Bonjol Pada Masa Perang Padri

Bonjol adalah benteng terakhir kaum Padri menghadapi Belanda. Penaklukan Bonjol adalah ‘the ultimate target’ yang harus dicapai oleh tentara Belanda. Di mata pemerintah Belanda, klaim kemenangan melawan Padri baru bisa dinyatakan kalau Bonjol dikuasai dan Tuanku Imam ditawan atau dikalahkan.

Dalam kenyataannya, sangat susah bagi Belanda untuk menaklukkan Bonjol. Dibutuhkan waktu yang relatif lama dan pengerahan tentara yang banyak sebelum kolonialis itu berhasil memenangkan perang. Mengapa itu bisa terjadi? Apakah ada kaitan antara susahnya proses penaklukan tersebut dengan lingkungan geografis kawasan di mana Bonjol berada? Apakah ada kaitannya dengan sistem pertahanan/perbentengan Padri? Atau apakah ada hubungannya dengan keadaan sosial, politik, dan budaya masyarakat setempat?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sehingga bisa menyajikan gambaran mengenai Bonjol pada masa Perang Padri. Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada bagian berikut ini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai sejarah nama Bonjol tersebut.

II

Bonjol sesungguhnya bukanlah nama ‘asli’ dari unit permukiman yang menjadi basis pejuang Padri pada tahun-tahun perang mereka melawan Belanda. Nama ini muncul dalam kaitannya dengan Gerakan dan Perang Padri. Seperti yang akan dibicarakan nanti, nama ini muncul karena dibuatnya kubu atau benteng pertahanan oleh kaum Padri di kawasan itu. Kubu atau benteng pertahanan dalam bahasa Minangkabau lama (Minangkabau archaic word) disebut dengan bonjo (bonjol).

Karena di masa lalu, khususnya pada masa Perang Padri, oleh Urang Awak banyak dibangun kubu atau benteng pertahanan, maka ada banyak unit permukiman (kampung atau nagari) di Minangkabau yang dinamai dengan bonjol (atau diawali dengan kata bonjol), di samping kubu atau benteng. Beberapa nama kampung atau nagari yang memakai kata bonjo (bonjol) ini adalah Bonjo Alam, Bonjo Itam, Bonjo Panjang, dlsbnya. Jadi, Bonjol adalah nama yang mulai lazim disebut untuk unit permukiman yang menjadi kampung sekaligus markas Imam Bonjol dan pengikutnya pada masa Gerakan atau Perang Padri. Dan pada awalnya, penamaan itu hanya untuk sebagian kecil dari kawasan yang dewasa ini disebut Bonjol. Seperti yang terlihat pada peta yang dilampirkan pada tulisan ini, Bonjol yang dimaksud pada masa Perang itu hanya terbatas pada sebuah kawasan yang betul-betul berperan sebagai kubu, benteng pertahanan dan ‘markas’ kaum Padri.

Lukisan Bonjol, Mesjid dan Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi)

(Sumber: “Bondjol’ dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, II-1, 1839)

Segera setelah perang usai dan kaum Padri dikalahkan, maka untuk menghapuskan memory collective warga setempat atas kehebatan bonjol (kubu atau benteng pertahanan) mereka, maka pemerintah kolonial mengganti nama unit permukiman ini dengan nama ‘ala Belanda, yakni Kotta Generaal Cochius. Pergantian nama ini dilakukan tahun 1838. Sejak saat itu, penamaan Bonjol dihilangkan dalam berbagai catatan resmi dan administratif kolonial, dan diganti dengan Kotta Generaal Cochius).

Sama dengan Bukittinggi dan Batusangkar, Bonjol sesungguhnya di masa lalu juga pernah memiliki nama Belanda.

Harus dipahami, bahwa di mata kolonialis Belanda, pemberian nama seorang tokoh penting kepada sebuah kota atau daerah berarti bahwa unit permukiman atau wilayah itu dianggap penting serta memiliki arti istimewa oleh pemerintah kolonial. Hanya kota atau unit permukiman dan wilayah tertentu yang diberi nama tokoh hebat Belanda oleh pemerintah kolonial, dan itu – sekali lagi – adalah kota atau unit permukinan yang memegang peranan penting atau memiliki arti istimewa di mata mereka. Artinya, Bonjol adalah salah satu unit permukiman atau daerah yang memiliki arti istimewa di mata kolonialis Belanda.

Karena nama Kotta Generaal Cochius dan Bonjol adalah nama-nama yang muncul belakangan, lantas, apa nama ‘asli’ dari unit permukiman di mana Bonjol itu berada?

III

Seperti disajikan pada peta yang dilampirkan dalam tulisan ini, dalam bahasa Belanda, kawasan di mana Bonjol itu berada dinamakan Vallei van Alahan Pandjang (Lembah Alahan Panjang). Seperti dinyatakan juga dalam sejumlah sumber Belanda, penamaan ini diambil dari nama sungai yang mengalir di kawasan ini yaitu Sungai (Batang) Alahan Panjang. Di samping itu, sumber lokal, terutama Naskah Tuanku Imam Bonjol, juga menamakan unit permukiman ini dengan Alahan Panjang.

Peta Lembah Alahan Panjang

(Sumber: Lange, H.M., Het Nederlandsh Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra, (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch, 1854).

Dikatakan, bahwa Lembah Alahan Panjang adalah sebuah kawasan yang memiliki panjang 3 palen (4,5 kilometer) panjang dan lebar 1 paal (1,5 kilometer), yang berbentuk lingkaran memanjang dari utara ke selatan, serta dikelilingi oleh pegunungan (bukit-bukit) yang berhutan lebat. Pegungan atau bukit-bukit itu sendiri sesungguhnya sangat besar artinya bagi kawasan ini, karena di pintu masuk ke lembah ini dari luar berada di pegunungan itu. Menurut analisis ahli perang Belanda, jika bisa dijaga atau dipertahankan dengan benar (sungguh-sungguh), maka semua pintu masuk ke lembah (kawasan ini) sudah terlindungi oleh pegunungan atau bukit-bukit itu.

Pintu masuk atau akses jalan itu menghubungkan Alahan Panjang dengan negeri-negeri atau kawasan-kawasan yang ada di sekitarnya. Jalan ke arah utara menghubungkan Alahan Panjang dengan Lubuk Sikaping dan Rao, ke arah timur menghubungkan Alahan Panjang dengan Suliki hingga ke XIII Koto Kampar, ke arah selatan menghubungkan Alahan Panjang dengan Agam, ke arah barat menghubungkan Alahan Panjang dengan Alahan Mati, Simpang, Malampah, dan terus Sasak dan Katiagan. Akses jalan yang terbuka ke empat kawasan yang kaya penduduk dan memiliki arti yang penting dalam bidang sosial-ekonomi ini pernah dimanfaatkan oleh kaum Padri Bonjol untuk meluaskan dakwah (gerakan) penyebaran ajaran yang mereka miliki.

Lembah Alahan Panjang adalah sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kawasan ini memiliki lahan pertanian (sawah) yang bagus dan luas. Untuk mengolah sawah digunakan kerbau, dan kerbau itu sendiri banyak sekali jumlahnya di daerah ini. Daerah ini memiliki berbagai jenis tanaman, mulai dari sayur-mayur hingga buah-buahan. Semuanya tersedia dalam jumlah lebih dari yang dibutuhkan warganya. Batang Alahan Panjang yang mengalir dari utara ke arah selatan juga kaya dengan ikan. Tidak hanya di sungai, warga juga memelihara ikan dalam kolam. Salah satu jenis ikan yang dipelihara di kolam adalah ikan gurami.

Di Lembah Alahan Panjang itu terdapat sejumlah kampung, di antaranya Bonjo Itam, Lubuak Ambacang, Pasia, Kampuang Baru, Mandari, Alai, Padang Sikaduduak, Koto Marapak, Jambak, Caniago, Talang atau Pancuran Tujuah, Tandikek, Bonjol, Tanjuang Bungo, Padang Baru, Padang Laweh, dlsbnya.

Oleh sejumlah sumber Belanda dikatakan bahwa Bonjol adalah ibu kota atau kampung yang paling besar (utama) Lembah Alahan Panjang. Bonjol itu sendiri terletak di sebelah timur bagian selatan lembah.

Seperti tersaji pada peta dalam tulisan ini, Bonjol kira-kira berbentuk empat persegi panjang, yang mana bagian utara lebih luas dari bagian selatan, dan bagian selatan itu sendiri juga agak runcing. Dari peta ini bisa dilihat bahwa Bonjol berlokasi di lereng perbukitan (Bukit Tajadi atau kadang-kadang dinamai juga Bukit Tak Jadi). Posisi ini menempatkan bagian timur Bonjol dilindungi oleh Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi), sedangkan tiga sisinya yang lain, utara, barat dan selatan merupakan sisi yang terbuka. Dari peta juga terlihat bahwa di Bonjol ini mengalir sebuah sungai kecil, sungai yang seakan-akan membagi Bondjol menjadi dua bagian.

Boelhouwer, seorang perwira menengah Belanda yang sempat masuk ke Bonjol pada tahun 1833, serta juga sempat bertemu dengan Tuanku Imam Bonjol, memberikan gambaran yang lengkap mengenai Bonjol pada saat itu. Sebuah gambaran yang meyakinkan kita bahwa Bonjol itu adalah memang sebuah kubu atau benteng pertahanan, sekaligus menjadi markas kaum Padri.

Dikatakan juga, bahwa di samping terletak pada posisi yang cukup tinggi, Bonjol dilengkapi dengan sistem pertahanan yang canggih. Sistem pertahanan itu mencakup adanya dua lapis dinding dengan kekuatan bahan dan ukuran yang berbeda. Pada lapisan pertama ada dinding yang terbuat dari batu besar yang nampaknya diambil dari sungai. Tinggi dinding pada lapisan pertama ini sekitar tiga meter. Dinding kedua, sebelah dalam, adalah dinding tembok yang terbuat dari batu dengan campuran ‘kapur’ (non semen) yang kuat dan kokoh. Tinggi dinding pada lapisan kedua ini sekitar 3,5 meter.

Di bagian luar dinding tersebut dibuat parit yang dalam yang digenangi oleh air dengan lebar sekitar empat meter. Tidak sampai di sana saja, untuk memperkuat pertahanan, pada bagian atas dinding diisi dengan aur berduri yang ditanam rapat. Bila tumbuh, aur berduri yang ditanam rapat tidak akan bisa atau sangat sukar untuk dilalui, karena di samping berduri, aur jenis ini memiliki ranting yang saling mengikat, saling mengait, dan saling melilit batangnya.

Namanya sebuah kubu atau benteng pertahanan, Bonjol ini juga dilengkapi dengan sejumlah meriam (buatan Inggris) dengan ukuran 12 pon (salah satu meriam kaliber terbesar saat itu). Keberadaan meriam dalam ukuran yang besar dan jumlah yang banyak ini semakin membuktikan bahwa Bonjol adalah sebuah kubu atau benteng pertahanan yang sangat kuat, dan akan sangat susah untuk ditaklukkan.

Di bagian dalam Bonjol ada sejumlah rumah tempat tinggal tokoh atau pemimpin Padri serta sejumlah hulubalang Padri. Rumah-rumah itu memiliki kamar yang cukup banyak, dan kamar yang banyak itu nampaknya diperuntukan buat para istri para tokoh atau pemimpin Padri. Di halaman rumah-rumah itu ada kolam yang airnya jernih serta diisi dengan banyak ikan, di antaranya ikan gurami.

Sebagai sebuah permukiman kaum Padri, mesjid menjadi salah satu bangunan terpenting di Bonjol. Pentingnya mesjid ini bisa disaksikan dari deskripsi yang disampaikan Boelhouwer. Sang serdadu ini menyebut adanya dua masjid di Bonjol. Pertama masjid yang terdapat di dalam kubu, yakni masjid lama dan saat dia berkunjung ke sana masjid ini tidak digunakan lagi. Diperkirakan, masjid lama ini tidak mampu menampung jumlah jamaah yang kian bertambah, karena itulah dibangun mesjid yang baru. Mesjid kedua, mesjid yang baru, dibangun di luar kubu. Pada saat Boelhouwer berkunjung ke sana, nampaknya mesjid itu belum selesai benar. Dikatakan bahwa mesjid itu sangat bagus dan besar. Arsitektur mesjid itu mirip dengan mesjid yang lazim ditemui di mana-mana di Minangkabau. Atapnya memiliki lima tingkat yang makin ke atas makin kecil serta terbuat dari sirap. Sebagai aksesori ada bola yang terbuat dari logam menyerupai perak dipuncaknya. Tiang utama (soko guru)nya dari kayu utuh sebesar tiga kali badan orang dewasa dan tinggi sekali hingga mencapai puncak mesjid. Ke tiang utama ini bergabung sejumlah kayu (balok) lain yang berfungsi sebagai penyangga atap. Lantai masjid yang tingginya sekitar 60 sentimeter dari tanah terbuat dari papan dan sangat luas. Ruangan mesjid itu diperkirakan mampu menampung 3.000 orang dan itu pun masih banyak tempat yang kosong.

Gambar yang dilampirkan pada tulisan ini menyajikan lukisan Bonjol dengan menampilkan mesjid serta Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi) di bagian belakangnya.

Bonjol sebagai sebagai permukiman Islam, menjadikan mesjid menjadi bangunan yang paling utama, paling besar, dan paling ‘wah’.

Karena dibangun dan difungsikan pada perang, maka di kawasan sekitar bonjol ini juga dibuat sejumlah kubu pertahanan lagi. Berdasarkan sajian peta di atas dan informasi Boelhouwer, setidaknya ada lima kubu lain yang dibuat oleh kaum Padri di sekitar Bonjol ini (terutama di perbukitan) bagian belakang mesjid. Ini semua, kata Boelhouwer, sungguh-sungguh membuat Bonjol akan sangat susah untuk ditaklukan. Perkiraan Boelhouwer ini terbukti beberapa tahun kemudian, dibutuhkan waktu lebih 1,5 tahun oleh Belanda dan dibutuhkan pengerahan tentara yang banyak untuk menaklukan Bonjol.

Namun mengapa kok tahun 1833 Boelhouwer, Kolonel Elout (Resident van Padangsche en Onderhoorigheden) dan pasukannya bisa masuk dengan mudah ke Bonjol? Dan mengapa pula kok pada tahun-tahun terakhir Perang Padri Bonjol begitu sulit ditaklukkan?

IV

Seperti disebut sebelumnya, di Lembah Alahan Panjang terdapat sejumlah kampung. Sebagaimana dikatakan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, kampung-kampung tersebut terhimpun ke dalam dua nagari, yakni Ganggo Mudik dan Ganggo Hilir. Masing-masing nagari diperintahi oleh empat penghulu, yang berempat di mudik diketuai oleh Datuk Sati dan yang berempat di hilir diketuai oleh Datuk Bandaro.

Pada hari-hari pertama Gerakan Padri, para petinggi kedua nagari bersepakat untuk mendirikan agama Allah dan Rasulullah, bersepakat untuk menghentikan kaul siganjia-ganjia (pekerjaan sia-sia), menghentikan sabung dan tuak di kawasan Alahan Panjang. Namun kesepakatan tersebut tidak berlangsung lama, sebab ada pihak yang tidak setuju dengan isi kesepakatan tersebut. Pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa isi kesepakatan tersebut akan merusak tradisi dan adat kebiasaan mereka. Puncak dari perselisihan itu adalah terjadinya cakak dan kelahi di dalam mesjid saat diadakannya maulud nabi. Sejak saat itu masyarakat Alahan Panjang terpecah menjadi dua kelompok, kelompok pendukung adat dan tradisi lama di satu pihak serta kelompok pendukung penegakan agama Allah (kaum Padri) di sisi lain.

Pembangunan bonjol (kubu atau benteng pertahanan) di kawasan Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi) sesungguhnya berawal dari perselisihan itu. Pada awalnya, kaum Padri membangun bonjol itu untuk melindungi diri mereka dari gangguan/serbuan kaum pendukung adat dan tradisi lama. Dan sebagaimana disebutkan Tuanku Imam Bonjol, kelompok pendukung adat dan tradisi lama beberapa kali menyerang bonjol, tapi selalu gagal karena posisi dan pertahanan bonjol yang hebat serta didukung oleh semangat juang kaum Padri.

Kemudian, seiring dengan semakin banyaknya pengikut dan adanya bantuan dari luar (seperti Tuanku Nan Renceh  dari Kamang), kaum Padri bisa tampil sebagai kelompok yang dominan di Lembah Alahan Panjang. Kaum Padri bisa mengalahkan kaum pendukung adat dan tradisi lama. Namun hingga tahun-tahun permulaan 1830-an, kaum pendukung adat dan tradisi masih memendam dendam kepada kaum Padri. Konflik bak bara dalam sekam inilah yang akhirnya memecah warga Alahan Panjang.

Perpecahan warga mencapai klimaknya ketika Belanda mengancam mereka dengan pilihan menyerah atau melawan. Kalau menyerah mereka tidak akan diapa-apakan, namun kalau melawan akan diserang dan dibinasakan. Datuak Sati dan Datuk Bandaro, sebagai pucuk dari Ganggo Mudik dan Ganggo Hilir tidak mendapat kata sepakat dalam merespon ancaman itu. Datuk Putih tidak mau menyerah dan Datuk Bandaro ingin berdamai. Tuanku Imam Bonjol sebagai orang yang “tidak punya rakyat dan tidak pula mempunyai nagari” menginginkan kalau melawan ya melawan secara melawan bersama, kalau berdamai ya berdamai secara bersama. Karena tidak ada juga kata sepakat, Tuanku Imam Bonjol meninggalkan Alahan Panjang dan pergi ke Lubuk Sikaping. Pada saat dia pergi itulah, pada saat warga terpecah itulah, Belanda masuk dan menguasai ke Bonjol. Sehingga Belanda masuk tanpa ada perlawanan sedikit pun dari warga Alahan Panjang.

Perselisihan antarwarga itu membuat Bonjol kalah dan dikuasai Belanda. Perpecahan antarwarga itu pulalah menyebabkan Tuanku Imam kemudian menerima tawaran damai pemerintah Belanda (karena tidak ada pilihan lain).

Namun, pendudukan Belanda atas Bonjol melahirkan kekecewaan warga. Banyak kezaliman yang mereka lakukan. Kezaliman demi kezaliman yang dilakukan oleh kolonialis Belanda itulah yang akhirnya membuat warga Bonjol bersatu kembali. Tidak hanya itu, mereka juga menjadikan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin dan panutan. Kejadian itu, bersatunya warga Bonjol tersebut, dicatat Boelhouwer sebagai ‘Orang-orang Padri dan Melayu yang dahulu bermusuhan besar, sekarang bersahabat kental. Mereka bersatu dan ingin mengusir kekuasan Belanda yang masih lemah”.

Pascabersatunya warga itulah bonjol (kubu dan benteng pertahanan) segera diperkuat, kampung-kampung (khususnya Bonjol) diperbaiki, parit-parit yang juga difungsikan sebagai bagian dari sistem pertahanan digali dan diperbaiki, senjata diperbanyak dan dilengkapi, serta empat penjuru jalan masuk ke Lembah Alahan Panjang dijaga siang malam. Mereka betul-betul siap perang. Sistem pertahanan yang kuat, senjata yang banyak dan lengkap, kerjasama yang kompak, serta persatuan antarwarga itulah yang membuat Belanda membutuhkan waktu lama sehingga baru bisa menaklukkan Bonjol serta menangkap Tuanku Imam Bonjol. Gambaran yang disajikan terakhir inilah, rakyat yang bersatu dan melengkapi diri dengan berbagai bekal menghadapi Belanda, sebagai potret warga Bonjol di penghujung Perang Padri.

V

Seperti telah disebut di atas, segera setelah menaklukan Bonjol dan menawan Tuanku Imam, maka nama Bonjol diganti dengan Kotta Generaal (Jendral) Cochius. Seperti telah disebut juga, penggantian nama ini adalah bagian dari upaya Belanda untuk menghilangkan kebanggaan akan adanya sebuah kubu dan benteng pertahanan yang hebat dari memori orang Bonjol. Penggantian nama itu adalah juga bagian dari upaya Belanda untuk mengganti kenangan akan kehebatan bonjo dari ingatan warga dengan kehebatan Belanda (tokoh Belanda). Pembelandaan nama itu adalah bagian dari belandanisasi daerah dan warga daerah yang telah ditaklukan. Upaya ini adalah salah satu contoh dari brain washing yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap warga jajahannya.

Namun dalam kenyataannya, orang Bonjol tidak mengindahkan upaya Belanda tadi. Mereka tetap memakai nama Bonjol untuk menamakan daerah mereka. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, nama itu dipakaikan untuk semua kawasan Alahan Panjang. Itu pulalah sebabnya, sejak pertengahan abad ke-19 penyebutan Alahan Panjang nyaris sudah berganti menjadi Bonjol. Bagi mereka nama Bonjol mengandung arti perjuangan, perlawanan terhadap penjajah, kecanggihan teknologi perang (perbentengan), dan tentu saja berarti sesuatu yang membanggakan. Dan sejarah membuktikan itu semua.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

“Bondjol” dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, II-1, 1839, hal. 456-458.

Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bonjol, Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatn, 1951.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (II). ‘s-Hertogenbosch, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

v.d.H, “Oorsprong der Padries (Eene Secte op de Westkust van Sumatra), dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, I-1, 1838, hal. 113-132.

Ditulis oleh: Gusti Asnan