Month: January 2021

Para Pemimpin atau Kepala Bumiputra (Inlandsche Hoofden) Minangkabau pada Masa Tanam Paksa Kopi

Daerah budaya Minangkabau adalah bagian yang tidak terpisahkan dari daerah administratif Sumatra Barat, sebuah nama yang diperkenalkan pertama kali oleh kolonialis Belanda. Pada masa VOC, Minangkabau atau sebagian dari daerah budaya Minangkabau, menjadi bagian dari Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust. Pada masa Hindia Belanda, Minangkabau menjadi bagian dari unit administratif setingkat Gouvernement atau Residentie yang juga memakai nama Sumatra’s Westkust. Hal yang sama juga berlaku pada masa pendudukan Jepang dan Indonesia merdeka. Pada masa Japang Minangkabau menjadi bagian dari Sumatora Nishai Kaigan Shu (Keresidenan Pantai Barat Sumatra), dan pada era republik Minangkabau menjadi bagian dari Keresidenan dan kemudian Propinsi Sumatera Barat.

Menjadi bagian dari sebuah unit administratif “modern” menyebabkan banyak aspek sosial dan politik tradisional Minangkabau yang dipengaruhi, secara langsung atau tidak, oleh sistem politik “modern” ini. Tanpa mengurangi arti dan pengaruh politik yang lain, pengaruh pemerintah Hindia Belanda bisa dikatakan sangat kuat dan mendalam memengaruhi (termasuk mengubah dan menciptakan) berbagai bentuk lembaga, unit pemerintahan, atau gelar/jabatan politik tradisional yang ada di Minangkabau. Hal ini antara lain disebabkan oleh lamanya pengaruh politik Hindia Belanda di daerah ini, masifnya kekuasaan mereka di daerah ini, dan diterimanya kekuasan mereka oleh sebagian besar warga daerah serta elit daerah ini, karena berkuasanya Belanda memberi keuntungan kepada kelompok elit ini.

Kurun pasca-Perang Padri adalah periode yang sangat penting artinya dalam proses perubahan dan keberlanjutan sistem politik tradisional Minangkabau. Pada era itu pulalah sejumlah kepala atau pejabat bumiputra Minangkabau diciptakan oleh kolonialis Belanda atau diutak-atik keberadaannya oleh penjajah Belanda. Tidak itu saja, pada saat itu pulalah aparat atau pejabat bumiputra tersebut diberi gaji oleh Belanda sehingga jabatan-jabatan politik tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang didambakan oleh banyak orang. Literatur kolonial menamakan para kepala atau pejabat bumiputra tersebut dengan Inlandsche Bestuur (IB).

Intrusi kolonialis dalam keberadaan para kepala dan pejabat bumiputra Minangkabau pada era selepas Perang Padri ada hubungannya dengan pelaksanaan Tanam Paksa Kopi. Keberadaan para pejabat tersebut diharapkan bisa membantu pemerintah Belanda menyukseskan pelaksanaan Tanam Paksa Kopi. Menyukseskan Tanam Paksa Kopi artinya menyukseskan proses penyediaan lahan, penanaman dan perawatan kopi, pengolahan hasil panen dan mengantarkan biji-biji kopi ke gudang-gudang kopi, serta selanjutnya mendistribusikan kopi dari gudang-gudang yang berada di banyak tempat (di daerah pedalaman) ke kawasan pantai (terutama ke kota Padang).

Pemerintah kolonial melegalkan keberadaan para pejabat bumiputra Minangkabau tersebut. Tidak tanggung-tanggung, keberadaannya dibentuk dan dikukuhkan berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jendral Hindia Belanda. Besluit tersebut dikeluarkan tahun 1863, pada saat jaya-jayanya Tanam Paksa Kopi. Besluit bernomor 25 tertanggal 22 April 1863 tersebut dinamakan Vaststelling der Bezoldigingen van de Inlandsche Hoofden ter Sumatra’s Westkust. Besluit yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsche Indie 1863, No. 45 itu adalah salah satu dari sedikit informasi yang mengungkapkan banyak hal tentang keberadaan para pemimpin atau kepala-kepala penduduk bumiputra di daerah ini. Karena Gouvernement Sumatra’s Westkust juga mencakup daerah budaya Batak (Tapanuli), maka dalam tulisan ini hanya dikemukakan para kepala atau pejabat bumiputra di daerah budaya Minangkabau.

Setidaknya ada lima informasi utama yang disajikan oleh Besluit tersebut. Kelima informasi itu adalah: 1). Penamaan, penyebutan atau gelar para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra; 2). Nama-nama unit pemerintahan bumiputra di daerah ini; 3). Daerah di mana para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra berada (memerintah); 4). Sebaran para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra; 5). Gaji atau besaran gaji yang diterima oleh para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra per-tahun.

Ada delapan belas penamaan, penyebutan atau gelar para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra yang diakui (dan juga dibentuk) oleh pemerintah Hindia Belanda di daerah ini. Ke-18 penamaan, penyebutan atau gelar itu adalah: Regen, Bendahara, Penghulu (Kampung/Wijk), Penghulu Sawah, Penghulu Muara, Penghulu Kawal, Penghulu Tandil, Kepala (Kampung), Kepala (Utama), Kepala Distrik, Raja, Raja Muda, Pamuncak, Tuanku (Raja), Kepala (Orang) Melayu, Yang Dipertuan, Kepala (Tuanku) Laras, dan Penghulu Kepala.

Tidak semua pejabat yang disebut di atas mengepalai sebuah unit pemerintahan, sebab ada dari mereka yang hanya memiliki gelar namun tidak memiliki wilayah kekuasaan (unit administratif). Untuk kelompok yang disebut terakhir, pengakuan terhadap gelar dan jabatan mereka lebih didasarkan pada pengaruh tradisional (warisan) yang mereka miliki. Adapun nama-nama unit pemerintahan yang dibawahi oleh para pejabat pemegang gelar di atas antara lain: Keregenan, Kampung (Wijk), Distrik, Kelarasan, dan Nagari.

Berdasarkan Besluit di atas bisa dirincikan jumlah dan lokasi keberadaan masing-masing pejabat:

Pertama, Regen ada tiga, yaitu Regen Padang, Indrapura dan Pariaman (sebelum tahun 1863, khusus untuk Padang dan Indrapura gelar mereka adalah Hoofdregen atau Regen Kepala, yang oleh Urang Awak sering juga disebut dengan Regen Gadang)

Kedua, Bendahara ada satu, yakni di Padang.

Ketiga, Penghulu Kampung (Wijk) ada 13 dan tujuh di Padang, dua di Air Bangis, satu di Aur Kuning, Aia Gadang, Koto Baru dan Lubuk Puding.

Keempat Penghulu Sawah ada satu, yaitu di Padang.

Kelima, Penghulu Muara ada satu, ada di Padang.

Keenam, Penghulu Kawal ada satu, ada di Padang.

Ketujuh, Penghulu Tandil ada satu, ada di Padang.

Kedelapan, Kepala (Wilayah) ada tiga yaitu di Bungus, Sasak, dan Katiagan.

Kesembilan, Kepala (Utama) ada empat yaitu di Sungai Pagu.

Kesepuluh, Kepala Distrik ada empat, yaitu di Pulut-pulut, Painan, Batang Kapas dan Air Haji.

Kesebelas, Raja ada empat yaitu di Mangguang, Air Bangis, Pulau Batu, dan Batahan.

Kedua belas, Raja Muda ada satu, yaitu di Tiku.

Ketiga belas, Pamuncak ada dua, yaitu di Pilubang dan Sintuak.

Keempat belas, Tuanku ada dua yaitu di Air Bangis dan VIII Koto.

Kelima belas, Kepala (Penduduk) Melayu ada satu di Air Bangis.

Keenam belas, Yang Dipertuan ada satu, yaitu di Padang Nunang.

Ketujuh belas, Kepala (Tuanku) Laras ada sebanyak 110 orang.

Kedelapan belas, Penghulu Kepala ada sebanyak 439 orang.

Bila dikaji dengan saksama maka gelar-gelar di atas, kecuali Kepala Laras dan Penghulu Kepala, adalah gelar-gelar yang dominan dikenal dan dipergunakan di daerah rantau Minangkabau, sedangkan Gelar Kepala Laras dan Penghulu Kepala umumnya terdapat di daerah pedalaman (inti) Minangkabau. Bila diperbandingkan, maka didapat angka-angka sebagai berikut:

Afdeeling Padang ada 5 Kepala Laras, 24 Penghulu Kepala

Afdeeling Pariaman ada 11 Kepala Laras dan 71 Penghulu Kepala

Afdeeling Air Bangis dan Rao ada 16 Kepala Laras dan 11 Penghulu Kepala

Afdeeling Tanah Datar ada 27 Kepala Laras dan 106 Penghulu Kepala

Afdeeling Agam ada 26 Kepala Laras dan 123 Penghulu Kepala

Afdeeling Limapuluh Kota ada 16 Kepala Laras dan 62 Penghulu Kepala

Afdeeling XIII dan IX Koto ada 14 Kepala Laras dan 51 Penghulu Kepala.

Masing-masing pejabat mendapat gaji dari pemerintah Hindia Belanda. Besaran gaji mereka dihitung per tahun. Rincian gaji tersebut adalah:

Regen Padang sebesar f.6.000,-

Regen Indrapura dan Pariaman masing-masing sebesar f.1.200,-

Bendahara Padang sebesar f.960,-

Penghulu Kampung (Wijk) Padang sebesar f.960,-

Penghulu Sawah sebesar f.192,-

Penghulu Muara, Penghulu Kawal, dan Penghulu Tandil masing-masing sebesar f.144,-

Kepala (Wilayah) di luar Padang f.600,-

Kepala Distrik sebesar f.600,-

Raja Mangguang, Raja Muda Tiku dan Pamuncak Pilubang masing-masing sebesar f.600,- (Pamuncak Sintuak sebesar f.360,-)

Raja Air Bangis sebesar f.720,-

Penghulu Air Bangis sebesar f.720,-

Kepala (Penduduk) Melayu di Air Bangis sebesar f. 240,-,

Raja Batahan, Sasak dan Katiagan masing-masing sebesar f.240,-,

Penghulu Aur Kuning, Aia Gadang, Koto Baru, dan Lubuk Puding masing-masing sebesar f. 180,-

Yang Dipertuan Padang Nunang sebesar f.600,-

Penghulu Gadang Sungai Pagu sebesar f.480,-

Penghulu Kepala sebesar f.240,-

Kepala Laras digaji dengan empat tingkatan penggajian, yaitu sebesar f.1.200,-, f.960,-, f.600,-, f. 480,- dan f. 240,-

Dilihat dari sebaran daerah, di mana para Kepala Laras digaji dengan besaran yang berbeda, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa gaji tertinggi diperuntukkan kepada Kepala Laras di daerah-daerah penghasil utama kopi. Dalam konteks inilah sesungguhnya bisa dikatakan, bahwa pengakuan, pembentukan, hingga penggajian para pejabat bumiputra Urang Awak ini ditujukan untuk menyukseskan Tanam Paksa Kopi. Nama-nama Keregenan, Wijk, Kampung, Wilayah, Distrik, Kerajaan, Kelarasan, dan Nagari dimuat dengan lengkap dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1863, No. 45.

Seperti yang dimuat dalam tulisan lain pada blog ini, ketika produksi kopi mulai menurun dan ketika Tanam Paksa Kopi dihapuskan sebagian besar jabatan dan gelar di atas dengan segera ditiadakan dan gaji mereka juga tidak dibayarkan lagi oleh pemerintah kolonial.  Sebagai gantinya diciptakan pula pejabat-pejabat yang sesuai dengan pratik politik dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah kolonial yang baru.

Sumber: Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1863. Batavia: Ter Land Drukkerij, 1863.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Daerah-daerah Administratif Pemerintahan Sumatra Barat (Gouvernement Sumatra’s Westkust) Tahun 1905

Tahun 1905 memiliki arti tersendiri dalam sejarah Pemerintahan Sumatra Barat. Tahun itu adalah tahun dilakukannya “pemekaran daerah” Gouvernement Sumatra’s Westkust. “Pemekaran daerah” yang dimaksud adalah dikeluarkannya Tapanuli dari Pemerintahan Sumatra Barat, dan dijadikannya daerah itu sebagai sebuah daerah administratif setingkat Residentie (Keresidenan) yang berdiri sendiri.

Keluarnya Tapanuli menyebabkan berkurang jumlah keresidenan di Sumatra Barat. Sejak tahun itu hanya ada dua keresidenan di Pemerintahan Sumatra Barat (sebelumnya tiga). Sesuatu yang menarik adalah, reorganisasi pemerintahan tahun 1905 itu menyebabkan daerah administratif Pemerintahan Sumatra Barat nyaris identik dengan daerah budaya Minangkabau (kecuali Kepulauan Mentawai).

Ada sejumlah alasan yang berdasari pemekaran daerah pada awal ke-20 itu, dua diantaranya adalah: pertama, semakin dinamisnya perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya daerah, sehingga tidak mungkin lagi dikendalikan dalam satu daerah pemerintahan, dan kedua, kebijakan ini nampaknya sebagai persiapan untuk mengakhiri keberadaan unit administratif setingkat Gouvernement di daerah ini. Dan memang benar, sekitar sepuluh tahun setelah itu status Gouvernemennt dihapuskan dari unit administratif Sumatra’s Weskust.

Reorganinasi tahun 1905 ini didasarkan pada Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië No. 37 tertanggal 8 Augustus 1905, yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1905 No. 419.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral tersebut, maka unit-unit administratif yang ada di Gouvernement ini adalah Residentie, Afdeeling dan Onderafdeeling. Jumlah Residentie adalah dua, Afdeeling adalah sepuluh, dan Onderafdeeling sebanyak 25 buah. Nama-nama selengkapnya dari masing-masing unit tersebut adalah sebagai berikut:

I. De Residentie Padangsche Benedenlanden (Keresidenan Padang Hilir/Pesisir), di bawah pemerintahan langsung dari Gouverneur van Su­matra’s Westkust, dengan ibu kota Padang. Keresi­denan ini dibagi ke dalam empat Afdeelingen;

Pertama, De Afdeeling Padang en Ommelanden (Padang dan Kawasan Sekitarnya), dikepalai oleh seorang Assis­tent Resident yang juga men­jabat sebagai kepala polisi dan berkedudukan di Padang;

Kedua, De Afdeeling Painan, dikepalai oleh seorang Assis­tent Resident, dan dibagi menjadi tiga Onder­afdeelingen, yaitu:

  1. Painan, yang langsung pimpinan oleh Asis­ten Residen, yang ber­kedudukan di Painan.
  2. Air Haji, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dan berkedu­duk­an di Balai Selasa.
  3. Indrapura, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dan berke­du­duk­an di Indrapura.

Ketiga, De Afdeeling Pariaman, yang dikepalai oleh se­orang Assis­tent Resident dan dibagi ke dalam tiga Onder­afdelingen, yaitu;

  1. Pariaman, langsung di pimpinan oleh Asis­ten Residen dengan ibu kota Pariaman.
  2. Kayutanam, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri yang ber­kedu­duk­­an di Kayutanam.
  3. Lubuk Basung dan Tiku, di bawah pimpinan se­orang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri de­ngan ibu kota Lubuk Basung.

Keempat, De Afdeeling Air Bangis, di bawah pimpinan se­orang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dan diba­gi ke dalam dua Onderafdeelingen.

  1. Air Bangis langsung dikepalai oleh Kontrolir  dengan ibu kota Air Bangis.
  2. Batu-eilanden di bawah pimpinan seorang Civielen Ge­zag­­hebber (Penguasa Sipil), dengan ibu kota Pulau Tello.

II. De Residentie Padangsche Bovenlanden (Keresidenan Padang Darat), di bawah pimpinan seorang Residen yang ber­kedudukan di Fort de Kock (Bukittinggi) dan dibagi ke dalam enam Afdeelingen;

Pertama, Afdeeling Agam, di bawah pimpinan langsung Resi­dent Padangsche Bovenlanden dengan ibu kota Fort de Kock, dan dibagi ke dalam tiga Onder­afdeelingen:

  1. De Oud Agam, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Fort de Kock.
  2. Danaudistricten dan Matur, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Maninjau.
  3. VIII Koto, VII Lurah dan Bonjol, di bawah pim­pinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Palembayan.

Kedua, Afdeeling Limapuluh Kota, di bawah pimpinan se­orang Assistent Resident yang berkedudukan di Payakumbuh, dan dibagi ke dalam tiga Onder­afdeelingen.

  1. Payakumbuh, di bawah pimpinan langsung Assis­­ten Residen dengan ibu kota Paya­kum­buh.
  2. Puar Datar dan Mahat, di bawah pimpinan se­orang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Suliki.
  3. Boven Kampar (Kampar Hulu), di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Bangkinang.

Ketiga, De Afdeeling Tanah Datar, di bawah pimpinan lang­sung Assistent Resident, dan dibagi ke dalam lima On­der­­afdeelingen.

  1. Fort van der Capellen, langsung di bawah pim­pinan Asisten Residen dengan ibu kota Fort van der Capellen (Batusangkar).
  2. Singkarak, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Sing­karak.
  3. Lintau dan Buo, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Buo.
  4. Sawahlunto di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Sawah­­lunto.
  5. Sijunjung, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Si­jun­jung.

Keempat, De Afdeeling XIII dan IX Koto, di bawah pimpinan se­orang Assistent Resident dan dibagi menjadi empat Onder­afdeelingen.

  1. Solok langsung di bawah pimpinan Asisten Resi­­den yang ber­kedudukan di Solok.
  2. Supayang di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Ku­bung nan Duo
  3. Alahan Panjang di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Alahan Panjang.
  4. Muara Labuh di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Muara Labuh.

Kelima, De Afdeeling Batipuh dan X Koto di bawah pimpinan seorang Assistent Resident dengan ibu kota Padang Panjang, di kota ini juga ditempatkan seorang Asspirant-Controleur (Wakil Kontrolir).

Keenam, De Afdeeling Lubuk Sikaping, di bawah pimpinan se­orang Assisten Resident dan dibagi menjadi dua Onder­afdeelingen.

  1. Lubuk Sikaping dengan ibu kota Lubuk Sika­ping, di bawah pimpinan seorang Assistant Resident yang berkedudukan di Lubuk Sikaping.
  2. Ophirdistricten di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Talu.

Sumber:

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1905, No. 419.

Ditulis ulang dan diterjemahkan oleh Gusti Asnan

Daerah-daerah Administratif Pemerintahan Sumatra Barat (Gouvernement Sumatra’s Westkust) Tahun 1913

Sebagai kelanjutan dari reorganisasi tahun 1905, yakni dikeluarkannya Residentie Tapanoeli (Keresidenan Tapanuli) dari Gouvernement Sumatra’s Westkust, maka pemerintah Hindia Belanda melakukan penataan ulang terhadap Pemerintahan Sumatra Barat. Kegiatan itu dilaksanakan tahun 1913 dan didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 28 tertanggal 9 April 1913. Dalam besluit yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1913 No. 321 itu ditegaskan bahwa unit administratif Residentie dihapuskan keberadaannya pada Gouvernement Sumatra’s Westkust.  Keputusan itu menyebabkan tingkatan pemerintahan di daerah itu hanya terdiri Gouvernement, Afdeeling, Onderafdeeling, dan District. Keputusan tersebut tetap menempatkan Gubernur sebagai pemimpin tertinggi di daerah itu. Namun ada yang menarik, walaupun posisi Residen tidak ada lagi, gelar Asisten Residen tetap dipakaikan untuk Kepala Afdeeling. Onderafdeeling tetap dikepalai oleh Controleur (Kontrolir) atau Civiel Gezaghebber (Penguasa Sipil). Sesuatu yang baru adalah tampilnya Districthoofd (Demang) sebagai kepala Distrik. Ini adalah pertama kali diperkenalkannya jabatan tersebut di daerah ini. Posisi ini menggantikan keberadaan Kepala Laras pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Bersamaan dengan itu juga diadakan perubahan pada jumlah daerah administratif pada tingkat Afdeeling, Onderafdeeling, dan District. Dalam reorganisasi tahun 1913 ini ada delapan Afdeelingen, 24 Onderafdeelingen, dan 52 Districten.

Berikut ini adalah nama-nama Afdeeling dan Onderafdeeling dan District yang terbentuk sebagai hasil dari reorganisasi tahun 1913.

Pertama, Afdeeling Padang, di bawah pimpinan seorang Assis­tent Resident (juga mengepalai kepolisian) de­ngan ibu kotanya Padang. Afdeeling ini dibagi menjadi tiga Onderafdeelingen:

  1. Padang, terdiri dari Distrik Tanah Tinggi, Batang Harau, Binuang, Koto Tangah, Pauh, Sungkai dan V Lurah di bawah pimpinan Asisten Residen, dan dibantu oleh seorang Controleur dari Bestuur Binnen­landsch dengan ibu kota Padang:
  2. Kepulauan Mentawai, di bawah pimpinan se­orang perwira militer (Ang­katan Darat), namun digelari Civiel Gezaghebber, dengan ibu kota Siberut;
  3. Kepulauan Batu, terdiri dari Distrik Pulau Batu, juga dipimpin oleh seorang Civiel Gezaghebber yang ditempatkan di Pulau Tello yang sekali­gus menjadi ibu kota Onderafdeelingnya.

Kedua, Afdeeling Zuid Westkust (Pantai Barat bagian Selatan), di bawah pimpinan seorang Assis­tent Resident dengan ibu kota Lubuk Begalung dan dibagi ke dalam tiga Onderafdeelingen:

  1. Padang Ommelanden (Padang dan Sekitarnya), terdiri dari Distrik Koto Tangah, Pauh dan V Lurah, di bawah pimpinan Asisten Residen, Kepala Afdeeling;
  2. Painan, terdiri dari Distrik Painan dan Batang Ka­pas, berada di bawah pimpinan Kontrolir, dengan ibu kota Painan;
  3. Balai Selasa, terdiri dari Distrik VII Buah Bandar dan Indrapura, di bawah pimpinan se­orang Kontrolir dari Kementerian Dalam Negeri, dengan ibu kota Balai Selasa;

Ketiga, Afdeeling Batipuh dan Pariaman, di bawah pimpinan seorang Assistent Resident dengan ibu kota Padang Pan­jang dan dibagi menjadi dua Onder­afdeelingen;

  1. Padang Panjang, terdiri dari Distrik Padang Pan­jang dan Batipuh serta Sumpur, di bawah pimpinan Assistent Resident, Kepala Afdeeling;
  2. Pariaman, terdiri dari Distrik XII Koto, Paria­man dan Ulakan, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Pa­riaman;

Keempat, Afdeeling Agam, di bawah pimpinan seorang Assistent Resident, dengan ibu kota Fort de Kock (Bukittinggi), dan terbagi ke dalam dua Onderafdeelingen:

  1. Oud Agam, terdiri dari Distrik IV Angkat dan Tilatang, di bawah pimpinan Assistent Resident, Kepala Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri, dengan ibu kota Fort de Kock (Bukittinggi);
  2. Maninjau, terdiri dari Distrik Matur, Danau dan Lubuk Basung, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Manijau;

Kelima, Afdeeling Lubuk Sikaping, di bawah pimpinan seorang Assistent Resident, dengan ibu kota Lubuksikaping, dan terbagi ke dalam tiga Onderafdeeling:

  1. Lubuk Sikaping, terdiri dari Distrik Lubuk Sikaping dan Rao, di bawah pimpinan Assistent Resident, Kepala Afdeeling.
  2. Ophirdistricten, terdiri dari dari Distrik Talu dan Cubadak, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri, dengan ibu kota Talu.
  3. Air Bangis, terdiri dari Distrik Air Bangis dan Ujung Gading, di bawah pimpinan seorang Civiel Gezaghebber (Penguasa Sipil), dengan ibu kota Air Bangis.

Keenam, Afdeeling Limapuluh Kota, di bawah pimpinan se­orang Assistent Resident dengan ibu kota Paya­kumbuh dan dibagi ke dalam 4 Onderafdeelingen:

  1. Payakumbuh, terdiri dari Distrik Payakumbuh, Ranah dan Luhak, di bawah pimpinan Assistent Resident, kepala Afdeeling
  2. Suliki, terdiri dari Distrik dengan nama yang sama, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Suliki;
  3. Bangkinang, terdiri dari Distrik Tigo Kabung Air, di bawah seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kota Bangkinang;
  4. Pangkalan Koto Baru, terdiri dari Distrik Koto Baru di bawah pimpinan seorang Civil Gezag­hebber (Penguasa Sipil) dengan ibu kota Pangkalan Koto Baru.

Ketujuh, Afdeeling Tanah Datar, di bawah pimpinan seorang Assistent Resident dengan ibu kota Sawahlunto, dan dibagi ke dalam empat Onderafdeelingen:

  1. Sawahlunto, terdiri dari Distrik Sawahlunto dan Talawi, di bawah pimpinan Assistent Resident, ke­pa­la Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri, dengan ibu kota Sawah­lunto.
  2. Fort van der Capellen, terdiri dari Distrik Pariangan, Saruaso, Sungaitarab, dan Lintau Batu­sangkar dan Pariangan, di bawah pimpinan se­orang Kontolir dari Kementrian Dalam Negeri, dengan ibu kota Fort van der Capellen (Batusangkar);
  3. Sijunjung, terdiri dari Distrik Koto VII dan Sijunjung, di bawah pimpinan se­orang Kontolir dari Kementrian Dalam Negeri, dengan ibu kota Sijunjung;
  4. Batang Haridistricten, terdiri dari Distrik Batanghari dan Koto Besar, di bawah pimpinan seoran Civiel Gezaghebber (Penguasa Sipil), dengan ibu kota Sitiung;

Kedelapan, Afdeeling Solok, di bawah pimpinan seorang Assistent Resident, dengan ibu kota Solok, dan terbagi menjadi tiga Onderafdeelingen:

  1. Solok dan Singkarak, terdiri dari Distrik Solok, IX Koto, dan Guguk, di bawah pimpinan Assistent-Resident, kepala Afdeeling;
  2. Alahan Panjang, terdiri dari Distrik Alahan Panjang dan Supayang, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri, dengan ibu kota Alahan Panjang;
  3. Muaro Labuh, terdiri dari Distrik Sungai Pagu dan XII Koto, di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri, dengan ibu kota Muaro Labuh.

Sumber:

Joustra, M., Minangkabau, Overzicht van het Land, Geschiedenis en Volk. Leiden: Drkkerij Louis H. Becherer, 1923,hal. 232-3.

Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1913 No. 32. Batavia: Landsdrukkerij, 1914.

“Sumatra’s Westkust” dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (Viede Deel) (‘s-Gravenhage, Leiden: Martinus Nijhoff, E.J. Brill, 1921), hal. 225-6.

Ditulis ulang dan diterjemahkan oleh Gusti Asnan

Pemerintahan Bumiputra (Inlandsche Bestuur) di Sumatra Barat

Pemerintah kolonial Hindia Belanda, di samping memiliki aparatur pemerintahan berbangsa Eropa (Europesche Bestuur atau disingkat EB) juga memiliki barisan pegawai bumiputra (Inlandsche Bestuur disingkat IB). Dualisme pemerintahan ini berlaku di seluruh Hindia Belanda dan mulai efektif dipraktikkan sejak Hindia Belanda mengambil alih pemerintahan di kawasan ini setelah bankrutnya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pascainterregnum-phase pemerintahan Inggris.

Jajaran EB adalah orang-orang Belanda atau juga Eropa yang terdiri dari para pejabat tertinggi dan tinggi pemerintahan, baik pada tingkat ‘nasional’ atau daerah. Jabatan-jabatan yang mereka sandang mulai Gubernur Jendral, Gubernur, Residen, Asisten Residen, hingga Gezaghebber dan Kontrolir (yang juga terdiri dari beberapa kelas, biasanya merentang dari Kontrolir Kelas 1 s.d. 4). Barisan IB terdiri dari para pejabat bumiputra yang umumnya menduduki posisi tertinggi di berbagai daerah yang telah dikuasai. Di Sumatra Barat, beberapa jabatan yang termasuk ke dalam dan pernah menjadi bagian dari struktur IB ini adalah Hoofdregent, Regen, Kepala Laras, Penghulu Kepala, Penghulu (yang juga terdiri dari beberapa jabatan), Demang, Asisten Demang, dlsbnya. Para pejabat IB sekaligus menjadi ujung tombak kekuasaan kolonial terhadap rakyat jajahan. Para pejabat IB inilah yang akan berhubungan secara langsung dengan penduduk, merekalah kaki tangan penjajah yang berfungsi untuk menyukseskan kolonialisme pemerintah. Namun pad asaat yang besamaan, mereka juga menjadi wakil atau mewakili rakyat. Sehingga kadang-kadang mereka juga disebut sebagai ‘separo pegawai yang bekerja untuk kepen­tingan peme­rintah, separo penghulu (pemimpin masyarakat) yang dituntut juga me­mi­kirkan anak-kemenakannya).

Jenis dan jumlah IB di Sumatra Barat sangat bervariasi, sangat tergantung pada perkembangan atau dinamika sosial, ekspansi politik dan eksploitasi ekonomi, serta penetrasi budaya pemerintah di daerah ini. Bisa saja pada suatu periode jenis dan jumlahnya relatif sedikit, namun pada kurun waktu lain bisa saja ragam dan jumlahnya melonjak drastis. Pemerintah kolonial berbuat sekehendak hatinya saja dalam menciptakan atau menghapus jenis dan jumlah pejabat IB ini. Semuanya tergantung kepada kepentingan mereka.

Pada awalnya, pembentukan jajaran IB ini berhubungan erat dengan perluasan wilayah kekuasaan pemerintah Belanda, serta juga berkaitan dengan adanya dukungan dari warga daerah terhadap ekspansi politik yang mereka lakukan. Karena ini orang-orang yang diangkat menduduki jabatan tersebut adalah mereka yang nyata-nyata bekerjasama dengan kaum kolonialis serta mendukung penjajah mencaplok daerah mereka serta menguasai/mengeksploitasi warga daerah. Pada perkembangan selanjutnya, para pejabat IB adalah para aparatur yang menunjukkan kesetiaannya pada kaum kolonialis, yang dibuktikan dengan kerelaan mereka mendukung berbagai kebijakan pemerintah, terutama kebijakan ekonomi, di samping kebijakan sosial, politk dan budaya yang dijalankan pemerintah.

Keberadaan IB di Sumatra Barat diawali pada hari-hari pertama pemerintah kolonial meluaskan pengaruh politiknya ke daerah pedalaman. Pembentukan barisan pejabat IB ini dilakukan setelah tentara Belanda, yang didukung oleh anak kemenakan para penghulu yang meminta bantuan Belanda melawan kaum Padri, berhasil menguasai sejumlah daerah di pedalaman, khususnya kawasan Tanah Datar dan sebagian Agam serta sebagian Limapuluh Kota. Sebagaimana yang dinyatakan pada Provisioneel Reglement op het Binnen­landsch Bes­tuur en dat der Financien in de Residentie Padang en Onder­­hoorigheden tertanggal 4 November 1823, adapun jabatan-jabatan yang diciptakan saat itu meliputi Hoofdregent (Regen Kepala), Regent (Regen), Districthoofd (Kepala Laras), Dorfhoofd (Kepala Nagari). Pada saat itu ada dua Hoofdregent, yaitu Hoofdregent van Minangkabau dan Hoofdregent van Padang. Pada hari-hari pertama pembentukan jaringan pemerintahah tersebut, pada masing-masing Hoofdregentschap dibagi menjadi empat Keregenan (Regentchap) yang dipimpin oleh Regen. Seiring dengan semakin luasnya wilayah yang ditaklukan maka semakin banyak pejabat yang diangkat. Tidak ada informasi yang bisa dijadikan rujukan mengenai jumlah pasti regen yang pernah ada saat itu. Dari data yang dikemukakan oleh Kielstra dan Westenenk maka pada tahun 1820-an dan 30-an jumlah regen di daerah ini adalah 17, yakni Regen Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji, Tanah Datar, Tanah Datar di Bawah, Agam, Lima Puluh Kota, Indrapura, Pariaman, Halaban, Batipuh, Padang Panjang, VIII Koto (Palembayan), Banuhampu (Balai Bagambar-Agam), IV Angkek (Agam), dan Sulit Air.

Seiring dengan perjalanan waktu, terutama sejak usainya Perang Padri, jumlah Regen mulai dikurangi oleh pemerintah. Tidak hanya jumlahnya, tetapi juga statusnya juga dikurangi.

Berdasarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië No. 25 tertanggal 22 April 1863, yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jar 1863 No. 45 dinyatakan bahwa gelar Hoofdregent ditiadakan dalam struktur IB Sumatra Barat, sebagai gantinya gelar tersebut dturunkan levelnya menjadi Regent semata. Dalam ‘Daftar Pejabat Bumiputra’ yang disajikan dalam Staatsblad yang sama hanya ditemukan tiga posisi Regent di Sumatra Barat pada awal dekade ketujuh abad ke-19 itu, yakni Regent te Padang, Regent te Indrapoera, Regent te Pariaman. Pada awal abad ke-20, posisi regen ini bahkan dihapuskan dalam jajaran IB di Sumatra Barat. Regen Padang diakhiri tahun 1910 dan Regen Indrapura diakhiri tahun 1911.

Sama juga dengan keberadaan Regen, pada tahun-tahun pertama keberadaannya, jumlah Kepala Laras juga tidak diketahui dengan pasti. Namun berbeda dengan Regen, jumlah Kepala Laras semakin banyak sejak tahun 1840-an, terutama sejak tahun 1850-an. Banyaknya jumlah pejabat IB ini berhubungan erat dengan diperkenalkannya Tanam Paksa Kopi. Mereka dijadikan oleh pemerintah kolonial sebagai salah satu tenaga penggerak bagi suksesnya sistem Tanam Paksa tersebut. Pada saat jaya-jayanya Tanam Paksa Kopi, saat pemerintah mengumumkan jenis dan gaji para pejabat IB di Sumatra (sebagaimana dinyatakan dalam Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië No. 25 tertanggal 22 April 1863, yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jar 1863 No. 45) dinyatakan ada sebanyak 129 Kepala Laras di seluruh Sumatra Barat. Adanya hubungan keberadaan Kepala dengan Tanam Paksa kopi juga terlihat dari tamatnya riwayat jabatan ini. Diakhirinya jabatan Kepala Laras hampir bersamaan waktunya dengan berakhirnya praktik Tanam Paksa Kopi di Sumatra Barat. Jabatan Kepala Laras diakhirinya tahun 1905 dan itu berarti tiga tahun sebelum diakhirinya praktik Tanam Paksa Kopi oleh pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat.

Jabatan ketiga dalam barisan IB yang jumlahnya cukup banyak dan memiliki fungsi yang penting pada masa Belanda di Sumatra Barat adalah Penghulu Kepala. Jabatan ini diperkenalkan pada era Tanam Paksa Kopi dan fungsi utamanya adalah untuk membantu menyukseskan sistem eksploitasi ekonomi tersebut. Pejabat penyandang jabatan ini biasanya membawahi daerah yang umumnya terdiri dari satu atau dua nagari. Sama juga dengan jabatan Kepala Laras, pada saat diumumnya ‘Daftar Pejabat Bumiputra’ Sumatra Barat tahun 1863, jumlah Penghulu Kepala di seluruh Sumatra Barat adalah sebanyak 503 orang.

Jabatan keempat dalam struktur IB di Sumatra Barat adalah Kepala Nagari. Posisi ini telah ada sejak barisan IB pertama kali diperkenalkan (berbeda dengan Hoofdregent, Regent dan Districthoofd atau Kepala Laras). Kepala Nagari sesungguhnya adopsi langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dari sistem pemerintahan tradisional Minangkabau. Jabatan ini telah ada dan dikenal Uran Awak jauh sebelum Belanda menguasai daerah ini. Namun, walaupun demikian, ada sejumlah perubahan yang dilakukan oleh kaum kolonialis. Kepala Nagari tersebut tidak lagi sepenuhnya dipilih oleh anak nagari, tetapi ada, bahkan banyak, yang diangkat oleh pemerintah. Tidak hanya itu, dalam sejarah keberadaannya, ada banyak nagari yang dibuat atau dibubarkan oleh pemerintah. Sama dengan Kepala Laras dan Penghulu kepala, peran Kepala Nagari juga terlihat sangat penting pada era Tanam Paksa Kopi. Walaupun pernah mencapai jumlah hampir mencapai 600 buah pada tahun 1860-an dan 1870-an, namun karena sifatnya yang fluktuatif, maka selama keberadaannya, jumlah Kepala Nagari berada pada kisaran 500-an buah pertahun atau per periode reorganisasi pemerintaan daerah.

Satu lagi jabatan lain yang sangat penting perannya dalam sistem Tanam Paksa Kopi (namun tidak tercantum dalam struktur IB) adalah Penghulu Suku Rodi. Jabatan ini sangat penting artinya dalam menyukseskan Tanam Paksa Kopi. Dialah yang mengerahkan warga masyarakat untuk mengolah tanah, menanam kopi dan merawat kebun, memetik kopi dan mengolah, serta membawanya ke gudang-gudang kopi. Suksesnya Tanam Paksa Kopi sesungguhnya sangat tergantung pada keberadaan Penghulu Suku Rodi ini. Karena itu dibutuhkan banyak Penghulu Suku Rodi. Pada saat jaya-jaya Tanam Paksa Kopi, Westenenk menyebut jumlahnya mencapai 1.500 orang.

Di samping jabatan-jabatan utama ini, juga ada sejumlah pejabat lain yang juga diakui oleh pemerintah kolonial Belanda (tertera dalam Besluit Gubernur Jendral sebagai ‘pejabat’ bumiputra yang diberi gaji). Adapun jabatan yang yang dimaksud adalah Bandharo, Penghulu, Kepala Distrik, Raja, Raja Muda, Pamuncak, dan Jang Dipertuan. Hampir kesemua gelar (Jabatan) yang disebut terakhir umumnya terdapat di daerah pantai dan rantau (daerah pinggiran daerah daerah budaya Minangkabau).

Posisi Hoofdregent, Regen, Kepala Laras, Penghulu Kepala, Kepala Nagari, Penghulu, dan Suku Rodi, serta berbagai jabatan lain yang disebut di atas, diisi oleh sosok-sosok yang secara tradisional memang memiliki ‘darah biru’, mereka adalah keturunan raja atau penghulu. Secara tradisi mereka memang mewarisi hak sebagai pemimpin di tengah masyarakatnya. Tidak hanya itu, jabatan tersebut berhak pula mereka wariskan kepada anak atau kemenakan mereka.

Namun, dalam praktiknya, ‘darah’ dan hak waris tidak menjadi jaminan. Kunci terpenting untuk mendapatkan jabatan itu adalah kepatuhan dan kesetiaan kepada penjajah. Karena itu, bila ada pengkhianatan, maka jabatan bisa hilang. Jabatannya dibatalkan, pejabatnya ditangkap dan dibuang, jabatannya tidak boleh diwariskan kepada anak atau kemenakan, jaginya dihentikan, dlsbnya. Umumnya jabatan yang pernah hilang tidak akan pernah dipulihkan kembali, walaupun kemudian sang pejabat meminta maaf dan menegaskan kesetiaannya. Ada banyak kasus seperti ini dalam perjalanan sejarah para pegawai IB di daerah ini.

Walaupun hampir semua pejabat IB adalah kaum penghulu, ada juga kalangan agama (seorang haji) yang diangkat menjadi Kepala Laras, yaitu Kepala laras IV Angkek, Onderafdeelng Oud Agam pada awal dasawarsa 1870-an. Pengangkatan kalangan agama ini sempat menjadi isu dan heboh di pemerintah Sumatra Barat. Kaum penghulu adalah kelompo masyarakat yang paling lantang suaranya memprotes pengangkatan haji ini menjadi pejabat IB.

Sesuatu yang pasti adalah bahwa para pejabat IB tersebut mendapat imbalan (gaji) serta berbagai fasilitas dari pemerintah. Gaji yang paling tinggi diperoleh oleh Hoofdregent (antara f.300 s.d. f.500,-) per bulan. Kemudian menyusul Regent (f.100,-), Kepala Laras (f.50 s.d. f.80,-), Penghulu Kepala (f.20 s.d. 30,-), Kepala Nagari (f.12 s.d. f20,-) dan seterusnya.

Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam struktur pemerintah IB di Sumatra Barat. Seperti yang disebut sebelumnya, hampir semua jabatan IB yang dikemukakan sebelumnya diakhiri keberadaannya. Sebagai gantinya, pemerintah Hindia Belanda menghadirkan jabatan Demang dan Asisten Demang serta ‘merevitalisasi’ Kepala Nagari (Wali Nagari). Demang dan Asisten Demang adalah jabatan yang dikaitkan dengan pendidikan atau keahlian penyandangnya. Jabatan ini tidak lagi didapat melalui warisan yang diturunkan dari ayah ke anak atau dari mamak ke kemenakan (seperti yang berlaku pada semua posisi atau jabatan yang disebut sebelumnya). Perbedaan lain dari keberadaan posisi Demang atau Asisten Demang ini dengan jabatan-jabatan yang disebut sebelumnya adalah jumlah yang yang jauh lebih sedikit. Ketika pertama kali dibentuk (1913) jumlahnya hanya sebanyak 47 orang. Jumlah ini kemudian diciutkan lagi menjadi 20 orang pada tahun 1935.

Jabatan lain yang mendapat perhatian utama oleh pemerintah Belanda pada awal abad ke-20 adalah Kepala Nagari. Posisi ini nampaknya betul-betul diharapkan pemeringah sebagai ujung tombak kekuasaannya di Sumatra Barat. Sehubungan dengan itu pemerintah kolonial menata dengan serius keberadaan jabatan ini dan tentu saja keberadan unit administratif nagari. Dalam kaitan dengan itulah bisa dipahami lahirnya Nagari Ordonantie di Sumatra Barat tahun 1914 (yang diringi dengan munculnya sejumlah kajian tentang pemerintahan dan keberadaan nagari), serta lahirnya IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten) atau Peraturan Nagari (Daerah) Otonom di Luar Jawa dan Madura tahun 1935. Melalui kedua produk hukum ini, pemerintah kolonial betul-betul ingin memanfaatkan Kepala Nagari sebagai aparat yang akan membantunya menyukseskan berbagai program yang dia rancang.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust Sedert 1850” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  41 tahun 1892, hal. 254-330; 622-706.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jar 1863 No. 45. Batavia: Landsdruukerij, 1863.

Westenenk, L.C. “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Penggabungan Kerinci Ke Dalam Keresidenan Sumatra Barat Tahun 1922

Berdasarkan Surat Keputusan (Besluit) Kerajaan No. 66 tertanggal 3 November 1921 dinyatakan bahwa Kerinci digabungkan dengan Keresidenan Sumatra Barat Barat. Pada pasal 1 Besluit yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1921, No. 798 itu ditegaskan bahwa “wilayah yang menjadi bagian dari Afdeeling Kerintji dikeluarkan dari Keresidenan Jambi (Residentie Djambi) dan dimasukkan ke dalam Keresidenan Sumatra Barat (Residentie Sumatra’s Westkust)”.

Penggabungan itu efektif berlaku tanggal 1 Januari 1922. Pemberlakuan ini dikemukakan dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 2 tertanggal 29 Desember 1921. Besluit Gubernur Jendral tentang waktu efektif penggabungan Afdeeling Kerinji ke Residentie Sumatra’s Westkut tersebut dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1921, No. 799.

Sebagaimana dinyatakan dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 3, tertanggal 29 Desember 1921, segera setelah digabungkan dengan Keresidenan Sumatra Barat, Kerinci dimasukkan ke dalam Afdeeling Painan dengan status Onderafdeeling (Onderafdeeling Kerinci). Besluit Gubernur Jendral tentang status administratif Kerinci dalam Keresidenan Sumatera Barat ini dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1921, No. 900. Sebagaimana dinyatakan dalam besluit tersebut, Kerinci berada di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Sungai Penuh. Besluit Gubernur Jendral ini juga mengatur berbagai hal lain berkenaan dengan para jumlah pegawai (Kontrolir, Klerk atau Juru Tulis), Demang, Asisten Demang, penggajian pegawai, polisi, tentara, dlsbnya, baik yang ada di Kerinci, Afdeeling Painan, Keresiden Sumatra Barat dan Keresidenan Jambi sebagai akibat perubahan tersebut.

Dikeluarkannya Kerinci dari Jambi memiliki arti berkurangnya wilayah Keresidenan Jambi, berkurangnya jumlah pegawai (Belanda atau bumiputera) di Jambi, berkurangnya jumlah polisi dan tentara di Jambi, berkurangnya anggaran pendapatan dan belanja Jambi, dlsbnya. Di kalangan warga (elit) Kerinci sendiri, dikeluarkannya Kerinci dari Jambi sering dipahami dengan ‘turun’nya status administratif Kerinci, dari setingkat afdeeling ke onderafdeeling yang diiringi dengan pengurangan-pengurangan lainnya. Tidak itu saja, digabungkannya Kerinci ke dalam Keresidenan Sumatra juga sering dipandang oleh elit Kerinci sebagai penempatan Kerinci pada posisi ‘pinggiran’ dalam wilayah Sumatra Barat, pengabaian Kerinci bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatra Barat, dlsbnya.

Sejarah administratif Kerinci diawali dengan penaklukan daerah tersebut oleh pemerintah Hindia Belanda pada wal abad ke-20. Segera setelah penaklukan tersebut, Kerinci dipimpin oleh seorang Asisten Residen dan menjadi bagian dari Gouvernement Sumatra’s Westkust. Sejak tahun 1906 Kerinci digabungkan dengan Jambi yang saat itu berstatus sebagai sebuah Afdeeling dalam Residentie Palembang. Keputusan ini berdasarkan Besluit Kerajaan No. 54 tanggal 1 Februari 1906, dan keputusan ini juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1906 No. 187. Seiring dengan keputusan tersebut, dinyatakan bahwa Kerinci memiliki status sebagai sebuah Onderafdeeling dan menjadi bagian dari Afdeeling Djambische Bovenlanden. Onderafdeeling Kerintji terdiri dari dua Distrik, yakni Distrik Delapan Helai Kain dan Distrik Tiga Helai Kain. Di samping itu juga ada dua Mendapo Otonom, yaitu Sanggaran Agung dan Dusun Lolo. Onderafdeeling Kerintji dipimpin oleh seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Sanggaran Agung. Keputusan ini tertera dalam Keputuan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 31, tertanggal  22 Mei 1906 yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1906 No. 261.

Sejak tahun 1913 status administratif Kerinci ditingkat menjadi Afdeeling. Dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1913 No. 241 dinyatakan bahwa Residentie Djambi dibagi menjadi tujuh afdeeling, dan salah satu di antaranya adalah Afdeeling Kerinci. Afdeeling ini dipimpin oleh seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kotanya Sungai Penuh. Afdeeling ini dibagi menjadi dua distrik, yaitu Kerinci Ulu (sebelumnya bernama Salapan Helai Kain) dengan ibu kotanya Sungai Penuh dan Kerinci Ilir (sebelumnya bernama Tiga Helai Kain) dengan ibu kotanya Sanggaran Agung. Masing-masing distrik dipimpin oleh seorang Kepala Distrik.

Dalam status Afdeeling inilah Kerinci digabungkan ke Keresidenan Sumatra Barat dan diturunkan statusnya menjadi Onderafdeeling.

Seperti disebutkan di atas, ada banyak penilaian yang muncul di kalangan elit Jambi dan Kerinci sehubungan dengan penggabungan Kerinci  ke dalam Residentie Sumatra’s Westkust. Apa pun penilaian yang diberikan, baik dalam konteks Jambi secara umum atau Kerinci secara khusus, yang jelas, menurut Batavia, penggabungan Kerinci ke Keresidenan Sumatra Barat dikatakan telah melalui pengkajian yang cukup cermat dan dengan berbagai pertimbangan (sosial, politik, ekonomi, dan budaya) yang saksama. Dan penggabungan Kerinci ke Keresidenan Sumatra Barat tersebut diputuskan dengan dasar hukum (surat keputusan/besluit) yang sangat kuat dan dinyatakan dalam Lembaran Negara Hindia Belanda.

Sumber:

“Djambi’ dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (Tweede Deel) (‘s-Gravenhage, Leiden: Martinus Nijhoff, E.J. Brill, 1918), p. 613-614.

“Kerintji’ dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (Achtste Deel) (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1939), p. 195.

“Koerintji” dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (Eerste Deel) (‘s-Gravenhage, Leiden: Martinus Nijhoff, E.J. Brill, 1917), p. 613.

Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1906 (Batavia: Landsdrukkerij, 1907).

Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1913 (Batavia: Landsdrukkerij, 1914).

Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1921 (Batavia: Landsdrukkerij, 1922).

Tijdeman, J., Djambi. Amsterdam: De Bussy, 1938.

Ditulis oleh Gusti Asnan.

Daerah-Daerah Administratif Keresidenan Sumatra Barat (Residentie Sumatra’s Westkust) Tahun 1929

Sebagaimana tercantum dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1929, No. 162, Residentie Sumatra’s Westkust (Keresidenan Sumatra Barat) dibagi menjadi enam afdeeling:

Pertama, Afdeeling Padang, di bawah pimpinan Asisten Residen, dengan ibu kota Padang, dan terbagi ke dalam tiga onderafdeeling, yaitu:

  1. Padang, terdiri dari Distrik Padang dan Lubuk Begalung, dan Distrik Lubuk Begalung terbagi ke dalam Onderdistrik Lubuk Begalung, Pauh dan Koto Tengah, di bawah  pimpinan Asisten Residen, Kepala Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Padang;
  2. Pariaman, terdiri dari Distrik Pariaman dan Lubuk Alung, terbagi ke dalam onderdistrik Pariaman dan Sungai Limau, termasuk Lubuk Alung dan Kayutanam, VII Koto, dibawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Pariaman;
  3. Kepulauan Mentawai, di bawah pimpinan seorang pejabat pada Kementrian Dalam Negeri atau seorang perwira dengan gelar penguasa, yang berkedudukan di Muara Siberut;

Kedua, Afdeeling Kerinci-Painan, di bawah pimpinan seorang Asisten Residen, dengan ibu kota Sungai Penuh, dan terbagi ke dalam dua onderafdeeling:

  1. Kerinci-Indrapura, terdiri dari Distrik Kerinci dan Indrapura, Distrik Kerinci terbagi ke dalam Onderdistrik Kerinci Tengah, Kerinci Hulu dan Kerinci Hilir, di bawah pimpian Asisten Residen, Kepala Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri;
  2. Painan, terdiri dari Distrik Painan, terbagi ke dalam Onderdistrik Balaiselasa, Painan, Tarusan dan Batang Kapas, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Painan ;

Ketiga, Afdeeling Agam, dipimpin oleh seorang Asisten Residen, dengan ibu kota Bukittinggi (Fort de Kock), dan terbagi ke dalam empat onderafdeeling, yaitu:

  1. Agam Tua (Oud Agam), terdiri dari Distrik Bukittinggi dan Tilatang IV Angkat, terbagi ke dalam Onderdistrik Bukittinggi, Sarik dan IV Koto, termasuk Tilatang, Kamang Baso dan IV Angkat Candung, di bawah pimpinan Asisten Residen, Kepala Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri, berkedudukan di Bukittingi (Fort de Kock);
  2. Maninjau, terdiri dari Distrik Maninjau, terbagi ke dalam Onderdistrik Maninjau, Palembayan, Matur dan Lubuk Basung, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Maninjau;
  3. Lubuk Sikaping, terdiri dari Distrik Lubuk Sikaping, terbagi ke dalam Onderdistrik Lubuk Sikaping, Bonjol dan Rao-Mapat Tunggul, di bawah pimpinan seorang pejabat Kementrian Dalam Negeri, yang berkedudukan di Lubuk Sikaping;
  4. Ophir, terdiri dari Distrik Talamau dan Airbangis, terbagi ke dalam Onderdistrik Talamau dan Pasaman, termasuk Air Bangis dan Ujung Gading, d ibawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Talu;

Keempat, Afdeeling Limapuluh Kota, dipimpin oleh seorang Asisten Residen, dengan ibu kota Payakumbuh, dan terbagi ke dalam tiga onderafdeeling, yaitu:

  1. Payakumbuh, terdiri dari Distrik Payakumbuh, terbagi ke dalam Onderdistrik Payakumbuh, Luhak, Tanjung Pati dan Koto Baru-Sialang, di bawah pimpinan Asisten Residen, Kepala Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Payakumbuh ;
  2. Suliki, terdiri dari Distrik Suliki, terbagi ke dalam Onderdistrik Suliki, Kota Lawas dan Guguk, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Suliki;
  3. Bangkinang, terdiri dari Distrik Bangkinang, terbagi ke dalam Onderdistrik Bangkinang dan XIII Koto Kampar, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Bangkinang ;

Kelima, Afdeeling Tanahdatar, dipimpin oleh seorang Asisten Residen, dengan ibu kota Padang Panjang, dan terbagi ke dalam tiga onderafdeeling, yaitu:

  1. Batipuh dan X Koto, terdiri dari Distrik Batipuh dan X Koto, terbagi ke dalam Onderdistrik X Koto dan  Batipuh, di bawah pimpinan Asisten Residen, Kepala Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Padang Panjang;
  2. Batu Sangkar (Fort van der Capellen), terdiri dari Distrik Batu Sangkar dan Pariangan, terbagi ke dalam Onderdistrik Batu Sangkar, Saruaso, Salimpaung dan Buo, termasuk V Kaum, Pariangan dan Sungai Tarab, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Batu Sangkar (Fort van der Capellen);
  3. Sijunjung, terdiri dari Distrik Sijunjung dan Batanghari, terbagi ke dalam Onderdistrik Sijunjung, Lubuk Tarab, Kota VII dan Sungai Betung, termasuk Batanghari dan Koto Besar, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Sijunjung.

Keenam, Afdeeling Solok, dipimpin oleh seorang Asisten Residen, dengan ibu kota Sawahlunto, dan terbagi ke dalam empat onderafdeeling, yaitu:

  1. Sawahlunto, terdiri dari Distrik Sawahlunto, di bawah pimpinan Asisten Residen, Kepala Afdeeling, dibantu oleh seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Sawahlunto;
  2. Solok, terdiri dari Distrik Solok, terbagi ke dalam Onderdistrik Solok, Talang, Singkarak dan Sulit Air, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Solok;
  3. Alahanpanjang, terdri dari Distrik Alahan Panjang, terbagi ke dalam Onderdistrik Alahan Pandjang dan Supayang, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Alahanpanjang;
  4. Muaralabuh, terdiri dari Distrik Muaralabuh, terbagi ke dalam Onderdistrik Muaralabuh dan Lubukgadang, di bawah pimpinan seorang Kontrolir pada Kementrian Dalam Negeri yang berkedudukan di Muaralabuh ;

Sumber: Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1929 (Batavia: Landsdrukkerij, 1933).

Disalin ulang dan diterjemahkan oleh Gusti Asnan