Pajak (Belasting) Pada Masa Perang Padri

Di tengah kecamuk Perang Padri, di tengah berbagai krisis dan wabah, pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak (belasting) kepada orang Minang. Seiring dengan perjalanan waktu, jenis pajak yang dikenakan semakin lama semakin beragam, dan orang yang kena pajak semakin lama semakin banyak. Urang Awak pendukung Belanda dalam memerangi kaum Padri juga ikut dipajaki. Namun yang lebih menyakitkan, di samping pemerintah, ada kelompok masyarakat tertentu yang diuntungkan dengan pengintroduksian pajak ini.

Pengenaan pajak yang makin lama semakin memberatkan, namun di sisi lain mendatangkan keuntungan kepada kelompok masyarakat tertentu, membuat sebagian besar warga masyarakat Sumatra Barat bereaksi, bahkan mereka memberontak. Aksi atau pemberontakan itu, walaupun untuk sementara, membuat pemerintah menarik kebijakannya memajaki rakyat. Nampaknya pemerintah perlu dilawan dulu baru mengubah kebijakannya.

Tulisan ini membicarakan berbagai jenis pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat pada masa Perang Padri, reaksi masyarakat terhadap pajak tersebut, serta respon pemerintah terhadap reaksi  masyarakat itu. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah: Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak terhadap warga Sumatra Barat? Apa saja jenis pajak yang dikenakan kepada warga daerah ini? Di samping pemerintah siapa lagi yang diuntungkan oleh pajak-pajak itu? Bagaimana reaksi rakyat terhadap pengenaan pajak dan bagaimana sikap pemerintah terhadap reaksi rakyat?

II

Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan pajak kepada masyarakat Minangkabau di daerah pedalaman tahun 1823. Itu berarti dua tahun setelah kolonialis itu menghajar kaum Padri dengan bantuan para pendukungnya, yang umumnya anak-kemanakan penghulu yang meminta bantuan Belanda di Padang. Pengenaan pajak tersebut diawali oleh usulan Du Puy sebagai Resident van Padang, yang diperkuat oleh komandan tentara daerah ini Letkol A.T. Raaff, kepada Gubernur Jendral. Duo petinggi sipil dan militer itu mengusulkan kepada Batavia agar mengenakan pajak terhadap warga keresidenan (termasuk warga Padang Hulu/Pedalaman), karena pajak akan dapat membantu keuangan pemerintah. Dikatakan juga bahwa pengenaan adalah bagian dari kewajiban warga kepada kerajaan (pemerintah). Di samping itu, juga dikemukakan keterangan yang pernah disampaikan oleh dua keturunan Raja Suraso, yang mengatakan bahwa mayoritas penghulu dan warga pedalaman mendukung kehadiran (kebijakan) Belanda.

Pengenaan pajak adalah salah satu dari sekian banyak usulan yang dikirim oleh Du Puy dan Raaff kepada Gubernur Jendaral. Satu lagi usulan yang sangat erat kaitannya dengan pengenaan pajak ini adalah usulan pembentukan (reorganisasi) pemerintahan daerah. Penataan pemerintahan daerah ini sangat penting artinya bagi pengenaan pajak, karena para pejabat yang diangkat itulah nantinya yang akan dijadikan sebagai ujung tombak pemungutan pajak.

Gubernur Jendral merespon usulan Du Puy dan Raaff dengan menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 4 November 1823. Dua dari sekian banyak isinya adalah disetujuinya pengenaan pajak dan penataan pemerintahan daerah.

Berkenaan dengan pengenaan pajak, Gubernur Jendral tidak serta-merta menerima usulan Du Puy dan Raaff. Namun dengan ‘penuh kebijaksanaan’ sang Gubernur Jendral hanya menyetujui pengenaan hoofdgeld (pajak kepala/pajak perseorangan) dan gebouwde eigendommen (pajak bangunan).

Gubernur Jendral mendasari keputusannya pada kenyataan sosial dan budaya daerah (Minang­kabau pedalaman khususnya), bahwa selama ini Urang Minang belum pernah mengenal dan dikenai pajak. Jadi untuk sementara, sebaiknya dikenakan saja ‘uang kepala’ dan ‘pajak bangunan’ kepada mereka. Anggaplah ini sebagai pengenalan pajak kepada mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa nanti, bila tiba masanya, akan dikenakan berbagai jenis pajak atau bea kepada rakyat.

Pajak perseorangan dikenakan sebesar f.1,- (satu gulden) per orang per tahun untuk orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan. Pajak bangunan dikenakan pajak paling tinggi f.6,- dan paling rendah f.1,- per tahun. Pajak dibayar dengan uang tunai atau hasil bumi atau lewat tenaga (untuk mengerjakan ‘proyek’ pemerintah, seperti pembuatan jalan, jembatan atau bangunan-bangunan lain milik pemerintah).

Pengenaan pajak seperti ini, untuk fase pengenalan, dirasa sudah ‘cukup’. Diperkirakan ada 800.000 penduduk keresidenan saat itu. Dari angka-angka itu pemerintah berharap bisa memajaki 2/5 bagian dari kesemua penduduk {sisanya 2/5 bagian diperkirakan adalah anak-anak di bawah 16 tahun dan 1/5 bagian lainnya adalah orang-orang yang sangat miskin, yang tidak mampu beli ‘brood’ atau roti (maksudnya beras) untuk dimakan, sehingga tidak mungkin dikenakan pajak}.

Satu lagi keputusan Gubernur Jendral adalah penataan (reorganisasi) pemerintah daerah. Penataan pemerintahan daerah ini ditandai dengan pengangkatan sejumlah pejabat Urang Awak, mulai dari Hoofdregent, Regnt, Kepala Laras, Kepala Nagari, dan Kepala Kampung dalam struktur pemerintahan daerah. Di samping sebagai imbalan kepada mereka yang berperan besar dalam proses berkuasanya Belanda di daerah pedalaman dan memerangi kaum Padri, pengangkatan para pejabat ini juga ditujukan untuk menyukseskan pengenaan (penarikan) pajak terhadap penduduk. Sebab salah satu klausul dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral itu adalah ‘pengenaan pajak’ akan dibantu oleh Inlandsche Hoofden (para pejabat Urang Awak).

Juga diputuskan bahwa pengumpulan pajak juga dilakukan oleh orang (pachter) China yang memenangkan ‘lelang’ yang diselenggarakan pemerintah.

Di samping kedua jenis pajak di atas, Batavia juga mengizinkan pengenaan bea (pajak) penjualan opium (candu) di daerah darek. Pajak opium dianggap berbeda dari kedua jenis pajak di atas, karena ‘lingkupnya lebih terbatas’, bukan masyarakat secara keseluruhan. Berbeda juga dengan kedua jenis pajak di atas, penarikan bea atau pajak penjualan candu, diutamakan, dilakukan oleh penghulu. Ada dua alasan pemberian hak kepada penghulu ini, pertama sebagai balas budi kepada mereka yang mendukung pemerintah, dan kedua sebagai bagian dari politik adu domba. Maksudnya, pemakaian candu adalah suatu praktik yang sangat dibenci oleh kaum Padri, dan dengan memberikan hak penarikan bea (pajak) candu kepada penghulu secara langsung atau tidak Belanda semakin membenturkan penghulu dengan kaum Padri. Dan demi imbalan yang akan didapat tentu para penghulu membela penjualan dan pemakaian candu.

Tiga jenis pajak yang diperkenalkan diakhir tahun 1823 di atas tidak berjalan seperti diharapkan. Hasil yang didapat relatif jauh dari target. Laporan resmi pemerintah menyalahkan perang yang masih berkecamuk sebagai alasan mandeknya penagihan pajak. Namun dalam kenyataannya, rakyat betul-betul tidak mau (menolak) membayar pajak.

Pada tahun 1825 (dan beberapa tahun berikutnya) tensi perang sedikit menurun. Ekspedisi militer Belanda ke dan di daerah pedalaman berkurang secara drastis.  Stuers yang menjabat Resident van Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah Taklukannya) saat itu mengambil kebijakan ‘berdamai’ dengan kaum Padri. Stuers membuat banyak perjanjian damai dengan Padri. Perjanjian damai ini sebetulnya hanya taktik Belanda semata, karena saat itu tentara mereka yang di Sumatra Barat dikerahkan ke Jawa untuk menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro. Menariknya, perjanjian-perjanjian damai yang sangat menguntungkan Belanda itu disetujui saja oleh pihak Padri. Salah satu dari sekian banyak isi perjanjian itu adalah pengenaan beberapa jenis pajak {seperti pasar, opium, tembakau, pajak kain, pajak minuman keras (suri atau tuak), pajak jalan, pajak penyembelihan, pajak garam (pajak terhadap garam yang didatangkan selain dari Pulau Jawa, dan beberapa jenis pajak lainnya}. Salah satu alasan pengenaan berbagai macam pajak ini adalah hasilnya nanti akan dinikmati oleh warga.

Pengenaan berbagai jenis pajak ini kemudian dikukuhkan dalam Surat Keputusan Residen yang ditandatangani oleh Stuers. Dalam Surat Keputusan itu juga ditegaskan bahwa hak pengumpulan pajak (khususnya pajak pasar) dipegang oleh Lau Tiang King, pemuka China di Padang. Hak ini dipegangnya untuk masa tiga tahun. Lau Tiang King juga mengsubkontrakkan pula hak penarikan pajak ini kepada sejumlah orang China lainnya.

Karena wilayah daerah administratif keresidenan juga mencakup pulau-pulau di lepas pantai barat, maka pajak juga dikenakan di pulau-pulau tersebut. Ankergeld (uang jangkar) adalah satu jenis pajak yang paling diandalkan dari pulau-pulau itu (terutama Pulau-pulau Batu dan Kepulauan Mentawai). Satu lagi jenis pajak yang ditargetkan akan menghasilkan banyak uang adalah pajak sarang burung. Di samping berbagai jenis pajak di atas, Sturs juga melanjutkan penarikan bea pelabuhan, dan pajak ekspor-impor berbagai komoditas perdagangan yang keluar masuk pelabuhan (tidak hanya untuk kota Padang, tetapi juga kota-kota lain, seperi Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji serta pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Batu dan Mentawai). Untuk aktivitas yang terakhir dibangun kantor duane (bea cukai) yang termasuk canggih di kota Padang saat itu.

Kantor Duane (Bea Cukai) dan Penjara Padang Tahun 1826

(Sumber: H.J.J.L. de Stuers, Vstiging en Uitbreiding der Nederlander ter Westkust van Sumatra (II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1850)

Pengenaan pajak pada berbagai ‘kebutuhan pokok’ warga memang bagian dari agenda politik ekonomi Belanda. Pengenaan pajak tersebut adalah bagian dari eksploitasi ekonomi pemerintah kolonial.

Di Sumatra Barat, pengenaan pajak adalah bagian dari ekspansi politik ke daerah pedalaman, karena sejak awal telah diperhitungkan, bahwa pengenaan pajak akan menjadi salah satu sumber pemasukan Belanda di daerah ini. Karena itu, data-data mengenai ‘anggaran pendapatan dan belanja daerah’ Pantai Barat Sumatra, senantiasa menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama.

Sejak pertama kali pajak diperkenalkan, pemerintah telah menghitung berapa ‘pendapatan” yang akan diperolehnya. Seperti yang disebutkan di atas, pada tahun 1823 penghitungan dimulai dari memperkirakan jumlah penduduk yang akan dikenakan hoofdgeld. Penghitungan juga dilakukan dengan memperkirakan berapa banyak konsumsi opium, candu, garam, kain (pakaian), minuman keras (suri atau tuak), banyaknya orang yang bepergian, banyaknya orang yang berjualan dan mendatangi pasar, dlsbnya. Hasil hitung-hitungannya ‘tidak begitu besar’. Umumnya, jumlah untuk masing-masing jenis pajak berkisar antara f.1.500,- hingga f.20.000,- per tahun (sebagian kecil lebih dari f.200.000,- per tahun).

Sama dengan pengalaman tahun 1823, pengenaan pajak yang diperkenalkan oleh Stuers tahun 1825 juga tidak bisa diterapkan sebagaimana yang diharapkan. Secara umum masyarakat menolak membayar pajak. Hanya pajak-pajak atau bea-bea komoditas atau kegiatan yang tidak begitu langsung bersintuhan dengan rakyat (hanya dengan saudagar) yang hampir seutuhnya bisa ditarik, seperti uang jangkar, pajak garam, pajak sarang burung, dlsbnya. Stuers menyebut bahwa pada tahun 1825-1826 ‘hanya’ terkumpul f.98.500,- Jumlah ini jelas sedikit, sebab tahun 1820 di kawasan pantai (Padang, Pariaman dan Pulau Cingkuak) saja, dikumpulkan sekitar f.60.000,- Padahal wilayah yang dikuasai pada tahun 1825/1826 jauh lebih luas, penduduknya banyak, dan umumnya adalah daerah yang kaya.

Memasuki tahun 1830-an, Belanda mulai mengubah kebijakan politiknya di Sumatra Barat. Perang Diponegoro telah usai. Tentara mulai didatangkan kembali ke Sumatra Barat. Kampanye militer melawan Padri semakin ditingkatkan. Orang-orang yang dianggap musuh atau berkianat kepada pemerintah dengan segera ditumpas atau dibuang ke daerah lain. Ini semua bisa terjadi, karena residen dan petinggi (komandan) militer yang memimpin daerah adalah orang-orang yang tegas dan memegang prinsip “perang harus dimenangkan“. Bersamaan dengan itu, sejumlah tokoh yang dulunya pro-Padri berpihak kepada Belanda, bahkan diangkat menjadi pejabat seperti regen. Akibatnya Belanda semakin berlantas angan terhadap orang Minang.

Sikap tegas dan kerasnya pemimpin sipil dan militer tersebut juga diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi, salah satu diantaranya adalah penarikan pajak. Tahun 1832 diputuskan untuk mengoptimalkan penarikan pajak. Residen Gilavry misalnya mengintruksikan aparatnya, termasuk para pejabat bumiputera (Kepala Laras dan Kepala Nagari) untuk mendukung upaya penarikan pajak.

Pengenaan pajak yang dilakukan dengan tegas itu (baik pembayaran dengan uang tunai atau kerja pada ‘proyek’ pemerintah) dirasakan masyarakat sebagai beban yang berat. Pengenaan pajak dirasa berat oleh masyarakat, karena perang yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun telah mengakibatkan ekonomi masyarakat turun ke tingkat yang rendah.

Bukan hanya besarnya dan banyaknya pajak yang mesti dibayar dengan tunai atau dengan tenaga, sikap para pejabat pemerintah dari kalangan Urang Awak (Kepala Laras dan Kepala Nagari) serta penarik pajak (pachter) China juga membuat masyarakat semakin muak dengan kebijakan pemerintah ini. Itulah sebabnya muncul perlawanan dari rakyat. Perlawanan pertama ditujukan terhadap para pachter China. Ada sejumlah laporan yang menyebut bahwa penduduk memburu atau bahkan menyerang pachter China di sejumlah pasar di Tanah Datar dan Agam. Ada dari mereka yang luka-luka atau babak belur dihajar massa, dan ada pula yang lari terbirit-birit dikejar penduduk, serta terpaksa menyelamatkan diri ke rumah penghulu (yang juga kaki tangan Belanda).

Perlawanan kedua ditujukan kepada pemerintah. Warga daerah, baik kaum Padri dan non-Padri, melawan secara serentak. Melawan dalam artian menyerang dan membunuh aparat pemerintah, baik tentara atau pihak sipil, termasuk pejabat Urang Awak pendukung Belanda. Perlawanan terjadi di mana-mana dan banyak korban yang jatuh di pihak Belanda. Di Lubuk Sikaping misalnya jatuh korban sekitar 60 orang, di Bonjol sebanyak 40-an orang, di Suliki 20-an orang, di sejumlah daerah di Agam dan Tanah Datar juga jatuh korban yang jumlah puluhan orang.

Pemerintah kaget melihat reaksi rakyat tersebut. Sampai-sampai Komisaris (Gubernur) Jendral Hindia Belanda Johannes van den Bosch menyempatkan datang ke Sumatra Barat saat itu. Dia mengakui bahwa rakyat menderita dan rakyat kecewa dengan sikap atau kebijakan yang dipraktikkan pemerintah. Karena itu, salah satu dari sekian banyak solusi yang ditawarkan van den Bosch adalah mengakhiri pengenaan sejumlah pajak dan kerja wajib.

Solusi atau tawaran van den Bosch ini kemudian ditegaskan dalam Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah janji-janji khidmad pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Sumatra Barat. Karena berhubungan dengan sikap dan keputusan yang diambil oleh van den Bosch, maka salah satu janji yang dinyatakan dalam Plakat Panjang ini adalah penghapusan berbagai macam, kerja wajib pada proyek-proyek pemerintah (dikecualikan pajak atau bea opium, pajak pelabuhan).

Penghentian pengenaan pajak dianggap sebagai salah satu kemenangan oleh Urang Awak. Mereka sangat senang dengan sikap pemerintah itu. Janji untuk menghentikan penarikan pajak dan sejumlah janji lain yang dinyatakan dalam Plakat Panjang selalu diingat sebagai “kemenangan” oleh kebanyakan orang Minang. Mereka menang karena mereka melawan, mereka menang karena melawan secara bersama (kaum Padri dan juga non-Padri). Karena itu, kebanggaan akan Plakat Panjang adalah kebanggaan seluruh orang Minang.

III

Untuk beberapa dekade setelah usainya Perang Padri, Belanda memang mematuhi janjinya, tidak mengenakan pajak kepada orang Minang. Namun pada tahun 1908, janji tersebut dilanggar Belanda. Belanda memperkenalkan pajak, bahkan pajak yang dikenakan jauh lebih banyak dari masa Perang Padri. Sebagian dari pajak yang diperkenalkan tersebut adalah jenis pajak yang dulu sudah dikenakan kepada penduduk, tetapi sebagian lainnya adalah jenis yang baru. Beberapa di antara pajak-pajak itu adalah: pajak kepala, pajak penghasilan, pajak pasar, pajak jalan, pajak ganti kerja rodi, pajak tanah, pajak keuntungan, pajak peralatan rumah tangga, pajak rumah gadang (rumah adat), pajak tembakau, pajak anjing dan pajak ternak (sapi dan kerbau), dll.

Khusus untuk yang terakhir ini (pajak ternak sapi dan kerbau), walaupun setiap tahun penduduk membayar pajak atas ternaknya, namun jika mereka ingin menjual ternak itu, maka mereka harus pula membayar sejumlah pajak (bea) lagi. Di antaranya, pertama kali mereka harus membayar uang izin penjualan, kemudian harus membayar pajak masuk pasar, setelah ternak terjual dikenai lagi pajak (pajak penjualan), sebelum ternak dipotong dikenai lagi pajak (bea/pajak pemeriksaan kesehatan hewan), masuk rumah potong bayar pajak lagi dan terakhir ada lagi pajak sembelihan.

Pembayaran pajak yang hampir sama juga ditemukan pada berbagai aktivitas perekonomian dan kegiatan yang lain , seperti pajak jual beli di pasar, pajakmembawa barang, pajak industri, pajak pertambangan, pajak perkebunan, dan masih ada banyak, dlsbnya.

Banyak sekali pajak yang dikenakan kepada penduduk Sumatra Barat saat itu. Mengapa Belanda melanggar janji yang dikemukakannya saat Perang Padri?

Ada banyak jawaban untuk itu, dan dua di antanya adalah: pertama, Belanda mengalami kesukaran ekonomi yang serius (defisit) di Sumatra Barat. Tanam paksa kopi yang menjadi sumber pemasukan utama pemerintah di Sumatra Barat sejak tahun 1840-an nyaris tidak lagi memberikan keuntungan pada tahun-tahun pertama abad ke-20 (bahkan sejak tahun-tahun terakhir abad ke-19). Sejalan dengan itu potnsi niaga danekonomiSumatra Barat juga menurun dengan drastis. Untuk itu perlu dicari sumber pemasukan yang baru. Dan pajak adalah alternatif yang paling mungkin serta paling mudah; kedua, berbeda dengan masa Perang Padri, pada awal abad ke-20 Belanda telah betul-betul menguasai Sumatra Barat secara politik (bahkan hampir seluruh Hindia Belanda). Di samping itu, percaya diri pemerintah tengah tumbuh, apalagi saat itu dia baru saja memenangkan Perang Aceh. Kondisi seperti ini membuat pemerintah, memiliki keleluasaan membuat dan menjalankan politik/kebijakan ekonomi apapun yang mereka anggap akan menguntungkannya. Kondisi ini, juga membuat pemerintah melakukan apa saja terhadap upaya yang merintangi kebijakan yang dijalankannya, termasuk memberantas dengan menggunakan kekerasan secara cepat dan besar-besaran terhadap perlawanan rakyat atas kebijakan yang mereka buat.

Pengenaan pajak oleh Belanda pada awal abad ke-20 memang menimbulkan perlawanan dari warga Sumatra Barat. Terjadi pemberontakan di banyak tempat, seperti di Kamang, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Talawi, dlsbnya. Namun, perlawanan-perlawanan itu dengan segera bisa ditumpas, banyak korban dikalangan penduduk, dan sebagian pemimpinnya tewas terbunuh, dipenjara atau dibuang ke daerah lain. Artinya, perlawanan rakyat menentang pajak pada awal abad ke-20 tidak membuahkan hasil.

Kegagalan perlawanan secara fisik pada tahun 1908 sesungguhnya dilanjutkan oleh Urang Awak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga tahun 1920-an. Kali ini dilakukan melalui cara-cara non-politik, seperti himbauan sebagai hasil rapat (pertemuan) yang dadakan oleh para penghulu dan politisi, atau resolusi-resolusi yang dinyatakan oleh partai politik (Syarikat Islam misalnya). Namun semua upaya itu tidak membuahkan hasil. Pemerintah tetap mengenakan pajak pada rakyat, dan sejak saat itu pajak telah menjadi bagian dari kewajiban rakyat.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan