Month: February 2021

Aspek-Aspek Maritim Perang Padri

Rekonstruksi sejarah Perang Padri selama ini cendrung menjadikan daerah pedalaman (darek) sebagai setting geografisnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena kaum Padri memulai dan memokuskan gerakannya di darek. Konfrontasi bersenjata Belanda dengan kaum Padri umumnya juga terjadi di daerah pedalaman. Perubahan-perubahan sosial, politik, ekonomi, serta budaya selama dan selepas Perang Padri juga paling nampak terjadi di daerah darek.

Kecenderung penulisan sejarah yang bersifat ‘daratsentris’ini melahirkan sejumlah pertanyaan, apakah laut atau kawasan pantai, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari tanah darat, tidak terlibat dalam perang itu? Apakah aspek-aspek maritim, seperti pelayaran dan perkapalan, pelabuhan, perdagangan maritim, atau perompakan, tidak punya andil dalam perang yang dimulai tahun 1821 itu?

Tulisan ini berangkat dari pendapat bahwa aspek-aspek maritim mempunyai peran yang penting dalam Perang Padri. Ada banyak aspek maritim yang menjadi bagian dari perang tersebut. Karena itu, bisa dikatakan, tanpa aspek maritim, Perang Padri tidak akan terjadi.

II

Laut dan kawasan pesisir adalah ruang geografis yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Perang Padri. Penguasaan atas laut dan kawasan pesisir adalah juga tujuan Belanda meletuskan perang dengan kaum Padri. Hal ini disebabkan karena wilayah yang dikuasai Belanda segera setelah menerima daerah ini dari tangan Inggris hanya terbatas sekitar kota Padang, Pariaman, Pulau Cingkuk dan Airhaji. Belanda tidak puas dengan wilayah yang terbatas tersebut, mereka ingin menguasai semua wilayah yang sebelumnya dikuasasi Inggris dan juga dikuasai oleh VOC, yang mencakup dari Singkel di utara hingga Indrapura di selatan. Bahkan mereka menginginkan kawasan yang lebih luas dari itu.

Keinginan Belanda untuk menguasai laut dan kawasan pesisir juga didorong oleh maraknya aktivitas kaum Padri di perairan dan wilayah pantai (terutama di Pasaman hingga Natal). Kaum Padri memanfaatkan laut dan kawasan pesisir untuk mendukung usaha (perdagangan) mereka. Di samping sebagai pembaharu agama Islam, kaum Padri adalah juga saudagar ulung. Mereka aktif berdagang dengan saudagar asing, terutama Aceh dan juga Amerika dan Inggris. Kontak dagang saudagar Padri dengan pedagang Aceh sangat dibenci Belanda. Karena itu Belanda betul-betul ingin mendepak Aceh dari dunia niaga maritim Sumatra Barat, dan itu bisa dilakukan kalau kawasan perairan dan pesisir Pasaman hingga ke Singkel, yang dalam beberapa literatur juga dikatakan sebagai Padri Gebied (Daerah Padri) bisa dikuasai.

Seperti yang akan dibicarakan pada bagian berikut tulisan ini, upaya penguasaan kawasan perairan dan pesisir itu memang dilakukan oleh Belanda, terutama sejak tahun-tahun permulaan 1830-an. Puncaknya adalah setelah Bonjol ditaklukkan. Sejumlah aspek maritim hadir, dihadirkan dan berperan penting saat itu.

III

Laut menjadi penting dalam Perang Padri karena lewat lautlah orang Belanda secara umum, serta tentara atau para pejabat sipil dan militer Belanda secara khusus datang ke Sumatra Barat. Aspek-aspek kelautan, berupa pelayaran dan perkapalan, menjadi sangat penting dalam proses kedatangan (atau keberangkatan) mereka ke dan dari Sumatra Barat. Di samping kedua aspek itu, keberadaan pelabuhan juga tidak kalah pentingnya. Karena kapal akan berlabuh, serta menurunkan dan menaikkan penumpangnya di pelabuhan.

Sebagai bagian dari Hindia Belanda, tentara dan para pejabat sipil/militer Belanda datang ke Sumatra Barat dari Batavia. Pelayaran dari Batavia ke Padang saat itu adalah pelayaran yang lama dan berbahaya. Hal ini disebabkan oleh sarana transportasi yang digunakan dan kondisi perairan Samura Hindia berupa laut lepas dengan gelombang yang tinggi serta hembusan angin yang kuat.

Kapal yang digunakan dalam pelayaran dari Batavia ke Padang pada saat Perang Padri berkecamuk umumlah adalah kapal jenis fergata (fregat) dan barque (bark), serta korvet. Fergata adalah kapal layar, biasanya terdiri dari tiga buah layar dan dilengkapi dengan meriam di bagian haluan, sisi kanan dan kiri, serta buritan. Fergata yang lazim digunakan pada masa Perang Padri mampu membawa sekitar 200-an penumpang. Bark adalah kapal dengan tiga atau lebih layar, yang salah satu di antaranya menjadi layar utama. Di samping itu juga ada ‘anak’ layar di bagian depan serta belakang. Bark yang biasa digunakan dalam pelayaran antara Batavia dan Padang saat Perang Padri mampu membawa 300-an penumpang. Korvet adalah kapal dengan dua atau tiga layar dan dipersenjatai di bagian haluan, samping kiri dan kanan, serta buritan. Ukuran korvet yang digunakan untuk pelayaran Batavia – Padang lebih kecil dari fergata atau bark, dengan penumpang sekitar 100-an orang. Salah satu korvet yang sering digunakan selama Perang Padri adalah Zr. Ms. Korvet Zwaluw milik Angkatan Laut (Departeman Perang dan Angkatan Laut).

Du Puy, sebagai Residen Padang adalah petinggi Hindia Belanda pertama yang melakukan pelayaran dari Batavia ke Padang segera setelah Belanda kembali menguasai daerah ini. Dalam pelayaran itu dia diikuti oleh 150 orang tentara dari kesatuan infantri (Eropah), 12 orang dari kesatuan artileri, dan 2 pucuk meriam 6 ponders. Du Puy berlayar dengan kapal jenis fergata yang bernama Zr. Ms. Fregat Wilhelmina.

Zr. Ms. Fregat Wilhelmina (lengkapnya Zijner Majesteits Fregat Wilhelmina) adalah salah satu kapal perang Hindia Belanda yang banyak digunakan untuk pengangkutan para pejabat sipil dan militer tingkat daerah atau Hindia Belanda ke dan dari Sumatra Barat. Beberapa Residen, bahkan Komisaris dan Gubernur Jendral Hindia Belanda yang pernah berkunjung ke daerah ini juga diangkut dengan kapal ini. Di samping itu, Zr. Ms. Fregat Wilhelmina sering digunakan untuk pengangkutan tentara.

Pelayaran dari Batavia ke Padang atau sebaliknya adalah pelayaran yang lama dan sangat sering menegangkan. Waktu yang dibutuhkan adalah selama tiga sampai empat minggu. Perbedaan waktu pelayaran umumnya disebabkan oleh cuaca, atau keadaan angin. Bila pelayaran dilakukan pada waktu yang tepat, dalam artian sesuai dengan arah angin atau angin lagi bersahabat, maka pelayaran berlangsung dengan lancar. Biasanya dalam waktu tiga minggu. Sebaliknya bila angin lagi tidak bersahabat, pelayaran menjadi lama (sampai satu bulan atau bahkan lebih).

Pengaruh angin yang bisa menyebabkan pelayaran menjadi sangat menegangkan sesungguhnya telah dirasai sejak dimulainya pelayaran di Batavia, atau dirasakan pada saat kapal tiba di Padang. Pada era Perang Padri, baik di Batavia atau di Padang, kapal berangkat dari pelabuhan yang berada di pulau (Pulau Onrust di Batavia dan Pulau Pisang Gadang di Padang). Dalam dunia maritim Indonesia, pelabuhan yang berada di pulau ini dinamakan reede.

Reede Padang
Epp, Franz, Schilderungen aus Ostindische Archipel. Heidelberg: J.E.B. Mohr, 1841).

Para penumpang atau barang dibawa ke reede dengan perahu pantai yang ukurannya relatif kecil. Jenis perahu yang lazim digunakan adalah sloep dengan empat pendayung. Perahu pantai ini sangat rentan terhadap cuaca. Bila angin kencang perahu tidak bisa beroperasi, bahkan kalau nekad berlayar bisa-bisa dihanyutkan dan berakhir dengan kegagalan mencapai reede. Ada banyak pengalaman mengerikan yang dialami penumpang dengan perahu pantai ini. Boelhouwer (1831) misalnya mengisahkan pengalamannya yang gagal total mencapai Reede Pulau Onrust, padahal sudah diupayakan selama empat hari. Kegagalan itu menyebabkan pelayarannya ke Padang dibatalkan selama satu bulan (menunggu angin yang lebih bersahabat). Penyebab utama kegagalan itu adalah angin yang bertiup sangat kencang (angin barat daya yang biasanya berhembus pada bulan Januari).

Pengalaman mengerikan yang sama juga dikisahkan oleh Nahuijs (1825). Nahuijs menceritakan betapa berbahayanya situasi di sekitar Reede Pulau Pisang Gadang di Padang. Ganasnya ombak tidak hanya membuat tegangnya para penumpang perahu pantai dari reede menuju Muaro yang jaraknya hanya 3 englische mijlen itu, tetapi juga menghanyutkan sebuah kapal yang tengah berlabuh saat itu, yaitu kapal Zr. Ms. Colonial Korvet Zwaluw. Kapal itu hanyut karena sauhnya terbongkarnya disebabkan oleh angin yang sangat kencang serta tingginya gelombang. Nahuijs mengatakan bahwa korvet tersebut sempat terseret arus ke laut lepas hingga beberapa hari. Berbahanya Reede Pulau Pisang juga dikisahkan oleh H.J. Lion. Lion mengisahkan pengalaman yang dialaminya bersama 100 serdadu yang terseret arus saat menaiki perahu dari Reede Pulau Pisang Gadang menuju Muaro pada tahun 1835. Karena kuatnya hembusan angin dan ganasnya ombak, dia dan kawan-kawan terseret arus hingga ke tengah laut selama satu hari.

Di samping Padang, reede juga ada di Pariaman dan Tiku serta Air Bangis. Namun berbeda dengan Reede Pulau Pisang Gadang, ketiga reede yang disebut terakhir digunakan untuk keperluan pelayaran lokal. Pada masa Perang Padri ketiga reede ini khusus digunakan oleh Belanda guna menghadapi Padri atau untuk transportasi militer dari dan ke Padang atau antar reede. Dari tiga reede tersebut, Reede Pariaman dan Tiku yang paling banyak digunakan. Kedua reede ini bahkan disebut juga sebagai pangkalan angkatan laut Belanda. Penyebutan ini berhubungan dengan tingginya aktivitas kapal-kapal perang Belanda di sana.

Untuk pelayaran lokal, digunakan kapal dalam ukuran yang lebih kecil. Ada tiga jenis kapal yang sering digunakan, yaitu jenis corvet, brik dan sekuner. Pada awal-awal tahun 1830-an pemerintah menggunakan tujuh kapal perangnya di daerah ini. Nama-nama ketujuh kapal tersebut adalah Pullux, Circe, Janus, Argo, Hippomenes, Daphine, dan Pilades. Di samping itu, pemerintah juga menyewa kapal milik swasta. Beberapa kapal sipil yang sering disewa adalah De Vlieg, Grace, Norfolk, Silph, dan Eleonor.

Karena terletak pada kawasan perairan yang sama, dunia pelayaran lokal Sumatra Barat sama berbahayanya dengan pelayaran antara Batavia dengan Padang. Angin kencang atau badai juga menjadi momok utama dalam dunia pelayaran lokal ini. Bagaimana menegangkannya pelayaran lokal ini bisa dilihat dari pengalaman Boelhouwer. Jarak Pariaman Tiku yang bisa ditempuh dalam beberapa jam harus ditempuhnya dalam waktu delapan hari, karena kapal yang ditumpanginya diamuk badai sehingga terseret jauh ke tengah laut. Pengalaman yanag sama juga sering dialami oleh berbagai pelaut, Belanda atau bumiputera, baik di bagian utara atau selatan Padang. Bahkan ada sejumlah kisah yang mengatakan adanya sejumlah kapal (perahu) yang hilang karena dihantam badai dan ombak besar. Untuk informasi yang terakhir juga ditemukan dalam sejumlah cerita rakyat di kawasan Pariaman, Tiku, Pasaman dan Natal, serta Bandar Sepuluh (Pesisir Selatan).

Namun, bagaimana pun ganasnya ombak dan kencangnya angin, kapal-kapal perang Belanda tetap dimanfaatkan dalam upaya menumpas kaum Padri. Ada banyak catatan pengerahan kapal-kapal perang itu, di antaranya pengiriman sejumlah kapal perang untuk menaklukan Padri yang mengepung dan menyerang tentara Belanda di Singkel dan Air Bangis, serta pengerahan sejumlah kapal perang untuk menyerang kubu pertahanan Padri di Katiagan, dan kawasan di bagian utara, seperti Tapus, Barus dan kawasan sekitarnya.

Setiap kali ekspedisi penyerangan dilakukan, rata-rata kapal perang (dan kapal swasta yang disewa) yang dikerahkan berjumlah empat sampai tujuh buah. Kapal-kapal itu dipersenjatai dengan meriam dengan berbagai kaliber (yang paling besar 30 pon). Sedangkan jumlah serdadu yang dikirim rata-rata sebanyak 200 sampai 300-an orang.

Didukung oleh persenjataan yang kuat serta strategi perang yang jitu, umumnya setiap penyerangan yang dilakukan berbuah manis bagi pasukan Belanda. Mereka hampir selalu mendapat kemenangan. Walaupun demikian, kemenangan tersebut bukanlah diraih dengan mudah, kaum Padri memberikan perlawanan hebat.

IV

Tidak ada atau sangat minim informasi mengenai jumlah dan jenis kapal yang dimiliki oleh kaum Padri. Dari informasi yang sedikit itu diketahui bahwa umumnya kapal yang dimiliki oleh kaum Padri adalah jenis perahu atau kapal layar dalam ukuran kecil. Ada juga kapal jenis sekuner yang mereka miliki.

Kapal-kapal ini umumnya dipakai untuk kegiatan perdagangan antarkota (negeri) di kawasan utara, di kawasan mulai dari Katiagan ke utara. Disebutkan juga kapal-kapal mereka juga berlayar dan berdagang hingga Barus, Singkel dan Meulaboh. Orang atau saudagar Aceh adalah mitra dagang utama mereka. Di samping itu, terutama hingga akhir 1820-an mereka juga berdagang dengan saudagar Amerika dan Inggris. Kontak dagang Padri dengan saudagar Amerika dan juga Inggris dikurangi oleh Belanda dengan membuka pelabuhan Padang bagi kedua kelompok saudagar tersebut.

Orang atau saudagar Aceh yang tidak mau bersahabat dengan Belanda adalah mitra saudagar Padri yang aktif. Mereka tidak hanya menunggu kedatangan saudagar Padri di kawasan mereka. Mereka bahkan lebih aktif mendatangi dan berdagang di kawasan Pasaman, kawasan yang hingga awal 1830-an dikatakan sebagai kawasan Padri.

Aktivitas pelayaran, perkapalan dan perdagangan kaum Padri dan Aceh ini sangat dibenci Belanda. Aktivitas mereka tidak hanya merugikan Belanda secara ekonomi, tetapi merongrong kedaulatan mereka. Apalagi dalam beberapa kesempatan, kaum Padri yang didukung oleh saudagar Aceh menyerang tentara (benteng) Belanda atau orang, serta kawasan yang bekerjasama dengan Belanda. 

Untuk itulah, berbagai ekspedisi militer melalui laut dan menggunakan sejumlah kapal perang dikerahkan ke kawasan utara. Tidak hanya ekspedisi militer yang dilakukan, pemerintah Belanda juga melahirkan tudingan ala kolonialis terhadap para saudagar dan pelaut Padri atau Aceh. Terhadap saudagar dan pelaut Padri atau Aceh yang paling besar pengaruhnya serta paling gencar melawan Belanda di laut dijuluki sebagai perompak. Salah seorang saudagar dan pelaut hebat yang sangat ditakuti dan dibenci Belanda, serta digelari sebagai bajak laut adalah Sidi Mara.

Tudingan sebagai bajak laut terhadap para pejuang bumiputra yang melakukan perlawanan di kawasan perairan sangat lazim diciptakan oleh kaum kolonialis di Nusantara ini. Ada banyak, dan sangat banyak saudagar dan pelaut Nusantara yang dituding sebagai bajak laut oleh Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol sebagai bajak laut. Dan sekali tudingan diberikan, maka ada alasan bagi kolonialis untuk menyerang, menghukum atau bahkan membunuh mereka. Sidi Mara dan sejumlah saudagar pelaut Padri dan Aceh akhirnya juga diserang dan dibunuh oleh Belanda (dan Urang Awak yang bekerjasama dengannya).

Tudingan sebagai bajak laut adalah salah satu senjata pamungkas kolonialis Belanda dalam menghancurkan perlawanan kaum Padri di kawasan pantai. Ditawan atau dibunuhnya saudagar pelaut Padri sekaligus menjadi akhir kejayaan dunia maritim Padri di daerah ini. Ditangkap, dibunuh dan hilang atau menghilangnya saudagar pelaut Padri semakin mengukuhkan dominasi Belanda di dunia maritim pantai barat Sumatra Barat.

V

Pemerintah kolonial Belanda ingin menubuhkan dominasinya secara maksimal di kawasan perairan. Setelah mengalahkan saudagar dan pelaut Padri serta menjadikan Kawasan Padri (Padri Gebied) sebagai bagian dari daerah administratifnya, maka Belanda mulai mengintensifkan penelitian terhadap kawasan pantai dan laut di daerah ini. Upaya ini dilakukan karena selama ini, kawasan perairan dan sebagian besar daerah pesisir Pantai Barat merupakan kawasan yang asing bagi pemerintah dan orang Belanda. Hingga awal tahun 1830-an beberapa penulis Belanda masih menyebut kawasan ini sebagai kawasan yang masih liar dan belum dikenal. Karena itu, seiring dengan ditaklukkannya saudagar dan pelaut, serta kawasan Padri lewat operasi militer, maka dimulailah sejumlah penyelidikan terhadap perairan dan kawasan pantai Sumatra Barat. Tiga peneliti yang melakukan pengkajian pada saat berkecamuknya Perang Padri adalah Dr. S. Müller, Dr. L. Horner, dan H.L. Osthoff. Para peneliti itu ditugaskan khusus oleh pemerintah kolonial untuk melakukan penelitian ini, bahkan ada permyataan alu-aluan terhadap Gubernur Jendral dalam laporan yang mereka buat. Mereka pun bekerja (meneliti) atas nama lembaga yang memiliki wewenang dan ditugaskan khusus melakukan penelitian ini. Dr. S. Müller, Dr. L. Horner adalah anggota komisi ilmu pengetahuan Hindia Belanda dan H.L. Osthoff adalah anggota komisi hidrografi Pantai Barat Sumatra. Di samping ketiga peneliti di atas, sejumlah kapten kapal perang yang pernah bertugas di perairan pantai barat Sumatra Bara selama Perang Padri juga telah membuat sejumlah peta kawasan perairan kawasan ini.

Peta Kawasan Perairan Sumatra’s Westkust
(Osthoff, H.L., Beschrijving van het Vaarwater Langs de Westkust van Sumatra, Tusschen Padang en Tapanoly: Behoorende bij de Kaart Opgenomen op Indische Bestuur in de Jaren 1834 tot 1838. Batavia: Landsdurkkerij, 1840).

Hasil penelitian dan peta-peta mereka yang dipublikasikan beberapa saat setelah penelitian dilakukan atau pada tahun-tahun terakhir Perang Padri sangat besar artinya bagi ekspansi politik Belanda di kawasan pesisir (terutama bagian utara) dan kemudian sangat besar artinya bagi eksploitasi ekonomi kawasan ini. Hasil penelitian dan peta-peta tersebut memberikan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai keadaan semua reede yang ada di Pantai Barat, jumlah, lokasi dan keadaan semua pulau dan gosong (karang) yang ada perairan Pantai Barat, serta keadaan (lingkungan) pesisir di kawasan ini.

Pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai lingkungan maritim Pantai Barat Sumatra ini adalah modal atau bekal bagi Belanda dalam menguasai daerah ini. Bukankah ilmu pengetahuan adalah salah satu senjata hebat yang bisa digunakan untuk menguasai suatu daerah dan sekelompok orang?

Pengetahuan akan lingkungan laut dan pesisir adalah aspek maritim yang lain yang menentukan bagi hegemoni Belanda selama dan setelah Perang Padri di Sumatra Barat. Dengan demikian tidak salah kiranya mengatakan bahwa aspek-aspek maritim ada dan mempunyai peran yang besar dalam Perang Padri.

Daftar Bacaan

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkut Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Epp. Franz, Schilderungen aus Ostindische Archipel. Heidelberg: J.E.B. Mohr, 1841.

Kielstra, E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lion, H.J., Een Uit Naar Padang. Batavia: Ogilvie en Co., 1869.

Müller, S., L. Horner, Reizen en Onderzoekingen in Sumatra op Last der Nederlandsche Indische Regerring Tusschen de Jaren 1833 en 1838. ‘s-Gravenhage: K. Fuhri, 1855.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (Tweede, Vermeerde Druk) (Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Osthoff, H.L., Beschrijving Van Het Vaarwater Langs De Westkust Van Sumatra, Tusschen Padang En Tapanoly: Behoorende Bij De Kaart Opgenomen Op Last Van Het Nederlandsch Oost Indisch Bestuur, In De Jaren 1834 Tot 1838. Batavia: Landsdrukkerij, 1840.

Regeerings­almanaken van Nederlandsch Indie van 1830 dan 1833. Batavia: Ter Land Drukkerij, 1830 dan 1833.

Verbeek, R.D.M., Topograpsche en Geologische Beschrijving van Een Gedeelte van Sumatra’s Westkust. Amsterdam: Stemberg, 1880.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Benteng-Benteng Pada Masa Perang Padri

Benteng menjadi salah satu bagian penting dalam Perang Padri. Kaum Padri dan Belanda sama-sama membuat benteng dan sama-sama berupaya pula menghancurkan benteng lawan. Karena itu ada banyak benteng yang dibangun selama perang Padri, dan seiring dengan itu ada banyak pula benteng yang dihancurkan. Hingga saat sekarang, atau hingga beberapa dekade yang lalu, di banyak daerah di Minangkabau masih ditemukan kampung atau kawasan yang dinamai benteng, atau penamaan lain yang memiliki makna benteng. Kata orang-orang tua, benteng-benteng tersebut adalah benteng-benteng peninggalan masa Padri.

Signifikansi posisi benteng dalam Perang Padri bahkan bisa dilihat dari kenyataan, bahwa Perang Padri sesungguhnya dimulai dengan pendudukan sebuah benteng, yakni Benteng Simawang oleh Belanda (20 Februari 1821). Pendudukan Benteng Simawang itu dilakukan sekitar 10 hari setelah ditandatanganinya Perjanjian 10 Februari. Perjanjian 10 Februari adalah perjanjian antara Belanda dengan wakil-wakil Keluarga Kerajaan Pagaruyung, Suruaso, dan sejumlah penghulu dari Tanah Datar, yang isinya antara lain tentang penyerahan secara formal dan mutlak nagari-nagari Pagaru­yung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-dae­rah di sekeliling Kerajaan Mi­nang­­ka­bau kepa­da pemerin­tah Hindia Belanda, pernyataan kesetiaan para penanda tangan perjanjian kepada Belanda, termasuk kesediaan membantu Belanda menghancurkan Padri. Dalam perjanjian itu juga dinyatakan bahwa Belanda akan menyerang Padri dan melindungi rakyat (anak kemenakan para penghulu penandatangan perjanjian tersebut) dari gangguan kaum Padri.

Benteng Simawang sesungguhnya adalah benteng Inggris yang dijaga oleh 80 tentara dari kesatuan Bengali (India), dan mulai ditempati sejak akhir Juli 1818, pada saat Raffles dan rombongannya kembali dari ‘kunjungan ilmiah’ ke pedalamanan Minangkabau. Bagi Belanda, pendudukan Benteng Simawang berarti mengakhiri tapak kekuasaan Inggris di daerah pedalaman, dan sebagai bagian dari pernyataan perang terhadap Padri. Menurut du Puy, Residen Padang, kalau tidak diduduki, Padri akan menguasai Benteng Simawang. Du Puy berprinsip, lebih baik mendahului (mengambil alih Benteng Simawang) daripada didahului oleh Padri. Jadi, benteng adalah salah satu titik pangkal Perang Padri.

Benteng Simawang yang diambil alih dari tentara Inggris dari kesatuan Bengali itu adalah benteng pertama Belanda di daerah pedalaman.

Benteng kedua Belanda adalah benteng yang secara langsung berkaitan dengan Perang Padri. Maksudnya, benteng kedua ini dibangun dalam kaitannya dengan perang antara Belanda dengan kaum Padri. Benteng itu dibangun sebagai bagian dari kampanye militer dan ekspansi politik Belanda di daerah pedalaman. Benteng kedua itu dinamakan Fort van der Capellen.

Cikal bakal benteng ini adalah berupa post militer yang dibangun oleh Letkol Raaff pada awal Maret 1822. Raaff memilih sebuah puncak bukit di Batu Sangkar sebagai lokasi pembangunan post militer ini. Dalam waktu singkat post tersebut berkembang menjadi sebuah benteng yang tangguh, yang pada awalnya dinamakan Het Fort van Pagaroejong. Ketangguhan benteng tersebut terlihat dari sketsa berikut.

Het Fort van Pagaroejong.
(Koleksi Yayasan Rusli Amran)

Seiring dengan perjalanan waktu dan seiring pula dengan makin hebatnya suasana perang, Belanda meningkatkan kualitas dan kapasitas benteng. Perkembangan ini berhubungan juga dengan dijadikannya lokasi benteng sebagai kedudukan komandan militer dan ibu kota pemerintahan sipil di daerah pedalaman. Nama benteng (dan daerah) pun diganti menjadi Fort van der Capellen.

Mengacu pada pengalaman sebelumnya, terutama pengalaman pada masa VOC, Fort van der Capellen juga dirancang sebagai ‘kantor’ komandan tentara dan pimpinan tertinggi (pejabat) sipil, kantor aparatur pemerintahan sipil dan militer, dan sekaligus sebagai tempat tinggal para pegawai dan tentara (prajurit), serta juga gudang. Karena itu benteng menjadi sebuah (komplek) bangunan yang besar dan luas. Di samping dibangun pada tempat yang strategis, di atas puncak sebuah bukit, benteng juga dikelilingi oleh lapangan yang luas (yang memungkinkan para penjaga segera dapat melihat kalau ada musuh yang datang). Untuk itu, pohon-pohon di sekitar benteng ditebangi hingga jarak belasan atau puluhan meter dari pagar atau tembok terluar benteng. Gambar berikut, yang diambil dari buku de Stuers menampilkan gambaran Fort van der Capellen yang telah ‘sempurna’ beberapa tahun setelah didirikan.

Fort Van der Capellen.
(Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdan: P.N. van Kampen, 1849).

Fort van Capellen adalah basis kedudukan Belanda pertama di daerah pedalaman. Seperti disebut di atas, benteng ini kemudian menjadi pusat komando militer dan pusat pemerintahan sipil. Itulah sebabnya, Fort van der Capellen menjadi ibu kota unit administratif setingkat District (District Minangkabau) yang dibentuk pada saat awal Perang Padri. Keberadaan benteng ini menjadikan daerah sekitarnya ramai didatangi oleh penduduk berbagai nagari di Tanah Datar. Itu pulalah sebabnya dalam waktu yang tidak begitu lama Fort van der Capellen menjadi sebuah hunian yang ramai.

Pola pembangunan Fort van der Capellen menjadi model pembangunan beberapa benteng Belanda lainnya. Keberadaan benteng diawali dengan pembuatan post dan dilanjutkan dengan pembuatan benteng. Namun bisa dikatakan, bahwa tidak semua post yang kemudian berubah menjadi benteng. Perubahan post menjadi benteng sesungguhnya didasari oleh strategis atau tidaknya lokasi di mana post berada, serta yang lebih penting lagi, adalah potensi ancaman kaum Padri, dan besarnya peluang untuk memenangi perang melawan kaum Padri.

Pada tahun-tahun pertama perang, Belanda membangun banyak post di Tanah Datar dan Agam. Beberapa di antaranya adalah post Suruaso, Rao-Rao, Tanjung Alam, Gunung, Guguk Sigandang, Bukittinggi, Kapau, Kayutanam, dlsbnya. Sebagian dari post itu kemudian dikembangkan menjadi benteng, bahkan menjadi pusat komando militer dan pusat kegiatan politik (adminsitratif). Berikut adalah gambar Fort Tanjung Alam, Suruaso, Fort de Kock, dan Kayutanam.

Fort Tandjoeng Alam.
(Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849)
Fort Suruaso.
(Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbtreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol.I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849)
Fort de Kock.
(Stuers, H,J,J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849).
Fort van Kajutanam.
(Budhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861)

Segera setelah perang usai, sebagian besar benteng Belanda ditinggalkan dan terlantar, terutama benteng yang tidak berada di pusat pemerintahan sipil atau militer. Namun untuk Fort van der Capellen dan Fort de Kock tetap dipertahankan, bahkan berkembang menjadi tangsi yang besar. Gambar berikut menyajikan gambaran tangsi Fort de Kock sekitar 30 tahun seusai Perang Padri sebagai disajikan dalam buku E.W.A. Ludeking (1865).

Tangsi Militer Fort de Kock.
Ludeking, E.W.A., Natuur en Geneeskunde Topograhie van Agam (Weskust van Sumatra) (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867).

Sesuatu yang menarik dari keberadaan benteng Belanda adalah bahwa semua benteng diberi nama, terutama untuk benteng yang memiliki arti dan kedudukan penting secara militer, politik dan administrasi pemerintahan. Nama-nama yang diberikan umumnya nama-nama pejabat tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jendral), nama komandan tentara, baik yang berada di tingkat pusat (Batavia) atau yang ikut dalam perang Padri. Di samping nama-nama benteng yang di sebut di atas, seperti nama Fort van der Capellen dan Fort de Kock, juga ada nama Fort Veldman, Fort Cochius, Fort Amerongen, Fort Reiss, dlsbnya.

Setidaknya ada 22 (atau lebih) benteng yang dibuat oleh Belanda selama Perang Padri. Seperti disebut di atas, setelah dipergunakan banyak benteng itu yang ditelantarkan, dan beberapa di antaranya masih dipergunakan untuk keperluan pemerintahan sipil dan militer hingga perempat ketiga abad ke-19. Benteng-benteng yang ditinggalkan atau ditelantarkan akan hancur dalam waktu yang tidak begitu lama. Hal ini disebabkan sebagian oleh material pembangunan benteng umumnya terdiri dari bambu dan kayu atau batang kelapa, serta atap ilalang dan nipah. Hanya benteng-benteng utama yang bertahan karena tetap dipelihara dan senantiasa dilakukan peningkatan kualitas materialnya, termasuk penggunakan semen dan atap seng.

Pembangunan benteng dilakukan oleh tentara Belanda dengan bantuan ‘orang Melayu’, sebutan beberapa penulis Belanda terhadap Urang Awak yang berkerjasama dengan Belanda.

Di samping Tanah Datar dan Agam sebaran benteng lebih banyak di Limapuluh Kota dan Pasaman. Untuk kawasan selatan (Solok hingga Sijunjung) jumlahnya tidak banyak, karena setelah terdesak dari Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, kaum Padri mengonsentrasikan perlawanannya di bagian utara, sehingga kampanye militer Belanda mengganyang Padri relatif sedikit di kawasan selatan.

Dalam perang menghadapi Belanda, kaum Padri juga memiliki dan membuat benteng. Sejak hari-hari pertama berperang melawan Padri, pejabat atau komandan tentara Belanda telah menyebut adanya benteng kaum Padri. Du Puy malah melaporkan ke Batavia tentang adanya benteng kaum Padri di Sulit Air, nagari pertama yang diserang Belanda segera setelah mereka menduduki Benteng Simawang. Du Puy melaporkan bahwa pemimpin Padri di Sulit Air telah mempersiapkan diri dengan membentengi nagarinya, serta menyediakan meriam dan persenjataan lengkap dalam rangka menghadapi musuh.

Benteng sesungguhnya bukan sesuatu yang baru bagi Padri khususnya dan orang Minang pada umumnya. Benteng, dalam artian sesuatu yang bisa dipakai untuk mempertahankan diri atau berlindung dari serangan musuh telah lazim dikenal orang Minang, bahkan sejak sebelum Perang Padri. Dua ungkapan yang lazim digunakan orang Minang untuk sistem pertahanan atau perlindungan diri ini adalah bonjol dan koto. Bonjol dan koto memiliki makna yang hampir sama dengan benteng.

Secara umum, bonjol atau koto lebih sederhana bila dibandingkan dengan benteng ‘modern’ milik orang Eropa. Biasanya bonjol atau koto hanya terbuat dari onggokan atau gundukan tanah mengelilingi suatu kawasan atau lokasi tertentu, yang dilengkapi dengan bambu (aur) berduri hidup yang ditanam rapat dan cukup tebal. Bonjol atau koto umumnya berlokasi di tempat yang tinggi (bukit), dan tidak jauh dari pusat pemukiman (kampung). Keberadaan bonjol atau koto itu ada kaitannya dengan tradisi ‘perang batu’, ‘perang adat’, dan ‘cakak banyak’ yang lazim dilakukan Urang Awak di masa lalu.

Kebangkitan agama Islam, dalam artian penegakkan ketertiban dan keamanan dilakukan oleh pembaharu Islam pada perempat terakhir abad ke-18 dan kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Padri semakin menumbuhsuburkan pembuatan bonjol dan koto di daerah ini. Bahkan pada masa Gerakan Padri dan kemudian pada saat Perang Padri kualitas bonjol dan koto semakin ditingkatkan. Di samping dilindungi oleh pagar bambu (aur) berduri yang rapat dan padat, serta gundukan tanah, pada saat itu bonjol dan koto juga diperkuat oleh tumpukan batu dan dinding kayu atau batang kelapa, serta ditempatkan di lokasi-lokasi yang strategis, termasuk di atas bukit. Saat itu jumlah bonjol dan koto meningkat dengan signifikan. Itulah sebabnya, catatan-catatan perjalanan atau laporan-laporan yang dibuat pejabat (militer dan sipil) Belanda pada masa Perang Padri, seperti du Puy, Nahuijs, de Stuers, dan Boelhouwer, sering menyebut adanya banyak bonjol atau koto di daerah ini.

informasi tentang bonjol dan koto juga dikemukakan oleh pelaku sejarah dan tokoh Padri sendiri, salah satu di antaranya adalah Tuanku Imam Bonjol. Dalam autobiografinya, Tuanku Imam Bonjol menyebutkan tentang pembangunan dan keberadaan koto di Bonjol. Dia juga menceritakan tentang koto-koto Padri lainnya yang ada di perbukitan sekitar Bonjol, serta yang ada di nagari-nagari lain di sekitar Bonjol.

Cerita rakyat atau ingatan kolektif warga berbagai nagari di Minangkabau juga menyebut adanya benteng (Padri) di nagari mereka.

Sayangnya, hampir semua gambaran tentang bonjol atau koto itu hanya berupa narasi. Para penulis tersebut hanya mendeskripsikan lewat rangkaian kata-kata posisi dan keadaan bonjol atau koto tersebut. Cerita rakyat atau ingatan kolektif warga nagari bahkan mengambarkan bonjol atau koto dengan deskripsi yang luar biasa. Misalnya dikatakan “benteng itu berpagarkan aur berduri yang sangat rapat dan tebal sehingga untuk menghancurkannya Belanda terpaksa menembakkan uang koin dengan meriam ke dalam rimbunan aur berduri itu. Dan Urang Awak yang berada di dalam benteng yang ‘lapar uang’ serta-merta menebangi batang demi batang aur berduri itu untuk mendapatkan koin-koin tersebut, sehingga akhirnya Belanda dengan mudah menguasai benteng’.

Dengan membaca deskripsi para penulis tentang bonjol atau koto dengan membaca secara saksama kita akan mampu mengimajinasikan bagaimana kehebatan dan kecanggihan bonjol atau koto tersebut. Apalagi dalam karya-karya itu, penulis Belanda mengatakan kekaguman mereka akan struktur dan perlengkapan bonjol dan koto tersebut. Bahkan berkali-kali pula mereka mengatakan bahwa gerak maju pasukan Belanda sangat terganggu oleh adanya bonjol atau koto itu, serta berkali-kali pula dikatakan dibutuhkan upaya yang luar biasa oleh pasukan Belanda hingga mereka bisa menaklukan bonjol atau koto kaum Padri. Itulah pulalah sebabnya, mengapa dalam tulisan ini tidak disajikan sketsa atau lukisan bonjol atau koto tersebut. Karena tidak didapat (atau tepatnya belu ditemukan) adanya sketsa atau lukisan tentang bonjol atau koto yang lengkan.

Sistem pertahanan kaum Padri sesungguhnya tidak hanya berupa bonjol atau koto, tetapi juga kampung secara keseluruhan. Kampung-kampung Padri khususnya dan kampung-kampung di Minangkabau di masa lalu secara umumnya, ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan struktur yang mampu melindungi warga dari serangan atau serbuan musuh dari luar. Di sekeliling kampung biasanya dipagari dengan bambu (aur) berduri yang hidup yang tebal, atau dikelilingi oleh bandar atau aliran air yang cukup lebar dan dalam, atau juga dikelilingi oleh gundukan (onggokan) tanah yang di beberapa tempat juga disertai oleh batu-batu. Tidak jarang, pada kampung-kampung tertentu pagar hidup bambu (aur) berduri atau bandar/aliran air tersebut terdiri dari dua atau tiga lapis dengan ketebalan bambu hidup dan kedalaman air yang berbeda antara lapisan pertama dengan lapisan kedua. Pada masa Padri, di beberapa perkampungan Padri ditemukan juga adanya rumah-rumah jaga dan gerbang khusus tempat keluar masuk penduduk kampung. Salah satu contoh perkampungan Padri yang seperti benteng itu terdapat di Dalu-Dalu. Sketsa berikut menggambarkan kecanggihan struktur kampung Padri tersebut.

Menghancurkan bonjol atau koto serta perkampungan yang laksana benteng itu adalah salah satu strategi Belanda dalam Perang Padri. Berbagai cara dilakukan Belanda untuk menguasai dan menghancurkan benteng atau perkampungan itu. Dalam kenyataannya, salah satu penyebab kekalahan kaum Padri adalah dihancurkan atau dikuasainya benteng-benteng mereka oleh Belanda. Bahkan, salah satu berakhirnya Perang Padri, menurut salah satu versi yang dinarasikan oleh Belanda ditandai dengan jatuhnya benteng Padri di Bonjol tahun 1837.

Sebagaimana disebut di atas, sebagian besar benteng Belanda, bonjol atau koto telah hilang dan tidak meninggalkan jejak lagi. Namun informasi tentang lokasi dan keberadannya masih bisa ditemukan dalam sejumlah literatur dan ingatan kolektif anak nagari. Karena itu, dalam rangka 200 Tahun Perang Padri tahun ini, ada baiknya juga diadakan serangkaian kegiatan yang bisa mengaktualkan keberadaan benteng atau bonjol serta koto, yang pernah berperan penting dalam Perang Padri dulu. Misalnya mengadakan wisata sejarah ke benteng atau bonjol serta koto itu atau pelaksanaan upacara mengingat para pahlawan Padri di lokasi benteng atau bonjol serta koto, atau kegiatan-kegiatan lain yang mengingatkan kita akan keberadaan dan peran benteng atau bonjol serta koto dalam Perang Padri. Atau perlu juga dipertimbangkan oleh pemerintahan daerah, baik tingkat Provinsi atau Kabupaten untuk menghadirkan kembali (merekonstruksi atau merehabilitasi) benteng, bonjol atau koto-koto yang ada di daerah mereka, sehingga itu bisa menjadi bagian dari pembelajaran sejarah, serta sekaligus menjadi objek wisata. Semoga.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Budhhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Ludeking, E.W.A., Natuur-en Geneeskundige Topographie van Agam (Westkust van Sumatra). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L., de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849 dan 1850.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Perang Padri dan Pemerintahan Daerah Sumatra Barat

Perang Padri mempunyai arti yang penting bagi terbentuknya pemerintahan Sumatra Barat. Tidak hanya berperan dalam proses pembentukannya, Perang Padri menjadi iven historis yang penting bagi perluasan wilayah administratif, serta perluasan struktur dan aparatur pemerintahan Sumatra Barat. Perang Padri adalah salah satu dari sedikit perang di Indonesia yang diiringi dengan sangat banyak perubahan dalam berbagai komponen pemerintahan daerah di mana perang itu berlangsung.

Pada saat pemerintah Hindia Belanda mulai berkuasa tahun 1819, unit administratif yang ada di daerah ini dinamakan Residentie Padang. Unit administratif ini dipimpin oleh seorang Resident yang dibantu oleh seorang Asisten Residen, yang sekaligus berperan sebagai juru tulis. Wilayah yang menjadi bagiannya hanya mencakup kawasan sekitar Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, dan Air Haji. Aparatur pemerintahannya sangat terbatas karena wilayahnya juga terbatas.

Lukisan Tuanku Imam Bonjol sebagaimana dilampirkan dalam buku H.J.J.L. de Stuers, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. II). (1850).

Luas wilayah seperti ini berlangsung selama tiga tahun. Tahun 1823 ada perubahan, dan perubahan itu berhubungan secara langsung dengan Perang Padri. Perubahan tersebut merupakan perubahan nama, luas wilayah, dan perubahan aparaturnya yang mulai melibatkan pejabat Urang Awak, serta pembentukan pemerintahahan bumiputra (Inlandsche Bestuur) di samping pejabat dan pemerintahan Eropa (Europesche Bestuur).

Melalui perubahan yang diundangkan bulan April 1823 nama Keresidenan diganti menjadi Residentie Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukannya). Dari namanya terlihat, bahwa wilayah yang menjadi bagian dari unit administratif ini telah diperluas dengan kawasan-kawasan yang telah dikuasai (ditaklukkan) oleh Padang sebagai pusat pemerintahan (melalui aksi militer). Di samping empat daerah yang telah disebut sebelumnya, wilayah Residentie Padang en Onderhoorigheden juga mencakup Kawasan sekitar Tanah Datar, Tanah Datar Di Bawah (Lintau dan Sekitarnya), Agam dan Limapuluh Kota. Tiga yang disebut terakhir belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.

Mengapa Tanah Datar yang seutuhnya menjadi bagian dari keresidenan itu?  Apa hubungannya dengan Perang Padri?

Perang Padri pada awalnya adalah perang antara Belanda yang didukung oleh sejumlah orang Minang dalam menghadapi kaum Padri. Keadaan seperti ini berlangsung hingga tahun 1833, karena sejak tahun 1833 itu Perang Padri telah berubah menjadi perang antara Belanda dengan orang Minang secara keseluruhan.

Perang Padri bermula dari adanya permintaan bantuan kepada Belanda oleh wakil-wakil Kerajaaan Pagaruyung dan Suruaso dalam memerangi kaum Perang Padri. Permintaan bantuan itu diperkuat dengan adanya Perjanjian 10 Februari 1821 antara wakil pemerintah Belanda di Padang (Residen du Puys) dengan wakil-wakil Kerajaaan Pagaruyung (Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar), dan Saruaso (Jang dipertuan Radja Tangsir Alam dan Jang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam), serta sejumlah penghulu dari Tanah Datar, yang salah satu isinya adalah para pemuka masyarakat dan rakyat yang menandatangani perjanjian itu akan membantu Belanda mengempur kaum Padri.

Menurut Kielstra, pada awal-awal perang Belanda menghadapi Padri mendapat bantuan sekitar 5.000 hingga 6.000 ‘gewapene Maleier”, anak-kemenakan para penghulu yang telah menyatakan kesetiaannya kepada Belanda. Sebagian besar “tentara lokal” ini berasal dari Batipuh, Singkarak, Saningkabakar, Bungo Tanjung, Pitalah, Tanjuang Barulak, Batusangkar, Sumpur, Malalo, Sambilan Koto dan Simawang. Mereka adalah anak-kemenakan dari para penghulu yang ikut menandatangai Perjanjian 10 Februari 1821.

Nagari-nagari inilah sesungguhnya yang dikatakan Tanah Datar yang menjadi bagian dari Keresidenan Padang dan Daerah-Daerah Taklukkannya itu. Itulah sebabnya mengapa hanya daerah Tanah Datar yang seutuhnya menjadi bagian dari wilayah keresiden yang baru dibentuk tahun 182 itu.

Hubungan antara Perang Padri dengan pemerintahan daerah juga terlihat dari dibentuknya dua daerah administratif setingkat District, yaitu District Padang dengan ibu kotanya Padang dan District Minangkabau dengan ibu kotanya Fort van der Capellen, yang masing-masing dipimpin oleh Asisten Residen. District Minangkabau mencakup semua daerah pedalaman yang disebut di atas, walaupun kekuasaan efektif administratifnya hanya di kawasan Tanah Datar semata.

Di samping District, juga dibentuk unit administratif yang dinamakan Hoodfdafdeeling. Ada dua Hoofdafdeeling yang dibentuk, yaitu Hoofdafdeeling Padang dan Hoofdafdeeling Minangkabau. Unit ini dikepalai oleh Hoofdregent. Berbeda dengan Asisten Residen yang merupakan orang Belanda, maka Hoofdregent dijabat oleh orang orang Minang. Hoofdregent Minangkabau diberikan kepada Sutan Alam Bagagar. Pengangkatannya sebagai pejabat tertinggi dalam barisan pemerintahan bumiputra ini sekaligus membuktikan adanya hubungan Perang Padri dengan pembentukan dan keberadaan pemerintah daerah. Seperti disebut di atas, Sutan Alam Bagagarsyah adalah satu penanda tangan Perjanjian 10 Februari 1821.

Kaitan antara Perang Padri dengan pemerintah daerah (terutama pada aparaturnya) juga terlihat dari pembentukan unit administratif Bumiputra setingkat Regentschap (Keregenan) yang dikepalai oleh Regen, Kelarasan yang dikepalai oleh Kepala Laras, dan Kenagarian yang dikepalai oleh Kepala Nagari. Para pejabat yang mengepalai unit-unit pemerintahan ini umumnya adalah para penghulun yang ikut menandatangani Perjanjian 10 Februari 1821 atau yang berperan aktif dalam membantu Belanda memerangi kaum Padri.

H.J.J.L. de Stuers, Residen Sipil dan Militer Padang dan Daerah Taklukannya yang memilih politik berdamai dengan Padri (untuk sementara waktu), selama Perang Diponegoro.

Tahun 1825, ketika jabatan Residen Sipil dan Militer dipegang H.J.J.L de Stuers, ada perubahan luas wilayah dan perombakan unit-unit administratif di daerah ini. Di samping Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, wilayah pemerintahan Residentie Padang en Onderhoorigheden diperluas hingga Barus di utara sampai Indrapura di selatan. Unit administratif Europesche Bestuut setingkat District ditiadakan dan diganti dengan Adeeling yang dikepalai oleh Asisten Residen. Ada tiga Afdeeling saat itu, yaitu:

Pertama, Zuidelijke Afdeeling (Afdeeling Selatan) yang meli­puti kawasan mulai dari Ujung Masang hingga Indra­pura. Ibu kotanya Padang

Kedua, Afdeeling Padangsche Bovenlanden (Afdeeling Da­rek) yang mencakup kawasan Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota. Ibu kota Afdeeling ini adalah Fort van der Capellen.

Ketiga, Noordelijke Afdeeling (Afdeeling Utara), yang me­liputi kawasan mulai dari Ujung Masang hingga Barus. Ibu kota dari Afdeeling ini adalah Tapanuli (Pulau Poncan).

Kecuali Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji, dan Tanah Datar, hampir kesemua daerah lainnya, yang dikatakan sebagai bagian dari Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukannya ini masih belum dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Belanda. Perluasan wilayah ini lebih disebabkan oleh keputusan politik tingkat ‘nasional’ atau ‘internasional’, yaitu diserahkannya daerah-deaerah yang sebelumnya dikuasai Inggris kepada Belanda sebagai Realisasi dari Londonsche Tractaat (1824).

Sesuatu yang menarik, dan itu ada hubungannya dengan Perang Padri adalah dibentuknya tiga jabatan Komandan Sipil Militer untuk Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan ketiga mereka diperbantukan kepada Asisten Residen Padang Darek. Ketiga Komandan Sipil dan Militer tersebut ditem­patkan di Agam, Simawang dan Pa­dang Gan­ting. Pen­ciptaan jabatan komandan sipil militer di tiga lokasi tersebut ber­kaitan erat de­ngan rumitnya tugas Asisten Residen Padang Darek akibat makin berkecamuknya Perang Paderi di kawasan pedalaman. Pengangkatan para pejabat tersebut memang ditujukan untuk memimpin dan memenangkan perang melawan kaum Padri.

Tahun 1826, masih oleh de Stuers, diadakan lagi perubahan dalam tata pemerintahan di daerah ini. Tahun itu Keresidenan Padang dan Daerah-Daerah Taklukannya dibagi menjadi empat Afdeeling, yaitu:

Pertama, Afdeeling Padangsche Benedenlanden yang meliputi kawas­an pantai, mulai dari Tiku hingga Tarusan dan ke arah daratan dinyatakan berbatas dengan kaki-kaki perbukitan.

Kedua, Afdeeling Padangsche Bovenlanden meliputi kawas­an pedalaman Sumatera Barat. Batas-batas Afdeeling ini antara lain: Sebelah utara berbatas dengan de­ngan Bonjol dan Agam, ke arah timur berbatas de­ngan Li­ma­puluh Kota dan Lintau, ke arah selatan ber­batas dengan Talawi dan ke arah barat dengan Bukit Baris­an.

Ketiga, Zuidelijke Afdeeling yang mencakup kawasan mulai dari Tarusan hingga Indrapura. Ke dalam Afdeeling ini juga dimasukkan Onderafdeeling der Eilanden, yaitu unit administratif yang baru dibentuk untuk meng­urus pulau-pulau yang terdapat di kawasan ba­rat Sumatera Barat. Pulau Batu dianggap seba­gai pulau utama sehingga di sana ditempatkan se­orang Gezag­hebber untuk On­der­­afdeeling ini.

Keempat, Noordelije Afdeeling, yang mencakup kawasan dari Ba­rus hingga Ujung Masang. Afdeeling ini dibagi la­gi menjadi empat Onderafdeelingen, yaitu: a). Barus; b). Tapanuli; c). Natal; d). Air Bangis.

Di samping berkaitan dengan pengembalian Pantai Barat oleh Inggris, perubahan pemerintahan daerah tahun 1826 itu juga berhubungan dengan gerak maju pasukan Belanda dalam perang melawan kaum Padri di daerah pedalaman. Wilayah yang dikuasai Belanda semakin luas, dan sebagian besar Agam serta Limapuluh Kota sudah mereka masuki.

Pada saat tentara Belanda semakin banyak meraih kemenangan di kawasan darek, meletus Perang Jawa. Batavia memutuskan untuk mengonsentrasikan kekuatannya guna mengakhiri perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro tersebut. Karena itu, sebagian besar tentara yang tengah berperang melawan Padri ditarik ke Pulau Jawa. Selama Perang Diponegoro berlangsung (1825-1830) nyaris tidak ada perang di Ranah Minang. De Stuers mengambil kebijakan berdamai dengan para petinggi Padri sehingga pada kurun waktu itu banyak dibuat perjanjian damai dengan kaum Padri. Kebijakan de Stuers ini juga dilanjutkan oleh penggantinya Mac Gilavry dan Elout.

Sikap politik seperti ini menyebabkan nyaris tidak ada perubahan dalam pemerintahan daerah, terutama pada jajaran Europesche Bestuur. Sebaliknya, ada perubahan yang cukup signfikan dalam barisan Inlandsche Bestuur. Posisi Sutan Alam Bagagarsyah sebagai Hoofdregent diturunkan menjadi Regen biasa. De Stuers juga memperbanyak jumlah Keregenanan, Kelarasan, dan Nagari. Belum diketahui jumlah pasti masing-masing unit pemerintah ini saat itu, tetapi menurut Westenenk ada sebanyak 17 Keregenan, dan menurut de Stuers ada 42 Kelarasan dan 80 Nagari yang diciptakan saat itu.

Penciptaan Nagari adalah sebuah fenomenan baru pada era pemerintahan de Stuers. Dalam laporan tahunannnya de Stuers menyebut bahwa dia merencanakan untuk membentuk 100 Nagari baru guna mendukung pemerintahannya. Namun yang terealisir hanya 80-an buah.

Berbeda dengan Nagari, yang sebetulnya telah merupakan unit sosial-politik ‘asli’ milik Minangkabau, Kelarasan dan Keregenan adalah bentuk baru di daerah ini. Unit-unit administratif ini memang diciptakan oleh Belanda untuk mendukung mesin kekuasaannya. Para pejabat Kepala Nagari, Kepala Laras, Regen atau juga Hoofdregent diangkat dan digaji oleh pemerintah. Sebagai konsekuensinya, mereka mesti patuh dan mengabdi kepada pemerintah.

Pada era pemerintahannya, de Stuers memang lebih banyak mengutak-atik pemerintah Inlandsche Bestuur yang umumnya para penghulu yang telah menyatakan takluk dan setia kepada pemerintah. Kelompok-kelompok inilah yang sesungguhnya berada dalam kendali serta kekuasaannya. Sebaliknya, seperti yang disebut di atas, de Stuers memilih politik ‘berdamai’ dengan kaum Padri. Keadaan seperti ini berlangsung sekitar tujuh tahun. Ketentuan seperti ini adalah salah satu penyebab mulai jauhnya jarak antara kepala-kepala penduduk bumiputra (Inlandsche Hoofden) dengan warganya, khususnya jarak antara Kepala Nagari dengan warga nagari.

Setelah Perang Diponegoro usai dan bala tentara Belanda dikirim kembali ke daerah ini, Belanda meninggalkan politik berdamai dengan Padri. Belanda yang semakin percaya diri seusai memenangkan perang melawan Diponegoro dengan segera meningkatkan tekanan serangan terhadap Padri. Dengan dukungan tentara serta peralatan tempur yang semakin lengkap, dan persediaan logistik yang memadai, Belanda meraih kemenangan demi kemenanganpada berbagai medan laga. Pada saat itulah dirasaka adanya kebutuhan terhadap aparatur dan struktur pemerintahan daerah yang lebih sempurna lagi. Maka tahun 1833 diadakankan perubahan tatata pemerintah daerah.

Perubahan, terutama sekali dilakukan pada penamaan Afdeling dan daerah-daerah yang menjadi bagian dari Afdeeling tersebut. Nama-nama Afdeeling dan daerah-daerah yang menjadi bagiannya adalah:

Pertama, Afdeeling Padang en Onderhoorigheden yang meli­puti kawasan sekitar Padang hingga Indrapura di se­la­tan. Afdeeling ini berada di bawah pimpinan se­orang Asisten Residen.

Kedua, Afdeeling Pariaman yang meliputi daerah-daerah Paria­man, Tiku, Danau, XII Koto Darek, Bonjol, Lubuk Sikaping serta Rao. Afdeeling ini ber­ada di bawah pimpinan seorang Komandan Sipil dan Militer.

Ketiga, Afdeeling Padangsche Bovenlanden yang meliputi dae­rah Agam, Limapuluh Kota, Buo dan XX Koto. Pim­pinan tertinggi dari Afdeeling ini adalah seorang Komandan Si­pil dan Militer.

Keempat, Afdeeling Natal en Onderhorigheden (termasuk Tapa­nuli) di bawah pimpinan seorang Penguasa Sipil dan Militer.

Kaitan antara penataan pemerintahan daerah dengan Perang Padri, terutama sekali terlihat dari perluasan wilayah yang menjadi bagian dari Afdeeling Pariaman. Ke dalam unit administratif ini dimasukkan Bonjol, Lubuk Sikaping serta Rao yang menjadi pusat perlawanan Padri sejak awal tahun 1830-an. Sedangkan Paria­man, Tiku, Danau, dan XII Koto Darek dijadikan sebagai bagian dari unit administratif ini karena daerah-daerah tersebut akan dimanfaatkan sebagai kawasan untuk mendukung mobilitas pasukan (tentara dan logistik) guna menggempur Padri di kawasan Bonjol, Lubuk Sikaping dan Rao.

Sejak awal 1830-an konsentrasi perlawanan Padri memang berada di kawasan utara. Bonjol yang kemudian dinamakan oleh Belanda sebagai Fort Cochius menjadi benteng terakhir perlawanan Padri. Karena itu, dikuasainya Bonjol atau ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol tanggal 16 Agustus 1837 dianggap sebagai akhir dari Perang Padri oleh penulis kolonial.

Segera setelah itu (29 November 1837) pemerintah kolonial melakukan perubahan dalam tatanan pemerintahan daerah. Status daerah ditingkatkan menjadi Gouvernement, dan dinamakan Gouvernement Sumatra’s Westkust. Ini adalah satu-satunya daerah administratif setingkat Gouvernement di Sumatra saat itu. Pemimpinannya digelari Civiele en Militaire Gouverneur (Gubernur Sipil dan Militer). Pada unit administratif ini ada dua Residentie, yang dibagi lagi menjadi beberapa Afdeelingen. Nama-nama lengkap unit-unit administratif itu adalah:

I. Residentie van Padang dibagi ke dalam lima Afdeelingen. Kelima Afdeelingen itu terdiri dari:

Pertama, Afdeeling van Padang (tempat kedudukan Residen) meli­puti daerah Padang, Nanggalo, XX Koto, Limau Manis, Lu­buk Kilangan, Bungus, Cindakir, Teluk Kabung, Pau (Standplaats van een controleur 4e kl.), Koto Tangah, Tarusan, Siguntur dan Pulut-pulut.

Kedua, Afdeeling van Pariaman yang terbagi lagi menjadi Paria­man dengan V Koto, Naras (Mangguang), Pa­ria­­man (Controleur kelas 1), VII Koto Ulakan; Tiku (Controleur kelas 3), Manggopoh, Gragahan, Lubuk Basung, XII Koto; Kayutanam (Controleur kelas 3) dengan Pakandangan dan Sintuk Lubuk Alung.

Ketiga, Afdeeling Pulau Cingkuak (Controleur kelas 3) dengan Bayang, Salido, Painan, Batangkapas, Tello, Taratta, Surantiah, Kambang, Palagai, Sungaitoro, Pangisan, Air Haji dan Indrapura.

Keempat, Afdeeling Pulau-pulau Batu (Controleur kelas 4).

Kelima, Afdeeling van Padangsche Bovenlanden yang dibagi ke dalam Onderafdeelingen: a). Padang Panjang (IX Koto, XX Koto, Batipuah) dengan seorang Controleur kelas 1 di Padang Pan­jang dan seorang Controleur kelas 2 di Singkarak; b). Fort van der Capellen (Tanah Datar dan Tanjung Alam) dengan seorang Controleur kelas 1 di Fort van der Capellen dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjung Alam; c). Fort de Kock (Agam dan VII Koto) dengan 1 Con­troleur kelas 1 di Fort de Kock dan seorang Con­troleur kelas 4 di Palupuh; d). Matua (XII Koto dan Danau-districten) dengan se­orang Controleur kelas 2 di Matua, seorang Contro­leur kelas 3 di Bambang dan seorang Contro­leur kelas 4 di Maninjau; e). Payakumbuh (Limapuluh Kota dan Halaban) de­ngan seorang Controleur kelas 1 di Payakumbuh, 1 orang Controleur kelas 3 di Halaban, 2 orang Controleur kelas 4 di Fort van den Bosch (Suliki) dan Fort Veltman (Situjuh); f). Buo (Lintau dan Koto Tujuah) dengan seorang Controleur kelas 2 di Buo dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjuang Ambalo (Ampalu?)

II. Noordelijke Residentie atau Residentie Air Bangis, terdiri dari lima Afdeelingen.

Pertama, Afdeeling van Air Bangis (tempat kedudukan Residen).

Kedua, Afdeeling van Pasaman dan Westerlijke Ophirdistricten, dengan se­orang Controleur kelas 2 (ditempatkan di Katia­gan) dan seorang Controleur kelas 1 di Parik Batu (atau Kinali).

Ketiga, Afdeling van Natal en Tapanuli dengan seorang Controleur kelas 1 di Natal dan seorang Controleur kelas 3 di Tapa­nuli.

Keempat, Afdeeling van Mandahiling en Angkola, dengan seorang Contro­leur kelas 2 di Koto Nopan dan seorang Controleur ke­las 3 di Angkola.

Kelima, Afdeeling Rao, Bonjol en Oosterlijke Ophirdistricten, dengan seorang Controleur kelas 1 di Rao, 1 Controleur ke­las 2 di Bonjol (Kota General Cochius), 1 Controleur ke­las 3 di Talu atau Malampah, 1 Controleur kelas 4 di Lubuk Sikaping.

Dari penataan pemerintahan di atas terlihat, bahwa kawasan bagian utara mendapat porsi yang lebih banyak. Bahkan kawasan Tapanuli mulai dimasukkan dan ditata dengan rinci. Unit-unit administratif yang lebih rendah juga lebih banyak di kawasan itu. Ini tentu berhubungan dengan upaya Belanda yang masih mengejar sejumlah pemimpin Padri, yang masih aktif melakukan perlawanan di kawasan tersebut. Dan memang kenyataannya hingga tahun 1842, sejumlah perlawanan dari tokoh-tokoh Padri tetap terjadi di kawasan utara atau Mandahiling hingga Rokan Hulu (dan juga di wilayah Darek, di pedalaman Minangkabau). Bahkan, dalam sejumlah literatur dikatakan bahwa Perang Padri sesungguhnya baru berakhir tahun 1842, seiring dengan berakhirnya perlawanan Rakyat Batipuh.

Sehubungan dengan itu, sejak tahun 1837 hingga 1842 diadakan sejumlah perubahan dalam pemerintahan daerah. Hasil dari beberapa penataan itu, maka tahun 1842, Gouvernement Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga Keresidenan dan 14 Afdeelingen, serta 88 Districten. Dengan rincian sebagai berikut: 1). Keresidenan Padangsche Benedenlanden (4 Afdeeling dan 35 District); 2). Keresidenan Padangsche Bovenlanden (3 Afdeeling dan 18 District); 3). Keresidenan Tapanuli (7 Afdeeling da 36 District).

Dari data di atas sangat terlihat, bahwa pasca-penaklukan Padri, ikhtiar utama Belanda adalah memperluas kekuasan di kawasan utara (Mandahiling dan Tapanuli, serta di kawasan pantai). Dari data di atas juga terlihat, bahwa pemerintah memperbanyak unit-unit administratif yang lebih rendah tingkatannya. Ini berarti sasaran utama penataan pemerintahan saat itu adalah untuk menegakkan rust en orde (ketertiban dan keteraturan), yang sasaran utamanya adalah penduduk biasa.  Dan dalam kenyataannya, pasca-1842, perlawanan atas nama Padri memang tidak ada lagi, dan kalau ada penataan dan perubahan pemerintahan daerah selepas tahun 1842, bisa dikatakan tidak ada kaitannya dengan anasir Padri.

Sejak usainya Perang Padri umumnya dan selepas tahun 1842 khususnya, jalannya pemerintahan daerah Sumatra Barat memang memperlihatkan arah yang berbeda. Penataan-penataan dan perubahan-perubahan yang dilaksanakan lebih banyak mengarah pada upaya pengeksploitasi ekonomi daerah. Eksploitasi ekonomi bisa dilakukan kalau adanya ketertiban dan keteraturan. Upaya penegakan rust en orde ini trnyata juga menjadi alasan diadakannya sejumlah penataan dan perubahan pemerintahan daerah selepas tahun 1842. Pemerintahan daerah Sumatra Barat, memang sebuah pemerintah yang sangat dinamis, senantiasa berubah. Bahkan bisa dikatakan bahwa daerah ini adalah salah satu daerah yang paling dinamais di Indonesia. Tidak percaya, cobalah simak tulisan-tulisan lainnya dalam blog ini.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatra Barat: Dari VOC hingga Reformasi. Yogyakarta: Dian Pustaka, 2006.

Kielstra, E.B., , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , “Het Onstaan van den Padri-Oorlog” dalam Indische Militaire Tijdschrift, II, 1887, hal. 224-248.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Stuers, H.J.J.L.de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Westenenk, L.C., “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.

Ditulis oleh Gusti Asnan