Di samping tentara yang campin, terlatih, dan berani, persenjataan dan strategi yang dijalankan sangat menentukan kemenangan pihak-pihak yang tengah berperang. Hal yang sama juga berlaku pada masa Perang Padri. Masing-masing pihak yang bersiteru sama-sama menyiapkan sumber daya tentara yang siap bertempur ke medan laga, melengkapi angkatan perang atau tentaranya dengan persenjataan yang tercanggih untuk masanya, serta juga menerapkan strategi tempur yang diperhitungkan bisa mengalahkan alwan.
Selama ini ada pendapat yang mengatakan bahwa angkatan perang Belanda lebih banyak jumlahnya. Pendapat ini didasarkan pada adanya tentara bantuan dari orang-orang Indonesia non-Minang (Hulptroepen), serta orang Minang atau Hulpbende. Khusus untuk yang disebut terakhir ini sering dikatakan “…jumlahnya tak terkira banyaknya”. Juga sering dikatakan bahwa strategi perang Belanda lebih hebat karena dikomandoi oleh para perwira veteran berbagai perang di Eropa atau di banyak tempat di Hindia Belanda. Acap pula dikatakan bahwa tentara Belanda jauh lebih hebat atau canggih persenjataannya. Berbagai lukisan tentang perang Padri menjadi dasar untuk pernyataan terakhir ini.
Apakah pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan kenyataan di lapangan? Apakah jumlah tentara kaum Padri tidak banyak serta persenjataannya tidak lengkap dan canggih? Apakah kaum Padri tidak memiliki strategi perang dalam menghadapi Belanda atau strategi perang mereka kalah hebat dibandingkan dengan yang dimiliki Belanda?Apakah para tuanku Padri bukan ahli strategi perang?
Tulisan ini mencoba menampilkan aspek-aspek persenjataan yang dimiliki dan strategi tempur yang dipaktikkan oleh kaum Padri dan Belanda selama Perang Padri. Aspek-aspek ini adalah aspek-aspek yang sangat penting tetapi cendrung dikemukakan secara fragmentaris serta partial dalam sejumlah kitab atau tulisan mengenai Perang Padri selama ini.
II
Masing-masing pihak yang terlibat dalam Perang Padri sesungguhnya memiliki senjata yang mumpumi dan strategi perang yang hebat. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa begitu lamanya perang berlangsung dan begitu sulitnya masing-masing pihak yan berperang mengalahkan lawannya. Sehingga akhirnya bisa dikatakan bahwa pihak Belanda bisa memenangkan perperangan bukan karena kehebatan tentaranya, bukan karena kecanggihan senjatannya, dan bukan pula karena kehebatan strategi tempur yang dirancang para komandan atau ahli perangnya, tetapi karena kelicikan yang mereka jalankan.
Kaum Padri, di samping memiliki tentara yang banyak, berani dan militan, juga memiliki sistem persenjataan dan sistem perlindungan diri yang canggih, serta strategi perang yang jitu. Informasi mengenai persenjataan dan sistem perlindungan diri kaum Padri, serta strategi tempur yang mereka miliki bisa ditemukan dalam memoar Tuanku Imam Bonjol dan juga dalam sumber-sumber yang dibuat oleh orang Belanda. Dari sumber-sumber itu bisa diketahui bahwa kaum Padri memiliki beragam jenis senjata, mulai dari jenis yang paling sederhana (atau senjata ‘tradisional’) hingga yang paling canggih (modern) untuk masanya. Beberapa jenis senjata ‘tradisional’ yang lazim dikenal dan paling banyak digunakan adalah pedang, tombak, ranjau, sejwa, umban tali, keris, rencong, pisau, cinangke, damaq, sakin, kulipah, dlsnya. Dikatakan bahwa senjata jenis ini dipergunakan oleh para pejuang Padri. Dikatakan juga sebagian dari senjata jenis ini, misalnya pisau, keris dan pedang, telah menjadi ‘pakaian’ bagi kaum Padri. Maksudnya jenis-jenis senjata ini hampir selalu dibawa oleh atau diselipkan di pinggang para pejuang Padri ke mana pun mereka pergi.
Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879, Derde Deel; Volkbeschrijving Taal, 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882.
Jenis-jenis senjata yang canggih (modern) yang dimiliki dan digunakan kaum Padri adalah setengga (disebut juga bedil atau senapan) dan meriam. Walaupun kedua senjata ini sering disebut sebagai senjata modern, pada saat Perang Padri, kedua jenis senjata bukan barang baru bagi para pejuang Padri. Bedil atau meriam telah lama dikenal orang Minang. Dari beberapa sumber diketahui bahwa kedua jenis senjata ini telah lazim digunakan orang Minang pada abad ke-17, atau bahkan telah digunakan juga pada abad ke-16. Tembakan senapan atau meriam telah lazim dilakukan orang Minang untuk menyambut atau melepas tamu. Thomas Dias yang tahun 1684 mengunjungi istana Pagaruyung (yang berlokasi di Kumanis) disambut dengan tembakan-tembakan senjata dan juga dentuman meriam berkali-kali).
Bahwa senapan atau bedil telah begitu akrab dengan orang Minang, bisa dilihat dari dijadikannya kata bedil itu sebagai kata kerja (verb) dalam bahasa Minang. Dalam memoar Tuanku Imam Bonjol banyak sekali ditemui kata kerja “membedil”.
Seperti disebut di atas, ada banyak “senjata tradisional” yang digunakan oleh kaum Padri, namun yang lazim disebut dan digunakan adalah pedang, tombak, dan ranjau. Tuanku Imam sendiri beberapa kali menyebut dirinya menggunakan pedang melawan musuh, salah satu di antaranya adalah saat sejumlah tentara bantuan Belanda (orang Payakumbuh dan Bugis) berhasil masuk ke bonjol (benteng Padri) dan menyusup ke rumah Tuanku Imam. Setelah kaki tangan Belanda itu melakukan aksi dengan menangkap dan melukai beberapa penghuni rumah, Tuanku Imam Bonjol melawan penyusup dengan pedang. Gemercingan bunyi pedang Tuanku Imam beradu dengan bayonet atau senapan para penyusup. Tuanku Imam sangat mahir memainkan pedangnya hingga banyak penyusup yang tewas dibabatnya. Namun karena dia mengamuk seorang diri dan musuh berjumlah banyak maka tak pelak lagi dia juga kena tusuk bayonet serta kena hantam senapan. Walaupun musuh kemudian melarikan diri, seusai perkelahian itu diketahui Tuanku Imam mengalami luka dan ada 13 liang luka di sekujur tubuhnya.
Pedang juga menjadi senjata andalan para tuanku Padri yang lainnya. Tuanku Nan Barampek, para panglima perang dan tangan Tuanku Imam Bonjol, berkali-kali menggunakan pedangnya dalam menghadapi lawan.
Jadi pedang adalah senjata yang paling lazim digunakan pejuang Padri.
Ranjau adalah jenis senjata kaum Padri yang banyak disebut oleh penulis Belanda. Senjata jenis ini banyak mendapat perhatian karena sangat ditakuti serta terbukti ampuh dalam menghadapi musuh. Sebagai mana dikatakan Boelhouwer dan juga Elout serta Kielstra, ranjau adalah ‘senjata rahasia’ yang terbuat dari bambu, kayu dan besi. Ranjau terdiri dari berbagai bentuk dan difungsikan pada atau dengan beberapa media.
Pertama, ranjau telapak kaki. Ranjau jenis ini paling banyak digunakan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 2 sampai 3 cm, dipotong pendek sekitar 20 s.d. 30 cm., salah satu ujungnya diruncingkan dan kemudian ditanam di tanah yang berumput sehingga kalau terpijak akan melukai telapak kaki.
Kedua, ranjau perut. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 3 s.d. 5 cm. atau terbuat dari bambu jenis sariak, sejenis bambu dengan diameter 2 s.d. 3 cm, atau dari batang kayu kecil dengan diameter 3 s.d. 5 cm. yang dipotong dengan panjang sekitar 90 cm 100 cm. Salah satu ujungnya juga diruncingkan. Ranjau jenis ini ditanam didalam tanah yang banyak ditumbuhi ilalang dan ujung yang runcing sengaja ditinggalkan dipermukaan tanah dengan ketinggian sekitar 60 s.d. 70 cm. pada posisi miring (dengan kemiringan + 60°). Ranjau jenis ini ditujukan kepada musuh yang berlari di padang ilalang. Biasanya ranjau jenis ini akan menusuk perut penyerang yang kurang waspada.
Ketiga, ranjau dalam lubang. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bilah bambu dan potongan kayu yang diruncingkan. Beda utamanya adalah ranjau jenis ini ditanam didalam lubang dengan ukuran 1 X 2 X 1,5 meter lebar, panjang dan dalamnya. Lubang yang ditanami ranjau tersebut ditutup dengan dedaunan guna mengelabui musuh. Sehingga ketika musuh berlari dan kurang awas akan terjebak dan masuk ke dalam lubang yang dipasangi ranjau.
Keempat, ranjau badan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bilah bambu dengan panjang 10 s.d. 15 dan lebar 1 s.d 1,5 cm. yang salah satu ujungnya diruncingkan, atau terbuat dari kayu dengan panjang 10 s.d. 15 c,. dan diameter 1 s.d. 1,5 cm dan salah satu ujungnya juga diruncingkan. Khusus untuk ranjau yang terbuat dari kayu kadang-kadang salah satu ujungnya juga dipasangi besi yang runcing. Ranjau jenis ini, dalam jumlah beberapa buah, dibawa oleh para pejuang Padri pada saat mereka berperang. Biasanya ranjau-ranjau ini diikat menjadi satu dengan simpul khusus dan digantungkan didada (sebagaimana layaknya jalinan peluru yang digantungkan di dada tentara). Ranjau jenis ini bisa digunakan sebagai ‘senjata rahasia’ yang dilemparkan kepada musuh (sebagaimana yang dilakukan para ninja). Ranjau jenis ini bisa juga digunakan pada saat pemiliknya mundur (lari) dikejar musuh. Caranya dengan menjatuhkan ranjau-ranjau tersebut ke tanah sehingga musuh yang tidak hati-hati bisa menginjak ranjau badan ini.
Ranjau telapak kaki, ranjau perut, dan ranjau dalam lubang umumnya di pasang di sekitar benteng. Jadi ranjau adalah bagian dari strategi perlindungan benteng.
Seperti disebut di atas, di samping senjata ‘tradisional’, kaum Padri juga memiliki senjata ‘modern’. Setengga atau bedil adalah senjata ‘modern’ yang banyak dimiliki dan digunakan pejuang Padri. Dikatakan banyak memang ada dasarnya. Tidak hanya Tuanku Imam, sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa pejuang Padri memiliki banyak bedil. Tuanku Imam sendiri misalnya menyebut bahwa dalam serbuan ke Suliki pasukannya dilengkapi dengan 300 bedil. Waktu menyerang Rao dan Rokan dibawa 250 bedil. Waktu menyerang Malalak dibawa 7.050 bedil. Raaff, Stuers, Elout dan Kielstra sering menyebut bahwa pasukan Padri berjumlah ribuan orang dengan ratusan senapan. Mereka juga sering mengatakan bahwa ketika merebut benteng-benteng Padri ditemukan ratusan pucuk bedil di dalamnya.
Di samping dibuat sendiri, senjata kaum Padri juga didapat dengan jalan membelinya di Tanah Semenanjung dan juga dari Aceh. Para pedagang Padri sangat penting artinya dalam pengadaan bedil ini. Bedil dari Tanah Semenanjung dibawa para saudagar melalui sungai-sungai yang mengalir di kawasan timur kawasan darek. Sungai Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan adalah ‘jalan raya’ yang digunakan oleh para saudagar Padri untuk memasok senjata dan berbagai barang kebutuhan perang lainnya. Bedil dari Aceh umumnya didatangkan oleh saudagar Aceh yang menjadi mitra dagang saudagar Padri. Senjata dan berbagai barang kebutuhan perang dipasok saudagar Aceh hingga kawasan pesisir Sumatra barat bagian utara (kawasan pantai Pasaman hingga Natal). Selanjutnya senjata dan barang-barang itu dibeli dan dibawa ke darek oleh saudagar Padri. Ini pulalah sebabnya, sejak awal tahun 1830-an, Belanda berupaya mematikan ‘jalan dagang’ di kawasan timur darek dan juga berupaya menguasai kawasan pesisir Pasaman.
Bentuk bedil yang dipakai kaum Padri sangat sederhana. Panjangnya sekitar dua meter dengan popor yang juga sangat sederhana dan kuncinya juga sangat sederhana. Penggunaan senapan itu memerlukan keahlian khusus, kalau tidak sipengguna akan merasakan goncangan yang kuat serta akan terkena semburan api yang keluar dari bedil saat meletus. Bedil tersebut menggunakan mesiu dengan kualitas rendah. Pelurunya terbuat dari timah yang dibulatkan. Mesiu dan peluru dibuat sendiri atau produksi lokal (namun ada juga yang diimpor dari Tanah Semenanjung dan Aceh). Mesiu biasanya ditempatkan dalam karapai, salapah atau labu kecil yang isinya telah dibuang. Mesiu diambil dari tempatnya dengan tabung bambu kecil yang sekaligus sebagai alat takar dan dituangkan kedalam bedil. Pola penempatan seperti ini menyebabkan mesiu sangat rentan basah, terutama bila hari hujan atau melintasi sungai. Sering kali dilaporkan bahwa senjata tidak bisa bingkas (dimanfaatkan) karena mesiu basah.
Melihat bentuk dan cara pemakaian bedi, serta hasil yang didapatkan maka Nahuijs dan Boelhouwer menyebut bahwa pejuang Padri adalah penembak yang piawai.
Satu lagi senjata ‘modern’ yang dimiliki kaum Padri adalah meriam. Sama dengan bedil, ada banyak meriam yang dimiliki kaum padri, namun tidak diketahui jumlah pastinya. Bila dihitung dari berbagai sumber, bisa dikatakan bahwa jumlahnya ada puluhan (kalau tidak ratusan). Di samping dibawa dalam berbagai kampanye militer, umumnya meriam Padri ditempatkan di benteng. Rata-rata tiap benteng memiliki empat hingga enam meriam. Hal ini bisa dilihat dari Benteng Bonjol, Benteng Lintau, Benteng Katiagan, Benteng Sumadang, Lubuk Ambalau, dlsbnya.
Ukuran meriam Padri cukup beragam, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Meriam yang dibawa dalam sejumlah penyerbuan umumnya berukuran kecil (2 pon), tetapi meriam yang ditempatkan di benteng berukuran besar (12 pon).
Kebanyakan meriam yang digunakan Padri buatan Inggris, dan itu didatangkan dari Tanah Semenanjung.
Tidak hanya didatangkan dari Tanah Semenanjung, kaum Padri juga menggunakan meriam yang didatangkan dari Aceh atau meriam yang di masa lampau digunakan oleh VOC. Ada beberapa contoh untuk pernyataan ini, dan salah satu diantaranya adalah meriam yang digunakan Tuanku Imam Bonjol. Sebagaimana disebut dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjol menggunakan meriam yang pernah ditempatkan di Benteng Pasaman (benteng yang digunaka sejak masa VOC), yang dikatakan meriam itu dahulunya ‘pernah digunakan untuk mengalahkan Negeri Mesir’. Ada dua meriam yang pernah ada di benteng tersebut, namun keduanya sudah lama tidak digunakan dan terlantar. Satu buah sudah tergeletak di tengah padang (rumput/ilalang) dan yang satu lagi sudah terbenam ke dalam lubuk (sungai). Karena Tuanku Imam Bonjol ingin mendapatkan dan menggunakakannya maka kedua meriam itu diperbaiki. Berkat kecanggihan ahli senjatanya, kedua meriam tersebut berfungsi lagi dan menjadi meriam andalan Tuanku Imam Bonjol.
Sebagaimana layaknya meriam-meriam yang lain, kedua meriam lama itu juga diberi nama. Meriam yang tergeletak di tengah pada dinamai Air Benteng dan meriam yang sudah terbenam dalam lubuk dinamai Air Tajun.
Salah satu meriam di Bonjol yang sering dibawa-bawa untuk berperang dinamai Bujang Palembang.
Di samping memiliki peluru besi, kaum Padri juga menggunakan batu bulat sebagai peluru (anak meriam)nya. Hal ini dikemukakan oleh Boelhouwer ketika dia memasuki Bonjol.
Meriam sangat penting artinya bagi kaum Padri. Gerak maju Belanda menuju benteng Padri umumnya banyak terhambat karena bantuan meriam ini. Raaff melaporkan bahwa upaya dia dan pasukannya berkali-kali gagal menaklukkan benteng Padri di Lintau karena benteng tersebut dilengkapi dengan sejumlah meriam. Dan kesukarannya semakin menjadi-jadi ketika meriam yang dimiliki pasukannya juga berhasil direbut oleh pasukan Tuanku Lintau. Hal yang sama juga dilaporkan oleh sejumlah komandan perang Belanda yang pernah menyerang Bonjol. Benteng Bonjol sangat susah ditaklukan, karena dilengkapi dengan sederetan meriam berukuran besar.
Jadi meriam adalah senjata andalan kaum Padri dan menjad bagian yang tidak terpisahkan dari banyak benteng Padri.
Benteng merupakan bagian dari pertahanan diri kaum Padri. Ada banyak benteng kaum Padri dan “…benteng mereka ada di mana-mana”, kata Kielstra. Orang Padri khususnya dan Minang umumnya menamakan benteng dengan kubu atau bonjo. Di samping sebagai tempat bertahan menghadapi musuh, benteng juga dijadikan tempat tinggal dan juga gudang kaum Padri. Bangunan yang ada dalam benteng terbuat dari kayu yang kokoh dan atap nya terbuat dari sirap atau nipah.
Benteng kaum Padri umumnya berlokasi di atas bukit yang sulit untuk didatangi (dan ditaklukkan). Posisi dan kesukaran menaklukkan benteng-benteng Padri tersebut dilukiskan oleh Raaff dan Boelhouwer. Raaff menggambarkan Benteng Marapalam (Lintau), sedangkan Boelhouwer mengisahkan Benteng Ujung Rajo, Benteng Lubuk Ambalau dan Benteng Bonjol. Dikatakan bahwa benteng-benteng tersebut berada di puncak bukit, dengan kemiringan tebing yang hampir tegak lurus. Kalau ada jalan menuju benteng itu, maka jalan itu berupa jalan yang sempit dan mendaki pula. Juga dikatakan bahwa benteng itu sering dikelilingi oleh parit yang cukup lebar berisi air yang dalam. Di dalam parit itu juga sering dipasangi ranjau. Benteng sering dikelilingi oleh pagar pohon kelapa atau pohon nibung, dinding batu, gundukan tanah, atau bambu (aur) berduri yang rimbun dan rapat sehingga sangat sulit untuk ditembus. Di luar benteng, terutama di dataran rendah menuju benteng sering pula ditanami dengan ranjau (rantau telapak kaki, ranjau perut dan ranjau lobang). Di jalan sempit menuju benteng juga sering diletakkan potongan-potongan batang kayu atau batu besar, yang bila terpaksa akan digelindingkan ke bawah untuk menghajar, menghalangi atau melindas musuh yang ingin masuk ke dalam benteng. Di tempat-tempat yang strategis atau di pusat-pusat perlawanan Padri membangun lebih dari satu benteng. Di Gunung Tajadi (Bonjol) misalnya, kaum Padri membangun tujuh benteng.
Menaklukan benteng Padri adalah salah satu tujuan Belanda. Bila benteng telah dikuasai, biasanya Padri di kawasan itu juga akan mengaku kalah. Penguasaan Benteng Ujung Rajo dan Benteng Bonjol misalnya adalah contoh dari pernyataan di atas. Segera setelah Benteng Ujung Rajo dikuasai, nagari tersebut (dan juga nagari-nagari di sekitarnya) bisa dikatakan sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Benteng Bonjol dikuasai maka dapat dikatakan bahwa berakhirlah perlawanan kaum Padri.
Perang juga memiliki aturan. Seakan-akan telah ‘disepakti’, bahwa bila ada pihak yang kalah atau ingin menyerah, maka pihak yang kalah akan menaikan alam putih (alam adalah kata lama Minang untuk bendera). Pihak yang kalah biasanya juga akan membayar ‘tanda kalah’ yang biasanya berupa sebungkal emas dan penyerahan senjata. Sering pula pihak yang kalah diwajibkan ‘menjamu makan’ pihak yang menang dan menyatakan ketundukan dalam ‘jamuan’ tersebut.
Dalam sejarah Perang Padri diketahui bahwa sebagian pemimpin dan pasukan Padri yang kalah bergabung dengan Belanda. Bagi yang tidak mau bergabung atau mengaku tunduk ditangkap dan dibuang. Mereka yang ditangkap umumnya dipenjarakan di Padang, sedangkan mereka yang dibuang dikirim ke Pulau Jawa, namun ada juga ke pulau-pulau lain. Tuanku Imam Bonjol misalnya dibuang ke Pulau Jawa, Ambon dan terakhir ke Sulawesi (Utara).
Sebagaimana yang akan dikemukakan pada bagian berikut, hampir semua senjata dan siasat perang kaum Padri itu juga dimiliki oleh Belanda dan tentara bantuannya. Namun ada suatu ‘senjata khusus’ yang dimiliki kaum Padri dan itu tidak dimiliki oleh tentara Belanda dan Hulptroepen atau Hulpbendenya, yaitu doa kepada Allah dan seruan takbir. ‘Senjata’ ini sering digunakan oleh tuanku Padri dan pejuang Padri. Hal ini diakui dan dinyatakan, tidak hanya oleh Tuanku Imam Bonjol, tetapi juga oleh para komandan tempur serta penulis Belanda. Raaff dan Elout serta Michiels menyebut adanya sejumlah tuanku yang merapal doa sebelum bertempur, serta mengumandangkan Allahu Akbar saat menyerang pasukan Belanda, yang mereka katakan kafir dan anjing. ‘Senjata’ inilah yang paling membedakan antara kaum Padri dan Belanda, serta antek-anteknya.
III
Seperti telah disebut di atas, senjata-senjata yang digunakan oleh Belanda dan tentara bantuannya relatif sama dengan yang digunakan oleh kaum Padri. Tentara Belanda dan Hulptroepen hampir semuanya dilengkapi dengan senjata ‘modern’. Masing-masing memiliki senjata (bedil). Sehingga bisa dikatakan jumlah senapan hampir sama banyaknya dengan jumlah tentara Belanda dan Hulptroepen mereka.
Kalau ingin juga dibandingkan atau dicari perbedaannya, maka seperti kata Nahuijs, kualitas senapan tentara Belanda dan Hulptroepennya jauh lebih bagus dibandingkan dengan senjata kaum Padri. Mesiu yang mereka miliki juga jauh lebih baik kualitasnya bila dibandingkan dengan mesiu kaum Padri. Di samping itu, senjata tentara Belanda dan Hulptroepen mereka juga dilengkapi dengan bayonet. Dan tentara Belanda terlatih menggunakan bayonet tersebut.
Pasukan Belanda juga dilengkapi dengan meriam karena itu dalam data ketentaraaan Belanda selalu disebut adanya kesatuan artileri.
Meriam menjadi bagian terpenting kampanye militer Belanda. Nampaknya meriam selalu dibawa-serta dalam setiap serbuan yang dilakukan. Karena itu setiap meriam memiliki kereta pengangkut. Para kuli, yang umumnya adalah tentara ninik mamak, mendapat tugas mengangkut atau mendorong kereta meriam ini. Meriam ‘mobile’ yang digunakan pasukan Belanda memiliki ukuran yang beragam, mulai dari 3 s.d. 4 pon. Setiap kali aksi militer dilakukan dibawa 2 hingga 8 pucuk meriam.
Membawa meriam yang berat dan dalam jumlah yang cukup banyak jelas merepotkan serta menggangu mobilitas pasukan. Itulah sebabnya, para pejabat militer Belanda senantiasa mengupayakan pembukaan atau pembangunan jalan baru sehingga proses pengangkutan meriam dan mobiltas pasukan bisa lebih mudah. Pengalihan jalan setapak via Tambangan dan Sipinang ke arah Lembah Anai, yang dilakukan mulai tahun 1833 adalah bagian dari kebijakan tersebut.
Belanda sangat mengandalkan meriam dalam hampir semua kampanye militer mereka. Serbuan terhadap Benteng Lintau, Guguk Sigandang, Kapau, Ujung Rajo, Bonjol dlsbnya didukung oleh penggunaan meriam. Daya rusak meriam yang lebih hebat menjadi alasan penggunaan meriam oleh Belanda. Belanda menginginkan penghancuran musuh dengan cepat dan penggunaan meriam diyakini akan memudahkan upaya mereka mewujudkan tujuan itu.
Seperti dikatakan oleh Tuanku Imam, masuknya pasukan Belanda ke dalam benteng dan rumahnya karena hancurnya dinding benteng tersebut karena tembakan meriam.
Satu-satunya sistem persenjataan Belanda yang tidak dimiliki kaum Padri adalah kapal perang. Memang, dalam perang menghadapi Padri, Belanda juga mengerahkan sejumlah kapal perang. Tercatat ada 14 kapal perang yang pernah dikirim dan ikut-serta dalam berbagai ekspedisi militer di daerah ini. Kapal-kapal perang itu dipergunakan saat menyerang Benteng Ujung Rajo, Air Bangis, kota-kota atau daeral-daerah di bagian utara Pantai Barat, seperti Natal, Sibolga, Barus hingga Singkel. Kapal-kapal yang dilengkapi dengan meriam dengan ukuran 20 s.d. 34 pon, itu ikut menghanjar kota-kota atau daerah-daerah yang diserang. Ikut-sertanya kapal perang dengan persenjataan yang canggih tersebut memang sangat membantu gerakan militer Belanda. Hampir semua kota atau daerah yang diserang dengan mengikutsertakan kapal perang bisa ditaklukan (dikuasai).
Untuk memaksimalkan operasi kapal-kapal perang tersebut Belanda membangun Pangkalan Angkatan laut di Pariaman dan Tiku.
Seperti disebutkan dalam tulsian lain dari seri tulisan 200 Tahun Perang Padri ini, dalam menghadapi kaum Padri, Belanda juga membangun sejumlah benteng di berbagai tempat di Sumatra Barat. Benteng-benteng itu, di samping difungsikan sebagai tempat berlindung, juga digunakan sebagai ‘kantor’ pejabat militer dan sipil di daerah di mana benteng berada. Beberapa benteng yang terkenal adalah benteng di Batusangkar yang dinamai dengan Fort van der Capellen dan di Bukittinggi yang dinamai dengan Fort de Kock. Di samping itu ada sejumlah benetng lagi,yaitu Benteng Kayutanam, Tanjuang Barulak, Suliki, Amerangon, dlsbnya. Karena juga difungsikan sebagai kantor pejabat militer dan sipil daerah, maka nagari-nagari di mana benteng tersebut berada kemudian menjadi ibu kota unit administratif setingkat Afdeeling atau Onderafdeeling dalam struktur pemerintah Hindia Belanda.
Menariknya, hingga zaman Jepang (dan juga hingga beberapa waktu yang lalu) di hampir semua kota tersebut, tepatnya di dekat bangunan benteng Belanda di kota itu, selalu dipajangkan meriam lama. Mungkin ditujukan untuk mengenang perang yang dulunya pernah terjadi, dan mungkin untuk mengatakan bahwa walaupun memiliki benteng dan meriam serta persenjataan yang hebat, Belanda akhirnya juga bisa dikalahkan.
IV
Persenjataan tentara bantuan Belanda (Hulptroepen) hampir sama dengan tentara Belanda (tulen). Yang agak berbeda adalah senjata pasukan tentara Urang Awak. Umumnya mereka menggunakan bedil dan senjata ‘tradisonal’ sebagaimana dimiliki dan digunakan kaum Padri. Seperti yang akan dibicarakan pada bagian berikut, tidak banyak catatan tentang aksi tempur dan kehebatan berperang pasukan bantuan Urang Awak. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku pada Hulptroepen yang terdiri orang-orang dari etnis lain di Nusantara selain Minang.
Walapun demikian ada juga sedikit laporan dan catatan mengenai kehebatan pasukan Hulptropen dan Hulpbende ini. Dari laporan dan catatan itu setidaknya diketahui adanya dua kehebatan mereka.
Pertama, Hulptroepen sangat mahir rmenggunakan senapan. Tembakan mereka umumnya selalu mengenai sasaran. Kemampuan menembak yang hebat ini antara lain dilatarbelakangi rajinnya mereka berlatih. Seperti dikatakan Boehouwer, setiap ada waktu senggang maka anggota Hulptroepen akan menyibukkan diri dengan berlatih menembak. Latihan diadakan di lapangan terbuka dengan media berupa sebuah dinding setinggi 1,5 meter yang di bagian atasnya diletakan dua bilah bambu dengan panjang sekitar 20 cm dan lebar 5 cm secara bersilangan, yang akan dijadikan sasaran tembakan. Bambu yang bersilang itu ditembak dari jarak 200 langkah. Menurut Boelhouwer hampir setiap tembakan mengenai sasaran. Ini sesuatu yang dianggapnya luar biasa dan sukar dipercaya.
Kedua, anggota Hulptroepen dan Hulpbende juga mahir menggunakan bayonet. Kielstra menyebut, bahwa beberapa komandan perang Belanda memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan bayonet dalam sejumlah aksi penyerangan yang diakukan. Tuanku Imam Bonjol sendiri juga mengatakan bahwa dia diserang oleh anggota Hulptroepen dan Hulpbende (orang Bugis dan Payakumbuh) yang menggunakan bayonet.
Latihan pengunaan bayonet untuk Hulptroepen (dan juga tentara Belanda) sering dilakukan di dalam benteng.
Sejumlah pejabat Belanda, seperti Raaff, Stuers dan Nahuijs juga mengemukakan dan mendeskripsikan bagaimana kehebatan tentara bantuan Urang Awak mereka menggunakan senapan, pedang, tombak, dan keris. Sayangnya, karena mereka sering bertempur bersama tentara Belanda dan Hulptroepen yang umumnya tentara ‘profesional’ maka kehebatan mereka jadi hilang. Di samping itu, banyak pula dari mereka yang kurang atau tidak mampu menjadi kebugaran tubuh sebelum pergi berperang. Sering dikatakan bahwa mereka sering begadang, mengisap madat atau minum tuak sebelum pergi berperang sehingga ketika tiba waktu berperang, tenaga mereka sudah tidak ada lagi, atau karena badan tidak fit dan fikiran agak kacau, mereka tidak bisa menampilkan kehebatan mereka menembak atau menggunakan senjata.
Kehebatan anak kemenakan kaum adat akan nampak kalau mereka berperang (tanpa bantuan Belanda dan Hultroepen) melawan kaum Padri. Kenyataan terlihat dalam memoar Tuanku Imam Bonjol.
Suatu saat pasukan Padri Bonjol menyerang Suliki. Ternyata Suliki memiliki kubu pertahanan yang hebat. Kubunya berada di atas bukit dan dikelilingi oleh parit. Tidak hanya itu, di luar kubu, di bagian atas bukit juga ditempatkan kapuak (anyaman bambu berbentuk lingkaran besar) yang diisi dengan batang padi, serta juga tahi (tinja) yang ditempatkan pada wadah tertentu. Ketika pasukan Padri berhasil mendekati kubu maka pasukan yang bertahan didalam kubu menggelindingkan gulungan-gulungan batang padi dalam kapuak sehingga melindas dan membawa turun kaum Padri yang tengah mendekati kubu. Kemudian ketika kaum Padri mendekat lagi ke kubu maka mereka disirami mereka dengan tahi (tinja) sehingga berlumuran tahilah mereka semua. Mendapat serangan tahi (tinja) ini membuat pasukan Padri melarikan diri ke parit (untuk membasuh dan membersihkan diri). Setelah ‘senjata pamungkas’ tentara ninik mamak itu berhasil diatasi oleh kaum Padri barulah kubu itu berhasil ditaklukkan dan seisi benteng serta penduduk Suliki mengaku kalah.
V
Secara umum Perang Padri tidak menghadirkan sistem persenjataan dan strategi perang yang baru. Masing-masing pihak yang berperang menggunakan senjata yang relatif sama dengan yang dimiliki pihak lawan. Kalaupun ada perbedaan maka perbedaan yang paling nampak adalah kualitas persenjataan kaum Padri sedikit lebih tertinggal dibandingkan dengan senjata pasukan Belanda. Perbedaan lainnya adalah pasukan Belanda juga diperkuat oleh kapal perang dengan persenjataan yang juga lebih besar dan tinggi mutunya.
Sistem perbentengan kaum Padri dan Belanda juga relatif tidak begitu berbeda. Sistem perbentengan mereka sama-sama canggih dan sama-sama sukar untuk ditaklukan.
Strategi perang yang dijalankan, walaupun ada sedikit perbedaan, secara umum juga relatif sama. Strategi-strategi yang dimaksud antara lain: pertama, strategi perang yang sifatnya ofensif; kedua, strategi perang yang sifatnya defensif; ketiga, strategi perang yang dilakukan dengan menyerang secara tiba-tiba kemudian menghindar dengan cepat; keempat, strategi pengepungan terhadap benteng utama atau pemukiman utama musuh; kelima, strategi perang dengan membuat banyak benteng untuk menaklukan benteng utama musuh; keenam, strategi perang mengajak musuh berdamai pada saat terdesak kemudian mengingkari perjanjian bila bala bantuan telah tiba. Dari enam strategi ini, hanya strategi keenam yang nyaris tidak pernah dipratikan kaum Padri. Hal ini nampaknya berhubungan dengan ideologi (kepercayaan/agama). Kaum Padri yang berperang atas nama agama (Islam) jelas menghargai janji. Dalam ajaran agama mereka(Islam), janji adalah hutang yang harus dipenuhi. Sebaliknya, Belanda menjadikan perang sebagai bagian dari ekspansi politik, di mana dalam dunia politik dihalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan. Termasuk melanggar janji yang telah diucapkan. Tuanku Imam Bonjol berkali-kali menyebut tentang pengkhiatan atas janji-janji yang dibuat Belanda.
Peranan ideologi (agama) atau kepercayaan tidak hanya terlihat dari keteguhan kaum Padri memegang janji, tetapi juga dalam ‘cara berperang’. Para pejuang Padri sangat percaya pada kekuatan gaib. Sering kali mereka pergi berperang setelah menemukan waktu yang cocok sesuai dengan ‘penglihatan’ para tuanku mereka. Para tuanku mereka percayai memiliki kekuatan gaib (keramat). Sehingga perkataan tuanku selalu dipatuhi. Kepercayaan kepada para tuanku ini juga memiliki makna negatif dalam pertempuran. Sebagaimana dilaporkan Raaff, Elout dan Boelhouwer, sering kali pejuang Padri tiba-tiba meninggalkan pertempuran yang sudah hampir mereka menangkan karena tuanku atau pemimpin perang mereka luka atau tewas. Sering pula dilaporkan bahwa pasukan Padri tiba-tiba meninggalkan pengepungan sebuah benteng, padahal penghuni benteng sudah sangat kelaparan atau sekarat, karena pemimpin mereka luka atau tewas. Pejuang Padri percaya pada konsep pars pro toto, kehebatan seseorang pemimpin (komandan pasukan) akan memengaruhi kehebatan atau keberuntungan seluruh anggota pasukan.
Aspek kepercayaan seperti yang dimiliki dan diamalkan kaum Padri ini jelas tidak pernah ditemukan atau dipraktikan oleh pasukan Belanda dan para pembantu mereka.
Perang Padri adalah perang terlama pertama yang dialami oleh pemerintah Hindia setelah mereka berkuasai setelah Pemerintahan Sementara (Tuschen Bestuur) Inggris. Masing-masing pihak sama serius dan sungguh-sungguh maju ke medan tempur. Dengan sistem persenjataan dan strategi tempur yang relatif sama, maka ‘aspek lain’ di luar persenjataan dan strategi tempurlah yang akhirnya menjadi penentu kemenangan salah satu pihak (Belanda).
Sebelum mengakhiri tulisan ini, bukan sekedar apologia atas kekalahan kaum Padri, perlu diulang sekali lagi, bahwa sesungguhnya sistem persenjataan dan strategi tempur kaum Padri dan Belanda relatif sama dan seimbang, serta nyaris tidak ada yang baru yang ditampilkan dalam pertempuran itu. Namun, kalau ingin dicari juga sesuatu yang baru dalam Perang Padri dan itu mungkin tidak pernah digunakan dalam perang modern adalah penggunaan tahi (tinja) oleh tentara Urang Awak. Penggunaan tahi (tinja) untuk menyerang musuh, sebagai upaya terakhir sebelum dikalahkan, tidak hanya menampilkan aspek ‘kreatif ‘ dalam berperang tetapi juga sebagai pembuktian bahwa perlawanan mesti dilakukan hingga penggunaan ‘senjata’ terakhir yang bisa menghinakan musuh.
Sumber:
Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.
Haan, F. de, “Naar Midden Sumatra in 1684” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 39 (1897), hal. 327-66.
Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 38 tahun 1889, hal. 467-514.
— , “Sumatra’s Westkust van 1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 37, tahun 1888, hal. 216-380.
— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 36 tahun 1887, hal. 7-163.
Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.
Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.
Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.
Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.
Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.
Ditulis oleh: Gusti Asnan