Month: July 2021

Historiografi Perang Padri

Sejak beberapa waktu yang lalu, ada upaya yang dilakukan oleh sejarawan atau peminat sejarah untuk melakukan re-rekonstruksi sejarah Perang Padri. Mereka mencoba mengkaji dan menulis Perang Padri dari sudut pandang lain, salah satu di antaranya adalah menampilkan aspek kekerasan dalam Perang Padri. Ada dari mereka yang menyamakan aksi kaum Padri dengan Taliban atau ISIS. Karena itu, ada dari mereka yang mengeritik kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol.

Sebelumnya ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian respon dari warga daerah terhadap perubahan ekonomi yang terjadi di daerah ini dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi skala regional atau internasional.

Sebelumnya lagi, ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian dari revolusi sosial dan intelektual yang ingin menata ulang struktur, serta tatanan sosial Minangkabau.

Sebelumnya dan sebelumnya lagi, ada sejumlah perspektif atau sudut pandang lain yang digunakan dalam merekonstruksi sejarah Perang Padri.

Bisa dikatakan, Perang Padri adalah salah satu iven historis di Minangkabau (Sumatra Barat) yang ditulis dengan banyak sudut pandang atau perspektif.

Apa-apa saja sudut pandang atau perspektif yang pernah ditampilkan dalam rekonstruksi sejarah Perang Padri selama ini? Dalam tulisan yang mana sudut pandang itu hadir? Siapa penulisnya? Kapan ditulis? Untuk apa ditulis?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

II

Sejarah atau informasi historis tertulis mengenai Perang (atau Gerakan) Padri telah mulai muncul beberapa saat setelah Perang Padri meletus (1821), dan terus berlanjut hingga saat sekarang.

Informasi tertulis tersebut diwujudkan dalam bentuk buku, artikel, karya ilmiah untuk mencapai gelar akademis tertentu, makalah-makalah yang disajikan dalam berbagai seminar, artikel di surat kabar dan majalah, hingga tulisan-tulisan di media sosial.

Karya tulis berupa buku bisa lagi dibagi ke dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya adalah kenang-kenangan hidup, kompilasi dari pengalaman hidup dan berbagai catatan yang dibuat berkenaan dengan perang tersebut, bagian dari travelogue (catatan perjalanan), dan hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut. Di samping itu juga ada buku yang merupakan alih aksara dari buku bertuliskan Arab Melayu  mengenai keterlibatan/kesaksian penulisnya dalam Perang Padri, serta buku berupa kumpulan tulisan (artikel) mengenai Perang Padri.

Hal yang relatif sama juga berlaku pada tulisan dalam bentuk artikel. Sebagian artikel merupakan kenang-kenangan hidup atau pemahaman penulis berkenaan dengan Perang Padri. Sebagian lain berkenaan dengan tinjauan kritis tentang Perang atau Gerakan Padri, dan tulisanitu lahir dari hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut.

Makalah, artikel surat kabar dan majalah atau media sosial umumnya merupakan hasil bacaan atau penelitian dari berbagai sumber primer dan sekunder mengenai Perang Padri.

Bila dilihat dari urutan waktu terbitnya, para penulis, dan isi tulisannya, maka secara umum bisa dikatakan ada enam periode penulisan sejarah Perang Padri: Pertama, periode 1820-1850-an; kedua, 1860-an hingga akhir 1920-an; ketiga, 1930-an hingga awal 1950-an; keempat tahun 1960-an; kelima, 1970-an hingga akhir 1990-an; dan keenam, awal tahun 2000-an hingga saat sekarang.

Periodesasi sejarah penulisan sejarah Perang Padri ini jangan dipahami secara sempit, karena bisa saja ada ‘jiwa zaman’ pada satu periode muncul lagi pada zaman yang lain. Namun, tidak diragukan lagi, keenam kurun waktu ini menghadirkan corak tersendiri dalam rekonstruksi sejarahnya.

III

Ada belasan tulisan yang ditulis mengenai Perang Padri pada kurun waktu 1820-an hingga 1850-an.  Beberapa di antaranya adalah Nahuijs dan Anderson (1827), Raffles (1830), Mueller (1837), v.d.H. (1838), “Bondjol“ (1839), Francis (1839), Boelhouwer dan Epp (1841), “De Secte der Padries in de Padangsche Bovenlanden” (1844), B.d. (1845); Stuers (1849, 1850), Lange (1854); Francis (1956), dlsbnya. Di samping itu juga ada karya yang ditulis oleh Urang Awak, yakni Fakih Saghir (1829) dan Tuanku Imam Bonjol (n.t.).

Dilihat dari nama-nama penulisnya, maka bisa dipastikan bahwa tulisan-tulisan yang terbit pada periode pertama ini umumnya ditulis oleh pelaku sejarah atau saksi sejarah. Dengan kata lain, sebagian besar dari mereka ikut-serta dalam Perang Padri. Penulis bangsa Belanda umumnya terdiri dari para pejabat dan petinggi sipil dan militer (Nahuijs, Stuers, Francis, Lange, dan Boelhouwer). Penulis dari kalangan Urang Awak adalah pemimpin Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) dan tokoh penting  daerah (Fakih Sanghir). Karya penulis dari kalangan pelaku sejarah ini sarat dengan informasi penting mengenai jalannya Perang.

Ada juga penulisnya yang hanya mendengar kisah tentang Gerakan atau Perang Padri dari orang yang terlibat dalam perperangan itu (Anderson dan Raffles). Sehubungan dengan itu, deskripsi yang disajikan dalam tulisan-tulisan mereka t hanya berisikan informasi secara umum atau aspek tertentu tentang Perang Padri.

Di samping itu, ada beberapa tulisan (artikel di jurnal) yang tidak menyertakan nama penulis. Namun, membaca narasi, deskripsi yang rinci, dan pemahaman mereka terhadap apa yang ditulis, diperkirakan, para penulis artikel itu adalah juga pelaku sejarah.

Khusus untuk karya Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Saghir, walaupun ditulis pada saat berlangsung perang, namun untukperiode pertama ini keberadaannya tidak tampil. Karya Tuanku Imam Bonjol ‘hanya’ dijadikan Lampiran (Bijlage) dalam karya Stuers, dan tulisan Fakih Sangir ‘tersimpan rapat’ entah di mana saat itu (kedua tulisan ini baru mulai banyak diperbincangkan dan dikutip sejak awal abad ke-20).  

Ada ‘evolusi’ yang sangat sempurna dari penulisan sejarah Perang Padri pada periode pertama ini. Maksudnya adalah ada porsi pembahasan mengenai dinamika dan jalannya Perang Padri yang makin lama semakin luas dan mendalam yang dilakukan oleh para penulis. Bila pada tulisan-tulisan yang  terbit pada tahun-tahun pertama pembahasan mengenai Perang Padri relatif sedikit, atau hanya menyinggung sepintas lalu, dengan pengecualian karya Boelhouwer, maka karya-karya yang terbit pada tahun-tahun terakhir periode pertama ini, pembahasannya semakin mendalam dan luas. Bahkan karya-karya itu terdiri dari dua atau tiga jilid tebal-tebal, seperti terlihat dari karya Stuers, Lange, dan Francis.

Pokok bahasan dalam karya-karya yang terbit pada periode pertama ini bisa dibagi kedalam tiga pokok pembahasan: Pertama, tentang penamaan-penamaan; kedua, jalannya perang; dan ketiga, tinjauan menyeluruh mengenai perang dalam kontek sejarah daerah dan Hindia Belanda.

Pokok pembahasan pertama menjadi penting karena penamaan yang diberikan pada kurun waktu ini akan menjadi penamaan di masa-masa berikutnya. Ada beberapa penamaan yang diberikan atau disajikan saat itu, di antaranya penamaan terhadap kelompok yang melancarkan aksi pembaruan. Raffles misalnya menamai mereka sebagai ‘Para Fanatik’, Anderson menyebut ‘Gerakan Nan Renceh’, Nahuijs menyebut ‘Kaum Putih’, Boelhouwer,  v.d.H., , Francis, Epp, Stuers dan Lange menamakan mereka ‘Kaum Padri’.

Sedangkan perang itu sendiri, hampir semua penulis Belanda sepakat menamainya Perang Padri (Padrioorlog).

Penamaan-penamaan yang diberikan pada periode inilah yang kemudian menjadi penamaan ‘resmi’ yang lazim dipakai oleh banyak penulis di masa-masa selanjutnya (hingga saat sekarang)

Pokok pembahasan kedua dari karya-karya yang terbit pada periode pertama ini adalah pembahasan menyeluruh mengenai jalannya perang. Karya Boelhouwer adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Buku ini menyajikan kecamuk perang dan dinamika perang, serta gambaran sosial-budaya kaum Padri, kaum adat, orang Batak, dan orang Belanda. Sebagian sajian Boelhouwer adalah deskripsi non-senjata atau non-fisik sifatnya, sajian tentang manusia dan kemanusiaan dalam perang. Buku ini sangat kaya informasi mengenai jalannya perang serta informasi sosial-budaya Urang Awak saat perang berlangsung. Termasuk informasi tentang aspek-aspek kehidupan sehari-hari Urang Awak saat itu. Hal yang sama sebetulnya juga ditemukan dalam karya Nahuijs.

Pokok bahasan ketiga, adalah tinjauan menyeluruh mengenai Perang Padri dalam konteks sejarah daerah dan Hindia Belanda. Karya Stuers, Lange dan Francis adalah contoh untuk pokok bahasan yang ketiga ini. Di samping membahas jalannya perang secara luas dan mendalam, para pengarangnya juga menyajikan perjalanan sejarah daerah (Sumatra Barat dan juga Hindia Belanda), termasuk juga dinamika sosial-politik daerah dalam karya-karya mereka. Membaca ketiga karya ini maka kita akan disuguhi sajian mengenai jalannya perang, banyaknya tentara yang diterjunkan, tempat-tempat terjadinya kontak senjata, komandan tentara (penyerangan), jumlah korban yang jatuh dipihak Belanda dan kaum Padri (biasanya korban pihak Padri jauh lebih banyak), dan kekejaman Padri (kekejaman Belanda tidak atau ditampilkan ). Juga ada pembahasan, alaupun dalam porsyang tidak begitu banyak mengenai pembangunan infratruktur transportasi, dunia niaga dan kehidupan ekonomi, dan pembentukan unit administratif daerah.

Kesimpulan kajian untuk historiografi Perang Padri periode awal ini adalah kaum Padri dikatakan jahat, pengacau dan perusak ketentraman, sedangkan orang/pemerintahan Belanda adalah baik dan berperang demi menciptakan perdamaian, serta memajukan kehidupan sosial-ekonomi daerah.

Karya-karya in sangat berarti bagi penulisan sejarah Perang Padri, karena menyimpan data dari tangan pertama. Karya-karya ini adalah sumber terpenting dan sumber utama penulisan sejarah Perang Padri.

IV

Kurun waktu kedua adalah periode yang paling ‘subur’, sehingga bisa dikatakan berupakan periode yang paling banyak melahirkan karya tulis tentang Perang Padri. Ada dua puluhan tulisan  yang terbit pada kurun waktu ini. Tidak hanya jumlahnya yang banyak, tetapi corak dan penulisnya juga beragam.

Tulisan yang khusus mengenai Perang Padri masih tetap ada, namun persentase dan ragamnya semakin berkurang. Umumnya karya khusus ini berbentuk artikel yang terbit di jurnal. Tulisan yang paling terkenal adalah karya Kielstra (1887- 1890), Hart (1876), Gerlach (1860, Ronkel (1915).

Di samping karya khusus, ada karya yang membincangkan Perang Padri namun sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain. Beberapa contoh tulisan bentuk ini adalah karya Veth (1867),  Hooyer (1895), Bosch (1864), Joustra (1923), Buys (1896).

Perspektif yang tampil dari karya-karya yang terbit pada kurun waktu ini masih menempatkan kaum Padri sebagai para fanatik, pemberontak, kejam, menganut ideologi kekerasan, dlsnya. Sebaliknya, Belanda masih digambarkan sebagai pihak yang ingin menciptakan rust en orde, serta membawa kemakmuran untuk daerah Sumatra Barat.

Satu pengecualian dari pandangan itu adalah karya Schrieke. Penulis ini mencoba melihat Gerakan dan Perang Padri sebagai revolusi sosial dan intelektual di kalangan orang Minangkabau. Sebuah gerakan yang ingin menata ulang tatanan sosial masyarakat Minangkabau dan pemberian peluang kepada kalangan intelektual untuk tampil dan unjuk intelektualitas mereka bagi kebaikan umat dan masyarakat.

Seperti disebut di atas, pada periode ini karya-karya Fakhir Saghir dan Tuanku Imam Bonjol mulai mendapat perhatian peminat sejarah Barat (Belanda). Ada upaya pengalihaksaraan dan pemberian tinjauan kritis terhadap karya-karya ini oleh ilmuan Belanda (Hollander 1857) dan Ronkel (1915).

Karya-karya Schrieke, Hollander dan Ronkel bisa pula dikatakan sebagai tonggak baru dalam historiografi kolonial dalam memandang Perang Padri. Tonggak baru historiografi Perang Padri yang menghadirkan perspektif lebih moderat dibandingkan dengan karya-karya penulis lain yang sangat kentara pandangan neerlandosentrisnya. Perspektif  ketiga penulis yang disebut terakhir ini pulalah yang disambut oleh penulis “Urang Awak” yang melahirkan karya tentang Perang Padri dari perspektif non-kolonialsentris.

V

Pada periode ketiga, secara kuantitas, jumlah tulisan mengenai Perang Padri tidak banyak. Jumlahnya bisa dikatakan hanya sebanyak bilangan jari tangan. Namun ada perubahan yang sangat signifikan pada kurun waktu ini. Perubahan-perubahan itu antara lain: pertama, tampilnya Urang Awak sebagai penulis; kedua, ‘digesernya’ fokus penulisan dari sejarah perang secara keseluruhan ke penulisan sejarah tokoh (Padri); ketiga, dikaitkannya penulisan sejarah dengan semangat nasionalisme dan patriotisme; keempat, dijadikannya sejarah Perang Padri sebagai bagian dari rekonstruksi sejarah daerah, regional, dan nasional; kelima, berkurangnya dengan drastis keterlibatan sejarawan (penulis sejarah Belanda) dalam penulisan sejarah Perang Padri.

Karya-karya penulis Belanda memang berkurang dengan drastis pada periode kelima ini. Walaupun demikian, ada juga yang menarik dari karya penulis Belanda yang sedikit itu, yakni dijadikannya Perang Padri sebagai salah satu bahasan dalam apa yang dinamakan ‘buku babun’ sejarah Hindia Belanda, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, yang dieditori Stapel (1938-1940).

Buku pertama karya Urang Awak tentang Perang Padri pada periode ketiga ini adalah karya L. Dt. R Dihoeloe yang berjudul Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam (1939). Bukunya tipis (41 halaman) sehingga pengalaman dan kejadian sejarah yang disajikan hanya secara sekilas pintas saja atau sangat umum sifatnya. Walaupun sebagai besar isi buku ini ditujukan kepada Tuanku Imam Bonjol, namun sajiannya sangat banyak dan itu terlihat jelas dari banyak ‘bab’ yang disajian seperti: negeri asal uanku Imam Bonjol, ‘biografi’ beliau, pertentangan kaum hitam dan kaum putih (paling panjang), Tuanku Imam Bonjol dan ulama yang mengembangkan agama Islam, Tuanku Imam Bonjol menjadi pemimpin (tuanku), pembahasan mengenai kubu dan benteng pertahanan, selanjutnya mengirim utusan ke Mekkah untuk mengetahui dakwah dan Islam yang sesungguhnya, kemudian perang antara kaum Padri dengan kaum adat yang meminta bantuan kepada Belanda, serta terakhir Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang.

Dengan kata lain, dalam buku ini sangat sedikit narasi mengenai perang antara kaum Padri dengan Belanda yang mendukung kaum adat. Hal ini bisa dimaklumi, karena saat buku ini ditulis Belanda masih berkuasa sehingga tidak mungkin memberikan pandangan yang berbeda (non-belandasentris) terhadap keterlibatan Belanda dalam Perang Padri. Karena itu, fokus kajian dialihkan kepada Tuanku Imam Bonjol sebagai pejuang Islam, bukan penjuang daerah atau bangsa/negara, walapun konsep nation (Indonesia) sudah ada saat itu. Di samping  pengalihan fokus kajian dengan menyebut pejuang Islam, karya L. Dt. R. Dihulu ini juga menekankan penciptakan  kehidupan yang damai antara orang Padri dan kaum adat (di Bonjol) dengan mengajukan konsep keserasian antara adat dan Islam, dengan melahirkan kesepakatan ‘Adat bersendi sjara’, sjara’ bersendi kitaboellah’.

Segera setelah pengakuan kedaulatan terbit lagi satu buku yang khusus menampilkan Tuanku Imam Bonjol. Buku yang dikarang oleh Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini berjudul Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951). Ada perbedaan yang sangat jelas dari judul buku karya L. Dt. R Dihoeloe. Dalam buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini telah ada kata-kata ‘kemerdekaan’. Jadi, dalam buku Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki Tuanku Imam onjol sudah dikatakan berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu Indonesia sudah merdeka dan Belanda hengkang.

Berbeda juga dengan L. Dt. R Dihoeloe, buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini lebih banyak menyajikan campur tangan Belanda dalam kehidupan masyarakat Sumatra Barat (Minangkabau) dan lebih banyak mengungkapkan jalannya perang antara kaum Padri (dan juga orang Minang) dengan Belanda. Tidak itu saja, dalam buku ini juga ditampilkan heroismenya kaum Padri (dan orang Minang), serta ditampilkan juga taktik licik Belanda, termasuk strategi berdamai Stuers, tipu muslihat lewat Plakat Panjang, dlsbnya.

Karena buku ini ditujukan untuk menganjungkan Tuanku Imam Bonjol, maka pada bagian akhir buku ini ditampilkan bagaimana baiknya Tuanku Imam Bonjol dibandingkan dengan Tuanku Pasaman dan Tuanku Nan Renceh. Dikatakan “…Tuanku Imam Bondjol ada mempunjai kebidjaksanaan, sehingga beliau hampir tiada mendapat perlawanan dari penghulu-penghulu dan anak negeri, melainkan segala golongan anak negeri suka menolong beliau…..’, dan banyak lagi pernyataan yang senada dengan itu. Puji-pujian seperti ini disajikan pada empat setengah halaman lebih.

Hal ini bisa dimaklumi, karena tujuan penulisan buku ini adalah mere-rekonstruksi penulisan sejarah Tuanku Imam Bonjol khususnya dan sejarah Perang Padri umumnya dengan perspektif baru, sesuai dengan semangat baru, semangat Indonesia merdeka.

Penulisan sejarah adalah bagian dari dekolonisasi yang dilakukan orang dan bangsa Indonesia. Penulisan sejarah saat itu ingin ‘membersihkan’ Tuanku Imam Bonjol dan kaum Padri dari warna hitam yang dilumurkan penulis kolonial terhadap mereka.

Senada dengan ikhtiar Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Muhammad Radjab menulis buku Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838) (1954). Buku dengan ketebalan hampir 500 halaman ini bisa dikatakan sebagai sajian mendetil mengenai Perang Padri. Buku ini sangat kaya dengan penceritaan mengenai aksi militer, pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, serta pasukan bantuan (Hulptroepen) dari berbagai etnis di Nusantara. Tidak hanya lokasi di mana perang/pertempuaran terjadi yang disajikan, tetapi juga ditampilkan jumlah tentara dan jenis atau banyak senjata yang dilibatkan. Disajikan juga banyak korban yang jatuh serta strategi-strategi peran yang dijalankan kedua belah pihak.

Buku Muhammad Radjab adalah kisah Perang Padri dalam bahasa Indonesia yang paling lengkap. Karya ini dibuat berdasarkan referensi yang banyak mengenai Perang Padri. Radjab menggunakan hampir semua referensi utama mengenai Perang Padri, yakni karya-karya ditulis oleh para pelaku sejarah atau saksi sejarah, karya-karya yang terbit pada periode pertama dan kedua historiografi Perang Padri.

Sebagai karya pada era dekolonisasi Indonesia dalam segala bidang, termasuk penulisan sejarah, maka Belanda dalam buku ini dikesankan sebagai penjajah dan kaum Padri (orang Sumatra Barat) sebagai orang yang ingin mengenyahkan Belanda, serta ingin memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Belanda dikesankan sebagai bangsa yang suka mengingkari janji, Belanda memiliki siasat licik. Sebaliknya semangat nasionalisme dan partriotisme dikalangan kaum Padri dan orang Minang, serta juga orang Jawa (Sentot pasukannya) sangat ditonjolkan. Karena itu dalam buku ini ditemukan banyak narasi tentang Sentot Ali Basya yang sebelumnya bersekutu dengan Belanda akhirnya bergabung dengan orang Minang melawan Belanda. Juga disebutkan ada banyak anggota pasukan Sentot yang desersi karena bergabung dengan kaum Padri. Bahkan penangkapan Sutan Alam Bagagar Syah dikatakan juga sebagai akibat dari berpihaknya dia kembali pada bangsa dan negara (walaupun kemudian tidak terbukti).

Di samping menampilkan perspektif indonesiasentris, sebagaimana disebut H.A.J. Klooster (1980), buku-buku mengenai Perang Padri  yang terbit pada periode ketiga ini juga sarat dengan nilai-nilai kedaerahan. Penulisnya adalah orang daerah dan terasa sekali nuansa penonjolan sejarah daerah dalam karya mereka. Namun, karena karya ini ditulis dalam kerangka dekolonisasi, maka sejarah yang ditampilkan adalah sebagai bagian dari sejarah nasional. Dukungan Sentot dan pasukannya terhadap kaum Padri (orang Minang) dan dukungan Tuanku Rao, serta Tuanku Tambusai (yang secara etnik bukan orang Minang) adalah perwujudan sejarah daerah dalam kerangka sejarah nasional itu.

Di samping dalam bentuk buku utuh, periode ketiga ini juga menghadirkan tulisan mengenai Perang Padri sebagai bagian dari buku yang ditulis dengan tema yang lain. Setidaknya ada dua tulisan dalam bentuk ini, yakni buku Sedjarah Minangkabau karya Dali Mutiara (1946) dan buku Propinsi Sedjarah Sumatera Tengah yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan (1953). Penulis buku kedua ini adalah juga Urang Awak (Decha et.al).

Karena sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain, maka pembahasan tentang Perang Padri relatif sedikit dalam kedua buku di atas. Namun, sebagai karya yang ditulis sesudah kemerdekaan, maka dalam kedua buku ini Perang Padri dikatakan sebagai perang melawan penjajah, perang yang ditujukan untuk memerdekakan Minangkabau/Sumatra Barat khususnya dan Indonesia umumnya dari cengkeraman kolonialis Belanda.

Tanpa mengabaikan arti buku karya Dali Mutiara dan terbitan Kementerian Penerangan, karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Perintis Djalan ke Kemerdekaan dan Muhammad Radjab Perang Padri di Sumatera Barat bisa dikatakan sebagai klimaks tulisan mengenai Perang Padri untuk periode ketiga. Tidak ada karya lain yang ditulis atau diterbitkan pada periode ini lagi, dan tidak ada pula karya lain yang melebihi luasnya pembahasan tentang Perang Padri atau tokoh Padri dari kedua buku ini.

VI

Periode keempat historiografi Perang Padri menghadirkan dua fenomena yang sangat menarik. Fenomena yang pertama adalah tidak ada lagi Urang Awak yang menulis tentang Perang Padri secara serius (berupa buku). Kalau pun hanya berupa tulisan singkat dan cetak ulang atas buku karya Urang Awak yang telah terbit sebelumnya. Fenomena kedua, adalah hadirnya karya mengenai Perang Padri yang ditulis oleh penulis orang Indonesia non-Minang (Batak) dan dengan perspektif yang sangat jauh berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya. Perspektif yang ditampilkan adalah kaum Padri adalah kaum fanatik, brutal, kejam, tangan dan pedang mereka penuh darah, serta aksi yang penuh dengan pemaksanaan. Aksi mereka sama dengan aksi teror. Perspektif yang ditampilkan ini mencari ciri khas dari historiografi Perang Padri periode keempat.

Master peice untuk historiogfai periode keempat ini adalah karya Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongki Nangongolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Teror Islam Marzab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 (1964). Seperti disebut oleh Parlindungan, dia menulis karyanya itu berdasarkan sumber-sumber sejarah keluarga yang diwariskan moyangnya (namun sayang sekali, seperti kata penulis, bahan-bahan itu sudah tidak ada lagi). Parlindungan juga mengaku bahwa bukunya ini ditulis sebagai hadiah untuk anak-cucunya tentang ‘sejarah keluarga’.

Buku ini diterbitkan pada tahun 1964, pada saat orang Minangkabau di Sumatra Barat baru saja dilibas habis oleh tentara pusat karena pemberontakan PRRI. Aksi PRRI memang direspon secara keras dan represif oleh Jakarta. Tindakan keras dan represif Jakarta itu dilakukan dalam segala aspek, mulai dari tindakan fisik hingga penghancuran mental. Termasuk juga penghilangan kebanggaan orang Minang akan masa lalunya. Penghilangan kebanggaan akan masa lalu itu, salah satu diantaranya diwujudkan penulisan ulang buku-buku sejarah. Ada perspektif baru dalam penulisan sejarah Minangkabau ditulis pada masa pemerintahan militer itu.

Ada banyak contoh untuk kasus ini, salah satu di antaranya adalah penghapusan kebanggaan orang Minangkabau akan ‘kecerdikan’ mereka ‘menipu orang Jawa’ dalam tambo, historiografi tradisional mereka. Kebanggaan seperti ini dihilangkan dalam historiografi pasca-PRRI. Hal ini bisa dilihat pada Tambo Minangkabau (B. Dt. Nagari Basa 1964). Tambo itu telah mengalami perubahan total dari versi sebelumnya. Bila dalam tambo lama dikatakan bahwa asal usul nama Minangkabau dikaitkan dengan adu kerbau orang Minang dengan orang Jawa dan kerbau orang Jawa kalah, maka dalam tambo B. Dt. Nagari Baa dikatakan asal usul nama itu berasal dari adu kerbau orang Minang dengan saudagar Aceh, yang kalah adalah kerbau orang Aceh. Pesan yang tersirat dalam perspektif  baru ini adalah Jawa tidak boleh dianggap kalah (oleh orang Minang) untuk masa itu. Kebetulan yang berkuasa di Sumatra Barat saat itu adalah para petinggi militer dari Jawa, dan orang jawa dari kalangan militer (tentara) sangat banyak jumlah di Sumatra Barat saat itu.

Penulisan buku Parlindungan adalah juga bagian dari upaya itu. Dalam buku ini kaum Padri, Perang Padri, ideologi Padri (agama Islam yang mereka bawa dan dakwahkan), dan orang Minang secara keseluruhan digugat dan dicerca sehabis-habisnya. Bagaikan kutu, kaum Padri, ideologi Padri dan bahkan Urang awak ditindas habis dalam buku tersebut.

Parlindungan bisa bersilantas angan menindas, menggugat serta mencerca kaum Padri, ideologi Padri dan Urang Awak, karena saat itu orang Minang dalam kondisi tidak berdaya sama sekali. Kalaupun ada orang Minang yang tengah memegang posisi hebat di pusat pemerintahan (Jakarta), maka mereka adalah bagian dari rezim yang berkuasa saat itu, rezim yang melumatkan orang Minang di Sumatra Barat.

Segera setelah terbit, karya Parlindungan mendapat apresisi dari sejumlah sejarawan muda Minang (yang umumnya besar di rantau) dan kurang atau tidak memiliki ikatan historis dengan kebanggaan akan masa lalu Minang. Mereka ini pulalah yang tahun 1970 menulis buku Sedjarah Minangkabau, serta meminta endorsemen Parlindungan atas buku yang mereka tulis. Namun, bagi sebagian besar orang Minang, terutama kalangan tua, yang telah tampil di panggung sejara sebelum PRRI, karya Parlindungan itu dianggap sebagai ‘tidak benar’. Salah satu di antaranya mereka yang mengeritik karya Parlindungan ini adalah Hamka. Dan sebagai layaknya orang hebat, Hamka menyampaikan kritiknya melalui buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (1974).

Seperti yang akan dibicarakan nanti, Hamka bisa mengeritik buku Parlindungan karena zaman telah berubah dan angin telah berganti arah. Perubahan zaman ternyata juga membuat buku Parlindungan tidak begitu ramai dibincangkan sejak tahun-tahun terakhir 1960-an (barangkali demi menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana prinsipnya Orde Baru). Seperti juga yang akan dibicakan nanti, buku Parlindungan ini ramai lagi dibincangkan para Era Reformasi. Sekali lagi, itu bisa terjadi karena zaman juga telah berubah.

Sebelum mengakhiri bahasan pada bagian ini, perlu juga disampaikan, seiring dengan terbitnya buku Parlindungan juga terbit tulisan Urang Awak tentang Perang Padri. Tapi karya itu nyaris tidak ada gaung dan relatif tidak mendapat perhatian pembaca. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya edisi revisi buku Pusaka Indonesia, Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air karya Tamar Djaja (1964). Dalam buku ini disebutkan ada empat tokoh Padri (Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam, dan Tuanku Tambusai). Di samping itu, dalam buku ini juga ditampilkan Sutan Alam Bagagar Syah.

Periode ini juga ditandai dengan cetak ulang buku yang telah diterbitkan sebelumnya. Dua buku yang dicetak ulang tersebut Tuanku Imam Bondjol, Perintis Djalan Ke Kemedekaan (1964) dan Perang Padri (1964).

Periode keempat, adalah sebuah peiode yang paling dinamis dalam historiografi Perang Padri pasca-proklamasi kemerdekaan. Sebab ada tulisan dan penulis yang tampil dengan perspektif baru dan itu betul-betul mewakili  zaman saat buku itu ditulis. Tulisan yang melanggar ‘pakem’ penulisan Perang Padri pada era selepas perang, yang sejatinya masih mengedepankan atau menonjolkan aspek nasionalisme, patriotisme serta semangat persatuan san kesatuan bangsa.

VII

Seperti disebut di atas, periode kelima historiografi Perang Padri ditandai dengan adanya perubahan zaman di Indonesia, dan itu bisa terjadi karena adanya perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagaimana yang terjadi di tempat lain di Indonesia, di Sumatra Bara, peralihan zaman ini juga ditandai dengan adanya proses ‘deordelamaisasi’. Segala yang berbaru Orde Lama dikritik dan dihujat. Temasuk penulisan sejarahnya.  Dalam konteks inilah bisa kita terima, mengapa pada awal tahun 1970-an, Hamka menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” yang isinya mengeritisi karya Parlindungan. Buku ini sesungguhnya adalah kelanjutan dari tulisan-tulisan Hamka yang sebelumnya (1969-1970) telah terbit dalam surat kabar Haluan.

Buku Hamka ini adalah satu-satunya karya yang tampil beda pada kurun waktu kelima historiografi Perang Padri. Karya Hamka adalah satu-satunya karya yang menyajikan narasi dan penceritaan dengan sumber yang baru. Di samping menyanggah tulisan Parlindungan yang dikatakannya 98 % dusta, karya Hamka ini memberikan sebuah informasi yang baru mengenai sejarah Perang Padri khususnya dan sejarah Islam di Sumatra (Indonesia) umumnya, informasi yang didasarkan pada sumber-sumber yang tidak digunakan dalam tulisan penulis Belanda atau Urang Awak sebelumnya.

Karya Hamka ini adalah satu-satunya karya yang menampilkan diskursus intelektual orang Minang dalam penulisan sejarah Perang Padri. Karya-karya lain yang terbit pada periode kelima ini, adalah karya-karya yang dikategorikan sebagai ‘karya-karya biasa’ saja.

‘Karya-karya biasa’ adalah penamaan terhadap karya yang dibuat ‘hanya’ dengan menulis ulang karya-karya yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, relatif tidak ada novelty dari karya-karya tersebut.

Apalagi, karya-karya yang terbit pada saat itu termasuk pula pada kategori buku-‘buku proyek’.  Walaupun ada juga yang tinggi kualitasnya, namun sebagian besar ‘buku proyek’ dinilai mengandung makna hampir sama dengan pengertian ‘karya-karya’ biasa di atas.

Aspek perang kurang mendapat pembahasan khusus pada periode kelima ini. Kalau pun ada, maka pembahasannya berupa bagian dari karya dengan tema yang lain. Sebagai gantinya, buku-buku mengenai Perang Padri yang terbit pada saat itu lebih mengarah pada penceritaan tokoh Padri. Di samping Tuanku Rao, ditulis juga riwayat hidup Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol (Mahdin Said 1969; Sjafnir Abu Naim 1979; Mardjani Martamin 1983). Di samping itu juga ada karya mengenai tokoh non-Padri, namun nama dan peran sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari Perang Padri, yakni Sutan Alam Bagagar Syah (Mardanas Sjafwan 1975).

Penerbitan karya-karya tokoh yang terlibat Perang Padri ini juga ada hubungannya dengan upaya pemberian gelar pahlawan nasional kepada mereka, serta upaya untuk menjadikan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Masa Orde Baru juga ditandai dengan maraknya penulisan sejarah tokoh, yang dikatakan berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka, walaupun pada saat mereka hidup dan berperang konsep Indonesia sebagaimana yang dipahami dewasa ini belum ada. Sebagai imbalan dari perjuangan mereka itu maka mereka diangerahi gelar pahlawan, salah satu diantarany adalah pahlawan nasional. Tuanku Imam Bonjol diangerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 1973 dan Tuanku Tambusai tahun 1995. Sedangkan penulisan buku tentang Sutan Alam bagagar ada hubungannya dengan upaya pelegitimasian pemindahan makam beliau dari Mangga Dua ke Taman Makam Pahlawan.

Jadi aspek keilmuan kurang menonjol dari buku-buku yang ditulis dengan genre ini.

Tidak diragukan pula, bahwa periode kelima ini juga ditandai dengan munculnya karya-karya sejarah Perang Padri yang ditulis dengan standar akademis yang tinggi, karena penulisannya ditujukan untuk meraih gelar akademis tertinggi. Tidak hanya itu, karya-karya dalam bentuk ini bahkan menghadirkan penafsiran baru mengenai latar belakang dan jalannya Perang Padri. Karya Chrisine Dobin adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Dobbin melihat Perang Padri tidak dari persoalan konflik antara kaum pembaharu Islam (kaum Padri) dengan kaum anti pembaharuan (kaum adat), atau tidak hanya melihat Perang Padri dari keinginan para fanatik untuk mengadakan pembaharuan kehidupan beragama semata, tetapi juga digerakkan oleh adanya dorongan ekonomi yang dilatarbelakangi  oleh adanya kebangkitan ekonomi daerah, serta masuknya orang (daerah) Minangkabau pada aktivitas ekonomi tingkat regonal atau global (Dobbin 1983). Pandangan Dobbin itu diperkuat puloa oleh Kato yang mengatakan bahwa “….gerakan Padri tampaknya lebih dari sekedar perselisihan paham mengenai ajaran Islam… atau pertentangan di antara adat dan agama. ….gerakan Padri juga merupakan satu usaha untuk mencari jalan lain supaya dapat mempersatukan dan memperkuat Alam Minangkabau (Kato 1982). Jauh sebelum Dobbin dan Kato, Taufik Abdullah (1967; 1971) juga telah melihat Perang Padri dalam perspektif lain, perspektif perubahan sosial (inletelektual) orang Minang. Beda Kato dan Taufik Abdullah dengan Dobbin adalah bahwa Kato dan Taufik Abdullah menjadikan pembahasan mengenai Perang Padri hanya sebagai bagian dari karya mereka dengan topik dan tema yang lain, sedangkan Dobbin lebih fokus pada Perang (Gerakan) Padrinya.

Di samping tiga tulisan di atas, ada beberapa tesis dan skripsi yan juga membicarakan Perang Padri, namun karena dibuat setelah tiga karya monumental itu terbit maka apa yang ditampilkan dalam tesis atau skrispi itu bisa dikatakan ‘pengikut’ dari karya Taufik Abdullah, Dobbin dan Kato.

Satu lagi hal yang menarik mengenai sejarah Perang Padri pada periode kelima ini adalah dijadikan kisah perang ini sebagai bahan ajar dalam buku-buku teks sejarah yang digunakan berbagai jenjang pendidikan. Dan ketika pemerintah menulis serta menerbitkan buku Sejarah Nasional Indonesia (1975), Perang Padri juga mendapat tempat yang cukup banyak dalam buku babun sejarah Indonesia itu.

Peran dan campur tangan pemerintah cukup menonjol dalam penulisan sejarah Perang Padri pada kurun waktu itu.

VIII

Periode keenam dalam historiografi Perang Padri bersamaan juga dengan terjadinya perubahan politik di Indonesia, yakni berakhirnya  era Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi. Dalam sejarah penulisan sejarah Indonesia, Era Reformasi juga ditandai dengan keinginan untuk ‘meluruskan’ atau menulis ulang sejarah nasional. Keinginan itu diwujudkan dengan terbitnya buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), sebuah buku yang merupakan karya bersama puluhan sejarawan Indonesia.

Era Reformasi juga ditandai dengan terbitnya buku atau karya sejarah yang menampilkan tindak kekerasan yang pernah terjadi di masa lampau. Hal ini, misalnya , ditandai dengan terbitnya buku-buku mengenai aksi kekerasan yang dialami pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kecenderungan menulis kekerasan yang dialami oleh suatu kelompok masyarakat di masa lampau akhirnya juga merambah masuk ke penulisan sejarah Perang Padri. Sehubungan dengan itu, buku Tuanku Rao karya Parlindungan yang sarat dengan narasi kekerasan dicetak ulang. Buku ini mendapat sambutan luar biasa dari pembaca dan laris manis.

Dicetak ulang pada era semua orang boleh menyampaikan apa yang ingin disampaikannya (era kebebasan yang kebablasan), maka segera setelah terbitnya buku ini muncul gugatan terhadap kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Berdasarkan sajian buku Tuanku Rao, Muhdi Situmorang, seorang Batak, yang merasa keturunan dari korban kekerasan kaum Padri membuat petisi agar gelar pahlawan Tuanku Imam Bonjol dicabut. Muhdi berpendapat, Tuanku Imam Bonjol tidak layak menyandang gelar itu. Karena dia adalah tokoh penyebar teror di negerinya pada di masa lalu.

Terbitnya buku Tuanku Rao dan keluarnya petisi Muhdi kemudian dilanjutkan oleh majalah Tempo dengan menyajikan tulisan yang berjudul “Kontroversi Kebrutaralan Kaum Padri” sebagai supplemennya (Tempo, 21 Oktober 2007).  

Kekerasan dan kebrutalan Padri menjadi aspek yang menonjol dalam penulisan Sejarah Perang Padri pada awal Era Reformasi. Perspektif yang sama tetap berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, bahkan sampai beberapa waktu belakangan. Beberapa tulisan dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dipraktikan kaum Padri.Namun berbeda dengan karya Parlindungan dan Tempo, tulisan-tulisan yang dimuat dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dilakukan kaum adat dan Belanda.

Di samping menampilkan aksi kekerasan, penulisan sejarah Perang Padri pada Era Reformasi ini juga mencoba melihat Perang Padri ‘apa adanya’. Cetak ulang buku Tuanku Rao misalnya direspon dengan penerbitan buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidi Harahap (2007) dengan mengajukan sejumlah kritik dan koreksian terhadap karya Parlindungan, serta penulisan sejarah Islam di Tanah Batak (Tapanuli) ‘as actuality was’. Mardjohan (2009) menerbitkan buku Gerakan Padri, Pahlawan dan Dendam Sejarah yang berisikan sejumlah tulisan tentang Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) juga menyajikan narasi Perang Padri dan keterlibatan Tuanku Imam Bonjol ‘sebagaimana adanya’.

Tidak diragukan lagi, hadirnya nuansa kekerasan dalam historiografi Perang Padri pada Era Reformasi tidak bisa dipisahkan dari maraknya aksi kekerasan di Indonesia pada permulaan era ini. Saat itu, terjadi aksi kekerasan di banyak tempat diIndonesia. Ada aksi kekerasan di Ambon, Sambas, Palu, Lampung, Aceh, dan di lain-lain tempat di persada tercinta ini. Tidak itu saja, di tingkat global, kata kekerasan dan teror didengar setiap saat di media elektronik (televisi dan radio) atau dibaca setiap waktu dalam media cetak. Dan orang Islam, apalagi  ‘kelompok radikal’ dianggap sebagai bagian atau aktor utama dari aksi kekerasan itu. Apalagi saat itu ada aksi pemboman WTC dan juga Bom Bali serta ‘kebangkitan’ Taliban. Maka sangat masuk akal jika penulisan sejarah mengenai Perang Padri juga menampilkan Tijdgeest (jiwa zaman) yang sarat dengan aksi kekerasan ini. Apalagi narasi yang ditampilkan oleh Parlindungan dan juga kesaksian Fakih Sanghir dan pengakuan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya cocok pula dengan semangat zaman ini.

IX

Historiografi adalah sebuah kajian sejarah penulisan sejarah. Dalam kajian ini yang dibincangkan adalah apa yang ditulis, siap penulisnya (latar belakang ilmu, ideologi, ’status’ kepenulisan penulis), kapan ditulis (bagaimana jiwa zaman saat ditulis), untuk apa karya itu ditulis, dlsbnya. Kajian historiografi tidak mempersoalkan sahih atau tidaknya sumber yang dipergunakan.

Tujuan utama kajian historiografi adalah untuk memahami bahwa sebuah iven sejarah bisa saja ditulis berulang kali dengan berbagai perspektif, sehingga dengan memahami adanya berbagai perpekstif  tersebut kita akan bisa menerima adanya perbedaan dalam penulisan sejarah. Kajian historiografi akan menyadarkan kita bahwa sebuah karya sejarah sangat dipengaruhi oleh siapa penulisnya, jiwa zaman sat karya itu ditulis, dan untuk apa karya itu ditulis dan diterbitkan.

Dengan pemahaman itu, diharapkan kita lebih dewasa dan bijaksana menerima adanya pernbedaan dalam sebuah penulisan sejarah.

Perang Padri adalah contoh yang paling menarik. Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang (200 tahun), telah lahir sejumlah perspektif  tentang perang itu. Ada karya yang melihat kaum Padri sebagai pemberontak, perusak ketentraman dan kedamaian,  namun ada tulisan yang melihat kaum Padri sebagai pejuang yang berperang menghadapi Belanda untuk mencapai kedamaian, mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia. Ada tulisan yang mengatakan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemberontak atau teroris, namun ada pula yang mengatakannya sebagai pejuang kemerdekaan dan penyatu antarberbagai kelompok masyarakat (etnik).

Adanya perspektif, sudut pandang dan pemahaman yang tidak sama sekaligus menyadarkan kita bahwa Perang Padri ditulis oleh penulis dalam berbagai kurun waktu dengan berbagai jiwa zaman yang berbeda. Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, karena sudut pandang dan pemahaman sejarah sesungguhnya adalah refleksi zaman. Setiap zaman akan menghadirkan penulisan sejarah (terhadap objek yang sama) sesuai dengan perspektif zaman dia ditulis. Kenyataan ini akan menyakinkan kita akan diktum yang disampaikan sejarawan Italia, Benedigto Grooce yang berbunyi, ogni vera storia, e storia comtemporanea (sejarah yang benar, adalah sejarah masa kini). Karena itu, tidak perlulah kita risau atau sampai uring-uringan bila ada sebuah karya tulis yang tampil dengan perspektif dan sudut pandang yang berbeda dari perspektif dan sudut pandang kita. Tidak perlu pula kita risau dan uring-uringan bila ada suara yang menggugat sebuah tulisan sejarah. Terimalah itu sebagai ‘sunatullah’.  Sebab perbedaan itu adalah hakikatnya sejarah dan penulisan sejarah.

Daftar Kepustakaan:

Basyral Hamidi Harahap, Greget Tuanku Rao. Depok: Komunitas Bambu, 2007.

B..d., ‘De Padries op Sumatra’, Indische Magazijn, 1845: 2.

B. Dt. Nagari Basa¸ Tambo Minangkabau. Pajakumbuh: Elionora, 1964.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Buys, M., Twee Jaren op Sumatra’s Westkust. Amsterdam: A. Akkeringa, 1886.

Dali Mutiara, Sedjarah Minangkabau. Djokja: Moetiara, 1946.

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951           .

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.  London: Curzon Press, 1983.

 — , ‘Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830’ dalam Indonesia, 1977: 23.

 — , ‘Tuanku Imam Bondjol (1772-1864) dalam  Indonesia, 1972: 13.

Francis, E., Herinneringen uit den Levensloop van een’ Indisch’ Ambtenaar van 1815 tot 1851. Medegedeeld in Brieven (I, II, III). Batavia, 1856-59.

H., v.d., ‘Oorsprong der Padaries’ dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1838: I.

Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Hollander, J.J. de (ed.), Sjech Djilal Eddin: Verhaal van den Aanvang der Padri-Onlusten op Sumatra. Leiden: E.J. Brill, 1857.

Hooyer, G.B., De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsch-Indie van 1811 tot 1894 (3 Deelen). The Hague/Batavia: De Bebr. van Cleef/G. Kolff & Co. , 1895.  

Joustra, M., Minangkabau: Overzicht van het Land, Geschie­denis en Volk. Leiden: Drukkerij Louis H. Becherer, 1923.

Kato, Tsuyoshi, Matriliny and migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 1982.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , ‘Het Ontstaan van den Padrie-Oorlog’ dalam Indisch Militair Tijdschrift, 1887: II.

Klooster, H.A.J., Indonesiers Schrijven Hun Gechiedenis: De Ontwikkeling van de Indoneisiche Geschiedbeofening in Theori en Praktijk 1900-1980. Dordrecht/ Cinaminson: Foris Publication, 1985.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Parlindungan, M.O., Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. TerrorAgama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak. 1816-1833. Djakarta: Tandjung Pengaharapan, 1964.

Mahdin Said, Rokan. Tuanku Tambusai Berdjuang. Padang: Sri Dharma, 1969.

Mardanas Safwan, Sultan Alam Bagagar Syah (1789-1849). Jakarta: Panitia1975.

Mardjani Martamin, Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983.

Mardjohan (ed.), Gerakan Paderi, Pahlawan dan Dendam Sejarah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009,

M.D. Mansoer et al. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara. 1970

Muhammad Radjab, Perang Padr di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Propinsi Sumatera Tengah. Djakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953.

Raffles, Sophia, Memoirs of the Life and Public Servives of Sir Stamford Raffles. Londion: John Murray, 1830.

Ronkel, Ph.S. van, ‘Inlandsche getuigenissen aangaande den Padri-Oorlog’, Indische Gids, 1915, XXXVII.

Schrieke, B. J.O., ‘Bijdrage tot de Bibliografie van de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust’, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1920: 59.

Stein Parve, H.A., ‘De Secte der Padaries (Padries) in de Bovenlanden van Sumatra’ dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1855: 3.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stapel, F.W. (d.), Geschiedenis van Nederlandsch Indie (5 Deelen). Amsterdam: Jost van der Vodelt, 1838-40.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia (Riwajat Hidup Orang Besar Tanah Air. Djakarta: Bulan Bintang, 1964.

Taufik Abdullah et.all. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemendikbud, 2012.

Taufik Abdullah, ‘Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies in Social Development’, M.A. Thesis, Cornell University, 1967            .

 — , , School and politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Ithaca, New York: Cornell University, 1971            .

Tempo, 21 Oktober 2007.

Veth, P.J., Schets van het Eiland van Sumatra. Amsterdam: P.N. van Kampen, 1867.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti tersendiri bagi keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Sayangnya, penulisan sejarah selama ini cenderung mengerdilkan arti perang itu bagi mereka, sehingga yang banyak dikemukakan hanyalah mengenai penangkapan (serta pembuangan) Sutan Alam Bagagar Syah dan pembunuhan keluarga kerajaan oleh kaum Padri. Dengan kata lain, penulisan sejarah selama ini kurang menampilkan adanya sejumlah sosok lain dari keluarga kerajaan serta pengalaman sejarah yang mereka alami. Di samping itu penulisan sejarah selama ini juga kurang menampilkan hubungan (harmoni dan konflik) antara keluarga kerajaan dengan pelaku lain dari Perang Padri, seperti Belanda, kaum Padri, kelompok adat, dlsbnya.

Tulisan ini mencoba merekonstruksi keberadaan dan pengalaman sejarah keluarga kerajaan Pagaruyung secara lebih menyeluruh, serta menyajikan kerjasama dan konkurensi antara mereka dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri.  

Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab pada kesempatan ini. Beberapa di antaranya adalah: Bagaimana proses keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung dalam Perang Padri? Siapa-siapa saja anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung yang tampil di panggung sejarah saat itu? Apa saja peran sejarah yang mereka lakoni? Bagaimana pula keharmonisan yang tercipta dan konflik yang terjadi antara keluarga kerajaan dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri? Sejauh mana keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung serta respon pemerintah Belanda dan pelaku Perang Padri yang lain terhadap keberadaan Kerajaan Pagaruyung?

II

Keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dalam Perang Padri dapat dibagi kedalam dua pokok pembahasan. Pertama, keterlibatan pada masa sebelum perang; dan kedua, keterlibatan pada kurun waktu perang berlangsung.

Keterlibatan pada masa sebelum perang bisa pula dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, keterlibatan karena ‘dipaksa terlibat’ oleh kaum Padri; dan kedua, keterlibatan sebagai reaksi atau respon atas pemaksaan yang dilakukan kaum Padri.

Keterlibatan dalam pengertian pertama, berawal dari pembunuhan yang dilakukan Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman dan kawan-kawannya terhadap sejumlah anggota  keluarga kerajaan. Tuanku Lintau dan kawan-kawannya, sebagai bagian dari kaum Padri, telah menyeret keluarga kerajaan ke dalam pusaran revolusi sosial dan keagamaan yang mereka kobarkan sejak tahun-tahun permulaan abad ke-19. Mereka melibatkan keluarga kerajaan ke dalam revolusi yang mereka sulut karena hingga saat pembunuhan dilakukan, keluarga kerajaan menempatkan diri mereka pada posisi netral, tidak berpihak kepada Padri dan tidak pula kepada kelompok non-Padri.

Kaum Padri tidak bisa menerima sikap netral itu. Di tengah revolusi yang mereka cetuskan, sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap ajaran yang mereka anut hanya ada dua, setuju atau tidak setuju. Pihak yang setuju akan dirangkul dan dijadikan kawan dan pihak yang tidak setuju akan dianggap sebagai musuh. Dilandasi oleh ideologi kekerasan yang mereka amalkan, maka pihak yang tidak setuju boleh diserang atau dibunuh. Deskripsi sejarah yang dibuat oleh pihak Padri, seperti Tuanku Imam Bonjol atau saksi sezaman dari kalangan modernis, seperti Fakih Sanghir membuktikan pernyataan ini. Dari karya kedua tokoh ini diketahui bahwa kekerasan dan pembunuhan mewarnai sejarah dakwah kaum Padri. Atas dasar itulah sejumlah anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dibunuh oleh Padri. Aksi pembunuhan itu terjadi dalam pertemuan Kototangah, sebuah pertemuan yang diinisiasi oleh Tuanku Lintau. Menurut Stuers dan Kielstra, ada tiga anggota kerajaan yang tewas, yaitu Yang Dipertuan Radja Nari, Yang Dipertuan Raja Tallan dan anak lelaki Raja Muning (tidak disebut namanya). Anggota keluarga kerajaan yang selamat melarikan diri ke daerah rantau, baik Rantau Pesisir di sebelah barat atau Rantau Hilir di sebelah timur Tanah Datar. Stuers menyebut Muning syah, Raja Minangkabau saat itu menyelematkan diri ke Jambi (Kuantan).

Lukisan Seorang Padri {Tuanku Lintau (?), Aktor Intelektual dan Eksukutor Peristiwa Kototangah}
Sumber: Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1839, 2,1

Peristiwa Kototangah adalah klimaks serangan Padri terhadap keluarga kerajaan. Seperti yang akan disebut di bawah nanti, merujuk informasi yang disampaikan Raffles, kaum Padri sesungguhnya menyerang keluarga kerajaan berkali-kali.

Ada berbagai informasi tentang tahun terjadinya peristiwa Kototangah. Sejumlah penulis menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1806, 1812, 1806, dlsbnya. Beragam informasi ini disebabkan oleh tidak adanya tradisi mencatat (menulis) dikalangan Urang Awak. Namun bila melihat apa yang dikatakan oleh Raffles yang sempat bertemu dengan keluarga kerajaan yang selamat, termasuk Tuan Gadis, serta sempat mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, maka bisa dikatakan bahwa pendapat yang menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1816 nampaknya sukar diterima. Mestinya peristiwa itu terjadi sebelum tahun tersebut.

Raffles menyebut saat dia berkunjung ke Pagaruyung, nyaris tidak ditemukan lagi bekas permukiman dan bekas istana di sana. Permukiman itu nampaknya telah lama ditinggalkan. Lokasi di mana istana berdiri telah dikuasai oleh petani. Di bekas tapak istana yang tanahnya subur  telah ditanami mentimun, dan tanah-tanah di sekitarnya telah ditanami dengan tebu.

Membaca keterangan Raffles, sekali lagi, bisa dikatakan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffles.

Penegasan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffes juga bisa kita ambil dari keterangan pejabat Inggris yang saat itu berkuasa di Padang. Tahun 1816 telah ada keluarga Kerajaan Pagaruyung di kota tersebut dan mereka telah meminta bantuan  Inggris untuk menyerang Padri.

Seperti disebut di atas, Raffles sempat bersua dengan Tuan Gadis di Suruaso. Raffles menaruh hormat kepada Tuan Gadis yang disebut dan diakuinya sebagai ganti Raja Minangkabau (karena raja yang sesungguhnya tidak bisa menjalankan fungsi dan perannya). Sebagai bagian dari rasa hormatnya, Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang dan memintanya tinggal di sana. Sesuai dengan namanya, Benteng Simawang adalah sebuah benteng yang dibangun Inggris di Nagari Simawang, di pinggir timur Danau Singkarak. Pembangunan benteng itu sebagai pembuktian oleh Inggris bahwa dia juga memiliki kedaulatan di daerah pedalaman. Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang  dengan tujuan memberi perlindungan kepadanya dari kemungkinan gangguan kaum Padri. Di samping itu, tafsiran lain menyebut bahwa perlindungan yang diberikan Raffles tersebut sebagai respon dari usulan yang diajukan oleh Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, dua anggota Kerajaan Suruaso, yang mendampingi Raffles dalam perjalanannya dari Padang ke pedalaman.

Dalam perjalanan ke pedalamanan, Raffles didampingi oleh lima orang Eropa (termasuk istrinya), 50 tentara dari kesatuan Benggala, sejumlah saudagar terkemuka di kota Padang, ratusan kuli angkat, dan dua keluarga Kerajaan Suruaso (Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam) yang telah mengungsi ke kota Padang.

Merujuk laporan Stuers, Kielstra menyebut bahwa Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam adalah wakil Kerajaan Minangkabau di Padang yang diakui oleh Inggris. Oleh pemerintah Inggris mereka berdua diberi ‘tunjangan hidup’ sebesar f.100,- (Raja Tangsir Alam) dan f.20,- (Sutan Kerajan Alam) per bulan. Hubungan mereka sangat akrab dengan Inggris. Itu pulalah sebabnya, ketika terdengar kabar bahwa Padang akan dikembalikan kepada Belanda, kedua anggota kerajaan tersebut hijrah ke Bengkulu yang saat itu masih dikuasai Inggris.

Namun, pada saat Belanda mengambil alih kekuasaan Inggris di Sumatra Barat, kedua anggota kerajaan itu kembali ke Padang. Mereka juga mengucapkan selamat kepada Belanda yang telah berkuasa kembali. Tidak itu saja, sesampai di Padang mereka menyatakan kesetiaan kepada Belanda dan meminta bantuan kepada Belanda untuk menyerang Padri.

Sikap oportunis mereka ini khususnya dan keluarga kerajaan pada umumnya telah lama dicatat oleh Inggris. Sebagaimana ditulis Marsden, tahun 1781, saat Inggris baru saja mendepak Belanda dari Pantai Barat, datang serombongan utusan Raja Minangkabau ke Padang dan mereka mengucapkan selamat kepada Inggris yang telah berhasil mengusir Belanda. Namun, seorang pejabat Inggris di Padang mengomentari ucapan selamat keluarga Kerajaan Minangkabau itu dengan mengatakan bahwa ucapan yang sama akan disampaikan kepada siapa pun yang berpeluang menggantikan kami (Upon the capture of Padang by the English in 1871, deputations arrived from two of these chiefs with congratulations upon the success of our arms; which will be repeated with equal sincerity to those who may chance to succeed us).

Setelah berkorespondensi dengan Batavia, pemerintahan Keresidenan Padang menerima kedatangan dan ketundukan Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Du Puy, Residen Padang berencana akan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Belanda di daerah ini. Untuk itu mereka juga diberi tunjangan hidup. Namun karena dulu mereka pernah setia kepada Inggris, musuh Belanda, maka tunjangan yang diberikan hanya separo dari yang mereka terima sebelumnya, yakni f.50, – dan f.10,- per bulan.

Dalam rangka merespon permintaan bantuan yang diajukan anggota keluarga kerajaan itu, pemerintah di Padang membentuk satu tim penyelidik keinginan masyarakat mengenai keterlibatan Belanda dalam memerangi Padri. Anggota inti tim ini adalah Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Mereka didampingi oleh 12 orang anggota (menurut Stuers ke-12 anggota itu terdiri dari 12 Inlandsche Soldaten (tentara bumiputra, kemungkinan orang Bugis), sedangkan Lange mengatakan bahwa ke-12 anggota lainnya itu hanyalah penduduk biasa saja).

Hasil penyelidikan tim, sebagaimana dilaporkan kedua ‘toeankoe’ adalah warga pedalaman betul-betul menginginkan campur tangan atau keterlibatan Belanda memerangi kaum Padri.

Bekerja sama dengan atau meminta bantuan kepada Inggris dan Belanda adalah respon atau reaksi keluarga kerajaan terhadap pemaksaan (pembunuhan) yang dilakukan oleh kaum Padri. Permintaan bantuan untuk menyerang Padri kepada Inggris dan Belanda bentuk konkrit respon atau reaksi keluarga kerajaan atas pembunuhan yang dilakukan kaum Padri terhadap kerabatnya. Mereka ingin menuntut balas atas kekejaman kaum Padri terhadap anggota keluarga mereka. Di samping untuk membalas perlakukan Padri, seperti yang akan dibicarakan nanti, permintaan bantuan tersebut juga ditujukan untuk memulihkan keberadaan kerajaan dan mengembalikan raja ke posisinya semula.

Puncak dari move keluarga kerajaan pada periode sebelum perang dan sekaligus menjadi awal perang adalah dibuatnya Perjanjian 10 Februari 1821. Perjanjian itu adalah ‘tiket’ bagi Belanda untuk menguasai Minangkabau dan terlibat secara langsung dalam perang melawan Padri. Perjanjian itu sekaligus pernyataan dukungan, pernyataan takluk dari keluarga Kerajaan Pagaruyung dan Suruaso, serta sejumlah penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya kepada Belanda.

Keterlibatan keluarga kerajaan dalam perjanjian itu sangat nyata. Tiga penandatangan pertama perjanjian adalah keluarga kerajaan, yaitu Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suuaso, dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso. Penandatangan berikutnya adalah 12 penghulu, yang mengatasnamakan lebih dari 100 penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya.

Perjanjian tersebut terdiri dari enam pasal dan lima pasal pertamanya berisikan:

Pasal 1, Kepala-kepala (anggota keluarga kerajaan dan para penghulu) tersebut di atas dengan ini menyerahkan  secara resmi dan mutlak, negeri  Pagaru­yung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-dae­rah di sekeliling Kerajaan Mi­nang­­ka­bau kepa­da pemerin­tah Hindia Belanda

Pasar 2, Kepala-kepala tersebut berjanji dengan sung­guh-sungguh – atas nama mereka dan rakyat maupun ketu­run­­an mereka – untuk patuh dan taat kepada pemerin­tah Hindia Belanda dan sekali-kali tidak akan menen­tang perintah apa pun dari Belanda.

Pasal 3, Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah dise­rah­­kan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari Kaum Paderi, untuk menghancurkan Kaum Paderi dan men­­ciptakan perdamaian di Minang­kabau, peme­rintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam.

Pasal 4, Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli da­lam jum­lah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara de­ngan sebaik-baiknya.

Pasal 5, Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu de­ngan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pa­sal dalam per­janjian.

Pasal keenam berisikan pernyataan tentang perjanjian, tentang perjanjian yang dibuat dengan sumpah yang khidmat, menjunjung Al-Qur’an, disaksikan oleh sejumlah petinggi di Padang. Di samping itu ada keterangan waktu pembuatan perjanjian, serta dibuatnya perjanjian dalam tiga rangkap (1 rangkap dikirim kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, satu rangkap dipegang Residen di Padang, dan satu rangkap dikirim pada Tuan Gadis di Suruaso).

Perjanjian 10 Februari 1821 inilah yang menjadi dasar keterlibatan Belanda dalam perang melawan kaum Padri awalnya dan kemudian perang menghadapi orang Sumatra Barat untuk menguasai daerah ini. Di sisi lain, perjanjian ini adalah titik puncak dari respon keluarga kerajaan terhadap aksi kaum Padri yang membunuh kerabat mereka, membuat mereka terpencar ke mana-mana, dan menghabisi Kerajaan Minangkabau. Perang Padri yang terjadi segera setelah Perjanjian 10 Februari 1821 menghadirkan pengalaman sejarah yang tersendiri pula bagi keluarga kerajaan.

III

Ada lima keluarga Kerajaan (Pagaruyung dan Suruaso) yang banyak mengisi lembaran sejarah Perang Padri. Di samping Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, tiga nama lainnya adalah Raja Muning, Tuan Gadis, dan Sutan Alam Bagagar Syah. Ada peran dan pengalaman sejarah yang berbeda dan menarik dari masing-masing anggota keluarga kerajaan itu.

Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, sebagai sosok yang tinggal di Padang dan aktif membantu Belanda sejak awal, serta dipandang ‘menguasai medan/lapangan’ adalah anggota keluarga kerajaan yang dilibatkan secara langsung dalam kampanye militer yang dilakukan oleh Belanda. Mereka dilibatkan, terutama sekali, pada masa-masa awal kampane militer ke daerah pedalaman. Mereka diminta mendampingi aksi militer yang dipimpin Raaf. Para pejabat di Padang umumnya dan Raaff khususnya meyakini keterlibatan mereka akan banyak membantu aksi militer menghadapi Padri. Mereka diyakini memiliki hubungan yang baik dengan kaum adat atau para penghulu, sehingga akan memudahkan untuk memobilisasi dukungan rakyat.

Namun, walaupun telah membantu Belanda dengan ikut menandatangan Perjanjian 10 Februari 1821, serta ikut mendampingi Raaff menyerang Padri, pada bulan April 1822 Raaff menangkap mereka berdua dan mengirim mereka ke Padang. Kielstra menyebut mereka ditangkap karena dituduh membunuh seorang penghulu di Belimbing. Mereka marah karena sang penghulu serta warga nagarinya tidak bersimpuh atau menyembah kepada mereka. Aksi “main hakim sendiri’ yang mereka lakukan tidak bisa diterima Raaff, aksi mereka tersebut dinilai Raaff dapat menggagalkan pendekatan “winning the heart” yang juga diterapkan komandan tempur tersebut. Apalagi saat pembunuhan dilakukan telah ada beberapa tokoh Padri yang menyerah dengan suka rela.

Sikap tegas Raaff di atas didasarkan pada tidak adanya hubungan pribadi antara dia dengan kedua keluarga kerajaan tersebut. Raaff juga dipandang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang peran sosial-budaya kedua keluarga kerajaan tersebut, serta tidak mengetahui hubungan antara kedua keluarga kerajaan itu dengan pemerintah Belanda di masa lampau.

Apapun tafsiran yang dikemukakan, yang jelas baru saja kedua anggota keluarga kerajaan itu terlibat secara langsung dalam Perang Padri, mereka telah menjadi korban perang yang mereka kobarkan.

Keluarga kerajaan selanjutnya yang tampil ke panggung Perang Padri dan berurusan dengan Raff, serta kemudian juga menjadi korban kebijakan Raff adalah Muning Syah, Raja Pagaruyung (Minangkabau) yang melarikan diri ke Kuantan.

Raja Muning, yang nama dan gelar lengkapnya adalah Daulat Yang Dipertuan Raja Muning, Raja Alam Yang Kerajaan Di Dalam Alam Minangkabau, mengirim surat kepada Raaff pada bulan September 1822. Isi suratnya antara lain minta diizinkan pulang ke Pagaruyung dan kemudian minta diizinkan (direstui) kembali menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Sekali lagi, sebagai ‘orang baru’ di daerah, Raaff tidak serta-merta menyetujui permintaan Raja Muning. Dia membentuk tim (komisi) penyelidik kebenaran status dan kedudukan Muning Syah. Salah satu tugas tim atau komisi tersebut adalah meneliti kebenaran status dan kedudukan Muning Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Setelah bekerja dan menunaikan tugasnya, tim atau komisi tersebut mengumumkan bahwa ‘tidak diragukan lagi, Raja Muning adalah raja terakhir Kerajaan Minangkabau’. Berdasarkan temuan tersebut Raaff mengizinkan Raja Muning kembali pulang ke Pagaruyung. Namun, permintaannya agar dia diangkat menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau) tidak disetujui. Alasannya adalah usianya telah lanjut. Walaupun demikian dia diberi uang pensiun. Tiga tahun setelah usulannya menjadi raja ditolak, tanggal 1 Agustus 1825 Raja Muning meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Raaff kemudian mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Minangkabau.

Pemerintahan Keresidenan Padang menyetujui keputusan Raaff menolak permohonan Raja Muning untuk menjadi Raja Minangkabau. Pemerintahan Keresidenan Padang juga menyetujui keputusan Raaff untuk mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau). Raaff (yang disetujui oleh Gubernur Jendral) juga mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah menjadi Hoofdregent van Minangkabau dengan gelar Raja Alam Minangkabau (karena telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Di samping Hoofdregent dia juga sekaligus diamanahi jabatan sebagai Regent Tanahdatar. Sebagai Raja Minangkabau dia diberi gaji f.200,- per bulan, dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan.

Menurut Raaff pengangkatan Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau), Hoofdregent van Minangkabau serta Regent Tanah Datar adalah sebagai bagian dari imbalan yang diberikan kepadanya atas jasa-jasanya yang memungkinkan Belanda bisa masuk ke pedalaman. Alasan ini pulalah yan menjadi dasar penolakan usulan Raja Muning agar dia diangkat kembali menjadi Raja Pagaruyung. Raja Muning dianggap tidak memiliki kontribusi  bagi ekspansi politik Belanda.

Kepemimpinan Raaff sebagai komandan tentara dan residen digantikan oleh Baud dan kemudian Stuers (1825). Berbeda dengan masa Raaff yang sarat dengan aksi militer menggempur Padri, maka era pemerintahan Stuers adalah kurun waktu ‘tenang’ dari konfrontasi fisik dengan Padri. Hal ini disebabkan oleh ditariknya sebagian besar tentara Belanda ke Pulau Jawa guna menghadapi Pangeran Diponegoro. Tidak hanya membuat banyak ‘perjanjian damai’ dengan kaum Padri, Stuers juga memperkenalkan kebijakan politik khusus pada keluarga Kerajaan Pagaruyung. Stuers membebaskan duo Tuanku Suruaso dari hukuman yang dijatuhkan Raaff. Tidak sekedar dibebaskan, mereka berdua dan juga Tuan Gadis diberi uang pensiun sebesar f.20,- per bulan. Sutan Kerajaan Alam, bila ada kesempatan, diizinkan untuk terlibat dalam kegiatan politik, sedangkan kakaknya, Raja Tangsir Alam, karena pernah menyalahgunakan wewenang di masa lalu, tidak diizinkan kembali terjun ke dunia politik.

Sutan Alam Bagagar Syah juga kena kebijakan politik Stuers. Stuers menghapus gelar Hoofdregent van Minangkabau dan menurunkan status Bagagar Syah hanya menjadi regent. Penurunan satus ini menjadikan Bagagar Syah menempati posisi yang sama dengan sejumlah orang Minangkabau lainnya yang menjadi regent saat itu di Sumatra Barat.

Stuers mengatakan bahwa penghapusan jabatan Hoofdregent dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ‘unit administratif’ setingkat Hoofdafdeeling vanMinangkabau yang menjadi wilayah kekuasannya tidak pernah terwujud. Jadi adanya jabatan itu dianggap tidak efektif (mubazir).

Tidak hanya menghapus gelar Hoofdregent, Stuers juga mengakhiri pengakuan Raja Minangkabau kepada Bagagar Syah, dan mengakhiri keberadaan Kerajaan Minangkabau (Het rijk van Minangkabau dus niet meer bestande).

Sutan Alam Bagagar Syah menerima semua kebijakan yang dilakukan Stuers. Bagagar Syah nampaknya tidak merasa kehilangan dengan ditiadakannya dua gelar yang sebelumnya pernah disandangnya, serta dia juga tidak merasa kehilangan ketika Kerajaan Minangkabau dihapuskan keberadaannya.

Berbagai gelar yang disandangnya dan keberadaan Kerajaan Minangkabau nyaris tidak ada artinya bagi diri Bagagar Syah. Sebagai ‘pejabat tinggi’ pemerintahan dan sebagai raja, Bagagar Syah nyaris tidak mendapat banyak keistimewaan. Walaupun pernah disebut, bahwa sebagai Raja Minangkabau, Bagagar Syah menerima gaji f.200,- per bulan dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan, namun sebagaimana dilaporkan Nahuijs, Bagagar Syah hanya berpenghasilan f. 100,- per bulan. Ini bukanlah penghasilan yang ‘sangat besar’, sehingga dia tidak bisa hidup mewah.

Kemewahan memang jauh dari Bagagar Syah. Hal ini terlihat dari penampilan sehari-harinya yang relatif tidak berbeda dari penduduk biasa. Tempat tinggalnya, walaupun disebut sebagai istana, namun jauh berbeda dari gambaran orang tentang istana raja. Nahuijs menambahkan, apa yang disebut istana Raja Pagaruyung bagaikan gudang kayu yang sangat sederhana dibandingkan dengan rumah-rumah lain (Het zoogenaamde vorstelijk paleis van Pagaruyung is eene zeer onaanzienlijke houten schuur, in vergeleijking van andere huizen).

Tidak hanya memiliki kekurangan secara ekonomi dan kemewahan hidup, sebagai Raja, Hoofdregent dan Regent, Bagagar Syah juga kurang mendapat penghormatan dari penduduk. Nahuijs menyebut bahwa warga masyarakat, bahkan dari kalangan rendah sekalipun, biasa saja lalu lalang di dekatnya tanpa memperlihatkan sikap homat. Nahuijs juga mengatakan bahwa dia menyaksikan bahwa banyak rakyat yang tidak mengenal Bagagar Syah sebagai raja.

Kalaupun ingin dicari juga perbedaan antara Sang Raja, Hoofdregent dan Regent dengan penduduk biasa atau saudagar kaya, maka perbedaan itu terlihat dari adanya seorang pengiring yang membawa payung bewarna coklat serta sejumlah perangkat lain untuk keperluan Bagagar Syah. Payung berwarna cokllat (kuning)inilah sesungguhnya yang paling membedakannya dengan warga lain, karena dalam kenyataan ada juga orang Minang yang kaya yang juga didampingi (diiringi) oleh pengiring saat dia bepergian atau membawa barang-barang keperluannya.

Dengan kondisi seperti ini, bisa dipahami mengapa Bagagar Syah relatif tidak bereaksi ketika Stuers menghapuskan gelar Hoofdregent dan Raja, serta meniadakan Kerajaan Minangkabau. Di samping itu, diamnya Bagagar Syah, seperti yang disebut oleh Stuers, juga disebabkan oleh “begitu tergantungnya dia kepada kita, kitalah yang membuat dia besar dan berkuasa”.

Bila Bagagar Syah diam terhadap kebijakan Stuers, maka dia akan bereaksi keras kepada orang biasa yang dirasanya mengancam jabatannya. Hal ini terlihat dari pernyataan Stuers yang mengatakan bahwa dia terlibat dalam pembunuhan Said Salimul Jafrid. Stuers mengatakan bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuhan juru runding Arab yang juga digelari Raja Perdamaian itu, karena Said Salimul Jafrid berpotensi menggantinya sebagai Regent Tanah Datar. Said Salimul Jafrid dekat dengan Stuers dan juga mendapat dukungan dari kaum Padri ntuk menjadi Regen Tanah Datar (pendapat lain menyebut bahwa pembunuhan Said Salimul Jafrid itu didalangi oleh Tuanku Lintau atau kaum penghulu).

Pejabat Belanda lain yang tidak suka dengan Bagagar Syah adalah Elout. Residen yang mulai berkuasa sejak akhri tahun 1832 ini bahkan menuduh Bagagar Syah berkhianat kepada Belanda dan merencanakan makar terhadap pemerintah. Itu pulalah sebabnya, Muhammad Rajab dan Rusli Amran menyebut, bahwa Bagagar Syah bersama Sentot Alibasyah, Tuanku Nan Cerdik, serta sejumlah tokoh lainnya, sebagai orang-orang yang dikhianati Belanda (Elout). Elout menangkap Bagagar Syah dan kemudian mengasingkannya ke Batavia. Namun setelah ditinjau ulang, ternyata tuduhan itu tidak terbukti. Artinya, Bagagar Syah tidak pernah berkhianat kepada Belanda. Karena itu nama baiknya dipulihkan, dan selanjutnya dia diberikan tunjangan hidup yang bisa dinikmatimya sampai akhir hayatnya di Batavia.

IV

Tidak hanya Raaf, Stuers dan Elout yang memperlihatkan sikap kritis atau tidak suka kepada keluarga Kerajaan Pagaruyung, kaum adat dan Padri juga memiliki sikap yang sama. Sebagaimana disebut Kielstra, segera setelah Raaff menyetujui pengangkatan Bagagar Syah sebagai Hoofdregent dan Regent, kaum adat menyatakan ketidaksukaan mereka. Mereka merasa bahwa gelar Regent seharusnya diberikan kepada penghulu (bukan kepada keluarga kerajaan yang telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Pengangkatan Bagagar Syah sebagai Regent dianggap kaum penghulu sebagai pelanggaran terhadap hak mereka. Karena itu, akibat pengangkatan tesrebut, ada sejumlah penghulu di Tanah Datar tidak mendukung Belanda ‘sepenuh hati’.

Regen Batipuh, yang pernah menjadi ‘tangan kanan’ Belanda dalam menumpas kaum Padri, juga memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Bagagar Syah. Bahkan pasukan Regen Batipuh ini menumpas habis hulubalang-hulubalang Regen Tanah Datar (Bagagar Syah) ketika mereka melawan pemerintah beberapa waktu setelah Babagar Syah ditawan dan dibuang Batavia. Ketidaksukaan Regen Batipuh disebabkan bahwa dia sesungguhnya menginginkan jabatan Raja Minangkabau.

Sikap tidak suka terhadap keluarga kerajaan juga berasal dari kaum Padri. Tidak hanya karena peran mereka dalam ‘mengundang’ Belanda untuk memerangi kaum Padri, tetapi juga disebabkan oleh tidak diserahkannya jabatan Regen Tanah Datar kepada Said Salimul Jafrid, calon unggulan mereka, oleh Belanda. Setelah reorganisasi tahun 1825, jabatan Regent Tanah Datar tetap dipegang Bagagar Syah. Hal ini mengecewakan kaum Padri dan kekecewaan itu dilampiaskan kepada Bagagar Syah. Apalagi dikemudian hari mereka mendengar kabar bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuh Said Salimul Jafri.

Persiteruan antara Bagagar Syah khususnya dan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dengan Belanda, kaum adat (penghulu) dan kaum Padri adalah bagian dari dinamika Perang Padri. Persiteruan itu adalah sebuah pembuktian bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia politik. Hampir semua anggota keluarga kerajaan yang mendukung Belanda dan kaum adat pernah dizalimi serta dikhianati oleh Belanda dan juga dimusuhi oleh kaum adat/kaum Padri. Bagagar Syah yang mendukung Belanda memerangi Padri akhirnya dihukum dan dibuang oleh Belanda bersama dengan tokoh Padri (Tuanku Imam Bonjol) yang diperanginya. Perang Padri merefleksikan pepatah lama, habis manis sepah dibuang. Perang Padri adalah sebuah pembuktian bahwa bekerjasama dengan kolonialis tidak akan pernah berbuah manis.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Marsden, William, The History of Sumatra. London: J. M’Creery, 1811.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Sistem Persenjataan dan Strategi Tempur Pada Masa Perang Padri

Di samping tentara yang campin, terlatih, dan berani, persenjataan dan strategi yang dijalankan sangat menentukan kemenangan pihak-pihak yang tengah berperang. Hal yang sama juga berlaku pada masa Perang Padri. Masing-masing pihak yang bersiteru sama-sama menyiapkan sumber daya tentara yang siap bertempur ke medan laga, melengkapi angkatan perang atau tentaranya dengan persenjataan yang tercanggih untuk masanya, serta juga menerapkan strategi tempur yang diperhitungkan bisa mengalahkan alwan.

Selama ini ada pendapat yang mengatakan bahwa angkatan perang Belanda lebih banyak jumlahnya. Pendapat ini didasarkan pada adanya tentara bantuan dari orang-orang Indonesia non-Minang (Hulptroepen), serta orang Minang atau Hulpbende. Khusus untuk yang disebut terakhir ini sering dikatakan “…jumlahnya tak terkira banyaknya”. Juga sering dikatakan bahwa strategi perang Belanda lebih hebat karena dikomandoi oleh para perwira veteran berbagai perang di Eropa atau di banyak tempat di Hindia Belanda. Acap pula dikatakan bahwa tentara Belanda jauh lebih hebat atau canggih persenjataannya. Berbagai lukisan tentang perang Padri menjadi dasar untuk pernyataan terakhir ini.

Apakah pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan kenyataan di lapangan? Apakah jumlah tentara kaum Padri tidak banyak serta persenjataannya tidak lengkap dan canggih? Apakah kaum Padri tidak memiliki strategi perang dalam menghadapi Belanda atau strategi perang mereka kalah hebat dibandingkan dengan yang dimiliki Belanda?Apakah para tuanku Padri bukan ahli strategi perang? 

Tulisan ini mencoba menampilkan aspek-aspek persenjataan yang dimiliki dan strategi tempur yang dipaktikkan oleh kaum Padri dan Belanda selama Perang Padri. Aspek-aspek ini adalah aspek-aspek yang sangat penting tetapi cendrung dikemukakan secara fragmentaris serta partial dalam sejumlah kitab atau tulisan mengenai Perang Padri selama ini.

II

Masing-masing pihak yang terlibat dalam Perang Padri sesungguhnya memiliki senjata yang mumpumi dan strategi perang yang hebat. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa begitu lamanya perang berlangsung dan begitu sulitnya masing-masing pihak yan berperang mengalahkan lawannya. Sehingga akhirnya bisa dikatakan bahwa pihak Belanda bisa memenangkan perperangan bukan karena kehebatan tentaranya, bukan karena kecanggihan senjatannya, dan bukan pula karena kehebatan strategi tempur yang dirancang para komandan atau ahli perangnya, tetapi karena kelicikan yang mereka jalankan.

Kaum Padri, di samping memiliki tentara yang banyak, berani dan militan, juga memiliki sistem persenjataan dan sistem perlindungan diri yang canggih, serta strategi perang yang jitu. Informasi mengenai persenjataan dan sistem perlindungan diri kaum Padri, serta strategi tempur yang mereka miliki bisa ditemukan dalam memoar Tuanku Imam Bonjol dan juga dalam sumber-sumber yang dibuat oleh orang Belanda. Dari sumber-sumber itu bisa diketahui bahwa kaum Padri memiliki beragam jenis senjata, mulai dari jenis yang paling sederhana (atau senjata ‘tradisional’) hingga yang paling canggih (modern) untuk masanya. Beberapa jenis senjata ‘tradisional’ yang lazim dikenal dan paling banyak digunakan adalah pedang, tombak, ranjau, sejwa, umban tali, keris, rencong, pisau, cinangke, damaq, sakin, kulipah, dlsnya. Dikatakan bahwa senjata jenis ini dipergunakan oleh para pejuang Padri. Dikatakan juga sebagian dari senjata jenis ini, misalnya  pisau, keris dan pedang, telah menjadi ‘pakaian’ bagi kaum Padri. Maksudnya jenis-jenis senjata ini hampir selalu dibawa oleh atau diselipkan di pinggang para pejuang Padri ke mana pun mereka pergi.

Beberapa Jenis Senjata Orang Minang Hingga Abad ke-19

Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879, Derde Deel; Volkbeschrijving Taal, 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882.

Jenis-jenis senjata yang canggih (modern) yang dimiliki dan digunakan kaum Padri adalah setengga (disebut juga bedil atau senapan) dan meriam. Walaupun kedua senjata ini sering disebut sebagai senjata modern, pada saat Perang Padri, kedua jenis senjata bukan barang baru bagi para pejuang Padri. Bedil atau meriam telah lama dikenal orang Minang. Dari beberapa sumber diketahui bahwa kedua jenis senjata ini telah lazim digunakan orang Minang pada abad ke-17, atau bahkan telah digunakan juga pada abad ke-16. Tembakan senapan atau meriam telah lazim dilakukan orang Minang untuk menyambut atau melepas tamu. Thomas Dias yang tahun 1684 mengunjungi istana Pagaruyung (yang berlokasi di Kumanis) disambut dengan tembakan-tembakan senjata dan juga dentuman meriam berkali-kali).

Bahwa senapan atau bedil telah begitu akrab dengan orang Minang, bisa dilihat dari dijadikannya kata bedil itu sebagai kata kerja (verb) dalam bahasa Minang. Dalam memoar Tuanku Imam Bonjol banyak sekali ditemui kata kerja “membedil”.

Seperti disebut di atas, ada banyak “senjata tradisional” yang digunakan oleh kaum Padri, namun yang lazim disebut dan digunakan adalah pedang, tombak, dan ranjau. Tuanku Imam sendiri beberapa kali menyebut dirinya menggunakan pedang melawan musuh, salah satu di antaranya adalah saat sejumlah tentara bantuan Belanda (orang Payakumbuh dan Bugis) berhasil masuk ke bonjol (benteng Padri) dan menyusup ke rumah Tuanku Imam. Setelah kaki tangan Belanda itu melakukan aksi dengan menangkap dan melukai beberapa penghuni rumah, Tuanku Imam Bonjol melawan penyusup dengan pedang. Gemercingan bunyi pedang Tuanku Imam beradu dengan bayonet atau senapan para penyusup. Tuanku Imam sangat mahir memainkan pedangnya hingga banyak penyusup yang tewas dibabatnya. Namun karena dia mengamuk seorang diri dan musuh berjumlah banyak maka tak pelak lagi dia juga kena tusuk bayonet serta kena hantam senapan. Walaupun musuh kemudian melarikan diri, seusai perkelahian itu diketahui Tuanku Imam mengalami luka dan ada 13 liang luka di sekujur tubuhnya.

Pedang juga menjadi senjata andalan para tuanku Padri yang lainnya. Tuanku Nan Barampek, para panglima perang dan tangan Tuanku Imam Bonjol, berkali-kali menggunakan pedangnya dalam menghadapi lawan.

Jadi pedang adalah senjata yang paling lazim digunakan pejuang Padri.

Ranjau adalah jenis senjata kaum Padri yang banyak disebut oleh penulis Belanda. Senjata jenis ini banyak mendapat perhatian karena sangat ditakuti serta terbukti ampuh dalam menghadapi musuh. Sebagai mana dikatakan Boelhouwer dan juga Elout serta Kielstra, ranjau adalah ‘senjata rahasia’ yang terbuat dari bambu, kayu dan besi. Ranjau terdiri dari berbagai bentuk dan difungsikan pada atau dengan beberapa media.

Pertama, ranjau telapak kaki. Ranjau jenis ini paling banyak digunakan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 2 sampai 3 cm, dipotong pendek sekitar 20 s.d. 30 cm., salah satu ujungnya diruncingkan dan kemudian ditanam di tanah yang berumput sehingga kalau terpijak akan melukai telapak kaki.

Kedua, ranjau perut. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 3 s.d. 5 cm. atau terbuat dari bambu jenis sariak, sejenis bambu dengan diameter 2 s.d. 3 cm, atau dari batang kayu kecil dengan diameter 3 s.d. 5 cm. yang dipotong dengan panjang sekitar 90 cm 100 cm. Salah satu ujungnya juga diruncingkan. Ranjau jenis ini ditanam didalam tanah yang banyak ditumbuhi ilalang dan ujung yang runcing sengaja ditinggalkan dipermukaan tanah dengan ketinggian sekitar 60 s.d. 70 cm. pada posisi miring (dengan kemiringan + 60°). Ranjau jenis ini ditujukan kepada musuh yang berlari di padang ilalang. Biasanya ranjau jenis ini akan menusuk perut penyerang yang kurang waspada.

Ketiga, ranjau dalam lubang. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bilah bambu dan potongan kayu yang diruncingkan. Beda utamanya adalah ranjau jenis ini ditanam didalam lubang dengan ukuran 1 X 2 X 1,5 meter lebar, panjang dan dalamnya. Lubang yang ditanami ranjau tersebut ditutup dengan dedaunan guna mengelabui musuh. Sehingga ketika musuh berlari dan kurang awas akan terjebak dan masuk ke dalam lubang yang dipasangi ranjau.

Keempat, ranjau badan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bilah bambu dengan panjang 10 s.d. 15 dan lebar 1 s.d 1,5 cm. yang salah satu ujungnya diruncingkan, atau terbuat dari kayu dengan panjang 10 s.d. 15 c,. dan diameter 1 s.d. 1,5 cm dan salah satu ujungnya juga diruncingkan. Khusus untuk ranjau yang terbuat dari kayu kadang-kadang salah satu ujungnya juga dipasangi besi yang runcing. Ranjau jenis ini, dalam jumlah beberapa buah, dibawa oleh para pejuang Padri pada saat mereka berperang. Biasanya ranjau-ranjau ini diikat menjadi satu dengan simpul khusus dan  digantungkan didada (sebagaimana layaknya jalinan peluru yang digantungkan di dada tentara). Ranjau jenis ini bisa digunakan sebagai ‘senjata rahasia’ yang dilemparkan kepada musuh (sebagaimana yang dilakukan para ninja). Ranjau jenis ini bisa juga digunakan pada saat pemiliknya mundur (lari) dikejar musuh. Caranya dengan menjatuhkan ranjau-ranjau tersebut ke tanah sehingga musuh yang tidak hati-hati bisa menginjak ranjau badan ini.

Ranjau telapak kaki, ranjau perut, dan ranjau dalam lubang umumnya di pasang di sekitar benteng. Jadi ranjau adalah bagian dari strategi perlindungan benteng.

Seperti disebut di atas, di samping senjata ‘tradisional’, kaum Padri juga memiliki senjata ‘modern’. Setengga atau bedil adalah senjata ‘modern’ yang banyak dimiliki dan digunakan pejuang Padri. Dikatakan banyak memang ada dasarnya. Tidak hanya Tuanku Imam, sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa pejuang Padri memiliki banyak bedil. Tuanku Imam sendiri misalnya menyebut bahwa dalam serbuan ke Suliki pasukannya dilengkapi dengan 300 bedil. Waktu menyerang Rao dan Rokan dibawa 250 bedil. Waktu menyerang Malalak dibawa 7.050 bedil. Raaff, Stuers, Elout dan Kielstra sering menyebut bahwa pasukan Padri berjumlah ribuan orang dengan ratusan senapan. Mereka juga sering mengatakan bahwa ketika merebut benteng-benteng Padri ditemukan ratusan pucuk bedil di dalamnya.

Di samping dibuat sendiri, senjata kaum Padri juga didapat dengan jalan membelinya di Tanah Semenanjung dan juga dari Aceh. Para pedagang Padri sangat penting artinya dalam pengadaan bedil ini. Bedil dari Tanah Semenanjung dibawa para saudagar melalui sungai-sungai yang mengalir di kawasan timur  kawasan darek. Sungai Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan adalah ‘jalan raya’ yang digunakan oleh para saudagar Padri untuk memasok senjata dan berbagai barang kebutuhan perang lainnya. Bedil dari Aceh umumnya didatangkan oleh saudagar Aceh yang menjadi mitra dagang saudagar Padri. Senjata dan berbagai barang kebutuhan perang dipasok saudagar Aceh hingga kawasan pesisir Sumatra barat bagian utara (kawasan pantai Pasaman hingga Natal). Selanjutnya senjata dan barang-barang itu dibeli dan dibawa ke darek oleh saudagar Padri. Ini pulalah sebabnya, sejak awal tahun 1830-an, Belanda berupaya mematikan ‘jalan dagang’ di kawasan timur darek dan juga berupaya menguasai kawasan pesisir Pasaman.

Bentuk bedil yang dipakai kaum Padri sangat sederhana. Panjangnya sekitar dua meter dengan popor yang juga sangat sederhana dan kuncinya juga sangat sederhana. Penggunaan senapan itu memerlukan keahlian khusus, kalau tidak sipengguna akan merasakan goncangan yang kuat serta akan terkena semburan api yang keluar dari bedil saat meletus. Bedil tersebut menggunakan mesiu dengan kualitas rendah. Pelurunya terbuat dari timah yang dibulatkan. Mesiu dan peluru dibuat sendiri atau produksi lokal (namun ada juga yang diimpor dari Tanah Semenanjung dan Aceh). Mesiu biasanya ditempatkan dalam karapai, salapah atau labu kecil yang isinya telah dibuang. Mesiu diambil dari tempatnya dengan tabung bambu kecil yang sekaligus sebagai alat takar dan dituangkan kedalam bedil. Pola penempatan seperti ini menyebabkan mesiu sangat rentan basah, terutama bila hari hujan atau melintasi sungai. Sering kali dilaporkan bahwa senjata tidak bisa bingkas (dimanfaatkan) karena mesiu basah.

Melihat bentuk dan cara pemakaian bedi, serta hasil yang didapatkan maka Nahuijs dan Boelhouwer menyebut bahwa pejuang Padri adalah penembak yang piawai.

Satu lagi senjata ‘modern’ yang dimiliki kaum Padri adalah meriam. Sama dengan bedil, ada banyak meriam yang dimiliki kaum padri, namun tidak diketahui jumlah pastinya. Bila dihitung dari berbagai sumber, bisa dikatakan bahwa jumlahnya ada puluhan (kalau tidak ratusan). Di samping dibawa dalam berbagai kampanye militer, umumnya meriam Padri ditempatkan di benteng. Rata-rata tiap benteng memiliki empat hingga enam meriam. Hal ini bisa dilihat dari Benteng Bonjol, Benteng Lintau, Benteng Katiagan, Benteng Sumadang, Lubuk Ambalau, dlsbnya.

Ukuran meriam Padri cukup beragam, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Meriam yang dibawa dalam sejumlah penyerbuan umumnya berukuran kecil (2 pon), tetapi meriam yang ditempatkan di benteng berukuran besar (12 pon).

Kebanyakan meriam yang digunakan Padri buatan Inggris, dan itu didatangkan dari Tanah Semenanjung.

Tidak hanya didatangkan dari Tanah Semenanjung, kaum Padri juga menggunakan meriam yang didatangkan dari Aceh atau meriam yang di masa lampau digunakan oleh VOC. Ada beberapa contoh untuk pernyataan ini, dan salah satu diantaranya adalah meriam yang digunakan Tuanku Imam Bonjol.  Sebagaimana disebut dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjol menggunakan meriam yang pernah ditempatkan di Benteng Pasaman (benteng yang digunaka sejak masa VOC), yang dikatakan meriam itu dahulunya ‘pernah digunakan untuk mengalahkan Negeri Mesir’. Ada dua meriam yang pernah ada di benteng tersebut, namun keduanya sudah lama tidak digunakan dan terlantar. Satu buah sudah tergeletak di tengah padang (rumput/ilalang) dan yang satu lagi sudah terbenam ke dalam lubuk (sungai). Karena Tuanku Imam Bonjol ingin mendapatkan dan menggunakakannya maka kedua meriam itu diperbaiki. Berkat kecanggihan ahli senjatanya, kedua meriam tersebut berfungsi lagi dan menjadi meriam andalan Tuanku Imam Bonjol.

Sebagaimana layaknya meriam-meriam yang lain, kedua meriam lama itu juga diberi nama. Meriam yang tergeletak di tengah pada dinamai Air Benteng dan meriam yang sudah terbenam dalam lubuk dinamai Air Tajun.

Salah satu meriam di Bonjol yang sering dibawa-bawa untuk berperang dinamai Bujang Palembang.

Di samping memiliki peluru besi, kaum Padri juga menggunakan batu bulat sebagai peluru (anak meriam)nya. Hal ini dikemukakan oleh Boelhouwer ketika dia memasuki Bonjol.

Meriam sangat penting artinya bagi kaum Padri. Gerak maju Belanda menuju benteng Padri umumnya banyak terhambat karena bantuan meriam ini. Raaff melaporkan bahwa upaya dia dan pasukannya berkali-kali gagal menaklukkan benteng Padri di Lintau karena benteng tersebut dilengkapi dengan sejumlah meriam. Dan kesukarannya semakin menjadi-jadi ketika meriam yang dimiliki pasukannya juga berhasil direbut oleh pasukan Tuanku Lintau. Hal yang sama juga dilaporkan oleh sejumlah komandan perang Belanda yang pernah menyerang Bonjol. Benteng Bonjol sangat susah ditaklukan, karena dilengkapi dengan sederetan meriam berukuran besar.

Jadi meriam adalah senjata andalan kaum Padri dan menjad bagian yang tidak terpisahkan dari banyak benteng Padri.

Benteng merupakan bagian dari pertahanan diri kaum Padri. Ada banyak benteng kaum Padri dan “…benteng mereka ada di mana-mana”, kata Kielstra. Orang Padri khususnya dan Minang umumnya menamakan benteng dengan kubu atau bonjo. Di samping sebagai tempat bertahan menghadapi musuh, benteng juga dijadikan tempat tinggal dan juga gudang kaum Padri. Bangunan yang ada dalam benteng terbuat dari kayu yang kokoh dan atap nya terbuat dari sirap atau nipah.

Benteng kaum Padri umumnya berlokasi di atas bukit yang sulit untuk didatangi (dan ditaklukkan).  Posisi dan kesukaran menaklukkan benteng-benteng Padri tersebut dilukiskan oleh Raaff dan Boelhouwer.  Raaff menggambarkan Benteng Marapalam (Lintau), sedangkan Boelhouwer mengisahkan Benteng Ujung Rajo, Benteng Lubuk Ambalau dan Benteng Bonjol. Dikatakan bahwa benteng-benteng tersebut berada di puncak bukit, dengan kemiringan  tebing yang hampir tegak lurus. Kalau ada jalan menuju benteng itu, maka jalan itu berupa jalan  yang sempit dan mendaki pula. Juga dikatakan bahwa benteng itu sering dikelilingi oleh parit yang cukup lebar berisi air yang dalam. Di dalam parit itu juga sering dipasangi ranjau. Benteng sering dikelilingi oleh pagar pohon kelapa atau pohon nibung, dinding batu, gundukan tanah, atau bambu (aur) berduri yang rimbun dan rapat sehingga sangat sulit untuk ditembus. Di luar benteng, terutama di dataran rendah menuju benteng sering pula ditanami dengan ranjau (rantau telapak kaki, ranjau perut dan ranjau lobang). Di jalan sempit menuju benteng juga sering diletakkan potongan-potongan batang kayu atau batu besar, yang bila terpaksa akan digelindingkan ke bawah untuk menghajar, menghalangi atau melindas musuh yang ingin masuk ke dalam benteng. Di tempat-tempat yang strategis atau di pusat-pusat perlawanan Padri membangun lebih dari satu benteng. Di Gunung Tajadi (Bonjol) misalnya, kaum Padri membangun tujuh benteng.

Menaklukan benteng Padri adalah salah satu tujuan Belanda. Bila benteng telah dikuasai, biasanya Padri di kawasan itu juga akan mengaku kalah. Penguasaan Benteng Ujung Rajo dan Benteng Bonjol misalnya adalah contoh dari pernyataan di atas. Segera setelah Benteng Ujung Rajo dikuasai, nagari tersebut (dan juga nagari-nagari di sekitarnya) bisa dikatakan sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Benteng Bonjol dikuasai maka dapat dikatakan bahwa berakhirlah perlawanan kaum Padri.

Perang juga memiliki aturan. Seakan-akan telah ‘disepakti’, bahwa bila ada pihak yang kalah atau ingin menyerah, maka pihak yang kalah akan menaikan alam putih (alam adalah kata lama Minang untuk bendera). Pihak yang kalah biasanya juga akan membayar ‘tanda kalah’ yang biasanya berupa sebungkal emas dan penyerahan senjata. Sering pula pihak yang kalah diwajibkan ‘menjamu makan’ pihak yang menang dan menyatakan ketundukan dalam ‘jamuan’ tersebut.

Dalam sejarah Perang Padri diketahui bahwa sebagian pemimpin dan pasukan Padri yang kalah bergabung dengan Belanda. Bagi yang tidak mau bergabung atau mengaku tunduk ditangkap dan dibuang. Mereka yang ditangkap umumnya dipenjarakan di Padang, sedangkan mereka yang dibuang dikirim ke Pulau Jawa, namun ada juga ke pulau-pulau lain. Tuanku Imam Bonjol misalnya dibuang ke Pulau Jawa, Ambon dan terakhir ke Sulawesi (Utara).

Sebagaimana yang akan dikemukakan pada bagian berikut, hampir semua senjata dan siasat perang kaum Padri itu juga dimiliki oleh Belanda dan tentara bantuannya. Namun ada suatu ‘senjata khusus’ yang dimiliki kaum Padri dan itu tidak dimiliki oleh tentara Belanda dan Hulptroepen atau Hulpbendenya, yaitu doa kepada Allah dan seruan takbir. ‘Senjata’ ini sering digunakan oleh tuanku Padri dan pejuang Padri. Hal ini diakui dan dinyatakan, tidak hanya oleh Tuanku Imam Bonjol, tetapi juga oleh para komandan tempur serta penulis Belanda. Raaff dan Elout serta Michiels menyebut adanya sejumlah tuanku yang merapal doa sebelum bertempur, serta mengumandangkan Allahu Akbar saat menyerang pasukan Belanda, yang mereka katakan kafir dan anjing. ‘Senjata’ inilah yang paling membedakan antara kaum Padri dan Belanda, serta antek-anteknya.

III

Seperti telah disebut di atas, senjata-senjata yang digunakan oleh Belanda dan tentara bantuannya relatif sama dengan yang digunakan oleh kaum Padri. Tentara Belanda dan Hulptroepen hampir semuanya dilengkapi dengan senjata ‘modern’. Masing-masing memiliki senjata (bedil). Sehingga bisa dikatakan jumlah senapan hampir sama banyaknya dengan jumlah tentara Belanda dan Hulptroepen mereka.

Kalau ingin juga dibandingkan atau dicari perbedaannya, maka seperti kata Nahuijs, kualitas senapan tentara Belanda dan Hulptroepennya jauh lebih bagus dibandingkan dengan senjata kaum Padri. Mesiu yang mereka miliki juga jauh lebih baik kualitasnya bila dibandingkan dengan mesiu kaum Padri. Di samping itu, senjata tentara Belanda dan Hulptroepen mereka juga dilengkapi dengan bayonet. Dan tentara Belanda terlatih menggunakan bayonet tersebut.

Pasukan Belanda juga dilengkapi dengan meriam karena itu dalam data ketentaraaan Belanda selalu disebut adanya kesatuan artileri.

Meriam menjadi bagian terpenting kampanye militer Belanda. Nampaknya meriam selalu dibawa-serta dalam setiap serbuan yang dilakukan. Karena itu setiap meriam memiliki kereta pengangkut. Para kuli, yang umumnya adalah tentara ninik mamak, mendapat tugas mengangkut atau mendorong kereta meriam ini. Meriam ‘mobile’ yang digunakan pasukan Belanda memiliki ukuran yang beragam, mulai dari 3 s.d. 4 pon. Setiap kali aksi militer dilakukan dibawa 2 hingga 8 pucuk meriam.

Membawa meriam yang berat dan dalam jumlah yang cukup banyak jelas merepotkan serta menggangu mobilitas pasukan. Itulah sebabnya, para pejabat militer Belanda senantiasa mengupayakan pembukaan atau pembangunan jalan baru sehingga proses pengangkutan meriam dan mobiltas pasukan bisa lebih mudah. Pengalihan jalan setapak via Tambangan dan Sipinang ke arah Lembah Anai, yang dilakukan mulai tahun 1833 adalah bagian dari kebijakan tersebut.

Belanda sangat mengandalkan meriam dalam hampir semua kampanye militer mereka. Serbuan terhadap Benteng Lintau, Guguk Sigandang, Kapau, Ujung Rajo, Bonjol dlsbnya didukung oleh penggunaan meriam. Daya rusak meriam yang lebih hebat menjadi alasan penggunaan meriam oleh Belanda. Belanda menginginkan penghancuran musuh dengan cepat dan penggunaan meriam diyakini akan memudahkan upaya mereka mewujudkan tujuan itu.

Seperti dikatakan oleh Tuanku Imam, masuknya pasukan Belanda ke dalam benteng dan rumahnya karena hancurnya dinding benteng tersebut karena tembakan meriam.

Satu-satunya sistem persenjataan Belanda yang tidak dimiliki kaum Padri adalah kapal perang. Memang, dalam perang menghadapi Padri, Belanda juga mengerahkan sejumlah kapal perang. Tercatat ada 14 kapal perang yang pernah dikirim dan ikut-serta dalam berbagai ekspedisi militer di daerah ini. Kapal-kapal perang itu dipergunakan saat menyerang Benteng Ujung Rajo, Air Bangis, kota-kota atau daeral-daerah di bagian utara Pantai Barat, seperti Natal, Sibolga, Barus hingga Singkel. Kapal-kapal yang dilengkapi dengan meriam dengan ukuran 20 s.d. 34 pon, itu ikut menghanjar kota-kota atau daerah-daerah yang diserang. Ikut-sertanya kapal perang dengan persenjataan yang canggih tersebut memang sangat membantu gerakan militer Belanda. Hampir semua kota atau daerah yang diserang dengan mengikutsertakan kapal perang bisa ditaklukan (dikuasai).

Untuk memaksimalkan operasi kapal-kapal perang tersebut Belanda membangun Pangkalan Angkatan laut di Pariaman dan Tiku.

Seperti disebutkan dalam tulsian lain dari seri tulisan 200 Tahun Perang Padri ini, dalam menghadapi kaum Padri, Belanda juga membangun sejumlah benteng di berbagai tempat di Sumatra Barat. Benteng-benteng itu, di samping difungsikan sebagai tempat berlindung, juga digunakan sebagai ‘kantor’ pejabat militer dan sipil di daerah di mana benteng berada. Beberapa benteng yang terkenal adalah benteng di Batusangkar yang dinamai dengan Fort van der Capellen dan di Bukittinggi yang dinamai dengan Fort de Kock. Di samping itu ada sejumlah benetng lagi,yaitu Benteng Kayutanam, Tanjuang Barulak, Suliki, Amerangon, dlsbnya. Karena juga difungsikan sebagai kantor pejabat militer dan sipil daerah, maka nagari-nagari di mana benteng tersebut berada kemudian menjadi ibu kota unit administratif setingkat Afdeeling atau Onderafdeeling dalam struktur pemerintah Hindia Belanda.

Menariknya, hingga zaman Jepang (dan juga hingga beberapa waktu yang lalu) di hampir semua kota tersebut, tepatnya di dekat bangunan benteng Belanda di kota itu, selalu dipajangkan meriam lama. Mungkin ditujukan untuk mengenang perang yang dulunya pernah terjadi, dan mungkin untuk mengatakan bahwa walaupun memiliki benteng dan meriam serta persenjataan yang hebat, Belanda akhirnya juga bisa dikalahkan.

IV

Persenjataan tentara bantuan Belanda (Hulptroepen) hampir sama dengan tentara Belanda (tulen). Yang agak berbeda adalah senjata pasukan tentara Urang Awak. Umumnya mereka menggunakan bedil dan senjata ‘tradisonal’ sebagaimana dimiliki dan digunakan kaum Padri. Seperti yang akan dibicarakan pada bagian berikut, tidak banyak catatan tentang aksi tempur dan kehebatan berperang pasukan bantuan Urang Awak. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku pada Hulptroepen yang terdiri orang-orang dari etnis lain di Nusantara selain Minang.

Walapun demikian ada juga sedikit laporan dan catatan mengenai kehebatan pasukan Hulptropen dan Hulpbende ini. Dari laporan dan catatan itu setidaknya diketahui adanya dua kehebatan mereka.

Pertama, Hulptroepen sangat mahir rmenggunakan senapan. Tembakan mereka umumnya selalu mengenai sasaran. Kemampuan menembak yang hebat ini antara lain dilatarbelakangi rajinnya mereka berlatih. Seperti dikatakan Boehouwer, setiap ada waktu senggang maka anggota Hulptroepen akan menyibukkan diri dengan berlatih menembak. Latihan diadakan di lapangan terbuka dengan media berupa sebuah dinding setinggi 1,5 meter yang di bagian atasnya diletakan dua bilah bambu dengan panjang sekitar 20 cm dan lebar 5 cm secara bersilangan, yang akan dijadikan sasaran tembakan. Bambu yang bersilang itu ditembak dari jarak 200 langkah. Menurut Boelhouwer hampir setiap tembakan mengenai sasaran. Ini sesuatu yang dianggapnya luar biasa dan sukar dipercaya.

Kedua, anggota Hulptroepen dan Hulpbende juga mahir menggunakan bayonet. Kielstra menyebut, bahwa beberapa komandan perang Belanda memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan bayonet dalam sejumlah aksi penyerangan yang diakukan. Tuanku Imam Bonjol sendiri juga mengatakan bahwa dia diserang oleh anggota Hulptroepen dan Hulpbende (orang Bugis dan Payakumbuh) yang menggunakan bayonet.

Latihan pengunaan bayonet untuk Hulptroepen (dan juga tentara Belanda) sering dilakukan di dalam benteng.

Sejumlah pejabat Belanda, seperti Raaff, Stuers dan Nahuijs juga mengemukakan dan mendeskripsikan bagaimana kehebatan tentara bantuan Urang Awak mereka menggunakan senapan, pedang, tombak, dan keris. Sayangnya, karena mereka sering bertempur bersama tentara Belanda dan Hulptroepen yang umumnya tentara ‘profesional’ maka kehebatan mereka jadi hilang. Di samping itu, banyak pula dari mereka yang kurang atau tidak mampu menjadi kebugaran tubuh sebelum pergi berperang. Sering dikatakan bahwa mereka sering begadang, mengisap madat atau minum tuak sebelum pergi berperang sehingga ketika tiba waktu berperang, tenaga mereka sudah tidak ada lagi, atau karena badan tidak fit dan fikiran agak kacau, mereka tidak bisa menampilkan kehebatan mereka menembak atau menggunakan senjata.

Kehebatan anak kemenakan kaum adat akan nampak kalau mereka berperang (tanpa bantuan Belanda dan Hultroepen) melawan kaum Padri. Kenyataan terlihat dalam memoar Tuanku Imam Bonjol.

Suatu saat pasukan Padri Bonjol menyerang Suliki. Ternyata Suliki memiliki kubu pertahanan yang hebat. Kubunya berada di atas bukit dan dikelilingi oleh parit. Tidak hanya itu, di luar kubu, di bagian atas bukit juga ditempatkan kapuak (anyaman bambu berbentuk lingkaran besar) yang diisi dengan batang padi, serta juga tahi (tinja) yang ditempatkan pada wadah tertentu. Ketika pasukan Padri berhasil mendekati kubu maka pasukan yang bertahan didalam kubu menggelindingkan gulungan-gulungan batang padi dalam kapuak sehingga melindas dan membawa turun kaum Padri yang tengah mendekati kubu. Kemudian ketika kaum Padri mendekat lagi ke kubu maka mereka disirami mereka dengan tahi (tinja) sehingga berlumuran tahilah mereka semua. Mendapat serangan tahi (tinja) ini membuat pasukan Padri melarikan diri ke parit (untuk membasuh dan membersihkan diri). Setelah ‘senjata pamungkas’ tentara ninik mamak itu berhasil diatasi oleh kaum Padri barulah kubu itu berhasil ditaklukkan dan seisi benteng serta penduduk Suliki mengaku kalah.

V

Secara umum Perang Padri tidak menghadirkan sistem persenjataan dan strategi perang yang baru. Masing-masing pihak yang berperang menggunakan senjata yang relatif sama dengan yang dimiliki pihak lawan. Kalaupun ada perbedaan maka perbedaan yang paling nampak adalah kualitas persenjataan kaum Padri sedikit lebih tertinggal dibandingkan dengan senjata pasukan Belanda. Perbedaan lainnya adalah pasukan Belanda juga diperkuat oleh kapal perang dengan persenjataan yang juga lebih besar dan tinggi mutunya.

Sistem perbentengan kaum Padri dan Belanda juga relatif tidak begitu berbeda. Sistem perbentengan mereka sama-sama canggih dan sama-sama sukar untuk ditaklukan.

Strategi perang yang dijalankan, walaupun ada sedikit perbedaan, secara umum juga relatif sama. Strategi-strategi yang dimaksud antara lain: pertama, strategi perang yang sifatnya ofensif; kedua, strategi perang yang sifatnya defensif; ketiga, strategi perang yang dilakukan dengan menyerang secara tiba-tiba kemudian menghindar dengan cepat; keempat, strategi pengepungan terhadap benteng utama atau pemukiman utama musuh; kelima, strategi perang dengan membuat banyak benteng untuk menaklukan benteng utama musuh; keenam, strategi perang mengajak musuh berdamai pada saat terdesak kemudian mengingkari perjanjian bila bala bantuan telah tiba. Dari enam strategi ini, hanya strategi keenam yang nyaris tidak pernah dipratikan kaum Padri. Hal ini nampaknya berhubungan dengan ideologi (kepercayaan/agama). Kaum Padri yang berperang atas nama agama (Islam) jelas menghargai janji. Dalam ajaran agama mereka(Islam), janji adalah hutang yang harus dipenuhi. Sebaliknya,  Belanda menjadikan perang sebagai bagian dari ekspansi politik, di mana dalam dunia politik dihalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan. Termasuk melanggar janji yang telah diucapkan. Tuanku Imam Bonjol berkali-kali menyebut tentang pengkhiatan atas janji-janji yang dibuat Belanda.

Peranan ideologi (agama) atau kepercayaan tidak hanya terlihat dari keteguhan kaum Padri memegang janji, tetapi juga dalam ‘cara berperang’. Para pejuang Padri sangat percaya pada kekuatan gaib. Sering kali mereka pergi berperang setelah menemukan waktu yang cocok sesuai dengan ‘penglihatan’ para tuanku mereka. Para tuanku mereka percayai memiliki kekuatan gaib (keramat). Sehingga perkataan tuanku selalu dipatuhi. Kepercayaan kepada para tuanku ini juga memiliki makna negatif dalam pertempuran. Sebagaimana dilaporkan Raaff, Elout dan Boelhouwer, sering kali pejuang Padri tiba-tiba meninggalkan pertempuran yang sudah hampir mereka menangkan karena tuanku atau pemimpin perang mereka luka atau tewas. Sering pula dilaporkan bahwa pasukan Padri tiba-tiba meninggalkan pengepungan sebuah benteng, padahal penghuni benteng sudah sangat kelaparan atau sekarat, karena pemimpin mereka luka atau tewas. Pejuang Padri percaya pada konsep pars pro toto, kehebatan seseorang pemimpin (komandan pasukan) akan memengaruhi kehebatan atau keberuntungan seluruh anggota pasukan.

Aspek kepercayaan seperti yang dimiliki dan diamalkan kaum Padri ini jelas tidak pernah ditemukan atau dipraktikan oleh pasukan Belanda dan para pembantu mereka.

Perang Padri adalah perang terlama pertama yang dialami oleh pemerintah Hindia setelah mereka berkuasai setelah Pemerintahan Sementara (Tuschen Bestuur) Inggris. Masing-masing pihak sama serius dan sungguh-sungguh maju ke medan tempur. Dengan sistem persenjataan dan strategi tempur yang relatif sama, maka ‘aspek lain’ di luar persenjataan dan strategi tempurlah yang akhirnya menjadi penentu kemenangan salah satu pihak (Belanda).

Sebelum mengakhiri tulisan ini, bukan sekedar apologia atas kekalahan kaum Padri, perlu diulang sekali lagi, bahwa sesungguhnya sistem persenjataan dan strategi tempur kaum Padri dan Belanda relatif sama dan seimbang, serta nyaris tidak ada yang baru yang ditampilkan dalam pertempuran itu. Namun, kalau ingin dicari juga sesuatu yang baru dalam Perang Padri dan itu mungkin tidak pernah digunakan dalam perang modern adalah penggunaan tahi (tinja) oleh tentara Urang Awak. Penggunaan tahi (tinja) untuk menyerang musuh, sebagai upaya terakhir sebelum dikalahkan, tidak hanya menampilkan aspek ‘kreatif ‘ dalam berperang tetapi juga sebagai pembuktian bahwa perlawanan mesti dilakukan hingga penggunaan ‘senjata’ terakhir yang bisa menghinakan musuh.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Haan, F. de, “Naar Midden Sumatra in 1684” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 39 (1897), hal. 327-66.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Budak di Sumatra Barat pada Masa Perang Padri

Penulisan sejarah Perang Padri selama ini, apalagi yang ditulis oleh orang Indonesia, didominasi oleh penulisan sejarah politik, yang umummya menyajikan peristiwa-peristiwa besar dan tokoh-tokoh besar. Karena itu, aspek-aspek yang ditampilkan lebih terfokus pada permusuhan dan kesumat antara kaum Padri dan kaum adat (penghulu), kecamuk perang antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, peran atau heroisme Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Harimau Nan Salapan, serta kehebatan atau kedurjanaan para pejabat sipil dan militer Belanda, seperti Raaff, Stuers, Gilavry, Elout, Michiels, dlsbnya. Keberadaan dan kejadian-kejadian yang dialami ‘orang kecil’ atau ‘masyarakat kebanyakan’ relatif terabaikan. Keberadaan dan pengalaman historis para prajurit atau hulptroepen, kuli angkat, atau penduduk berbagai kampung yang terlibat serta sekaligus menjadi korban perang, misalnya, hampir tidak pernah diungkapkan.  

Satu lagi kelompok ‘orang kecil’ yang sangat sedikit dikaji/dikemukakan adalah budak. Padahal, keberadaan dan pengalaman historis ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau (Sumatra Barat) sangat erat kaitannya dengan Perang Padri. Bisa dikatakan, bahwa dalam struktur masyarakat Minangkabau, ‘kelas’ budak ini hadir karena Perang Padri. Proses kehadiran, respon dan perlakuan terhadap budak saat itu menjadikan Perang Padri semakin dinamis dan sekaligus rumit. Sayangnya, seperti yang disebut di atas, sebagian besar karya tentang Perang Padri tidak menyinggung atau hanya menyinggung secara sepintas saja mengenai keberadaan dan pengalaman historis mereka. Sajian yang sedikit itu malahan membuat keberadaan dan pengalaman sejarah budak semakin tidak jelas. Apalagi tulisan yang sedikit itu umumnya ditulis dalam kaitannya dengan penghapusan (afschaffing) budak di Sumatra Barat khususnya dan di Indonesia yang dimulai pada sejak tahan 1860 dan dilaksanakan tahun 1870-an.

Berdasarkan kenyataan itulah, tulisan ini mencoba menyajikan kaitan antara Perang Padri dengan keberadaan budak pada masyarakat Minangkabau dan bagaimana pengalaman historis para budak pada masa perang tersebut. Di samping itu tulisan ini juga akan mengungkapkan siapa yang dimaksud dengan budak.? Bagaimana budak diperlakukan dan bagaimana kelompok masyarakat ‘non-budak’ merespon kehadiran dan keberadaan mereka? Akhirnya juga akan disajikan bagaimana sikap pemerintah Belanda terhadap keberadaan budak.

II

Perang Padri memiliki hubungan yang  sangat erat dengan ‘kelas’ budak. Hubungan ini setidaknya dapat dilihat dari tiga sisi sejarah budak di Sumatra Barat (Minangkabau). Sisi pertama, Perang Padri adalah kurun waktu munculnya ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau. Sisi kedua, Perang Padri adalah periode semakin banyaknya budak Nias di Sumatra Barat dan semakin luasnya wilayah sebaran budak Nias di daerah ini. Sisi ketiga, Perang Padri adalah kurun waktu ‘tarik ulur kebijakan’ dan ‘jaga gengsi’ di kalangan politisi dan pejabat kolonial dalam menyikapi keberadaan atau penghapusan budak.

Sumber-sumber sejarah menginformasikan bahwa budak mulai hadir dalam masyarakat Minangkabau, terutama di daerah pedalaman, secara masif pada masa Perang Padri. Dari sumber-sumber itu juga diketahui bahwa jumlah budak bertambah dengan sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat. 

Walaupun sumber-sumber adat tidak menyebut adanya ’kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau tradisional (sebelum Gerakan dan Perang Padri), namun bisa dipastikan, pada masa adat jahiliyah orang Minang telah mengenal budak. Adanya kata lacieh,dalam perbendaharaan kata lama (archaic word) Minangkabau, yang kira-kira sama padanannya dengan kata budak, mengindikasikan bahwa orang Minang ‘tempo jahalia’ telah mengenal budak. Tulisan yang Fakih Sangir yang menyebut bahwa ada kelompok bandit yang merampok serta menawan penduduk suatu kampung , kemudian menjual tawanannya tersebut adalah salah satu contoh bahwa sebelum masa Padri orang Minangkabau telah mengenal praktik ‘menjual orang’ (budak). Dalam konteks inilah pernyataan Verkerk Pistorius, yang juga diulangi oleh EP. van Kerckhoff  bisa kita pahami, bahwa sebelum ‘masa putih’ budak bukannya tidak dikenal di darek.

Budak memang hadir dalam jumlah yang besar di kalangan orang Minang seiring dengan adanya Gerakan dan kemudian Perang Padri. Dalam aksi mereka, kaum Padri menyerang berbagai perkampungan yang dikatakan belum menjalankan agama Islam dengan benar dan sungguh-sungguh. Dalam aksi tersebut banyak kaum lelaki yang luka dan meninggal, banyak rumah yang dirusak dan dibakar, banyak harta-benda, termasuk binatang ternak warga kampung yang diserang yang diambil (dirampas). Tidak itu saja, banyak pula penduduk kampung yang dikalahkan yang ditawan dan dijadikan budak.

Mengambil atau merampas harta penduduk kampung yang dikalahkan, atau menawan dan menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebagai budak adalah bagian dari aksi yang dilakukan kaum Padri dalam menyebarkan faham keagamaannya. Aksi ini kemungkinan besar dipengaruhi dari apa yang dilihat oleh pembawa faham Padri dari Tanah Arab. Ketika mereka berada di Tanah Suci, kaum Wahabi yang tengah mengadakan revolusi keagamaan, melakukan aksi kekerasan dalam dakwah mereka, termasuk merampas barang-barang milik lawan, menawan dan menjadikan lawan yang kalah sebagai budak. Aksi seperti itu dibawa pulang dan diperkenalkan pula oleh pengagum Wahabisme itu (Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang) ke Minangkabau. Pengagum ajaran Wahabi itu dinamakan kaum Padri. Aksi ‘ala Wahabi tersebut semakin massif dipraktikkan  ketika pengaruh Padri semakin kuat, dan itu terjadi karena kebanyakan tuanku Padri hanya mengamimi faham yang dibawa ‘trio’ ulama tersebut.

Sebagaimana disampaikan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, banyak kampung yang diserang oleh kaum Padri. Ada belasan, kalau tidak puluhan kampung yang mereka dan kalahkan. Karena Tuanku Imam lebih banyak berkisah mengenai aksi kaum Padri Bonjol, maka kampung-kampung yang mereka serang umumnya berada di kawasan Bonjol, Agam utara, Limapuluh kota bagian barat hingga Bangkinang, serta kampung-kampung di Lubuk Sikaping, Pasaman Barat, Rao, Rokan Hulu serta Mandahiling. Secara terang benderang Tuanku Imam menyebut bahwa banyak harta-benda dan ternak penduduk kampung yang diserang yang dirampas, dan banyak warga kampung yang diserang yang ditawan dan dijadikan budak.

Harta benda dan ternak yang dirampas tersebut dibawa ke Bonjol. Begitu juga warga berbagai kampung yang ditawan dan dijadikan budak juga dibawa ke Bonjol. Sehingga bisa dikatakan bahwa Bonjol ‘penuh’ oleh budak saat itu.

Nahuijs, Boelhouwer, Stuers, Lange dan sejumlah penulis Belanda lain juga menyebut bahwa aksi perampasan harta-benda serta menawan dan menjadikan budak penduduk kampung yang dikalahkan juga dilakukan oleh tokoh Padri yang lain dari daerah yang lain. Tuanku Nan Renceh dari Agam dan Tuanku Lintau dari Tanah Datar termasuk yang disebut-sebut sebagai pemimpin Padri yang banyak merampas harta benda penduduk dan menawan serta menjadikan budak penduduk kampung yang mereka kalahkan. Aksi-aksi Tuanku Nan Renceh (dan juga Tuanku Lintau) ini juga sampai terdengar di kawasan timur Sumatra. Sehingga di kawasan itu, sebagaimana disebut John Anderson, Gerakan atau Perang Padri lebih dikenal sebagai Gerakan Nan Rincih (Renceh). Namun bila diperbandingkan, aksi Padri Bonjol bisa dikatakan sebagai aksi yang paling banyak melakukan perampasan harta-benda penduduk, yang paling banyak menawan, serta menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebaagi budak. Khusus untuk yang disebut terakhir, ada kaitannya dengan posisi daerah/wilayah ‘operasi’ Padri Bonjol.  Kaum Padri Bonjol umumnya beraksi di daerah pinggiran (rantau), sehingga perlawanan dari kaum adat (penghulu) tidak begitu kuat. Di samping itu, aksi Padri Bonjol banyak dilakukan di kawasan Mandailing (Batak) yang warganya sejak waktu yang lama juga telah menjadi sasaran para pencari budak. Sebagaimana dikatakan oleh John Anderson dan juga Tome Pires, orang Batak telah lama dicari dan dijadikan budak, serta dijadikan sebagai komoditas perdagangan.

Budak Batak

Sumber: Anderson, John, Mission to the Eastcoast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826).

Para tawanan atau budak terdiri dari penduduk laki-laki dan perempuan. Umumnya lelaki yang badannya kekar dan perempuan yang parasnya cantik. Di samping itu juga ada anak-anak (anak-anak dari warga kampung yang ditawan). Orang tua nyaris tidak ada, karena sengaja ditinggalkan di kampung yang ditaklukkan, lagi pula orang tua itu pasti tidak bisa berjalan jauh menuju Bonjol atau menuju nagari basis kedudukan kaum Padri.

Tidak diketahui berapa jumlah pasti budak kaum Padri di seluruh darek. Diperkirakan jumlahnya pasti ribuan. Data yang disajikan Stuers mengatakan bahwa saat memasuki Bonjol tahun 1832 Elout menyebut bahwa ada sekitar 2.000 budak pusat Padri itu. Dikatakan bahwa Tuanku Imam dan Tuanku Muda (panglima Peang Tuanku Imam) masing-masing memiliki 300 budak, Khatib memiliki 200 budak. Tuanku-tuanku yang lainnya juga memiliki cukup banyak budak.

Seperti disebut oleh Boelhouwer dan Lange, di Bonjol budak tersebut umumnya tinggal dalam benteng, tempat para pemimpin Padri tinggal. Di samping itu mereka juga tinggal di kampung-kampung di mana para pemiliknya bermukim.

Sebagai ‘barang’ kepunyaan, nasib budak sangat tergantung pada kehidupan tuannya. Ketika tuannya kelaparan maka para budak juga ikut kelaparan. Hal ini terjadi ketika Belanda menyerang dan memblokade benteng Bonjol dalam waktu yang lama, sehingga warga Bonjol kekurangan makanan. Saat itu, jangankan para budak, tuan pemilik budak juga menderita kelaparan. Ketika wabah berkembang dan menyerang tuannya di Bonjol, maka para budak juga ikut sakit kena wabah, bahkan bisa jadi para budak lebih dulu meninggal daripada tuannya karena tidak mendapat pengobatan yang layak.

Para budak memang diperlakukan sesuai dengan keinginan para pemiliknya. Mereka dijaga ketat agar tidak melarikan diri (upaya melarikan diri, dan cukup banyak yang berhasil, senantiasa dilakukan oleh para budak, terutama budak Batak). Para budak umumnya dipekerjakan mengolah sawah. Budak juga diperjualbelikan. Harga budak lelaki adalah f.30,- dan harga budakperempuan (gadis) f.60,- Para penjual (orang yang menjadi perantau penjualan budak) mendapat 1/3 atau ¼ dari harga penjualan. Tidak hanya diperjualbelikan, budak juga dijadikan sebagai hadiah. Tuanku Imam Bonjol misalnya pernah memberi Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik hadiah beberapa orang budak perempuan Batak.

Aksi-aksi penyerbuan kampung, perampaan harta-benda dan penawanan, serta menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak sudah dihentikan Padri Bonjol sejak tahun 1829/1830. Penghentian aksi ini ada hubungannya dengan kembalinya empat orang haji utusan kaum Padri Bonjol untuk melihat praktik dakwah dan keagamaan di Tanah Arab. Dikatakan bahwa di Mekkah dan Medinah tidak ada lagi aksi dan praktik kekerasan dalam dakwah. Sejak itu, sesungguhnya, jumlah budak Padri tidak bertambah lagi. Namun demikian, budak yang sudah mereka miliki tidak dibebaskan. Budak-budak itu tetap mereka ‘piara’ hingga, seperti yang akan dibicarakan, dibebaskan oleh Belanda nantinya.

Aksi kekerasan kaum Padri berupa perampasan harta benda, penawanan dan menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak mendapat kecaman keras dari kaum adat (penghulu). Hal ini bisa dimaklumi, karena kampung-kampung yang diserang oleh kaum Padri adalah kampung-kampung yang dikatakan sebagai pendukung kaum adat. Kenyataan ini sangat nampak di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Walaupun terletak di daerah rantau, beberapa kampung yang diserang Padri Bonjol di Lubuk Sikaping, Rao dan Pasaman Barat juga bisa dikatakan sebagai kampungnya kaum adat, karena perlawanan gigih di kampung-kampung itu dipimpin langsung oleh para penghulu.

Sehubungan dengan itu, kaum penghulu, yang diwakili oleh anak-kemenakan mereka yang tergabung dalam Hulpbende (‘geromboan’ atau pasukan bantuan Melayu dalam tentara Belanda), sangat bersemangat membantu Belanda dalam menyerang kaum Padri. Tentara ninik-mamak ini akan semakin beringas kalau kaum dan kampung Padri telah kalah. Mereka segera melepaskan dendam kaumnya dengan menghajar kaum Padri yang sudah kalah, merampas harta-benda kaum Padri yang sudah takluk, termasuk juga menjadikan mereka sebagai tawanan dan juga budak. Pasukan ninik-mamak dari Tanah Datar, khususnya dari Batipuh, adalah kelompok Hulpbende yang paling bersemangat menyerang kaum Padri. Itu pulalah sebab di nagari itu paling banyak ditemukan budak (semasa Perang Padri dan sesudahnya hinga dibebaskan tahun 1870-an).

Elout dan pejabat Belanda sesungguhnya melarang menjadikan tawanan perang sebagai budak sesungguhnya. Tetapi, laranga itu tidak sepenuhnya dipatuhi oleh pemimpin perang dari kalangan Hulpbende (penghulu). Apalagi Regen Patipuh yang memiliki kedudukan istimewa di mata pejabat Belanda. Kedudukan istimewa yang banyak perbuatannya dibiarkan saja oleh petinggi Belanda, termasuk menjadikan budak tawanan perangnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Raja Gedombang, pemimpin masyarakat Batak (Mandahiling) yang bergabung dengan tentara Belanda. Raja Gedombang dari Huta Godang, dengan sengaja mengajukan dirinya kepada Elout, Resident van Padang en Onderhoorigheden, untuk membantu Belanda. Raja Gedombang ingin membantu Belanda karena ingin membalas kekejaman kaum Padri terhadap warganya (orang Tapanuli), termasuk menjadikan kaum perempuannya sebagai budak.

Raja Gedombang memang membuktikan kata-katanya. Dia mengerahkan ribuan rakyatnya berperang membantu Belanda melawan Padri. Dia juga melakukan balas dendam menghajar Padri dan menawan penduduk perkampungan Padri. Sayangnya, niat Raja Gedombang untuk menjadikan warga perkampungan Padri sebagai budak tidak bisa diwujudkan sepenuhnya. Karena seperti telah disebut di atas, Elout khususnya dan petinggi Belanda pada umumnya melarang Raja Gedombang menjadikan tawanan perang (kaum Padri) sebagai budak (dan Raja Gedombang mematuhinya). Di samping  itu Raja Gedombang tewas sebelum niatnya bisa diwujudkan.

Pelarangan kepemilikan budak sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Belanda di daerah ini sejak tahun 1820. Ini berarti setahun setelah pemerintah mengambil alih daerah ini dari tangan Inggris. Pelarangan kepemilikan budak di Sumatra Barat adalah kelanjutan dari ide atau gagasan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa sejak tahun 1818.

Walaupun telah digagas untuk diterapkan tahun 1820, ternyata hingga tahun 1832 belum ada penguasa daerah yang betul-betul menjalankan kebijakan tersebut. Penguasa daerah nampaknya ogah-ogahan menerapkan kebijakan tersebut. hal ini, bisa jadi sebagai hasil lobby para pemilik budak. Barulah tahun 1832 munculnya perintah pembebasan budak dan itu dilakukan oleh Elout. Tahun 1832 kebijakan tersebut dilaksanakan karena adanya ‘niat baik’ sang residen untuk menghabiskan praktik perbudakan di daerah ini. Alasan lainnya dan ini adalah alasan yang ‘paling utama’, sebagaimana dikatakan Stuers, adalah perbudakan itu tidak sesuai dengan ‘semangat/jiwa Eropa’.

Selanjutnya, seperti yang dikatakan juga oleh Stuers, penghapusan perbudakan adalah satu cara penihilan pengaruh negatif Padri (Islam) di tengah masyarakat. Dikatakan bahwa perbudakan diperkenalkan oleh kaum Padri dan dikerjakan oleh orang Islam.

Dengan alasan itu pulalah, ketika memasuki Bonjol, Elout atas nama pemerintah Hindia Belanda membebaskan 2.000 orang budak yang ada di tangan kaum Padri Bonjol. Dan seperti yang telah disebut sebelumnya,  600 budak yang dibebaskan itu adalah milik Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda, 200 orang milik Khatib dan sisanya milik sejumlah tuanku lainnya.

Elout juga memerintahkan pembebasan sejumlah budak yang ada di tangan sejumlah tuanku yang ada di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Bahkan Elout juga menyuruh bebaskan para budak yang dihadiahkan oleh Tuanku Imam Bonjol kepada Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik.

Pembebasan budak disambut hangat oleh petinggi masyarakat Mandahiling dan kaum penghulu. Namun pada saat yang bersamaan mereka juga kecewa dengan sikap pemerintah. Mereka kecewa karena mereka tidak bisa membalaskan dendam dengan menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Mereka kecewa karena pemerintah Belanda melarang mereka menjadi kaum Padri sebagai budak.

Walaupun demikian, seperti yang telah dikatakan di atas, di sejumlah nagari kaum penghulu dan tentara ninik mamak tetap saja menawan kaum Padri dan menjadikan mereka sebagai budak. Beberapa petinggi Belanda sesudah Elout seakan-akan membiarkan para penghulu menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Ini adalah bagian dari politik kolonial licik, yang akan menumbuhkan rasa dendam di kalangan kaum Padri dan kaum penghulu (adat). Dendam antara dua kelompok yang bersiteru ini tetap dipelihara oleh pejabat Belanda hingga perang usai. Bahkan setelah perang usai, kaum penghulu dibiarkan memelihara atau mempertahankan budak-budak mereka, hingga perbudakan dihapuskan dari Sumatra Barat (Minangkabau) pada tahun 1870-an.

III

Perang Padri tidak hanya berarti bagi kemunculan budak di kawasan darek (budak dari kaum Padri dan juga dari kalangan penghulu), tetapi juga bagi keberadaan budak di kawasan pesisir. Perang Padri telah memicu pertambahan budak di kawaasan pesisir. Tidak itu saja, Perang Padri telah menyebabkan meluaskan wilayah sebaran atau operasional budak pesisir. Pada masa Perang Padri, banyak budak yang sebelumnya menetap atau beroperasi di kawasan pesisir, mulai masuk ke pedalalaman.

Walaupun pertambahan, sebaran domisili dan wilayah operasi budak pesisir semakin meluas pada masa Perang Padri, namun yang jelas keberadaan mereka tidak ada hubungannya dengan kaum Padri atau kalangan penghulu. Mereka juga bukan tawanan atau diperbudak oleh kaum Padri atau kaum penghulu. Budak pesisir bukan dari etnik Minang dan bukan berurusan dengan orang Minang. Budak pesisir adalah orang Nias dan umumnya dimiliki oleh Christenen (orang Kristen/Eropa) dan Chinezen (orang Tionghoa).

Budak pesisir atau budak Nias telah ada di kawasan pesisir jauh sebelum Perang Padri meletus. Mereka datang atau dibawa dari Pulau Nias. VOC punya andil besar dalam mendatangkan budak Nias ke Pantai Barat (Padang). Di samping itu, peran saudagar Aceh dan Melayu juga tidak bisa dikatakan kecil dalam perdagangan budak Nias. Bahkan H.J. Domis mengatakan bahwa orang Aceh dan Melayulah yang memulai perdagangan budak Nias.

Pada hari-hari pertama Belanda menguasai Padang, penguasa kolonial sempat mendata jumlah budak Nias yang ada di kota tersebut. Jumlahnya sebanyak 1.861 orang. Dari sajian data ini bisa dikatakan bahwa semua orang Nias yang ada di Padang saat itu adalah budak. Seperti yang disebut di atas, semua budak ini dimiliki oleh orang Eropa dan Tionghoa.

Orang Minang yang tinggal di Padang tidak ada yang memiliki budak, baik budak Nias atau budak Melayu (Minang). Stuers menyebut bahwa orang Minang di Padang tidak mengenal budak. Kalau pun ada orang yang ‘terikat’ dengan orang kaya di Padang, maka mereka bukan termasuk kelas budak, tetapi pandelingen (orang beroetang). Jumlah pandelingen juga tidak begitu banyak, serta status dan perlakuan terhadap mereka juga jauh berbeda daripada budak. Mereka lebih bebas dalam beraktivitas (tentu dengan seizin tuannya).

Budak Nias sering digunakan untuk menghasilkan uang oleh tuannya. Mereka juga diperjualbelikan. Ketika Perang Padri mulai berkecamuk dan tentara Belanda mulai mengalami kekurangan tukang angkat barang ke daerah pedalaman, maka para pemilik budak di Padang menawarkan budak-budak mereka kepada pemerintah. Tentara Belanda yang kekurangan tenaga menerima tawaran tersebut dan sejak saat itu, sejak tahun 1822/1823 mulai banyak budak Nias yang masuk ke daerah pedalaman.

Tentara Belanda menyukai budak Nias karena mereka lebih patuh bila dibandingkan dengan kuli angkat Melayu (orang Minang). Budak Nias dikatakan tidak pernah melalaikan kewajibannya atau lari, namun kuli angkat orang Minang acap lalai, suka memeras, dan sering melarikan diri bila ada kesempatan untuk lai. Kolonel Nahuijs mengalami pengalaman seperti ini, sejumlah kuli angkat yang telah dibayarnya melarikan diri dan tidak ditemukan lagi saat dia datang ke tempat kuli angkat yang dia tinggalkan. Sehingga dia terpaksa menyewa kuli angkat yang lain, yang tahan harga, yang mengenakan harga yang tinggi kepada Nahuijs karena meminta tenaganya dalam waktu yang mendesak.

Di samping ke arah pedalaman, budak Nias juga menyebar ke kota pantai lainnya di pesisir barat Sumatra Barat. Salah satu di antaranya ke Pariaman. Penyebaran ke kota yang berlokasi di utara Padang ini ada hubungannya dengan keberadaan orang Tionghoa di kota tersebut. Orang atau saudagar Tionghoa tersebutlah yang membawa mereka pertama kali ke sana.

Seperti yang telah disebut bagian terdahulu, seiring dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk ingin menghapuskan keberadaan budak, maka selama Perang Padri kita saksikan pula adanya sejumlah kebijakan untuk menghapuskan keberadaan budak di Sumatra Barat. Kebijakan ini terutama sekali diterapkan pada budak Nias. Kebijakan itu misalnya terlihat dari adanya pelarangan pemakaian budak Nias sebagai pembawa barang pasukan Belanda, dan program pemulangan budak Nias ke kampung asalnya. Namun, kebijakan ini nampaknya tidak berhasil. Budak Nias masih dipakai sebagai kuli angkut dan budak-budak yang dipulangkan ternyata kemudian kembali lagi ke Padang, atau dikembalikan oleh pedagang budak ke Padang. Sebagaimana disajikan dalam artikel yang berjudul “Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar” (1854), hingga berakhirnya Perang Padri atau bahkan hingga tahun 1850-an, budak Nias masih merupakan salah satu komoditas perdagangan di Pantai Barat Sumatra. Di samping ke Padang, beberapa tulisan lain juga menyebut mengenai perdagangan budak Nias ke Aceh, ke Tanah Semenanjung Malaysia, dan juga Batavia.

Sama dengan yang dialami oleh budak Minang, penghapusan status budak bagi orang Nias baru terjadi tahun 1870-an. Momen itu terjadi seiring dengan diperlakukan Undang-undang Penghapusan Perbudakan di Hindia Belanda, sebagaimana yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1859, No. 46 dan 47. Walaupun dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1860, namun Undang-undang tersebut baru mulai direalisasikan di Sumatra Barat tahun 1870-an. Sejak saat itu dilakukanlah pembebasan para budak dan juga orang berhutang, serta kemanakan di bawah lutuik, yang umumnya dimiiki orang Minang keturunan non-Padri di sejumlah daerah di darek, serta pembebasan sejumlah budak Nias di koa Padang dan Pariaman. Sejak waktu tersebut, secara resmi berakhirlah keberadaan budak, baik budak Minang, budak Mandahiling (Batak) atau budak Nias di Sumatra Barat. Sejak saat itu berakhir pulalah salah satu warisan, salah satu ‘legacy’ Perang Padri di Sumatra Barat (Minangkabau).

Sumber:

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Domis, “Het Eiland Nias” dalam J. Olivier Jz.,  De Oosteerling, Tijdschrift Bij Uitsluiting Toegewijd Aan de Verbreiding der Kennis van oost-Indie, 2de Deel, no. 1, 1835.

Kerckhoff, Ch. E.P. van, “Eenige Mededelingen en Opmerkingen Betreffende de Slavernij in Nederlandsch-Indie en Hare Afschaffing” dalam Indische Gids, 13, 1891.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Pistorius, Verkerk, “Iets Over de Slaven en de Afstammelingen van Slaven in den Padangsche Bovenlanden” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 16, 1868.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

“Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar”, dalam TNI, 16, 1854.

Ditulis oleh: Gusti Asnan