Wabah dan Penyakit Pada Masa Perang Padri

Perang Padri adalah perang yang sarat dengan kekerasan. Tujuan masing-masing pihak yang terlibat dalam perang itu adalah memenangkan pertempuran. Untuk menang dihalalkan segala macam cara, termasuk membunuh atau mencederai lawan. Tekad masing-masing pihak ini mengakibatkan jatuhnya korban. Ada banyak korban jiwa, harta dan benda dalam perang yang berlangsung sekitar dua puluh tahun tersebut. Sayangnya, sampai saat ini, belum atau tidak diketahui berapa banyak jiwa yang melayang dan tidak diketahui pula berapa jumlah orang yang luka-luka atau cacat akibat perang tersebut. Namun dari berbagai sumber yang sampai ke tangan kita, bisa dipastikan jumlahnya pasti mencapai ribuan orang.

Perang tidak saja mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan mengakibatkan luka atau cacat tubuh, tetapi juga menyebabkan terusirnya banyak warga dari kampung (nagari)nya, rusaknya atau hancurnya rumah, mesjid, sarana dan prasarana transportasi, sarana dan prasarana sanitasi, kesukaran-kesukaran ekonomi, merosotnya kesejahteraan warga, serta kacaunya sistem, struktur dan praktik sosial-budaya. Berbagai dampak perang tersebut, secara langsung atau tidak, berpengaruh terhadap kesehatan warga. Dengan kata lain, kesehatan warga menjadi menurun. Tidak diragukan lagi, bahwa pada masa Perang Padri ada banyak warga yang sakit. Warga sakit karena daya tahan tubuh mereka yang berkurang sehingga tidak mampu melawan bibit penyakit yang sudah umum menjangkiti warga. Di samping itu, mereka sakit karena berkembangnya berbagai penyakit dan wabah di tengah masyarakat.

Setakat ini, persoalan penyakit atau wabah yang berkembang selama Perang Padri nyaris belum pernah dikaji atau diungkapkan oleh sejarawan atau peminat sejarah. Padahal, aspek ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iven historis tersebut dan nyata adanya pada saat itu. Penyakit dan wabah adalah ‘siksaan’ lain yang dialami warga pada saat perang berlangsung, dan ini sesungguhnya sebuah aspek perang yang sangat layak diungkapkan dan dikemukakan.

Tulisan ini mencoba menampilkan beberapa penyakit dan wabah yang dialami warga dan melanda Sumatra Barat pada masa berlangsungnya Perang Padri. Karena itu beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: pertama, penyakit-penyakit apa sajakah yang meruyak pada masa Perang Padri?; kedua, wabah apakah yang melanda Sumatra Barat selama masa Perang Padri? Mengapa penyakit atau wabah tersebut bisa muncul dan bagaimana warga daerah atau tentara (pemerintah) Belanda mengatasinya?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyan ini, pada bagian berikut akan disajikan beberapa penyakit yang lazim dikenal atau menjangkiti warga Sumatra Barat.

II

Sebagaimana diketahui, penyakit adalah sesuatu yang menyebabkan atau terjadinya gangguan yang berbahaya pada makhluk hidup, yang umumnya terkait dengan tanda atau gejala tertentu dan berbeda dari cidera fisik. Penyakit juga sering dipahami sebagai gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau kelainan sistem fa’al atau jaringan pada organ tubuh (pada makhluk hidup). Sedangkan wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang dalam waktu yang relatif cepat serta sering disertai oleh jatuhnya korban (jiwa) dalam jumlah yang banyak.

Adanya penyakit adalah hal yang lazim di Minangkabau dan sudah lama menjangkiti orang Minang. Sebagai mana dikutip oleh seorang peneliti pada awal tahun 1860-an di kawasan Agam, ada ‘responden’ yang mengatakan bahwa penyakit sudah ada semenjak manusia (orang Minang) ada.

Dikatakan ada sejumlah penyakit yang lazim menjangkiti Urang Awak. Seperti dicatat oleh Ludeking, ada sekitar 30-an penyakit yang dikenal Minangkabau hingga pertengahan abad ke-19. Beberapa di antaranya adalah sakit kulit {kudis, puru (frambusia), kurap longsong, kurap ayam, kurap besi, biring, kayap, dlsbnya), demam (kuro atau malaria dan kapiala), cacingan, sakit mata, sakit telinga, batuk (TBC), ketumbuhan (cacar), diare, sakit gigi, gondok, sawan (epilepsi), asma, kolera, pneumonia, hepatitis, tetanus, spilis, dlsbnya.

Diakui juga, bahwa sebagian dari penyakit ini sudah begitu biasa menyerang atau diidap penduduk, namun beberapa di antaranya tidak begitu sering menjangkiti warga, seperti spilis. Namun untuk kasus yang terakhir ini, dikatakan juga, bisa saja kasusnya berkembang di tengah masyarakat, namun warga tidak mau mengatakan alias mereka cenderung untuk merahasiakannya.

Ludeking juga mengutip pendapat warga yang mengatakan bahwa kehilangan kesadaran sesudah mengonsumsi genever (sejenis minuman keras) dan sesudah mengonsumsi opium (madat) juga sebagai penyakit. Kondisi tubuh yang kurus, tidak bertenaga, dan hilang gairah hidup atau sebaliknya menjadi begitu agresif sesudah mengonsumsi genever serta opium juga dikatakan warga sebagai penyakit (walaupun begitu warga tidak memberikan nama tertentu terhadap gejala yang dialami pengidapnya).

Gila juga dianggap sebagai penyakit. Sebagai bagian dari dunia timur yang dikatakan juga sarat dengan unsur yang sifatnya irasional, maka untuk penyakit gila ini Urang Awak cenderung mengaitkannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia magis. Seperti yang dikemukakan van der Toorn, penyakit gila yang diidap seseorang bisa saja disebabkan oleh dukun.

Satu lagi penyakit yang berhubungan dengan ‘dunia gaib‘ adalah keracunan. Di samping keracunan oleh racun yang ada di alam (dari getah, daun, kulit atau akar tumbuhan), keracunan sebagaimana dipahami Urang Awak adalah penyakit yang disebabkan oleh racun yang dibuat dan dikirim oleh dukun melalui kekuatan gaib. Penyakit yang disebabkan oleh racun ‘gaib’ ini dikisahkan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, bahwa Datuk Bandaro meregang nyawa karena ‘termakan’ (racun) yang diberikan orang padanya saat diadakan pesta.

Van der Toorn mengatakan, bahwa sesungguhnya hampir semua penyakit yang dikenal orang Minangkabau bisa dikaitkan penyebabnya dengan dunia gaib. Beberapa contoh peyakit yang disebut Toorn adalah sakit gila (sijundai), sakit kulit (biring), sakit perut (naik galang-galang), susah melahirkan karena bayi yang akan keluar ‘ditahan’, dlsbnya.

Di samping hal-hal yang bersifat irasional, ada sejumlah penyebab (penyebab empiris) munculnya penyakit-penyakit itu. Sebagaimaan dikemukakan oleh Ludeking dan Kleiweg, penyebab umum yang dimaksud adalah lingkungan, makanan, dan pakaian serta pola hidup yang kurang atau tidak sehat.

Walaupun dikatakan cukup makmur dan sejahtera, dalam berbagai sumber berupa buku atau dokumen (seperti karya Nahuijs, Stuers, Elout, Boelhouwer, Michiels, Ludeking, Kleiweg, serta sejumlah laporan bulanan dan tahunan yang dibuat oleh Gubenur Sumatra’s Westkust) diketahui bahwa secara umum lingkungan tempat tinggal Urang Awak masih banyak yang tidak sehat. Dikatakan bahwa banyak rumah di Minangkabau kurang bagus sirkulasi udaranya, tata ruangnya tidak bagus dan isi rumah sangat padat dan terdiri dari berbagai macam barang ditumpuk. Bagian bawah rumah juga sering dijadikan sebagai kandang ayam atau sapi, pekarangan rumah becek, peralatan makan dan minum kurang bersih, tempat mandi, cuci, dan buang air yang tidak lengkap/kurang baik, dlsbnya. Lingkungan yang kurang sehat ini juga dikaitkan dengan adanya tikus atau kecoak atau serangga-serangga lain yang berkeliaran di dalam rumah atau juga masuk ke dalam makanan atau bahan makanan.

Dikatakan juga bahwa makanan Urang Awak tempo doeloe kurang diolah dengan baik. Sering ditemukan daging yang kurang dibersihkan dengan baik dan atau dimasak tidak sampai sempurna.

Sebagian besar pakaian Urang Awak juga tidak sehat. Pakaian yang dipakai tidak atau kurang bersih. Pakaian sering dipakai dalam waktu yang lama (berhari-hari). Bahkan dikatakan pakaian yang dipakai juga banyak tuma.

Kondisi di atas sesungguhnya adalah gambaran pada abad ke-19. Namun dari bahan yang lebih tua yang berasal dari abad ke-16 (Dorleans) ditemukan juga catatan mengenai lingkungan yang kotor dan badan Urang Awak yang tidak bersih.

Demikianlah, hingga masa Perang Padri kondisi lingkungan yang kurang sehat, makanan dan pola makan yang kurang sempurna pengolahannya, dan pakaian yang umumnya tidak bersih menjadi faktor-faktor penyebab utama banyak penyakit yang berkembang dan diidap warga Sumatra Barat.

Di samping adanya sejumlah penyakit yang sudah dianggap lazim diidap warga, wabah sebagai kejadian ‘luar biasa’ juga pernah melanda daerah ini. Di samping menjadi bagian dari meruyaknya sejenis penyakit dalam wilayah yang luas (regional atau global), sejumlah wabah penyakit juga melanda Sumatra Barat dalam skala lokal, maksud wabah yang terjadi dalam wilayah Sumatra Barat sendiri. Wabah seperti ini di antaranya terjadi pada masa Perang Padri.

III

Sumber-sumber yang berasal dari pelaku sejarah atau saksi hidup Perang Padri menyebut ada sejumlah penyakit dan wabah yang berkembang di Sumatra Barat saat itu. Namun karena dikisahkan oleh dua kelompok orang dengan dua pemahaman yang berbeda tentang konsep penyakit serta wabah, maka ada dua bentuk penyakit dan wabah yang disajikan dalam catatan mereka. Bentuk pertama adalah penyakit sebagaimana dipahami ‘orang modern’ yang rasional (dunia medis) dan kedua penyakit sebagaimana dipahami ‘orang kampung’ yang irasional.

Salah satu jenis penyakit yang banyak disebut adalah penyakit kulit. Nahuijs, Stuers, Boelhouwer, Lange menyebut adanya penyakit kulit yang diidap warga, termasuk para tentara Belanda (tentara Eropa, bumiputera non-Minang dan lasykar Melayu pendukung Belanda), serta juga kalangan Padri. Mereka juga menyebut bahwa penyakit itu banyak diidap oleh masyarakat luas.

Nahuijs sendiri mengatakan bahwa dia sempat mengidap penyakit ini. Dia juga mengatakan bahkan dia melihat sejumlah warga yang mengidap penyakit kulit di kawasan Tanah Datar. Boelhouwer juga melihat sejumlah orang yang menderita sakit kulit di kawasan Rao. Dia bahkan menyebut bahwa ada banyak warga yang kotor pakaiannya dan nyaris tidak mengindahkan kebersihan tubuhnya dan itu diduga sebagai penyebab banyaknya warga mengidap penyakit ini. Walaupun tidak menyebut secara tegas di mana lokasinya, Stuers dalam laporan tahunannya juga mengatakan bahwa penyakit kulit banyak diidap orang Melayu (sebutan terhadap orang Minang non-Padri), serta  juga sejumlah tentara Belanda dan hulp-tropen (tentara Jawa, Madura).

Tiga penyakit lain yang pernah meruyak pada masa Perang Padri adalah kolera, demam, dan disentri. Tiga penyakit menyerang banyak tentara dan warga daerah, serta luas wilayah penyebarannya (sehingga bisa dikatakan sebagai wabah).

Kolera adalah penyakit (wabah) yang relatif awal disebut dan juga sering terjadi pada kurun waktu Perang Padri. Pada awal tahun 1820-an Anderson mengemukakan bahwa kolera mewabah di bagian timur Sumatra. Karena orang Minang, khususnya kaum Padri sering bepergian ke kawasan timur Sumatra diperkirakan penyakit ini juga menyebar ke kawasan pedalaman (Minangkabau).

Penyakit ini dikatakan berjangkit lagi pada awal tahun 1830-an. Sebuah pengalaman nyata mengenai wabah ini dikisahkan oleh Boelhouwer. Pengalaman Boelhouwer ini juga dikemukakan kembali oleh Kielstra dan Lange. Dikatakan bahwa dalam pelayaran dari Batavia menuju Padang, satu minggu setelah belayar, di kapal yang ditumpangi Boelhouwer (Jessy) berjangkit penyakit kolera, penyakit yang dikatakan Boelhouwer sebagai sesuatu ‘yang mengerikan.’ Dikatakan mengerikan karena datang dengan tiba-tiba dan langsung menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Sering terjadi, penumpang kapal masih berdiri atau berada dalam keadaan sehat, namun tiba-tiba dia mengaduh dan mengeluh dengan mengatakan “aduh, sakit sekujur tubuh saya dan sakit sekali perut saya”, kemudian dia terjatuh. Sang korban dibawa ke ruangan perawatan, segera dirawat dokter, tetapi tidak lama kemudian dia telah meninggal. Dikatakan mengerikan juga terlihat data yang disajikan, bahwa pernah pada suatu pagi tujuh jenazah yang dilemparkan ke laut. Dikatakan mengerikan bahwa dalam beberapa hari saja telah jatuh korban 25 orang tentara dan 12 anak kapal (pelaut). Ini adalah jumlah yang besar, karena di kapal itu ada 200 tentara, berarti seperdelepan anggota pasukan telah tewas oleh penyakit mengerikan tersebut.

Berkumpulnya orang yang demikian banyak pada suatu tempat yang relatif kecil serta penggunaan berbagai fasilitas, terutama fasilitas sanitasi secara bersama, adalah satu penyebab meruyaknya penyakit tersebut dalam waktu yang sangat singkat. Disyukuri, bahwa penyakit ini ‘hanya’ berjangkit beberapa hari. Cepatnya fase wabah ini, antara lain disebabkan oleh penanganan yang tepat dan cepat, hal ini disebabkan oleh tersedianya dan dimungkinkan oleh kinerja dokter yang menangani penyakit tersebut.

Penyakit lainnya adalah demam. Deman yang mengerikan juga pernah mewabah pada masa Perang Padri. Sebagaimana dikutip oleh Mohammad Radjab, pada akhir Oktober 1835 seorang budak perempuan Batak berhasil melarikan diri dari bonjol (kubu atau benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol). Dia lari dan meminta perlindungan Belanda. Banyak hal yang diceritakan wanita tersebut tentang keadaan dalam benteng, salah satu di antaranya adalah mewabahnya semacam penyakit (demam). Dikatakan bahwa tiga atau empat orang warga bonjol menjadi korban demam ini setiap hari.

Penyebab meruyaknya penyakit ini, diperkirakan, ada hubungannya dengan berbagai kesulitan yang dihadapi warga bonjol. Warga mengalami kekurang pangan yang serius. Hal ini sesuai benar dengan informasi yang dikatakan perempuan Batak itu, bahwa penghuni bonjol saat itu sudah sangat menderita. Cadangan beras sudah habis, sehingga prajurit Padri mesti keluar bonjol pada malam hari untuk mendapatkan atau membeli beras yang harganya sangat mahal. Makan dijatah dan budak-budak hanya diberi makan satu kali satu hari dalam porsi yang sedikit, serta tanpa garam (garam hanya untuk para tuanku dan keluarganya).

Kekurangan pangan dan juga kekurangan berbagai bahan kebutuhan hidup lainnya disebabkan oleh pengepungan dan serangan-srangan yang dilakukan Belanda terhadap benteng. Sejak pembunuhan 11 Januari 1833, yang mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak 46 orang serdadu (27 orang tentara Belanda dan 19 orang tentara bumiputera non-Minang), Belanda mengintensifkan upaya penaklukan bonjol. Upaya penaklukan dan pengepungan yang lama inilah yang menyebabkan kurangnya cadangan pangan dan berbagai kebutuhan hidup lainnya di kalangan kaum Padri penduduk bonjol. Kekurangan-kekurangan itu pulalah yang menjadi penyebab lemahnya daya tahan tubuh mereka ketika ada bakteri/virus sebagi sumber peyakit datang.

Demam yang mematikan sesungguhnya terjadi berulang kali selama masa Perang Padri. Korbannya tidak hanya rakyat atau Urang Awak, tetapi juga para serdadu Belanda. Dikalangan serdadu, korbannya tidak hanya meliputi para prajurit, tetapi juga perwira petinggi militernya. Salah satu korban demam mengerikan ini adalah Letnan Kolonel A.T. Raaff, komandan tentara dan kemudian juga residen untuk daerah ini. Dalam tulisan-tulisan yang dibuat pada masa atau segera setelah Perang Padri berakhir, seperti laporan tahunan Stuer, buku Stuers, Kielstra dan Lange, dikatakan bahwa penyebab kematian Raaff hanya ‘karena sangat lelah berperang melawan Padri”. Namun dalam tulisan yang muncul pada awal abad ke-20, di antaranya Memorie van Overgave J. Ballot, yang ditulis 12 Agustus 1915, dikatakan bahwa penyebab kematiannya adalah demam yang parah, dikatakan ‘Raaff overleed namelijk aan zware koortsen’ (Raaff meninggal karena demam yang parah).

Tidak hanya Raaf, sejumlah perwira dan prajurit yang lain juga dilaporkan pernah diserang deman parah ini. Kielstra menyebut bahwa Baud, Acting Resident pengganti Raaff juga pernah menderita deman parah sehingga kondisinya menjadi sangat lemah. Kielstra menyebut bahwa penyakit yang sama juga menyerang sejumlah perwira dan prajurit di Tanah Datar dan Agam. Salah satu dari sekian banyak korban itu adalah seorang komandan pasukan artileri ke-13, ajudan Baud yang meninggal di Fort de Kock. Di samping itu disebut juga tentang sejumlah prajurit yang sempat dirawat karena demam yang ganas di Rumah Sakit Fort de Kock.

Penyakit lain yang juga mewabah pada masa Padri adalah disentri. Ada sejumlah laporan tentang wabah ini, namun satu yang paling sering disebut adalah wabah yang terjadi tahun 1823. Kielstra menulis bahwa jumlah tentara Belanda yang sakit sangat banyak. 21 anggota serdadu Belanda dari pasukan keenam dari battalion infantri pertama diserang oleh penyakit ini. Jumlah serdadu bumiputera (Jawa dan Madura) yang sakit sekitar 20 sampai 30 orang. Sedangkan jumlah yang sakit dari kalangan ‘serdadu Urang Awak’ pendukung Belanda tidak terhitung banyaknya (karena memang tidak dihitung). Banyak dari penderita disentri ini kemudian meninggal. Kondisi lapangan, terutama penggunaan fasilitas sanitasi secara bersama, diperkirakan penyebab utama berjangkitnya penyakit ini. Pola pengolahan makanan yang kurang atau tidak sempurna juga diduga sebagai penyebab meruyaknya penyakit ini.  

Di samping penyakit-penyakit yang disebut di atas, ada satu  lagi penyakit yang berjangkit pada masa Perang Padri, yakni penyakit galkoort (deman empedu). Salah satu kasus penyakit ini terjadi di Pariaman. Pada saat berjangkitnya tidak ada kampung di Pariaman yang tidak kena, dan nyaris tidak ada rumah yang bebas dari serangan penyakit ini. Dikatakan bahwa rata-rata enam sampai delapan penghuni rumah jatuh sakit. Komandan tentara Belanda di Pariaman dan sejumlah prajuritnya juga diserang penyakit ini. Demam empedu dianggap sebagai salah satu penyakit yang ganas, sehingga tidak bisa diobat oleh dokter yang ada di Pariaman. Untuk pengobatannya orang Belanda yang sakit mesti dibawa ke Padang.

Ada sejumlah penyakit lain yang berjangkit di Sumatra Barat dan menyerang warga daerah, serta kalangan tentara. Namun penyakit-penyakit itu tidak disebutkan (tidak diketahui namanya). Salah satu penyakit itu dilaporkan oleh Elout, dan dikutip Kielstra. Dikatakan bahwa dalam waktu lima bulan, 70 orang dari 283 serdadu yang datang bersama Elout ke Sumatra Barat  menderita sakit. Apa nama penyakitnya tidak disebutkan.

Penyakit yang tidak disebutkan namanya yang diderita oleh serdadu juga disebut oleh Muhammad Radjab. Radjab menyebut ada sejumlah penyakit yang menyerang serdadu Belanda dan itu menambah beban atau penderitaan mereka yang senantiasa diserang oleh pejuang Padri.

IV

Sumber-sumber dari tangan pertama pihak Padri, seperti Memoar Tuanku Imam Bonjol atau Fakih Saghir, nyaris menyebut upaya yang dilakukan pihak Padri dalam rangka mengatasi penyakit atau wabah yang menyerang penduduk. Walaupun demikian, merujuk keterangan dari Ludeking dan Zwaan, diperkirakan bahwa pengobatan dilakukan dengan cara tradisional, dengan menggunaan dedauan, kulit pohon, dan akar tumbuhan. Di samping itu, pengobatan juga dilakukan dengan menggunakan ‘kepandaian’ sang tuanku. Sebagaimana disebut oleh Darwis Datoek Madjolelo, Tuanku Imam Bonjol sendiri adalah sosok yang memiliki kekuatan gaib (‘kepandaian’) yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Kepandaian yang sama juga dimiliki oleh sejumlah tuanku yang lain.

Sebaliknya, sumber-sumber yang dibuat Belanda menginformasikan adanya upaya yang mereka lakukan dan upaya itu bersifat modern. Upaya-upaya itu antara lain dengan menyediakan tenaga dokter dan para medis lainnya. Dalam setiap gugus tempur yang dikirim dari Batavia ke Padang (Sumatera Barat) atau pada setiap kapal perang selalu ada dokter dan para medis. Stuers, Lange, dan Kielstra juga menyebut bahwa senantiasa ada dokter dan para medis yang diikutsertakan dalam setiap kampanye militer di daerah ini.  

Dengan kata lain, adanya dokter dan para medis yang senantiasa siap memberikan perawatan atau pengobatan terhadap tentara yang sakit adalah contoh lain tentang kesiapsiagaan Belanda mengatasi penyakit atau wabah yang mungkin akan menjangkiti pasukannya.

Di samping adanya dokter dan para medis, untuk mendukung kampanye militer dan membantu tentara yang sakit atau cedera di medan tempur, pemerintah Belanda kolonial juga mendirikan rumah sakit. Ada sejumlah rumah sakit yang didirikan saat itu, di antaranya di Fort van der Capellen, Fort de Kock, Pariaman, Suliki, Lubuk Sikaping, dlsbnya. Rumah sakit-rumah sakit ini sangat besar artinya dalam merawat tentara yang sakit.

Dalam beberapa catatan dan tulisan dikatakan bahwa dokter tentara adalah dokter hebat. Obat yang digunakan adalah obat-obat yang dibrikan dokter tentara adalah obat-obat terbaik. Rumah sakit tentara adalah lembaga pengobatan yang hebat dan terbaik.

Sejak masa Perang Padri hingga awal abad ke-20, ada ‘mitos’ di Sumatra Barat yang mengatakan bahwa dokter tentara (dan obat-obat yang diberikannya), serta rumah sakit tentara adalah dokter dan rumah sakit yang hebat. Ada ‘mitos’ yang mengatakan bahwa setiap penyakit akan sembuh kalau dibawa dirawat oleh dokter tentara atau berobat ke rumah sakit tentara.

Mitos seperti ini diperkuat pula oleh kehadiran rumah sakit tentara yang terbesar dan terlengkap untuk Sumatra pada awal abad ke-20 (yang pada awalnya ditujukan untuk merawat tentara yang sakit atau cedera dalam Perang Aceh).

Penyakit atau wabah yang berjangkit pada masa Perang Padri serta penanganan yang dilakukan terhadapnya, menjadi dasar bagi upaya pengenalan dan pemberantasan penyakit oleh ahli dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1850-an. Sejak pertengahan abad ke-19 dilakukan sejumlah penelitian mengenai jenis-jenis penyakit dan wabah yang pernah ada di Sumatra Barat. Dilakukan juga penyelidikan terhadap cara-cara penanggulangan atau pengobatan penyakit-penyakit tersebut oleh Urang Awak. Seperti yang telah disebut pada bagian terdahulu, tokoh yang melakukan upaya ini antara lain E.W.A. Ludeking, J.P. Kleiweg de Zwaan dan J.L. van der Toorn.

Seperti dikatakan oleh Ludeking, Zwaan dan Toorn, Urang Awak lazim melakukan penanganan atau pengobatan secara tradisional. Pengobatan secara trasidisional ini, antara lain, dilakukan dengan menggunakan ramuan alami yang terbuat dari berbagai macam dedaunan, kulit pohon dan akar pohon. Pengobatan ‘cara tradisional’ juga berarti menggunakan jasa dukun.

Di samping itu, Nahuijs mengatakan bahwa orang Minang juga menggunakan sumber air panas (mata air panas) untuk pengobatan. Penyakit yang disembuhkan melalui pengobatan melalui cara ini adalah penyakit kulit. Metode pengobatan yang dilakukan si penderita adalah merendamkan diri mereka ke dalam air panas (sumur panas bumi) untuk beberapa lama dan dilakukan secara berulang-ulang selama beberapa hari. Nahuijs melihat sejumlah warga Tanah Datar yang mengobati penyakit kulit yang mereka idap di sumur-sumur air panas yang banyak terdapat di kawasan itu. Menuru Nahuijs, diperkirakan, kandungan belerang yang ada dalam air tersebut mampu membunuh bakteri penyebab sakit kulit itu.

Perang Padri tidak hanya mewariskan pengalaman perang yang mengakibatkan korban jiwa dan cacat fisik bagi tentara atau warga daerah, tetapi juga catatan-catatan – yang umumnya terserak-serak dalam berbagai dokumen dan buku – mengenai beberapa jenis penyakit dan berbagai wabah yang pernah berkembang serta meruyak pada masa perang tersebut. Informasi dalam dokumen atau buku-buku tersebut menanti jamahan tangan para sejarawan dan peminat sejarah untuk mengungkapkannya dengan lebih sungguh-sungguh dan komprehensif. Pengungkapan yang lebih sungguh-sungguh dan komprehensif diharapkan akan menghasilkan sebuah karya yang utuh tentang penyakit dan wabah di Sumatra Barat pada masa Perang Padri. Informasi yang disajikan tersebut pasti merupakan suatu pengetahuan yang bisa dijadikan sebagai modal bagi kita untuk memahami dunia kesehatan Urang Awak di masa lalu. Isi buku tersebut akan menjadi dasar pula guna memahami jenis-jenis penyakit dan wabah yang senantiasa ada dan menyerang warga daerah, serta cara-cara yang telah dijalankan dalam rangka mengobati dan memberantas penyakit dan wabah tersebut. Kita tunggu karya tersebut, dan tulisan ini hanya bersifat pemancing bagi lahirnya karya yang utuh itu.

Sumber:

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in M.DCCC.XXIII. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadell, M.DCCC.XXVI.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bonjol, Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatn, 1951.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Dorleans, Bernard, Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2016.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Ludeking, E.W.A., Natuur en Geneeskundige Topographie van Agam (Westkust van Sumatra). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867.

Memorie van Overgave J. Ballot, 1915.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Zwaan, J.P. Kleiweg de, De Geneeskunde der Minangkau-Maleiers. Amsterdam: Meulenhoff & Co., 1910.

Ditulis oleh: Gusti Asnan