Pantun, Talibun, Teka-Teki “Tempo Doeloe” dan Perlawanan Terhadap Belanda di Sumatra Barat

Sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia menentang dengan keras setiap bentuk penindasan yang dilakukan oleh para penguasa yang zalim, baik penguasa yang berasal dari negeri sendiri atau penguasa yang datang dari luar. Dari sejarah juga diketahui bahwa perlawanan terhadap penguasa yang zalim itu dilakukan melalui berbagai cara. Kitab-kitab sejarah menginformasikan bahwa secara umum ada dua bentuk perlawanan; pertama, perlawanan secara fisik; dan kedua perlawanan secara non-sisik.

Sesuai dengan sifatnya, perlawanan secara fisik antara lain ditandai dengan penggunaan organ jasmaniah dan badaniah, serta ditambah dengan alat/senjata yang biasa digunakan untuk sebuah tindak kekerasan, seperti parang, pedang, hingga senjata api. “Tindak kegaduhan” hingga “perang basosoh” adalah wujud perlawanan secara fisik ini. Sebaliknya, perlawanan secara non-fisik lebih mengandalkan aktivitas rohaniah dan otak. Perlawanan corak ini juga menggunakan alat/senjata, tetapi alat/senjata yang biasanya digunakan bertujuan untuk mencerdaskan dan mencerahkan rohani dan pemikiran, seperti pena, kuas, kertas, mesin ketik, dinding, dan alat-alat yang berhubungan dengan dunia seni. Pidato, pemogokan, tulisan di media-massa, buku, corat-coret di tembok-tembok, dan berbagai bentuk karya seni (termasuk seni bertutur) adalah sebagian contoh pelawanan secara non-fisik ini.

Pelawanan secara fisik (ditambah dengan pengunaan alat/senjata yang berhubungan dengan dunia kekerasan) telah dilakukan dalam waktu yang lama. Perlawanan corak ini telah dilakukan sejak peradaban/kebudayaan anak bangsa ini masih bersahaja. Pola perlawanan ini menjadi karakter utama yang dilakukan terhadap penguasa (raja) yang zalim. Pola ini juga menjadi bentuk perlawanan utama yang dilakukan terhadap kolonialis kulit putih hingga pertengahan kedua abad ke-19 khususnya. Tidak dipungkiri, perlawanan dengan pola kekerasan ini tetap berlanjut hingga beberapa waktu belakangan, namun persentase jumlahnya semakin lama semakin menurun.

Perlawanan secara non-fisik sesungguhnya juga telah dilakukan sejak zaman “bahuela”. Namun perlawanan corak ini mulai banyak dilakukan pada pertengahan kedua abad ke-19. Seiring dengan kemajuan peradaban/kebudayaan, termasuk di dalamnya kemajuan ilmu dan pengetahuan, persentase perlawanan dalam bentuk ini semakin lama semakin besar.

Sejarah penulisan sejarah Indonesia hingga tahun 1970-an mencatat bahwa perlawanan secara fisik (dan ditambah dengan penggunaan senjata) adalah bentuk perlawanan yang paling banyak diungkapkan. Kitab-kitab sejarah Indonesia umumnya dipenuhi oleh rekonstruksi peristiwa/kejadian yang bernuansakan kekerasan ini.

Bertolak belakang dengan itu, perlawanan yang sifatnya non-fisik, relatif sedikit diungkapkan. Tingginya minat sejarawan (penulis sejarah) untuk mengung­kapkan perlawanan dengan menggunakan kekerasan, barangkali, disebabkan oleh langsung nampaknya akibat dari perlawanan itu, banyaknya jejak (bekas) perlawanan yang ditinggalkan, serta bisa diaksesnya dengan mudah sumber-sumber yang berkenaan dengan perlawanan tersebut. Sebaliknya, sedikitnya karya-karya mengenai perlawanan secara non-fisik, diduga, disebabkan oleh tidak langsung nampaknya hasil dari perlawanan bentuk itu, serta relatif sedikitnya jejak (bekas) yang ditinggalkan, dan relatif susah didapatkannya sumber-sumber yang berkaitan dengan perlawanan tersebut.

Namun seiring dengan perjalanan zaman, perlawanan secara fisik semakin ditinggalkan dan perlawanan secara non-fisik semakin banyak digunakan. Seiring dengan itu, sarana pendukung penelitian guna mengungkapkan bentuk perlawanan secara non-fisik semakin banyak ditawarkan lembaga penelitian. Apresiasi masyarakat banyak terhadap hasil karya yang mengungkapkan perlawanan secara non-fisik ini juga semakin lama semakin besar. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mencoba mengungkapkan perlawanan non-fisik yang dilakukan orang Sumatra Barat/Minangkabau terhadap penjajah Belanda.

Ada banyak bentuk perlawanan secara non-fisik yang dilakukan orang Minangkabau terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Namun dalam tulisan ini, fokus bahasan ditujukan pada perlawanan melalui ungkapan seni (bertutur) dan permainan kata. Tegasnya, tulisan ini akan mendiskusikan perlawanan yang dilakukan terhadap kolonialis Belanda melalui pantun, talibun, dan teka-teki. Sehingga tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimana corak perlawanan terhadap rezim kolonialis tersebut dinyatakan dalam pantun, talibun, dan teka-teki itu? Mengapa mereka memiliki corak perlawanan secara non-fisik ini? Apa dimensi historis dari pola perlawanan tersebut?

Tulisan ini memfokuskan pembahasannya pada pantun, talibun, dan teka-teki “tempo doeloe” (zaman kolonial Belanda), karena – sejauh yang penulis ketahui – pembahasan seperti ini belum pernah dilakukan. Di samping itu tulisan ini juga ingin mengungkapkan bahwa perlawanan terhadap kolonialis Belanda juga dilakukan oleh orang Minangkabau melalui ungkapan seni. Dan corak seni yang dipilih bukan bentuk seni yang sudah lazim dikenal, tetapi seni dalam wujud yang selama ini nyaris tidak diduga mengandung untuk perlawanan terhadap penguasa kulit putih itu. Zaman kolonial yang dimaksud dalam tulisan ini adalah parohan kedua abad ke-19 khususnya. Pemilihan batasan waktu itu juga dilatarbelakangi oleh sumber yang digunakan, yang memang berasal dari kurun waktu itu. Di samping itu, pemilihan batasan waktu ini juga ditujukan untuk menginformasikan bahwa perlawanan melalui ungkapan seni ini telah dilakukan dalam waktu yang lama, pada saat kekuasaan kolonialis tersebut masih demikian kuatnya di Minangkabau.

II

Sumber yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari Midden Sumatra Expeditie Jilid III Bagian 2. Buku itu pada dasarnya adalah catatan penelitian dan perjalanan yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan Belanda yang menjelajah kawasan pedalaman Sumatra (bagian tengan hingga selatan) yang dilakukan pada tahun 1877-1879 di bawah pimpinan P.J. Veth. Hasil ekspedisi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku tersebut dipublikasikan tahun 1881. Jilid II Bagian 2 karya ini umumnya mengungkapkan mengenai keadaan penduduk dan bahasa (serta berbagai tradisi seni bertutur), permainan, nyanyian, sejarah, dlsbnya. yang dimiliki penduduk bagian tengah hingga selatan kawasan pedalaman pulau itu. Namun perlu dicatat, meskipun deskripsi yang dikemukakan adalah kondisi yang berlaku pada perempat terakhir abad ke-19, namun spirit zaman dan latar belakang kebudayaan yang ditampilkan pastilah meliputi kurun waktu yang jauh lebih luas dari 25 tahun terakhir abad ke-19, setidaknya deskripsi itu juga mewakili era satu atau dua dekade sebelumnya. Hal ini pulalah yang mendasari pemilihan batasan waktu kajian ini meliputi pada parohan kedua abad ke-19 umumnya dan perempat terakhir abad ke-19 pada khususnya.

Sejumlah Alat Musik Tradisi Minangkabau Pada Perempat Terkahir Abad ke-19

(Sumber: P. J. Veth, Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-2. Leiden: E.J. Brill, 1881).

Pantun, talibun, dan teka-teki adalah tiga dari sejumlah produk budaya (karya seni) yang dimiliki orang Minangkabau yang dikemukakan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Ada 342 pantun yang disajikan dalam buku ini. Hampir semua pantun yang ditampilkan terdiri dari bait (kuplet) empat baris (namun ada juga beberapa buah yang terdiri dari 6, 8, dan 10 baris). Dari 342 pantun tersebut ada sejumlah pantun yang tumpuan atau sampirannya berkaitan dengan kehadiran atau aktivitas kaum kolonialis Belanda di Minangkabau dan ada dua dua pantun yang tumpuan atau sampiran serta isinya langsung berkenaan dengan kehadiran dan aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau. Kedua pantun inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.

Ada satu talibun yang dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Sebagaimana yang dikemukakan penulisnya, talibun yang ditampilkan dalam buku ini didengarnya di Padang. Sesuai dengan cirinya sebagai puisi bebas, maka talibun yang disajikan dalam buku itu terdiri dari 19 bait dengan jumlah baris yang sangat bervariasi, ada yang terdiri dari 27 baris dan ada pula yang hanya terdiri dari empat baris. Karena talibun juga bercirikan menceritakan satu cerita/kisah, maka sangat jelas terlihat bahwa talibun yang ditampilkan dalam buku ini adalah kisah penderitaan yang dialami penceritanya (orang Minangkabau) sebagai akibat kehadiran dan aktivitas politik/ekonomi kolonialis Belanda di daerah ini.

Teka-teki adalah juga karya seni “Urang Awak” yang ditampilkan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Dikatakan oleh penulisnya, ada banyak teka-teki yang dikenal/dimiliki orang Minangkabau saat itu, namun dalam buku ini penulisnya hanya menampilkan 56 buah. Ada dua teka-teki yang langsung berkenaan dengan kehadiran dan aktivitas Belanda di Minangkabau. Kedua teka-teki itulah yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Sama dengan pantun, sesungguhnya ada sejumlah teka-teki lainnya yang secara tidak langsung berhubungan dengan kehadiran dan aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau/ Sumatra Barat, namun karena penyampaiannya tidak begitu tegas, hanya dijadikan sebagai sampiran, maka teka-teki yang termasuk kelompok itu tidak termasuk yang didiskusikan dalam tulisan ini.

Merujuk informasi yang dikemukakan penulis buku tersebut, bisa dipastikan ada banyak lagi pantun, talibun, dan teka-teki yang dikenal serta dimiliki orang Minangkabau pada saat buku itu ditulis. Dan bisa pula dikatakan bahwa dalam banyak pantun, talibun, dan teka-teki tersebut ada juga ekspresi perlawanan terhadap kehadiran dan aktivitas kaum kolonialis Belanda di Minangkabau. Namun, karena apa yang disajikan dalam buku tersebut pasti setelah melalui seleksi oleh penulisnya, maka pantun, talibun, atau teka-teki yang terlalu “tajam” menohok kolonialis Belanda tidak ditampilkan.

III

Perlawanan secara fisik, sering disebut sebagai “reaksi yang ideal”. Seperti yang dikemukakan di atas, para penulis sejarah lebih memilih perlawanan secara fisik ini untuk diungkapkan dalam kitab-kitab sejarah yang mereka tulis. Setakat ini, pemerintah RI juga cenderung lebih menghargai anak bangsa yang berjuang secara fisik daripada non-fisik. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah pemberian gelar pahlawan kepada mereka yang berjuang secara fisik dibandingkan dengan mereka yang berjuang secara non-fisik. Bahkan, dalam perspektif agama Islam, perlawanan yang diberikan secara fisik juga mendapat tempat yang utama di mata Rasulullah. Realitas ini terlihat dari hadist beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim:

Daripada Abu Said al Khudri r.a. katanya: Aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesiapa dikalangan kamu melihat kemungkaran maka hendaknya dia mencegah dengan tangannya, sekiranya dia tidak mampu hendaknya dia mencegah dengan lidahnya, sekiranya dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (hadist sahih riwayat Muslim).

Perlawanan secara fisik telah dilakukan orang Minangkabau terhadap penzaliman kaum kolonialis dalam waktu yang lama. Pola perlawanan ini telah lakukan sejak pertama kali kaum kolonialis hadir di negeri ini (pada awal abad ke-17). Pola perlawanan seperti ini ini tetap berlanjut hingga mereka hengkang dari Minangkabau/Sumatra Barat tahun 1949. Namun, dari sejarah perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di daerah ini diketahui, bahwa puncak perlawanan secara fisik itu terjadi pada awal abad ke-19. Klimaks perlawanan tersebut dikenal dengan Gerakan atau Perang Padri. Sebagaimana diketahui, Perang Padri diakhiri dengan kekalahan orang Minangkabau/Sumatra Barat.

Setelah kalah dalam Perang Padri, walaupun perlawanan secara fisik ini masih tetap ada, pola perlawanan dengan senjata atau tulang delapan kerat bukan lagi yang paling utama. Orang Minangkabau mulai mengalihkan perlawanannya ke bentuk lain. Peralihan bentuk perlawanan itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: pertama, kekalahan yang dialami orang Minangkabau dalam Perang Padri menyadarkan mereka bahwa perlawanan secara fisik tidak mungkin dilanjutkan lagi. Pemerintah kolonial begitu represif menghadapi setiap bentuk perlawanan secara fisik yang dilakukan “Urang Awak”; kedua, semakin kuatnya kontrol atau upaya penegakan ketertiban dan keamanan (rust en orde) yang dijalankan oleh penguasa kolonial. Upaya ini ditandai dengan pengintensifan upaya pencegahan terhadap semua gejala yang mengarah pada perlawanan yang bersifat fisik serta penggunaan senjata; ketiga, semakin cerdas dan terpelajarnya “Urang Awak” sehingga mereka menghindari perlawanan menggunakan organ fisik dan senjata yang membahayakan keselamatan jiwa dan raga, serta mudah dideteksi oleh rezim kolonialis.

Pasca-Gerakan/Perang Padri pemerintah kolonial Belanda memang berupaya secara sungguh-sungguh menegakkan ketertiban dan keamanan di Minangkabau/Sumatra Barat. Mereka bereaksi dengan cepat terhadap semua perlawanan fisik yang dilakukan oleh orang Minang terhadap kehadiran mereka di daerah ini. Tidak itu saja, reaksi yang dilakukan juga sangat keras, serta umumnya dilakukan sampai tuntas hingga ke akar-akarnya. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman satuan tentara yang diberi wewenang melakukan apa saja dan kemudian ditindaklanjuti dengan pemenjaraan atau pembuangan para tokoh perlawanan ke daerah lain.

Sikap tegas dan keras kaum kolonialis Belanda inilah yang menyebabkan orang Minang menurunkan “level” perlawanan mereka, yakni melalui perlawanan secara non-fisik. Pola perlawanan secara non-fisik ini sesungguhnya juga merefleksikan kecerdasan dan keintelektualan para pelakunya, sebab, bila ditelaah dengan saksama, perlawanan secara fisik bukanlah reaksi yang elegan dan mencerminkan reaksi manusia sebagai makhluk yang berakal. Reaksi secara fisik (bila yang bersangkutan diusik), juga dilakukan oleh binatang. Makanya, perlawanan yang dilakukan secara non-fisik adalah reaksi yang seharusnya yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk yang berfikir, karena dibutuhkan kecerdasan dan keterampilan yang melibatkan otak. Perlawanan secara non-fisik sesungguhnya adalah perlawanan yang lebih beradab dan berbudaya.

Realitias historis memang menunjukan bahwa sejak parohan kedua abad ke-19 jumlah orang Minangkabau terpelajar memang meningkat dengan tajam. Mereka tampil menjadi kaum terpelajar, antara lain disebabkan oleh diperkenalkannya lembaga pendidikan (sekolah-sekolah) sekuler oleh kolonialis Belanda di daerah itu. Sejak tahun 1840-an berbagai bentuk dan jenjang sekolah diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat. Lulusan sekolah-sekolah itulah yang kemudian tampil menjadi golongan terpelajar di daerah tersebut. Merekalah yang mulai menyadari betapa kuatnya Belanda dan naifnya bangsa kita bila menghadapi kekuatan Belanda tersebut dengan mengandalkan kemampuan badaniah dan jasmaniah saja. Dari buah pikiran merekalah lahir berbagai ide dan bentuk perlawanan yang termasuk kategori perlawanan secara non-fisik terhadap kolonialis di negeri ini.

Perlawanan secara non-fisik ini juga dihadirkan oleh intelektual Islam yang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan Islam (tradisional) saat itu. Sejak kalah dalam Perang Padri, sebagian besar ulama Minangkabau melanjutkan perjuangan mereka melalui lembaga pendidikan (surau) dan surau tumbuh di berbagai tempat di Minangkabau (Sumatra Barat). Ada belasan kalau tidak puluhan surau besar (dengan jumlah murid ratusan orang banyak) di Minangkabau pasca-Perang Padri. Dari lembaga pendidikan itulah munculnya sejumlah intelektual Islam yang memiliki pandangan lebih moderat dalam menghadapi kehadiran dan aktivitas Belanda di daerah ini.

Pilihan perlawanan secara non-fisik, apalagi dengan menggunakan pantun, talibun, dan teka-teki juga didukung oleh situasi zaman saat itu dan latar belakang sosial-politik saat itu. Berpantun, bertalibun dan berteka-teki saat itu juga menjadi alternatif pengalihan kesusahan hidup. Aktivitas ini adalah juga sebagai hiburan yang menyenangkan. Namun pada saat yang sama, kegiatan ini juga menyisipkan “pesan-pesan politik” dari penggubah ke pendengarnya. Berpantun, bertalibun dan berteka-teki adalah salah satu upaya atau strategi bertahan di tengah kuatnya sikap opresif penguasa kolonial. Di samping itu, aktivitas ini adalah juga sebuah potret tingginya intelektualitas masyarakat pendukungnya, sebab mereka masih mampu menemukan cara lain yang lebih beradab dan berbudaya di tengah sikap opresif yang berlebihan dari pemerintah. Sebaliknya, bagi kaum kolonialis, apa yang disampaikan ini memang dirasakan (disadari) sebagai sebuah perlawanan atau setidaknya kritikan, tetapi karena disampaikan dengan cara yang halus (lewat “ungkapan seni”), maka “hantamannya” tidak begitu keras dirasakan.

III

Seperti disebut pada bagian terdahulu, ada dua bait pantun yang langsung berhubungan dengan kehadiran atau aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau/ Sumatra Barat yang dikemukakan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2. Lengkapnya, kedua bait pantun itu berbunyi:

Dahoeloe rabab nan batangkai

Kinilah kopi nan baboengo

Dahoeloe adat nan bapakai

Kinilah rodi nan bagoeno

(Dahulu rebab yang bertangkai

Sekarang kopi yang berbunga

Dahulu adat yang dipakai

Sekarang rodi yang berguna)

Bakudo ka Boekit-tinggi

Djalan ka sowoeq di kidakan

Ko datang rodi Gompani

Nasi di soewoeq di tinggakan

(Berkuda ke Bukittinggi

Jalan ke kanan dikirikan

Jika datang rodi Kompeni

Nasi yang sedang disuap ditinggalkan)

Kedua bait pantun di atas sangat jelas memperlihatkan situasi dan pengalaman Minangkabau/Sumatra Barat zaman kolonial Belanda (khususnya pada saat pantun ini diperkenalkan). Bisa dikatakan, pantun ini memang dibuat beberapa saat sebelum dituliskan dalam buku Midden Sumatra Expeditie ini. Sampiran dan isi dari kedua pantun ini berkaitan langsung dengan jiwa zaman dan pengalaman sosial, politik, ekonomi, dan budaya Minangkabau/Sumatra Barat yang terjadi pada masa kolonial (abad ke-19).

Pernyataan mengenai “kinilah kopi nan baboengo” menginformasikan tentang telah dikenalnya penanaman kopi di daerah ini. Kopi bukan tanaman asli Minangkabau/Sumatra Barat. Tanaman kopi baru diperkenalkan ke daerah ini sejak parohan kedua abad ke-18, dibawa dari Mekkah oleh orang Minangkabau yang pulang menunaikan ibadah haji.

Pada waktu-waktu awal masuknya tanaman ini, kopi hanya dibiarkan tumbuh liar, terutama di pekarangan rumah/kebun-kebun di sekitar kampung, atau dijadikan pagar pembatas kebun/pekarangan rumah. Tanaman ini belum dibudidayakan dengan sungguh-sungguh, apalagi orang Minangkabau/ Sumatra Barat belum/tidak mengonsumsi bijinya. “Urang awak” hanya memanfaatkan daun kopi yang telah dikeringkan. Pengeringan daun kopi biasanya dilakukan dengan cara merangkai sejumlah daun kopi dalam sebuah bilah dan disalai di atas tungku pemasakan (tentu saja juga bisa dilakukan dengan pengeringan di bawah terik sinar matahari). Pada saat-saat awal itu, biji kopinya dibuang begitu saja.

Keadaan mulai berubah sejak kehadiran pedagang Amerika akhir abad ke-18 dan ekspansi politik serta eksploitasi ekonomi Belanda pada awal abad ke-19 di daerah ini. Sejak saat itu biji kopi mulai dimanfaatkan (diperdagangkan). Puncaknya adalah dengan pelaksanaan tanam paksa kopi di Minangkabau/Sumatra Barat (1847).

Tanam paksa kopi adalah sebuah kebijakan ekonomi pemerintah kolonial yang lazim mereka namakan cultuur stelsel. Kebijakan ini mewajibkan setiap keluarga petani menanam, menjaga, memanen, memproses hasil panen, serta mengantarkan biji kopi hasil panenan mereka ke gudang-gudang kopi yang telah disediakan pemerintah. Kopi yang dikirim (diserahkan) ke gudang kopi haruslah merupakan biji kopi yang terbaik. Praktik tanam paksa kopi sangat menyengsarakan. Praktik ini pernah mengalami kejayaan yang luar biasa di Minangkabau/Sumatera Barat. Kejayaan itu terjadi beberapa saat sebelum buku Midden Sumatra Expeditie ini dibuat (dipublikasikan), yakni sejak parohan kedua dasawarsa 1850-an hingga akhir dekade 1860-an).

Pada saat itu kopi berbunga (dan tentu saja berbuah) di seantero Minangkabau/ Sumatra Barat. Sehingga cocok sekali dengan gambaran yang diungkapkan dalam sampiran dalam pantun di atas.

Selanjutnya pantun pertama di atas juga menginformasi (keluhan) tentang perubahan sosial yang dialami Minangkabau/Sumatra Barat. Perubahan yang dimaksud dalam pantun ini adalah tidak atau kurang dipakainya lagi adat di tengah masyarakat. Padahal, bagi orang Minangkabau (terutama di masa-masa sebelum kedatangan orang Belanda, adat menjadi dasar dari semua aktivitas mereka. Tambo, historiografi tradisional Minangkabau mengatakan “duduk beradat, berdiri beradat, berjalan dengan adat, berbicara dengan adat”, dlsbnya. Bahkan, jika mereka berjanji, mereka mengatakan “pado adat” (jika sesuai dengan adat), jadi bukan “insya-Allah”. Dan bukan pula sesuatu yang aneh bila saat itu orang Minangkabau akan sangat marah bila dikatakan “tidak beradat” (walaupun perilaku dan perangainya tidak sesuai dengan tuntunan adat).

Sejak ekspansi politik pemerintah kolonial ke Minangkabau/Sumatra Barat, satu demi satu praktik adat mulai dipreteli. Keberadaan penghulu dan pemerintahan nagari, yang selama ini menjadi lambang supremasi sosial-politik orang Minangkabau mulai diintervensi pemerintah kolonial. Pemerintah Hindia Belanda membentuk nagari-nagari baru dan mengangkat penghulu diluar ketentuan adat. Hukum adat dan praktik-praktik yang berkenaan dengan adat istiadat mulai ditinggalkan melalui sebuah pernyataan yang dikenal dengan nama “Plakat Panjang” yang dibuat tahun 1833. Melalui plakat ini, wewenang para penghulu mulai dilucuti dan melalui tangan penghulu, hak-hak adat masyarakat akan tanah mulai dihilangkan, hukum adat mulai diganti dengan barat, dlsbnya. Jadi, setelah masuknya kolonialis Belanda, adat memang mulai/telah ditinggalkan. Instruksi, kebijakan atau perintah pemerintah lebih diutamakan daripada ajaran adat. Inilah perubahan sosial dan politik (dalam bidang adat-istiadat) yang terjadi saat itu, dan dalam konteks inilah baris ketiga dari pantun di atas bisa dipahami maknanya.

Baris yang mengatakan “kini rodi nan baguno” menginformasikan bahwa sejak kehadiran kolonialis Belanda, praktik rodi menjadi suatu yang lazim. Rodi adalah praktik kerja paksa selama tiga atau empat minggu dalam setahun yang dikenakan kepada hampir semua penduduk (laki-laki). Mereka diwajibkan bekerja pada sejumlah pekerjaan (proyek pemerintah, seperti pembangunan jalan raya, jembatan, kantor-kantor pemerintah, gudang-gudang kopi, pembangunan sekolah, dlsbnya). Bila tiba giliran seseorang untuk ikut dalam rodi, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak ikut. Ada sanksi (hukuman) yang keras bila tidak segera menunaikan kewajiban ini. Sanksi tersebut bisa berupa penambahan (penglipat­gandaan) kerja paksa atau juga hukuman fisik, seperti hukum cambuk.

Betapa keras dan kuatnya pengaruh rodi ini, nyata dan tegas diungkapkan dalam pantun kedua di atas.

“Bilo datang rodi Gompani

Nasi disuok ditinggakan”

            (Jika datang rodi kompeni

            Nasi yang senang dimakan ditinggalkan)

Bila datang giliran untuk ikut kerja rodi, nasi yang telah terhidang atau jika seseorang tengah makan nasi, harus segera pergi. Makan tidak perlu dilanjutkan. Bila tidak segera pergi, sanksi dan hukuman akan segera berlaku.  Pantun kedua ini menegaskan bahwa rodi adalah momok yang sangat menakutkan bagi orang Minangkabau pada kurun waktu pantun ini dibuat. Dan itu pastilah segera setelah Belanda betul-betul hadir dan menguasai daerah ini (pasca-Perang Padri).

Dari berbagai sumber sejarah diketahui, bahwa dengan rodi, sejumlah agenda pembangunan pemerintah Hindia Belanda terlaksana dengan baik. Rodi adalah “ujung tombak” kesuksesan pembangunan infrastruktur transportasi, gudang-gudang kopi, kantor, sekolah, dlsbnya oleh pemerintahan Belanda di daerah ini.

Pantun di atas sekaligus merupakan ekspresi perlawanan mereka terhadap kemunduran praktik adat sebagai akibat intervensi kolonialis Belanda. Pantun di atas juga memperlihatkan ketidakberdayaan mereka menentang kebijakan (yang sangat memberatkan) yang dibuat pemerintah Mereka hanya bisa mengemukakan keprihatinan atau perlawanan mereka lewat pantun, karena secara sosial dan politik mereka saat itu tidak berdaya menghadapi kekuatan Belanda.

Belanda saat itu adalah pemenang dalam berbagai peperangan di Minangkabau (seperti Perang Paderi, Perang Batipuh, Pariaman, Padangpanjang, Situjuh, Solok-Selayo, dlsbnya). Kekuatan senjata kolonialis Belanda tidak bisa lagi dilawan oleh orang Minang saat itu. Apalagi, sejumlah orang Minang saat itu telah menjadi bagian pula dari mesin politik kolonialis.

Berbagai sumber sejarah bahkan menginformasikan, bahwa ikut-sertanya Belanda dalam Perang Padri adalah karena mereka diundang oleh sejumlah elit tradisional Minangkabau. Ketika kaum Paderi kalah, elit tradisional inilah yang menjadi mitra utama pemerintah Hindia Belanda. Bila terjadi kerjasama antara elit tradisional dengan kaum kolonialis, manalah mungkin rakyat “kecil” mampu melawan mereka secara fisik, sehingga kalau mereka tetap ingin melawan, maka perlawanan yang memungkinkan hanya lewat “ungkapan seni”, seperti pantun di atas.

Ekspresi perlawanan yang sama juga dikemukakan dalam talibun. Dalam karya sastra ini juga dikemukakan tentang adanya praktik kerja paksa (rodi) yang merupakan kebijakan kompeni (pemerintah Hindia Belanda). Dinyatakan dalam talibun ini, “rodi adalah pelaksanaan dari perintah residen. Rodi dilaksanakan dengan pengawasan seorang komandan polisi yang tegas serta keras. Bila bersalah, dengan berbagai cara (baik secara diikat atau dipegang, akan dibawa ke penjara (tangsi)”. Selanjutnya, dalam talibun ini dikisahkan tentang “proses hadirnya Belanda (kekuasaan kolonial) di daerah ini, yang dikatakan datang dari Betawi dengan kapal dan mendarat di Padang dengan sekoci”.

Beberapa baris talibun yang mengungkapkan adanya informasi tentang rodi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan rodi, serta kehadiran pemerintah Belanda itu adalah:

“…….

…….

Rodi Goempani talampau garang

Palentah residen di Padang

Angkek poelisi koemandan Si Mandi-Arang

Antah tarike, tarapegang

Di baownjo ka tangsi gadang

…..

……

Tatakalo maso tanah Batawi

Toeroen Oelando dari si kotji

Siapo baoentoeang dape sandiri

…..

…..”

            …..

…..

Rodi kompeni terlampau keras

            Perintah residen di Padang

            Dilaksanakan komandan polisi yang bernama Mandi Arang

            Dalam kondisi terikat atau dipegang

            Dibawanya ke tangsi (penjara) Padang

            …..

            …..

            Tatkala zaman ranah Betawi

            Turun Belanda dari sekoci

            Siapa yang beruntung mendapat sendiri

            …..

            …..

Sesuai dengan defenisinya, teka-teki juga bermakna permainan. Namun dalam permainan tersebut juga sering terselip sindiran, kritikan atau bahkan perlawanan. Ada dua teka-teki yang menggambarkan sikap/pandangan “urang awak” terhadap kolonialis Belanda. Kedua teka-teki tersebut adalah:

Sagadang-gadang koeman

Koeman a nan gadang

Dj. Koemandoewe

                                    Sebesar-besar kuman (bakteri)

                                    Kuman apa yang paling besar

                                                Jawab: kumandor (angku mandor)

            Sagadang-gadang oela

Oela a nan gadang

            Dj. Oelandoe

                                    Sebesar-besar ular

                                    Ular apa yang paling besar

                                                Jawab: Ulanda (Belanda)

Dilihat secara sepintas lalu, teka-teki di atas kedengarannya “lunak”. “Sampiran” dalam teka-teki pertama, kedengarannya wajar sekali. “Kuman (bakteri) apa yang paling besar”. Pertanyaan ini terlihat sangat wajar dan biasa. Namun bila dialisis dengan lebih saksama, sampiran itu sesungguhnya sudah langsung memuat pandangan yang “tajam”. “Kuman” dalam bahasa Minangkabau berarti dua; pertama, bakteri (bibit) penyakit dalam artian yang sesungguhnya; kedua, sesuatu yang tidak disukai atau membawa petaka. Seseorang yang kehadiran atau keberadaannya membawa kesusahan atau kekacauan di tengah masyarakat sering disebut sebagai “kuman”.

“Kumandoewe” atau mandor adalah sosok yang merupakan perpanjangan tangan aparat kolonial dalam menjalankan berbagai kebijakan politik dan ekonominya. “Kumandoewe” atau mandor adalah salah satu sosok yang paling bertanggungjawab atas pelaksanaan rodi atau tanam paksa kopi. Dialah yang menjemput, mengawasi, bahkan menghukum para pekerja paksa (rodi) atau rakyat (petani) yang terlibat dalam pelaksanaan tanam paksa kopi. “Kumandoewe”atau mandor sangat ditakuti dan sekaligus dibenci, sehingga dikatakan sebagai „kuman” yang paling besar.

Gejala yang sama juga terlihat dalam teka-teki kedua. Isi teka-teki kedua ini kedengarannya juga “lunak”. “Sampiran” yang disajikan juga wajar kedengarannya. Namun bila dianalisis, terlihat betapa “tajamnya” pesan yang disampaikan teka teki ini. Pertanyaan tentang ular kedengarannya biasa saja, tentang sejenis makhluk melata yang tidak berbeda banyak dengan makhluk hidup yang lain. Namun, ular juga memiliki makna ganda dalam masyarakat Minangkabau. Di samping berarti makhluk hidup (melata) ular juga dimaknai sebagai sesuatu yang licik, penghianat, tidak bisa dipercaya, dlsbnya. Dalam jawaban terhadap teka-teki di atas, Belanda disamakan dengan ular.

Sama dengan pantun dan talibun, teka- teki sesungguhnya juga merupakan ekspresi perlawanan ketika orang Minangkabau/Sumatra Barat tidak mampu lagi melawan secara fisik. Teka-teki adalah bentuk perlawanan yang sekaligus upaya menghibur diri dari orang Minangkabau/Sumatra Barat. Dengan berteka-teki mereka masih bisa menertawakan aparat pemerintah kolonial khususnya dan orang Belanda pada umumnya.

IV

Bila dikaitkan dengan karakter orang Minangkabau, adanya peralihan perlawanan terhadap penguasa yang zalim (pemerintah kolonial), dari perlawanan secara fisik menjadi perlawanan lewat “seni bertutur”, bisa dikatakan bahwa orang Minangkabau memiliki karakter pantang menyerah dan mereka tidak akan berhenti melawan penindasan penguasa yang zalim. Dalam upaya menghadapi penguasa yang zalim itu, mereka rela mengganti strategi, walaupun strategi baru yang akan dipakai (dilihat dari kacamata sosial, politik atau agama) dinilai lebih rendah mutunya.

Pergantian pola perlawanan ini juga merefleksikan kecerdasan mereka dalam mencari strategi dan inovasi baru. Dengan strategi dan inovasi baru tersebut secara psikologis mereka menjadi tidak terbebani, perlawanan tetap dilanjukan, badan “selamat” dari pembalasan penguasa yang zalim, dan sekaligus bisa menghibur diri. Jadi dengan pola perlawanan “baru” ini, bagaikan pepatah, “sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.

Namun, menarik juga melihat realitas yang terjadi kemudian. Pantun, talibun, dan teka-teki – ternyata – tidak hanya bisa dimaknai sebagai ekspresi perlawanan terhadap kezaliman pemerintah kolonial, tetapi juga dilakukan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah bangsa sendiri. Ekspresi perlawanan tersebut bisa dilakukan dengan “memodifikasi” atau mengambil bentuk pantun, talibun, teka-teki “tempo doeloe” dan mengganti kata-katanya dengan kata-kata lain sehingga kandungannya jadi berubah (sesuai dengan kondisi “kini”), atau dengan membuat pantun, talibun, dan teka-teki yang baru sama sekali. Walaupun demikian, konteks pembicaraan atau realitas yang disajikan tidak lagi semata mengenai perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Minangkabau/Sumatra Barat, tetapi telah meluas ke tingkat Indonesia. Sayangnya, ungkapan “seni” ini relatif belum terkumpul (belum dibukukan) dengan utuh.  Umumnya, pantun, talibun, dan teka-teki “baru” ini hanya berkembang secara lisan (atau melalui media sosial) di tengah masyarakat luas. Sehingga tidak ada referensi khusus yang bisa dijadikan rujukan.

Ada banyak contoh yang bisa disajikan dari “modifikasi” pantun, talibun, teka-teki ini. Salah satu pantun hasil “modifikasi” dari pantun pertama di atas adalah:

            “Dahulu rabab nan batangkai

Kini kopi dan babango

Dahulu untuak jadi pegawai utak nan dipakai

Kini pitih nan baguno”

                        Dahulu rebab yang bertangkai

                        Sekarang kopi yang berbunga

                        Dahulu untuk menjadi pegawai otak yang dipakai

                        Sekarang uang yang berguna

Beberapa kalimat dari talibun yang pernah didengar di Talu (Pasaman Barat) berbunyi.

‘…..

…..

Ganti zaman, ganti pamimpin

Ganti pamimpin ganti kuaso

Kuaso marubah apo nan lah dibuek

Maurak nan lah dijalankan

Kamajuan untuak rakyaik indak nampak

….

….

Alah limo pamarentahan bajalan

Alah banyak nan barubah

Nasib kami co iko juo

…..

…..”

Berganti zaman, berganti pemimpin

Berganti pemimpin berganti kekuasaan

Kekuasaan merubah apa yang telah dibuat

Mengganti yang telah dijalankan

Kemajuan untuk rakyat tidak kelihatan

….

…..

Telah ada lima pemerintahan

Telah banyak perubahan

Nasib kami seperti ini juga

….

….

Dibandingkan dengan pantun dan talibun, teki-teki mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat. Perubahan dan pertumbuhan yang pesat bisa dilihat dari jumlah dan pola penyampaian. Walaupun belum atau tidak ada yang menghitung serta menghimpun secara khusus, dipastikan ada ribuan teka-teki yang “sarat makna” atau berisikan pesan perlawanan ini (namun sekaligus memiliki unsur menghibur).

Beberapa contoh teka-teki yang termasuk kategori “kontemporer” ini ditampilkan dalam bentuk akronim. Misalnya, pada tahun-tahun terakhir Orde Baru, sebagai kritik terhadap pemerintahan Presiden Soeharto, muncul misalnya teka-teki “apa kepanjangan BATAM?”. Jawabnya, “Bila Ada Tutut, Anda Minggir”. Teka-teki ini adalah ekspresi perlawanan terhadap dominasi keluarga Soeharto dalam bisnis (proyek pembangunan) di Indonesia saat itu. Bila ada sebuah bisnis atau proyek pembangunan yang akan dikerjakan, dan ketika pekerjaan (proyek) itu akan ditenderkan, maka bila ada perusahaan Tutut Soeharto yang ikut pelelangan proyek tersebut, maka perusahaan lain dipastikan akan kalah (sehingga sebaiknya mereka mundur saja).

Di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, di kalangan “lawan-lawan politiknya”, muncul teka-teki “apa kepanjangan SBY?” Jawabnya, “Suka Bencana Ya”. Teka-teki ini muncul atau dimunculkan, karena kebetulan (atau tidak) sejak tampilnya SBY ke tampuk pemerintah RI bencana memang silih berganti melanda negeri ini, apa banjir, gempa bumi, kekeringan, hingga kegaduhan/perkelahian antar kelompok masyarakat atau antar-aparat keamaman, dan masih banyam bencana lainnya.

Terlepas dari perkembangan yang terakhir, pantun, talibun, dan teka-teki adalah media yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai kelompok masyarakat yang sedang terjepit untuk mengaktualkan diri mereka, atau bahkan untuk melakukan perlawanan. Karena pantun, talibun, dan teka-teki adalah juga produk kebudayaan, dan kebudayaan akan senantiasa tumbuh dan berkembang, maka pantun, talibun, serta teka-teki akan terus berubah dan berkembang. Perubahan dan perkembangan ini akan semakin cepat seiring dengan cepatnya perubahan zaman.

Semua kita telah ikut-serta dalam perubahan itu dan telah ikut pula membuat pantun, talibun, teka-teki, atau karya-karya “seni” lain yang berekspresikan perlawanan. Bukankah melawan terhadap kezaliman dan penzaliman adalah sebuah kewajiban?

Daftar Kepustakaan

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784 – 1847. London: Curzon Press, 1983.

Goud, J.W., „Sumatra-America’s Pepperpot 1784-1873“ EIHC, xcii., 1956.

Graves, Elizabeth E., “The Ever Victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia Solved Their ‘Colonial Question’”. Ph. D. Disssertation, Univ. of Wisconsin, 1971.

Kraus, Werner, Zwischen Reform und Rebellion: Ueber die Entwickelung des Islams in Minangkabau (West Sumatra) Zwischen den Beiden Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908): Ein Beitrag zur Geschichte der Islamisierung Indonesiens. Wiesbaden: Frans Steiner Verslag, 1984.

Mardjani Martamin et al., Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatera Barat. Jakarta: PIDSN, Dirjen Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud, 1982.

Mestika Zed, “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Ekonomi Kolonial di Sumatera Barat 1847-1908”, Tesis M.A., Univ. Indonesia, 1983.

Mohammad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837). Djakarta: Djambatan, 1954.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Veth, P.J., Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-1. Leiden: E.J. Brill, 1881.

Veth, P.J., Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-2. Leiden: E.J. Brill, 1881.

Konflik Keluarga Kerajaan dan Pembuatan Silsilah atau Ranji

Sejak hari-hari pertama Era Reformasi, raja-raja mendapat tempat lagi di Indonesia umumnya dan di Sumatra Barat khususnya. Banyak raja yang dinobatkan atau banyak istana yang dibangun baru. Asosiasi-asosiasi raja juga bermunculan. Sayangnya, kebangkitan raja-raja ini – umumnya – juga diringi oleh perselisihan antarsesama angota keluarga mereka. Ada saling klaim dari anggota-anggota keluarga kerajaan tersebut, saling klaim tentang siapa yang paling berhak menyandang gelar raja, yang dipertuan, daulat, atau gelar-gelar lain yang mereka lekatkan atau dilekatkan pada mereka.

Menariknya, dalam proses saling klaim tersebut masing-masing pihak menghadirkan kisah sejarah, silsilah atau ranji mereka. Maka muncullah sejumlah rekonstruksi sejarah, silsilah atau ranji dari berbagai keluarga kerajaan tersebut.

Gejala seperti ini bukan saja muncul pada waktu belakangan, namun juga terjadi di masa lampau. Bisa dikatakan, konflik antarkerabat kerajaan atau kedatuan sangat lazim terjadi di masa silam. Bahkan hampir tidak ada kerajaan atau kedatuan yang tidak pernah mengalami konflik keluarga. Tidak jarang konflik itu berakhir dengan perang terbuka, saling bunuh atau mengadu atau minta bantuan pada pihak lain.

Mengadu atau minta bantuan kepada pihak asing nampaknya juga sudah sangat lazim di kalangan keluarga kerajaan. Pemerintah kolonial adalah salah satu pihak asing yang dimaksud. Di samping banyak akibat negatif, tentu ada aspek positifnya dari ‘kerja sama’ antara pihak kerajaan dengan pemerintah kolonial itu. Salah satu dampak positif yang dimaksud adalah tersimpannya arsip ‘kerja sama’ tersebut.

Ada banyak surat pengaduan atau permohonan bantuan dari keluaga kerajaan kepada pemerintah kolonial, termasuk kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda. Isi surat tersebut bermacam ragam, salah satu diantaranya adalah minta diakui atau diangkat sebagai raja. Tidak jarang, surat permohonan itu disertai dengan lampiran yang berisikan keterangan tentang lebih berhaknya  pihak yang meminta bantuan dibandingkan dengan pihak yang lain. Keterangan itu umumnya disajikan dalam kisah sejarah, silsilah atau ranji yang bersangkutan. Termasuk juga keterangan mengenai berbagai kekurangan, kesalahan atau perbuatan jahat yang dilakukan pihak lain terhadap yang membuat surat.

Dari segi sejarah, surat-surat yang dikirimkan kepada penguasa tertinggi Hindia Belanda itu sangat penting artinya. Dari surat itu kita bisa mengetahui banyak hal berkenaan dengan keluarga kerajaan, sejarah keluarga kerajaan, bahkan juga sejarah daerah (lokal) di mana kerajaan itu berada. Informasi ini sangat tinggi nilainya untuk merekonstruksi sejarah keluarga kerajaan tersebut khususnya sejarah lokal di mana kerajaan tersebut berada. Di samping itu, informasi ini juga sangat penting artinya bagi kalangan linguis untuk mengkaji berbagai hal yang berhubungan dengan gaya berbahasa, kaidah berbahasa, dlsb. dalam dunia tulis-menulis tempo doeloe.

Berikut ini adalah salah satu surat yang berisikan konflik antarkerabat kerajaan dan lampirannya berupa kisah sejarah serta silsilah atau ranji keturunan yang sangat kaya akan informasi historis dan aspek-aspek kebahasaan yang bisa dikaji lebih lanjut oleh sejarawan dan ahli bahasa.

Mengadab!

Kabawah dauli Seripadoeka jang mahamoelia

Toean Besar Gouverneur Generaal jang kapala kapala koeasa

mamarentahkan Nederland’s Hindia bertachta

die

      Buitenzorg

Dengan segala hormat di perhamba saorang melajoe nama Soetan Perhimpoenan gelar Toeankoe Besar soekoe Djambak kapala Laras Parit (Si Kabouw) afdeeling Ajer Bangis jang soedah pensioen; menjambahkan sapoetjoek rekest den 1 boeah soerat tambo katoeroenan kerdjaan Radja negri Parit, baserta mamoehoenkan permintaan kebawah talapakkan Seripedoeka jang mahamoelia Saperti perhamba terangkan di bawah ini; jaitoe kerdjaan Radja negri Parit itoe toeroen tamoeroen hingga sampei pada perhamba ini den djoea perhamba brenti di hoendi ganti perhamba anak perhamba nama Si Ketjik dapat besluit dari Toean Besar Padang; sebab itoe Si Ketjik misi ketjil lagi Datoek Gadang nama Si Samsan djadi wakilnja. Bersama ini perhamba perikatkan salinannja Soerat Bisluit anak perhamba nama Si Kitjik itoe. Djadi sekarang Dt. Gadang soedah berenti (oenslahe) maka nama anak perhamba itoe hilang sahadja; Dan naik kapala Laras Oedjoeng Gading mendjadi wakil Laras Parit, maka segala adat Radja negri Parit sekarang telah mati den hilang: Sabelah ijaáni: I. Kakoewasaän mangawinkan orang jang tidak berwali. Selama Radja Parit djoega jang mengawinkan sekarang I ambil koeasa sahadja oleh Toeankoe Laras Oedjoeng Gading. II. Di Gantinja Imam Chatib bilal pegawai ädat dengan tidak patoetnja. III. meengganti dan maängkat pengholoe ädat tidak jang patoet Gantinja. IV. Dihilangkannja ädat Radja dan orang jang mendirikan adat Radja dalam negri Parit.

Maka oleh sebab itoelah hati perhamba sangat hiba dan merasa; maka perhamba poehoenkan dengan limpah koernia jang mahamoelia Soepaja ädat Radja negri Parit itoe berdiri djoega separti biasanja dan boleh dipakai anak tjotjoe perhamba jang tidak merosakkan  dan jang tidak terlarang oleh oendang٢ kalau boleh di perhamba mintak jang mahamoelia menoeroenkan nikmat dan rachmat soepaja salah satoe daripada anak tjotjoe di perhamba di angkat mendjadi Radja ädat dalam negri Laras Parit (Si Kabauw) dengan sapotong soerat bantoean dari Gouvernement; den perhamba berharap dengan beriboe٢ pengharapan jang mahamoelia melajangkan sapotong soerat akan djadi pertoendjoek den pengadjar bagi di perhamba orang jang hina babal miskin ini demikianlah Seripadoeka jang mahamoelia Gouverneur Generaal lebih maaloem adanja.

Tertoelis I Loeboek Si Kaping pada 21 Maart 1904

Sambah Simpoeh dengan

beriboe-riboe hormat di perhamba

kapada Laras Pensioen Parit

(Si Kabauw) afdeeling Ajer Bangis

(Tanda tangan Soetan Parhimpoenan)

Bismillahirrah Manirrahim

Alhamdoelilla hilrazi, kamoedian dari itoe ijalah ini Soatoe Patsal djalan atzal katoeroenan orang Kaja Samsoediradja toeoren dari Minangkabau dari negri Batipoeh Baroeh, ialah orang Kaja Samsoediradja datang Dari Minang Karbai djalan dari Koempoellan bersama2 dengan datoek Besar djalan di Koempoellan, berbagilah Orang Kaja Samsoediradja dengan Datoek Basar2 djalan ka goenoeng serta dengan anak Kamanakannja sampei di Loeboek Si Kaping Orang Kaja Samsoediradja Menoedjoe katapi laoet laloe ka ladang Pandjang di sitoe laloe ka Kinali bermalam di Kinali ijalah pertoewa orang Kinali itoe bergalar Soetan Moeda maka bertanjalah Soetan Moeda dari Mana Radja datang handak kamana Radja berdjalan nangko? kato: orang Kajasamsoediradja kami nangko handak mantjari tanah nan lamboek padi mandjadi mantjari negri tampat diam nan kata Soetan Moeda kalau nan itoe nan Radja tjari baiklah djalan pasir laoet Radja toeroet. Pada pagi hari berdjalanlah Orang Kaja Samsoediradja bersama dengan pengiringnja ijalah Magat Maradja serta anak Kamanakannja dan ampang lima Sati serta anak bininja. Sampei poela di di negri Si Boelahan ijalah Radja dalam negri Si Boelahan itoe bergalar Soetan Ibrahim Sjah, Maka bermalamlah Orang kaja Samoediradja di roemah Soetan Ibhrahi Sjah. Maka bertanjalah Soetan Ibrahim Sjah, dari mana Radja datang? handak kamana Radja berdjalan nangko? nagkato Orang Kaja Samsoediradja kami nangko handak mantjari tanah nan laboek Padi mandjai mantjari negri tampat diam nan kato Sotan Ibrahim Sjah: Kalau itoe nan Radja tjari baeklah ka Moeara Si Kabauw Radja (laras Parit).-Disitoe negri nan lebar, ada orang diam di sitoe bergelar Datoek rang kaja Balai.- kalau Radja handak mantjari negri disitoelah negri nan lebar; dari tapi laut sampai di Goenoeng Mahalintan; maka malam itoe  dapatlah etongan. Pada pagi hari di hantarlah ole Soetan Ibrahim Sjah hingga kampong Panindjawan: ijalah kampong Bandaharo Radjo; maka di toendjoek oleh Soetoan Ibrahim Sahlah Goenoeng Si Kabauw laloe berbalik Soetan Ibrahim Sja. Orang Kaja  Samsoediradja laloe berdjalan sampai di Moara Si Kabauw, bertemoelah dengan Datoek rang kaja Balai nan kato Datoek rang kaja Balai dari mana Radja datang handak kamana Radja berdjalan nangko. nan kato Orang kaja Samsoediradja kami nagko datang dari Minang Kabau handak mantjari tanah nan lamboek padi mandjadi mantjari negri tampat diam: Maka djawab oleh Datoek rangkaja Balai kalau itoe nan Radja tjari hambak mintaklah Radja di siko lah kita diam karna hamba beloem beradja, kerna iko negri sampai lebar dari tapi laut sampai di Goenoeng Mahalintang boleh radja hamba Radjakan hambo djadi orang toewa ädat laloe di karang soempah dan satie baharoelah orang kaja balai djadi bandaharo:

Orang kaja Sasoediradja kardjaän. Hannjalah djabatan Datoek rang Kaja Balai mamegang Pajong Gadang (pajong kerdjaän);  Magat Maradja djadi ampat Soekoe ampang lima sati djadi doebalang djabatan ampat soekoe membawak toengkat dan mandjoendjoeng limau, ampang llima Sati padang dan badil (sinapang). Kamoedian baroelah di soesoek negri kotta tinggi, datanglah Kali Madjolelo dari Minang Karbau negri Soempoer mamboeat kampoeng di hilir Kotto tinggi itoe bergalar koto tinggi ketjil. Baharoelah mandjoedjoer Orang kaja Samsoediradja ka Mandahiling ketjil kasabadolok di ambil anak Matoea Radja Namora di bawak ka Kotta Tinggi. Tataplah kerdjaan Orang Kaja Samsoediradja dalam negri si Kabau kampoeng Kotta tinggi, masa Orang kaja Samsoediradja itoe datanglah orang Pati Boeboer mamarangi dalam parang itoe beloem lagi tantoe alah manangnja orang Kota tinggi Ketjil menoetoeh kandang kampongnja, maka datanglah orang Mandahiling, manolong parang itoe ijalah bergelar Radja Naääm, dan Radja Nalela: itoe parang alahlah Orang Pati Boeboer laloe lari poelang sampai di Pati Boeboer; baharoelah baralat mamotong karbou, Radja Naääm diangkat djadi basar nantoeanja, kali Madjolelo toeroen djadi indoek pangkatnja lingkoeng aur; Kamoedian dari itoe matilah Aorang kaja Samsoediradja tinggallah anak djoendjoengannja tiga orang nan toeanja djadi kerdjaan manggantikan bapaknja ijalah bergalar orang kaja Radja Gagar nan parampoean bernama Potri Tangah jang bongsoe bergalar Chatib Katjil, Baharoelah pindah orang kaja Gagar mamboeat negri ka Goenoeng bernama kampoeng Goenoeng masa itoelah datang Radja na Chalat dari Moeko2 handak soemando kapada Putri Tangah laloe berkawinlah Putri Tangah dengan Radja Naclat itoe, masa itoe orang kaja Gagar djadi kerdjaan di kampoeng Goenoeng, datanglah Soetan Madjolelo dari Singkoewang membawak anak kamanakannja maka bertanjalah Soetan Madjolelo, Radja apa soekoe? nan kato Orang Kaja Radja Gagar kami soekoe Djambak toeroen dari Minang karbou batipoeh Baroeh nan kato Soetan Madjoleli kami nangko datang dari Singkoewang mambawek aer Satjoemaning tanah nan sakapal telah ada doea tiga negri kami masoekki di tahil tanah dan aer jang kami kawak dengan tanah dan aer jang di tapati barat djoega tanah dan aer jang kami bawak dari Singkoewang dan itoelah kami mintak kapada Radja kalau boleh ditail tanah den aer jang kami bawak dari singkoewang dengan tanah negri ini kata orang  kaja Gagar baeklah, maka di tail lah tanah den aer dari Singkoewang itoe dengan tanag den aer di negri Si Kabau itoe ijalah sama barat tidak berkoerang berlabih, djadi Soetan Madjolelo tinggallah di bawah parentah Orang kaja Radja Gagar mendjadi Basar ijalah anak bergombak oleh orang kaja Radja Gagar baroe diboeawat Soempah dan Satie oleh Orag kaja Gagar den Soetan Madjolelo.

Ijalah titah Orang Kaja Radja Gagar kapada Datoek Gadang anak datoek Rangkaja Balai adapoen itoe Radja Naääm anak toewa kapada kami den Soetan Madjolelo anak bergombak datoek Gadang djadi Bandaharo Magat Maradjo djadi ampat soekoe Oedjong lida, ampang lima Sati djadi doebalang; Kali Madjolelo Indoek Soekoe kalau ada bekardja Sapandjang ädat Maängkat Radjo: Radjo Naääm mangoegoeh agong Datoek Gadang manjaboet nama mahimbau kan galar Soetan Madjolelo kapada Sambah ampat Soekoe mamangkoe radjo ampang lima Sati mamegang padang manoeroet Kali Madjolelo manjambah bersama2 dengan Soetan Madjolelo; Kamoedian beroelah manjambah sakalian raäajat damikianlah adart kerdjaän Orang kaja Radjo Gagar di Goenoeng kamoedian dari itoe ijalah kerdjaän dig anti oleh adiknja Chatib katjil, maka di alihnja negri di kampoeng kadjai Soedaranja Putri Tangah pindah katangah Padang; Chatib katjil itoe orang akajo kampoeng kadjai (Orang kajo Samsoediradja) Kamoedian matilah kajo di kampoeng kadjai, naik kerdjaanlah Orang kajo Tangah Padang anak Potri tangah bergalar orang kajo Radjo Bagindo, Pada masa orang kaja Radja Bagindo inilah orang banjak datang.-

Adapoen Orang kaja Radja Baginda itoe tidak dianja berbini hannjalah bergoendik doea orang saorang orang Oedjoeng Gading den saorang orang Tampoes; Goendiknja orang Oedjoeng Gading itoe beranak saorang laki2 dengan Tampoes itoe beranak doea orang, saorang laki2 dan saorang perampoean dan anak orang kaja Tengah dengan orang Oedjoeng gading itoe di nikahkannja dengan kamanakannja Soedara Orang kaja di kota Radja, mati orang kaja Radja Baginda, naiek kerdjaänlah Orang kaja Samsoediradja di Kota Radja, laloe di soeroehnjalah Iparnja serta soedaranja Parampeoan, mamoedikkan batang Soengai Kalam, mentjari Tambang amas sampai di Ampaloe laloe diparboeat kampoeng Ampaloe ditjari Bandar Tambang ijalah kapala aernja batang Simpang kanan. Kamoedian mati Orang kaja Kota Radja itoe, naik kerdjaänlah Orang kaja Radja Gagar anak orang kaja Tangah Padang manggantikan Iparnja, maka tataplah negri di ampaloe terboekalah Tambang Gadang, mati orang kaja Radja Gagar ijalah jang di galar orang kaja di bawah Sarik kerdjaännja digantikan oleh adiknja bergelar Orang kaja Atas Lawas karna anak Orang kaja Radja Gagar lagi ketjil soedah diberi galar Orang kaja Samsoediradja dan orang kaja Atas Lawas diamnja poen di Atas Lawas, tetapi kerdjaännja di Ampaloe djoega tidak berapa lama orang kaja Atas Lawas kerdjaän matilah dianja, maka kerdjaanja diganti oleh Orang kaja Samsoediradja anak orang kaja Radja Gagar, jang di galar Orang kaja di bawah kijau masa Orang kaja Samsoe di Radja itoelah berdiri kampoeng Loeboek Gadang den kam: Simpang den kam. Aer kamoeming den kam Danau di bari pangkat pada orang Danau bergalar Radja Sampono den sakalian orang di oeloe saperti Lapoe den Pagambiran den Oloe Lapoe den Tambang Padang. Kamoedian matilah Orang kaja Samsoediradja digalar orang dianja Orang kaja di bawah kijau kerna koeboernja di bawah kijau, kerdjaannja di ganti Orang kaja Saroeng Besar, kerdjaannja diganti oleh kamanakannja bergalar Orang kaja Radja Gagar2 masa itoe negri sangat soesah kerna banjak parang djangak den tjoeri maling poen djadi.

Kamoedian mati Orang kaja Radja Gagar (bapak sako) itoe kerdjaannja diganti oleh Toeankoe Basar aer batoe, masa itoe didirikan kamp. djoewäl den kamp. Bandar den Limau Soendai den kamp. menganang (Batang Lapoe). Kamoedian dari itoe maka datang lah kampani Inggris memarangi kamp. aerbatoe tiga moesim lamanja. Baharoe lah beroetjap (berdamai) maka di kasi kampani Inggris Toewankoe Basar Ajerbatoe satoe Marijam basi den dapat gadji sapoeloe rijal satoe boelan, tidak berapa lamanja kira2 ada anam boelan atau todjoeh moesim bertoekarlah kampani Inggris dengan kampoani belanda, dalam itoe datanglah parentah Bondjol ijaitoe Toewankoe Imam. Maka Toeankoe Basar Ajer Batoe poen soeroeh boenoehnja sakalian Radja jang gagah2 habih diboenoeh oleh Bondjol. Kamoedian kira2 ada doewa belas moesim baharoelah masoek kampani balanda menolong negri Parit mentjari kaadilan mandirikan ädat den limbago maka sampeilah kampani belanda dalam negri Parit di pareltainjalah anak tjoetjoe Orang kaja Samsoediradja jang akan diangkat kerdjaän di dalam laras Si Kabau; Maka dapatlah Soetan Chalipah ijalah di angkat djadi Radja kerna Soetan Chalipah itoe anak Poetri Seri Banoen itoe adiknja bernama Potri Seri Banoewa anaknja 2 orang, Soetan kanaikan den Soetan Azal. anak Potri Seri Banoen 2 orang, Soetan Chalipah den Radja Bagindo itoelah kemenakan Toeankoe Basar jang diboenoeh orang Bondjol, di angkat kampanilah Soetan Chalipah djadi Radja dalam laras Si Kabau kampoen Parit begalar Toeankoe Batoe, den laloe di bawak kampani mamarangi Biondjol, serta skalian hamba rajat dalam laras Parit, Soedah kalah Bondjol baharoe poelan ka Parit tatablah kerdjaan Toeankoe Basar Soetan Chalipah. Kamoedian datanglah orang Bondjol berdjangak ka negri Pasaman, maka jang di Pertoean mintak tolong sama Gouvernement, maka Toeankoe Basar Soetan Chalipah  di bawak poela oleh Gouvenement berdjago dalam negri Pasaman di bawak lagi sampei di Rau sampei di Loeboek I Kaping kamoedian poelang di Parit.

            Adapoen Soetan Chalipah tidak ada soedaranja perampoean: Moepakatlah dianja ampat, Soetan Chalipah Soetan kanaikan den Radja Azal den Radja Baginda; den mandjoedjoerlah Radja Baginda di ambil perampoean anak Radjo Perlagoetan kampoeng Si Poerwak bergaar Potri Seri negri ijalah beranak 2 orang jang toewa bernama Soetan Perhimpoenan jang  bongso bernama Potri Maligai, maka mintak berantilah Toeankoe Soetan Chalipah, moefakatlah negri mentjarikan gantinja kerna Toeankoe Basar Soetan Chalipah handak pergi ka Mekah ijalah adiknja Radja Baginda djadi ganti kerdjaän Toeankoe Basar, den digalar Toeankoe Basar Radja Baginda, laloe di kasi Goevernement belanda Besluit (Soerat angkatan). Tatablah Toeankoe Basar Radja Baginda mamegang parentah negri Si Kabau di kampoeng Parit Selamat baik sadja tidak soeatoe apa jang salah, maka Toeankoe Basar Radja Baginda handak pergi ka Mekah maka Toeankoe Basar Radja Baginda mintak berrenti dengan baek, djadi gantinja Toeankoe Basar Radja Azal; kira2 7 moesim Radja Azal dianja mintak beranti; gantinja sajalah Soetan Perhimpoenan anak djoedjoeran Radja Baginda itoe, kerna saja Soetan Perhimpoenan beloem sampai oemoer Datoek Gadang Si Badoeakin djadi wakil masa itoe habis binasalah negri Parit kerna Dt G. itoe tidak tahoe mamarentah kamp.2 jang djaoeh dari laboeh di Pindahkan den mintak Oepah sama toean Asistent 2 orang satoe nama Si Karim satoe nama Si Pindah itoe kamp.2 di bakar: 1. kamp. Pagambiran 2 kamp. T. Padang 3. Oeloe lapoe 4. aer Basoeng 5. kamp. Djoeal 6Poelau aer 7. Kota Radjo; Kamoedian Toeankoe Basar Radja Baginda Poelang dari Makah, pergi mengadab toean Asistent Resident Panderpeld: mengatakan negri roepanja akan roesak anak hamba Soetan Perhimponean beloem sampai oemoer, kata itoe toean baek Toeankoe Hadji dahoeloe malakoekan pakerdjaän samantara Soetan Perhimpoenan beloem besar. Ada kira 4 tahoen di belakang itoe, maka naik kerdjaan den mamarentahlah hamba dengan Besluit dari Gouvernement, dari Moeda sampei toewa melakoekan panitahan Gouvernement sampei sekarang hamba dapat pensioen dari Gouvernement f. 12-50 saboelan, lamanja pegang pakerdjaan itoe + 27 tahoen, den datanglah  Kontroleur Ajer Bangis van Haster, Rapat sakalian Penghoeloe2 Indoek soekoe Imam chatib orang2 bangsawan di laras Parit, mamilih waris hamba akan ganti hamba ijaäni anak djodjoeran hamba jang solong rnama Zeifoedin gelar Orang kaja Samsoe diradja soedah pintar sikola den patoet akal den boedinja boeat djadi toeankoe laras; Satoe lagi nama Si Ketjiek lagi ketjil dalam sikola: djadi di hoendi 11 orang penghoeloe2 mintak Zeifoedin den 8 orang mintak Siketjek, den ditoelis toean Kontroleur dalam Soerat hoendian laloe toean Kontroleur pergi ka Oedjoeng Gading. Bagimana den apa sebabnja? Saja tidak tahoe lagi. Sakoenjoeng2 datang Besluit dari Padang Si Ketjek jang terpilih djadi ganti Toeankoe Laras, Si Samsam galar Dt Gadang djadi Wakil si Ketjek, Kamoedian saja mintak sama toean Kontroleur Besluit Si Ketjek Bagima Besluit Dt. Gadang djoewa, den kata toean Kontroleur djikalau Dt Gadang tjilak Si ketjek tidak toeroet. Dan moela2 itoe gadji diberi Dt Gadang sama Si Ketjek f. 10. saboelan, ada kira 3 boelan. Soedah itoe tidak Si Ketjek dapat lagi.- den Dt Gadang sekarang soeda beranti (tjilaka) den itoe pangkat di wakil kan Gouvernement kapada Toeankoe Laras Oedjoeng Gading, roepa2 nja Hilang sadja nama Si Ketjek itoe, den saperti lah hilang dengan adat limbago kerdjaan anak tjoetjoe Orang kaja Samsoediradja Radja negri Si Kabau laras Parit.

            Sabelah ada katarangan dari toeroen toemoeroenm, den katerangan anak djoedjoehan hamba.

Adapoen anak djoedjoeran hamba jang laki2 1. Zeepoedin 2. Si Ketjek.

Itoe Zeefoeding sekarang di Loeboek Si Kaping Se ketjek di Padang.

Perampoean 1 Siti Navoeri 2 Siti Nanggonden Ganto Sari 3. Siti Talang Panilo dan anak2nja 3 orang laki2 1. Darman Sjah.

            Dengan limpah kornia daulat Gouvernement akan mendjadikan den mendirikan salah satoe waris saja ini soepaja adat den kerdjaan itoe djangan hilang. saja harap dengan Bisluit dari Gouvernement djoewa mengapit sakalian adat2 kerdjaan itoe soepaja berdiri dengan santosanja taoesah dengan bergadji.

Damikian Seripadoeka Gouverneur Generaal adanja.

                                    Parit Ajer Bangis Padangsche Bendenlanden pada 22/8 1903.

Dengan segala Hormat.

(tanda tangan)

Soetan Perhimpoenan

Inilah galar orang2 djadi Radja toeroen toemoeroen waris djowa di dalam negri Parit

  1. Orang Kaja Sjamsoediradja.
  2. Orang  -,,- Gagar
  3. Chatib ketjil
  4. Orang Kaja Tangah Padang
  5.   -,,-     -,,-   Kota Radja
  6.   -,,-     -,,-   di Bawah Sarik
  7.   -,,-     -,,-   Atas Lawas
  8.   -,,-     -,,-   di bawah Kijau
  9.   -,,-     -,,-   Saroeng Besar
  10.   -,,-     -,,-   bapak Sako
  11.   -,,-     -,,-   Toeankoe Basar di antak Orang Bondjol
  12. Soetan Chalipah angkatan Gouvernement kompani
  13. Radja Baginda Besluit dari Gouvernement
  14. Radja Azal       idem     Gadji f. 50 saboelan
  15. Saja Soetan Perhimpoenan        idem          sekarang pensioen f. 12,50 saboelan.

Surat Minta Bantuan Keuangan Si Karatas Kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda dan Kisah Saksi Sejarah Perang Padri di Rao

Segera setelah Perang Padri usai banyak Urang Awak yang membuat surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belada atau Gubernur Sumatra’s Westkust. Sebagian besar surat tersebut berisikan permohonan minta bantuan (keuangan) atau minta jabatan. Salah satu yang menarik dari surat-surat itu adalah disebut-sebutnya jasa penulis surat atau pihak keluarga penulis surat (baik ayah atau suami) kepada Belanda selama Perang Padri.

Ada dua pola penulisan surat itu. Pertama, permintaan bantuan disatukan dengan cerita tentang bantuan diri (atau keluarga) kepada Belanda. Kedua, surat permintaan bantuan dipisahkan dengan cerita tentang bantuan kepada Belanda. Dengan kata lain, cerita tentang bantuan diri kepada Belanda dijadikan sebagai lampiran.

Para penulis surat tersebut terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari kerabat Kerajaan Pagaruyung, para penghulu, hingga masyarakat biasa. Berikut ini adalah salah satu surat yang dibuat oleh ‘orang biasa’, seorang janda berusia 94 tahun, yang suaminya berperan besar dalam membantu tentara Belanda saat terdesak dan nyaris dihabisi oleh kaum Padri di Rao.

Ada banyak informasi dan pengetahuan yang bisa diperoleh dari surat ini. Salah satu di antaranya adalah jalannya perang dan dinamika perang sebagaimana dialami ‘orang kecil’, yang umumnya tidak tertulis dalam kitab-kitab sejarah.

Informasi ini bisa dijadikan sebagai salah satu bahan (sumber) untuk menulis sejarah Perang Padri dala perspektif baru atau bisa digunakan untuk kajian kebahasaan lainnya.

Informasi dan pengetahuan apa yang bisa diperoleh dari surat ini? Silahkan Puan dan Tuan baca surat dan lampirannya berikut ini.

Sembah soedjoet

Menghadap kabawah kadlarat Daulat

Yang di Pertoean Besar Gouverneur Generaal

atas Tanah Hindia Nederland,

bertahta kerdjaan

di Bogor

Bahwa dengan segala hormat dan chidmat perhamba seorang perapoean toea renda nama Si Karatas, oemoer kira2 90 tahoen, soekoe Mandhiling, negri dan laras Taroeng Taroeng (Rau) Loehaq Loeboek Sikaping, residentie Tanah Darat Alam Minangkabau, tinggal di Taroeng Taroeng, djanda dari mendiang Si Lajer galar Datoeq orang Kaja Besar, kapala laras Taroeng Taroeng, jang moela2 manarima compagnie masoek kadalam Loehaq Rau manjambahkan maäloem kabawah hadlarat saripadoeka jangmahamoelia.-

Adapoen tetakala compagnie memerangi Loehaq Rau, maka pada soeatoe koetika compagnie mendapat kasoesahan, kerana dikepoeng oleh padrie di dalam saboeah Benteng di tanah Tarok (Oedjoeng pematang) hingga beberapa hari lamanja compagnie kapoetoesan makanan.

Maka dengan sadapat dapatnja mandiang soeami perhamba itoepoen telah beroesaha melepaskan compagnie dari pada bahaja kalaparan itoe, serta soeami perhamba menjoeroeh saorang penghoeleoenja bernama Si Lebar galar Kadhi Baginda (mandiang bapa perhamba) dengan beberapa orangnja, membawa beras dan lain2 bekal oentoek compagnie; di dalam hal mehantar makanan itoe adalah beberapa anak boeah mandiang soeami perhamba jang telah ditembak oleh moesoeh (padrie).

Maka akan pembelas djasa mandiang soeami dan bapa perhamba jang terseboet  di atas compagnie telah anoegeraahkan saboeah topi dan palat pakaian officer, sopaja mandjadi tanda satoe hati toeloes dan ichlas kapada compagnie.

Kamoedian oleh karena tiada tertahan oleh compagnie tinggal di Benteng tanah Tarok jang terseboet, maka dengan toeloes dan ichlas soeami dan bapa perhamba telah mentjarikan djalan kaloear, serta di hantar oleh marika itoe menoedjoe kasabalah Mandheling.

            Beberapa lamanja kamoedian dari pada itoe, maka mendiang soeami dan bapa perhambapoen beroesaha mandjapoet compagnie dibawa kadalam negri Taroeng Taroeng, serta bernaoeng di roemah soedara mandiang soeami perhamba dan di roemah perhamba sendiri, sementara belom ada Benteng; Semendjak itoe mendiang soeami dan bapa perhamba jang terseboet bersetia kepada compagnie, perang mena’aloekkan antara Loehaq Rau, Loeboek Sikaping, Taloe dan Tjoebadak membawa beberapa anak boeah, menoeroetkan compagnie barang kemana pergi, ialah babarapa banjak anak boeah mandiang soeami perhamba jang matie dan loeka dalam peperangan terseboet (adalah seperti terseboet di dalam soerat therita jang perhamba  sambahkan bersama ini).-  Satalah selesai dan aman, dari pada peparangan, maka mandiang soeami perhamba beroleh anoegrah daripada compagnie saboeah pedang dengan salembar soerat serta sahalai soerat Plakat pandjang istimiwa poela compagnie teah djandjikan bahasa mandiang soeami perhamba akan di djadikan Regent.-

            Adapoen mandiang soeami perhamba itoe telah meninggal doenia kira2 50 tahoen sampai sekarang, dengan meninggalkan harta benda jang di oendjoekkan oentoek bahagian perhamba; tetapi dengan takdir Allah dalam tahoen 1887 roemah tangga dan harta perhamba itoe telah habis terbakar waktoe tjelaka kabakaran dalam negri Taroeng Taroeng, hingga tiada ada barang  soeatoe apa jang tinggal pada perhamba, njatalah pada waktoe ini perhamba tinggal dalam hal kasoesahan, kerana badan soeda toea dan hampirlah akan sampei omoer, tetapi tiada mempoenjai harta boeat belandja waktoe hari matie.-

            Maka itoelah tiada lain jang perhamba harap, atas limpa kamoerahan Daulat Yang di Pertoean Besar mengingat djasa dan toeloes ichlas mandiang soeami dan bapa perhamba jang terseboet, moedah moedahan hiba kasihan Daulat seripadoeka Yang di Pertoean Besar akan memberi anoegerah boeat belandja pada hari perhamba meninggal doenia, saberapa soeka ridla Daulat Yang di Pertoean Besar.-

            Demikinalah perhamba menati hiba kasihan Daulat seripadoeka Yang di Pertoean Besar, maka bersama ini adalah perhamba serta sahalei soerat tjeritera pri hal ichwal mandiang soeami dan bapa perhamba samasa manarima compagnie.

                                                                        Sembah soedjoed perhamba

Taroeng Taroeng                                             ampoenja permintaan

                                                                        Si Kara ( X ) tas

                                                                        Tanda tangan dan parmintaan ini di

                                                                        katahoei oleh panghoeloe Kapala Laras

                                                                        Taroeng Taroeng (Rao)

(Tanda tangan Kepala Laras)

Tjeritera hal ichwal djasa dan kebaikan mandiang soeami Saja (perampoean randa, bernama Si Karatas) jaitoe bernama Si Lajoer galar Datoeq orang Kaja Besar kapala negri Taroeng Taroeng, loehaq Rau, dan mandiang bapa saja bernama Si Lebar galar Kadli Baginda tatakala compagnie akan masoek ka dalam loehaq Rau.

            Adapoen tatakala datang Toeankoe Imam, Toeankoe Gapoek, Toeankoe Hitam, Toeankoe nan Moeda dan Toeankoe Labai kadalam loehaq Rau akan mengalahkan negri itoe, membawa masoek dalam pamarentahannja, satela beberapa negri jan di laloeinja, koetika berperang dalam koeriah Lansap Kadap, maka pergilah orang Taroeng Taroeng manoeloeng kasitopoe matilah saorang nama Si Lembak dan Datoeq Bandara dalam Lansat Kadap, taaloeklah negri itoe.-

            Maka waktoe berangkat perang ka negri Taroeng Taroeng, sampai di Padang Batoe, kampoeng Ganting, Koeboe Baroe, Tamiang  dan Koeboe Kandis di bakarnja roemah2 marikaitoe, djadi di soeroeh tagakkan oleh Datoeq Orang Kaja Besar pandji2 poetih di poelai, di hilir negri taroeng2, nan bahasa dia tidak melawan, melainkan handak toendoek kapada Toeankoe Imam.

            Maka membajer tanda toendoek, ialah di koempoel ampat poeloeh tahil emas, di sembahkan kapada Toeankoe Imam Bondjol, dan beberapa lagi kerbau ditawannja dan ta’aloeklah orang dalam loehaq Rau samoeanja.

            Maka Toeankoe Imam minta memboeat Benteng (Bondjol), djalan masoek Padang Mantinggi, satalah soedah diangkatlah Si Akil orang Padang Mantinggi (bapanja orang dari Sianoq Kota Gedang, mengadji kora’an di sabelah Darat) mendjadi Toeankoe Rau, di doedoekkan di Bondjol terseboet, ialah jang djadi Radja dalam loehaq Rau; masa itoe djadi kaki tangan Toeankoe Imam.

            Maka Toeankoe Imam, Toeankoe nan Gapoek, Toeankoe nan Hitam dan jang lain2 poelanglah kambali ka Alahan Pandjang, Bondjol.

            Shahadan kabasaran Toeankoe Rau poen bertambah2lah zaman itoe zaman itoe, maka dioebahnjalah sagala adat sako Datoeq2, dan pakeian dalam tiap2 negri dalam loehaq Rau, ja’ani pangkat sako Datoeq di djadikan kadli dan mana2 jang mangaras di matikan sama sakali adatnja.

            Adalah dalam negri Taroeng2 Datoeq orang Kaja Besar nan barnama Si Lajoe di galarinja Peto Saleh, di angkat Toeankoe Tobat pinang mendjadi Radja, anak boeah dalam laras Taroeng Taroeng, berkadoedoekkan di Bondjol sabelah moedik kampoeng Taroeng Taroeng wakil Toeankoe Rau.

            Maka pada koetika itoe sangat keras hoekoem sjaraq sahingga di seboet sakarang ini hoekoem poetih.

            Dalam bahagian negri Taroeng Taroeng Si Lebar martoeah Datoeq orang Kaja Besar, mendjadi Kadli Baginda pangkat sakonja panghoeloe ipei, dalam kampoeng Taroeng Taroeng galar Inda Maharadja, Padarat Kadli Moeda Si Sikin Kadli Tabakar, pangkat sakonja pihak panghoeloe ripei Magat Langit, Si Tahoet, Doebalang ketjil pangkat sakonja Radja Manoentjang, Pantjahan, Si talit Doebalang Merah pangkat sakonja Datoeq Baginda penghoeloe ripei di Pantjahan, Taroen Kadli Salamat Toeankoe Moedik Tampang, Doebalang Alam.

            Maka maisilah negri akan kebesaran Toeakoe Rau ialah memperboeatkan sawah roemah dan lain2 dalam tiap2 negri; memperboeatkan sagala kabasarannja dan sagala hatsil di hantarkan ka Alahan Pandjang Bondjol, kapada Toeankoe Imam dan kapada Toeankoe Rau.

            Sabermoela maka berhimpoenlah sagala hoebalang jang toedjoeh poeloeh itoe: bermoefakatlah akan mengalahkan lain2 negri membawa ta’aloek kadalam kerdjaan Toeankoe rau berdjandji kaloe apa2 nan dapat dalam peperangan saparti emas dan pekaian samoeanja dibahagi oentoek hoelbalang jang terseboet.

            Tetakala perang kenegri Hoeloe (Moeara Sipongi) dan ka Pakantan (Mandhiling), telah selesai berperang segala emas dan orang dan apa2 jang terdapat dihantar kembali kepada Toeankoe Rau, satalah sampai dibahagi doea, sabahagian dihantar ka Toeankoe Imam Alahan Pandjang Bondjol, dan sabahagian tinggal sama Toeankoe Rau.

            Tatakala perang dalam loehaq Mandhiling dalam koeriah Manambin, maka dapatlah oleh Kadli Baginda (meroeah Datoeq orang Kaja Besar) saorang perampoean membawa katiding, dalamnja berisi beberapa emas dan perempoean itoe lari, emas terseboet di bawa oleh kawan Kadli Baginda jang tersboet, bernama Paranginan orang Padang Mantinggi dan Koerandan orang Tandjoeng Doerian (Lansat Kadap) kahadapan Toeankoe Rau, dan kadli Baginda poelang sahadja ka Taroeng2 (di koesoeng orang) karena batisnja loeka2 di lantak orang Manambin.

            Maka berangkat perang ka Angkola laloe Natal satelah kambali orang2 jang talah ta’aloek itoe samoeanja mamboeat doea boeah Bondjol (Benteng) kadoedoekkan Toeankoe rau, ialah pertama di Bondjol Hilir jang tertoeah Bondjol Tengah dan jang bongsoe Bondjol Darat.

            Alketsjah maka terseboetlah perkataan saorang perampoean dalam negri Manambin jang terdapat oleh Paranginan Padang Mantinggi, hoelbalang Toeankoe Rau, telah mendjadi istri Toeankoe Moeda dalam Padang mantinggi, mengatakan bahasa Kadli baginda jang mengambil emas jang ada padanja tetakala memerangi negri Manambin, banjaknja doe ratoes tahil, beroemboeng pangalah emas, tiga tokok dian emas, tiga tjandai djantan doeabelas, kain beramboe keeamasan doea helai.

            Samasa itoe datanglah Baginda Soeman, hoelbalang Toeankoe Rau itoe ka Taroeng Taroeng, karoemah Peto Salih (Datoek orang Kaja Besar) di tempat martoeahnja (Kadli Baginda) minta2 diadakan emas dan pangalakemas tokok din, tjandai djantan, dan kain beramboe; maka Kadli Baginda manarangkan nan bahasa soedah di bawa Paranginan dan Koran dan itoe barang2, maka Baginda soeman tiada perdoeli, koetika itoe di roesakkan Bagonda Soeman sagala piti2 tempat simpnanan Peto Salih (Datoeq orang Kaja Besar) dan Kadli Baginda, kadoea itoe handak diboenoeh; karenan Peto Saleh (Datoeq orang Kaja Besar) mendjawab barang2nja soedah di binasakan, pada masa itoe larilah Kadli Baginda ka Ajer Bangis ka Natal ka Tandjoeng, dan ka Priaman ialah saparti orang baniaga, beroelang ka Bonjol,  dalam itoe mangadoelah Kadli Baginda kapada Petor Priaman, orang compagnie, ialah meminta2 di bantoe dan akan di pelihara dari tlalim hoekoem Toeankoe Rau.

            Katika ia membawa barang perniagaan ke Alahan Pandjang Bondjol, bertamoelah Toeankoe Rau Baginda Soeman, Soetan Chalifah, toeankoe Moeda itoelah jang kapala dalam Padang Mantinggi, Peto Salih (Datoeq orang Kaja Besar), Kadli Baginda dan orang dari Rau banjak di sitoe, karana samasa itoe manoeloeng Toeankoe Imam barperang dengan compagnie ka Boekit Kapanasan, dalam itoe matilah instri Soetan Mohamad dalam Padang Mantinggim Si Main soedara Toankoe Rau, Soetan Tangah Hari ninik Datoeq Mandinding Alam, Padang mantinggi; di bawa kahadapan Toeankoe Rau di soempahi di hadapan Toeankoe Imam Peto Saleh (Datoeq orang kaja Besar) dan Kadli Baginda nan bahasa tidak manjamboenjikan barang2 ema jang dari Mandhiling. Kadli Baginda dan Peto Saleh bolehlah poelang ka Rau,, zaman itoe  lima belas moesim karadjaan Toeankoe Rau di seboet orang hoekoem poetih.

            Alketshah poelanglah Hadji Mohamd Rasad dan parampoean nama Karang Soeasa soedara Toeankoe rau bersama2 Toeankoe Tamoesai dan anak boeahnja dan Hadji Mohamad zaman (orang Loeboe Lajang) dan Si Kasim galar Hadji Abdul  Kadir (orang Muara Tingkarang, Loeboe Lajang) tinggal dalam Bondjol (Benteng) Toeankoe Rau, mendapat pengadjarlah Toeankoe Rau sagala hoekoemnja banjak jang bersalahan dengan hoekoem Mekkah Medinah, ialah kabanjakan jang tlalim.

            Maka sadjak itoe banjaklah jang dioebahi berkoerang2lah kerasnja kardjaan Toeankoe Rau di katakana sama itoe hoekoem Hadji.

            Kamoedian berangkatlah Toeankoe Tamoesai poelang ka Tamoesai, mendapatkan moeafakat Hadji Mohamd zaman jang terseboet di atas meminta’ harta maoedjoed poelang kambali kapada nan poenja.

            Satalah babarapa lamanja kamoedian daripada itoe maka poelanglah  orang manggalas dari Padang bernama Radja Pelawan, orang dalam kampoeng Taroeng Taroeng, membawa sapoetjoek soerat daripada Toean Besar Padang, terboengkoes dengan kain koening terdapat kapada Datoeq orang Kaja Besar, boenjinja bahasa compagnie hendak minta’ di terima sopaja boleh dirroesakkan karadjaan Toeankoe Rau adat di dirikan dalam negri sopaja kita berniaga, sasoedah soerat itoe di batja, maka bermoeafakat ka taroeng Taroeng sakalian besar nan lima belas serta Jang di Pertoean Padang Noenang jaitoe samasa itoe jang djadi besar ialah:

1e. Dalam Kota Radja, Kampoengan bergelar Datoeq Nachoda Radja; 2e. dalam Langoeng datoeq Radja Bangkara; 3e. dalam Padang Mantinggi, Si Oeloeb bergalar Datoeq Mandinding Alam; 4e. dalam Loeboe Lajang Si Koeban galar Datoeq Radja Malintang; 5e. di Lansat Kadap Radja Kinajan galar Datoeq Bandharo; 6e. di Baringin galar Radja Goenoeng; 7e. Si Tombol bergelar Datoeq Poesar; 8e. di Padang Gloegoer, galar Toen Maharadja; 9e. dalam Si Kadoedoek Si Poearan bergelar Maharadja Lelo; 10e. dalam Tambangan Maharadja Datoeq; 11e. dalam Katimahar Soetan Malin Moerak; 12e. dalam Lambak tinggi Soetan Lambak tinggi; 13e. dalam Tandjoeng Betong Radja nan Boemi; 14e. dalam Koeamang Radja Koeamang dan 15e. Yang di Perteoang Padang Noenang Dja Sikandar.

            Satalah hadlir samoeanja maka Datoeq orang Kaja Besar manarangkan boeni soerat itoe, koetika soedah samoefakat bahasa akan manarima permintaan compagnie, maka Datoeq orang Kaja Besar manjoeroeh Kadli Baginda mengarang sapoetjoek soerat akan pambalas itoe soerat, di soeroeh hantarkan poela oleh Radja Pelawan kepada Toean Petor Piaman, kamoedian datang Radja Palawan membawa soerat dari compagnie, mendapat kapada Datoeq orang Kaja Besar nan bahasa compagnie hendaq di djapoet.

            Maka di rapatkan poela besar nan lima belas serta Yang di Pertoean Padang Noenang, dan berdjalanlah hendak mendjapoet compagnie menoeroet djalan ka Rambahan, Goebah, Padang Beriang, Koeamang, Loendar, Tambangan ka Ampang Gadang, teroes ka Bondjol.

            Maka mengadaplah Datorq orang Kja Besar serta toean2 nan lima belas dan Yang di Patoean kapada Toean Petor Piaman, Toean Poland an Komandoer Boelan, maka berdjalanlah kambali membawa soldadoe, satelah sampei di hilir Taroeng Taroeng berkata Datoeq orang Kaja Besar, inilah kampoeng taroeng Taroeng jang terseboet, marilah kita teroes ka Benteng Toeankoe rau, maka Toeankoe Rau dan raajatnja larilah ka soengai Doea (karoemah bininja nama Si Tangkai, anak Radja Doebalang Padang Mantinggi); Satalah sapoeloeh malam compagnie di Benteng maka di rapatkan besar nan lima belas dan Yang di Pertoean, akan memperboeat Benteng tempat compagnie, ialah di Oedjoeng tanah Sirah (Tarok), satalah pindag ka Benteng terseboet, Bondjol (Benteng) Toeankoe Raupoen di bakalah, maka dalam itoe datangla saorang nama Nachoda Langkap orang dari Ajer Bangis, mambawa Toeankoe Rau ka Makah djalan Ajer Bangis, Toeankoe Raupoen menoeroetlah waktoe itoe berdjalan ka Ajer Banis.

            Maka compagnie perboeat Pasar, meramikan negri.

Maka orang Dja Gadoembang dan Maharadja anak Manambin kadoeanja dari Mandhiling Katjil datanglah kasitoe berpindah dalam kardjaan Toeankoe rau, masoek kadalam kardjaan compagnie, samasa itoe didjamoelah compagnie di taroeng Taroeng serta sagala besar nan lain2, karena telah senang pada pikiran.

            Satelah ampat tahoen lamanja adalah tiga orang soldadoe datng dari Padang, hilang dalam pamarentahan Radja Koeamang, maka di gantoeng Dja Moehamad (Koemang) karena memboenoeh soldadoe terseboet.

Maka poetarlah orang Malajoe sabelah Ajer Koeamang, Tambangan, Loendar dan Katimahar. apa2 barang compganie tiada di bawanja, apa2 perentah tiada di toeroetnja.

Maka samasa itoe berangkatlah compagnie serta Datoeq orang Kaja Besar perang mengadap melajoe seberang Ajer (daerah Panti). dalam perang mati Si Gamboek Padang Mantinggi, di boenoeh orang Melajoe sabelah Ajer, maka dalam perang itoe Baginda Soeman jang gagah berani koeat pariksa manoeloeng kapada compagnie taaloeklah Melajoe sabelah Ajer.

Maka bermaksoedlah compagnie Baginda Soeman di djadikan Ampang lima besar compagnie maka berniat dengkilah orang Padang Mantinggi moeafakat kapada Soetan Kabidoen Natal, sopaja mengadoekan Baginda Soeman, kamoedian datanglah Soetan Kabidoen kakaq Toeankoe Toeankoe Besar Natal mangadoe kapada compagnie, bahasa Baginda Soeman mambakar roemahnja di Batang Natal, tatakala Toeankoe rau dalam tempat kardjaan poetih samasa perang, maka di hoekoemlah Baginda Soeman di gantoeng sampai mati, dan Hadji Mohamad zaman dalam Loeboe Lajan di gantoeng mati djoega, Teankoe Datar berdoa dngan Malim Permata Loeboe Lajang di koeroengkan barena fitnah manjamboenjikan mariam Toeankoe Rau dan maksoed djahat kapada compagnie.

Maka tetakala itoe poetar lah negri Padang Mantinggi, Langoeng, Kota Radja, Loeboe Lajang, Padang Noenang, Lansat Kadap, Baringin, SiTombol, Tandjoeng Betoeng, dan Padang Gloegoer, kapalanja ialah Toeankoe Tamoesai, hanjalah Taroeng Taroeng jang tiada toeroet, di dalam peperangan loekalah luitenat Polan di kakinja, sahingga ditoekar dengan bamboo; sadjak itoe di sesakkan padrilah tempat compagnie di kapoengnja sakoeliling, semasa itoe kampoeng Sawah liat Koboe Padang di dalam laras Taroeng Taroeng telah di bakar padre; koetika itoe compagnie telah  telah tersesak makanan poen poetoes.

Maka datanglah malam hari oppas Sakti membawa sapoetjoek soerat dari Toean Polan Kommandoer Boelan, Petor Piaman sama2 Pertoean di Langit dan Dja Gadoembang bergelar Regent, boeninja kaloe ada satoe hati Datoeq orang Kaja Besar akan member makanan compagnie karena compagnie telah beberapa hari tiada makan oleh sebab padre mengoelilingi gadoeng.

Maka samasa itoe menjoeroehlah Datoeq orang Kaja Besar kapada martoeanja nama Kadli Baginda, membawa dan hantarkan beras tiga riboe koelah sampai di gadoeng, katika kambali ditembak padre di tangah djalan Permata Malim dalam Pantahan, Si Poetar di Taroeng Taroeng, Idarat di Koeboe Padang, kamoedian datanglah oppas Sakti membawa soerat ka taroeng Taroeng terdapat kapada Datoeq orang Kaja Besar bersama oerai polat, topu pakaian Toean Pola sendiri maanoegrahakan kapada Datoeq orang Kaja Besar dan mita’ sopaja di toeloeng orang Tarroeng Taroeng compagnie djalan kaloear, larie ka Mandhiling; koetika itoe moeafakat orang Tarioeng Taroeng member djalan ka Mandhiling, serta berdjalan djangan lama 2 di sama, karena lain2 negri semoeanja marah kepada negri taroeng2.

Maka berdjalanlah compagnie sama sama Regen bergalar Dja Gadoembang, Pertoean di Langit, Gagar Tengah Hari orang Tjoebadak Limau Manis laoe ka Boekit Poenggoer, mendaki ka Silagan di hantar Kadli Baginda dan Datoeq orang Kaja Besar dan lain2.

Sjahada doe tahoen lamanja datanglah Marantjang Alam anak Pertoean di Langit penjoeroehan compagnie membawa soerat terdapat kepada datoeq orang Kaja Besar, menerangkan  akan datang kembali djalan dari Mandhiling, sama2 Dja Gadoembang. Satelah sampe di Batoeng Koening berkoeboelah di sitoe, orang Rau di koeboe Baloeng  perang poen mendjadi masa itoe, dan negri Taroeng Taroeng disoeroeh compagnie djaga djangan ditinggalkan.

Dalam salapan hari berperang larilah orang loehaq Rau kesana kemari, ialah Yang di Pertoean Padang Noenang ka Rokan; Datoe1 Radja Malintang ka Pamandang Rokan, Datoeq Mandinding Alam ka Simomonan sama2 Radja Bingkaro, ka Rambah Tamoesai; Datoeq Nachoda Radja ka Parit; Satalah berhenti perang dalam ampat hari poelanglah kambali Datoeq2 nan terseboet kenegrinja masing2 sedang  berkoempoel di koeboe Baloeng.

Maka mendatangkan moeafakatlah Datoeq orang Kaja Besar serta martoeanja Kadli Baginda,  sopaja di terima compagnie dengan baik, sopaja djalan di rentangkan adat kita pakei bagaimana biasa. Satelah samoeafakat bersoempah bersetialah tidak aka bengki mendengki.

Maka menghadaplah kapada compagnie Datoeq orang Kaja Besar dan jang lain menjambahlah samasa itoe di rapatkah bersama2 memboat Bentenglah jang ada sekarang ini dalam Passar Rau di namakan Amerangon.

Maka kira2 anam boelan lamanja di larikan orang Padang Mantinggi soldadoe compagnie doea belas orang ka Simomonan, koetika sampei di Goenoeng Tamboek di tangkaplah soldadoe tersboet, serta Si Toeakal orang Padang Mantinggi, maka itoe orang Padang Mantinggi jang bernama Si Toeakal di tembak di moeka Benteng, setlah mati di sitoelah di koeboerkan.

Makoedian makan melawanlah orang Padang Mantinggi, moeafakat mendjapoet kawan ka Rambah Tamoesai datanglah Toankoe Tamoesai sakoetika itoe doedoeknja di Karambil Tinggi di soerau Jang di Partoean Padang Noenang sedang berkoempoel dalam Padang Mantinggi, maka pada koetika itoe waktoe, malam hari datanglah mendapatkan Datoeq orang Kaja Besar ka Taroeng Taroeng jang bernama Si Djawatan orang Padang Mantinggi, dan Nachoda Koebasa orang Kota Radja, mengatakan orang2 tidak maoe bercompagnie,. Maka pada malam itoe djoega manitahlah datoeq orang Kaja Besar kapada martoeanja Kadli Baginda, member tahoe kapada compagnie hal jang terseboet, masa itoe meminta’ lah compagnie sopaja orang dalam Taroeng Taroeng menoeloeng.

Maka satelah sianh hari berangkatlah Datoeq orang Kaja Besar, Kadli Baginda dan lain2 dalam laras Taroeng Taroeng masoek ka dalam Benteng, bersama2 perang ka Padang Mantinggi, daamnja loeka tangan toean Toemanggong dan loek apoela toekang tambour compagnie. satalah demakian maka di tembakkan compagnie meriam besar dalam Benteng, larilah Mandinding Alam ka Simomonang dalam pada itoe di bakarlah Looboe Haro, dan Soempadang dalam laras Padang Mantinggi, handak laloe masoek dalam negri Padang Mantinggi, maiminta’lah Si Djawatan Padang Mantinggi kapada Datoeq orang Kaja Besar djangan di bkar Padan Mantinggi itoelah maka tiada di bakar.

Maka koetika itoe compagnie manjoeroeh toedjoeh loesin soldadoe dan babarapa orang Hoeloe dan Mandhiling mendjaga kampoeng Taroeng Taroeng, berganti2lah luitenant terseboet djadi kapalanja doe poeloeh malam lamanja, samasa itoe benama negri Taroeng Taroeng Benteng loear,

Maka pada soeatoe pagi hari berkatalah luitenat Sodi dan Pinoli kapada saja perampeoan nama Si Karatas, istri dari datoeeq orang Kaja Besar, anak dari Kadli Baginda, dianja bersama2 soeami saja dan ajah saja berangkat perang mengadap sabelah timoer, ialah negri Padang Noenang dan Loeboe Lajang sopaja di toeloeng dengan doa’ tagak djoea Koeboe Dadok terbawa djoea Jang di Pertoean dan Datoeq Radja Malintang ka gadong hari ini.-

Maka satalah sampei di kapala kampoeng Loeboe Lajang, melatoeslah sinapang orang Lansat Kadap, maka berboenilah sinapang compagnie jang toedjoeh loesin.

Maka larilah Jang di Partoean ka Rokan, Datoeq Radja Malintang Loeboe Lajang ka Pamandong (Rokan), maka negri itoe d bakar oleh orang Hoeloe dan Mandhiling lah masa itoe.

Makan handak kambali poelang sersama2 ka Taroeng Taroeng dan ka Benteng, maka kalihatanlah di hilir pematang sabalah timoer kampoeng Sarik (Taroeng Taroeng) orang2 dari Tandjoeng Betoeng, Padang Gloegoer, Lansat Kadap, Sikadoedoek, Si Tombol, Baringin, Loendar, Tambangan, Koeamang dan Katimahar.

Maka pergilah Datoeq orang Kaja Besar, sama2 Kadli Baginda mendapatkan marika itoe, satalah bertemoe menanjakan, begimana pikiran marika itoe, adalah tegoeh setia marika itoe dahoeloe akan bercompagnie, maka djawab marika itoe barangkali kami di boenoeh compagnie, karena kamie soedah poetar; Maka djawab Datoeq orang Kaja Bear serta Kadli Baginda; kaloe tagoeh akan setia kita dahoeloe, bolehlah kami sembahkan kapada compagnie, satelah samoeafakat marika itoe, maka masoeklah ka dala negri Taroeng Taroeng. Maka Datoeq orang Kaja Bear manjoeroehkan Kadli Baginda sama2 dengan Nachoda Koebasa mangabarkan kapada luitenant Sadi dan Pinoli nan bahasa marika itoe tiada maoe melawan, ialah masing2 minta di pelihara menoeroet moafakat negri Taroeng Taroeng.

Maka di djatoehkan hoemokeman kapada merika itoe kerbau satoe ekor, beras saratoe soekat, sinapang lima laras dalam satoe2 negri (Datoeq2). Satelah terkoempoel maka di sambahkan kapada luitenant Sadi dan Pinoli Maka dalam bagian barampat malajoe sabarangAjer. jaani negri Tambangan, Lambah, Koamang dan Katimaar ialah Datoeq orang Kaja Besar jang meiisi bahagian marika itoe, dan marika itoe mambajar dengan ampat orang kapada Datoeq orang Kaja Besar, satoe si Koelan, doea di Baih, 3e. Si Dami, 4e. Si Langsai hoetang djadi beodaklah masa itoe.

Maka saboelan lama antaranja berdjoeal padilah orang Langsat Kadap ka sabalah boekit (Silajang), maka koetika itoe compagnie mendapat chabar pergilah beberapa orang dari loehaq Mandhiling, manangkap itoe orang2 terbawa ka gadoeng anam poeloeh orang padi2 poen di rampasi.

Maka Datoeq Bandhara Lansat Kadap datanglah mandapatkan Datoeq orang Kaja Besar minta di salasaikan itoe hal jang terseboet, maka berdjalanlah Datoeq orang Kaja Besar sama sama  Kadli Baginda mendapatkan luitenant Sodi dan Pinoli, satalah sampai mengadaplah marika itoe maminta orang2 jang anam poeloe orang jang terseboet, sopaja di poelangkan kanegrinja. Maka terbawalah poelang oleh Datoeq orang Kaja Besar dan Kadli Baginda orang jang anam poeloeh itoe, berhenti di Taroeng2 sapoeloeh malam lamanja, baharoelah poelang ka Kalnsat Kadap dibawa oleh Datoeq Bandharo.

Maka berangkat poela perang ka Langoeng dan ka Soengai Ranjah, itoe negri sampai habis di bakar Radja Bingkaro; orang negri Langoeng poen larilah ka Simomonang, sabalah timoer negri itoe dan Nacoda Radja (jang bernama Kampoengan) poen dalam Kota Radja larilah ke Parit loehaq Padang Lawas; Maka pada maesokan harinja handaq barangkat perang masoek negri Kota Radja.

Maka adalah saorang anak boah Kota Radja somanda dalam negri Taroeng Taroeng ialah ipar dari Datoeq orang Kaja Besar, bernama Nachoda Koebasi dan anak boeah jang lain tiga orang bernama Permata malin, Si Mahat dan Radja Amboen mendatangkan moeafakat kepada Datoeq orang Kaja Besar soepaja djangan binasa negri Kota Radja.

Maka Datoeq orang Kaja Besar menjoeroehlah Permata Main, Si Mahat dan Radja Amboen malam itoe djoega membawa (membawa alam2 tiga djinis) sopaja menanti di kampoeng Maga. Maka tatakala berangkat Datoeq orang Kaja Besar dan Kadli Baginda serta compagnie ka Kota Radja, hampir kampoeng Maga, maka datanglah Permata Malin, Si Mahat dan Radja Amboen dan beberapa kawan mambawa alam jang tiga djinis, maka tiadalah negri Kota Radja dibinasakan.

Maka adalah sambilan boelan lamanja kamoedian daripada itoe, memperboeat soeratlah Datoeq orang Kaja Besar kapada Jang di Pertoean ka Rokan, datoeq Radja Malintang Loeboe Lajang ka Pamandang, Radja Bingkaro Langoeng dan Datoeq Mandinding Alam Padang Mantinggi ka Simomonan, Nachoda Radja Kota Radja ka Parit Padang Lawas, Baginda Kali Padang Mantinggi ka Natal, sopaja masing2 poelang mandapatkan negrinja marika itoe, dengan mansoerat moafakat negri Taroeng Taroeng, ialah bernaoeng di bawah kardjaa compagnie maramikan negri, jaani berniaga dan mendirikan ada pakaian Datieq2 dalam negri masing2; kamoedian maka poelanglah masing2 samoeanja kanegrinja.

Maka datoeq orang Kaja Besar pergilah ka Kota radja sama2 compagnie, meangkat Nachoda Radja nama Si Taoet, sabalah fihakNachoda Koebasa, kerana jang bernama Si Kampoengan tiada poelang masa itoe.

Maka Jang di Pertoean Padang Noenang nama Si Salo dan lain2 di pertemoekan oleh Datoeq orang Kaja Besar tiap2 poelang datoeq terseboet dengan compagnie.

Sjahadan anam boelan lamanja kamoedian itoe, barangkatlah perang ka loehaq Loeboe Sikaping Dja Gadoembang Regen dan Kadli Baginda Datoeq orang Kaja Besar serta lain2 toeroetlah bersama2, dalam perperangan itoe matilah toean luitenant di boenoeh oleh Toeankoe Moeda Alahan Pandjang, dan tiga orang anak boeah laras taroeng Taroeng, 1e. nama Dja Bangoen pihak Maharadja Datoeq 2e. Paman pihak Soetan Kalabihan 3e. Badoe Rahi pihak Soetan Alam; dan Dja Gadoembang mati djoega, djanazahnja di bawa kambali poelang di koeboerkan di Hoeloe Poengkoet, dalam ampat tahoen perang itoe matilah Toeankoe Moeda Alahan Pandjang, kalahlah negri Loeboe Sikaping, compagnie poen kambalilah ka Rau; Tiada bebeapa lamanja kapiten Beto naik pangkat djadi major: Maka pergilah lagi meangkat perang ka Tjoebadak sama2 Toemanggoeng luitenant Pinoli dan Datoeq orang Kaja Besar. Kadli Baginda ialah toean Ebas dan major tinggal di Rau; maka tetakala perang di Tjoebadak matilah beberapa soldadoe hampir masoek dala laras Tjoebadak dan orang Lansat Kadap saorang di kapoeng oleh padrie di tengah djalan; dab tetakala perang di Taloe matilah luitenant Pinoli dan Toemanggoeng; kira2 doea boelan lamanja taaloeklah loehaq Tjobadak dan Taloe dan memperboat bentenglah di sitoe kamoedian kambalilah ka Rau.

Bahoea maka barangkat poelalah Toean Ebas sama2 besar nan lima belas kadalam loehaq Rambah Tamoesai, akan memarangi Toeankoe Tamoesai), semasa itoe matilah nama Kambaran di kampoeng Sarik (Taroeng Taroeng); maka satalah sampei doea boelan lamanja larilah Toeankoe Tamoesai ka Pantei Tjermin, compagnie poen poelanglah kombali ka rau.

Maka datanglah saboeah pedang dari Batawi di anoegrahkan oleh Groot major kapada Datoeq orang Kaja Besar, di hadapan sagala besar nan lima belas serta Jang di Pertoean, akan pendjaga negri Taroeng Taroeng bersama doea boeah soerat dalamnja terseboet Jang pertama ialah saboeah pedang tjoekoep dengan talinja, akan djadi tanda antara compagnie dengan datoeq orang Kaja Besar telah berkasih2a dan toeloeng-menoeloeng menjisihkan mara-bahaja antara kadoea belah pihak marika itoe, sahingga berkakalan salama2nja; terseboet dalam soerat jang kadoea datoeq orang Kaja Besar di djadikan Regent, martoeanja Kadli Baginda mandjadi Djaksa dan anak boeah dalam negri Taroeng Taroeng tiada akan meangkat rodi compagnie, ialah di beri kasenangan, oleh kerana melihat djerih pajah dan kasoesahan hamba raajat semasa berperang.

Maka pangkat jang terseboet akan didjadikan berdjandji apabila kambali perang dari Loeboe oentai.

Maka berangkatlah Datoeq orang Kaja Besar, Kadli baginda, serta jang lain hamba raajat dan Groot major ka Loeboe Oentai kasabalah loehaq Padang lawas, sampai sitoe maka matilah Groot major terseboet kerana sakit, orang poen kembalilah ke negrinja. Maka setelah sampei Datoeq orang Kaja Besar dalam negri Taroeng Taroeng itoe telah terbakar sapaninggalannja atsal api dari dapoer.

Maka oerai palat dan topi serta soerat terbakarlah semasa itoe, dan lagi tali pedang. Maka sadjak itoe sampei sekarang tinggallah saboeah pedang jang djadi tanda perhoeboengan kasih sajang akan di goenakan penjiahan bahaja di antara kadoea belah pihak merika itoe toeroenan sampei sekarang ini.

Maka pada masa itoe amanlah dalam loehaq Rau, berpindahlah companie ka Padang Noenang, anam boelan lamanja di hanjoetkan ajerlah roemah2 di sitoe, maka pindahlah ka Loendar; satalah doea moesim lamanja samasa itoe, mariapoen ada djoega tinggal di Rau; kamoedian maka maohoenlah Datoeq orang Kaja Besar kapada companie, sopaja kambali ka rau, karena menoeroet perdjandjian terseboet, sehingga itoe kambalilah ka loehaq Rau. Maka tiada berapa lama antaranja matilah Datoeq orang Kaja Besar terseboet. Maka naiklah kamanakannja bernama Tampoenan mandjadi Datoeq orang Kaja Besar, mendjadi radja dalam negri Taroeng Taroeng.

Maka terseboetla Kolonel datang dari Padang bersama2 pandita Ali Besar di Boekittinggi, satelah sampei di Bondjol bertemoelah dengan datoeq orang Kaja Besar, berkata Kolonel terseboet sopaja di Rau anak2 akan ditjatjar, mendjadi obat kapada hamba raajat penoelak penjakit katoemboehan.

Dan semasa itoe djoega maka Datoeq orang kaja Besar, manarima sapoetjoek soerat masjoewarat palakat pandjang jang tertoelis di Padang 25 October tahoen 1833.

Damikianlah tjeriteranja hal djasa dan toeloes ichlas mandiang soeami saja Datoeq orang kaja Besar kapad negri taroeng Taroeng dan mandiang bapa saja Si Lebar galar Kadli Baginda bersetia kabawah Daulat compagnie samasa compagnie akan masoek ka loehaq Rau.

Saja jang mentjeritakan tjerita ini djanda oleh mendiang Si Lajoer galar Dateq orang Kaja Besar, dan anak dari mandiang Si Lebar galar Kadli Baginda jang terseboet.

Si Kara ( X ) tas

Tartoelis di Taroeng Taroeng pada 19 Juli 1898.

Plakat Panjang dalam Bahasa Minang

Setelah meraih banyak sukses dalam kampanye militer, maka memasuki tahun 1833 Belanda mendapat perlawanan sengit dari kaum Padri dan sebagian non-Padri. Perlawanan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dipihak Belanda serta menyebabkan semakin jauhnya harapan untuk mendapat keuntungan ekonomis dari perdagangan kopi dan pemungutan pajak di daerah Sumatra Barat. Karena itu pemerintah mengubah siasat perangnya, yakni kembali mengumbar janji kepada kaum Padri khussunya dan Urang Awak pada umumnya. Janji-janji khidmat itu kemudian dikenal orang Minang dengan nama Plakat Panjang.

Plakat Panjang dibuat setelah Komisaris Jendral Hindia Belanda J. van den Bosch berkunjung ke Sumatra Barat serta ditandatangani oleh J.J. van Sevenhoven sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda untuk Sumatra Barat dan J.C. Rietz sebagai anggota Dewan Hindia.

Plakat Panjang ini dibuat tiga rangkap: satu rangkap dalam bahasa Belanda, satu rangkap dalam bahasa Melayu huruf Jawi, dan satu rangkap dalam bahasa Melayu huruf Latin.

Rangkap ketiga ini sangat menarik. Bahasanya berbelit-belit, kalimatnya panjang-panjang, nyaris tanpa tanda baca (titik atau koma), dan penulisan nama dan gelar yang lucu.

Walaupun ada beberapa kata yang tidak terbaca, teks ini kiranya bisa menjadi bahan kajian oleh para linguis. Bagaimana menarik atau lucunya bahasa orang Minang tempo dulu itu silahkan baca naskah Plakat Panjang dalam bahasa Minang berikut, naskah yang diambil dari tulisan Ph. S. van Ronkel “De Maleische Tekst der Proclamatie van 1833 tot de Bevoling van Sumatra’s Westkust” dalam Gedenkschrift Uitgegeven ter Gelegenheid van het 75 Jarig Bestaan Koninklijke Instituut voor de Taal-, Land en Volkenkunde van Nederlandsch Indie op 4 Juni 1926 (‘s-Gravenhage: Martinus Nijjhoff, 1926: hal.129-138).

Soerat masawarah Darie pada serta dengan nama Radja.

Maka datang darie pada Commissaris kadoea yaitoe Jan Heisapan seban Hopen pangkat madjalis pamarentahan India Nederlandsch serta bahadara darie pada singa Nederlandsch dan Eisiris djindral majoor bahadara darie pada pangkat jang katiga darie orde hoeloebalang Willem maka ditaslimkan kapada sekalian marikaitoe darie tanah passisir dan di darat serta dipermaaloemkan.

Toean Besar commissaris djindral wakil maharadja wolanda jang di tatabkan tahtanja di tanah djawa akan mamarentah sekalian poelo-poelo di tanah India jang telah datang bertamoe mahamanganakan (baca manghimpoenkan) diringa kadalam perhimpoenan marikaitoe mamareksa akan hal persalisihan antara sekalian negory-negory itoe jang bersatroe dengan pamarentahan di Padang jang ija sapertie bapak jang mahilangkan sekalian perkerdjaan jang mambawak kapada persalisihan lagie maenatabkan sekalian parentah jang telah membawak pada moefakat dengan adat dan hoekoeman jang terpakei dalam tiap-tiap negory di sinie sopaya manatabkan kasanangan dan perdameian serta membawak kapada kasantousaan adapoen prang membawak kapada kabinasaan jang telah soedah trangdisaya oleh marikaitoe sekalian sebab tiap-tiap negory dan roemah dengan segala harta banda marikaitoe telah terbakar dan roesak serta banjak orang matie dan loeka dan damikian lagie kamie di (baca: tiada) manjoekakan jang damikian itoe sebab mambawak kapada karoegian oewang dan manoesia serta membawak kapada dandam dan kasoemat jang menjakitie pada sekalian officier dan segala soldadoe kerna kamatian sanak soedara dan sahabat-sahabatnja yaitoe telah soedah disaya oleh sekalian kamie inie maka darie sebab hal jang damikian itoe sajigiyanja kadoea pihak kita mentjarie kahidoepan dengan perdameian dan kasanangan toean Besar kommissaris djindral poen soeka mambarie kasanangan hidoep kapada sekalian marika itoe kerna soedah doea ratoes tahoen compagnie wolanda soedah bersahabat dengan marikaitoe pada mengardjakan djalan perniagaan dalam tanah Sumatra serta poela sebab orang islam dengan kamie oemah nabie Issa jang soedah berdjinak djinakan tiada haroes bersatroe saorang dengan lainnja oleh saorang doea orang alam jang telah baperdajakan di atas marikaitoe kerna kamie dan marikaitoe adalah beriman kapada alah taala satoe sadja jang mampoenjahie pekerdjaan tatab sekalian kita ibadat akandia dan prentah alah taala akan kadoea pihak kita patoet tjinta kasih kapada sekalian manoesia itoe serta djangan mam ba wak kabinasaan saorang diatas lainnja barang siapa orang dalam kadoea pihak kita jang melaloewie prentah inie itoelah orang jang kanei maroeka darie pada alah dan barang siapa jang menoeroet prentah inie itoelah orang jang beroleh kapoedjian darie pada alah taala karna itoelah kita orang bersoedara boekannja kita satroe oleh sebab itoelah toean Besar Commissaris djindral handak mahirit sekalian manoesia itoe akan bole mambawak berboeat pakerdjaan jang akan manjan tousakan marikaitoe adapoen Compagnie telah banjak roegie dan harta serta kamatian manoesia oleh manolong marikaitoe manjihakan sekalian orang jang mahilangkan hoekoem dan adat orang toea-toea dahoeloe-dahoeloe itoe dan lagie sekalian parsaan compagnie dari passar die sinie dan padjak-padjak telah dihantikan kapada marikaitoe sebab jang damikian rasanja membawak-membawak kapada kabaratan marikaitoe dan oepah-oepah kopie itoepoen telah dikadangkan darie pada dahoeloenja tambahan poela prentah toean Besar kapada kamie mantjarie orang-orang pada lain tampat atawa di sinie jang akan mandjadie koelie jang tatab serta poela manantie pedattie-pedattie darie Batawie dan koedanja poen soedah ada di sinie akan mahangkat barang-barang itoe itoelah akan mamboewat kasanangan marikaitoe darie pada pekerdjaan koeliekoeli harie itoe inilah akan mamboewangkan kasoesahan inie dan kasoesahan jang lagie tinggal itoepoen soedah dihilangkan djoega dan lagie poela toean Besar Commissaris djindral wakil maharadja wolanda handak manjampeikan maksoednja tidak lain darie pada pikir jang bawak kabadjikan diatas kadoea pihak kita vaitoe perkara jang pertama tiada boleh marika itoe berprang-prang saorang akan lainnja sapertie jang teleh soedah itoe saraa ada prang batoe atawa dengan sendjata atawa lainlain roepa paparangan atawa manjimpan dandam dan kasoemat dan djika ada barang apa persalisihan marikaitoe dalam tiap-tiap loehak dan negory atawa kampong dalam sekalian laras-laras itoe hanja handaklah di baratie oleh sekalian kapala-kapala itoe dengan kabadjikan sapertie bagimana adat perhoekoeman dalam negory dan apabila marikaitoe kapala-kapala mintak tolong pada compagnie masoek dalam hal itoe nantie compagnie bole memboewatie serta mahabiskan selisih itoe dengan moefakat serta kapala-kapala marika itoeitoe djoega barang siapa marikaitoe jang tiada menoeroet kapoetoessan itoe atawa menjarang dengan koewassanja akan sekalian loehak-loehak atawa negory atawa kampongkampong nantie compagnie akan menolong orang jang kanei parang itoe compagnie tertjampoer dalam perkara inie sebab mandjagahie persalisihan marikaitoe jang telah biassa mambawak kapada kabinasaan marikaitoe sandiri sopaya tiap-tiap negory itoe tingal dengan kasanangan dalam perdamaiannja akan mambawak kapada kabadjikan marika itoe oleh sebab itoe patoet poela marikaitoe marabahkan benteng-benteng dan paret-paret tiap-tiap loehak dan tiap-tiap negory sopaya malengakan dalam hatie marikaitoe mamboewat prang-prang sapertie jang telah soedah itoe dan compagnie nantie bole mamboeat kotta atawa benteng pada tiap-tiap batas jang patoet atawa dimana tempat jang patoet sopaya djangan orang bangsa lain datang menjarang tiap loehak atawa negory-negory marikaitoe. Kadoea perkara toean Resident atawa toean-toean lain jang telah mamegang prentah darie compagnie tidak sekalie-sekalie bole tjampoer dalam adat dan perhoekoeman persalisihan marikaitoe serta barang apa koekoewasaan Radja-Radja dan Penghoeloe dalam adat marikaitoe dan lagie kaloe marikaitoe dan lagie kaloe marikaitoe handak maangkat Radjanja yalah dengan kasoekaan pamilihan oleh karapatan marikaitoe dengan adat jang telah dibiasakan dahoeloe-dahoeloe djoega serta segala perkara oetang pioetang atawa apa-apa silang salisih-salisih jang lain-lain darie pada itoe atawa kawin atawa thalak atawa matie kapala-kapala itoe mahabiskan sendirie dengan adat-adat negorijnja serta tiada poela compagnie tjampoer dalam perkara boenoeh mamboenoeh atawa maling tjoerie biar samonja itoe marikaitoe kapala-kapala mehabiskan sendirie malainkan compagnie tjampoer apabila ada orang mahangkat paparangan atawa manoelakan prentah compagnie atawa mamoenoeh dan maroesakan orang compagnie dan mantjoerie atawa mahilangkan barang-barang compagnie barang siapa mandapat salah dalam perkara itoe di hoekoem dalam madjalis kapala-kapala bitjara di Padang katiga perkara nantie compagnie akan mambarie gadjie barang siapa-siapa kapalakapala orang malayoe jang di kasoekainja akan mandjadie wakil compagnie mambawak bitjara pada sekalian marikaitoe dan akan mambrie tjarito kapada compagnie baik dan djahat tetapie tiada bole lebih koewasanja darie pada adat-adat kapalakapala jang lain itoe. Kaampat perkara toean Besar Commissaris djindral mengandakie sapertie tolongannja diatas marikaitoe jang sahinga inie kaatas apabila ada moesoeh compagnie handakla marikaitoe menolong dengan orangnja serta dengan alat sendjatanja sebab ada jang damikian itoe tiada bergoena compagnie melatakan soldadoe banjak disinie jang akan manggadangkan balandja compagnie sebab itoe nantie apabila datang prang compagnie mintak orang itoe pada tiap-tiap negory berapa patoebnja dan lagie handakla segala djalan-djalan dan djambatan-djambatan paliharakan sapertie patoeb dan compagnie poen menolong poela memboewati itoe dengan pekakas-pekakas serta orangnja sekalie. Kalima perkara compagnie tidak mamintak akan marikaitoe barang apa-apa tjokei oewang malainkan compagnie handak menjoeroeh marikaitoe bertanam kopie banjak atawa lada hitam akan kabadjikan kapada marikaitoe sebab itoe compagnie bole perlabaan poela dan paker menjoeroeh mandjaga-mandjaga dengan orangnja sendirie sopaya mendjadie perboewatan itoe mendjoewalkan barang marikaitoe nantie compagnie boewatkan goedang

mendjoewal garam dan lain-lain perniagaan dan lagie

                                                  sekarang inie sopaya djangan soesah

marikaitoe

dan dengar oelihmoe hei sekalian manoesia jang dalam passisir atawa jang di darat akan perdjandjian jang pandak inie inilah perdjandjian jang membawak hidoep marikaitoe dengan kasanangan sama-sama doedoek dengan compagnie serta poela bole mamalikarakan negory dan roemah tanganja darie pada katjilakaan prang-prang serta akan mambawak kasantousaan adapoen dahoeloe telah di mintak orang akan marika itoe lebih dahoeloe darie pada perdjandjian jang terseboet itoe sebab kapala orang compagnie jang mamegang prentah salah mengartinja akan mamikirkan djalan jang patoet tampat mandapat perlabaan compagnie dengan kasanangan kadoewa pihok inie kerna itoelah sekarang kamie tarangkan akan marikaitoe sekalian perdjandjian jang tersaboet inie tjoekoeblah menjampeikan kahandak compagnie sebab perdjandjian itoe lebih banjak timboel kaoentoengan compagnie darie pada tjokei jang di atas perniagaan jang kaloewar masoek kalaoet serta darie djoewal balie kopie dengan garam Tambahan poela perlabaan gadang oleh compagnie dengan peroentoengan inie akan membawak ramie perniagaan dan membaikan (mambanjakkan) kadatangan kapal jang manambahie razkhie diatas bariboe-bariboe manoesia dalam negory wolanda dengan atoeran inie mandjadikan santousa dalam negory inie sebab itoelah prentah dan maksoed darie daulat maharadja wolanda jang mangasihie kasanangan serta handakla sekalian marikaitoe jang dalam parentah akan berbagia dengan rata dalam sekalian kaoentoengan perlabaan jang datang dariepada sepertie pamarentahan bapak diatas anaknja serta handak maramikan perniagaan sopaya akan bertambah-bertambah kabadjikan negory wolanda dan negory inie hei sekalian manoesia dalam passisir dan di darat kamie menjatakan sekalian perkataan inie dengan trang dan ichlats hatie kamie sebab itoelah titah jang dibarikan kapada kamie salama-salamanja tiada akan bole perdjandjian jang lebih baik darie pada inie dan lagie pardjandjian kasantousaan inie terbit darie pada kadatangan toean Besar Commissaris djindral sendirie kamarie sebab perlihatannja sendirie barang apa-apa jang akan mendjadie kabaikan kapada marikaitoe dengan kapada compagnie kerna itoelah kamie ingatkan akan marikaitoe trimakanlah perdjandjian inie dengan soekoer menoeroet jang tersaboet itoe dengan ichlats hatie serta kamie djandjikan dengan marikaitoe dengan nama toean Besar commissaris djindral wakil daulat mahardja wolanda jang tiada sekalie bole di obahie salamanja marikaitoe tiada bole akan mamhoewat barang pakerdjaan jang maoebahkan perdjandjian inie adanja.

Tertoelis di Padang pada 25 October 1833.

Pergilah Nak, Pergilah Sayang: Catatan Historis Melepas Orang Pergi Merantau di Minangkabau Tempo Doeloe

Setelah menamatkan pendidikan di salah satu SLTA di kota Padang, pada pertengah­an tahun 2011, Adrian (bukan nama sebenarnya) anak seorang pengusaha di Padang melanjutkan pendidikan­nya ke salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Adrian pergi ke Bandung bersama kawan-kawannya sewaktu di SMA, yang juga melanjutkan pendidikan ke Kota Kembang itu. Mereka pergi dengan mengunakan pesawat terbang dan diantar oleh orang tuanya hingga bandara. Tiga tahun kemudian terdengar kabar Adrian menjadi salah seorang aktivis gay, tidak hanya untuk kota Bandung tetapi juga untuk level nasional (Wawancara dengan Irfandi Burhan, 6 Juni 2019).

Tahun 2016, seorang mantan pejabat tingkat Propinsi Sumatera Barat (dan istrinya) ingin menunaikan ibadah haji melalui embarkasi Padang. Ketika berangkat menuju Wisma Haji Tabing, mereka hanya diantar oleh sopir dan pembantu yang berasal dari Pulau Jawa.  Tidak ada anggota keluarga yang ikut-serta. Dua anak mereka juga tidak bisa mengatar. Kedua anak mereka kebetulan bertugas di luar negeri dan sama-sama tidak bisa pulang. Anak tertua bertugas di Jepang dan anak kedua bertugas di Australia. Tidak ada pula acara khusus yang diadakan sebelum berangkat ke Tanah Suci. “Hanya berdoa sendiri setelah sholat”, kata Bapak sang mantan pejabat yang tinggal di kawasan Jati itu. Namun setelah pulang dari Mekah, Pak Haji lebih sering ke lapau untuk main domino daripada ke mushalla untuk menunaikan shalat berjamaah, apalagi setelah istrinya sering pergi mendampingi anak-anaknya yang baru melahirkan di kota lain (Wawancara Eri Rahmawati, 9 Juni 2019).

Dua ilustrasi di atas menyajikan dua informasi tentang kepergian Urang Awak merantau untuk melanjutkan ilmu dan kepergian ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji pada beberapa waktu belakangan. Ilustrasi yang pertama menyuguhkan informasi bahwa sang anak dilepas pergi oleh orang tua hanya sampai bandara, dan sang anak pergi dengan teman-teman menuju rantau. Ilustrasi kedua menyajikan informasi mengenai kepergian sepasang suami istri, yang pasti sudah usia lanjut (karena telah pensiun dari tugas) menunaikan ibadah haji, yang pergi hanya diantar oleh sopir dan pembantu tanpa dilepas oleh anak dan dunsanak, serta tanpa ada acara penglepasan yang khusus.

Dua pengalaman di atas barangkali tidak berlaku umum bagi Urang Awak dewasa ini, namun kecenderungan tersebut telah terjadi di tengah masyarakat. Dari penelitian yang dilakukan bahwa ada banyak anak muda yang pergi merantau, baik untuk melanjutkan pendidikan atau untuk bekerja pada beberapa waktu belakangan yang hanya di lepas hingga bandara atau terminal bus, atau hanya dilepas di pintu rumah saja oleh orang tua (keluarga). Ada pula sejumlah Urang Awak yang pergi haji seperti hendak pergi ke Jakarta atau ke kota lain untuk keperluan dinas atau plesir saja, tidak dilepas dan diantar oleh sanak keluarga. Mereka pergi, “seperti melepas ayam dari kandang di pagi hari saja”, meminjam ungkapan orang-orang tua Minang tempo doeloe.

Sebagai bagian dari pengalaman Urang Awak yang sejak dahulu sudah lazim pergi ke rantau atau naik haji, tentu menarik untuk mempertanyakan, bagaimana pula pola melepas orang pergi di kalangan Urang Awak di masa silam. Pengetahuan tentang pola-pola melepas orang pergi di masa silam penting untuk diketahui, karena di samping bertujuan untuk melihat sejauh mana perubahan telah terjadi, juga untuk memahami makna di balik tradisi melepas orang pergi tersebut.

Untuk itu tulisan ini mencoba mengungkapkan tradisi melepas orang pergi di kalangan Urang Awak di masa lamapu, tepatnya pada akhir abaad ke-19 dan awal abad ke-20. Melepas orang pergi yang dimaksud adalah melepas kepergian anak-kemenakan ke rantau untuk melanjutkan pendidikan, dan melepas sanak keluarga, handai dan tolan untuk menunaikan ibadah haji. Adapun bahan yang dipergunakan sebagai sumber penulisan adalah beberapa biografi atau otobiografi serta karya-karya lain yang menyajikan informasi tentang pengalaman orang Minangkabau melepas kaum kerabatnya pergi merantau dan menunaikan ibadah haji.

Pergi Merantau dan Naik Haji dalam Catatan Sejarah

Pasti ada ratusan, atau lebih tepatnya, pasti ada ribuan orang Minangkabau yang pergi meninggalkan sanak-saudara dan kampung halaman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mereka pergi ke tempat lain, ke kota atau pulau lain, atau ke benua lain. Kosa kata Minang menamakan pergi ke tempat lain tersebut dengan merantau. Banyak alasan kepergian mereka itu. Beberapa diantaranya adalah karena kegaduhan politik (pemberontakan pajak), untuk berniaga, melanjutkan pendidikan (baik pendidikan umum atau pendidikan agama), menunaikan ibadah haji, dan sejumlah alasan lain.

Walaupun banyak Urang Awak yang pergi merantau, namun tidak banyak diketahui kisah perantauan mereka itu, baik yang dikemukakan sendiri atau yang dikisahkan oleh orang lain. Berdasarkan kajian awal yang dilakukan, hanya ada sedikit catatan mengenai pengalaman perantauan Urang Awak pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu. Pengalaman yang dimaksud adalah apa-apa yang dialami pada saat-saat menjelang keberangkatan, kejadian-kejadian di perjalanan, kedatangan dan dinamika kehidupan di tanah rantau, dan pulang ke kampung halaman dan kembali lagi ke rantau (kalau ada).

Dari catatan yang sedikit itu, bila diklasifikan, maka sangat terlihat bahwa catatan yang ada umumnya mengenai kepergian untuk menuntut ilmu (umum dan sekuler) dan kepergian ke Baitullah. Sebaliknya, catatan mengenai kepergian (perantauan) karena kegaduhan politik atau untuk keperluan berniaga hanya satu atau dua buah saja.  Hal ini, barangkali disebabkan oleh orang yang pergi menuntut ilmu adalah orang terpelajar dan banyak dari mereka kemudian hidup dalam dunia tulis menulis. Di samping itu, kepergian untuk menuntut ilmu pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dianggap yang “wah”, apalagi bagi orang-orang yang melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda atau sekolah-sekolah tinggi, atau di surau-surau serta sekolah-sekolah agama yang terkemuka saat itu. Tidak banyak orang yang bisa melakukannya, sehingga oleh sebagian dari mereka atau oleh sebagian penulis perlu dicatatkan. Kejadian yang sama juga berlaku bagi Urang Awak yang naik haji. Umumnya orang yang pergi ke Mekkah menunaikan rukun Islam yang kelima ini adalah yang secara ekonomis termasuk ke dalam kelompok orang kaya atau memiliki kesanggupan. Di samping itu, secara sosiologis, umumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat. Tidak sedikit pula di antara mereka termasuk kedalam kelompok kaum terpelajar. Sehingga ada dari mereka yang mencatat pengalaman mereka berhaji atau ada orang lain yang menuliskan pengalaman berhaji mereka.

Sesuatu yang menarik dari catatan itu adalah informasi mengenai saat-saat seseorang akan pergi, baik pergi untuk menuntut ilmu atau pergi ke Baitullah. Nampaknya ada “ritual” atau “tradisi” tersendiri yang dijalani oleh mereka yang akan pergi atau oleh mereka yang akan melepas dunsanak pergi berjalan. Dengan kata lain, ada “ritual” atau “tradisi” khusus melepas orang pergi di kalangan Urang Awak.

Sayangnya, informasi tentang “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi ini sebetulnya lebih sedikit. Walaupun sedikit, tetapi menarik untuk dikemukakan. Menarik karena: pertana, dewasa ini “ritual” atau “tradisi” tersebut sudah semakin langka ditemui; kedua, pasti ada makna dibalik “ritual” atau “tradisi” tersebut, dan ini perlu untuk diketahui dalam rangka memahami kearifan lokal masyarakat Minang tempo dulu, yang barangkali nilai-nilainya sangat relevan untuk hidup kita dewasa ini.

Catatan historis mengenai “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi di kalangan Urang Awak itu ada yang dikemukakan dalam otobiografi, biografi atau karya orang lain mengenai pengalaman perantauan mereka. Tiga otobiografi yang dijadikan rujukan dalam makalah ini adalah buah karya Mohammad Hatta (2011) dan Bahder Djohan (1980), serta Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi (2016). Satu biografi yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah karya Irfan Hamka (2013). Tiga karya penulis lain tentang pengalaman orang bepergian yang digunakan adalah karya Pistorius (1886) dan karya seorang petualang tentang mesjid dan sekolah agama bumiputera di Darek pada perempat terakhir abad ke-19 (1888), serta karya Kurnia Imran (n.d). Di samping itu juga digunakan naskah Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah yang telah dialihaksarakan oleh Pramono mengenai seorang tuanku (Mato Aia) yang juga mengisahkan bagaimana dia dilepas pergi ke Tanah Suci.

Ada perbedaan yang sangat kontras mengenai “prosesi” melepas orang pergi yang disajikan dalam berbagai sumber di atas. Mohammad Hatta menginformasikan bahwa sebelum dia pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya (1919), dia merasa perlu meminta restu kepada ayah gaek (kakak sulung ayahnya) dan kaum kerabat lainnya di Batuhampar (Payakumbuh). Ayah gaek Hamka, Syekh Arsyad, seorang ulama tarikat Naqsabandiyah memberi banyak petuah. Beliau berpesan agar Mohammad Hatta selalu ingat Allah, rajin beribadah, sayang kepada Allah serta sayang pula kepada sesama manusia makhluk Allah. Syekh Arsyad juga mengingatkan agar Hatta senantiasa memelihara diri supaya jangan tergoda oleh setan, karena setan selalu berupaya menyesatkan manusia dari jalan yang lurus.

Selanjutnya Hatta mengatakan bahwa ayah gaeknya berpesan agar selalu tawakal kepada Allah dan harus yakin bahwa Alah senatiasa di sisinya. Dengan keyakinan seperti itu, kata ayah gaek Hatta, kita tidak akan pernah terjerumus karena bujuk rayu setan dan tidak akan pernah merasa takut dengan siapapun, di manapun  dan kapanpun. Ulama terkemuka itu juga mengingatkan bahwa di kota besar sebagai Betawi banyak godaan bagi anak muda. “Kalau teguh iman dan selalu berjalan di jalan Allah, insya Allah, Hatta akan terpelihara dari godaan itu” (Mohammad Hatta 2011: 73-75).

Hatta tinggal di Batuhampar selama empat hari. Hatta menyadari bahwa dia akan pergi berjalan jauh sehingga merasa perlu mengunjungi banyak kaum kerabat di sana. Setiap kunjungan disediakan santapan dan santapan yang disediakan itu tidak pula sedikit jumlah atau ragamnya. “Santapan itu harus disinggung, walau seteguk air atau sekepal nasi”, kata Hatta. Setiap hari ada tujuh atau delapan rumah yang dikunjunginya, dan sebanyak itu pulalah Hatta disunguhi hidangan yang harus di santap, walaupun hanya disinggung sedikit saja (Mohammad Hatta 2011: 75-76).

Hatta mencatat bahwa inti utama dari “ritual” yang dilakukannya pada saat-saat menjelang pergi merantau adalah minta restu kepada ayah gaek dan kaum kerabat yang berada jauh dari tempat dia berdomisili di Bukittinggi. Sebaliknya “tradisi” yang dilakukan ayah gaek dan kerabat di Batuhampar dalam rangka melepas anak pergi merantau adalah memberi petuah dan nasihat, serta menjamu anak dengan hidangan yang beraneka ragam jenisnya.

Pengalaman yang berbeda dialami oleh Bahder Djohan. Tidak ada “ritual” khusus yang dilakukan Bahder atau keluarganya saat dia akan berangkat melanjutkan pendidikannya ke Betawi. Pada saat akan pergi ke Betawi, kondisi ekonomi dan sosial keluarga Bahder memang kurang beruntung. Ayahnya tengah menjalani ”strap” (hukuman) yang dijatuhkan seorang pejabat Belanda (L.C. Westenenk) karena menegur pejabat tersebut yang tengah berselingkuh (berbuat mesum) dengan seorang perempuan di pesanggerahan Payakumbuh (Bahder Djohan 1980: 9).

Catatan Bahder Djohan menginformasikan kepada kita bahwa kepergiannya ke Betawi hanya dilepas oleh sanak keluarga yang masing-masingnya memberi sedikit uang. Uang itu dikumpulkan secara patungan sehingga akhirnya, seperti dikatakan Bahder “menjadi lumayan juga banyaknya” (Bahder Djohan 1980: 22). Pemberian “bekal” berupa uang, walaupun dalam jumlah yang sedikit, merupakan “adat” bagi orang Minang saat melepas anak atau sanak keluarga pergi merantau (khususnya) melanjutkan pendidikan. Hatta dan Bahder pergi ke Betawi, dengan kapal dari Teluk Bayur (Emmahaven) tanpa diantar atau didampingi oleh orang tua mereka. Bahder mengatakan bahwa dia pergi bersama beberapa murid yang sudah lebih tua dan lebih tinggi kelasnya.

Para Penumpang dan Pengantar di Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) pada Awal Abad ke-20

(KITLV 32822)

Tradisi pergi menuntut ilmu tanpa diantar (didampingi) oleh orang tua atau kaum kerabat juga berlaku pada murid-murid surau. Murid-murid Surau Batuhampar yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau, Riau, Jambi dan bahkan dari Bengkulu umumnya datang sendiri (atau berombongan dengan kawan-kawan yang sama-sama akan menuntut ilmu di sana) (“De Masdjid..” 1888: 326”). Hanya saja, bagi murid yang baru pertama pergi untuk menuntut ilmu, sebelum berangkat dia diberi nasihat oleh mamak, kaum kerabat dan juga ayahnya. Murid-murid yang melanjutkan pendidikan ke Surau Batuhampar umumnya adalah murid-murid yang telah menamatkan pendidikan di surau-surau kampung. Pendidikan di surau kampung (nagari) adalah pendidikan pertama yang ditempuh oleh para murid. Biasanya para murid memulai pendidikan di surau (kampung) ini dengan cara diantar oleh orang tuanya. Tidak hanya diantar, untuk diserahkan kepada tuanku yang menjadi guru di surau tersebut, biasanya sang ayah juga menyerahkan sang anak sepenuhnya kepada guru untuk diperlakukan apa saja selama dia menunt ilmu di surau. Tidak jarang, orang tua juga menyerahkan rotan untuk melecut sang anak bila dia nakal (Muhammad Radjab 1950: 80).

Sama dengan pergi sekolah, ada juga berbagai pengalaman yang berbeda yang dialami Urang Awak yang pergi ke Tanah Suci. Ada yang mengikuti “ritual” yang cukup rumit di pada saat-saat menjelang keberangkatan, namun ada yang hanya dilepas secara ala kadar saja. Haji Muhammad, seorang tuanku dari Silungkang pergi ke Tanah Suci pada perempat terakhir abad ke-19 dengan didahului oleh serangkaian acara. Ada acara doa bersama dan saling maaf memaafkan yang diiringi dengan makan-makan, petuah-petuah dan amanat-amat, kemudian dia diantar oleh hampir semua sanak saudara, tua muda, lelaki perempuan hingga batas nagari. Selanjutnya dia ditemani oleh sekitar 20-an orang hingga ke Padang (Pistorius 1889: 199). Perjalanan itu dilakukan dengan jalan kaki, karena belum ada jalan raya serta kendaraan berupa pedati atau kereta api saat itu. Dan jarak antara Silungkang lebih dengan 100 km melalui bukit dan lembah.

Tuanku Mato Aia, seorang ulama lain, juga mengisahkan pengalamannya menjelang berangkat haji tahun 1309 H (1892 M). Dikisahkan bahwa sebelum berangkat ulama yang mengajar di Surau Mato Aia (Pariaman) ini berupaya mendapatkan uang untuk biaya perjalanan dan biaya hidup. Dia pergi menjelang sanak saudara dan kaum kerabat. Dari merekalah biaya perjalanan dan biaya hidup diperdapat.

Kepergian Tuanku Mata Aia dilepas oleh sanak saudara dan kaum kerabatnya di surau tempat dia mengajar. Ada acara penglepasan secara “resmi” (doa-doa, wasiat an wejangan) oleh sanak saudara. Kemudian kaum kerabat mengantarnya separoh jalan (hingga batas nagari). Selanjutnya, dengan didampingi oleh beberapa kerabat dekat dan kawan akrab Tuanku Mato Aia berjalan menuju Padang. Dikatakan dia berangkat dari Surau Mato Aia sekitar pukul sembilan pagi dan sampai di Padang ketika hari telah malam.

Di Padang Tuanku Mato Aia mesti menunggu untuk beberapa hari. Selama masa itu dia menumpang tinggal di beberapa tempat. Selama itu pula beberapa kerabat dan sohibnya mendampinginya. Tuanku Mato Aia merasakan bahwa kerabat dan sohibnya itu menginginkan agar dia segera berangkat (dia menduga barangkali mereka tidak sabar menunggu lebih lama dalam ketidakpastian). Sikap seperti itu membuat Tuanku Mato Aia merasa tidak nyaman sehingga dia selalu berupaya dan berdoa agar segera mendapat kapal. Akhirnya kapal didapat dan dia jadi berangkat.

Pada detik-detik menjelang keberangkatan, Tuanku Mato Aia mengatakan bahwa dia dan kerabat serta sohibnya saling meminta maaf atas segala kilaf dan janggal di antara mereka, saling meminta kerelaan atas segala hutang dan piutang di antara mereka agar tidak menjadi sangkutan kelak di hari akhir (Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah n.d. 3-5).

Kisah “ritual” melepas kepergian ke Tanah Suci juga dikisahkan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi, seorang ulama Urang Awak yang pernah menjadi imam Masjidil Haram, serta menjadi guru sejumlah ulama di Indonesia. Syekh Ahmad Khatib pergi dua kali ke Tanah Suci, namun kepergiannya yang kedualah yang memiliki kesan tersendiri baginya, karena diawali oleh sejumlah kejadian dan “prosesi” penglepasan yang unik. Pihak keluarga, khususnya ibunya, tidak mengizinkannya pergi ke Mekkah untuk yang kedua kalinya. Namun panggilan Tanah Suci yang begitu kuat dihatinya membuatnya nekad untuk “mengakali” pihak keluarga. Kebetulan saat dia di kampung datanglah gurunya sewaktu di Makkah al-Mukarramah. Ahmad Khatib mengatur siasat dengan gurunya agar pada saat pertemuan dengan keluarga dan kaum kerabatnya sang guru mau meyakinkan keluarga dan kerabatnya sehingga mereka mengizinkan Ahmad Khatib pergi ke Makkah. Siasat itu ternyata berhasil, pihak keluarga mengizinkannya pergi ke Makkah.

Walaupun berasal dari keluarga terpandang dan kaya, pihak keluarga mengatakan bahwa mereka akan mengumpulkan uang untuk nafkah Ahmad Khatib selama pergi. Dikatakan pula bahwa pihak keluarga (perwakilan keluarga) akan mengantar Ahmad Khatib dan gurunya hingga ke kapal.

Setelah Ahmad Khatib naik ke kapal, bapaknya menyesal mengizinkannya pergi, sehingga sang bapak memintanya agar pulang kembali. Namun, Ahmad Khatib tidak memenuhi permintaan ayahnya. Dia mengatakan kepada utusan ayahnya bahwa tiket sudah dibeli dan barang-barang sudah naik ke kapal. Untuk mengobati hati ibunya yang juga tidak mengikhlaskan kepergiannya, Ahmad Khatib menulis surat agar merelakan dia pergi dan memaafkan segala kesalahannya, serta dia memohon agar ibunya memperbanyak sabar. Sang ayah dan ibu merelakan kepergiannya serta mengiringi kepergian tersebut dengan doa (Ahmad Khatib 2016: 57-59).

Seperti disebut sebelumnya, sesungguhnya masih ada beberapa catatan lain mengenai kepergian orang Minangkabau, baik pergi menuntut ilmu atau pergi menunaikan ibadah haji. Namun, dari beberapa catatan lain itu, hampir tidak ada informasi mengenai pengalaman pada saat menjelang keberangkatan secara umum serta “ritual” atau “tradisi” tertentu yang dilakukan pada saat keberangkatan secara khusus. Padahal, bisa dikatakan, ada pesan dan makna dari “ritual” atau “tradisi” melepas orang anak atau kerabat pergi berjalan tersebut.

Sebagai Ganti Kesimpulan: Makna Budaya Melepas Orang Pergi

Pergi merantau, dalam artian meninggalkan rumah atau kampung halaman untuk menuntut ilmu pengetahuan atau keuntungan ekonomi, adalah bagian dari kehidupan orang Minangkabau. Bahkan, mengacu kepada ungkapan adat yang lazim dikenal Urang Awak, pergi meninggalkan kampung ini nampaknya wajib (terutama bagi orang muda). Ungkapan adat yang dimaksud berbunyi:

Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun

Marantau bujang dahulu

Di rumah baguno balun

Dari ungkapan ini tersirat makna bahwa pergi meninggalkan kampung (bagi orang muda) bukanlah pergi sembarang pergi. Kepergian itu adalah untuk mencari sesuatu, sesuatu yang membuat diri yang pergi (pemuda tersebut) berguna. KBBI mengartikan bahwa “berguna” mengandung makna “berfaedah, bermanfaat, mendatangkan kebaikan (keuntungan)” (KBBI 2001: 375). 

Di masa lampau, beberapa tokoh adat dan penulis menyebut bahwa pergi untuk mencari sesuatu yang berguna dinamakan juga “pergi siang” (Kurnia Imran nd.: 14). Artinya kepergian tersebut dilakukan ada izin dan sepengetahuan orang tua, kaum kerabat handai dan tolan. Dikatakan juga, bahwa kepergian seperti ini juga diiringi oleh pemberian bekal, baik bekal materi dan juga bekal bathin. Bekal materi berupa uang untuk biaya perjalanan dan belanja hidup atau bekal makanan untuk pengganjal perut bila lapar. Sedangkan bekal bathin umumnya berbentuk nasihat dan petuah agar hati-hati hidup di rantau. Tidak jarang juga bekal bathin ini berupa “kepandaian” bathin untuk membentengi diri dari hal-hal atau kejadian-kejadian yang tidak diingini.

Kaba, historiografi tradisional Minangkabau, juga banyak berkisah tentang “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi. Sesuatu yang menarik dari kaba adalah “ritual” dan “radisi” malapeh orang pergi berjalan itu hampir selalu diisi dengan pemberian nasihat dan petuah. Salah satu contoh yang paling menarik adalah apa yang disajikan dalam kaba Cindua Mato. Ada dua informasi mengenai saat-saat melepas orang pergi dalam kaba tersebut. Momen pertama saat Dang Tuanku dan Cindua Mato akan pergi menjelang Datuak Bandaro Sungaitarab yang tengah memacah galanggang (mengadakan keramaian dan hiburan) untuk mencarikan jodoh buat anak gadisnya yang bernama Puti Lenggogeni, dan kedua saat Cindua Mato akan pergi menghantar ‘tanda putih hati’ kepada Tuanku Rajo Mudo, ayah Puti Bungsu di Ranah Sikalawi.

Dikatakan bahwa Cindua Mato pergi Ke Sungai Tarab mendampingi Dang Tuanku sebagai wakil kerajaan. Mereka juga diiringi oleh Medan Labiah sebagai dubalang serta Barakaik, Baruliah, dan Tambahi sebagai pendamping. Kepergian mereka dilepas oleh Bundo Kanduang, Kambang Bandohari serta sejumlah dayang istana. Sebelum pergi Bundo Kanduang memberi sejumlah nasihat dan pesan, terutama kepada Cindua Mato, Medan Labiah dan Barakaik, Baruliah, dan Tambahi. Banyak nasihat yang disampaikan. Nasihat dan pesan sesuai dengan posisi dan kedudukan mereka masing-masing. Nasihat dan pesan yang bila diamalkan akan selamat dalam perjalanan (Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung 2015: 18). Selanjutnya juga dikisahkan bahwa Dang Tuanku, Cindua Mato dan rombongan dilepas pergi secara resmi oleh Bundo Kanduang dan penghuni istana. Mereka dilepas pergi dengan ikhlas. Mereka yang akan pergi juga meminta izin dan minta dilepas dengan tulus serta ikhlas (Hikayat….2015: 19).

Pada bagian lain, dikisahkan kepergian Cindua mato ke Ranah Sikalwi (Tanjuang Sungai Ngiang). Cindua Mato pergi sendiri dan kepergiannya dilepas oleh banyak orang. Dia dilepas oleh Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Basa Ampek Balai, seluruh pemuka dan petinggi negeri, serta hampir seluaruh rakyat. Dia dilepas dengan “upacara kerajaan” dan diringi dengan doa baik-baik agar selamat di perjalanan. Juga dilepas dengan sejumlah pesan dan nasihat serta petuah. Selanjutnya dia diberi bekal materi, mulai dari bekal makanan hingga emas. (Hikayat…..2015: 71-75).

“Ritual” dan “tradisi” melepas orang pergi seperti yang tertuang dalam kaba Cindua Mato juga ditemukan dalam hampir semua kaba. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku di tengah masyarakat Minang tempo dulu. Kurnia Imran menyebut bahwa gejala yang sama juga dipraktikkan orang Minang pada dekade 1920-an hingga 1950-an (Kurnia Imran n.d). Kurnia Imran mengungkapkan kisah kakek dan ayah serta eteknya saat dilepas pergi oleh keluarga mereka di kampung saat mereka ingin melanjutkan pendidikan ke Bukitinggi dan juga ke Betawi. Mereka ditunjukajari, diberi petuah dan nasihat oleh orang tua, mamak, serta kaum kerabat. Mereka diminta agar pandai-pandai hidup di rantau, pandai-pandai dalam bergaul, cari kawan, jangan sekali-kali mencari lawan, jangan boros, harus pandai menjaga keuangan, rajin belajar, ingat Tuhan, adalah sebagian pesan yang disampaikan kepada mereka (Kurnia n.d.: 40-48.

Kurnia juga menceritakan bagaimana kisah kakek dan ayahnya sewaktu akan pergi Mekkah. Ada “kenduri” dan doa dari orang Siak saat melepas mereka pergi. Kepergian mereka juga diantar banyak orang (keluarga) hingga Teluk Bayur. Saat kakek dan ayahnya pergi, keluarga yang tinggal pada bertangisan, seakan-akan yang pergi tidak akan kembali lagi, seakan-akan mereka tidak akan saling bertemu lagi. Namun ada juga yang menarik, banyak keluarga yang hadir saat “kenduri” melepas pergi mintak didoakan di Mekkah agar suatu saat mereka juga bisa menunaikan ibadah haji (Kurnia nd. 56-59).

Pergi secara berkerilaan (saling maaf-memaafkan), dipercayai sebagai kunci sukses orang-orang yang dilepas pergi. Bagi yang pergi untuk menuntut ilmu maka kesuksesan yang mereka peroleh ditandai dengan keberhasilan menyelesaikan pendidikan dan menikmati buah pendidikan yang diraih. Kesuksesan mereka juga ditandai dengan perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik. Muncul dan tampilnya karakter orang terdidik dan terpelajar dari perilaku dan sikap kesehariannya. Kesuksesan yang diraih oleh orang yang pergi haji ditandai dengan berkahnya dan mabrurnya ibadah yang ditunaikan, berubahkan sikap dan perilaku setelah pulang dari Mekkah. Kesuksesan itu ditandai dengan semakin dekan dengan Tuhan dan semakin akrab dengan sesama manusia (Wawancara dengan sejumlah narasumber Juni 2019).

Sebaliknya, orang yang pergi tanpa dilepas ‘bagai melepas ayam pagi hari’, atau hanya dibekali dengan bekal materi semata, dipercayai cenderung gagal di perantauan.

Jangan-jangan banyak lepasan perguruan tinggi yang berperilaku bagaikan orang tidak terdidik atau banyak orang yang pulang menunaikan haji masih bersikap bagaikan orang jahiliyah akhir-akhir ini, seperti yang disajikan  pada ilustrasi di awal tulisan ini, disebabkan oleh karena kepergian mereka bagaikan melepas ayam di pagi hari saja, pergi tanpa petuah, pesan dan doa. Wallahu’alam bissawab.

Daftar Kepustakaan

Bahder Djohan: Pengabdi Kemanusiaan. Jakarta: Gunung Agung, 1980.

“De Masdjid’s en Inlandsche Godsdienstscholen in de Padangsche Bovenlanden” dalam Indische Gids, 10, I, 1888, hal. 340-61.

Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (M. Yusuf Penyunting). Padang: Fak. Ilmu Budaya, 2015.

Irfan Hamka. Ayah, Kisah Buya Hamka. Jakarta: Penerbit Republika, 2011.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Kurnia Imran, Kisah Perjalanan Tiga Anak Manusia (Naskah tidak diterbitkan).

Mohammad Hatta, Untuk Negriku. Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Sebuah Otobiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011.

Muhammad Radjab, Semasa Ketjil Di Kampung (1913-1928): Autobiografi Seorang Anak Minangkabau. Djakarta: Balai Pustaka, 1950.

Pistorus, A.W.P. Verkerk, Studien over de Inlandsche Huishouding in de Padangsche  Bovenlanden. Zalt-Bommel: Joh. Noman & Zoon., 1871.

Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah (Transliterasi Promono) (Tidak diterbitkan).

Syekh Ahmad Khatib, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam “Otobiografi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui (1860-1916 M). (Z. Malin Mudo dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Gre Publishing, 2016.

Wawancara Eri Rahmawati, 9 Juni 2019.

Wawancara dengan Irfandi Burhan, 6 Juni 2019.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Orang Minangkabau Sebagai Bangsa Pelaut

Dalam banyak literatur dinyatakan bahwa orang Indonesia adalah bangsa pelaut. Dalam lagu didendangkan bahwa orang Indonesia adalah keturunan para pelaut. Di alam nyata, jauh panggang dari api.

Sejak beberapa abad yang lalu orang Indonesia lebih menumpukan hidup dan kehidupan mereka pada tanah darat. Aspek-aspek kebudayaan dan peradaban agraris tumbuh dan berkembang dengan pesat. Secara kuantitatif, sangat sedikit orang Indonesia yang terlibat dalam kegiatan/pekerjaan yang berhubungan dengan laut. Dari yang sedikit itu, kualitas keterlibatan mereka juga relatif rendah. Kenyataan ini akan semakin terlihat dari berbagai catatan/data statistik yang disajikan akhir-akhir ini. Sekitar 96 % muatan angkutan laut dari Indonesia ke luar negeri diambil kapal asing dan sekitar 46.8 % muatan laut dalam negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing. Dari seluruh angkutan ekspor Indonesia hanya 4 % yang menggunakan kapal nasional. Sektor perikanan hanya menyumbang 2 % dari GDP Indonesia (dengan nilai kurang dari 2 milar dollar AS). Nilai ini sangat jauh di bawah Thailand (4,2 miliar dollar AS), padahal Negeri Gajah Putih itu hanya memiliki garis pantai sepanjang 2.600 km atau hanya 3 % panjang pantai Indonesia. TNI-AL yang seharusnya memiliki 300 kapal cobatan hanya punya 130 buah kapal yang umumnya tua dan rapuh. Thailand memiliki kapal induk, kapal combatan Indonesia hanya jenis korvet. Malaysia punya kapal selam canggih jenis Scorpene buatan Perancis dan Indonesia hanya punya dua kapal usang buatan 1960-an dan awal 1970-an yang tidak bisa optimal digunakan (karena kekurangan suku cadang). Dan ada banyak data lain yang membuat kita miris membacanya.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, hal yang sama juga berlaku di Minangkabau. Sejatinya, orang Minang adalah bagian dari bangsa pelaut. Namun dalam kenyataan, orang Minang dirasakan lebih identik  dengan  masyarakat  agraris. Sama dengan yang terjadi pada lingkup Indonesia, aspek-aspek kebudayaan dan peradaban agraris juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan orang Minang dewasa ini. Tradisi bersawah, berkebun dan berladang serta beternak menjadi identitas orang Minang. Kedudukan seseorang diukur dari luasnya sawah, kebun dan ladang serta banyak ternak yang dimiliki. Sektor perikanan terabaikan dan kaum nelayan atau perkampungan nelayan sangat jauh dari gambaran sejahtera. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dicatat dan dikemukakan dalam berbagai risalah sejarah daerah umumnya meliputi peristiwa yang terjadi di tanah darat. Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan laut, nyaris tidak terungkap. Lagu-lagu tentang laut orang Minang hanya “ratok” kesedihan dan kegagalan semata.

Kenyataan-kenyataan di atas menjadi pertanyaan bagi orang yang berpikiran kritis. Benarkah kita keturunan para pelaut? Kalau benar apakah buktinya (di mana buktinya bisa ditemukan)? Dan mengapa tradisi bahari itu bisa lenyap?

Tulisan ini mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena Indonesia terlalu luas maka – sebagai langkah awal – jawaban terhadap pertanyaan tersebut lebih difokuskan pada suku bangsa Minangkabau. Namun berbeda dari kecenderungan kajian sejarah “moderen”, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dicarikan jawabannya pada karya sejarah tradisional orang Minang, yakni tambo. Dengan menggunakan metode hermeunistik, informasi yang disajikan tambo dicoba untuk digunakan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas. Tambo dipakai sebagai sumber jawaban karena karya sejarah ini adalah salah satu “bukti tertulis tertua” yang mencatat dan mengiformasikan berbagai pengalaman hidup orang Minang di masa lampau. Di dalamnya terdapat banyak “kebenaran” historis, demografis, geografis, politis, dan budaya, yang hingga sekarang ditemukan kenyataannnya serta diakui keberadaannya. Berbagai kearifan lokal (tradisional) juga terhimpun dalam penulisan sejarah ini. Tambo dipakai karena sumber-sumber lain, terutama yang berasal tangan sejarawan kolonial atau nasional cenderung menghilangkan informasi tentang dunia maritim “urang awak” dahulunya. Di samping itu, untuk melengkapi informasi tambo, maka juga dipergunakan beberapa sumber (karya) lain, baik yang masih berhubungan dengan tambo, seperti karya Datoek Soetan Maharadja sebagaimana dimuat dalam Adatrechtbundel (1928), karya Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires (1944), dan berbagai sumber/bahan lainnya.

Tambo, Laut dan Alam Minangkabau

Dalam ilmu sejarah, tambo dikategorikan sebagai penulisan sejarah (historiografi) tradisional. Historiografi dalam corak ini berkembang dalam masyarakat dengan peradaban dan kebudayaan yang masih bersahaja. Masyarakat dalam fase ini cenderung mencampuradukkan kenyataan (realitas) dengan hal-hal yang bersifat supranatural. Kecenderungan ini menyebabkan banyak kenyataan (realitas) dalam kehidupan nyata mereka dikemukakan dalam narasi yang – bagi kita “manusia moderen” – sering dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat mitologis, irrasional, anakronistis, pars-prototo, dan lain sebagainya.

Dibutuhkan pengetahuan untuk memahami penulisan sejarah masyarakat bersahaja ini. Ilmu sejarah (historiografi) menawarkan pengetahuan itu. Dalam historiografi terdapat sebuah diktum yang mengatakan “sejarah yang benar adalah sejarah masa kini”. Ungkapan yang dikemukakan oleh Benedicto Grooce ini mengandung makna bahwa sebuah penulisan sejarah sesuai dengan latar belakang sosial, politik dan latar belakang kebudayaan berkembang pada saat ia ditulis. Sebuah penulisan yang mencampuradukkan kenyataan dengan hal-hal yang bersifat supranatural akan diakui sebagai sebuah kebenaran bagi masyarakat bersahaja  yang dalam keseharian mereka memang hidup dalam dunia yang penuh pantangan, tabu, magi, mitos, dlsbnya. Sebaliknya, penulisan sejarah yang berkembang saat ini, harus berdasarkan sumber yang kredibel, rasional (empiris) serta juga sesuai dengan jiwa zaman dan latar belakang kebudayaan masyarakat yang moderen, serba bukti dan rasional (empiris).

Dalam setiap karya sejarah tersimpan “kenyataan”, sebab karya sejarah itu sendiri adalah rekonstruksi dari kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lampau. Namun karena sejarawan khususnya dan masyarakat pendukung penulisan sejarah tersebut pada umumnya, memiliki perbedaan tingkat peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahuan (untuk menyebut beberapa faktor), maka kedalaman, kekayaan, dan jumlah “kenyataan” yang disajikan dalam setiap karya sejarah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Historiografi tradisional menyajikan “kenyataan” yang menurut kita manusia moderen termasuk dalam kategori “tersamar”, sedangkan “kenyataan” yang disajikan historiografi moderen lebih “nyata”.

“Kenyataan-kenyataan” yang disajikan tambo umumnya termasuk ke dalam kategori “tersamar”. Karena itulah dibutuhkan pengetahuan (metode) tambahan guna mengambil atau memahami “kenyataan” yang disajikannya. Metode hermeunistik adalah alat bantu yang bisa digunakan untuk itu. Walaupun demikian, tidak semua informasi tambo yang membutuhkan bantuan ilmu lain untuk memahaminya, bahkan ada banyak keterangan (deskripsi) yang bisa langsung dibuktikan kenyataannya.

Tambo menyebut, alam Minangkabau  terdiri dari dua daerah utama, darek dan rantau. Darek adalah penyebutan terdadap daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan rantau adalah kawasan di sekeliling daerah pedalaman. Secara etimologis (dalam bahasa Indonesia) kata rantau bermakna pantai sepanjang teluk (sungai) atau pesisir (sebagai lawan dari darat). Tanpa menggunakan bantuan ilmu lain, keterangan tambo ini bisa langsung dibuktikan kebenarannya, bahwa kawasan yang termasuk darek dalam daerah budaya Minangkabau memang terdapat di daerah pedalaman yang secara geografis berkukit-bukit, dan daerah rantau umumnya terdapat di kawasan sepanjang aliran sungai dan kawasan pantai.

Ungkapan-ungkapan yang membutuhkan tafsiran (hermeunistik) juga ada. Bahkan jumlahnya cukup banyak, bila dibandingkan dengan keterangan yang langsung bisa dibuktikan kebenarannya. Dalam hal ini termasuk informasi mengenai laut atau dunia maritim orang Minangkabau.

Laut sesungguhnya mendapat tempat yang banyak dalam tambo, maksudnya kata laut atau keterangan mengenai laut ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dalam karya sejarah tersebut. Dalam kaitannya dengan wilayah (teritori), tambo telah bertegas-tegas menyebut bahwa laut (dan kawasan pantai) sebagai bagian dari alam Minangkabau. Dari keterangan tambo mengenai wilayah “urang awak” dikemukakan bahwa Alam Minangkabau mencakup:

Dari sirangkak nan badangkuang, Siluluak punai mati, Hinggo buayo putiah daguak, Sampai ka pintu rajo ilia, taruih ka durian ditakuak rajo, Dari sipisau-pisau anyuik, sampai ka sialang balantak basi, hinggo aia babaliak mudiak, sampai ka ombak nan badabua, sailiran Batang Sikilang, hinggo lauik nan sadidiah, sampai ka timua ranah Aia Bangih, taruih ka Rao jo Guguak Malintang, Pasisia Banda Sapuluah, hinggo Taratak Aia Itam, sampai ka Tanjuang Simalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah“.

Ada ungkapan “ombak nan badabua” serta “lauik nan sadidiah” dalam pernyataan di atas. Dua keterangan ini menyatakan bahwa tambo telah mengakui laut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Alam Minangkabau. Di samping adanya keterangan mengenai sejumlah  nagari atau kawasan yang terletak dipinggir pantai, seperti “Aia Bangih”, “Sikilang”, dan “Pasisia Banda Sapuluah” juga mengindikasikan bahwa tambo juga memasukkan kawasan di pinggir laut tersebut sebagai bagian dari Alam Minangkabau.

Dari tambo juga diketahui bahwa laut Minangkabau tersebut terhampar dari kawasan pantai bagian barat hingga ke gugusan Kepulauan Mentawai. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan “…..dari Sipisau-pisau anyuik….” yang disebutkan dalam kutipan di atas, dan “sipisau-pisau anyuik” ditafsirkan sebagai  Kepulauan Mentawai.

Kebetulan atau tidak, berbagai peta etnografis atau atlas sejarah yang dibuat ilmuwan selama ini menempatkan daerah budaya Minangkabau di bagian tengah kawasan barat Pulau Sumatera. Gambaran dari berbagai peta dan atlas tersebut, melukiskan Minangkabau sebagai sebuah daerah yang memiliki kawasan pantai, sebuah daerah yang berhadapan langsung dengan laut.

Pelabuhan Muaro dan Gunung Padang

(Sumber: Marsden, William, The History of Sumatra. London: J. M’Creery, 1811)

Orang Minang sebagai Bangsa Pelaut

Hampir tidak ada suku bangsa di Indonesia yang dengan tegas mengaitkan asal-usul mereka dengan dunia bahari, kecuali orang Minang. Umumnya etnik-etnik lain penghuni Nusantara ini menghubungkan para leluhur mereka dengan dewa (yang bersemayam di langit) atau putri cantik yang keluar dari dalam tanah (perut bumi) atau bayi lelaki yang keluar dari belahan betung. Orang Minang menegaskan leluhur mereka datang dari negeri yang jauh (Benua Ruhum/Makedonia), datang melalui laut dan menggunakan perahu. Mereka melakukan perjalanan (pelayaran) yang lama, menyinggahi berbagai negeri (pulau) yang berlokasi di tengah laut (seperti Langkapuri), menyebut berbagai istilah yang berhubungan dunia perkapalan (seperti mualim), serta kisah yang terjadi selama dalam pelayaran (jatuhnya mahkota ke dalam laut) sebelum sampai di negeri ini. Sebagaimana dikemukakan Tambo Minangkabau buah karya Ahmad Dt. Batuah, rombongan nenek moyang tersebut sampai ke Pulau Andalas, Pulau Perca. Perahu mereka tersekat di sebuah karang di pesisir barat pulau itu. Deskripsi ini menegaskan bahwa nenek moyang mereka itu adalah pelaut sejati. Dengan demikian orang Minang adalah keturunan para pelaut.

Gunung Merapi dan Atap Rumah Gadang Mirip Perahu dalam Lukisan Tempo Dulu

(Sumber: Treasures Uit de Collecties van het Koninklijke Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde; Leiden: KITLV, 2009).

Deskripsi lain yang menyatakan leluhur orang Minang berhubungan dengan dunia laut adalah ungkapan yang menyebut ”ruso nan datang dari lauik”. Tafsiran yang diajukan terhadap pernyataan ini adalah kedatangan Adityawarman, dan seperti diketahui Adityawarman adalah salah satu ”founding father”, peletak dasar sistem politik dan sosial Minangkabau. Dia menjadi raja di daerah ini pada abad ke-14. Orang Minang mengapresiasi kedatangannya dengan bertegas-tegas menyebut kedatangannya dari laut.

Laut juga dicatat sebagai tonggak sejarah matrilineal yang dianut orang Minang. Tambo mengaitkan pilihan kepada sistem sosial ini kepada sebuah kisah yang terjadi di di kawasan Tiku, sebuah negeri yang berlokasi di pinggir pantai kawasan barat Minangkabau. Menurut tambo, Tuanku Rajo Tuo yang memerintah di rantau tersebut membuat sebuah kapal. Namun ketika akan dilayarkan, kapal tidak bisa bergerak. Dan setelah Sutan Balun (anak Daulat Yang Dipertuan Minangkabau) ikut-serta diketahuilah bahwa kapal baru akan turun ke laut bila “dikalangkan” sesosok tubuh manusia. Ketika Tanku Rajo meminta anaknya melakukan hal itu, mereka menolak, namun ketika dia meminta kemenakannya (dengan seizin ibunya) sang kemenakan segera menuruti. Dengan kesaktian Sutan Balun, kapal turun ke laut, badan sang kemenakan selamat tanpa cacat. Cati Bilang Pandai yang hadir di saat itu kemudian menitahkan bahwa pusaka benda, sawah-ladang, emas-perak yang selama ini diturunkan ke anak dialihkan kekemenakan. Sebab sang anak hanya ingin enak dan yang baik saja, sedangkan kemenakan suka atau menanggung buruk atau baiknya, sekalipun nyawanya hilang. Sekali lagi, laut diungkapkan sebagai sebuah dunia yang ikut-serta membentuk tatanan sosial orang Minang.  

Selanjutnya tambo menegaskan bahwa laut harus dijaga dan dipelihara, tugas menjaga dan memelihara laut itu diemban oleh raja. Karena itu, raja sesungguhnya adalah sebuah jabatan (pangkat) yang diberikan kepada seseorang yang memelihara laut dari Alam Minangkabau.

Tugas sang raja dinyatakan dengan ungkapan ”….mengamankan dan memakmurkan sekalian taluak taluak rantau, palabuhan, kuala, muaro dan sebagainya…”. sebagai imbalan dari tugas-tugasnya itu, raja juga memiliki sejumlah hak. Raja berwenang menerima hak daciang, pangaluaran, gantuang kamudi dan ubua-ubua. Hak pangaluaran artinya bea atas perniagaan barang yang masuk, pangaluaran artinya bea atas barang perniagaan yang keluar, gantuang kamudi artinya sewa atau bea pelabuhan, serta ubua-ubua artinya bea atas barang-barang yang diambil dari laut.

Posisi raja sesungguhnya tidak lebih dari penghulu, dinamai raja hanya agar dimaklumi oleh juragan-juragan atau nakhoda-nakhoda (asing atau non-Minang) yang datang. Bukankah ”raja” adalah sebuah sebutan yang lazim dikenal di seantero bandar niaga dan kawasan pesisir Nusantara. Sedangkan sistem politik tradisional Minangkabau menegaskan bahwa raja adalah pemegang kuasa di wilayah rantau. ”Luhak bapanghulu, ranjau barajo”.

Ada posisi raja dan berbagai tugas, kewajiban dan hak raja mengindikasikan bahwa aktivitas bahari menjadi bagian dari kehidupan orang Minang tempo doeloe. Lantas mengapa aktivitas bahari orang Minang itu dewasa ini nyaris tidak berbekas lagi?

Menjadi ”Urang Darek”

Setidaknya ada dua pengalaman sejarah penting yang mengurangi (dan bahkan ikut serta menghabisi) aktivitas bahari orang Minang. Pertama, kebijakan politik yang dijalankan Adityawarman; dan kedua, kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda.

Dalam rangka menghindari pengejaran dari penguasa dan bala tentara Majapahit, Adityawarman yang melarikan diri serta memutuskan hubungan dengan Majapahit. Pada mulanya dia mendirikan kerajaan tersendiri yang berdaulat di ”negeri leluhurnya” di kawasan Darmasraya. Merasa lokasi kerajaannya kurang aman dari gangguan Majapahit, Adiyawarman memindahkan pusat kerajaannnya jauh ke daerah pedalaman bagian tengah Pulau Sumatera (Tanahdatar). Pemindahan pusat kegiatan politik ini sekaligus juga mengurangi aktivitas bahari kerajaan. Padahal, sebelum dipindahkan ke Tanahdatar, pusat kerajaan berada di pinggir sungai (Batanghari) yang sangat strategis dan sejak zaman purba menjadi ”jalan raya” utama dari daerah pedalaman ke dunia niaga Selat Malaka.

Pemindahan pusat politik ini bahkan diiringi dengan perubahan orientasi perekenomian menjadi ekonomi agraris. Menurut Dobbin dan Ambler, tradisi bersawah diperkirakan tumbuh dengan pesat pada saat tampuk kekuasaan politik Minangkabau berada di bawah kendali Aditywarman. Proses ”daratisasi” Minangkabau oleh Adityawarman juga dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya di Majapahit yang secara umum dikenal sebagai kerajaan yang mengembangkan tradisi agraris. Sebagaimana dikemukakan Denys Lombard, kerajaan-kerajaan konsentris di sekitar pusat atau pedalaman Jawa bagian tengah adalah transplantasi dari kultur stepa bangsa Arya di India. Sebuah kultur yang dengan kekuatan peradaban kuno, penjelajah daratannya yang panjang dan diaspora yang hebat kala itu, mampu melakukan tekanan keras pada bangsa-bangsa pelaut serta pesisir. Sehingga bangsa-bangsa yang disebut terakhir ini takluk dan membiarkan dirinya tenggelam dalam cara berpikir, cara hidup, relasi sosial, spritualitas hingga ekspresi yang berpola pedalaman (daratan/konsentris).

Orang Belanda ikut-serta menghilangkan tradisi bahari orang Minang. Orang Belanda khususnya dan Eropa umumnya sangat menyadari kekuatan maritim penduduk Nusantara. Catatan yang dibuat Tome Pires dalam The Suma Orientalnya menggambarkan betapa dinamisnya dan majunya dunia bahari penduduk Nusantara. Dalam buku tersebut juga diungkapkan betapa banyaknya jenis kapal atau perahu yang dimiliki penduduk Nusantara dan betapa repotnya bangsa “Sipatokah” tersebut  menghadapi ”kerewelan” berbagai reinos dan terras yang memiliki tradisi bahari yang luar biasa itu. Portugis membutuhkan waktu yang lama serta pengorbanan moril dan materil yang tidak sedikit guna mengenyahkan aspek-aspek maritim penduduk Sumatra khususnya. Kesan yang sama juga dikemukakan juga dalam berbagai catatan pejabat VOC, catatan harian berbagai loji VOC, serta berbagai laporan yang dibuat pada era pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai sebuah kesimpulan dirumuskan sebuah kebijakan untuk menyingkirkan penduduk bumiputera dari samudera. Untuk itu berbagai aspek maritim yang dimiliki penduduk Nusantara sengaja dikurangi dan dihilangkan keberadaannya (dan digantikan dengan aspek-aspek maritim Barat). 

Di Minangkabau, penyingkiran pertama dilaksanakan oleh VOC. Berbagai ekspedisi militer dilakukan VOC untuk mengakhiri kedaulatan raja-raja yang berada di sepanjang pantai barat. Penaklukan raja-raja tersebut, di samping ditujukan untuk menjadikan mereka sebagai bawahan VOC, juga dimaksudkan untuk mereduksi (mengakhiri) peranan berbagai aspek maritim mereka. Hal ini terlihat dari perintah pimpinan ekspedisi untuk menghancurkan kapal dan perahu serta pusat-pusat pembuatan kapal dan perahu inlanders. Kehancuran kapal, perahu dan pusat pembuatan perahu sudah pasti berdampak pada aspek maritim yang lain, seperti aspek pelayaran, perdagangan, perikanan, dan bahkan bajaklaut.

Kebijakan VOC lainnya menggantikan peranan orang Minang dalam dunia maritim dengan peran-serta orang Belanda (Eropa) serta timur asing lainnya (terutama Tionghoa). Data-data statistik yang disajikan berbagai sumber yang dibuat VOC memang menunjukan bahwa keterlibatan orang Belanda (Eropa) dan Tionghoa dalam dunia maritim (terutama perkapalan dan perniagaan laut) Minangkabau memang meningkat dengan sangat signifikan. VOC misalnya mengganti peranan pialang pantai pribumi dengan para koopman, baik yang masih aktif dalam jajaran kompeni dagang itu atau yang sudah pensiun. Peranan raja (penghulu dagang) di bandar-bandar niaga atau pelabuhan di setiap teluk dan kuala diganti oleh para pachter Tionghoa, dlsbnya.

Sesudah VOC bankrut, pemerintahan Hindia Belanda melanjutkan kebijakan ”mendaratkan” orang Minangkabau. Pemerintah Hindia Belanda dinyatakan sebagai pemegang monopoli perkapalan, pelayaran dan penguasaan pelabuhan. Kapal-kapal VOC yang diambilalih pemerintah Hindia Belanda diberi hak melayani aktivitas perkapalan di pantai barat Minangkabau. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan dengan pengoperasian kapal NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij), kapal-kapal dari perusahaan NISM (Nederlandsch Indische Stoomvaart Maatschappij, Core de Vries, NISM (kembali) dan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Kapal-kapal KPM mengunjungi hampir semua pelabuhan yang ada di pantai barat Minangkabau, mulai dari Airhaji di selatan hingga Airbangis di utara. Di samping itu prioritas juga diberikan kepada kapal-kapal dari perusahaan milik orang Belanda (dan Eropa) serta orang Tionghoa untuk ikut-serta melayani transportasi laut di kawasan pesisir barat negeri ini. Kapal-kapal dan perahu orang Minangkabau dipersulit dan dipersempit ruang geraknya. Jumlah dan ukuran serta lingkup operasi mereka juga dibatasi. Banyak pembatasan yang diberikan kepada mereka. Tidak itu saja, berbagai pusat pemuatan kapal atau perahu diminimasilir keberadaannya dengan pengurangan jatah mendapatkan kayu yang baik untuk pembuatan kapal.

Proses ”daratisasi” orang Minang ini kemudian dilanjutkan dengan menggalakkan aktivitas penanaman kopi khususnya, perkebunan dan persawahan pada umumnya, serta juga penggalakkan usaha peternakan dan kegiatan-kegiatan lain yang jamak dilaksanakan di tanah “darek”. Penanaman kopi diterapkan dengan cara paksa dan massal (lewat praktik tanam paksa kopi). Penanaman padi diprogramkan dengan berbagai aturan atau plakat sawah yang dibuat dan disetujui pemerintah. Berbagai tentoonstelling (pameran atau pasar malam) untuk menampilkan atau berbagai produk dari keberhasilan pertanian, perkebunan dan peternakan diadakan di berbagai tempat di Sumatera Barat serta mendapat apresiasi yang tinggi dari pemerintah. Padi yang bulirnya paling besar dan banyak, buah kopi yang paling lebat dan bernas, sapi atau kerbau yang paling besar dan gemuk dihadiahi oleh para pejabat. Bahkan kegiatan kesenian atau alek nagari seperti pacu kuda yang diperkenalkan sejak tahun 1889 (dengan membuat gelanggang pacuan kuda di berbagai kota di Sumatera Barat) adalah juga merupakan bagian dari upaya kaum penjajah Belanda untuk melupakan orang Minang dengan tradisi baharinya. Berbagai kebijakan dan kegiatan seperti inilah, secara lambat namun pasti menggiring orang Minang menjadi orang ”darek” sejati.

Sebaliknya, berbagai data sejarah menampilkan kenyataan bahwa kaum kolonialis Belanda hampir tidak pernah membuat kebijakan atau kegiatan yang menghidupkan gairah berlaut orang Minangkabau. Kalaupun ada kebijakan atau kegiatan yang dilakukan dan berhubungan dengan dunia laut, maka dapat dipastikan tujuan kebijakan atau kegiatan itu ditujukan untuk kepentingan penjajah. Sebutlah misalnya pembuatan peta laut dan pendokumentasian wilayah pesisir Minangkabau diakhir dekade 1830-an hingga pertengahan abad ke-19 (dan akhir abad ke-19), pencatatan berbagai jenis perahu atau kapal yang dimiliki penduduk pantai barat Minangkabau, peningkatan kondisi pelabuhan atau pembuatan pelabuhan yang baru serta melengkapi sarana transportasi laut (seperti lampu suar), semuanya ditujukan bagi kepentingan penjajah. Tidak itu saja, semua kebijakan dan kegiatan itu bahkan semakin mengurangi atau bahkan mematikan keberadaan aspek-aspek maritim “urang awak”.

Akhirul Kalam

Walaupun demikian kasar dan “kejam” upaya yang dilakukan pihak luar untuk menghilangkan tradisi bahari orang Minang, ternyata hingga saat sekarang, dalam jumlah yang sangat minim, aspek-aspek-aspek maritim itu masih tersisa. Walaupun dalam porsi yang sangat sedikit, jejak-jejak kebesaran dunia maritim “urang awak” di masa lampau masih terasa jejaknya. Jejak tersebut, antara lain ditemukan dalam penulisan sejarahnya (tambo sebagai historiografi tradisional), berbagai penulisan sejarah yang dibuat oleh orang asing, serta kenyataan-kenyataan sosiologis, demografis, geografis, dan budaya yang bisa ditemukan dewasa ini.

Kebetulan, sejak dua dekade terakhir muncul gairah yang luar biasa dalam penelitian dan penulisan sejarah maritim di Indonesia. Gairah tersebut terlihat dari bermunculan sejumlah karya sejarah maritim, mulai dari yang sangat ilmiah (terutama sebagai bagian dari karya ilmiah atau disertasi guna mencapai gelar akademis doktor hingga karya-karya yang sifatnya sangat “eskperimental”, seperti karya-karya yang mengatakan bahwa Benua Atlantis dengan tradisi bahari yang demikian tinggi ada di sini (Nusantara) ini, atau karya-karya yang mengatakan bahwa nenek moyang Indonesia sebelum kedatangan bangsa Palaeo- dan Deuteromelanesoid adalah pelaut-pelau ulung yang telah berlayar mengharungi samudera luas hingga mencapai pulau-pulau kecil Lautan Pasifik dan pantai timur serta barat Benua Afrika.

Di tengah gairah penulisan sejarah maritim yang tengah menggebu sekarang, ada baiknya sejarawan daerah (Minangkabau) khususnya, juga menukikkan pandangan mereka pada dunia bahari negeri ini. Ada banyak banyak aspek maritim negeri ini yang masih membutuhkan uluran tangan para peneliti (terutama sejarawan) untuk mengungkapkannya.

Di samping itu, di saat tanah darat kita mulai susut potensinya, kawasan laut masih menyimpan kekayaan yang melimpah. Itu bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejarahan anak negeri. Dan jujur diakui, seperti disebut di atas, potensi laut itu belum tergarap dengan maksimal. Orang Minang masih bangga dengan banyak makin daging (sapi, kerbau, ayam) daripada memakan ikan. Padahal riset membuktikan bahwa memakan daging (sapi, kerbau, ayam) jauh lebih beresiko terhadap kesehatan bila dibandingkan dengan memakan ikan. Konsumsi ikan kita masih rendah, baru 26 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 45 kg dan Jepang 70 kg. Kita buktikan orang Jepang memiliki usia harapan hidup tertinggi di dunia (mungkin mereka juga termasuk manusia dengan otak yang tercerdas di dunia). Sedangkan kita, “urang awak”?

Ketika kita telah menghadapkan wajah ke laut, bertekad memanfaatkan laut secara maksimal, kita dihadapkan pada tantangan untuk mengelola laut dengan “penuh perasaan”. Artinya laut tidak bisa dieksploitasi dengan serampangan tanpa memikirkan kerusakan yang akan terjadi padanya. Pengalaman telah membuktikan, bahwa selama ini, ketika kita mengeksploitasi tanah darat dengan membabibuta, lingkungan telah rusak parah. Hutan menjadi gundul, kesuburan tanah berkurang dengan drastis, sungai dan tanah tercemar. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta keracunan pestisida atau bahan kimia lain mengancam di mana-mana.

Karena itu, ketika laut (pada saat sekarang dan nantinya) kita eksploitasi, dibutuhkan kehati-hatian dalam mengelolanya. Pengetahuan eksakta semata tidak cukup untuk itu. Pengetahuan akan sistem sosial, budaya dan kearifan tradisional masyarakat lingkungan juga memegang peranan penting. Ini semua bisa didapatkan dengan pengkajian dan penelusuran sejarah. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah maritim. Bukankah sejarah maritim adalah sejarah yang menyangkut laut (mer), kelautan (marine) dan pelaut (marins)? Dalam kondisi sekarang, kegiatan ini masih belum terlambat, sebab kita baru saja mulai memalingkan diri ke laut dan kerusakan laut itu, walaupun telah terjadi , tetapi “masih belum begitu parah”. Masih ada waktu untuk mengurangi bencana yang mungkin (pasti) terjadi bila kita lalai memperhatikannya.

Daftar Kepustakaan

Ambler, John S., „Historical Perspectives on Sawah Cultivation and the Political and Economical Contex for Irrigation in West Sumatra“, Indonesia, No. 46 (October), 1988.

Batuah, Ahmad Dt. dan A. Dt. Madjo­indo, Tambo Minang­kabau. Djakarta: Balai Pustaka, 1956  .

Cortesao, Armando, The Suma Oriental of Tome Pires. London: Haklyut Society, 1944.

Dj. Datuak Batuah, Tambo Alam Minangkabau. Pajakombo: n.p. 1930.

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.  London: Curzon Press, 1983.

Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak, 2007.

“Het Minangkabausche Gebied” No. 66 ‘Artikelen van Datoek Soeta Maharadja in de Oetoesan Melajoe (1911-1913’ dalam Adatrechtbundel. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1928.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium (Jilid 1). Jakarta: Gramedia, 1984.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Urang Awak dan Gerakan ke Pantai Timur Sumatra

“Go West, young man” adalah sebuah ungkapan yang terkenal dalam sejarah Amerika Serikat. Frase yang dipopulerkan oleh Horace Greeley ini menjadi “penuntun” arah perkembangan ekspansi orang Amerika ke arah barat, dari kawasan timur yang semula mereka duduki. “Anjuran” ini menjadi gerakan yang akhirnya menghadirkan kisah-kisah sukses bagi warga Amerika yang menuruti imbauan tersebut khususnya dan membuahkan kejayaan bagi bangsa Amerika yang merestui gerakan itu pada umumnya.

Berbeda dengan Amerika Serikat, pemerintah Hindia Belanda atau Republik Indonesia umumnya dan orang Minangkabau atau pemerintah Sumatra Barat khususnya, memilih melakukan gerakan ke arah timur. Hasil gerakan itu nyaris sama dengan pengalaman Amerika. Banyak kisah sukses yang dicatat oleh orang Minangkabau atau pemerintah Sumatera Barat setelah mereka melakukan gerakan ke timur itu. Sehingga bisa dikatakan, gerakan ke timur tersebut memberi arti yang besar bagi Minangkabau (Sumatra Barat). Gerakan ke timur itulah, yang secara langsung atau tidak, mengakibatkan terjadinya sejumlah perubahan di kalangan Urang Awak atau warga Sumatra Barat. Perubahan yang bisa dikatakan menuju ke arah kesempurnaan.

Dari catatan sejarah diketahui, bahwa gerakan ke timur itu telah dimulai sejak waktu yang lama. Gerakan itu telah terjadi sejak hari-hari pertama era moderen awal, namun gerakan yang paling intensif dan terencana, serta dilakukan dengan sungguh-sungguh mulai terjadi sejak hadirnya pemerintahan kolonial di daerah ini (dan tentu saja berlanjut ke zaman pemerintah RI dewasa ini). Gerakan ke timur pada era moderen awal lebih bersifat spontanitas dari “masyarakat biasa” (bisa terdiri dari kaum  saudagar  atau  para  bangsawan),   namun  gerakan  ke  timur  pada  zaman penjajahan dan Indonesia merdeka lebih terencana (terutama yang dilakukan oleh pemerintah) dan mempunyai alasan/latarbelakang serta tujuan yang jelas.

Tulisan ini mencoba menelusuri dinamika sejarah Minangkabau (Sumatra Barat) dalam kaitannya dengan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah, baik pemerintah kolonial Belanda ataupun pemerintah RI dalam melakukan gerakan ke timur. Pemerintah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemerintah daerah pada masa kolonial dan masa republik (Residentie van Padang en Onderhoorighenden, Gouvernement van Sumatra’s Westkust, Residentie Sumatra’s Westkust dan Provinsi Sumatera Barat).

Ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, di antaranya: Mengapa pemerintah daerah pada era kolonial atau repubik memilih melakukan gerakan ke timur? Ada apa di kawasan timur itu? Bagaimana gerakan tersebut diwujudkan dan mengapa aspek-aspek itu yang dipilih?

II

Gerakan ke timur betul-betul dimulai dari kawasan yang paling barat dari Sumatra Barat. Kawasan paling barat itu adalah kawasan pantai barat Sumatra Barat. Secara geografis, kawasan paling barat ini berada di bibir pantai Samudra Hindia. Di kawasan pesisir inilah sesungguhnya sejarah pembangunan dan perkembangan Sumatra Barat bermula, dan dari daerah ini pulalah gerakan ke timur itu berawal.

Berawalnya gerakan ke timur (dari kawasan pantai) karena kawasan itulah yang pertama kali didatangi oleh orang Eropa. Bangsa Eropa yang pertama kali menjejakan kaki mereka di daerah itu adalah bangsa Portugis dan kemudian diikuti oleh Perancis. Kedua bangsa ini mengunjungi kawasan Barat Sumatra sejak abad ke-16. Pada abad itu armada Portugis setidaknya mengunjungi daerah tersebut sebanyak empat kali (1519, 1521, 1543, dan 1539), sementara itu armada Perancis sebanyak dua kali (1529 dan 1539).

Walaupun datang agak kemudian (pada perkisaran abad ke-16 dan 17), bangsa Belanda (dan Inggris) ternyata punya arti yang besar bagi berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya Pantai Barat. Tidak itu saja, mereka dapat dikatakan sebagai peletak dasar pemerintahan moderen di Sumatra Barat. Hal itu bisa dilihat, bahwa segera setelah mendatangi daerah itu, mereka mulai menubuhkan kekuasaan politik mereka. Sedikit perbedaan di antara kedua penguasa tersebut, Inggris lebih fokus menguasai kawasan Pantai Barat bagian selatan, dan Belanda lebih intensif menggarap kawasan Pantai Barat bagian utara hingga (Singkel). Walaupun demikian, sebagai konsekuensi dari dinamika politik kawasan khususnya dan perkembangan politik di Eropa umumnya, Inggris juga pernah menguasai kawasan Pantai Barat bagian utara. Penguasaan Inggris yang mencakup hampir seluruh pesisir barat Sumatra berlangsung antara tahun 1895 hingga 1819. Masa itu populer disebut dengan masa interegnum pemerintahan Inggris.

Sama dengan yang berlaku di Nusantara hingga Tanah Semenanjung Malaysia, Belanda menubuhkan “pemerintahan” VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan Inggris mendirikan “pemerintahan” EIC (East Indian Company) di Pantai Barat Sumatra. “Pemerintahan” VOC di kawasan ini dinamakan Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust dan beribukotakan Padang (sebelumnya Pulau Cingkuak). Kawasan yang termasuk ke dalam unit administratif ini meliputi daerah mulai dari Indrapura di selatan hingga Singkel di utara. Namun perlu diperhatikan bahwa kawasan yang menjadi bagian dari unit administratif tersebut – sesungguhnya – hanyalah sebuah dataran sempit yang jaraknya tidak begitu jauh dari bibir pantai. Walaupun demikian kekuasaan VOC yang betul-betul eksis hanyalah pada beberapa buah kota pantai saja, terbatas di kota-kota di mana VOC mendirikan loji-lojinya.

Sekitar selama 150 tahun VOC (dan Inggris) hanya menguasai daerah sempit di bagian paling barat Sumatra. Bangsa Belanda (dan juga Inggris) betah bertahan di kawasan yang sempit dan terbatas itu karena adanya berbagai potensi yang bisa membuat aktivitas politik mereka jalan dan kegiatan perniagaan mereka bisa bergairah di sana.  Di kawasan itu tumbuh subur lada, dan lada merupakan komoditas dagang utama pantai barat saat itu. Di samping lada, kawasan tersebut juga menghasilkan emas. Walaupun dalam jumlah yang tidak begitu melimpah, emas bisa didapat di banyak nagari kawasan pantai barat. Kedua komoditas ini, adalah “modal” utama yang membuat orang Belanda merasa cukup nyaman tinggal dan menguasai kawasan sekitar tepi pantai semata. Apatah lagi, berbagai komoditas impor yang didatangkan dari negeri luar, sesungguhnya bisa diserap oleh penduduk kawasan pantai. Kawasan pantai barat (khususnya kota-kota pesisir di mana VOC mendirikan lojinya) juga menjadi pintu masuk ke daerah pedalaman dari Tanah Seberang dan sekaligus pintu keluar dari daerah pedalaman bila ingin pergi ke Tanah Seberang, sehingga dengan menguasai kawasan pantai saja, VOC – sampai pada batas tertentu – juga “menguasai” daerah pedalaman. Dengan demikian, menguasai kawasan pantai, untuk kurun waktu itu, sudah lebih dari cukup bagi mereka.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, situasi mulai berubah. Menjelang akhir abad ke-18, terjadi kebangkitan ekonomi yang diiringi dengan perubahan sosial di daerah pedalaman. Kebangkitan ekonomi itu berhubungan erat dengan dihasilkannya kopi dan kayu manis dalam jumlah yang melimpah di daerah tersebut. Kedua komoditas ini sangat laku di pasaran dunia saat itu, dan keduanya menjanjikan keuntungan yang besar bagi aktor-aktor yang terlibat di dalam penanaman dan perdagangannya. Kebangkitan ekonomi ini menjadi pemicu bagi perubahan sosial. Perubahan sosial terjadi karena produksi kopi dan kayu manis yang melimpah menghadirkan “orang kaya baru”. “Orang kaya baru” yang muncul itu menggunakan uang mereka untuk “mengubah nasib” melalui perantauan mental. “Perubahan nasib” tersebut dilakukan dengan jalan menyekolahkan anak-anak muda mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang ada masa itu, dan pendidikan itu adalah pendidikan Islam. Pada tingkat lokal, lembaga pendidikan tersebut adalah surau (kebetulan seiring dengan kebangkitan ekonomi, juga terjadi gerakan pembaruan Islam di Minangkabau dan surau-surau mulai tampil di panggung sejarah daerah saat itu). Ada banyak surau yang terkemuka pada waktu itu, dan ke surau-surau tersebut tersebut di berbagai tempat di Minangkabau. Sebagian alumni surau dan kebetulan memiliki cadangan finansial yang cukup kemudian melanjutkan pendidikan mereka ke Tanah Arab.

Sepulang menuntut ilmu tersebut, dengan pengetahuan baru yang mereka miliki, banyak dari mereka yang ingin melakukan perubahan di tengah masyarakat. Mereka mengeritisi praktik-praktik ibadah (agama) yang dianggap tidak sesuai ajaran agama (Al-Qur’an dan hadist), mereka juga mengeritisi bahkan ingin membongkar sistem/pranata sosial, politik, dan budaya daerah. Perubahan yang mereka lakukan ternyata menimbulkan “kegaduhan” sosial dan politik, yang dalam berbagai literatur sejarah, “kegaduhan” tersebut dikenal dengan Gerakan Paderi (kemudian dilanjutkan dengan Perang Paderi).

Kebangkitan ekonomi dan gejolak sosial yang terjadi di daerah pedalaman akhirnya melibatkan bangsa Barat yang berada di kawasan pantai. Inggris, yang pada saat gejolak itu mulai membara, menguasai Sumatra’s Westkust menjadi bangsa Barat pertama yang terlibat dalam persoalan itu. Namun keterlibatan tersebut tidak dalam artian ikut-serta dalam kecamuk perang, tetapi diwujudkan dengan sebuah misi “perjalanan ilmiah” ke daerah pedalaman. Perjalanan yang dimaksud adalah kunjungan ke pusat Minangkabau yang dilakukan oleh Raffles dan rombongan  tahun 1818. Walaupun dikatakan hanya sebagai sebuah “perjalanan ilmiah”, tidak diragukan lagi kunjungan itu didasarkan oleh keinginan Raffles khususnya dan “pemerintahan  Bengkulu” pada umumnya untuk mengetahui keadaan di daerah pedalaman serta potensi daerah-daerah yang ada di kawasan timur daerah pedalaman tersebut. Jelas sekali Gerakan Ke Timur Raffles ini tidak hanya sekedar kunjungan musibah, tetapi juga mengandung arti ekonomi dan politis. Kenyataan ini bisa dibuktikan dari dengan dibangunnya Benteng Simawang dan ditinggalkan satu pleton pasukan sepoy di sana oleh Raffles. Besar sekali arti ekonomis dan politisnya pembangunan benteng dan penempatan tentara ini, karena Simawang terletak pada salah satu ruas jalan yang penting antara daerah pesisir dengan pedalaman. Ini berarti Inggris ingin mengontrol pergerakan orang dan barang antara kedua daerah. Arti ekonomi dan politik lain dari misi Raffles ke pedalaman terlihat ketika Inggris harus hengkang dari Pantai barat sebagai akibat dari Konvensi London, Raffles bersikeras untuk mempertahankan Sumatra’s Westkust dan daerah pedalamannya. Raffles bahkan mengusulkan kepada pemerintahan “pusat” di India (dan juga di Inggris) agar tetap menguasai Sumatra Barat (hingga daerah pedalamannya). Penguasaan ini penting, karena Raffles mengatakan “siapa yang berhasil menguasai kawasan tengah Sumatra berarti akan dapat menguasai jantung kawasan niaga Selat Malaka”.

Gerakan ke timur yang dilakukan Raffles (Inggris) tidak bisa dilanjutkan, karena Inggris harus meninggalkan Sumatra. Ikhtiar Inggris tersebut diwujudkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda menerima Sumatra’s Westkust dari tangan Inggris. Segera setelah menguasai Sumatra’s Westkust, pemerintah Hindia Belanda langsung melanjutkan gerakan ke timur yang telah dimulai Inggris. Prahara politik yang terjadi di daerah pedalaman dijadikan sebagai alasan gerakan ke timur oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memandang kegaduhah politik di daerah pedalaman tersebut akan bisa mengancam kekuasaan Belanda yang baru saja eksis di kawasan pantai. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh munculnya sejumlah penghulu dari Luhak Tanah Datar (yang dipimpin oleh Sutan Alam Bagagarsyah) di Padang dan kedatangan mereka ke ibu kota keresidenan tersebut adalah meminta bantuan Belanda untuk memerangi kaum Paderi.

Bak pucuk dicinta ulam tiba, Residen Du Puys segera menyetujui permintaan tersebut, dan segera setelah itu Belanda memulai gerakan ke timur. Gerakan ke timur ini kemudian berhasil menubuhkan kekuasaan Belanda di daerah pedalaman. Daerah “timur” yang pertama mereka kuasai adalah Tanah Datar. Hal itu ditandai dengan jadikannya daerah itu sebagai bagian dari unit administratif Residentie Padang en Onderhoorigheden, dan ditempatkannya seorang wakil pemerintah Belanda di daerah itu (Batu Sangkar) yang saat itu populer dengan sebutan Fort van der Capellen. Tidak itu saja, Sutan Alam Bagagarsyah, tokoh yang berperan mengundang Belanda masuk ke daerah pedalaman juga diangkat penguasa kolonial sebagai Hoofdregent van Minangkabau, sebuah jabatan yang diciptakan Belanda, yang sesungguhnya tidak punya peran soial, politik, atau ekonomi apa-apa. Jabatan itu seharusnya dipandang sebagai “imbalan” dari pemerintah kolonial terhadap Alam Bagagarsyah yang melempangkan jalan baginya untuk masuk ke daerah pedalaman.

Setelah menguasai Tanah Datar, gerakan ke timur dilanjutkan dengan menguasai Agam dan Limapuluh Kota. Setelah penaklukan itu dilaksanakan maka Fort de Kock (Bukittinggi) dijadikan sebagai pusat pemerintah, militer, dan ekonomi kolonial oleh penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Residentie Padangsche Boven­landen dibentuk, maka Fort de Kock dijadikan ibu kota unit administratif yang baru dibuat itu.

Dari Agam Belanda merangsek ke arah utara dan kemudian kawasan timur dari belahan utara tersebut, di antaranya ke kawasan Dalu-Dalu (Rokan). Sehubungan dengan itu, ekspansi ke utara itu sesungguhnya juga bagian dari gerakan ke timur pemerin­tah kolonial Belanda.

Sejumlah karya sejarah mengenai masuknya Belanda ke kawasan pedalaman selama ini cenderung mengaitkan gerakan ke timur itu dengan kampanye militer. Gerakan ke timur periode awal ini dilihat dari ikut-sertanya Belanda dalam Perang Paderi. Sering dikatakan bahwa gerakan ke timur yang dilakukan pemerintah Belanda sebagai sebuah penaklukan militer yang melibatkan ribuan tentara. Dan kemenangan yang diperoleh pihak Belanda cenderung dikaitkan dengan kelebihan mereka dalam sistem persenjataan dan taktik serta strategi perang yang lebih moderen. Sangat sedikit, atau hampir tidak ada kajian yang melihat bahwa kisah sukses ekspansi ke daerah pedalaman itu adalah juga hasil dari strategi “non-militer”, yang antara lain ditandai dengan pembangunan jalan raya untuk memudahkan mobilisasi pasukan. Nyaris belum ada kajian yang lebih sungguh-sungguh menelusuri berapa banyak jalan raya antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman yang dibangun oleh Belanda pada hari-hari pertama gerakan mereka menuju kawasan pedalaman, yang nota benenya berada di sebelah timur daerah yang selama ini mereka kuasai.

Tidak diragukan lagi, kisah sukses masuknya Belanda ke kawasan pedalaman (gerakan ke timur), atau kisah sukses Belanda menaklukan Kaum Paderi  adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan jaringan jalan raya yang mereka lakukan. Setidaknya, selama Perang Paderi tersebut, Belanda membangun tiga jalur jalan raya utama yang menghubungkan kawasan pantai dengan daerah pedalaman. Pertama, antara Padang via Limau Manis terus ke Gantung Ciri, Guguak, Selayo dan ke Tanah Datar; kedua, dari Padang via Lubuk Minturun terus ke Saningbakar dan Singkarak serta dilanjutkan ke Tanah Datar; ketiga, dari Pariaman dan Tiku, terus ke Lubukbasung, Maninjau, Matur, dan dari Matur jalan bercabang dua, yang pertama ke Bukittinggi serta yang satu lagi ke Palembayan dan selanjutnya ke Bonjol.

Ada fenomena yang sangat menarik dari Gerakan ke Timur dengan cara membangun jalan raya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Jalan yang mereka bangun itu sesungguhnya adalah jalan lama (jalan setapak) yang sebelumnya telah digunakan oleh penduduk pedalaman ketika mereka pergi ke daerah pantai atau ketika mereka pulang ke daerah pedalaman dari daerah pantai. Namun jalan baru mereka bangun itu jauh lebih baik mutunya sehingga bisa dilalui oleh kuda dan kendaraan penarik meriam (orang Belanda meningkatkan mutu apa yang dibuat penduduk setempat).

Di samping membangun jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman, di daerah pedalaman itu sendiri, baik di Tanah Datar, atau antara Tanah Datar dengan Limapuluh Kota serta Agam pemerintah kolonial Belanda juga membangun puluhan atau ratusan ruas jalan. Pembangunan ruas-ruas jalan tersebut, pada awalnya adalah untuk kepentingan pergerakan pasukan (tentara). Itulah sebabnya, mengapa di kawasan Tanah Datar khususnya dan dari Tanah Datar ke kawasan Agam dan Limapuluh Kota terdapat demikian banyak ruas jalan. Ruas-ruas jalan itu masih bisa ditemukan hingga saat sekarang.

Pembangunan jaringan jalan raya inilah yang menyebabkan dinamisnya mobilisasi pasukan Belanda selama Perang Paderi. Dan dinamisnya mobilisasi pasukan ini pulalah yang menjadi salah satu faktor penentu utama kemenangan Belanda dalam Perang Paderi. Kemenangan dalam Perang Paderi berarti juga tuntasnya upaya gerakan ke timur fase awal pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat.

III

Pembangunan jaringan jalan raya kemudian menjadi salah satu prioritas pemerintah daerah Sumatra Barat pasca-penaklukan Kaum Paderi. Ruas-ruas jalan yang telah dirintis sebelumnya ditingkatkan mutunya. Program peningkatan mutu jalan ini antara lain ditandai dengan pelebaran jalan dan pengurangan terjalnya tanjakan atau tajamnya penurunan. Upaya peningkatan jalan ini menyebabkan jalan yang semula hanya bisa dilalui oleh kuda atau kereta penarik meriam sekarang bisa dilalui oleh pedati yang ditarik oleh kerbau.

Di samping peningkatan mutu jalan yang telah ada, juga dilakukan pembukaan jalan baru. Dua ruas jalan yang dibuka pasca-Perang Paderi adalah ruas jalan dari Padang atau Pariaman menuju Padang Panjang dan Bukittinggi via Sicincin dan Kayutanam serta Lembah Anai, serta ruas jalan antara Air Bangis dengan Rao.

Pembangunan ruas jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah salah satu “proyek” paling besar dan paling penting artinya di dan bagi Sumatra Barat. Pembangunan berbagai ruas jalan itu dilakukan dengan susah payah dan dengan energi serta dana yang besar. Ada perbedaan topografi yang sangat signifikan antara daerah pesisir dengan daerah  pedalaman, dan perbedaan itu menyebabkan adanya sebuah tanjakan yang paling tajam pada hampir semua ruas jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman. Tanjakan yang paling tajam dalam ruas Pariaman – Lubuk Basung – Maninjau – Matur adalah Kelok 44, tanjakan palin tajam pada ruas jalan antara Padang (Pariaman) – Sicincin – Kayutanam – Padangpanjang adalah Singgalang Kariang, tanjakan yang paling tajam dalam ruas jalan Padang – Solok adalah Sitinjau Laut.

Pemerintah kolonial Belanda “nekad” membangun jalan raya antara kawasan pesisir dengan pedalaman, walaupun menguras tenaga dan biaya yang besar. Pilihan tersebut tetap mereka ambil karena itu adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik gerakan ke timur. Pembangunan jaringan jalan raya adalah kunci suksesnya gerakan ke timur pada fase kedua.

Pemerintah kolonial Belanda tetap melanjutkan  politik pembangunan jaringan jalan raya pasca-Perang Paderi. Peningkatakan mutu jalan atau pembukaan ruas jalan baru saat itu berhubungan erat dengan keinginan penguasa Belanda untuk memperlancarkan hubungan antara daerah Barat dengan Timur dalam upaya memaksimalkan eksploitasi ekonomi daerah-daerah yang telah mereka kuasai. Eksploitasi ekonomi yang dimaksud adalah penyerahan wajib (Cultuur-stelsel) kopi oleh penduduk kepada pemerintah.

Sejak tahun 1847 pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa kopi di Sumatra Barat. Dalam sistem tanam paksa ini, setiap keluarga petani diwajibkan menanam sebanyak 250 batang kopi di tanah yang tersubur yang mereka miliki, kemudian mereka diwajibkan merawat, memanen, dan mengantarkan hasil panen kopi ke gudang-gudang kopi yang telah disediakan pemerintah. Dari gudang-gudang kopi yang umumnya berada di kawasan pedalaman tersebut kopi di bawa ke kawasan pantai. Untuk itu semua dibutuhkan adanya dan tersedianya jalan raya yang baik, jalan raya yang bisa dilalui oleh petani untuk membawa kopi yang mereka hasilkan dan jalan raya yang bisa dilalui pedati untuk mengangkut kopi.

“Jalan raya kopi” yang dibangun pasca-Perang Paderi itu nyaris menghubungkan semua daerah di kawasan pantai dengan daerah pedalaman, dan nyaris pula menghubungkan semua daerah yang ada di daerah pedalaman. Puluhan atau ratusan ruas jalan raya tersebut juga “dihiasi” oleh puluhan atau ratusan jembatan. Semua jembatan yang ada pada masa itu terdiri dari jembatan kayu. Dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan jembatan tersebut, maka pemerintah atau penduduk setempat memberi atap pada banyak jembatan. Tidak tanggung-tanggung, banyak jembatan yang diberi atap menyerupai atap rumah gadang, rumah adat Minangkabau.

Suksesnya Tanam Paksa Kopi didukung oleh tersedianya jaringan jalan raya yang bisa dikatakan lebih dari cukup di Sumatra Barat. Sehingga bisa dikatakan, pada era Tanam Paksa Kopi (dan tentu saja pada masa sesudah Tanam Paksa Kopi dihapuskan), Sumatra Barat termasuk salah satu daerah yang memiliki jaringan jalan raya yang paling banyak dan dengan kondisi yang paling baik saat itu di Hindia Belanda).

Gerakan ke timur yang ditandai dengan pembangunan prasarana transporasi memasuki babak baru pada perempat terakhir abad ke-19. Pada saat itu, pemerintah kolonial membangun jaringan jalan kereta api yang menghubungkan kota Padang dengan Padang Panjang, Solok dan Sawahlunto. Secara geografis, Sawahlunto berada di bagian timur kota Padang. Pembangunan jaringan jalan kereta api ini dilakukan karena ditemukannya cadangan batubara dalam jumlah yang banyak di kawasan sekitar Sawahlunto. Kereta api menjadi alat pengangkut utama batubara ini. Dari Swahlunto, batubara tersebut dibawa ke Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur), pelabuhan laut yang ada di kota  Padang untuk selanjutnya diekpsor ke mancanegara.

Pembangunan jaringan jalan kereta api yang semula hanya hingga Sawahlunto kemudian (pada awal abad ke-20) dilanjutkan hingga ke Bukittinggi dan Payakumbuh, direncanakan hingga Suliki. Perluasan jangkauan dan layanan kereta api ini bisa juga dilihat sebagai bagian dari gerakan ke Timur yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda. Bukankah Payakumbuh khususnya dan kawasan hingga Suliki pada umumnya terletak timur dari Sumatra Barat?

Introduksi jalan kereta api menjadikan lengkapnya prasarana dan sarana transportasi darat di Sumatra Barat. Kehadiran dua prasarana transportasi ini telah ikut menyukseskan eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya kolonial Belanda di Sumatra Barat.

IV

Seiring dengan perjalanan waktu, memasuki abad ke-20 kejayaan daerah yang berada di kawasan pantai barat mulai meredup. Kelesuan juga melanda daerah pedalaman Sumatra’s Westkust. Produksi kopi menurun dengan drastis dan kopi tidak lagi menjadi komoditas primadona dalam perdagangan dunia. Penurunan produksi yang tajam juga dialami oleh berbagai komoditas dagang lain yang dihasilkan daerah pedalaman. Sehubungan dengan itu, secara lambat namun pasti, kawasan pesisir barat mulai ditinggalkan para pelaku ekonomi. Beberapa negara asing yang sebelumnya membuka konsulat perdagangan mereka di Padang misalnya, mulai meninggalkan kota itu dan memindahkan kantor mereka ke daerah lain. Sejumlah perusahan ekspor-impor yang sebelumnya memiliki handelhuizen (rumah dagang) satu demi satu juga meninggalkan kota itu. Sejumlah prusahaan pelayaran perkapalan mancanegara yang pada waktu sebelumnya menjadikan Padang sebagai pelabuhan “wajib singgah” mereka dalam pelayaran antara Batavia dengan Eropa atau sebaliknya, juga mengalihkan rute mereka ke kawasan lain. Padang khususnya dan Sumatra Barat umumnya tidak lagi termasuk kawasan yang  memiliki gairah niaga yang mempesona. Seperti di sebut di atas, kopi dan kayu manis, sebagai hasil andalan daerah pedalaman dan yang membuat bergairahnya daerah pantai barat, mulai menurun jumlah dan mutunya. Berbagai komoditas lain, yang dimasa-masa lampau juga ikut menggairahkan dunia niaga Sumatra Barat, juga merosot dengan sangat tajam produksinya. Kenyataan ini membuat lesunya hubungan antara daerah pantai barat dengan daerah pedalamannya, sebab sebagian besar komoditas perdagangan tersebut dihasilkan oleh daerah pedalaman.

Sebaliknya, memasuki awal abad ke-20 pantai timur Sumatra (termasuk daerah yang berada tepat di sebelah timur Sumatra Barat) mulai menggeliat. Secara perlahan namun pasti, kawasan itu tampil menjadi pusat pertumbuhan politik dan ekonomi di Sumatra. Di samping itu, kawasan itu juga menjadi daerah pelintasan utama yang harus dilalui bila orang Sumatra Barat ingin pergi ke pusat-pusat politik dan ekonomidi kawasan Tanah Semenanjung Malaysia.

Perkembangan yang disebut terakhir inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda mulai memberikan perhatian yang istimewa pada kawasan tersebut (kawasan paling timur dari Sumatra Barat). Sehubungan dengan itu, berbagai misi perluasan kekuasaan ke arah timur mulai dilakukan.  Beberapa ekspedisi militer dikirim ke wilayah XIII Koto dan V Koto Kampar. Di samping itu daerah Kuantan, Indragiri, Siak, dan Rokan mulai dimasuki.

Dalam rangka memudahkan pergerakan pasukan dan rombongan berbagai ekspedisi ke kawasan Kampar khususnya (dari arah Sumatra Barat, dari Bukittinggi dan Payakumbuh), serta dalam rangka mengontrol daerah yang telah dikuasai di daerah itu, maka dibangunlah jalan raya antara Bukittinggi dan Payakumbuh dengan kawasan Kampar. Dengan demikian, sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat mengintensifkan gerakan ke daerah yang lebih jauh di timur.

Gerakan ke timur dari Sumatra tidak saja ditujukan ke kawasan yang dewasa ini menjadi bagian dari Provinsi Riau. Gerakan ke timur di awal abad ke-20 ini sesungguhnya juga mengarah ke kawasan yang lazim dikenal dengan Sumatra’s Oostkust atau Sumatra Timur (kawasan yang antara lain meliputi Deli, Serdang, Langkat, dlsbnya). Di kawasan ini juga muncul sebuah kota besar, yakni Medan dan kemunculan kota tersebut dengan cepat mengambil alih kejayaan Padang. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Medan tumbuh menjadi kota terbesar dan terpenting di Sumatra. Pada decade-dekade pertama abad ke-20, Medan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang terkemuka di Sumatra. Kenyataan ini disebabkan oleh pembukaan berbagai ordernemingen (perkebunan besar) di kawasan itu. Pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan kota Medan mengambil alih peran pelabuhan Emmahaven (Padang), dan kapal-kapal samudera yang dahulu menyinggahi Padang mengalihkan rutenya ke pelabuhan Belawan. Perkembangan inilah menyebabkan hampir semua konsulat perdagangan yang ada di Padang memindahkan kegiatan mereka ke Medan. Sejumlah besar handelhuizen yang sebelumnya ada di kota Padang juga hijrah ke kota itu.

Kebangkitan Medan khususnya dan Sumatra Timur umumnya, mendorong pemerintah Hindia membangun jaringan jalan raya dari Sumatra Barat ke Sumatra Timur, tepatnya dari Bukittinggi ke kota Medan. Karena itu, hubungan darat jarak jauh pertama di Sumatra (pada mulanya menggunakan bendi dan kemudian menggunakan bus/truk), adalah pelayanan transportasi darat antara Bukittingggi dengan Medan. Pelayanan ini telah terselenggara sejak dekade-dekade permulaan abad ke-20.

Pemerintah kolonial Belanda memang menggunakan jaringan jalan raya sebagai bagian penting dari penubuhan kekuasaan mereka di Sumatra. Sarana transporasi darat adalah faktor terpenting dari politik penaklukan mereka di Sumatra. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, untuk mengintensifkan penguasaan dan peneguhan kontrol atas Kampar khususnya dan Riau pada umumnya, pemerintah kolonial Belanda juga membangun jaringan jalan raya dari Bukittinggi, Payakumbuh hingga Bangkinang dan selanjutnyake Pakanbaru (di Riau). Di kawasan selatan Sumatra Barat, Belanda juga membangun jalan raya dari Solok, Sijunjung, Kiliran Jao menuju Taluk Kuantan hingga Rengat (di Riau).

Karena terletak di jajaran Pegunungan Bukit Barisan, maka kedua ruas jalan raya ini juga dipenuhi oleh tanjakan, penurunan, tikungan, serta diapit oleh tebing yang tinggi serta lembah yang dalam. Ruas jalan yang secara intensif mulai dibangun tahun 1920-an itu dapat dikatakan “selesai” pada pertengahan tahun 1930-an.

Kelok Sembian pada Ruas Jalan Antaar Bukittinggi – Pakanbaru

(Sumber: Elout, C.K., Indisch Dagboek. Den Haag: W.P. van Stockum & Zoon N.V., 1936)

Sejak dimulai pembangunan, jalan tersebut telah dimanfaatkan oleh para pengguna (baik saudagar atau orang biasa). Beberapa Laporan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Laporan Kadin Padang yang dibuat pada tahun-tahun pengerjaan jalan tersebut memberitakan bahwa ada banyak pengguna yang melintasi jalan yang tengah dikerjakan itu. Sehingga mereka berani meramalkan bahwa nantinya kedua ruas jalan itu akan menjadi ruas jalan utama dan terpenting di bagian tengah Sumatra. Laporan PU dan Kadin Padang juga menyebut bahwa salah satu pengerjaan yang paling sulit dan membutuhkan biaya serta menyita waktu yang banyak adalah pengerjaan ruas Jalan Kelok Sembilan. Walaupun demikian kedua lembaga ini juga mengatakan bahwa keberadaan Kelok Sembilan akan menjadi sangat penting, karena menjadi penentu utama dalam hidup atau matinya hubungan antara Payakumbuh (Sumatra Barat) dengan Bangkinang dan Pakanbaru (Riau). Pembangunan ruas jalan antara Payakumbuh dengan Bangkinang dan Pakanbaru (serta antara Kiliran Jao dengan Taluk Kuantan dan Rengat) dapat dikatakan sebagai puncak dari gerakan ke timur yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda. Pembangunan ruas jalan tersebut mengantarkan Sumatra Barat menjadi sebuah daerah yang mulai menggantungkan dirinya dengan kawasan sebelah timur, Riau khususnya dan Tanah Semenanjung pada umumnya.

V

Segera setelah Indonesia merdeka, pemerintah Sumatra khususnya nyaris alpa memperhatikan kawasan timur. Fokus perhatian lebih ditujukan kepada Sumatra Barat sendiri, khususnya daerah pedalamannya. Kebetulan atau tidak, segera setelah kemerdekaan RI diproklamirkan, daerah pedalaman Sumatra Barat, terutama Bukittinggi tampil sebagai pusat pemerintahan, pada awalnya Keresidenan Sumatra Barat, dan kemudian Provinsi Sumatra Tengah.

Pengabaian kawasan timur oleh pemerintahan daerah Sumatra Barat, atau warga daerah Sumatra Barat semakin menjadi-jadi ketika aktivitas sosial, politik, dan ekonomi Sumatra Tengah (sejak awal dasawarsa 1950-an) terkonsetrasi di Sumatra Barat umumnya dan di beberapa kota di daerah itu khususnya. Akibat perkembangan ini, orang Riau atau Jambi, yang secara geografi berada di kawasan timur Sumatra “terpaksa” datang ke Sumatra Barat. Mereka datang ke Sumatra Barat untuk menuntut ilmu karena sekolah lanjutan terbaik dan sekolah tinggi (akademi dan universitas terkemuka) hanya ada di Sumatra Barat. Mereka datang ke Sumatra Barat untuk berbelanja berbagai barang kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan lain. Mereka juga harus datang ke Sumatra barat untuk berbagai urusan administrasi atau politik, karena hampir semua instansi pemerintahan yang bersifat regional menempatkan kantor pusatnya di Sumatra Barat. Hal ini terlihat dari, antara lai, ditempatkannya di Sumatra Barat kantor Pusat Pelayanan Pajak untuk daerah Sumbar, Riau, dan Jambi; Kantor Pusat PLN; Pos dan Telekomonikasi; Bank Indonesia; BPCP; Kodam III; dlsbnya.

Keadaan seperti di atas berlangsung hingga berakhirnya era Orde Baru. Setelah itu berlaku ungkapan, “zaman berganti, musim berubah”. Era reformasi yang nyaris bersamaan dengan pergantian millennium mengantarkan Riau pada era baru, menuju alaf baru, Alaf Melayu Riau. Di era baru ini Riau mendapatkan kembali haknya yang selama ini nyaris tidak pernah didapatnya (terutama karena sistem politik yang sentralistis yang dijalankan Jakarta).

Memasuki alaf baru, orang Riau menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri. Posisi-posisi penting dalam lapangan politik daerah beralih dengan segera ke tangan orang Riau. Dana yang besar, sebagai kompensasi dari eksploitasi kekayaan alam daerahnya, dikucurkan pusat ke Riau.

Dalam waktu yang relatif singkat Riau umumnya dan Pakanbaru khususnya tumbuh menjadi pusat perekonomian. Investor masuk dan menanamkan modal mereka dalam berbagai lapangan pertanian dan industri. Prasarana transportasi dibangun dengan masif dan sarana transportasi juga tumbuh mencengangkan. Dalam kaitannya dengan sektor transportasi ini, Riau menjadi daerah yang begitu terbuka. Ada banyak pilihan yang mereka miliki. Ada jaringan jalan raya memudahkan mobilitas warga daerah ke utara (Sumatra Utara) atau ke selatan (Jambi dan Sumatra Selatan serta terus ke Jakarta). Perhubungan laut (menuju Kepulauan Riau atau Malaysia) juga tersedia. Transportasi udara juga tumbuh dengan pesat. Bandara yang semula hanya “selebar telapak tangan” dan gedungnya yang sederhana diperbesar dan dirombak menjadi gedung yang megah.

Kompleks perumahan dan hotel, serta pertokoan, supermarket dan mall juga tumbuh dengan maraknya.

Dengan dana yang melimpah Riau mengembangkan dunia pendidikannya. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi baru didirikan atau ditingkatkan mutunya. Untuk itu peralatan belajar-mengajar juga dilengkapi, serta sumber daya pendidikan (dan kualitas para pengajar) juga ditingkatkan. Dana yang besar juga diberikan untuk menyekolahkan “anak-anak” Riau ke pusat-pusat pendidikan (terutama di Pulau Jawa dan Malaysia). Dengan dana yang besar pula para penentu kebijakan di Riau menyekolahkan “anak-anak’ Riau ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Riau juga menggairahkan dunia tulis menulis. Para penulis difasilitasi dan diapresiasi dengan luar biasa. Dalam waktu yang relatif pendek, ratusan (kalau tidak ribuan) buku lahir dari tangan penulis Riau. Media massa (terutama surat kabar) juga tumbuh dengan pesat di Riau. Industri penerbitan apalagi.

Kehidupan seni dan budaya juga bergairah. Inovasi dan kreasi seni (dan sastra) hadir di Riau. Tidak hanya di pusat pemerintah dan ekonomi  (Pakanbaru) tetapi juga di tingkat kabupaten dan kota). Sepanjang tahun kita saksikan selalu ada pertunjukan seni/budaya di Riau.

Perlahan namun pasti, secara resmi atau tidak, berbagai lembaga pemerintahan yang berstruktur wilayah (Sumatra Tengah) mulai “memindahkan” kantor pusat mereka ke Riau (Pakanbaru). “Pemindahan” ini terutama sekali disebabkan oleh aktivitas yang paling besar dari lembaga tersebut adalah di Riau (Pakanbaru). Kalau tidak “dipindahkan” dengan sendiri oleh lembaga tersebut, orang Riau bahkan dengan aktif mengupayakan pemindahan itu. Dalam, berbagai kesempatan misalnya, orang Riau dengan gigih mengusulkan agar BPCB Sumatra Barat, Riau dan Kepulauan Riau yang berpusat di Batusangkar dipindahkan saja ke Pakanbaru.

Tidak itu saja, orang Sumatra Barat sendiri juga menjadikan Riau sebagai “kiblat” yang baru. Dalam media cetak yang terbit di Sumatra Barat beberapa kali diberitakan adanya sejumlah kunjungan (studi banding) dari sejumlah sekolah di Sumatra Barat ke Riau, banyak “anak“ Sumatra Barat akhir-akhir ini yang melanjutkan pendidikan mereka di Riau (Pakanbaru), adanya sejumlah pemerintah daerah di Sumatra Barat yang mengadakan “rapat kerja” di Pakanbaru, melakukan studi perbandingan ke Riau, dan membuka akses jalan dari daerah merek ke Riau (seperti yang dilakukan pemerintah Kabupaten Pasaman), dlsbnya. Sehubungan dengan kasus yang terakhir, pemerintah Provinsi Sumatra Barat bahkan berupaya memperbaiki (meningkatkan mutu jalan antara Payakumbuh hingga ke perbatasan Riau), yang antara lain ditandai dengan pembangunan jembatan Kelok Sembilan.

Pembangunan Kelok Sembilan menghadirkan kembali gerakan ke timur dari pemerintah daerah Sumatra Barat, karena pada kenyataannya, pemerintah Sumatra Baratlah yang paling sibuk dan habis-habisan membangun ruas jalan itu.

Nilai penting jalan raya antara Sumatra Barat dengan Riau saat sekarang memang untuk orang Sumatra Barat. Pengguna yang paling banyak dari jalan raya itu adalah orang Sumatra Barat, dan keuntungan yang paling banyak dari jalan raya tersebut adalah untuk orang/daerah Suamtera Barat. Bagi Riau dewasa ini, tanpa Sumatra Barat mereka juga bisa hidup, setidaknya begitulah sejumlah suara yang muncul di daerah itu. Hal ini masuk akal juga karena hubungan Riau dengan daerah lain di utara dan selatan terbuka dengan lempangnya.

Gerakan ke timur fase keempat baru saja dimulai, dan yang memulai sekarang adalah orang atau pemerintah daerah Sumatra Barat. Bagaimanakah perkembangan selanjutnya dari gerakan ini? Waktulah yang akan menjawab.

Daftar Kepustakaan

Bastin, John, The Bristish in West Sumatra (1685-1825). Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1965.

Dobbin, Chiristine¸ Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784 – 1847. London: Curzon Press, 1983.

Gusti Asnan, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera” dalam Taufik Abdullah (ed.), Indonesia Dalam Arus Sejarah (Jilid IV). Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal.  42-69.

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat: Dari VOC Hingga Reformasi (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006).

Gusti Asnan “Transportation on the West Coast of Sumatra in the Nineteenth Century” dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 159-4, 2002, hal. 727-741.

Katirithamby-Wells, J, The British West Sumatran Presidency, 1760-1885: Problem of Early Colonial Enterprise. Kuala Lumpur: Penerbit University Malaya, 1977.

Kraus, Werner, Zwischen Reform und Repebellion: Ueber die Entwickelung des Islams in Minangkabau (West Sumatra, Zwischen den Beiden Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908) (Wiesbaden: Franz Steiner Verslag, 1984).

Mohammad Radjab,, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837). Djakarta: Djambatan, 1954.

Raffles, Sofia, Memoirs of the Life and Public Service of Sir Stamford Raffles. London: John Murray-Albemarke Street, 1830.

Reid, Anthony , ‘The French in Sumatra and the Malay World 1760–1890’, dalam Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (12, 2/3, 1973), hal. 195-238.

Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981);

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Thomaz, Luis Felippe, “Sumatra’s Westcoast In Portuguese Sources of the Mid 16th Century” dalam Bernhard Dahm (ed.), Region and Regional Devepment in the Malay World. Wiesbaden: Otto Harrasowitz, 1992.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Perjalanan ke Pengasingan

Ada dua versi tentang lokasi kuburan Tuanku Imam Bonjol. Versi pertama mengatakan kuburan Tuanku Imam Bonjol berada di Lotak, Sulawesi Utara.  Versi kedua mengatakan makam Tuanku Imam Bonjol berlokasi di suatu tempat di Bonjol. Versi pertama bisa dikatakan sebagai karya sejarah yang empiris, sedangkan versi kedua lebih bersifat pengetahuan sejarah (sebagian) masyarakat.

Sebagai rekonstruksi sejarah, versi pertama atau versi kedua, pasti memiliki bukti atau sumber. Versi pertama, yang lazim kita kenal, menjadikan makam sang tuanku dan bangunan pendukungnya di Lotak, serta sejumlah catatan atau dokumen historis sebagai bukti atau sumber. Sebaliknya, versi kedua, juga menyatakan ada bukti atau sumber pendukung yang mereka miliki. Sayangnya, para pendukung versi kedua ini tidak mau menampilkan data atau sumber yang mereka miliki. Mereka menyelimuti sumber mereka dengan ungkapan bahwa kuburan itu “berada di lokasi yang dirahasiakan”.

Para pendukung versi kedua tetap mempercayai dan berupaya pula meyakinkan orang lain bahwa kuburan Tuanku Imam Bonjol bukan di Lotak. Mereka juga mencoba meyakinkan orang lain bahwa Tuanku Imam Bonjol tidak pernah ditangkap, ditawan dan dibuang ke sejumlah negeri sebelum akhirnya sampai ke Lotak. Mereka juga meyakinkan orang bahwa yang ditangkap dan dibuang, serta berkubur di Lotak itu adalah orang lain yang disuruh ‘berakting’ menjadi Tuanku Imam Bonjol.

Walaupun versi kedua ini tidak menghebohkan lagi, sebagaimana terjadi tahun 1980-an, tetapi keberadaannya tetap dirasakan hingga sekarang. Tidak hanya itu, keberadaan versi kedua ini dianggap bersifat kontra produktif. Pernyataan ini berpotensi menghadirkan penilaian negatif terhadap Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut TIB), dia akan dikatakan pengecut, mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya, dan tidak berjuang sampai akhir hayat. Penilaian ini akan menguatkan pernyataan Taufik Abdullah dan Muchtar Luthfi saat polemik itu menghangat tahun 1980-an, yang mengatakan “kalau begitu cabut saja gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan kepada Tuanku Imam Bonjol”. Versi yang kedua ini juga berpotensi melemahkan kesahihan Naskah Tuanku Imam Bonjol, yang dewasa ini diusulkan menjadi Memory of the World.

Naskah Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut NTIB) adalah salah satu sumber yang tidak hanya menginformasikan berbagai hal yang dialami Tuanku Imam Bonjo selama Perang Padri, tetapi juga informasi khusus mengenai penangkapan serta pembuangannya. Ada banyak informasi menarik yang tersaji dalam naskah ini. Informasi yang memperlihatkan mengapa Tuanku Imam Bonjol memilih datang ke Palupuh menemui wakil Belanda, keberadaan ‘tentara niniak mamak’ yang sangat setia pada Belanda, sikap politik Belanda terhadap penangkapan dan pembuangan Tuanku Imam Bonjol, sikap Tuanku Imam Bonjol terhadap penangkapan dan pembuangannya, serta berbagai ‘fakta sosial’ tentang simpati dan hasat sejumlah orang yang ikut menjadi lakon cerita, termasuk juga informasi tentang keramatnya TIB.

Tulisan ini akan menampilkan kisah perjalanan Tuanku Imam Bonjol sejak dia ditangkap hingga sampai Lotak. Bahan utama yang digunakan untuk tulisan ini adalah NTIB.

Ada dua alasan penggunaan sumber ini: Pertama, setakat ini isi NTIB relatif belum banyak dikenal masyarakat luas. Kedua, menggunakan NTIB sebagai sumber berarti menyajikan informasi mengenai penangkapan, pembuangan dan pengalaman hidup TIB di tanah pembuangan sebagaimana yang dia sajikan sendiri. Ketiga, memberikan penghargaan kepada NITB sebagai sebuah karya yang bernilai historis dan layak digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Disadari juga, ada satu kelemahan NTIB, yakni kurang memiliki kesadaran waktu. Untuk mengatasi kelemahan ini bisa digunakan sumber lain.

II

Dari NTIB kita mengetahui bahwa memenuhi undangan Belanda (Residen Francis) untuk berunding di Palupuh adalah pilihan terbaik, dari yang terburuk, oleh TIB. TIB memutuskan menemui sang residen setelah melihat banyaknya korban yang jatuh dan semakin brutalnya Belanda menghajar para pendukungnya. NTIB menyajikan banyak informasi mengenai kekejaman dan kebrutalan Belanda sejak beberapa waktu sebelum kejatuhan Benteng Bonjol (16 Agustus 1837) hingga hari-hari menjelang Tuanku Imam Bonjol memenuhi undangan Francis untuk berunding di Palupuh. Tidak hanya pihak lelaki, kaum perempuan juga dibunuh, dilukai atau yang paling ringan ditangkapi oleh tentara Belanda.

TIB pergi ke Palupuh, sebuah nagari yang berlokasi antara Bonjol dengan Bukittinggi dan saat itu di sana ada benteng Belanda, bersama empat pengiringnya. Keempat pengiring itu adalah Durahap (keponakan TIB), Sutan Saidi (anak TIB), Bagindo Tan Labiah (semenda TIB), dan si Golong (‘ajudan’ TIB). Mereka sampai di Palupuh pada tanggal 28 Oktober 1838.

Ada proses yang cukup rumit dalam pertemuan itu. Proses pertemuan TIB dengan petinggi Belanda itu difasilitasi oleh ‘broker’, Tuanku Manis namanya. Tuanku Manis ini dahulunya adalah murid TIB namun kemudian berkhianat dan bergabung dengan Belanda. Sesampai di Palupuh ternyata Francis tidak ada, TIB kemudian hanya bersua dengan Kapten Steinmetz, Asisten Residen di Bukittinggi.

Setelah pertemuan dengan Steinmetz, tengah malam saat menginap di rumah Tuanku Manis, TIB dijemput oleh jaksa dengan mengatakan Tuan Besar (Asisten Residen) menunggu di Bukittinggi. Dari Palupuh TIB berjalan ke Bukittinggi bersama jaksa dan diiringi oleh tentara.

Setelah tiga hari di Bukittinggi, TIB dan kawan-kawan bertemu dengan Asisten Residen serta para kepala laras dan regen (pejabat bumiptra atau Inlandsche Bestuur) pendukung Belanda.  Dalam pertemuan itu, Steinmetz mengatakan bahwa TIB harus tinggal di Bukittinggi, akan diberi uang belanja, boleh bersenang-senang diri dengan beribadah di surau dan mengaji. Dikatakan juga istri dan keluarga TIB diizinkan untuk datang dan tinggal di Bukittinggi.

Namun, Regen Batipuh, seorang tokoh adat pendukung Belanda dan sangat benci kepada kaum Padri mengatakan bahwa selama TIB ada di Tanah Darat maka Belanda tidak akan pernah tenang.

Dipengaruhi oleh hasungan Regen Batipuh atau memang telah direncanakan oleh Belanda, pada selepas shalat isya, empat hari setelah pertemuan dengan Steinmetz dan para pemimpin bumiputra kaki tangan kolonialis itu, anak buah Regen Tanah Datar menangkap Bagindo Tan Labiah dan seorang pengikut TIB. TIB yang ingin membela anak buahnya dibawa menghadap Seteinmetz serta komandan tentara Bukittinggi. Dalam pertemuan malam itu dikatakan bahwa TIB akan dibawa ke Padang menemui Residen Francis. Dikatakan bahwa masalah TIB tidak bisa diputuskan oleh Asisten Residen. TIB yang menduga dia akan dipenjara atau dibunuh (TIB menyebut akan dibinasakan) ditampik oleh komandan tentara (Letnan Arbacht) bahwa TIB tidak akan dibinasakan. TIB menulis, komandan tentara itu berkata “Tidak Tuanku akan binasa, tidak berkicuh pada Tuanku. Saya bersumpah kepada hari malam dan kepada lampu yang hidup ini, tidak Tuanku dibinasakan kompeni”.

Pandai benar komandan tentara tersebut meyakin TIB, pakai sumpah segala.

Setelah itu, malam itu juga TIB dan empat pengikutnya dibawa ke Padang. Dikatakan TIB dibawa dalam usungan. Beliau ditandu oleh anggota pasukan Regen Batipuh.

Ada informasi yang menarik dalam proses perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang. Perjalan ke Padang dilakukan dalam delapan kali berhenti dan pergantian “tuan” (pejabat militer Belanda) yang mendampingi perjalanannya. Delapan kali berhenti ini nampaknya menjadi pola perjalanan Bukittinggi – Padang atau sebaliknya sejak masa pembangunan jalan via Lembah Anai. Pada masa-masa berikutnya, jarak antar perhentian itu dinamakan  etape.

Delapan etape yang ditempuh TIB adalah Bukittinggi – Padangpanjang, Padangpanjang – Kayutanam, Kayutanam – Kiambang, Kiambang – Lubukalung, Lubukalung – Batanganai, Batanganai – Duku, Duku – Ujungkarang, dan Ujungkarang – Padang.

Di setiap tempat perhentian, TIB dan rombangan makan, minum, shalat dan istirahat (bermalam kalau sampai malam hari).

Perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang ternyata telah diketahui orang banyak. Karena itu, TIB menyebut dalam BTIB bahwa sepanjang jalan banyak warga yang menantinya atau mengiringi rombongannya untuk jarak tertentu.

Berbeda dengan perjalan sebelumnya, sesampai di Ujungkarang, TIB dan pengikutnya dibawa dengan kereta menuju Padang. Tidak disebutkan di mana mereka berhenti dan makan-minum di Padang, informasi yang disajikan hanyalah setelah makan mereka langsung dibawa lagi dengan kereta menuju kuala (muara). Muara adalah pelabuhan kota Padang. Setiba di pelabuhan itu TIB baru sadar bahwa dia ditipu, bahwa dia tidak dibawa untuk bersua dengan Residen Francis. Apalagi setelah itu dia dan rombongannya disuruh naik sekoci menuju Pulau Pisang. Pulau Pisang adalah reede kota Padang saat itu. Reede adalah pelabuhan tempat kapal samudra berlabuh, karena Pelabuhan Muara terlalu dangkal untuk kapal-kapal besar. Dalam dunia maritim Indonesia reede umumnya berlokasi di sebuah pulau.

Sesampai di Pulau Pisang TIB dan rombongan langsung naik ke kapal yang sudah menunggu di sana. Saat itu, sekali lagi, TIB menyadari bahwa dia akan dibawa jauh menyeberang lautan dan tidak akan kembali lagi ke Alahan Panjang (Bonjol).

Kapal yang dinaiki TIB adalah kapal layar tiang tiga layar. Kapal tidak langsung berangkat, karena itu TIB tidur di kapal malam itu.

Besoknya Residen Francis datang ke kapal menemui TIB. TIB menulis dalam NTIB bahwa ada banyak dialog antara dia dengan Francis. Inti dari dialog itu adalah: Pertama, TIB mengatakan bahwa dia ditipu Belanda; kedua, TIB rela menerima apapun yang diputuskan kompeni terhadapnya; ketiga, Francis mengatakan masalah TIB harus diputuskan oleh “Tuan Besar” di Betawi; keempat, dengan sombongnya Francis bahwa sekarang TIB berhadapan dengan orang yang menang perang.

Selama dalam pelayaran TIB tidak boleh memegang senjata. Tiga jenis senjata TIB, yakni sebuah sewah, dua keris dan satu rudus mesti diserahkan kepada kapten kapal.

Setelah Residen datang pula jaksa menemui TIB. Dia datang dengan membawa beberapa perlengkapan untuk TIB, seperti pakaian dan bahan makanan.

Pada pagi-pagi hari ketiga kapal berlayar meninggalkan Pulau Pisang menuju Batavia. TIB menyebut ada tujuh hari lama pelayarannya, kapal berlayar dengan kecepatan penuh, sebab semua layar terkembang sempurna.

Seperti di Padang, di Batavia kapal juga berlabuh di reede (Pulau Onrust). Karena itu TIB dan rombongannya harus naik sekoci lagi menuju pelabuhan.

Di pelabuhan TIB ditunggu oleh Komandan Hamzah. Dan dengan kereta TIB dibawa menemui residen. TIB selalu menyebut bahwa setiap kali bersua dengan pejabat tinggi Belanda selalu ada kalimat sapaan yang menyenangkan, pertanyaan basa-basi. Ketika bersua dengan Residen Betawi misalnya sang residen menyapa “Sudah datang Tuanku. Ada baik Tuanku”.

Sesudah pertemuan dengan residen, TIB tinggal di rumah Komandan Hamzah selama empat bulan.

Setelah empat bulan, residen memberi tahu TIB bahwa dia akan tinggal di Cianjur. Dikatakan bahwa TIB akan dapat gaji (50 rupiah/gulden) per bulan, dapat makan, dan dapat rumah tempat tinggal.

Lima hari setelah itu, dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh enam kuda, TIB bersama Komandan Hamzah berangkat menuju Bogor. Di Bogor mereka ingin menemui residen, tetapi residen hanya berpesan agar TIB dibawa menemui regen depati Bogor. TIB juga tidak sempat bersua dengan regen/bupati Bogor, namun sempat bermalam di sana. Besoknya perjalanan dilanjutkan menuju Cianjur. Setelah itu TIB menetap di sana.

Dalam NTIB ini tidak disebutkan aktivitas TIB selama di Cianjur. Namun ada satu informasi yang menarik. Tidak lama sesampai di Cianjur, TIB membuat surat permintaan kepada Tuan Besar (Gubernur Jendral Hindia Belanda) melalui Residen Cianjur untuk diizinkan pulang ke kampung halamannya. Tiga bulan menunggu, akhirnya datang balasan yang isinya meminta TIB datang ke Batavia. Tidak datang sembarang datang, tetapi datang dengan membawa semua barang dan perkakas yang dimiliki.

Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, TIB dijemput tengah malam. Dibawa ke Bogor dengan pengawalan penuh, 12 serdadu di depan dan 12 dibelakang. Dari Bogor dibawa ke Betawi. Sesampai di Betawi menginap lagi di rumah Komandan Hamzah,

Di Betawi TIB baru sadar bahwa jawaban atas permintaannya agar diizinkan pulang kampung dijawab oleh Gubernur Jendral dengan keputusan memindahkannya ke Ambon.

NTIB memberikan rincian perjalanan ke Ambon dengan cukup lengkap. Dari Betawi TIB berangkat dengan kapal perang menuju Surabaya. Di Surabaya menginap selama tiga malam. Dari Surabaya pelayaran dilanjutkan ke Negeri Sido Tabing, bermalam pula selama tiga malam. Di Sido Tabing TIB membeli bahan makanan (bahan yang akan dimasak). Dari Sido Tabing pelayaran dilanjutkan ke Buton. Berlabuh selama enam malam di Buton. Dari Buton pelayaran dilanjutkan menuju Ambon. TIB menulis dibutuhkan waktu dua bulan untuk menempuh jarak Betawi dengan Ambon tersebut.

Di pelabuhan TIB dijemput fiskal dan dibawa menghadap “tuan besar” (gubernur). Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan dan kesehatan “tuan besar” mengataka bahwa TIB akan tinggal di Ambon, mendapat gaji 65 rupiah (gulden) sebulan, 200 pon beras, namun tidak mendapat pakaian.

TIB tinggal di rumah Al Haji Umar. Rumah itu disewakan oleh pemerintah sebesar 15 rupiah per bulan. TIB tinggal selama 2 tahun di rumah itu.

Karena kondisi rumah yang buruk dan sewa mahal, TIB berniat untuk pindah rumah. Pindah ke  rumah seorang saudagar bangsa Belanda.

Al Haji Umar tidak setuju TIB pindah, sebab pasti membuat dia rugi. Selama ini dia diuntungkan dengan kehadiran TIB, sebab rumahnya jelek dan dibayar mahal. Karena hasat dan dengki ini, Haji Umar melapor pada gubernur dan mengasung gubernur dengan mengatakan bahwa dia tidak bertanggung jawab kalau TIB lari atau mengamuk.

Hasungan sang haji tersebut diterima sang gubernur, sehingga gubernur memutuskan akan memindahkan TIB ke Menado. Namun, ketika menyampaikan rencana itu kepada TIB, gubernur mengatakan bahwa kepindahan TIB ke Menado adalah demi kebaikan TIB sendiri. Dikatakan bahwa Menado negeri baik, tempat baik, makan murah. Di sini (Ambon) segala barang mahal karena negeri kecil.

TIB mencoba meminta kepada sang gubenur agar dia tidak dipindahkan ke Menado. Tetapi gubernur bersikeras mengatakan TIB harus pindah.

Dalam NTIB kemudian dikemukakan bagaimana usaha TIB agar diizinkan tetap tinggal di Ambon. Dikatakan bagaimana lika-liku usaha yang ditempuh TIB dalam membuat surat permohonan agar tidak dipindahkan ke Menado. Bagaimana dia membuat surat permohonan yang juga ditandatangi dan didukung oleh banyak pihak, di antaranya fiskal dan Kapiten Melayu. Diceritakan juga bagaimana pandangan Kapiten Melayu dan seorang Belanda (Tuan Pinner) juru tulis yang membantu TIB membuat surat permohonan tentang negeri Menado. Keduanya mengatakan bahwa Menado tidak Islam. Banyak babi di situ. Negerinya kotor sekali.

Surat permintaan agar tidak dipindahkan ke Menado dibalas oleh gubernur dengan perintah segera berangkat. Tidak pakai lama, besok harinya TIB harus berangkat karena kapal sudah menunggu.

Dari Ambon kapal yang ditumpangi TIB singgah dulu di Ternate (pelayaran Ambon-Ternate ditempuh selama lima hari). Bermalam selama tiga hari di Ternate. Sewaktu berlabuh itu TIB dikunjungi oleh Raja Ternate. Dari Ternate, pelayaran dilanjutkan menuju Menado. Setelah berlayar selama tiga hari tiga malam sampailah di pelabuhan, tetapi kapal tidak bisa merapat ke dermaga. Ombak besar dan angin kencang. Akibatnya kapal hanyut terbawa arus hingga mendekat ke Ternate lagi. Kapal kemudian balik lagi ke Menado, dan pengalaman yang sama terulang lagi. Terulang sampai tiga kali. Dinyatakan dalam NTIB, ada hubungan antara kegagalan kapal tersebut merapat ke pelabuhan dengan keramat TIB. TIB tidak rela pindah ke Menado.

Setelah turun ke darat diketahui bahwa negri tempat kapal berlabuh itu bukan Menado, tetapi Kimah. Dari Kimah kapal berlayar lagi selama satu hari dan barulah sampai di Menado.

Sesampai di Menado TIB dibawa menemui residen, dan residen memerintahkan agar TIB dibawa menemui Letnan Melayu.

TIB tinggal di Menado selama empat bulan. Setelah itu diputuskan pula bahwa TIB dipindahkan ke Komba. TIB, yang telah mengetahui bahwa Komba adalah negeri kecil dan berada di pedalaman, serta memiliki suhu yang dingin, meminta agar dia jangan dipindahkan ke sana. Permintaannya ditolak dengan jawaban yang kasar. “Belum lagi Tuanku rasa sudah tuanku minta, mana boleh. Pai malah Tuanku dulu. Coba barang satu atau dua bulan. Kalau rasa tidak baik boleh datang sama saya minta tolong”.

Setelah delapan bulan tinggal di Komba, TIB merasa tidak cocok. Suhu di sana terlalu dingin sehingga TIB minta dipindahkan kembali. Dijawab oleh petinggi setempat dengan mengatakan boleh pindah tetapi ini yang terakhir. TIB ditawarkan pindah ke beberapa tempat, boleh pindah ke Menado, Lotak, Tomohon, atau Tondano. Akhirnya dipilih Lotak dan disetujui.

Tetapi kemudian oleh pemerintah TIB dibuatkan rumah di Kokas dan dipindahkan ke sana. TIB merasa tidak cocok tinggal di Kokas. Alasannya Kokas terlalu kecil, airnya kotor dan tidak cocok untuk beribadah.

Setelah setahun tinggal di Kokas, TIB minta kepada residen agar dia diizinkan membeli tanah tempat tinggal di Lotak, tempat yang semula dia pilih dan disetujui residen. Usulannya ini disetujui residen, bahkan dikatakan TIB boleh membeli tanah sebanyak yang dia suka. TIB beli tanah seluas 100 benih padi, dengan harga 60 rupiah delapan puluh kepeng.

Setelah itu dibangunlah rumah tempat tinggal di tanah yang dibeli tersebut.

Namun sewaktu akan pindah, ketika TIB melapor, komandan militer tidak terima dan menghasung residen agar TIB tidak diizinkan pindah ke Lotak. TIB disalahkan karena tidak melapor kepadanya terlebih dahulu. Residen menerima pengaduan komandan tentara sehingga dia juga tidak mengizinkan TIB pindah ke Lotak. Protes TIB yang mengatakan mengapa dulu dia diizinkan, tidak didengar sang residen.

Nasib baik berpihak pada TIB. Tidak lama setelah komandan tentara dan residen membatalkan kepindahannya ke Lotak, “Tuan Besar” (gubernur) dari Ambon datang berkunjung ke Menado dan juga Lotak. “Tuan Besar” bahkan memanggil TIB untuk bertemu. Saat itulah TIB mengadukan permasalahan yang dihadapinyadengan sang residen. Setelah pertemuan tersebut, residen mengizinkan TIB pindah ke Lotak.

TIB tinggal selama 10 tahun di Lotak. Sebagaimana tertulis pada NTIB, hari Selasa bulan November 1864 TIB berpulang ke Rahmatullah.

TIB berpulang pada usia 92 tahun. Usia ini dihitung dengan menjumlahkan keterangan yang disampaikan TIB saat bersua dengan Elout di Bonjol tahun 1832, saat itu beliau mengatakan bahwa beliau berusia 60 tahun. Bila dihitung bahwa beliau meninggal tahun 1864  (32 tahun setelah pertemuan dengan Elout), maka berarti usianya saat meninggal TIB berusiadalah 92 tahun.

Berpulangnya TIB berarti berakhir pulalah masa pembuangannya yang berlangsung selama 26 tahun. Angka 26 tahun diambil dari perhitungan mulai dia ditangkap tahun 1838 hingga meninggal tahun 1864. Angka ini juga berarti bahwa hampir sepertiga umurnya dihabiskan di pengasingan.

III

Pengasingan TIB memiliki dinamika tersendiri. Tidak seperti kebanyakan pejuang Indonesia musuh Belanda, yang umumnya diasingkan ke satu tempat saja, maka TIB diasingkan ke banyak tempat. Pada awalnya diasingkan ke negeri yang penduduknya Islam, selanjutnya ke negeri yang mayoritas warganya non-muslim. Pola pengasingan ini ada hubungannya dengan upaya pengasingan TIB dari lingkungan yang islami.

Perjalanan TIB menuju tanah pengasingan juga diisi banyak pertemuan dengan sejumlah sosok yang memiliki berbagai karakter. Ada komandan tentara yang munafik dan sombong, ada tokoh adat Urang Awak yang penuh hasat dan dengki, ada ‘menak’ atau bangsawan dan pejabat Sunda yang tidak mau menemui TIB, ada pejabat Belanda yang sama dan orang sipil Belanda yang suka menolong, ada haji yang juga penuh hasat dan dengki, ada ‘orang lain’ (komandan orang Bali di Betawi, Kapiten dan Letnan Melayu di Ambon dan Menado) yang penuh simpati dan suka membantu, ada Raja Ternate yang memberi penghargaan kepada TIB, dan sejumlah sosok lain dengan sifat dan karakter yang berbeda. Semua orang yang ditemui TIB dalam pengasingannya memiliki sifat yang menampilkan karakter manusia dengan segala kurenah dan perangainya. Itu semua sangat manusiawi.

Tidak hanya pengalaman fisik serta kasat mata yang ditampilkan, NTIB juga menyajikan sejumlah informasi tentang dunia spritual bahkan dunia magis yang ada pada TIB. Ada banyak informasi tentang dunia ini dalam NITB. Salah satu contoh aspek ini dikemukakan TIB dalam kaitannya dengan kegagalan kapal merapat ke pelabuhan dalam perjalanan menuju Menado.  Kapal gagal merapat karena TIB tidak rela diasingkan ke negeri di mana kapal akan berlabuh. Dikatakan, keramat TIB-lah yang membuat kapal selalu gagal berlabuh, dan karena keramat TIB pulalah akhirnya, atas izin beliau, kapal akhir bisa sandar di dermaga. TIB ‘mengalah’ karena tidak ingin kapal dan penumpang kapal lebih lama menderita karena ketidakikhlasannya dipindahkan ke negeri yang tidak disukainya.

Sebagai sebuah karya ‘biografi’ yang ditulis menurut pola histriografi tradisional, NTIB memang memiliki sejumlah unsur yang tidak ditemukan dalam karya sejarah moderen (empiris). NTIB tidak memiliki kesadaran waktu, NITB sering memasukkan aspek-aspek non-empiris dalam narasinya, dan sejumlah ciri histriografi tradisional lainnya. Namun itu semua tidak mengurangi makna historis kandungan isinya, tidak mengurangi nilainya untuk dijadikan sebagai sumber sejarah. Kelemahan-kelemahan NTIB bisa diperkuat dengan penggunaan sumber-sumber tertulis lain yang bejibun jumlahnya.

Di samping bisa digunakan untuk penulisan sejarah Perang Padri khususnya, NTIB juga bisa dijadikan “senjata” untuk mengkaunter pendapat atau pandangan yang mengatakan bahwa TIB tidak pernah ditangkap, tidak pernah dibuang, dan tidak meninggal serta tidak berkubur di Lotak. Karena dari NTIB ini kita bisa mengetahui bahwa pendapat itu adalah sangat tidak mungkin. NTIB menyebut ada banyak orang, dengan siapa Tuanku Imam Bonjol berhubungan dalam proses penangkapanan dan pembuanganya. Dan sebagian dari orang-orang itu, kenal dan pernah berhubungan dengan Tuanku Imam Bonjol. Jadi tidak mungkin, bahwa orang-orang banyak itu bisa ditipu oleh orang yang ‘berakting’ sebagai Tuanku Imam Bonjol.

TIB memang ditangkap, dibuang ke banyak tempat, dan meninggal serta berkubur di Lotak.

Perjalanan TIB menuju tanah pembuangan adalah sejarah perjuangan yang juga perlu dihayati dan diapresiasi. Ada banyak perderitaan yang juga dialami dan ada banyak upaya yang dilakukan TIB agar tetap survive dalam perjalanan menuju dan tinggal di pengasingan. Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa Tuanku Imam Bonjol betul-betul berjuang hingga akhir hayatnya.

Daftar Kepustakaan:

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Historiografi Perang Padri

Sejak beberapa waktu yang lalu, ada upaya yang dilakukan oleh sejarawan atau peminat sejarah untuk melakukan re-rekonstruksi sejarah Perang Padri. Mereka mencoba mengkaji dan menulis Perang Padri dari sudut pandang lain, salah satu di antaranya adalah menampilkan aspek kekerasan dalam Perang Padri. Ada dari mereka yang menyamakan aksi kaum Padri dengan Taliban atau ISIS. Karena itu, ada dari mereka yang mengeritik kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol.

Sebelumnya ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian respon dari warga daerah terhadap perubahan ekonomi yang terjadi di daerah ini dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi skala regional atau internasional.

Sebelumnya lagi, ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian dari revolusi sosial dan intelektual yang ingin menata ulang struktur, serta tatanan sosial Minangkabau.

Sebelumnya dan sebelumnya lagi, ada sejumlah perspektif atau sudut pandang lain yang digunakan dalam merekonstruksi sejarah Perang Padri.

Bisa dikatakan, Perang Padri adalah salah satu iven historis di Minangkabau (Sumatra Barat) yang ditulis dengan banyak sudut pandang atau perspektif.

Apa-apa saja sudut pandang atau perspektif yang pernah ditampilkan dalam rekonstruksi sejarah Perang Padri selama ini? Dalam tulisan yang mana sudut pandang itu hadir? Siapa penulisnya? Kapan ditulis? Untuk apa ditulis?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

II

Sejarah atau informasi historis tertulis mengenai Perang (atau Gerakan) Padri telah mulai muncul beberapa saat setelah Perang Padri meletus (1821), dan terus berlanjut hingga saat sekarang.

Informasi tertulis tersebut diwujudkan dalam bentuk buku, artikel, karya ilmiah untuk mencapai gelar akademis tertentu, makalah-makalah yang disajikan dalam berbagai seminar, artikel di surat kabar dan majalah, hingga tulisan-tulisan di media sosial.

Karya tulis berupa buku bisa lagi dibagi ke dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya adalah kenang-kenangan hidup, kompilasi dari pengalaman hidup dan berbagai catatan yang dibuat berkenaan dengan perang tersebut, bagian dari travelogue (catatan perjalanan), dan hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut. Di samping itu juga ada buku yang merupakan alih aksara dari buku bertuliskan Arab Melayu  mengenai keterlibatan/kesaksian penulisnya dalam Perang Padri, serta buku berupa kumpulan tulisan (artikel) mengenai Perang Padri.

Hal yang relatif sama juga berlaku pada tulisan dalam bentuk artikel. Sebagian artikel merupakan kenang-kenangan hidup atau pemahaman penulis berkenaan dengan Perang Padri. Sebagian lain berkenaan dengan tinjauan kritis tentang Perang atau Gerakan Padri, dan tulisanitu lahir dari hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut.

Makalah, artikel surat kabar dan majalah atau media sosial umumnya merupakan hasil bacaan atau penelitian dari berbagai sumber primer dan sekunder mengenai Perang Padri.

Bila dilihat dari urutan waktu terbitnya, para penulis, dan isi tulisannya, maka secara umum bisa dikatakan ada enam periode penulisan sejarah Perang Padri: Pertama, periode 1820-1850-an; kedua, 1860-an hingga akhir 1920-an; ketiga, 1930-an hingga awal 1950-an; keempat tahun 1960-an; kelima, 1970-an hingga akhir 1990-an; dan keenam, awal tahun 2000-an hingga saat sekarang.

Periodesasi sejarah penulisan sejarah Perang Padri ini jangan dipahami secara sempit, karena bisa saja ada ‘jiwa zaman’ pada satu periode muncul lagi pada zaman yang lain. Namun, tidak diragukan lagi, keenam kurun waktu ini menghadirkan corak tersendiri dalam rekonstruksi sejarahnya.

III

Ada belasan tulisan yang ditulis mengenai Perang Padri pada kurun waktu 1820-an hingga 1850-an.  Beberapa di antaranya adalah Nahuijs dan Anderson (1827), Raffles (1830), Mueller (1837), v.d.H. (1838), “Bondjol“ (1839), Francis (1839), Boelhouwer dan Epp (1841), “De Secte der Padries in de Padangsche Bovenlanden” (1844), B.d. (1845); Stuers (1849, 1850), Lange (1854); Francis (1956), dlsbnya. Di samping itu juga ada karya yang ditulis oleh Urang Awak, yakni Fakih Saghir (1829) dan Tuanku Imam Bonjol (n.t.).

Dilihat dari nama-nama penulisnya, maka bisa dipastikan bahwa tulisan-tulisan yang terbit pada periode pertama ini umumnya ditulis oleh pelaku sejarah atau saksi sejarah. Dengan kata lain, sebagian besar dari mereka ikut-serta dalam Perang Padri. Penulis bangsa Belanda umumnya terdiri dari para pejabat dan petinggi sipil dan militer (Nahuijs, Stuers, Francis, Lange, dan Boelhouwer). Penulis dari kalangan Urang Awak adalah pemimpin Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) dan tokoh penting  daerah (Fakih Sanghir). Karya penulis dari kalangan pelaku sejarah ini sarat dengan informasi penting mengenai jalannya Perang.

Ada juga penulisnya yang hanya mendengar kisah tentang Gerakan atau Perang Padri dari orang yang terlibat dalam perperangan itu (Anderson dan Raffles). Sehubungan dengan itu, deskripsi yang disajikan dalam tulisan-tulisan mereka t hanya berisikan informasi secara umum atau aspek tertentu tentang Perang Padri.

Di samping itu, ada beberapa tulisan (artikel di jurnal) yang tidak menyertakan nama penulis. Namun, membaca narasi, deskripsi yang rinci, dan pemahaman mereka terhadap apa yang ditulis, diperkirakan, para penulis artikel itu adalah juga pelaku sejarah.

Khusus untuk karya Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Saghir, walaupun ditulis pada saat berlangsung perang, namun untukperiode pertama ini keberadaannya tidak tampil. Karya Tuanku Imam Bonjol ‘hanya’ dijadikan Lampiran (Bijlage) dalam karya Stuers, dan tulisan Fakih Sangir ‘tersimpan rapat’ entah di mana saat itu (kedua tulisan ini baru mulai banyak diperbincangkan dan dikutip sejak awal abad ke-20).  

Ada ‘evolusi’ yang sangat sempurna dari penulisan sejarah Perang Padri pada periode pertama ini. Maksudnya adalah ada porsi pembahasan mengenai dinamika dan jalannya Perang Padri yang makin lama semakin luas dan mendalam yang dilakukan oleh para penulis. Bila pada tulisan-tulisan yang  terbit pada tahun-tahun pertama pembahasan mengenai Perang Padri relatif sedikit, atau hanya menyinggung sepintas lalu, dengan pengecualian karya Boelhouwer, maka karya-karya yang terbit pada tahun-tahun terakhir periode pertama ini, pembahasannya semakin mendalam dan luas. Bahkan karya-karya itu terdiri dari dua atau tiga jilid tebal-tebal, seperti terlihat dari karya Stuers, Lange, dan Francis.

Pokok bahasan dalam karya-karya yang terbit pada periode pertama ini bisa dibagi kedalam tiga pokok pembahasan: Pertama, tentang penamaan-penamaan; kedua, jalannya perang; dan ketiga, tinjauan menyeluruh mengenai perang dalam kontek sejarah daerah dan Hindia Belanda.

Pokok pembahasan pertama menjadi penting karena penamaan yang diberikan pada kurun waktu ini akan menjadi penamaan di masa-masa berikutnya. Ada beberapa penamaan yang diberikan atau disajikan saat itu, di antaranya penamaan terhadap kelompok yang melancarkan aksi pembaruan. Raffles misalnya menamai mereka sebagai ‘Para Fanatik’, Anderson menyebut ‘Gerakan Nan Renceh’, Nahuijs menyebut ‘Kaum Putih’, Boelhouwer,  v.d.H., , Francis, Epp, Stuers dan Lange menamakan mereka ‘Kaum Padri’.

Sedangkan perang itu sendiri, hampir semua penulis Belanda sepakat menamainya Perang Padri (Padrioorlog).

Penamaan-penamaan yang diberikan pada periode inilah yang kemudian menjadi penamaan ‘resmi’ yang lazim dipakai oleh banyak penulis di masa-masa selanjutnya (hingga saat sekarang)

Pokok pembahasan kedua dari karya-karya yang terbit pada periode pertama ini adalah pembahasan menyeluruh mengenai jalannya perang. Karya Boelhouwer adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Buku ini menyajikan kecamuk perang dan dinamika perang, serta gambaran sosial-budaya kaum Padri, kaum adat, orang Batak, dan orang Belanda. Sebagian sajian Boelhouwer adalah deskripsi non-senjata atau non-fisik sifatnya, sajian tentang manusia dan kemanusiaan dalam perang. Buku ini sangat kaya informasi mengenai jalannya perang serta informasi sosial-budaya Urang Awak saat perang berlangsung. Termasuk informasi tentang aspek-aspek kehidupan sehari-hari Urang Awak saat itu. Hal yang sama sebetulnya juga ditemukan dalam karya Nahuijs.

Pokok bahasan ketiga, adalah tinjauan menyeluruh mengenai Perang Padri dalam konteks sejarah daerah dan Hindia Belanda. Karya Stuers, Lange dan Francis adalah contoh untuk pokok bahasan yang ketiga ini. Di samping membahas jalannya perang secara luas dan mendalam, para pengarangnya juga menyajikan perjalanan sejarah daerah (Sumatra Barat dan juga Hindia Belanda), termasuk juga dinamika sosial-politik daerah dalam karya-karya mereka. Membaca ketiga karya ini maka kita akan disuguhi sajian mengenai jalannya perang, banyaknya tentara yang diterjunkan, tempat-tempat terjadinya kontak senjata, komandan tentara (penyerangan), jumlah korban yang jatuh dipihak Belanda dan kaum Padri (biasanya korban pihak Padri jauh lebih banyak), dan kekejaman Padri (kekejaman Belanda tidak atau ditampilkan ). Juga ada pembahasan, alaupun dalam porsyang tidak begitu banyak mengenai pembangunan infratruktur transportasi, dunia niaga dan kehidupan ekonomi, dan pembentukan unit administratif daerah.

Kesimpulan kajian untuk historiografi Perang Padri periode awal ini adalah kaum Padri dikatakan jahat, pengacau dan perusak ketentraman, sedangkan orang/pemerintahan Belanda adalah baik dan berperang demi menciptakan perdamaian, serta memajukan kehidupan sosial-ekonomi daerah.

Karya-karya in sangat berarti bagi penulisan sejarah Perang Padri, karena menyimpan data dari tangan pertama. Karya-karya ini adalah sumber terpenting dan sumber utama penulisan sejarah Perang Padri.

IV

Kurun waktu kedua adalah periode yang paling ‘subur’, sehingga bisa dikatakan berupakan periode yang paling banyak melahirkan karya tulis tentang Perang Padri. Ada dua puluhan tulisan  yang terbit pada kurun waktu ini. Tidak hanya jumlahnya yang banyak, tetapi corak dan penulisnya juga beragam.

Tulisan yang khusus mengenai Perang Padri masih tetap ada, namun persentase dan ragamnya semakin berkurang. Umumnya karya khusus ini berbentuk artikel yang terbit di jurnal. Tulisan yang paling terkenal adalah karya Kielstra (1887- 1890), Hart (1876), Gerlach (1860, Ronkel (1915).

Di samping karya khusus, ada karya yang membincangkan Perang Padri namun sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain. Beberapa contoh tulisan bentuk ini adalah karya Veth (1867),  Hooyer (1895), Bosch (1864), Joustra (1923), Buys (1896).

Perspektif yang tampil dari karya-karya yang terbit pada kurun waktu ini masih menempatkan kaum Padri sebagai para fanatik, pemberontak, kejam, menganut ideologi kekerasan, dlsnya. Sebaliknya, Belanda masih digambarkan sebagai pihak yang ingin menciptakan rust en orde, serta membawa kemakmuran untuk daerah Sumatra Barat.

Satu pengecualian dari pandangan itu adalah karya Schrieke. Penulis ini mencoba melihat Gerakan dan Perang Padri sebagai revolusi sosial dan intelektual di kalangan orang Minangkabau. Sebuah gerakan yang ingin menata ulang tatanan sosial masyarakat Minangkabau dan pemberian peluang kepada kalangan intelektual untuk tampil dan unjuk intelektualitas mereka bagi kebaikan umat dan masyarakat.

Seperti disebut di atas, pada periode ini karya-karya Fakhir Saghir dan Tuanku Imam Bonjol mulai mendapat perhatian peminat sejarah Barat (Belanda). Ada upaya pengalihaksaraan dan pemberian tinjauan kritis terhadap karya-karya ini oleh ilmuan Belanda (Hollander 1857) dan Ronkel (1915).

Karya-karya Schrieke, Hollander dan Ronkel bisa pula dikatakan sebagai tonggak baru dalam historiografi kolonial dalam memandang Perang Padri. Tonggak baru historiografi Perang Padri yang menghadirkan perspektif lebih moderat dibandingkan dengan karya-karya penulis lain yang sangat kentara pandangan neerlandosentrisnya. Perspektif  ketiga penulis yang disebut terakhir ini pulalah yang disambut oleh penulis “Urang Awak” yang melahirkan karya tentang Perang Padri dari perspektif non-kolonialsentris.

V

Pada periode ketiga, secara kuantitas, jumlah tulisan mengenai Perang Padri tidak banyak. Jumlahnya bisa dikatakan hanya sebanyak bilangan jari tangan. Namun ada perubahan yang sangat signifikan pada kurun waktu ini. Perubahan-perubahan itu antara lain: pertama, tampilnya Urang Awak sebagai penulis; kedua, ‘digesernya’ fokus penulisan dari sejarah perang secara keseluruhan ke penulisan sejarah tokoh (Padri); ketiga, dikaitkannya penulisan sejarah dengan semangat nasionalisme dan patriotisme; keempat, dijadikannya sejarah Perang Padri sebagai bagian dari rekonstruksi sejarah daerah, regional, dan nasional; kelima, berkurangnya dengan drastis keterlibatan sejarawan (penulis sejarah Belanda) dalam penulisan sejarah Perang Padri.

Karya-karya penulis Belanda memang berkurang dengan drastis pada periode kelima ini. Walaupun demikian, ada juga yang menarik dari karya penulis Belanda yang sedikit itu, yakni dijadikannya Perang Padri sebagai salah satu bahasan dalam apa yang dinamakan ‘buku babun’ sejarah Hindia Belanda, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, yang dieditori Stapel (1938-1940).

Buku pertama karya Urang Awak tentang Perang Padri pada periode ketiga ini adalah karya L. Dt. R Dihoeloe yang berjudul Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam (1939). Bukunya tipis (41 halaman) sehingga pengalaman dan kejadian sejarah yang disajikan hanya secara sekilas pintas saja atau sangat umum sifatnya. Walaupun sebagai besar isi buku ini ditujukan kepada Tuanku Imam Bonjol, namun sajiannya sangat banyak dan itu terlihat jelas dari banyak ‘bab’ yang disajian seperti: negeri asal uanku Imam Bonjol, ‘biografi’ beliau, pertentangan kaum hitam dan kaum putih (paling panjang), Tuanku Imam Bonjol dan ulama yang mengembangkan agama Islam, Tuanku Imam Bonjol menjadi pemimpin (tuanku), pembahasan mengenai kubu dan benteng pertahanan, selanjutnya mengirim utusan ke Mekkah untuk mengetahui dakwah dan Islam yang sesungguhnya, kemudian perang antara kaum Padri dengan kaum adat yang meminta bantuan kepada Belanda, serta terakhir Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang.

Dengan kata lain, dalam buku ini sangat sedikit narasi mengenai perang antara kaum Padri dengan Belanda yang mendukung kaum adat. Hal ini bisa dimaklumi, karena saat buku ini ditulis Belanda masih berkuasa sehingga tidak mungkin memberikan pandangan yang berbeda (non-belandasentris) terhadap keterlibatan Belanda dalam Perang Padri. Karena itu, fokus kajian dialihkan kepada Tuanku Imam Bonjol sebagai pejuang Islam, bukan penjuang daerah atau bangsa/negara, walapun konsep nation (Indonesia) sudah ada saat itu. Di samping  pengalihan fokus kajian dengan menyebut pejuang Islam, karya L. Dt. R. Dihulu ini juga menekankan penciptakan  kehidupan yang damai antara orang Padri dan kaum adat (di Bonjol) dengan mengajukan konsep keserasian antara adat dan Islam, dengan melahirkan kesepakatan ‘Adat bersendi sjara’, sjara’ bersendi kitaboellah’.

Segera setelah pengakuan kedaulatan terbit lagi satu buku yang khusus menampilkan Tuanku Imam Bonjol. Buku yang dikarang oleh Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini berjudul Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951). Ada perbedaan yang sangat jelas dari judul buku karya L. Dt. R Dihoeloe. Dalam buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini telah ada kata-kata ‘kemerdekaan’. Jadi, dalam buku Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki Tuanku Imam onjol sudah dikatakan berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu Indonesia sudah merdeka dan Belanda hengkang.

Berbeda juga dengan L. Dt. R Dihoeloe, buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini lebih banyak menyajikan campur tangan Belanda dalam kehidupan masyarakat Sumatra Barat (Minangkabau) dan lebih banyak mengungkapkan jalannya perang antara kaum Padri (dan juga orang Minang) dengan Belanda. Tidak itu saja, dalam buku ini juga ditampilkan heroismenya kaum Padri (dan orang Minang), serta ditampilkan juga taktik licik Belanda, termasuk strategi berdamai Stuers, tipu muslihat lewat Plakat Panjang, dlsbnya.

Karena buku ini ditujukan untuk menganjungkan Tuanku Imam Bonjol, maka pada bagian akhir buku ini ditampilkan bagaimana baiknya Tuanku Imam Bonjol dibandingkan dengan Tuanku Pasaman dan Tuanku Nan Renceh. Dikatakan “…Tuanku Imam Bondjol ada mempunjai kebidjaksanaan, sehingga beliau hampir tiada mendapat perlawanan dari penghulu-penghulu dan anak negeri, melainkan segala golongan anak negeri suka menolong beliau…..’, dan banyak lagi pernyataan yang senada dengan itu. Puji-pujian seperti ini disajikan pada empat setengah halaman lebih.

Hal ini bisa dimaklumi, karena tujuan penulisan buku ini adalah mere-rekonstruksi penulisan sejarah Tuanku Imam Bonjol khususnya dan sejarah Perang Padri umumnya dengan perspektif baru, sesuai dengan semangat baru, semangat Indonesia merdeka.

Penulisan sejarah adalah bagian dari dekolonisasi yang dilakukan orang dan bangsa Indonesia. Penulisan sejarah saat itu ingin ‘membersihkan’ Tuanku Imam Bonjol dan kaum Padri dari warna hitam yang dilumurkan penulis kolonial terhadap mereka.

Senada dengan ikhtiar Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Muhammad Radjab menulis buku Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838) (1954). Buku dengan ketebalan hampir 500 halaman ini bisa dikatakan sebagai sajian mendetil mengenai Perang Padri. Buku ini sangat kaya dengan penceritaan mengenai aksi militer, pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, serta pasukan bantuan (Hulptroepen) dari berbagai etnis di Nusantara. Tidak hanya lokasi di mana perang/pertempuaran terjadi yang disajikan, tetapi juga ditampilkan jumlah tentara dan jenis atau banyak senjata yang dilibatkan. Disajikan juga banyak korban yang jatuh serta strategi-strategi peran yang dijalankan kedua belah pihak.

Buku Muhammad Radjab adalah kisah Perang Padri dalam bahasa Indonesia yang paling lengkap. Karya ini dibuat berdasarkan referensi yang banyak mengenai Perang Padri. Radjab menggunakan hampir semua referensi utama mengenai Perang Padri, yakni karya-karya ditulis oleh para pelaku sejarah atau saksi sejarah, karya-karya yang terbit pada periode pertama dan kedua historiografi Perang Padri.

Sebagai karya pada era dekolonisasi Indonesia dalam segala bidang, termasuk penulisan sejarah, maka Belanda dalam buku ini dikesankan sebagai penjajah dan kaum Padri (orang Sumatra Barat) sebagai orang yang ingin mengenyahkan Belanda, serta ingin memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Belanda dikesankan sebagai bangsa yang suka mengingkari janji, Belanda memiliki siasat licik. Sebaliknya semangat nasionalisme dan partriotisme dikalangan kaum Padri dan orang Minang, serta juga orang Jawa (Sentot pasukannya) sangat ditonjolkan. Karena itu dalam buku ini ditemukan banyak narasi tentang Sentot Ali Basya yang sebelumnya bersekutu dengan Belanda akhirnya bergabung dengan orang Minang melawan Belanda. Juga disebutkan ada banyak anggota pasukan Sentot yang desersi karena bergabung dengan kaum Padri. Bahkan penangkapan Sutan Alam Bagagar Syah dikatakan juga sebagai akibat dari berpihaknya dia kembali pada bangsa dan negara (walaupun kemudian tidak terbukti).

Di samping menampilkan perspektif indonesiasentris, sebagaimana disebut H.A.J. Klooster (1980), buku-buku mengenai Perang Padri  yang terbit pada periode ketiga ini juga sarat dengan nilai-nilai kedaerahan. Penulisnya adalah orang daerah dan terasa sekali nuansa penonjolan sejarah daerah dalam karya mereka. Namun, karena karya ini ditulis dalam kerangka dekolonisasi, maka sejarah yang ditampilkan adalah sebagai bagian dari sejarah nasional. Dukungan Sentot dan pasukannya terhadap kaum Padri (orang Minang) dan dukungan Tuanku Rao, serta Tuanku Tambusai (yang secara etnik bukan orang Minang) adalah perwujudan sejarah daerah dalam kerangka sejarah nasional itu.

Di samping dalam bentuk buku utuh, periode ketiga ini juga menghadirkan tulisan mengenai Perang Padri sebagai bagian dari buku yang ditulis dengan tema yang lain. Setidaknya ada dua tulisan dalam bentuk ini, yakni buku Sedjarah Minangkabau karya Dali Mutiara (1946) dan buku Propinsi Sedjarah Sumatera Tengah yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan (1953). Penulis buku kedua ini adalah juga Urang Awak (Decha et.al).

Karena sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain, maka pembahasan tentang Perang Padri relatif sedikit dalam kedua buku di atas. Namun, sebagai karya yang ditulis sesudah kemerdekaan, maka dalam kedua buku ini Perang Padri dikatakan sebagai perang melawan penjajah, perang yang ditujukan untuk memerdekakan Minangkabau/Sumatra Barat khususnya dan Indonesia umumnya dari cengkeraman kolonialis Belanda.

Tanpa mengabaikan arti buku karya Dali Mutiara dan terbitan Kementerian Penerangan, karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Perintis Djalan ke Kemerdekaan dan Muhammad Radjab Perang Padri di Sumatera Barat bisa dikatakan sebagai klimaks tulisan mengenai Perang Padri untuk periode ketiga. Tidak ada karya lain yang ditulis atau diterbitkan pada periode ini lagi, dan tidak ada pula karya lain yang melebihi luasnya pembahasan tentang Perang Padri atau tokoh Padri dari kedua buku ini.

VI

Periode keempat historiografi Perang Padri menghadirkan dua fenomena yang sangat menarik. Fenomena yang pertama adalah tidak ada lagi Urang Awak yang menulis tentang Perang Padri secara serius (berupa buku). Kalau pun hanya berupa tulisan singkat dan cetak ulang atas buku karya Urang Awak yang telah terbit sebelumnya. Fenomena kedua, adalah hadirnya karya mengenai Perang Padri yang ditulis oleh penulis orang Indonesia non-Minang (Batak) dan dengan perspektif yang sangat jauh berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya. Perspektif yang ditampilkan adalah kaum Padri adalah kaum fanatik, brutal, kejam, tangan dan pedang mereka penuh darah, serta aksi yang penuh dengan pemaksanaan. Aksi mereka sama dengan aksi teror. Perspektif yang ditampilkan ini mencari ciri khas dari historiografi Perang Padri periode keempat.

Master peice untuk historiogfai periode keempat ini adalah karya Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongki Nangongolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Teror Islam Marzab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 (1964). Seperti disebut oleh Parlindungan, dia menulis karyanya itu berdasarkan sumber-sumber sejarah keluarga yang diwariskan moyangnya (namun sayang sekali, seperti kata penulis, bahan-bahan itu sudah tidak ada lagi). Parlindungan juga mengaku bahwa bukunya ini ditulis sebagai hadiah untuk anak-cucunya tentang ‘sejarah keluarga’.

Buku ini diterbitkan pada tahun 1964, pada saat orang Minangkabau di Sumatra Barat baru saja dilibas habis oleh tentara pusat karena pemberontakan PRRI. Aksi PRRI memang direspon secara keras dan represif oleh Jakarta. Tindakan keras dan represif Jakarta itu dilakukan dalam segala aspek, mulai dari tindakan fisik hingga penghancuran mental. Termasuk juga penghilangan kebanggaan orang Minang akan masa lalunya. Penghilangan kebanggaan akan masa lalu itu, salah satu diantaranya diwujudkan penulisan ulang buku-buku sejarah. Ada perspektif baru dalam penulisan sejarah Minangkabau ditulis pada masa pemerintahan militer itu.

Ada banyak contoh untuk kasus ini, salah satu di antaranya adalah penghapusan kebanggaan orang Minangkabau akan ‘kecerdikan’ mereka ‘menipu orang Jawa’ dalam tambo, historiografi tradisional mereka. Kebanggaan seperti ini dihilangkan dalam historiografi pasca-PRRI. Hal ini bisa dilihat pada Tambo Minangkabau (B. Dt. Nagari Basa 1964). Tambo itu telah mengalami perubahan total dari versi sebelumnya. Bila dalam tambo lama dikatakan bahwa asal usul nama Minangkabau dikaitkan dengan adu kerbau orang Minang dengan orang Jawa dan kerbau orang Jawa kalah, maka dalam tambo B. Dt. Nagari Baa dikatakan asal usul nama itu berasal dari adu kerbau orang Minang dengan saudagar Aceh, yang kalah adalah kerbau orang Aceh. Pesan yang tersirat dalam perspektif  baru ini adalah Jawa tidak boleh dianggap kalah (oleh orang Minang) untuk masa itu. Kebetulan yang berkuasa di Sumatra Barat saat itu adalah para petinggi militer dari Jawa, dan orang jawa dari kalangan militer (tentara) sangat banyak jumlah di Sumatra Barat saat itu.

Penulisan buku Parlindungan adalah juga bagian dari upaya itu. Dalam buku ini kaum Padri, Perang Padri, ideologi Padri (agama Islam yang mereka bawa dan dakwahkan), dan orang Minang secara keseluruhan digugat dan dicerca sehabis-habisnya. Bagaikan kutu, kaum Padri, ideologi Padri dan bahkan Urang awak ditindas habis dalam buku tersebut.

Parlindungan bisa bersilantas angan menindas, menggugat serta mencerca kaum Padri, ideologi Padri dan Urang Awak, karena saat itu orang Minang dalam kondisi tidak berdaya sama sekali. Kalaupun ada orang Minang yang tengah memegang posisi hebat di pusat pemerintahan (Jakarta), maka mereka adalah bagian dari rezim yang berkuasa saat itu, rezim yang melumatkan orang Minang di Sumatra Barat.

Segera setelah terbit, karya Parlindungan mendapat apresisi dari sejumlah sejarawan muda Minang (yang umumnya besar di rantau) dan kurang atau tidak memiliki ikatan historis dengan kebanggaan akan masa lalu Minang. Mereka ini pulalah yang tahun 1970 menulis buku Sedjarah Minangkabau, serta meminta endorsemen Parlindungan atas buku yang mereka tulis. Namun, bagi sebagian besar orang Minang, terutama kalangan tua, yang telah tampil di panggung sejara sebelum PRRI, karya Parlindungan itu dianggap sebagai ‘tidak benar’. Salah satu di antaranya mereka yang mengeritik karya Parlindungan ini adalah Hamka. Dan sebagai layaknya orang hebat, Hamka menyampaikan kritiknya melalui buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (1974).

Seperti yang akan dibicarakan nanti, Hamka bisa mengeritik buku Parlindungan karena zaman telah berubah dan angin telah berganti arah. Perubahan zaman ternyata juga membuat buku Parlindungan tidak begitu ramai dibincangkan sejak tahun-tahun terakhir 1960-an (barangkali demi menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana prinsipnya Orde Baru). Seperti juga yang akan dibicakan nanti, buku Parlindungan ini ramai lagi dibincangkan para Era Reformasi. Sekali lagi, itu bisa terjadi karena zaman juga telah berubah.

Sebelum mengakhiri bahasan pada bagian ini, perlu juga disampaikan, seiring dengan terbitnya buku Parlindungan juga terbit tulisan Urang Awak tentang Perang Padri. Tapi karya itu nyaris tidak ada gaung dan relatif tidak mendapat perhatian pembaca. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya edisi revisi buku Pusaka Indonesia, Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air karya Tamar Djaja (1964). Dalam buku ini disebutkan ada empat tokoh Padri (Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam, dan Tuanku Tambusai). Di samping itu, dalam buku ini juga ditampilkan Sutan Alam Bagagar Syah.

Periode ini juga ditandai dengan cetak ulang buku yang telah diterbitkan sebelumnya. Dua buku yang dicetak ulang tersebut Tuanku Imam Bondjol, Perintis Djalan Ke Kemedekaan (1964) dan Perang Padri (1964).

Periode keempat, adalah sebuah peiode yang paling dinamis dalam historiografi Perang Padri pasca-proklamasi kemerdekaan. Sebab ada tulisan dan penulis yang tampil dengan perspektif baru dan itu betul-betul mewakili  zaman saat buku itu ditulis. Tulisan yang melanggar ‘pakem’ penulisan Perang Padri pada era selepas perang, yang sejatinya masih mengedepankan atau menonjolkan aspek nasionalisme, patriotisme serta semangat persatuan san kesatuan bangsa.

VII

Seperti disebut di atas, periode kelima historiografi Perang Padri ditandai dengan adanya perubahan zaman di Indonesia, dan itu bisa terjadi karena adanya perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagaimana yang terjadi di tempat lain di Indonesia, di Sumatra Bara, peralihan zaman ini juga ditandai dengan adanya proses ‘deordelamaisasi’. Segala yang berbaru Orde Lama dikritik dan dihujat. Temasuk penulisan sejarahnya.  Dalam konteks inilah bisa kita terima, mengapa pada awal tahun 1970-an, Hamka menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” yang isinya mengeritisi karya Parlindungan. Buku ini sesungguhnya adalah kelanjutan dari tulisan-tulisan Hamka yang sebelumnya (1969-1970) telah terbit dalam surat kabar Haluan.

Buku Hamka ini adalah satu-satunya karya yang tampil beda pada kurun waktu kelima historiografi Perang Padri. Karya Hamka adalah satu-satunya karya yang menyajikan narasi dan penceritaan dengan sumber yang baru. Di samping menyanggah tulisan Parlindungan yang dikatakannya 98 % dusta, karya Hamka ini memberikan sebuah informasi yang baru mengenai sejarah Perang Padri khususnya dan sejarah Islam di Sumatra (Indonesia) umumnya, informasi yang didasarkan pada sumber-sumber yang tidak digunakan dalam tulisan penulis Belanda atau Urang Awak sebelumnya.

Karya Hamka ini adalah satu-satunya karya yang menampilkan diskursus intelektual orang Minang dalam penulisan sejarah Perang Padri. Karya-karya lain yang terbit pada periode kelima ini, adalah karya-karya yang dikategorikan sebagai ‘karya-karya biasa’ saja.

‘Karya-karya biasa’ adalah penamaan terhadap karya yang dibuat ‘hanya’ dengan menulis ulang karya-karya yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, relatif tidak ada novelty dari karya-karya tersebut.

Apalagi, karya-karya yang terbit pada saat itu termasuk pula pada kategori buku-‘buku proyek’.  Walaupun ada juga yang tinggi kualitasnya, namun sebagian besar ‘buku proyek’ dinilai mengandung makna hampir sama dengan pengertian ‘karya-karya’ biasa di atas.

Aspek perang kurang mendapat pembahasan khusus pada periode kelima ini. Kalau pun ada, maka pembahasannya berupa bagian dari karya dengan tema yang lain. Sebagai gantinya, buku-buku mengenai Perang Padri yang terbit pada saat itu lebih mengarah pada penceritaan tokoh Padri. Di samping Tuanku Rao, ditulis juga riwayat hidup Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol (Mahdin Said 1969; Sjafnir Abu Naim 1979; Mardjani Martamin 1983). Di samping itu juga ada karya mengenai tokoh non-Padri, namun nama dan peran sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari Perang Padri, yakni Sutan Alam Bagagar Syah (Mardanas Sjafwan 1975).

Penerbitan karya-karya tokoh yang terlibat Perang Padri ini juga ada hubungannya dengan upaya pemberian gelar pahlawan nasional kepada mereka, serta upaya untuk menjadikan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Masa Orde Baru juga ditandai dengan maraknya penulisan sejarah tokoh, yang dikatakan berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka, walaupun pada saat mereka hidup dan berperang konsep Indonesia sebagaimana yang dipahami dewasa ini belum ada. Sebagai imbalan dari perjuangan mereka itu maka mereka diangerahi gelar pahlawan, salah satu diantarany adalah pahlawan nasional. Tuanku Imam Bonjol diangerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 1973 dan Tuanku Tambusai tahun 1995. Sedangkan penulisan buku tentang Sutan Alam bagagar ada hubungannya dengan upaya pelegitimasian pemindahan makam beliau dari Mangga Dua ke Taman Makam Pahlawan.

Jadi aspek keilmuan kurang menonjol dari buku-buku yang ditulis dengan genre ini.

Tidak diragukan pula, bahwa periode kelima ini juga ditandai dengan munculnya karya-karya sejarah Perang Padri yang ditulis dengan standar akademis yang tinggi, karena penulisannya ditujukan untuk meraih gelar akademis tertinggi. Tidak hanya itu, karya-karya dalam bentuk ini bahkan menghadirkan penafsiran baru mengenai latar belakang dan jalannya Perang Padri. Karya Chrisine Dobin adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Dobbin melihat Perang Padri tidak dari persoalan konflik antara kaum pembaharu Islam (kaum Padri) dengan kaum anti pembaharuan (kaum adat), atau tidak hanya melihat Perang Padri dari keinginan para fanatik untuk mengadakan pembaharuan kehidupan beragama semata, tetapi juga digerakkan oleh adanya dorongan ekonomi yang dilatarbelakangi  oleh adanya kebangkitan ekonomi daerah, serta masuknya orang (daerah) Minangkabau pada aktivitas ekonomi tingkat regonal atau global (Dobbin 1983). Pandangan Dobbin itu diperkuat puloa oleh Kato yang mengatakan bahwa “….gerakan Padri tampaknya lebih dari sekedar perselisihan paham mengenai ajaran Islam… atau pertentangan di antara adat dan agama. ….gerakan Padri juga merupakan satu usaha untuk mencari jalan lain supaya dapat mempersatukan dan memperkuat Alam Minangkabau (Kato 1982). Jauh sebelum Dobbin dan Kato, Taufik Abdullah (1967; 1971) juga telah melihat Perang Padri dalam perspektif lain, perspektif perubahan sosial (inletelektual) orang Minang. Beda Kato dan Taufik Abdullah dengan Dobbin adalah bahwa Kato dan Taufik Abdullah menjadikan pembahasan mengenai Perang Padri hanya sebagai bagian dari karya mereka dengan topik dan tema yang lain, sedangkan Dobbin lebih fokus pada Perang (Gerakan) Padrinya.

Di samping tiga tulisan di atas, ada beberapa tesis dan skripsi yan juga membicarakan Perang Padri, namun karena dibuat setelah tiga karya monumental itu terbit maka apa yang ditampilkan dalam tesis atau skrispi itu bisa dikatakan ‘pengikut’ dari karya Taufik Abdullah, Dobbin dan Kato.

Satu lagi hal yang menarik mengenai sejarah Perang Padri pada periode kelima ini adalah dijadikan kisah perang ini sebagai bahan ajar dalam buku-buku teks sejarah yang digunakan berbagai jenjang pendidikan. Dan ketika pemerintah menulis serta menerbitkan buku Sejarah Nasional Indonesia (1975), Perang Padri juga mendapat tempat yang cukup banyak dalam buku babun sejarah Indonesia itu.

Peran dan campur tangan pemerintah cukup menonjol dalam penulisan sejarah Perang Padri pada kurun waktu itu.

VIII

Periode keenam dalam historiografi Perang Padri bersamaan juga dengan terjadinya perubahan politik di Indonesia, yakni berakhirnya  era Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi. Dalam sejarah penulisan sejarah Indonesia, Era Reformasi juga ditandai dengan keinginan untuk ‘meluruskan’ atau menulis ulang sejarah nasional. Keinginan itu diwujudkan dengan terbitnya buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), sebuah buku yang merupakan karya bersama puluhan sejarawan Indonesia.

Era Reformasi juga ditandai dengan terbitnya buku atau karya sejarah yang menampilkan tindak kekerasan yang pernah terjadi di masa lampau. Hal ini, misalnya , ditandai dengan terbitnya buku-buku mengenai aksi kekerasan yang dialami pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kecenderungan menulis kekerasan yang dialami oleh suatu kelompok masyarakat di masa lampau akhirnya juga merambah masuk ke penulisan sejarah Perang Padri. Sehubungan dengan itu, buku Tuanku Rao karya Parlindungan yang sarat dengan narasi kekerasan dicetak ulang. Buku ini mendapat sambutan luar biasa dari pembaca dan laris manis.

Dicetak ulang pada era semua orang boleh menyampaikan apa yang ingin disampaikannya (era kebebasan yang kebablasan), maka segera setelah terbitnya buku ini muncul gugatan terhadap kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Berdasarkan sajian buku Tuanku Rao, Muhdi Situmorang, seorang Batak, yang merasa keturunan dari korban kekerasan kaum Padri membuat petisi agar gelar pahlawan Tuanku Imam Bonjol dicabut. Muhdi berpendapat, Tuanku Imam Bonjol tidak layak menyandang gelar itu. Karena dia adalah tokoh penyebar teror di negerinya pada di masa lalu.

Terbitnya buku Tuanku Rao dan keluarnya petisi Muhdi kemudian dilanjutkan oleh majalah Tempo dengan menyajikan tulisan yang berjudul “Kontroversi Kebrutaralan Kaum Padri” sebagai supplemennya (Tempo, 21 Oktober 2007).  

Kekerasan dan kebrutalan Padri menjadi aspek yang menonjol dalam penulisan Sejarah Perang Padri pada awal Era Reformasi. Perspektif yang sama tetap berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, bahkan sampai beberapa waktu belakangan. Beberapa tulisan dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dipraktikan kaum Padri.Namun berbeda dengan karya Parlindungan dan Tempo, tulisan-tulisan yang dimuat dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dilakukan kaum adat dan Belanda.

Di samping menampilkan aksi kekerasan, penulisan sejarah Perang Padri pada Era Reformasi ini juga mencoba melihat Perang Padri ‘apa adanya’. Cetak ulang buku Tuanku Rao misalnya direspon dengan penerbitan buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidi Harahap (2007) dengan mengajukan sejumlah kritik dan koreksian terhadap karya Parlindungan, serta penulisan sejarah Islam di Tanah Batak (Tapanuli) ‘as actuality was’. Mardjohan (2009) menerbitkan buku Gerakan Padri, Pahlawan dan Dendam Sejarah yang berisikan sejumlah tulisan tentang Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) juga menyajikan narasi Perang Padri dan keterlibatan Tuanku Imam Bonjol ‘sebagaimana adanya’.

Tidak diragukan lagi, hadirnya nuansa kekerasan dalam historiografi Perang Padri pada Era Reformasi tidak bisa dipisahkan dari maraknya aksi kekerasan di Indonesia pada permulaan era ini. Saat itu, terjadi aksi kekerasan di banyak tempat diIndonesia. Ada aksi kekerasan di Ambon, Sambas, Palu, Lampung, Aceh, dan di lain-lain tempat di persada tercinta ini. Tidak itu saja, di tingkat global, kata kekerasan dan teror didengar setiap saat di media elektronik (televisi dan radio) atau dibaca setiap waktu dalam media cetak. Dan orang Islam, apalagi  ‘kelompok radikal’ dianggap sebagai bagian atau aktor utama dari aksi kekerasan itu. Apalagi saat itu ada aksi pemboman WTC dan juga Bom Bali serta ‘kebangkitan’ Taliban. Maka sangat masuk akal jika penulisan sejarah mengenai Perang Padri juga menampilkan Tijdgeest (jiwa zaman) yang sarat dengan aksi kekerasan ini. Apalagi narasi yang ditampilkan oleh Parlindungan dan juga kesaksian Fakih Sanghir dan pengakuan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya cocok pula dengan semangat zaman ini.

IX

Historiografi adalah sebuah kajian sejarah penulisan sejarah. Dalam kajian ini yang dibincangkan adalah apa yang ditulis, siap penulisnya (latar belakang ilmu, ideologi, ’status’ kepenulisan penulis), kapan ditulis (bagaimana jiwa zaman saat ditulis), untuk apa karya itu ditulis, dlsbnya. Kajian historiografi tidak mempersoalkan sahih atau tidaknya sumber yang dipergunakan.

Tujuan utama kajian historiografi adalah untuk memahami bahwa sebuah iven sejarah bisa saja ditulis berulang kali dengan berbagai perspektif, sehingga dengan memahami adanya berbagai perpekstif  tersebut kita akan bisa menerima adanya perbedaan dalam penulisan sejarah. Kajian historiografi akan menyadarkan kita bahwa sebuah karya sejarah sangat dipengaruhi oleh siapa penulisnya, jiwa zaman sat karya itu ditulis, dan untuk apa karya itu ditulis dan diterbitkan.

Dengan pemahaman itu, diharapkan kita lebih dewasa dan bijaksana menerima adanya pernbedaan dalam sebuah penulisan sejarah.

Perang Padri adalah contoh yang paling menarik. Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang (200 tahun), telah lahir sejumlah perspektif  tentang perang itu. Ada karya yang melihat kaum Padri sebagai pemberontak, perusak ketentraman dan kedamaian,  namun ada tulisan yang melihat kaum Padri sebagai pejuang yang berperang menghadapi Belanda untuk mencapai kedamaian, mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia. Ada tulisan yang mengatakan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemberontak atau teroris, namun ada pula yang mengatakannya sebagai pejuang kemerdekaan dan penyatu antarberbagai kelompok masyarakat (etnik).

Adanya perspektif, sudut pandang dan pemahaman yang tidak sama sekaligus menyadarkan kita bahwa Perang Padri ditulis oleh penulis dalam berbagai kurun waktu dengan berbagai jiwa zaman yang berbeda. Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, karena sudut pandang dan pemahaman sejarah sesungguhnya adalah refleksi zaman. Setiap zaman akan menghadirkan penulisan sejarah (terhadap objek yang sama) sesuai dengan perspektif zaman dia ditulis. Kenyataan ini akan menyakinkan kita akan diktum yang disampaikan sejarawan Italia, Benedigto Grooce yang berbunyi, ogni vera storia, e storia comtemporanea (sejarah yang benar, adalah sejarah masa kini). Karena itu, tidak perlulah kita risau atau sampai uring-uringan bila ada sebuah karya tulis yang tampil dengan perspektif dan sudut pandang yang berbeda dari perspektif dan sudut pandang kita. Tidak perlu pula kita risau dan uring-uringan bila ada suara yang menggugat sebuah tulisan sejarah. Terimalah itu sebagai ‘sunatullah’.  Sebab perbedaan itu adalah hakikatnya sejarah dan penulisan sejarah.

Daftar Kepustakaan:

Basyral Hamidi Harahap, Greget Tuanku Rao. Depok: Komunitas Bambu, 2007.

B..d., ‘De Padries op Sumatra’, Indische Magazijn, 1845: 2.

B. Dt. Nagari Basa¸ Tambo Minangkabau. Pajakumbuh: Elionora, 1964.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Buys, M., Twee Jaren op Sumatra’s Westkust. Amsterdam: A. Akkeringa, 1886.

Dali Mutiara, Sedjarah Minangkabau. Djokja: Moetiara, 1946.

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951           .

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.  London: Curzon Press, 1983.

 — , ‘Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830’ dalam Indonesia, 1977: 23.

 — , ‘Tuanku Imam Bondjol (1772-1864) dalam  Indonesia, 1972: 13.

Francis, E., Herinneringen uit den Levensloop van een’ Indisch’ Ambtenaar van 1815 tot 1851. Medegedeeld in Brieven (I, II, III). Batavia, 1856-59.

H., v.d., ‘Oorsprong der Padaries’ dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1838: I.

Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Hollander, J.J. de (ed.), Sjech Djilal Eddin: Verhaal van den Aanvang der Padri-Onlusten op Sumatra. Leiden: E.J. Brill, 1857.

Hooyer, G.B., De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsch-Indie van 1811 tot 1894 (3 Deelen). The Hague/Batavia: De Bebr. van Cleef/G. Kolff & Co. , 1895.  

Joustra, M., Minangkabau: Overzicht van het Land, Geschie­denis en Volk. Leiden: Drukkerij Louis H. Becherer, 1923.

Kato, Tsuyoshi, Matriliny and migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 1982.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , ‘Het Ontstaan van den Padrie-Oorlog’ dalam Indisch Militair Tijdschrift, 1887: II.

Klooster, H.A.J., Indonesiers Schrijven Hun Gechiedenis: De Ontwikkeling van de Indoneisiche Geschiedbeofening in Theori en Praktijk 1900-1980. Dordrecht/ Cinaminson: Foris Publication, 1985.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Parlindungan, M.O., Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. TerrorAgama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak. 1816-1833. Djakarta: Tandjung Pengaharapan, 1964.

Mahdin Said, Rokan. Tuanku Tambusai Berdjuang. Padang: Sri Dharma, 1969.

Mardanas Safwan, Sultan Alam Bagagar Syah (1789-1849). Jakarta: Panitia1975.

Mardjani Martamin, Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983.

Mardjohan (ed.), Gerakan Paderi, Pahlawan dan Dendam Sejarah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009,

M.D. Mansoer et al. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara. 1970

Muhammad Radjab, Perang Padr di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Propinsi Sumatera Tengah. Djakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953.

Raffles, Sophia, Memoirs of the Life and Public Servives of Sir Stamford Raffles. Londion: John Murray, 1830.

Ronkel, Ph.S. van, ‘Inlandsche getuigenissen aangaande den Padri-Oorlog’, Indische Gids, 1915, XXXVII.

Schrieke, B. J.O., ‘Bijdrage tot de Bibliografie van de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust’, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1920: 59.

Stein Parve, H.A., ‘De Secte der Padaries (Padries) in de Bovenlanden van Sumatra’ dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1855: 3.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stapel, F.W. (d.), Geschiedenis van Nederlandsch Indie (5 Deelen). Amsterdam: Jost van der Vodelt, 1838-40.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia (Riwajat Hidup Orang Besar Tanah Air. Djakarta: Bulan Bintang, 1964.

Taufik Abdullah et.all. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemendikbud, 2012.

Taufik Abdullah, ‘Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies in Social Development’, M.A. Thesis, Cornell University, 1967            .

 — , , School and politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Ithaca, New York: Cornell University, 1971            .

Tempo, 21 Oktober 2007.

Veth, P.J., Schets van het Eiland van Sumatra. Amsterdam: P.N. van Kampen, 1867.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti tersendiri bagi keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Sayangnya, penulisan sejarah selama ini cenderung mengerdilkan arti perang itu bagi mereka, sehingga yang banyak dikemukakan hanyalah mengenai penangkapan (serta pembuangan) Sutan Alam Bagagar Syah dan pembunuhan keluarga kerajaan oleh kaum Padri. Dengan kata lain, penulisan sejarah selama ini kurang menampilkan adanya sejumlah sosok lain dari keluarga kerajaan serta pengalaman sejarah yang mereka alami. Di samping itu penulisan sejarah selama ini juga kurang menampilkan hubungan (harmoni dan konflik) antara keluarga kerajaan dengan pelaku lain dari Perang Padri, seperti Belanda, kaum Padri, kelompok adat, dlsbnya.

Tulisan ini mencoba merekonstruksi keberadaan dan pengalaman sejarah keluarga kerajaan Pagaruyung secara lebih menyeluruh, serta menyajikan kerjasama dan konkurensi antara mereka dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri.  

Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab pada kesempatan ini. Beberapa di antaranya adalah: Bagaimana proses keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung dalam Perang Padri? Siapa-siapa saja anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung yang tampil di panggung sejarah saat itu? Apa saja peran sejarah yang mereka lakoni? Bagaimana pula keharmonisan yang tercipta dan konflik yang terjadi antara keluarga kerajaan dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri? Sejauh mana keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung serta respon pemerintah Belanda dan pelaku Perang Padri yang lain terhadap keberadaan Kerajaan Pagaruyung?

II

Keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dalam Perang Padri dapat dibagi kedalam dua pokok pembahasan. Pertama, keterlibatan pada masa sebelum perang; dan kedua, keterlibatan pada kurun waktu perang berlangsung.

Keterlibatan pada masa sebelum perang bisa pula dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, keterlibatan karena ‘dipaksa terlibat’ oleh kaum Padri; dan kedua, keterlibatan sebagai reaksi atau respon atas pemaksaan yang dilakukan kaum Padri.

Keterlibatan dalam pengertian pertama, berawal dari pembunuhan yang dilakukan Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman dan kawan-kawannya terhadap sejumlah anggota  keluarga kerajaan. Tuanku Lintau dan kawan-kawannya, sebagai bagian dari kaum Padri, telah menyeret keluarga kerajaan ke dalam pusaran revolusi sosial dan keagamaan yang mereka kobarkan sejak tahun-tahun permulaan abad ke-19. Mereka melibatkan keluarga kerajaan ke dalam revolusi yang mereka sulut karena hingga saat pembunuhan dilakukan, keluarga kerajaan menempatkan diri mereka pada posisi netral, tidak berpihak kepada Padri dan tidak pula kepada kelompok non-Padri.

Kaum Padri tidak bisa menerima sikap netral itu. Di tengah revolusi yang mereka cetuskan, sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap ajaran yang mereka anut hanya ada dua, setuju atau tidak setuju. Pihak yang setuju akan dirangkul dan dijadikan kawan dan pihak yang tidak setuju akan dianggap sebagai musuh. Dilandasi oleh ideologi kekerasan yang mereka amalkan, maka pihak yang tidak setuju boleh diserang atau dibunuh. Deskripsi sejarah yang dibuat oleh pihak Padri, seperti Tuanku Imam Bonjol atau saksi sezaman dari kalangan modernis, seperti Fakih Sanghir membuktikan pernyataan ini. Dari karya kedua tokoh ini diketahui bahwa kekerasan dan pembunuhan mewarnai sejarah dakwah kaum Padri. Atas dasar itulah sejumlah anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dibunuh oleh Padri. Aksi pembunuhan itu terjadi dalam pertemuan Kototangah, sebuah pertemuan yang diinisiasi oleh Tuanku Lintau. Menurut Stuers dan Kielstra, ada tiga anggota kerajaan yang tewas, yaitu Yang Dipertuan Radja Nari, Yang Dipertuan Raja Tallan dan anak lelaki Raja Muning (tidak disebut namanya). Anggota keluarga kerajaan yang selamat melarikan diri ke daerah rantau, baik Rantau Pesisir di sebelah barat atau Rantau Hilir di sebelah timur Tanah Datar. Stuers menyebut Muning syah, Raja Minangkabau saat itu menyelematkan diri ke Jambi (Kuantan).

Lukisan Seorang Padri {Tuanku Lintau (?), Aktor Intelektual dan Eksukutor Peristiwa Kototangah}
Sumber: Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1839, 2,1

Peristiwa Kototangah adalah klimaks serangan Padri terhadap keluarga kerajaan. Seperti yang akan disebut di bawah nanti, merujuk informasi yang disampaikan Raffles, kaum Padri sesungguhnya menyerang keluarga kerajaan berkali-kali.

Ada berbagai informasi tentang tahun terjadinya peristiwa Kototangah. Sejumlah penulis menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1806, 1812, 1806, dlsbnya. Beragam informasi ini disebabkan oleh tidak adanya tradisi mencatat (menulis) dikalangan Urang Awak. Namun bila melihat apa yang dikatakan oleh Raffles yang sempat bertemu dengan keluarga kerajaan yang selamat, termasuk Tuan Gadis, serta sempat mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, maka bisa dikatakan bahwa pendapat yang menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1816 nampaknya sukar diterima. Mestinya peristiwa itu terjadi sebelum tahun tersebut.

Raffles menyebut saat dia berkunjung ke Pagaruyung, nyaris tidak ditemukan lagi bekas permukiman dan bekas istana di sana. Permukiman itu nampaknya telah lama ditinggalkan. Lokasi di mana istana berdiri telah dikuasai oleh petani. Di bekas tapak istana yang tanahnya subur  telah ditanami mentimun, dan tanah-tanah di sekitarnya telah ditanami dengan tebu.

Membaca keterangan Raffles, sekali lagi, bisa dikatakan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffles.

Penegasan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffes juga bisa kita ambil dari keterangan pejabat Inggris yang saat itu berkuasa di Padang. Tahun 1816 telah ada keluarga Kerajaan Pagaruyung di kota tersebut dan mereka telah meminta bantuan  Inggris untuk menyerang Padri.

Seperti disebut di atas, Raffles sempat bersua dengan Tuan Gadis di Suruaso. Raffles menaruh hormat kepada Tuan Gadis yang disebut dan diakuinya sebagai ganti Raja Minangkabau (karena raja yang sesungguhnya tidak bisa menjalankan fungsi dan perannya). Sebagai bagian dari rasa hormatnya, Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang dan memintanya tinggal di sana. Sesuai dengan namanya, Benteng Simawang adalah sebuah benteng yang dibangun Inggris di Nagari Simawang, di pinggir timur Danau Singkarak. Pembangunan benteng itu sebagai pembuktian oleh Inggris bahwa dia juga memiliki kedaulatan di daerah pedalaman. Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang  dengan tujuan memberi perlindungan kepadanya dari kemungkinan gangguan kaum Padri. Di samping itu, tafsiran lain menyebut bahwa perlindungan yang diberikan Raffles tersebut sebagai respon dari usulan yang diajukan oleh Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, dua anggota Kerajaan Suruaso, yang mendampingi Raffles dalam perjalanannya dari Padang ke pedalaman.

Dalam perjalanan ke pedalamanan, Raffles didampingi oleh lima orang Eropa (termasuk istrinya), 50 tentara dari kesatuan Benggala, sejumlah saudagar terkemuka di kota Padang, ratusan kuli angkat, dan dua keluarga Kerajaan Suruaso (Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam) yang telah mengungsi ke kota Padang.

Merujuk laporan Stuers, Kielstra menyebut bahwa Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam adalah wakil Kerajaan Minangkabau di Padang yang diakui oleh Inggris. Oleh pemerintah Inggris mereka berdua diberi ‘tunjangan hidup’ sebesar f.100,- (Raja Tangsir Alam) dan f.20,- (Sutan Kerajan Alam) per bulan. Hubungan mereka sangat akrab dengan Inggris. Itu pulalah sebabnya, ketika terdengar kabar bahwa Padang akan dikembalikan kepada Belanda, kedua anggota kerajaan tersebut hijrah ke Bengkulu yang saat itu masih dikuasai Inggris.

Namun, pada saat Belanda mengambil alih kekuasaan Inggris di Sumatra Barat, kedua anggota kerajaan itu kembali ke Padang. Mereka juga mengucapkan selamat kepada Belanda yang telah berkuasa kembali. Tidak itu saja, sesampai di Padang mereka menyatakan kesetiaan kepada Belanda dan meminta bantuan kepada Belanda untuk menyerang Padri.

Sikap oportunis mereka ini khususnya dan keluarga kerajaan pada umumnya telah lama dicatat oleh Inggris. Sebagaimana ditulis Marsden, tahun 1781, saat Inggris baru saja mendepak Belanda dari Pantai Barat, datang serombongan utusan Raja Minangkabau ke Padang dan mereka mengucapkan selamat kepada Inggris yang telah berhasil mengusir Belanda. Namun, seorang pejabat Inggris di Padang mengomentari ucapan selamat keluarga Kerajaan Minangkabau itu dengan mengatakan bahwa ucapan yang sama akan disampaikan kepada siapa pun yang berpeluang menggantikan kami (Upon the capture of Padang by the English in 1871, deputations arrived from two of these chiefs with congratulations upon the success of our arms; which will be repeated with equal sincerity to those who may chance to succeed us).

Setelah berkorespondensi dengan Batavia, pemerintahan Keresidenan Padang menerima kedatangan dan ketundukan Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Du Puy, Residen Padang berencana akan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Belanda di daerah ini. Untuk itu mereka juga diberi tunjangan hidup. Namun karena dulu mereka pernah setia kepada Inggris, musuh Belanda, maka tunjangan yang diberikan hanya separo dari yang mereka terima sebelumnya, yakni f.50, – dan f.10,- per bulan.

Dalam rangka merespon permintaan bantuan yang diajukan anggota keluarga kerajaan itu, pemerintah di Padang membentuk satu tim penyelidik keinginan masyarakat mengenai keterlibatan Belanda dalam memerangi Padri. Anggota inti tim ini adalah Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Mereka didampingi oleh 12 orang anggota (menurut Stuers ke-12 anggota itu terdiri dari 12 Inlandsche Soldaten (tentara bumiputra, kemungkinan orang Bugis), sedangkan Lange mengatakan bahwa ke-12 anggota lainnya itu hanyalah penduduk biasa saja).

Hasil penyelidikan tim, sebagaimana dilaporkan kedua ‘toeankoe’ adalah warga pedalaman betul-betul menginginkan campur tangan atau keterlibatan Belanda memerangi kaum Padri.

Bekerja sama dengan atau meminta bantuan kepada Inggris dan Belanda adalah respon atau reaksi keluarga kerajaan terhadap pemaksaan (pembunuhan) yang dilakukan oleh kaum Padri. Permintaan bantuan untuk menyerang Padri kepada Inggris dan Belanda bentuk konkrit respon atau reaksi keluarga kerajaan atas pembunuhan yang dilakukan kaum Padri terhadap kerabatnya. Mereka ingin menuntut balas atas kekejaman kaum Padri terhadap anggota keluarga mereka. Di samping untuk membalas perlakukan Padri, seperti yang akan dibicarakan nanti, permintaan bantuan tersebut juga ditujukan untuk memulihkan keberadaan kerajaan dan mengembalikan raja ke posisinya semula.

Puncak dari move keluarga kerajaan pada periode sebelum perang dan sekaligus menjadi awal perang adalah dibuatnya Perjanjian 10 Februari 1821. Perjanjian itu adalah ‘tiket’ bagi Belanda untuk menguasai Minangkabau dan terlibat secara langsung dalam perang melawan Padri. Perjanjian itu sekaligus pernyataan dukungan, pernyataan takluk dari keluarga Kerajaan Pagaruyung dan Suruaso, serta sejumlah penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya kepada Belanda.

Keterlibatan keluarga kerajaan dalam perjanjian itu sangat nyata. Tiga penandatangan pertama perjanjian adalah keluarga kerajaan, yaitu Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suuaso, dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso. Penandatangan berikutnya adalah 12 penghulu, yang mengatasnamakan lebih dari 100 penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya.

Perjanjian tersebut terdiri dari enam pasal dan lima pasal pertamanya berisikan:

Pasal 1, Kepala-kepala (anggota keluarga kerajaan dan para penghulu) tersebut di atas dengan ini menyerahkan  secara resmi dan mutlak, negeri  Pagaru­yung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-dae­rah di sekeliling Kerajaan Mi­nang­­ka­bau kepa­da pemerin­tah Hindia Belanda

Pasar 2, Kepala-kepala tersebut berjanji dengan sung­guh-sungguh – atas nama mereka dan rakyat maupun ketu­run­­an mereka – untuk patuh dan taat kepada pemerin­tah Hindia Belanda dan sekali-kali tidak akan menen­tang perintah apa pun dari Belanda.

Pasal 3, Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah dise­rah­­kan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari Kaum Paderi, untuk menghancurkan Kaum Paderi dan men­­ciptakan perdamaian di Minang­kabau, peme­rintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam.

Pasal 4, Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli da­lam jum­lah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara de­ngan sebaik-baiknya.

Pasal 5, Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu de­ngan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pa­sal dalam per­janjian.

Pasal keenam berisikan pernyataan tentang perjanjian, tentang perjanjian yang dibuat dengan sumpah yang khidmat, menjunjung Al-Qur’an, disaksikan oleh sejumlah petinggi di Padang. Di samping itu ada keterangan waktu pembuatan perjanjian, serta dibuatnya perjanjian dalam tiga rangkap (1 rangkap dikirim kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, satu rangkap dipegang Residen di Padang, dan satu rangkap dikirim pada Tuan Gadis di Suruaso).

Perjanjian 10 Februari 1821 inilah yang menjadi dasar keterlibatan Belanda dalam perang melawan kaum Padri awalnya dan kemudian perang menghadapi orang Sumatra Barat untuk menguasai daerah ini. Di sisi lain, perjanjian ini adalah titik puncak dari respon keluarga kerajaan terhadap aksi kaum Padri yang membunuh kerabat mereka, membuat mereka terpencar ke mana-mana, dan menghabisi Kerajaan Minangkabau. Perang Padri yang terjadi segera setelah Perjanjian 10 Februari 1821 menghadirkan pengalaman sejarah yang tersendiri pula bagi keluarga kerajaan.

III

Ada lima keluarga Kerajaan (Pagaruyung dan Suruaso) yang banyak mengisi lembaran sejarah Perang Padri. Di samping Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, tiga nama lainnya adalah Raja Muning, Tuan Gadis, dan Sutan Alam Bagagar Syah. Ada peran dan pengalaman sejarah yang berbeda dan menarik dari masing-masing anggota keluarga kerajaan itu.

Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, sebagai sosok yang tinggal di Padang dan aktif membantu Belanda sejak awal, serta dipandang ‘menguasai medan/lapangan’ adalah anggota keluarga kerajaan yang dilibatkan secara langsung dalam kampanye militer yang dilakukan oleh Belanda. Mereka dilibatkan, terutama sekali, pada masa-masa awal kampane militer ke daerah pedalaman. Mereka diminta mendampingi aksi militer yang dipimpin Raaf. Para pejabat di Padang umumnya dan Raaff khususnya meyakini keterlibatan mereka akan banyak membantu aksi militer menghadapi Padri. Mereka diyakini memiliki hubungan yang baik dengan kaum adat atau para penghulu, sehingga akan memudahkan untuk memobilisasi dukungan rakyat.

Namun, walaupun telah membantu Belanda dengan ikut menandatangan Perjanjian 10 Februari 1821, serta ikut mendampingi Raaff menyerang Padri, pada bulan April 1822 Raaff menangkap mereka berdua dan mengirim mereka ke Padang. Kielstra menyebut mereka ditangkap karena dituduh membunuh seorang penghulu di Belimbing. Mereka marah karena sang penghulu serta warga nagarinya tidak bersimpuh atau menyembah kepada mereka. Aksi “main hakim sendiri’ yang mereka lakukan tidak bisa diterima Raaff, aksi mereka tersebut dinilai Raaff dapat menggagalkan pendekatan “winning the heart” yang juga diterapkan komandan tempur tersebut. Apalagi saat pembunuhan dilakukan telah ada beberapa tokoh Padri yang menyerah dengan suka rela.

Sikap tegas Raaff di atas didasarkan pada tidak adanya hubungan pribadi antara dia dengan kedua keluarga kerajaan tersebut. Raaff juga dipandang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang peran sosial-budaya kedua keluarga kerajaan tersebut, serta tidak mengetahui hubungan antara kedua keluarga kerajaan itu dengan pemerintah Belanda di masa lampau.

Apapun tafsiran yang dikemukakan, yang jelas baru saja kedua anggota keluarga kerajaan itu terlibat secara langsung dalam Perang Padri, mereka telah menjadi korban perang yang mereka kobarkan.

Keluarga kerajaan selanjutnya yang tampil ke panggung Perang Padri dan berurusan dengan Raff, serta kemudian juga menjadi korban kebijakan Raff adalah Muning Syah, Raja Pagaruyung (Minangkabau) yang melarikan diri ke Kuantan.

Raja Muning, yang nama dan gelar lengkapnya adalah Daulat Yang Dipertuan Raja Muning, Raja Alam Yang Kerajaan Di Dalam Alam Minangkabau, mengirim surat kepada Raaff pada bulan September 1822. Isi suratnya antara lain minta diizinkan pulang ke Pagaruyung dan kemudian minta diizinkan (direstui) kembali menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Sekali lagi, sebagai ‘orang baru’ di daerah, Raaff tidak serta-merta menyetujui permintaan Raja Muning. Dia membentuk tim (komisi) penyelidik kebenaran status dan kedudukan Muning Syah. Salah satu tugas tim atau komisi tersebut adalah meneliti kebenaran status dan kedudukan Muning Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Setelah bekerja dan menunaikan tugasnya, tim atau komisi tersebut mengumumkan bahwa ‘tidak diragukan lagi, Raja Muning adalah raja terakhir Kerajaan Minangkabau’. Berdasarkan temuan tersebut Raaff mengizinkan Raja Muning kembali pulang ke Pagaruyung. Namun, permintaannya agar dia diangkat menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau) tidak disetujui. Alasannya adalah usianya telah lanjut. Walaupun demikian dia diberi uang pensiun. Tiga tahun setelah usulannya menjadi raja ditolak, tanggal 1 Agustus 1825 Raja Muning meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Raaff kemudian mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Minangkabau.

Pemerintahan Keresidenan Padang menyetujui keputusan Raaff menolak permohonan Raja Muning untuk menjadi Raja Minangkabau. Pemerintahan Keresidenan Padang juga menyetujui keputusan Raaff untuk mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau). Raaff (yang disetujui oleh Gubernur Jendral) juga mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah menjadi Hoofdregent van Minangkabau dengan gelar Raja Alam Minangkabau (karena telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Di samping Hoofdregent dia juga sekaligus diamanahi jabatan sebagai Regent Tanahdatar. Sebagai Raja Minangkabau dia diberi gaji f.200,- per bulan, dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan.

Menurut Raaff pengangkatan Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau), Hoofdregent van Minangkabau serta Regent Tanah Datar adalah sebagai bagian dari imbalan yang diberikan kepadanya atas jasa-jasanya yang memungkinkan Belanda bisa masuk ke pedalaman. Alasan ini pulalah yan menjadi dasar penolakan usulan Raja Muning agar dia diangkat kembali menjadi Raja Pagaruyung. Raja Muning dianggap tidak memiliki kontribusi  bagi ekspansi politik Belanda.

Kepemimpinan Raaff sebagai komandan tentara dan residen digantikan oleh Baud dan kemudian Stuers (1825). Berbeda dengan masa Raaff yang sarat dengan aksi militer menggempur Padri, maka era pemerintahan Stuers adalah kurun waktu ‘tenang’ dari konfrontasi fisik dengan Padri. Hal ini disebabkan oleh ditariknya sebagian besar tentara Belanda ke Pulau Jawa guna menghadapi Pangeran Diponegoro. Tidak hanya membuat banyak ‘perjanjian damai’ dengan kaum Padri, Stuers juga memperkenalkan kebijakan politik khusus pada keluarga Kerajaan Pagaruyung. Stuers membebaskan duo Tuanku Suruaso dari hukuman yang dijatuhkan Raaff. Tidak sekedar dibebaskan, mereka berdua dan juga Tuan Gadis diberi uang pensiun sebesar f.20,- per bulan. Sutan Kerajaan Alam, bila ada kesempatan, diizinkan untuk terlibat dalam kegiatan politik, sedangkan kakaknya, Raja Tangsir Alam, karena pernah menyalahgunakan wewenang di masa lalu, tidak diizinkan kembali terjun ke dunia politik.

Sutan Alam Bagagar Syah juga kena kebijakan politik Stuers. Stuers menghapus gelar Hoofdregent van Minangkabau dan menurunkan status Bagagar Syah hanya menjadi regent. Penurunan satus ini menjadikan Bagagar Syah menempati posisi yang sama dengan sejumlah orang Minangkabau lainnya yang menjadi regent saat itu di Sumatra Barat.

Stuers mengatakan bahwa penghapusan jabatan Hoofdregent dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ‘unit administratif’ setingkat Hoofdafdeeling vanMinangkabau yang menjadi wilayah kekuasannya tidak pernah terwujud. Jadi adanya jabatan itu dianggap tidak efektif (mubazir).

Tidak hanya menghapus gelar Hoofdregent, Stuers juga mengakhiri pengakuan Raja Minangkabau kepada Bagagar Syah, dan mengakhiri keberadaan Kerajaan Minangkabau (Het rijk van Minangkabau dus niet meer bestande).

Sutan Alam Bagagar Syah menerima semua kebijakan yang dilakukan Stuers. Bagagar Syah nampaknya tidak merasa kehilangan dengan ditiadakannya dua gelar yang sebelumnya pernah disandangnya, serta dia juga tidak merasa kehilangan ketika Kerajaan Minangkabau dihapuskan keberadaannya.

Berbagai gelar yang disandangnya dan keberadaan Kerajaan Minangkabau nyaris tidak ada artinya bagi diri Bagagar Syah. Sebagai ‘pejabat tinggi’ pemerintahan dan sebagai raja, Bagagar Syah nyaris tidak mendapat banyak keistimewaan. Walaupun pernah disebut, bahwa sebagai Raja Minangkabau, Bagagar Syah menerima gaji f.200,- per bulan dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan, namun sebagaimana dilaporkan Nahuijs, Bagagar Syah hanya berpenghasilan f. 100,- per bulan. Ini bukanlah penghasilan yang ‘sangat besar’, sehingga dia tidak bisa hidup mewah.

Kemewahan memang jauh dari Bagagar Syah. Hal ini terlihat dari penampilan sehari-harinya yang relatif tidak berbeda dari penduduk biasa. Tempat tinggalnya, walaupun disebut sebagai istana, namun jauh berbeda dari gambaran orang tentang istana raja. Nahuijs menambahkan, apa yang disebut istana Raja Pagaruyung bagaikan gudang kayu yang sangat sederhana dibandingkan dengan rumah-rumah lain (Het zoogenaamde vorstelijk paleis van Pagaruyung is eene zeer onaanzienlijke houten schuur, in vergeleijking van andere huizen).

Tidak hanya memiliki kekurangan secara ekonomi dan kemewahan hidup, sebagai Raja, Hoofdregent dan Regent, Bagagar Syah juga kurang mendapat penghormatan dari penduduk. Nahuijs menyebut bahwa warga masyarakat, bahkan dari kalangan rendah sekalipun, biasa saja lalu lalang di dekatnya tanpa memperlihatkan sikap homat. Nahuijs juga mengatakan bahwa dia menyaksikan bahwa banyak rakyat yang tidak mengenal Bagagar Syah sebagai raja.

Kalaupun ingin dicari juga perbedaan antara Sang Raja, Hoofdregent dan Regent dengan penduduk biasa atau saudagar kaya, maka perbedaan itu terlihat dari adanya seorang pengiring yang membawa payung bewarna coklat serta sejumlah perangkat lain untuk keperluan Bagagar Syah. Payung berwarna cokllat (kuning)inilah sesungguhnya yang paling membedakannya dengan warga lain, karena dalam kenyataan ada juga orang Minang yang kaya yang juga didampingi (diiringi) oleh pengiring saat dia bepergian atau membawa barang-barang keperluannya.

Dengan kondisi seperti ini, bisa dipahami mengapa Bagagar Syah relatif tidak bereaksi ketika Stuers menghapuskan gelar Hoofdregent dan Raja, serta meniadakan Kerajaan Minangkabau. Di samping itu, diamnya Bagagar Syah, seperti yang disebut oleh Stuers, juga disebabkan oleh “begitu tergantungnya dia kepada kita, kitalah yang membuat dia besar dan berkuasa”.

Bila Bagagar Syah diam terhadap kebijakan Stuers, maka dia akan bereaksi keras kepada orang biasa yang dirasanya mengancam jabatannya. Hal ini terlihat dari pernyataan Stuers yang mengatakan bahwa dia terlibat dalam pembunuhan Said Salimul Jafrid. Stuers mengatakan bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuhan juru runding Arab yang juga digelari Raja Perdamaian itu, karena Said Salimul Jafrid berpotensi menggantinya sebagai Regent Tanah Datar. Said Salimul Jafrid dekat dengan Stuers dan juga mendapat dukungan dari kaum Padri ntuk menjadi Regen Tanah Datar (pendapat lain menyebut bahwa pembunuhan Said Salimul Jafrid itu didalangi oleh Tuanku Lintau atau kaum penghulu).

Pejabat Belanda lain yang tidak suka dengan Bagagar Syah adalah Elout. Residen yang mulai berkuasa sejak akhri tahun 1832 ini bahkan menuduh Bagagar Syah berkhianat kepada Belanda dan merencanakan makar terhadap pemerintah. Itu pulalah sebabnya, Muhammad Rajab dan Rusli Amran menyebut, bahwa Bagagar Syah bersama Sentot Alibasyah, Tuanku Nan Cerdik, serta sejumlah tokoh lainnya, sebagai orang-orang yang dikhianati Belanda (Elout). Elout menangkap Bagagar Syah dan kemudian mengasingkannya ke Batavia. Namun setelah ditinjau ulang, ternyata tuduhan itu tidak terbukti. Artinya, Bagagar Syah tidak pernah berkhianat kepada Belanda. Karena itu nama baiknya dipulihkan, dan selanjutnya dia diberikan tunjangan hidup yang bisa dinikmatimya sampai akhir hayatnya di Batavia.

IV

Tidak hanya Raaf, Stuers dan Elout yang memperlihatkan sikap kritis atau tidak suka kepada keluarga Kerajaan Pagaruyung, kaum adat dan Padri juga memiliki sikap yang sama. Sebagaimana disebut Kielstra, segera setelah Raaff menyetujui pengangkatan Bagagar Syah sebagai Hoofdregent dan Regent, kaum adat menyatakan ketidaksukaan mereka. Mereka merasa bahwa gelar Regent seharusnya diberikan kepada penghulu (bukan kepada keluarga kerajaan yang telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Pengangkatan Bagagar Syah sebagai Regent dianggap kaum penghulu sebagai pelanggaran terhadap hak mereka. Karena itu, akibat pengangkatan tesrebut, ada sejumlah penghulu di Tanah Datar tidak mendukung Belanda ‘sepenuh hati’.

Regen Batipuh, yang pernah menjadi ‘tangan kanan’ Belanda dalam menumpas kaum Padri, juga memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Bagagar Syah. Bahkan pasukan Regen Batipuh ini menumpas habis hulubalang-hulubalang Regen Tanah Datar (Bagagar Syah) ketika mereka melawan pemerintah beberapa waktu setelah Babagar Syah ditawan dan dibuang Batavia. Ketidaksukaan Regen Batipuh disebabkan bahwa dia sesungguhnya menginginkan jabatan Raja Minangkabau.

Sikap tidak suka terhadap keluarga kerajaan juga berasal dari kaum Padri. Tidak hanya karena peran mereka dalam ‘mengundang’ Belanda untuk memerangi kaum Padri, tetapi juga disebabkan oleh tidak diserahkannya jabatan Regen Tanah Datar kepada Said Salimul Jafrid, calon unggulan mereka, oleh Belanda. Setelah reorganisasi tahun 1825, jabatan Regent Tanah Datar tetap dipegang Bagagar Syah. Hal ini mengecewakan kaum Padri dan kekecewaan itu dilampiaskan kepada Bagagar Syah. Apalagi dikemudian hari mereka mendengar kabar bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuh Said Salimul Jafri.

Persiteruan antara Bagagar Syah khususnya dan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dengan Belanda, kaum adat (penghulu) dan kaum Padri adalah bagian dari dinamika Perang Padri. Persiteruan itu adalah sebuah pembuktian bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia politik. Hampir semua anggota keluarga kerajaan yang mendukung Belanda dan kaum adat pernah dizalimi serta dikhianati oleh Belanda dan juga dimusuhi oleh kaum adat/kaum Padri. Bagagar Syah yang mendukung Belanda memerangi Padri akhirnya dihukum dan dibuang oleh Belanda bersama dengan tokoh Padri (Tuanku Imam Bonjol) yang diperanginya. Perang Padri merefleksikan pepatah lama, habis manis sepah dibuang. Perang Padri adalah sebuah pembuktian bahwa bekerjasama dengan kolonialis tidak akan pernah berbuah manis.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Marsden, William, The History of Sumatra. London: J. M’Creery, 1811.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan