang Padri. Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada bagian berikut ini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai sejarah nama Bonjol tersebut.

II

Bonjol sesungguhnya bukanlah nama ‘asli’ dari unit permukiman yang menjadi basis pejuang Padri pada tahun-tahun perang mereka melawan Belanda. Nama ini muncul dalam kaitannya dengan Gerakan dan Perang Padri. Seperti yang akan dibicarakan nanti, nama ini muncul karena dibuatnya kubu atau benteng pertahanan oleh kaum Padri di kawasan itu. Kubu atau benteng pertahanan dalam bahasa Minangkabau lama (Minangkabau archaic word) disebut dengan bonjo (bonjol).

Karena di masa lalu, khususnya pada masa Perang Padri, oleh Urang Awak banyak dibangun kubu atau benteng pertahanan, maka ada banyak unit permukiman (kampung atau nagari) di Minangkabau yang dinamai dengan bonjol (atau diawali dengan kata bonjol), di samping kubu atau benteng. Beberapa nama kampung atau nagari yang memakai kata bonjo (bonjol) ini adalah Bonjo Alam, Bonjo Itam, Bonjo Panjang, dlsbnya. Jadi, Bonjol adalah nama yang mulai lazim disebut untuk unit permukiman yang menjadi kampung sekaligus markas Imam Bonjol dan pengikutnya pada masa Gerakan atau Perang Padri. Dan pada awalnya, penamaan itu hanya untuk sebagian kecil dari kawasan yang dewasa ini disebut Bonjol. Seperti yang terlihat pada peta yang dilampirkan pada tulisan ini, Bonjol yang dimaksud pada masa Perang itu hanya terbatas pada sebuah kawasan yang betul-betul berperan sebagai kubu, benteng pertahanan dan ‘markas’ kaum Padri.

Lukisan Bonjol, Mesjid dan Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi)

(Sumber: “Bondjol’ dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, II-1, 1839)

Segera setelah perang usai dan kaum Padri dikalahkan, maka untuk menghapuskan memory collective warga setempat atas kehebatan bonjol (kubu atau benteng pertahanan) mereka, maka pemerintah kolonial mengganti nama unit permukiman ini dengan nama ‘ala Belanda, yakni Kotta Generaal Cochius. Pergantian nama ini dilakukan tahun 1838. Sejak saat itu, penamaan Bonjol dihilangkan dalam berbagai catatan resmi dan administratif kolonial, dan diganti dengan Kotta Generaal Cochius).

Sama dengan Bukittinggi dan Batusangkar, Bonjol sesungguhnya di masa lalu juga pernah memiliki nama Belanda.

Harus dipahami, bahwa di mata kolonialis Belanda, pemberian nama seorang tokoh penting kepada sebuah kota atau daerah berarti bahwa unit permukiman atau wilayah itu dianggap penting serta memiliki arti istimewa oleh pemerintah kolonial. Hanya kota atau unit permukiman dan wilayah tertentu yang diberi nama tokoh hebat Belanda oleh pemerintah kolonial, dan itu – sekali lagi – adalah kota atau unit permukinan yang memegang peranan penting atau memiliki arti istimewa di mata mereka. Artinya, Bonjol adalah salah satu unit permukiman atau daerah yang memiliki arti istimewa di mata kolonialis Belanda.

Karena nama Kotta Generaal Cochius dan Bonjol adalah nama-nama yang muncul belakangan, lantas, apa nama ‘asli’ dari unit permukiman di mana Bonjol itu berada?

III

Seperti disajikan pada peta yang dilampirkan dalam tulisan ini, dalam bahasa Belanda, kawasan di mana Bonjol itu berada dinamakan Vallei van Alahan Pandjang (Lembah Alahan Panjang). Seperti dinyatakan juga dalam sejumlah sumber Belanda, penamaan ini diambil dari nama sungai yang mengalir di kawasan ini yaitu Sungai (Batang) Alahan Panjang. Di samping itu, sumber lokal, terutama Naskah Tuanku Imam Bonjol, juga menamakan unit permukiman ini dengan Alahan Panjang.

Peta Lembah Alahan Panjang

(Sumber: Lange, H.M., Het Nederlandsh Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra, (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch, 1854).

Dikatakan, bahwa Lembah Alahan Panjang adalah sebuah kawasan yang memiliki panjang 3 palen (4,5 kilometer) panjang dan lebar 1 paal (1,5 kilometer), yang berbentuk lingkaran memanjang dari utara ke selatan, serta dikelilingi oleh pegunungan (bukit-bukit) yang berhutan lebat. Pegungan atau bukit-bukit itu sendiri sesungguhnya sangat besar artinya bagi kawasan ini, karena di pintu masuk ke lembah ini dari luar berada di pegunungan itu. Menurut analisis ahli perang Belanda, jika bisa dijaga atau dipertahankan dengan benar (sungguh-sungguh), maka semua pintu masuk ke lembah (kawasan ini) sudah terlindungi oleh pegunungan atau bukit-bukit itu.

Pintu masuk atau akses jalan itu menghubungkan Alahan Panjang dengan negeri-negeri atau kawasan-kawasan yang ada di sekitarnya. Jalan ke arah utara menghubungkan Alahan Panjang dengan Lubuk Sikaping dan Rao, ke arah timur menghubungkan Alahan Panjang dengan Suliki hingga ke XIII Koto Kampar, ke arah selatan menghubungkan Alahan Panjang dengan Agam, ke arah barat menghubungkan Alahan Panjang dengan Alahan Mati, Simpang, Malampah, dan terus Sasak dan Katiagan. Akses jalan yang terbuka ke empat kawasan yang kaya penduduk dan memiliki arti yang penting dalam bidang sosial-ekonomi ini pernah dimanfaatkan oleh kaum Padri Bonjol untuk meluaskan dakwah (gerakan) penyebaran ajaran yang mereka miliki.

Lembah Alahan Panjang adalah sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kawasan ini memiliki lahan pertanian (sawah) yang bagus dan luas. Untuk mengolah sawah digunakan kerbau, dan kerbau itu sendiri banyak sekali jumlahnya di daerah ini. Daerah ini memiliki berbagai jenis tanaman, mulai dari sayur-mayur hingga buah-buahan. Semuanya tersedia dalam jumlah lebih dari yang dibutuhkan warganya. Batang Alahan Panjang yang mengalir dari utara ke arah selatan juga kaya dengan ikan. Tidak hanya di sungai, warga juga memelihara ikan dalam kolam. Salah satu jenis ikan yang dipelihara di kolam adalah ikan gurami.

Di Lembah Alahan Panjang itu terdapat sejumlah kampung, di antaranya Bonjo Itam, Lubuak Ambacang, Pasia, Kampuang Baru, Mandari, Alai, Padang Sikaduduak, Koto Marapak, Jambak, Caniago, Talang atau Pancuran Tujuah, Tandikek, Bonjol, Tanjuang Bungo, Padang Baru, Padang Laweh, dlsbnya.

Oleh sejumlah sumber Belanda dikatakan bahwa Bonjol adalah ibu kota atau kampung yang paling besar (utama) Lembah Alahan Panjang. Bonjol itu sendiri terletak di sebelah timur bagian selatan lembah.

Seperti tersaji pada peta dalam tulisan ini, Bonjol kira-kira berbentuk empat persegi panjang, yang mana bagian utara lebih luas dari bagian selatan, dan bagian selatan itu sendiri juga agak runcing. Dari peta ini bisa dilihat bahwa Bonjol berlokasi di lereng perbukitan (Bukit Tajadi atau kadang-kadang dinamai juga Bukit Tak Jadi). Posisi ini menempatkan bagian timur Bonjol dilindungi oleh Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi), sedangkan tiga sisinya yang lain, utara, barat dan selatan merupakan sisi yang terbuka. Dari peta juga terlihat bahwa di Bonjol ini mengalir sebuah sungai kecil, sungai yang seakan-akan membagi Bondjol menjadi dua bagian.

Boelhouwer, seorang perwira menengah Belanda yang sempat masuk ke Bonjol pada tahun 1833, serta juga sempat bertemu dengan Tuanku Imam Bonjol, memberikan gambaran yang lengkap mengenai Bonjol pada saat itu. Sebuah gambaran yang meyakinkan kita bahwa Bonjol itu adalah memang sebuah kubu atau benteng pertahanan, sekaligus menjadi markas kaum Padri.

Dikatakan juga, bahwa di samping terletak pada posisi yang cukup tinggi, Bonjol dilengkapi dengan sistem pertahanan yang canggih. Sistem pertahanan itu mencakup adanya dua lapis dinding dengan kekuatan bahan dan ukuran yang berbeda. Pada lapisan pertama ada dinding yang terbuat dari batu besar yang nampaknya diambil dari sungai. Tinggi dinding pada lapisan pertama ini sekitar tiga meter. Dinding kedua, sebelah dalam, adalah dinding tembok yang terbuat dari batu dengan campuran ‘kapur’ (non semen) yang kuat dan kokoh. Tinggi dinding pada lapisan kedua ini sekitar 3,5 meter.

Di bagian luar dinding tersebut dibuat parit yang dalam yang digenangi oleh air dengan lebar sekitar empat meter. Tidak sampai di sana saja, untuk memperkuat pertahanan, pada bagian atas dinding diisi dengan aur berduri yang ditanam rapat. Bila tumbuh, aur berduri yang ditanam rapat tidak akan bisa atau sangat sukar untuk dilalui, karena di samping berduri, aur jenis ini memiliki ranting yang saling mengikat, saling mengait, dan saling melilit batangnya.

Namanya sebuah kubu atau benteng pertahanan, Bonjol ini juga dilengkapi dengan sejumlah meriam (buatan Inggris) dengan ukuran 12 pon (salah satu meriam kaliber terbesar saat itu). Keberadaan meriam dalam ukuran yang besar dan jumlah yang banyak ini semakin membuktikan bahwa Bonjol adalah sebuah kubu atau benteng pertahanan yang sangat kuat, dan akan sangat susah untuk ditaklukkan.

Di bagian dalam Bonjol ada sejumlah rumah tempat tinggal tokoh atau pemimpin Padri serta sejumlah hulubalang Padri. Rumah-rumah itu memiliki kamar yang cukup banyak, dan kamar yang banyak itu nampaknya diperuntukan buat para istri para tokoh atau pemimpin Padri. Di halaman rumah-rumah itu ada kolam yang airnya jernih serta diisi dengan banyak ikan, di antaranya ikan gurami.

Sebagai sebuah permukiman kaum Padri, mesjid menjadi salah satu bangunan terpenting di Bonjol. Pentingnya mesjid ini bisa disaksikan dari deskripsi yang disampaikan Boelhouwer. Sang serdadu ini menyebut adanya dua masjid di Bonjol. Pertama masjid yang terdapat di dalam kubu, yakni masjid lama dan saat dia berkunjung ke sana masjid ini tidak digunakan lagi. Diperkirakan, masjid lama ini tidak mampu menampung jumlah jamaah yang kian bertambah, karena itulah dibangun mesjid yang baru. Mesjid kedua, mesjid yang baru, dibangun di luar kubu. Pada saat Boelhouwer berkunjung ke sana, nampaknya mesjid itu belum selesai benar. Dikatakan bahwa mesjid itu sangat bagus dan besar. Arsitektur mesjid itu mirip dengan mesjid yang lazim ditemui di mana-mana di Minangkabau. Atapnya memiliki lima tingkat yang makin ke atas makin kecil serta terbuat dari sirap. Sebagai aksesori ada bola yang terbuat dari logam menyerupai perak dipuncaknya. Tiang utama (soko guru)nya dari kayu utuh sebesar tiga kali badan orang dewasa dan tinggi sekali hingga mencapai puncak mesjid. Ke tiang utama ini bergabung sejumlah kayu (balok) lain yang berfungsi sebagai penyangga atap. Lantai masjid yang tingginya sekitar 60 sentimeter dari tanah terbuat dari papan dan sangat luas. Ruangan mesjid itu diperkirakan mampu menampung 3.000 orang dan itu pun masih banyak tempat yang kosong.

Gambar yang dilampirkan pada tulisan ini menyajikan lukisan Bonjol dengan menampilkan mesjid serta Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi) di bagian belakangnya.

Bonjol sebagai sebagai permukiman Islam, menjadikan mesjid menjadi bangunan yang paling utama, paling besar, dan paling ‘wah’.

Karena dibangun dan difungsikan pada perang, maka di kawasan sekitar bonjol ini juga dibuat sejumlah kubu pertahanan lagi. Berdasarkan sajian peta di atas dan informasi Boelhouwer, setidaknya ada lima kubu lain yang dibuat oleh kaum Padri di sekitar Bonjol ini (terutama di perbukitan) bagian belakang mesjid. Ini semua, kata Boelhouwer, sungguh-sungguh membuat Bonjol akan sangat susah untuk ditaklukan. Perkiraan Boelhouwer ini terbukti beberapa tahun kemudian, dibutuhkan waktu lebih 1,5 tahun oleh Belanda dan dibutuhkan pengerahan tentara yang banyak untuk menaklukan Bonjol.

Namun mengapa kok tahun 1833 Boelhouwer, Kolonel Elout (Resident van Padangsche en Onderhoorigheden) dan pasukannya bisa masuk dengan mudah ke Bonjol? Dan mengapa pula kok pada tahun-tahun terakhir Perang Padri Bonjol begitu sulit ditaklukkan?

IV

Seperti disebut sebelumnya, di Lembah Alahan Panjang terdapat sejumlah kampung. Sebagaimana dikatakan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, kampung-kampung tersebut terhimpun ke dalam dua nagari, yakni Ganggo Mudik dan Ganggo Hilir. Masing-masing nagari diperintahi oleh empat penghulu, yang berempat di mudik diketuai oleh Datuk Sati dan yang berempat di hilir diketuai oleh Datuk Bandaro.

Pada hari-hari pertama Gerakan Padri, para petinggi kedua nagari bersepakat untuk mendirikan agama Allah dan Rasulullah, bersepakat untuk menghentikan kaul siganjia-ganjia (pekerjaan sia-sia), menghentikan sabung dan tuak di kawasan Alahan Panjang. Namun kesepakatan tersebut tidak berlangsung lama, sebab ada pihak yang tidak setuju dengan isi kesepakatan tersebut. Pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa isi kesepakatan tersebut akan merusak tradisi dan adat kebiasaan mereka. Puncak dari perselisihan itu adalah terjadinya cakak dan kelahi di dalam mesjid saat diadakannya maulud nabi. Sejak saat itu masyarakat Alahan Panjang terpecah menjadi dua kelompok, kelompok pendukung adat dan tradisi lama di satu pihak serta kelompok pendukung penegakan agama Allah (kaum Padri) di sisi lain.

Pembangunan bonjol (kubu atau benteng pertahanan) di kawasan Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi) sesungguhnya berawal dari perselisihan itu. Pada awalnya, kaum Padri membangun bonjol itu untuk melindungi diri mereka dari gangguan/serbuan kaum pendukung adat dan tradisi lama. Dan sebagaimana disebutkan Tuanku Imam Bonjol, kelompok pendukung adat dan tradisi lama beberapa kali menyerang bonjol, tapi selalu gagal karena posisi dan pertahanan bonjol yang hebat serta didukung oleh semangat juang kaum Padri.

Kemudian, seiring dengan semakin banyaknya pengikut dan adanya bantuan dari luar (seperti Tuanku Nan Renceh  dari Kamang), kaum Padri bisa tampil sebagai kelompok yang dominan di Lembah Alahan Panjang. Kaum Padri bisa mengalahkan kaum pendukung adat dan tradisi lama. Namun hingga tahun-tahun permulaan 1830-an, kaum pendukung adat dan tradisi masih memendam dendam kepada kaum Padri. Konflik bak bara dalam sekam inilah yang akhirnya memecah warga Alahan Panjang.

Perpecahan warga mencapai klimaknya ketika Belanda mengancam mereka dengan pilihan menyerah atau melawan. Kalau menyerah mereka tidak akan diapa-apakan, namun kalau melawan akan diserang dan dibinasakan. Datuak Sati dan Datuk Bandaro, sebagai pucuk dari Ganggo Mudik dan Ganggo Hilir tidak mendapat kata sepakat dalam merespon ancaman itu. Datuk Putih tidak mau menyerah dan Datuk Bandaro ingin berdamai. Tuanku Imam Bonjol sebagai orang yang “tidak punya rakyat dan tidak pula mempunyai nagari” menginginkan kalau melawan ya melawan secara melawan bersama, kalau berdamai ya berdamai secara bersama. Karena tidak ada juga kata sepakat, Tuanku Imam Bonjol meninggalkan Alahan Panjang dan pergi ke Lubuk Sikaping. Pada saat dia pergi itulah, pada saat warga terpecah itulah, Belanda masuk dan menguasai ke Bonjol. Sehingga Belanda masuk tanpa ada perlawanan sedikit pun dari warga Alahan Panjang.

Perselisihan antarwarga itu membuat Bonjol kalah dan dikuasai Belanda. Perpecahan antarwarga itu pulalah menyebabkan Tuanku Imam kemudian menerima tawaran damai pemerintah Belanda (karena tidak ada pilihan lain).

Namun, pendudukan Belanda atas Bonjol melahirkan kekecewaan warga. Banyak kezaliman yang mereka lakukan. Kezaliman demi kezaliman yang dilakukan oleh kolonialis Belanda itulah yang akhirnya membuat warga Bonjol bersatu kembali. Tidak hanya itu, mereka juga menjadikan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin dan panutan. Kejadian itu, bersatunya warga Bonjol tersebut, dicatat Boelhouwer sebagai ‘Orang-orang Padri dan Melayu yang dahulu bermusuhan besar, sekarang bersahabat kental. Mereka bersatu dan ingin mengusir kekuasan Belanda yang masih lemah”.

Pascabersatunya warga itulah bonjol (kubu dan benteng pertahanan) segera diperkuat, kampung-kampung (khususnya Bonjol) diperbaiki, parit-parit yang juga difungsikan sebagai bagian dari sistem pertahanan digali dan diperbaiki, senjata diperbanyak dan dilengkapi, serta empat penjuru jalan masuk ke Lembah Alahan Panjang dijaga siang malam. Mereka betul-betul siap perang. Sistem pertahanan yang kuat, senjata yang banyak dan lengkap, kerjasama yang kompak, serta persatuan antarwarga itulah yang membuat Belanda membutuhkan waktu lama sehingga baru bisa menaklukkan Bonjol serta menangkap Tuanku Imam Bonjol. Gambaran yang disajikan terakhir inilah, rakyat yang bersatu dan melengkapi diri dengan berbagai bekal menghadapi Belanda, sebagai potret warga Bonjol di penghujung Perang Padri.

V

Seperti telah disebut di atas, segera setelah menaklukan Bonjol dan menawan Tuanku Imam, maka nama Bonjol diganti dengan Kotta Generaal (Jendral) Cochius. Seperti telah disebut juga, penggantian nama ini adalah bagian dari upaya Belanda untuk menghilangkan kebanggaan akan adanya sebuah kubu dan benteng pertahanan yang hebat dari memori orang Bonjol. Penggantian nama itu adalah juga bagian dari upaya Belanda untuk mengganti kenangan akan kehebatan bonjo dari ingatan warga dengan kehebatan Belanda (tokoh Belanda). Pembelandaan nama itu adalah bagian dari belandanisasi daerah dan warga daerah yang telah ditaklukan. Upaya ini adalah salah satu contoh dari brain washing yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap warga jajahannya.

Namun dalam kenyataannya, orang Bonjol tidak mengindahkan upaya Belanda tadi. Mereka tetap memakai nama Bonjol untuk menamakan daerah mereka. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, nama itu dipakaikan untuk semua kawasan Alahan Panjang. Itu pulalah sebabnya, sejak pertengahan abad ke-19 penyebutan Alahan Panjang nyaris sudah berganti menjadi Bonjol. Bagi mereka nama Bonjol mengandung arti perjuangan, perlawanan terhadap penjajah, kecanggihan teknologi perang (perbentengan), dan tentu saja berarti sesuatu yang membanggakan. Dan sejarah membuktikan itu semua.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

“Bondjol” dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, II-1, 1839, hal. 456-458.

Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bonjol, Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatn, 1951.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (II). ‘s-Hertogenbosch, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

v.d.H, “Oorsprong der Padries (Eene Secte op de Westkust van Sumatra), dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, I-1, 1838, hal. 113-132.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Kekuatan Tentara Belanda Selama Perang Padri

Perang Padri berlangsung hampir selama dua dasawarsa. Perang yang begitu lama, di samping didukung oleh semangat juang yang tinggi, tentu membutuhkan dukungan logistik, persenjataan dan sumber daya manusia (tentara) yang memadai. Tiga aspek yang disebut terakhir ini memang relatif kurang terungkap secara khusus atau komprehensif selama ini. Kalau ada informasi tentang itu, maka sajiannya bisa dikatakan bersifat fragmentaris, terserak-serak dalam berbagai buku atau tulisan mengenai Perang Padri.

Tulisan ini mencoba memulai upaya untuk mengungkapkan salah satu dari tiga aspek itu, yakni kekuatan tentara Belanda yang ditempatkan dan bertempur di Sumatra Barat menghadapi kaum Padri antara tahun 1821 hingga awal tahun 1840-an. Walaupun akan dituding sebagai rekonstruksi sejarah politik dan tidak mencerminkan kajian sejarah terkini (yang cenderung mengungkapkan aspek-aspek non-politis), tulisan ini setidaknya ingin mengungkapkan betapa seriusnya dan susahnya Belanda menundukkan dan mengalahkan kaum Padri. Sebab, tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup lama, mereka ternyata juga harus mengerahkan banyak atau sangat banyak tentara ke daerah ini.

Karena itu, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah seberapa banyak tentara Belanda yang terlibat dalam perang menghadapi kaum Padri? Pemokusan tulisan pada kekuatan tentara Belanda di daerah ini ditujukan untuk melihat dinamika perang tersebut. Sebab ada hubungan yang erat antara jumlah tentara yang diterjunkan ke medan perang dengan ‘keseriusan’ Belanda menghadapi Padri khususnya dan dalam melakukan ekspansi politik di daerah ini serta konstelasi politik Hindia Belanda pada umumnya. Pertanyaan lain yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah siapa-siapa saja yang dikatakan sebagai tentara Belanda tersebut? Bagaimana pergerakan kekuatan militer Belanda tersebut selama Perang Padri? Dan bagaimana pula ‘etos perang’ bala tentara Belanda itu dalam menghadapi para pejuang Padri?

Sumber-sumber yang digunakan untuk penulisan ini umumnya berasal dari karya-karya pelaku sejarah, mantan tentara atau perwira Belanda yang terlibat dalam Perang Padri atau sumber yang dibuat lain yang dibuat penulis Belanda pada masa Belanda yang membicarakan sejarah Perang Padri secara umum.

II

Dalam banyak buku sejarah daerah Sumatra Barat (Minangkabau) dikatakan bahwa Belanda telah hadir dan menjajah daerah ini sejak pertengahan abad ke-17. Namun, hingga akhir abad ke-18, kekuasaan Belanda (VOC) hanya mencakup kawasan sekitar pantai barat Sumatra (Minangkabau) saja. Kekuasaannya hanya meliputi kawasan hingga beberapa kilometar ke arah pedalaman. Daerah pedalaman, masih asing dan belum terjamah oleh mereka. Di samping itu perlu juga disadari bahwa Belanda juga pernah terdepak dari daerah ini, karena kekuasaannya diambil alih Inggris (1781-85 dan 1795-1819) dan serta juga (dalam waktu yang singkat) oleh Perancis (1793).

Belanda, dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda, kembali ke daerah ini tahun 1819. Dia kembali karena adanya Perjanjian London (1814) yang mengharuskan Inggris menyerahkan jajahannya dibekas wilayah jajahan Belanda ke tangan pemerintah Hindia Belanda.

Karena Inggris masih enggan mengembalikan daerah ini sepenuhnya, maka wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun-tahun pertama kekuasaannya relatif terbatas. Dia hanya menguasai kawasan sekitar Padang, Pulau Cingkuak, Air Haji dan Pariaman. Daerah-daerah lain di kawasan barat, di bagian utara Pariaman dan selatan Air Haji masih dikuasai oleh Inggris. Terbatasnya wilayah kekuasaan itu juga tercermin dari sedikitnya pegawai dan tentara yang ditempatkan di daerah ini.

III

Du Puy yang menerima Padang dan kawasan sekitarnya dari Inggris tiba di Padang tanggal 17 Mai 1819. Dia datang dengan menggunakan Zr. Ms. Frigat Wilhelmina. Kedatangannya di dampingi oleh beberapa orang pegawai sipil. Di samping itu dia juga membawa 162 orang tentara, yang terdiri dari 150 orang dari kesatuan infantri (bangsa Eropa) dan 12 dari kesatuan artileri.

Sebagai bagian dari perjanjian dengan Inggris, du Puy juga menerima sebanyak 76 orang mantan serdadu Inggris (berbangsa India/Benggala dan bumiputera/Bugis) yang ditempatkan di Padang.

Dengan demikian total kekuatan militer Belanda pada hari-hari pertama kekuasaan di daerah ini adalah sebanyak 238 orang.

Dari jumlah itu, kemudian 6 orang ditempatkan di Pulau Cingkuak dan Air Haji serta 13 orang (1 bintara dan 12 prajurit) ditempatkan di Pariaman.

Terbatasnya aparat, terutama untuk menjaga ketertiban dan keamanan kota, membuat du Puy membentuk satu kesatuan khusus yang dinamakan ‘Burgerwacht’ (Kesatuan Pengawal Kota). Kesatuan ini terdiri dari 2 sersan, 4 kopral, dan 12 ‘satpam’. Di samping itu juga ada beberapa orang Nias yang menjadi bagian dari Kesatuan Pengawal Kota ini (1 mandor dan 16 opas). Kesatuan ini diresmikan pembentukannya tanggal 23 September 1820.

Dengan jumlah yang ‘hanya’ segelintir inilah Belanda menerima tawaran Sutan Alam Bagagar Syah dan sejumlah penghulu dari Tanah Datar untuk memerangi kaum Padri melalui Perjanjian 10 Februari 1821. Namun, sesuai dengan pepatah lama, ‘kalau kita lemah maka akal harus diperpanjang,’ Belanda mensyaratkan dalam perjanjian agar dia dibantu oleh anak-kemenakan kaum penghulu dalam menghadapi kaum Padri. Maka terbentuklah serdadu bantuan yang beranggotakan anak-kemenakan para penghulu yang meminta bantuan kepada Belanda tersebut. Literatur Belanda menamakannya Gewapene Malaier (orang Melayu yang Bersenjata) atau Hulp-Benden (Gerombolan Pembantu). Jadi, ‘tentara ninik mamak’ ini telah menjadi bagian dari Angkatan Perang Belanda sejak hari-hari pertama mereka melakukan ekspansi politik ke daerah pedalaman. Atas dukungan anak-kemenakan para penghulu itulah pasukan Belanda, pada tanggal 27 dan 28 April 1821 mampu merebut Benteng Simawang serta Sulit Air dan nagari-nagari sekitarnya.

Penaklukan Benteng Simawang juga menambah kekuatan serdadu Belanda. Karena di sana oleh Inggris ditempatkan sebanyak 2 perwira dan 100 orang tentara (dari kesatuan Benggala dan Eropa/Inggris).

Dalam rangka meluaskan jangkauan kampanye militernya, Belanda mendatangkan pasukan tambahan dari Batavia. Pasukan bangtuan yan datang tanggal 8 Desember 1821 itu terdiri dari 4 perwira dan 187 prajurit. Dengan kedatangan pasukan tambahan itu, maka total kekuatan tentara Belanda yang ada di daerah ini pada akhir 1821 adalah 12 perwira dan 307 prajurit. Rinciannya adalah 284 dari kesatuan infantri bangsa Eropa, 20 dari kesatuan artileri bangsa Eropa, 40 dari kesatuan infantri Benggala, 96 kesatuan infantri bumiputra (Bugis), dan 44 dari kesatuan artileri bumiputera.

Bala bantuan yang dipimpin oleh Letkol A.T. Raaff ini memang ditujukan untuk menggasak kaum Padri. Karena itu, segera setelah sampai di Padang pasukan ini segera dikirim ke darek dan langsung bertempur menghadapi kaum Padri. Didukung pula oleh gewapene Malaier, pasukan ini bertempur di banyak tempat, terutama, di kawasan Tanah Datar. Tidak ada informasi yang pasti mengenai jumlah gewapane Malaier. Jumlah sangat bervariasi, tergantung waktu dan daerah di mana aksi dilakukan. Pada saat menyerang Pagaruyung misalnya, pasukan Belanda yang dipimpin Raaff dibantu oleh 15 sampai dengan 20.000 ‘orang Melayu’ dari Tanah Datar.

Walaupun memperoleh banyak kemajuan, pemerintah masih ingin meluaskan daerahnya. Untuk itu, jumlah tentara mesti diperbanyak. Karena itu, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral tanggal 30 Oktober 1822 dikirim lagi sebanyak 206 tentara ke daerah ini. Dari jumlah itu 6 perwira dan 200 prajurit (150 dari kesatuan infantri dan 50 dari kesatuan artileri).

Pada bulan Juni tahun 1823 didatangkan lagi sebanyak 264 tentara (8 perwira dan 256 prajurit) ke Sumatera Barat. Dari jumlah tersebut ada 62 orang serdadu bumiputra atau Hulp-Tropen. Hulp-Tropen adalah serdadu Belanda bangsa bumiputera yang berasal dari etnik non-Minang, seperti Jawa, Madura, Ambon, Bugis, Gorontalo, dlsbnya.

Antara tahun 1823 dan 1825 juga dikirim dan ditempatkan sebanyak 523 mobile brigade dan marinir di kawasan ini. Karena sifatnya mobil dan penugasannya bergantung pada operasi militer yang dilakukan, rata-rata jumlah yang bertugas di Sumatra Barat sebanyak 200 orang setiap tahun (maksudnya pada tahun tertentu, karena banyaknya kampanye militer jumlah yang diterjunkan ke medan perang lebih dari 200 orang, namun pada tahun berikutnya jumlahnya kurang dari 200 orang).

Sebagai realisasi dari Perjanjian London yang ditandatangani tahun 1824, maka pada tahun 1825 Inggris betul-betul harus meninggalkan Pantai Barat Sumatra dan menyerahkannya kepada Belanda. Saat hengkang dari daerah ini Inggris juga meninggalkan sebanyak 673 orang serdadunya. Dari jumlah itu ada sebanyak 147 orang tentara berbangsa Eropa, 154 orang serdadu yang berasal dari Gorontalo, 112 orang serdadu dari masyarakat setempat, 100 orang serdadu Madura, 138 serdadu Benggala.  

Dengan penambahan kekuatan dari mantan tentara Inggris tersebut maka pada 1 Juli 1825 jumlah tentara Belanda di daerah ini sebanyak 1.568 orang.

Dengan tambahan bala bantuan yang berturut-turut dari Batavia sejak tahun tahun 1822 dan tambahan pasukan mantan tentara Inggris, pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat merasa yakin akan mampu memperluas aksi di kawasan pedalaman juga memberi tekanan yang kuat pada kaum Padri. Sayangnya, rencana itu tidak bisa diwujudkan. Karena pada tahun 1825 Batavia memutuskan menarik sebagian besar tentara yang ada di daerah ke Pulau Jawa. Penarikan itu ditujukan untuk menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro.

Hingga pertengahan September 1826 dari Sumatra Barat dikirim ke Pulau Jawa (Batavia dan Semarang) sebanyak 699 orang serdadu. Di samping jumlahnya yang banyak, Batavia juga mensyaratkan bahwa tentara yang dikirim ke Jawa tersebut haruslah tentara pilihan (terbaik). Khusus untuk tentara bumiputera, sangat disarankan agar dikirim tentara Ambon dan Bugis.

Pengiriman serdadu dalam jumlah yang cukup banyak ini menyebabkan kekuatan Belanda di Sumatera Barat menurun drastis. Melemahnya kekuatan Belanda di daerah ini juga disebabkan oleh dikirimnya tentara yang terbaik yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, jelas tidak mungkin dilakukan operasi militer yang serius menghadapi kaum Padri. Karena itu, pada tahun-tahun minimnya jumlah tentara di daerah ini (selama Perang Diponegoro antara tahun 1825 s.d. 1830), pemerintah kolonial cenderung ‘bersikap lembut’ terhadap Padri. Sikap lembut itu antara lain diwujudkan dengan membuat banyak perjanjian damai dengan kaum Padri. Di samping menggunakan jasa saudagar Eropa yang telah lama menetap di daerah ini dan telah menjadi mitra bisnis pedagang pedalaman (termasuk saudagar Padri), seperti van den Berg, untuk mendekati atau membujuk kaum Padri agar mau berunding, Belanda juga mempergunakan jasa orang Arab. Salah satu orang Arab yang dimaksud adalah Said Al-Jufri. Penggunaan jasa orang Arab adalah bagian dari kecerdasan politik penguasa Belanda. Mereka mengetahui adanya kedekatan emosional, rasa segan atau hormat kaum Padri terhadap orang Arab yang diisukan sebagai keturunan Rasullullah Muhammad SAW.

Di samping membuat banyak perundingan dengan pihak Padri, pemerintah Belanda di Padang banyak melakukan aksi militer ke kawasan pantai bagian utara. Aksi militer ini ditujukan untuk betul-betul menubuhkan kedaulatannya di bekas wilayah kekuasaan Inggris tersebut (mulai dari Sibolga, Barus dan Singkel). Aksi ke kawasan utara ini juga ditujukan terhadap Aceh yang dianggap mendukung kota-kota pantai di bagian utara itu melawan Belanda.

Segera setelah Perang Doponegoro berakhir, Belanda  mulai mengirim kembali pasukannya ke Sumatra Barat. Pada tahun 1831 dengan menggunakan dua kapal perang, datang sebanyak 283 serdadu dari Batavia. Tentara yang datang ini dipimpin oleh Kolonel Elout yang kemudian diangkat menjadi Resident van Padang en Onderhoorigheden. Dengan kedatangan pasukan bantuan tersebut jumlah tentara yang ada di Sumara Barat saat itu adalah sebanyak 26 perwira dan 707 prajurit.

Karena jumlah serdadu yang belum begitu banyak, maka aksi militer yang dilakukan masih dikonsentrasi di kawasan pantai. Dalam kaitan dengan itulah, Belanda misalnya menyerang Naras, sebagai salah satu basis Padri di kawasan pantai, kemudian menyerangkan Katiagan, nagari yang menjadi markas Peto Magek, saudagar terkemuka Padri, serta menyerang Air Bangis basis tokoh Padri Sidi Mara.

Dibantu oleh gewapene Malaier dan juga pelaut Bugis, yang dipimpin Anakoda Langkap, maka tentara Belanda dapat menaklukan kekuatan Padri yang ada di Naras, Katiagan dan juga Air Bangis. Dengan demikian, pada tahun-tahun permulaan 1830-an, Belanda sudah dapat mengukuhkan hegemoni politiknya di kawasan pantai.

Seiring dengan itu, kekuatan Belanda juga semakin besar. Meningkatnya jumlah tentara Belanda ini antara lain disebabkan oleh datangnya ‘Barisan Sentot’. Nama kesatuan ini berasal dari nama mantan perwira perang Pangeran Diponegoro yang berkianat kepada tuannya dan kemudian menyatakan kesetiaan kepada Belanda. Dengan beberapa kapal, Barisan Sentot yang tiba di Sumatra Barat pertengahan tahun 1832.

Barisan Sentot memiliki struktur kepangkatan tersendiri (yang bisa disetarakan dengan ranking kepangkatan tentara Belanda regular). Posisi paling tinggi dinamakan Panembahan. Pangkat selanjutnya adalah Pangeran (Mayor), Raden Temenggung (Kapten), Temenggung Tua (Letnan Satu), Temenggung Muda (Letnan Dua), Panji (Sersan, Ngabehi (Kopral), dan prajurit. Di samping itu, dalam Barisan Sentot ini juga ada posisi yang bertugas sebagai penabuh tambur, peniup terompet.

Karena tuduhan bahwa Sentot akan berkianat kepada pemerintah, maka tahun 1833 dia diasingkan ke Bengkulu. Dengan demikian pangkat Penembahan yang disandangnya ditiadakan dalam struktur Barisan Sentot. Karena adanya rotasi dan alasan-alasan lain, dilaporkan bahwa tanggal 30 April 1834 kekuatan pasukan ini adalah sebagai berikut:

1 Pangeran (Mayor)

3 Raden Temenggung (Kapten)

2 Temenggung Tua (Letnan Satu)

20 Temenggung Muda (Letnan Dua)

44 Panji (Sersan)

178 Ngabehi (Kopral)

375 prajurit

16 penabuh tambur dan peniup terompet.  

Dikatakan bahwa 63 orang anggota Barisan Sentot ini termasuk kesatuan pionier dan sisanya tergabung ke dalam kesatuan infantri.

Kehadiran Sentot dan Barisan Sentot sangat besar artinya bagi Belanda menghadapi Padri. Melalui ‘pendekatan keagamaan’ (karena sama-sama seiman dan mengenakan simbol-simbol keagamaan yang sama, seperti sorban, jubah, menunaikan shalat, dlsbnya) Sentot dan sejumlah petinggi barisannya bisa menjinakkan beberapa tokoh Padri sehingga bisa diajak berdamai dengan Belanda. Kehadiran Barisan Sentot juga membuat kaum Padri mengurangi agresifitas mereka menyerang pasukan Belanda.

Di samping aktif dalam kampanye-kampanye militer di daerah pedalaman, Sebagian Barisan Sentot juga dipergilirkan untuk menjaga kota Padang. Seperti yang diintruksikan oleh van den Bosch pada tahun 1833, kota Padang harus selalu dijaga oleh paling sedikit 300 tentara reguler dan 30 sampai 40 dari Barisan Sentot, serta diperkuat oleh 4 pucuk meriam lapangan dan dua diantaranya adalah jenis howitzer.

Di samping anak kemenakan para penghulu antipadri, Belanda juga menjadikan para pemuda (lelaki) Batak sebagai Hulp-Benden. Lasykar Batak yang dipimpin oleh Raja Gadobang ini sangat penting artinya bagi Belanda dalam melakukan aksinya di kawasan utara (Rao dan sekitarnya). Sama dengan gewapene Malaier, Lasykar Batak ini juga sangat bersemangat membantu Belanda memerangi kaum Padri. Alasannya, juga sama dengan gewapene Malaier, adalah juga untuk membalas dendam terhadap kaum Padri, yang pada masa sebelumnya menyerang dan memerangi kampung halaman mereka. Seperti yang disebut pada tulisan lain dalam Seri 200 Tahun Perang Padri ini, pasukan Padri memang pernah menyerang dan melakukan aksi kekerasan terhadap orang dan perkampungan Batak. Sama dengan gewapene Malaier, tidak diketahui jumlah pasti Lasykar Batak ini. Informasi hanya menyebutkan jumlah ribuan orang banyaknya.

Belanda memang memiliki taktik perang yang jitu. Di samping menggunakan strategi militer yang hebat, strategi yang kadang-kadang licik, dan memanfaatkan ‘pendekatan keagamaan’, mereka juga menggunakan dendam lama kelompok yang pernah dizalimi kaum Padri untuk melawan Padri. Hulp-benden yang berasal dari Urang Awak dan Batak memang diakui oleh sejumlah penulis Belanda sangat benci kepada kaum Padri. Bila ada kesempatan untuk menyerang Padri, apalagi kaum Padri sudah terjepit atau hampir kalah oleh serangan tentara Eropa dan Hulp-tropen yang berasal dari pasukan Bugis, Ambon, Gorontalo, Madura, atau Jawa, maka Lasykar Urang Awak dan Batak ini akan melakukan aksi dengan penuh kesadisan. Tidak hanya merampoki harta benda kaum Padri, mereka juga membunuh serta menjadikan kaum Padri sebagai budak.

Atas bantuan beragam tentara, baik yang berasal dari bangsa Eropa, Hulp-tropen dan Hulp-Benden dengan jumlah yang relatif banyak, serta taktik perang yang jitu itulah akhirnya Belanda mampu mengalahkan kaum Padri.

IV

Seperti disebut di atas, ada banyak tentara Belanda yang dikirim dan bertempur menghadapi Padri. Namanya perang, tentu ada yang tewas dan luka-luka. Tidak ada atau belum didapat angka pasti mengenai jumlah tentara Belanda serta pasukan bantuannya yang tewas dan luka-luka selama aksi mereka melawan Padri. Namun bisa dikatakan, kalau tidak ribuan, jumlahnya ada ratusan orang. Sama dengan yang berlaku di mana pun di dunia ini, masing-masing pihak yang berperang cenderung tidak mau atau tidak jujur menginformasikan jumlah korban di pihak mereka.

Tentara Belanda adalah ‘manusia’ juga. Di samping memiliki ‘etos juang’ yang tinggi untuk menaklukan musuh (kaum Padri) ternyata ada juga di antara mereka yang ‘lemah’. ‘Lemah’ yang dimaksud di sini antara lain menyerah kepada kaum Padri, terpesona oleh ideologi Padri, dan bekerja sama dengan kaum Padri. Umumnya serdadu yang ‘lemah’ ini berasal dari kelompok Hulp-Tropen, dan khususnya lagi yang berasal dari suku bangsa yang seiman dengan kaum Padri. Sebagian besar dari mereka adalah tentara Jawa (baik yang menjadi bagian Barisan Sentot atau yang datang sebelum Barisan Sentot).

Keterangan tentang adanya tentara Jawa yang menyerah atau bekerja sama dengan kaum Padri ini ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Bahwa ada sejumlah tentara Jawa yang memberi informasi kepada Tuanku Imam Bonjol atau tokoh Padri tentang keberadan atau aksi serta rencana yang akan dilakukan oleh tentara Belanda. Bahkan ada dari mereka yang bergabung dengan pasukan Padri dan mendampingi tokoh Padri. Adanya serdadu Belanda yang terpesona dengan ideologi Padri dikemukakan oleh Boelhouwer. Dia menyebut ada serdadu berkewarganegaraan Perancis yang bergabung dengan Padri dan menjadi mualaf (walaupun kemudian bergabung lagi dengan pasukan Belanda dikembalikan keiman awalnya oleh komandannya).

Adanya tentara yang lemah atau membelot ini juga diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Walaupun diduga tidak jujur dengan jumlah jumlah yang disajikan, sebuah laporan menyebut bahwa pada tahun 1825 ada sebanyak 31 tentara yang dikategorikan desersi dan tahun 1826 ada sebanyak 5 tentara yang disersi (salah satu alasan pengkategorian disersi di sini adalah membelot ke pihak musuh).

Ketika perang usai, sebagian besar tentara Belanda (khususnya Eropa dan Hulp-Tropen) dipindahkan ke daerah lain. Namun, ada juga yang tetap tinggal di daerah ini, terutama yang pro-padri. Salah satu di antaranya adalah bagian dari Barisan Sentot serta tentara India. Karena mereka lelaki tentu, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, mereka menikah dengan wanita daerah ini dan kemudian memiliki anak cucu mereka. Karena itu, seperti yang pernah diungkapkan budayawan A.A. Navis, sebagian kecil orang Minang dewasa ini adalah keturunan Hulp-Tropen Belanda yang pro-padri itu. Siapakah dia? Mungkin saya penulis artikel ini atau juga Anda?

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I-II). ‘s-Hertogenbosch, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Jamuan, Perayaan dan Pesta pada Masa Perang Padri

Perang Padri adalah perang antara dua pihak yang sama-sama ingin mengalahkan lawannya. Ambisi untuk mengalahkan lawan menyebabkan kedua belah pihak menggunakan semua cara agar tujuannya tercapai. Karena itu, kitab-kitab sejarah mengenai Perang Padri umumnya diisi oleh narasi tentang berbagai taktik dan strategi perang yang dilakukan kedua belah pihak. Menariknya, narasi yang disajikan umumnya berisikan tindak kekerasan, yang diselingi oleh beberapa kisah perundingan (yang sesungguhnya hanya berupa taktik yang licik dan busuk, karena hasil perundingan itu dengan segera akan diingkari). Kalaupun ada sejumlah karya yang narasinya menyimpang dari kecendrungan ini, maka jumlahnya sangat sedikit dan baru muncul beberapa waktu belakangan. Karya-karya yang disebut terakhir ini juga cenderung melihat Perang Padri dari perspektif makro, bukan mengambarkan dunia keseharian para pelakunya. Padahal, sebagai manusia, para aktor Perang Padri pasti juga melakukan aktivitas yang jauh dari watak perang yang keras dan kasar, membunuh atau dibunuh. Mereka pasti juga melakukan sejumlah tradisi atau ritual atau kebiasaan yang sangat manusiawi, serta sarat dengan nilai budaya atau nilai relijius yang halus.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan aktivitas-aktivitas non-senjata para pelaku Perang Padri. Aktivitas yang dimaksud adalah jamuan makan, perayaan-perayaan hari besar keagamaan atau syukuran atas nikmat atau keberuntungan yang diperoleh, serta perayaan yang dikaitkan dengan tradisi atau adat-budaya masing-masing pihak. Karena itu beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah bentuk jamuan, perayaan dan pesta yang diadakan pada masa Perang Padri? Bagaimana pelaksanaannya? Apa menunya? Bagaimana pula respon dari pihak-pihak yang berperang terhadap pelaksanaan berbagai acara tersebut?

Bahan utama untuk penulisan artikel ini diambilkan dari catatan atau tulisan pelaku sejarah serta sumber-sumber sezaman lainnya.

II

Jamuan, perayaan, dan pesta dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam Perang Padri. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan nyaris sepanjang masa perang dan dilakukan di semua daerah di mana perang berlangsung.

Bila dicermati dengan saksama, maka berbagai acara yang diselenggarakan di atas bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori: pertama, acara yang berkaitan dengan adat dan tradisi (budaya daerah/Minangkabau); kedua, acara yang berkaitan dengan adat dan tradisi (budaya penjajah); ketiga, acara yang berkaitan dengan ritual keagamaan (Islam). Kecuali untuk acara yang kedua, acara dalam kategori pertama dan ketiga sesungguhnya bisa dilakukan oleh kaum Padri atau orang Melayu (Minangkabau) antipadri.

Ada banyak acara yang dipraktikkan yang termasuk kelompok pertama. Beberapa di antaranya adalah jamuan makan, syukuran atas kesuksesan suatu kegiatan, syukuran melepas niat, baralek atau kenduri kawin, memancang atau mendirikan gelanggang, dlsbnya. Acara yang termasuk ke dalam kelompok kedua adalah pesta dalam rangka perkenalan dan perpisahan dengan pejabat lama/baru, pesta atau perayaan ‘hari besar kebangsaan’, jamuan menghormati tamu, dlsbnya. Sedangkan acara yang termasuk kelompok ketiga antara lain perayaan hari besar keagamaan yang ditradiisikan di daerah ini.

Jamuan makan adalah acara yang paling lazim dilakukan Urang Awak. Namun, dari sumber-sumber yang tersedia, acara ini paling sering disebut dalam sumber yang berasal dari kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol misalnya berkali-kali menyebut bahwa dia diajak makan terlebih dahulu oleh berbagai pihak dalam berbagai kesempatan dan di berbagai tempat bila dia melakukan kunjungan atau mendatangi seseorang/sekelompok orang untuk urusan tertentu. Pengalaman yang sama juga dialami oleh Sutan Chaniago dan juga Sutan Pakih Saidi anak Tuanku Imam Bonjol dan beberapa tuanku atau tokoh Padri lainnya. Ada belasan, kalau tidak puluhan kali acara jamuan makan ini disajikan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Dalam konteks ini, jamuan makan adalah perwujudan ungkapan ‘barundiang sasudah makan’ yang telah menjadi aturan main dalam praktik sosial Urang Awak.

Walaupun inti dari jamuan adalah makan nasi dengan gulai dan sambal (makan langkok), Imam Bonjol juga menyebut bahwa acara jamuan kadang-kadang ‘hanya’ diisi dengan minum kopi. Minum kopi berarti tamu yang baru datang disuguhi minuman kopi yang ditemani dengan beberapa juadah oleh tuan rumah.

Acara selanjutnya adalah syukuran atas kesuksesan suatu kegiatan. Acara ini juga banyak ditemukan, baik dalam sumber-sumber yang dibuatkan oleh kaum Padri atau yang ditulis orang Belanda. Naskah Tuanku Imam Bonjol berkali-kali menyebut diadakannya syukuran atas keberhasilan kampanye kaum Padri. Syukuran biasanya diadakan segera setelah sebuah kampung atau nagari dikalahkan serta menyatakan akan melaksanakan agama Allah dan Rasulullah dengan sungguh-sungguh. Di samping memanjatkan doa syukur kepada Allah yang telah memberkati usaha kam Padri dan janji untuk menjalankan agama Islam, melengkapi struktur sosial nagari dengan menambahkan pranata-pranata islami, acara syukuran juga diisi dengan makan-makan. Penanggung jawab acara adalah penghulu atau pemimpin tertinggi di kampung yang bersangkutan. Tiga dari sekian banyak acara ini adalah syukuran yang diselenggarakan oleh para penghulu Lubuk Sikaping, dan oleh Yang Dipertuan di Lubuk Layang, Padang Matinggi, serta pemuka masyarakat Kabun di Rokan Hulu.

Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir juga mengisahkan syukuran yang diadakan oleh sejumlah nagari, salah satu diantaranya adalah Nagari Air Terbit, segera setelah warga nagari tersebut berikrar untuk betul-betul menjalankan agama Allah. Fakih Saghir menyebut acara syukuran itu dengan nama ‘alas tobat’.

Syukuran atas kesuksesan dalam perang juga dilaksanakan oleh kelompok antipadri (dan pro-Belanda). Sebagaimana dikisahkan Boelhouwer, dalam rangka ‘mensyukuri’ kemenangan pasukan Belanda mengganyang Padri di Ujung Rajo di Pasaman (markas Peto Magek, seorang saudagar dan tokoh Padri terkemuka), maka Tuanku Pakandangan dan sejumlah penghulu dari nagari itu mengadakan pesta. Mereka ‘mensyukuri’ kemenangan tersebut, karena mereka juga ikut-serta dalam pasukan Belanda memerangi kaum Padri. Karena acara tersebut dikaitkan dengan kemenangan pasukan Belanda maka pembuat acara meminjam bendera Belanda untuk dikibarkan selama acara berlangsung. Bendera Belanda dikibarkan pada sebuah bukit yang sebelumnya dikuasai kaum Padri.

Acara diadakan di lapangan di pusat nagari, dekat mesjid dan tidak jauh dari pasar. Lapangan tempat acara diadakan dipasangi kain linen. Untuk Boelhouwer dan petinggi nagari (saudara tuanku yang berperan sebagai wakil beliau) disediakan kursi khusus. Sedangkan untuk undangan yang hadir dibentangkan tikar yang bersih.

Boelhouwer menyebut bahwa acara yang diadakan pada malam hari itu adalah sebuah pesta yang meriah dan besar. Tuanku utama dan warga nagari setempatnya nampaknya senang dengan kegiatan itu. Penghulu-penghulu dari sejumlah nagari di sekitar Pakandangan juga hadir. Diperkirakan acara dihadiri oleh sekitar 600 orang banyaknya. Makanan disajikan dalam piring di atas tikar dihadapan para undangan sangat banyak. Di samping nasi ada gulai dan juadah lainnya.

Makanan itu dibawa oleh para wanita warga kampung dalam jamba. Para wanita juga menghibur para tamu yang sedang makan dengan mendendangkan lagu dari dalam mesjid. Para hadirin mengenakan pakaian yang rancak dan mewah.

Ada sejumlah pesta atau perayaan lain yang dilakukan oleh kelompok antipadri atau pendukung kolonialis Belanda. Salah satu acara yang dimaksud, sebagaimana diceritakan oleh Nahuijs, adalah pesta perayaan ulang tahun raja yang dilakukan di Tanah Datar. Perayaan ini diisi dengan sejumlah acara kesenian (seni tradisi), seperti pacu kerbau dan tari kuda, serta keramaian anak nagari lainnya. Perayaan ini dselenggarakan oleh pemimpin masyarakat setempat, serta didukung oleh pejabat Belanda yang ditempatkan di sana.

Kegiatan lain yang dilakukan oleh Urang Awak, terutama di kawasan yang dikuasai oleh pemerintah Belanda adalah alek kawin. Ada beberapa pesta perkawinan yang disebut dalam buku atau tulisan selama Perang Padri. Beberapa di antaranya adalah pesta perkawinan yang diadakan di Pariaman, Tiku dan Tanah Datar. Diceritakan, pesta diadakan dengan meriah, ada keramaian dan diselang-selingi oleh bunyi-bunyian (yang berasal dari tembakan senjata).

Untuk sekedar penyelenggaraan acara helat kawin, nampaknya pejabat Belanda yang berkuasa di daerah, di mana pesta diadakan, selalu memberi izin. Namun, penggunaan senapan untuk menghasilkan bunyi-bunyian kemudian dilarang. Larangan ini akan semakin keras bila di daerah pesta masih ada kelompok kaum Padri. Bahkan pernah pesta perkawinan dibubarkan oleh tentara karena ditengarai yang punya helat dan yang meletuskan senapan adalah pengikut Padri.

Perayaan lain yang juga lazim diadakan pada masa Perang Padri adalah memancang atau mendirikan gelanggang. Ada dua acara dalam bentuk ini yang disajikan dalam sumber yang berasal dari kalangan Padri. Pertama mendirikan gelanggang dalam rangka pelewaan atau penobatan penghulu, dan kedua mendirikan gelanggang sebagai bagian dari tradisi lama yang diamalkan oleh para penghulu dan warga nagari yang antipadri.

Naskah Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa warga Bonjol pernah mendirikan gelanggang untuk melewakan naik nobatnya Basa Datuak Bandaro nan mudo. Dikatakan gelanggang diadakan selama dua minggu dan dihadiri oleh banyak undangan. Disebut juga, bahwa hampir semua warga kampung terlibat dalam kegiatan itu. Walaupun tidak disebut dalam naskah, acara naik nobat ini diisi dengan berbagai acara (kesenian dan makan-minum).

Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir juga menyebut tentang ada kegiatan memancang gelanggang. Kegiatan memancang gelanggang yang dikisahkan oleh Fakih Saghir adalah acara yang sarat dengan ‘hiburan’, seperti adu ayam, berjudi, minum tuak, mengisap madat, yang mana kegiatan-kegiatan tersebut biasanya diakhiri dengan perkelahian. Penyelenggara kegiatan ini adalah kelompok antipadri, bahkan mereka mengadakan kegiatan ini dalam rangka ‘menantang’ kaum Padri, di antaranya di Bukit Betabuh, Parabek, dlsbnya.

Acara mendirikan gelanggang, baik yang diadakan oleh kaum Padri atau antipadri umumnya berakhir dengan perkelahian. Acara yang diadakan dalam rangka naik nobatnya Basa Datuak Bandaro nan mudo, serta mendirikan gelanggang di Bukit Betabuh dan Parabek sama-sama berakhir dengan adanya kericuhan. Gelanggang di Bonjol digaduh oleh kelompok antipadri yang memasang ranjau saat acara diadakan, sedangkan gelanggang yang diselenggarakan oleh kelompok antipadri berubah menjadi perang karena dihalangi atau ingin dibubarkan oleh kaum pembaharu (Tuanku Nan Tuo dan sejumlah tuanku lainnya).

Orang Belanda yang ada di Sumatra Barat juga menyelenggarakan sejumlah acara. Sebagian acara yang mereka adakan ‘ditempelkan’ pada kegiatan yang diselenggrakan oleh “Urang Awak”. Seperti yang disebut di atas, perayaan ulang tahun (raja), yang jelas-jelas kegiatan yang murni berasal dari tradisi Barat (orang Minang sebelumnya tidak mengenal tradisi merayakan hari lahir), diselenggarakan dengan melibatkan Urang Awak serta diisi dengan serangkaian acara ‘seni tradisi’ Minangkabau.

Acara lain yang khas Belanda adalah pesta perpisahan dengan pejabat yang mengakhiri masa tugasnya di daerah ini, serta acara perkenalan atau penyambutan pejabat baru yang akan memulai tugas. Di samping diisi dengan serangkaian pidato, acara pisah sambut ini biasanya juga diisi dengan makan-makan dan acara kesenian ala Barat, seperti pesta dansa.

Acara ala Barat, khususnya pesta dansa yang sifatnya insidentil, barangkali sekedar untuk refreshing bagi para perwira dan petinggi sipil dan militer yang tengah berperang, juga pernah diadakan. Residen Elout misalnya pernah mengadakan acara seperti ini pada bulan Januari 1833. Sang kolonel mengundang hampir semua petinggi sipil dan militer Belanda, baik ada di kota Padang atau yang bertugas di daerah, termasuk juga Sentot Ali Basha dan istri-istrinya (sekutu Belanda saat itu) untuk hadir dalam acara itu. Nmanya pesta dansa, maka dalam acara para hadirin diberi kesempatan untuk melantai (sampai pagi).

Acara perpisahan yang telah dibiasakan oleh orang Belanda tidak selalu diiringi oleh makan-makan dan pesta dansa. Hal ini misalnya terjadi bila acara perpisahan dilakukan secara mendadak dan di daerah. Hal ini dialami oleh Boelhouwer, yang acara perpisahannya dilaksanakan secara mendadak (karena persetujuan kepindahannya diizinkan saat Kolonel Elout singgah di Pariaman). Walaupun tidak diiringi oleh acara makan-makan dan pesta dansa, acara perpisahan ini diisi dengan berbagai sambutan, mulai dari sang residen serta para tokoh daerah. Pidato dan sambutan adalah ‘ritual’ khas acara perpisahan dengan pejabat yang akan mengakhiri tugas, atau pejabat yang akan memulai tugas.

Acara pisah sambut pejabat denga sejumlah pidato nampaknya diperkenalkan dan ditradisikan oleh kolonialis Belanda di daerah ini.

Satu lagi acara yang lazim diadakan pada masa Perang Padri adalah acara yang berhubungan dengan perayaan keagamaan. Salah satu acara yang termasuk kelompok ini dan disebut Tuanku Imam Bonjol adalah perayaan maulud. Tuanku Imam tidak memberikan banyak keterangan tentang jalannya acara maulud tersebut. Namun, ada penjelasan yang menarik, yakni perayaan diadakan di mesjid (Bonjol), dihadiri oleh kaum Padri dan non-padri, dan diakhiri dengan terjadinya perkelahian antara kedua kelompok. Dikatakan bahwa perkelahian terjadi ketika kaum antipadri mengingkari janji untuk sama-sama menegakkan agama Allah dan Rasulullah serta meninggalkan kebiasaan jahiliah.

Tidak ditemukan informasi lain mengenai pelaksanaan acara-acara lain yang berhubungan dengan ritual keagamaan untuk masa itu.

Informasi lain yang ditemukan dari pelaksanaan berbagai acara dalam bentukan jamuan, syukuran, perayaaan, dlsbnya itu adalah menu (makanan) yang disajikan. Salah satu menu makanan yang paling sering disebut adalah olahan daging kerbau. Tidak disebutkan dengan jelas apa  jenis menunya, yang jelas menu tersebut terbuat dari daging kerbau. Namun diduga menu yang disajikan adalah gulai, karena Boelhouwer misalnya menyebut salah satu makanan yang disajikan terbuat dari daging kerbau yang dipotong kecil-kecil.

Diinformasikan dengan tegas dalam berbagai sumber bahwa ada banyak kerbau yang dibantai setiap kali diadakan acara. Pemotongan dua ekor kerbau nampaknya sudah sangat lazim dalam setiap kegiatan. Untuk acara yang lebih besar, pernah dibantai sembilan ekor kerbau. Memotong kerbau dan menyajikan menu dari daging kerbau adalah tuah atau prestise bagi yang punya acara.

Di samping daging kerbau, orang Minang juga lazim mengkonsumsi daging sapi dan kuda. Nahuijs menyebut dalam tulisannya tentang kebiasaan orang Minang memakan daging sapi dan kuda ini.

Sayangnya sumber-sumber dari tangan Belanda tidak banyak bercerita tentang menu yang disajikan dalam berbagai acara yang mereka adakan. Namun Tuanku Imam Bonjol pernah menyebut bahwa ketika dia bertemu dengan Elout di Bonjol dia disuguhi roti dan juadah (tanpa merinci jenisnya). Boelhouwer menyebut bahwa di samping makan roti dan nasi, orang Belanda di Sumatra Barat masa Perang Padri juga suka mengkonsumsi minuman keras (grog). Sedangkan dalam laporan tahunannya Stuers juga menulis bahwa genever adalah salah satu minuman yang banyak didatangkan (impor) ke Sumatra Barat pada tahun-tahun 1820-an.

Seperti yang disebut di atas, minuman yang lazim dikonsumsi Urang Awak adalah kopi. Sayangnya tidak ada sumber yang menegaskan, apakah kopi yang dimaksud adalah kopi daun (kahwa) atau kopi bubuk. Namun, mengingat tradisi minum kopi orang Minang saat itu, maka kemungkinan kopi yang diminum adalah kopi daun (kahwa). Di samping itu, karena yang berkuasa adalah kaum Padri, kemungkinan besar kopi yang diminum adalah memang kopi daun (kahwa), sebab ada anggapan dikalangan fanatik Islam haram meminum kopi bubuk, karena ada efek ‘sensasi’nya.

Walaupun tidak banyak dikemukakan, dalam berbagai acara itu, makanan disajikan atau dihidangkan oleh kaum lelaki. Hanya pada acara tertentu, acara yang bersifat keluarga atau menjamu orang yang dianggap akrab (dekat) makanan kadang-kadang disajikan oleh perempuan.

Dikalangan orang Belanda, terutama pejabat yang bertugas di daerah, makanan kadang-kadang disajikan oleh ‘perempuan’ (‘istri’ sang pejabat). Sutan Caniago misalnya beberapa kali disuguhi makanan oleh ‘perempuannya’ Tuan Albacht sewaktu dia menghadap petinggi Belanda itu di Bukittinggi. Dari Naskah Tuanku Imam Bonjol diketahui bahwa ‘perempuan’nya Tuan Albacht adalah urang awak.

III

Di tengah kecamuk perang, kaum Padri, Urang Awak antipadri, dan juga orang Belanda  masih sempat atau masih tetap menyelenggarakan sejumlah jamuan, perayaan, syukuran dan pesta. Namun bila dikaji dengan saksama, maka bisa ditarik sejumlah kesimpulan dari pelaksanaan berbagai acara tersebut.

Sebagian besar acara syukuran yang dilakukan oleh sejumlah kampung atau nagari yang baru saja dikalahkan kaum Padri dilaksanakan dengan keterpaksaan. Ada kesan bahwa para tuanku Padri meminta pemimpin kampung atau nagari yang dikalahkan untuk mengadakan acara tersebut. Seperti terlihat pada pelaksanaan syukuran di Lubuk Layang, ada kesan bahwa ‘meminta’ artinya ‘harus dilaksanakan’. Yang dipertuan di Lubuk Layang harus mengadakan acara itu. Bayangkan, dalam suasana kampung atau nagari baru kalah perang atau baru saja diserang, mereka harus pula menyelenggarakan acara syukuran.  Acara yang diisi dengan makan-makan (menyembelih kerbau), di mana tentu mereka harus sibuk dengan persiapan acara (memasak nasi dan gulai serta juadah lain yang akan disajikan). Jelas acara ini memberatkan bagi mereka. Mereka terpaksa mengadakannya.

Acara syukuran atau perayaan yang dilaksanakan oleh Urang Awak antipadri nampaknya lebih murni berasal dari keinginan petinggi atau warga nagari. Mereka mengadakan acara karena ingin membuktikan kepada pejabat kolonial bahwa mereka dan warga nagarinya setia dan mendukung aksi serta kebijakan kolonialis. Para warga antipadri nampaknya lebih leluasa dan suka cita melaksanakan acara-acara tersebut. Nampaknya tidak ada paksaan dari pejabat Belanda agar mereka mengadakan acara itu, inisatif datang dari para pemimpin penduduk setempat. Mereka merasa enjoy mengadakan acara, karena imbalannya adalah nagari mereka terjaga dan terlindungi oleh kekuatan kolonialis (dari serangan Padri).

Kontrol penguasa terhadap pelaksanaan acara, seperti alek kawin dan pemancangan gelanggang mulai muncul pada masa Perang Padri. Pemerintah kolonial mulai mengontrol pelaksanaan alek kawin di wilayah-wilayah yang didukuki. Mereka memerintahkan agar penduduk yang akan mengadakan perayaan alek kawin minta izin terlebih dahulu. Aturan ini dikeluarkan karena sebelumnya acara alek kawin lazim diisi dengan bunyi-bunyian yang berasal dari letusan senapan. Pemerintah kolonial beralasan jangan ada penyusup yang meletuskan senapannya untuk merusak rust en orde.

Kaum Padri mulai mengontrol pemancangan gelanggang yang dilaksanakan oleh warga nagari, baik di daera yang dikuasainya atau di nagari-nagari non-Padri. Mereka meminta agar kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti adu ayam, judi, meminum tuak, mengisap madat tidak dilakukan. Bila pelaksana tetap mengadakan acara-acara ‘jahiliyah’ tersebut, maka kaum Padri tidak segan-segan membubarkan atau menyerang nagari pemilik gelanggang.

Pola-pola pelaksanaan acara seperti di atas (terpaksa karena tekanan penguasa atau untuk mengambil hati penguasa), serta kontrol atau berbagai aturan yang dikeluarkan dalam pelaksanaan berbagai oleh penguasa nampaknya menjadi bagian dari sejarah Perang Padri. Sayangnya aspek ini kurang dikaji selama ini. Mudah-mudahan setelah ini akan muncul kajian yang lebih serius dan komprehensif tentang aspek yang ‘non-fisik’ ini.

Kesimpulan terakhir, hadirnya menu yang terbuat dari daging dalam setiap acara menyiratkan bahwa Urang Awak adalah ‘pemakan daging’ dan secara ekonomi adalah warga yang makmur. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang diadakan pada tahun 1920-an yang mengatakan bahwa orang Minang adalah warga suku bangsa yang paling tinggi mengkonsumsi daging di antara warga seluruh suku bangsa di Hindia Belanda dan ekonomi mereka relatif lebih baik. Bagaimana keadaannya dewasa ini? Wallahu a’lam bissawab.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).

Ditulis oleh Gusti Asnan