Budak di Sumatra Barat pada Masa Perang Padri

Penulisan sejarah Perang Padri selama ini, apalagi yang ditulis oleh orang Indonesia, didominasi oleh penulisan sejarah politik, yang umummya menyajikan peristiwa-peristiwa besar dan tokoh-tokoh besar. Karena itu, aspek-aspek yang ditampilkan lebih terfokus pada permusuhan dan kesumat antara kaum Padri dan kaum adat (penghulu), kecamuk perang antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, peran atau heroisme Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Harimau Nan Salapan, serta kehebatan atau kedurjanaan para pejabat sipil dan militer Belanda, seperti Raaff, Stuers, Gilavry, Elout, Michiels, dlsbnya. Keberadaan dan kejadian-kejadian yang dialami ‘orang kecil’ atau ‘masyarakat kebanyakan’ relatif terabaikan. Keberadaan dan pengalaman historis para prajurit atau hulptroepen, kuli angkat, atau penduduk berbagai kampung yang terlibat serta sekaligus menjadi korban perang, misalnya, hampir tidak pernah diungkapkan.  

Satu lagi kelompok ‘orang kecil’ yang sangat sedikit dikaji/dikemukakan adalah budak. Padahal, keberadaan dan pengalaman historis ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau (Sumatra Barat) sangat erat kaitannya dengan Perang Padri. Bisa dikatakan, bahwa dalam struktur masyarakat Minangkabau, ‘kelas’ budak ini hadir karena Perang Padri. Proses kehadiran, respon dan perlakuan terhadap budak saat itu menjadikan Perang Padri semakin dinamis dan sekaligus rumit. Sayangnya, seperti yang disebut di atas, sebagian besar karya tentang Perang Padri tidak menyinggung atau hanya menyinggung secara sepintas saja mengenai keberadaan dan pengalaman historis mereka. Sajian yang sedikit itu malahan membuat keberadaan dan pengalaman sejarah budak semakin tidak jelas. Apalagi tulisan yang sedikit itu umumnya ditulis dalam kaitannya dengan penghapusan (afschaffing) budak di Sumatra Barat khususnya dan di Indonesia yang dimulai pada sejak tahan 1860 dan dilaksanakan tahun 1870-an.

Berdasarkan kenyataan itulah, tulisan ini mencoba menyajikan kaitan antara Perang Padri dengan keberadaan budak pada masyarakat Minangkabau dan bagaimana pengalaman historis para budak pada masa perang tersebut. Di samping itu tulisan ini juga akan mengungkapkan siapa yang dimaksud dengan budak.? Bagaimana budak diperlakukan dan bagaimana kelompok masyarakat ‘non-budak’ merespon kehadiran dan keberadaan mereka? Akhirnya juga akan disajikan bagaimana sikap pemerintah Belanda terhadap keberadaan budak.

II

Perang Padri memiliki hubungan yang  sangat erat dengan ‘kelas’ budak. Hubungan ini setidaknya dapat dilihat dari tiga sisi sejarah budak di Sumatra Barat (Minangkabau). Sisi pertama, Perang Padri adalah kurun waktu munculnya ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau. Sisi kedua, Perang Padri adalah periode semakin banyaknya budak Nias di Sumatra Barat dan semakin luasnya wilayah sebaran budak Nias di daerah ini. Sisi ketiga, Perang Padri adalah kurun waktu ‘tarik ulur kebijakan’ dan ‘jaga gengsi’ di kalangan politisi dan pejabat kolonial dalam menyikapi keberadaan atau penghapusan budak.

Sumber-sumber sejarah menginformasikan bahwa budak mulai hadir dalam masyarakat Minangkabau, terutama di daerah pedalaman, secara masif pada masa Perang Padri. Dari sumber-sumber itu juga diketahui bahwa jumlah budak bertambah dengan sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat. 

Walaupun sumber-sumber adat tidak menyebut adanya ’kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau tradisional (sebelum Gerakan dan Perang Padri), namun bisa dipastikan, pada masa adat jahiliyah orang Minang telah mengenal budak. Adanya kata lacieh,dalam perbendaharaan kata lama (archaic word) Minangkabau, yang kira-kira sama padanannya dengan kata budak, mengindikasikan bahwa orang Minang ‘tempo jahalia’ telah mengenal budak. Tulisan yang Fakih Sangir yang menyebut bahwa ada kelompok bandit yang merampok serta menawan penduduk suatu kampung , kemudian menjual tawanannya tersebut adalah salah satu contoh bahwa sebelum masa Padri orang Minangkabau telah mengenal praktik ‘menjual orang’ (budak). Dalam konteks inilah pernyataan Verkerk Pistorius, yang juga diulangi oleh EP. van Kerckhoff  bisa kita pahami, bahwa sebelum ‘masa putih’ budak bukannya tidak dikenal di darek.

Budak memang hadir dalam jumlah yang besar di kalangan orang Minang seiring dengan adanya Gerakan dan kemudian Perang Padri. Dalam aksi mereka, kaum Padri menyerang berbagai perkampungan yang dikatakan belum menjalankan agama Islam dengan benar dan sungguh-sungguh. Dalam aksi tersebut banyak kaum lelaki yang luka dan meninggal, banyak rumah yang dirusak dan dibakar, banyak harta-benda, termasuk binatang ternak warga kampung yang diserang yang diambil (dirampas). Tidak itu saja, banyak pula penduduk kampung yang dikalahkan yang ditawan dan dijadikan budak.

Mengambil atau merampas harta penduduk kampung yang dikalahkan, atau menawan dan menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebagai budak adalah bagian dari aksi yang dilakukan kaum Padri dalam menyebarkan faham keagamaannya. Aksi ini kemungkinan besar dipengaruhi dari apa yang dilihat oleh pembawa faham Padri dari Tanah Arab. Ketika mereka berada di Tanah Suci, kaum Wahabi yang tengah mengadakan revolusi keagamaan, melakukan aksi kekerasan dalam dakwah mereka, termasuk merampas barang-barang milik lawan, menawan dan menjadikan lawan yang kalah sebagai budak. Aksi seperti itu dibawa pulang dan diperkenalkan pula oleh pengagum Wahabisme itu (Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang) ke Minangkabau. Pengagum ajaran Wahabi itu dinamakan kaum Padri. Aksi ‘ala Wahabi tersebut semakin massif dipraktikkan  ketika pengaruh Padri semakin kuat, dan itu terjadi karena kebanyakan tuanku Padri hanya mengamimi faham yang dibawa ‘trio’ ulama tersebut.

Sebagaimana disampaikan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, banyak kampung yang diserang oleh kaum Padri. Ada belasan, kalau tidak puluhan kampung yang mereka dan kalahkan. Karena Tuanku Imam lebih banyak berkisah mengenai aksi kaum Padri Bonjol, maka kampung-kampung yang mereka serang umumnya berada di kawasan Bonjol, Agam utara, Limapuluh kota bagian barat hingga Bangkinang, serta kampung-kampung di Lubuk Sikaping, Pasaman Barat, Rao, Rokan Hulu serta Mandahiling. Secara terang benderang Tuanku Imam menyebut bahwa banyak harta-benda dan ternak penduduk kampung yang diserang yang dirampas, dan banyak warga kampung yang diserang yang ditawan dan dijadikan budak.

Harta benda dan ternak yang dirampas tersebut dibawa ke Bonjol. Begitu juga warga berbagai kampung yang ditawan dan dijadikan budak juga dibawa ke Bonjol. Sehingga bisa dikatakan bahwa Bonjol ‘penuh’ oleh budak saat itu.

Nahuijs, Boelhouwer, Stuers, Lange dan sejumlah penulis Belanda lain juga menyebut bahwa aksi perampasan harta-benda serta menawan dan menjadikan budak penduduk kampung yang dikalahkan juga dilakukan oleh tokoh Padri yang lain dari daerah yang lain. Tuanku Nan Renceh dari Agam dan Tuanku Lintau dari Tanah Datar termasuk yang disebut-sebut sebagai pemimpin Padri yang banyak merampas harta benda penduduk dan menawan serta menjadikan budak penduduk kampung yang mereka kalahkan. Aksi-aksi Tuanku Nan Renceh (dan juga Tuanku Lintau) ini juga sampai terdengar di kawasan timur Sumatra. Sehingga di kawasan itu, sebagaimana disebut John Anderson, Gerakan atau Perang Padri lebih dikenal sebagai Gerakan Nan Rincih (Renceh). Namun bila diperbandingkan, aksi Padri Bonjol bisa dikatakan sebagai aksi yang paling banyak melakukan perampasan harta-benda penduduk, yang paling banyak menawan, serta menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebaagi budak. Khusus untuk yang disebut terakhir, ada kaitannya dengan posisi daerah/wilayah ‘operasi’ Padri Bonjol.  Kaum Padri Bonjol umumnya beraksi di daerah pinggiran (rantau), sehingga perlawanan dari kaum adat (penghulu) tidak begitu kuat. Di samping itu, aksi Padri Bonjol banyak dilakukan di kawasan Mandailing (Batak) yang warganya sejak waktu yang lama juga telah menjadi sasaran para pencari budak. Sebagaimana dikatakan oleh John Anderson dan juga Tome Pires, orang Batak telah lama dicari dan dijadikan budak, serta dijadikan sebagai komoditas perdagangan.

Budak Batak

Sumber: Anderson, John, Mission to the Eastcoast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826).

Para tawanan atau budak terdiri dari penduduk laki-laki dan perempuan. Umumnya lelaki yang badannya kekar dan perempuan yang parasnya cantik. Di samping itu juga ada anak-anak (anak-anak dari warga kampung yang ditawan). Orang tua nyaris tidak ada, karena sengaja ditinggalkan di kampung yang ditaklukkan, lagi pula orang tua itu pasti tidak bisa berjalan jauh menuju Bonjol atau menuju nagari basis kedudukan kaum Padri.

Tidak diketahui berapa jumlah pasti budak kaum Padri di seluruh darek. Diperkirakan jumlahnya pasti ribuan. Data yang disajikan Stuers mengatakan bahwa saat memasuki Bonjol tahun 1832 Elout menyebut bahwa ada sekitar 2.000 budak pusat Padri itu. Dikatakan bahwa Tuanku Imam dan Tuanku Muda (panglima Peang Tuanku Imam) masing-masing memiliki 300 budak, Khatib memiliki 200 budak. Tuanku-tuanku yang lainnya juga memiliki cukup banyak budak.

Seperti disebut oleh Boelhouwer dan Lange, di Bonjol budak tersebut umumnya tinggal dalam benteng, tempat para pemimpin Padri tinggal. Di samping itu mereka juga tinggal di kampung-kampung di mana para pemiliknya bermukim.

Sebagai ‘barang’ kepunyaan, nasib budak sangat tergantung pada kehidupan tuannya. Ketika tuannya kelaparan maka para budak juga ikut kelaparan. Hal ini terjadi ketika Belanda menyerang dan memblokade benteng Bonjol dalam waktu yang lama, sehingga warga Bonjol kekurangan makanan. Saat itu, jangankan para budak, tuan pemilik budak juga menderita kelaparan. Ketika wabah berkembang dan menyerang tuannya di Bonjol, maka para budak juga ikut sakit kena wabah, bahkan bisa jadi para budak lebih dulu meninggal daripada tuannya karena tidak mendapat pengobatan yang layak.

Para budak memang diperlakukan sesuai dengan keinginan para pemiliknya. Mereka dijaga ketat agar tidak melarikan diri (upaya melarikan diri, dan cukup banyak yang berhasil, senantiasa dilakukan oleh para budak, terutama budak Batak). Para budak umumnya dipekerjakan mengolah sawah. Budak juga diperjualbelikan. Harga budak lelaki adalah f.30,- dan harga budakperempuan (gadis) f.60,- Para penjual (orang yang menjadi perantau penjualan budak) mendapat 1/3 atau ¼ dari harga penjualan. Tidak hanya diperjualbelikan, budak juga dijadikan sebagai hadiah. Tuanku Imam Bonjol misalnya pernah memberi Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik hadiah beberapa orang budak perempuan Batak.

Aksi-aksi penyerbuan kampung, perampaan harta-benda dan penawanan, serta menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak sudah dihentikan Padri Bonjol sejak tahun 1829/1830. Penghentian aksi ini ada hubungannya dengan kembalinya empat orang haji utusan kaum Padri Bonjol untuk melihat praktik dakwah dan keagamaan di Tanah Arab. Dikatakan bahwa di Mekkah dan Medinah tidak ada lagi aksi dan praktik kekerasan dalam dakwah. Sejak itu, sesungguhnya, jumlah budak Padri tidak bertambah lagi. Namun demikian, budak yang sudah mereka miliki tidak dibebaskan. Budak-budak itu tetap mereka ‘piara’ hingga, seperti yang akan dibicarakan, dibebaskan oleh Belanda nantinya.

Aksi kekerasan kaum Padri berupa perampasan harta benda, penawanan dan menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak mendapat kecaman keras dari kaum adat (penghulu). Hal ini bisa dimaklumi, karena kampung-kampung yang diserang oleh kaum Padri adalah kampung-kampung yang dikatakan sebagai pendukung kaum adat. Kenyataan ini sangat nampak di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Walaupun terletak di daerah rantau, beberapa kampung yang diserang Padri Bonjol di Lubuk Sikaping, Rao dan Pasaman Barat juga bisa dikatakan sebagai kampungnya kaum adat, karena perlawanan gigih di kampung-kampung itu dipimpin langsung oleh para penghulu.

Sehubungan dengan itu, kaum penghulu, yang diwakili oleh anak-kemenakan mereka yang tergabung dalam Hulpbende (‘geromboan’ atau pasukan bantuan Melayu dalam tentara Belanda), sangat bersemangat membantu Belanda dalam menyerang kaum Padri. Tentara ninik-mamak ini akan semakin beringas kalau kaum dan kampung Padri telah kalah. Mereka segera melepaskan dendam kaumnya dengan menghajar kaum Padri yang sudah kalah, merampas harta-benda kaum Padri yang sudah takluk, termasuk juga menjadikan mereka sebagai tawanan dan juga budak. Pasukan ninik-mamak dari Tanah Datar, khususnya dari Batipuh, adalah kelompok Hulpbende yang paling bersemangat menyerang kaum Padri. Itu pulalah sebab di nagari itu paling banyak ditemukan budak (semasa Perang Padri dan sesudahnya hinga dibebaskan tahun 1870-an).

Elout dan pejabat Belanda sesungguhnya melarang menjadikan tawanan perang sebagai budak sesungguhnya. Tetapi, laranga itu tidak sepenuhnya dipatuhi oleh pemimpin perang dari kalangan Hulpbende (penghulu). Apalagi Regen Patipuh yang memiliki kedudukan istimewa di mata pejabat Belanda. Kedudukan istimewa yang banyak perbuatannya dibiarkan saja oleh petinggi Belanda, termasuk menjadikan budak tawanan perangnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Raja Gedombang, pemimpin masyarakat Batak (Mandahiling) yang bergabung dengan tentara Belanda. Raja Gedombang dari Huta Godang, dengan sengaja mengajukan dirinya kepada Elout, Resident van Padang en Onderhoorigheden, untuk membantu Belanda. Raja Gedombang ingin membantu Belanda karena ingin membalas kekejaman kaum Padri terhadap warganya (orang Tapanuli), termasuk menjadikan kaum perempuannya sebagai budak.

Raja Gedombang memang membuktikan kata-katanya. Dia mengerahkan ribuan rakyatnya berperang membantu Belanda melawan Padri. Dia juga melakukan balas dendam menghajar Padri dan menawan penduduk perkampungan Padri. Sayangnya, niat Raja Gedombang untuk menjadikan warga perkampungan Padri sebagai budak tidak bisa diwujudkan sepenuhnya. Karena seperti telah disebut di atas, Elout khususnya dan petinggi Belanda pada umumnya melarang Raja Gedombang menjadikan tawanan perang (kaum Padri) sebagai budak (dan Raja Gedombang mematuhinya). Di samping  itu Raja Gedombang tewas sebelum niatnya bisa diwujudkan.

Pelarangan kepemilikan budak sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Belanda di daerah ini sejak tahun 1820. Ini berarti setahun setelah pemerintah mengambil alih daerah ini dari tangan Inggris. Pelarangan kepemilikan budak di Sumatra Barat adalah kelanjutan dari ide atau gagasan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa sejak tahun 1818.

Walaupun telah digagas untuk diterapkan tahun 1820, ternyata hingga tahun 1832 belum ada penguasa daerah yang betul-betul menjalankan kebijakan tersebut. Penguasa daerah nampaknya ogah-ogahan menerapkan kebijakan tersebut. hal ini, bisa jadi sebagai hasil lobby para pemilik budak. Barulah tahun 1832 munculnya perintah pembebasan budak dan itu dilakukan oleh Elout. Tahun 1832 kebijakan tersebut dilaksanakan karena adanya ‘niat baik’ sang residen untuk menghabiskan praktik perbudakan di daerah ini. Alasan lainnya dan ini adalah alasan yang ‘paling utama’, sebagaimana dikatakan Stuers, adalah perbudakan itu tidak sesuai dengan ‘semangat/jiwa Eropa’.

Selanjutnya, seperti yang dikatakan juga oleh Stuers, penghapusan perbudakan adalah satu cara penihilan pengaruh negatif Padri (Islam) di tengah masyarakat. Dikatakan bahwa perbudakan diperkenalkan oleh kaum Padri dan dikerjakan oleh orang Islam.

Dengan alasan itu pulalah, ketika memasuki Bonjol, Elout atas nama pemerintah Hindia Belanda membebaskan 2.000 orang budak yang ada di tangan kaum Padri Bonjol. Dan seperti yang telah disebut sebelumnya,  600 budak yang dibebaskan itu adalah milik Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda, 200 orang milik Khatib dan sisanya milik sejumlah tuanku lainnya.

Elout juga memerintahkan pembebasan sejumlah budak yang ada di tangan sejumlah tuanku yang ada di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Bahkan Elout juga menyuruh bebaskan para budak yang dihadiahkan oleh Tuanku Imam Bonjol kepada Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik.

Pembebasan budak disambut hangat oleh petinggi masyarakat Mandahiling dan kaum penghulu. Namun pada saat yang bersamaan mereka juga kecewa dengan sikap pemerintah. Mereka kecewa karena mereka tidak bisa membalaskan dendam dengan menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Mereka kecewa karena pemerintah Belanda melarang mereka menjadi kaum Padri sebagai budak.

Walaupun demikian, seperti yang telah dikatakan di atas, di sejumlah nagari kaum penghulu dan tentara ninik mamak tetap saja menawan kaum Padri dan menjadikan mereka sebagai budak. Beberapa petinggi Belanda sesudah Elout seakan-akan membiarkan para penghulu menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Ini adalah bagian dari politik kolonial licik, yang akan menumbuhkan rasa dendam di kalangan kaum Padri dan kaum penghulu (adat). Dendam antara dua kelompok yang bersiteru ini tetap dipelihara oleh pejabat Belanda hingga perang usai. Bahkan setelah perang usai, kaum penghulu dibiarkan memelihara atau mempertahankan budak-budak mereka, hingga perbudakan dihapuskan dari Sumatra Barat (Minangkabau) pada tahun 1870-an.

III

Perang Padri tidak hanya berarti bagi kemunculan budak di kawasan darek (budak dari kaum Padri dan juga dari kalangan penghulu), tetapi juga bagi keberadaan budak di kawasan pesisir. Perang Padri telah memicu pertambahan budak di kawaasan pesisir. Tidak itu saja, Perang Padri telah menyebabkan meluaskan wilayah sebaran atau operasional budak pesisir. Pada masa Perang Padri, banyak budak yang sebelumnya menetap atau beroperasi di kawasan pesisir, mulai masuk ke pedalalaman.

Walaupun pertambahan, sebaran domisili dan wilayah operasi budak pesisir semakin meluas pada masa Perang Padri, namun yang jelas keberadaan mereka tidak ada hubungannya dengan kaum Padri atau kalangan penghulu. Mereka juga bukan tawanan atau diperbudak oleh kaum Padri atau kaum penghulu. Budak pesisir bukan dari etnik Minang dan bukan berurusan dengan orang Minang. Budak pesisir adalah orang Nias dan umumnya dimiliki oleh Christenen (orang Kristen/Eropa) dan Chinezen (orang Tionghoa).

Budak pesisir atau budak Nias telah ada di kawasan pesisir jauh sebelum Perang Padri meletus. Mereka datang atau dibawa dari Pulau Nias. VOC punya andil besar dalam mendatangkan budak Nias ke Pantai Barat (Padang). Di samping itu, peran saudagar Aceh dan Melayu juga tidak bisa dikatakan kecil dalam perdagangan budak Nias. Bahkan H.J. Domis mengatakan bahwa orang Aceh dan Melayulah yang memulai perdagangan budak Nias.

Pada hari-hari pertama Belanda menguasai Padang, penguasa kolonial sempat mendata jumlah budak Nias yang ada di kota tersebut. Jumlahnya sebanyak 1.861 orang. Dari sajian data ini bisa dikatakan bahwa semua orang Nias yang ada di Padang saat itu adalah budak. Seperti yang disebut di atas, semua budak ini dimiliki oleh orang Eropa dan Tionghoa.

Orang Minang yang tinggal di Padang tidak ada yang memiliki budak, baik budak Nias atau budak Melayu (Minang). Stuers menyebut bahwa orang Minang di Padang tidak mengenal budak. Kalau pun ada orang yang ‘terikat’ dengan orang kaya di Padang, maka mereka bukan termasuk kelas budak, tetapi pandelingen (orang beroetang). Jumlah pandelingen juga tidak begitu banyak, serta status dan perlakuan terhadap mereka juga jauh berbeda daripada budak. Mereka lebih bebas dalam beraktivitas (tentu dengan seizin tuannya).

Budak Nias sering digunakan untuk menghasilkan uang oleh tuannya. Mereka juga diperjualbelikan. Ketika Perang Padri mulai berkecamuk dan tentara Belanda mulai mengalami kekurangan tukang angkat barang ke daerah pedalaman, maka para pemilik budak di Padang menawarkan budak-budak mereka kepada pemerintah. Tentara Belanda yang kekurangan tenaga menerima tawaran tersebut dan sejak saat itu, sejak tahun 1822/1823 mulai banyak budak Nias yang masuk ke daerah pedalaman.

Tentara Belanda menyukai budak Nias karena mereka lebih patuh bila dibandingkan dengan kuli angkat Melayu (orang Minang). Budak Nias dikatakan tidak pernah melalaikan kewajibannya atau lari, namun kuli angkat orang Minang acap lalai, suka memeras, dan sering melarikan diri bila ada kesempatan untuk lai. Kolonel Nahuijs mengalami pengalaman seperti ini, sejumlah kuli angkat yang telah dibayarnya melarikan diri dan tidak ditemukan lagi saat dia datang ke tempat kuli angkat yang dia tinggalkan. Sehingga dia terpaksa menyewa kuli angkat yang lain, yang tahan harga, yang mengenakan harga yang tinggi kepada Nahuijs karena meminta tenaganya dalam waktu yang mendesak.

Di samping ke arah pedalaman, budak Nias juga menyebar ke kota pantai lainnya di pesisir barat Sumatra Barat. Salah satu di antaranya ke Pariaman. Penyebaran ke kota yang berlokasi di utara Padang ini ada hubungannya dengan keberadaan orang Tionghoa di kota tersebut. Orang atau saudagar Tionghoa tersebutlah yang membawa mereka pertama kali ke sana.

Seperti yang telah disebut bagian terdahulu, seiring dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk ingin menghapuskan keberadaan budak, maka selama Perang Padri kita saksikan pula adanya sejumlah kebijakan untuk menghapuskan keberadaan budak di Sumatra Barat. Kebijakan ini terutama sekali diterapkan pada budak Nias. Kebijakan itu misalnya terlihat dari adanya pelarangan pemakaian budak Nias sebagai pembawa barang pasukan Belanda, dan program pemulangan budak Nias ke kampung asalnya. Namun, kebijakan ini nampaknya tidak berhasil. Budak Nias masih dipakai sebagai kuli angkut dan budak-budak yang dipulangkan ternyata kemudian kembali lagi ke Padang, atau dikembalikan oleh pedagang budak ke Padang. Sebagaimana disajikan dalam artikel yang berjudul “Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar” (1854), hingga berakhirnya Perang Padri atau bahkan hingga tahun 1850-an, budak Nias masih merupakan salah satu komoditas perdagangan di Pantai Barat Sumatra. Di samping ke Padang, beberapa tulisan lain juga menyebut mengenai perdagangan budak Nias ke Aceh, ke Tanah Semenanjung Malaysia, dan juga Batavia.

Sama dengan yang dialami oleh budak Minang, penghapusan status budak bagi orang Nias baru terjadi tahun 1870-an. Momen itu terjadi seiring dengan diperlakukan Undang-undang Penghapusan Perbudakan di Hindia Belanda, sebagaimana yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1859, No. 46 dan 47. Walaupun dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1860, namun Undang-undang tersebut baru mulai direalisasikan di Sumatra Barat tahun 1870-an. Sejak saat itu dilakukanlah pembebasan para budak dan juga orang berhutang, serta kemanakan di bawah lutuik, yang umumnya dimiiki orang Minang keturunan non-Padri di sejumlah daerah di darek, serta pembebasan sejumlah budak Nias di koa Padang dan Pariaman. Sejak waktu tersebut, secara resmi berakhirlah keberadaan budak, baik budak Minang, budak Mandahiling (Batak) atau budak Nias di Sumatra Barat. Sejak saat itu berakhir pulalah salah satu warisan, salah satu ‘legacy’ Perang Padri di Sumatra Barat (Minangkabau).

Sumber:

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Domis, “Het Eiland Nias” dalam J. Olivier Jz.,  De Oosteerling, Tijdschrift Bij Uitsluiting Toegewijd Aan de Verbreiding der Kennis van oost-Indie, 2de Deel, no. 1, 1835.

Kerckhoff, Ch. E.P. van, “Eenige Mededelingen en Opmerkingen Betreffende de Slavernij in Nederlandsch-Indie en Hare Afschaffing” dalam Indische Gids, 13, 1891.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Pistorius, Verkerk, “Iets Over de Slaven en de Afstammelingen van Slaven in den Padangsche Bovenlanden” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 16, 1868.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

“Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar”, dalam TNI, 16, 1854.

Ditulis oleh: Gusti Asnan