Kekuatan Tentara Belanda Selama Perang Padri

Perang Padri berlangsung hampir selama dua dasawarsa. Perang yang begitu lama, di samping didukung oleh semangat juang yang tinggi, tentu membutuhkan dukungan logistik, persenjataan dan sumber daya manusia (tentara) yang memadai. Tiga aspek yang disebut terakhir ini memang relatif kurang terungkap secara khusus atau komprehensif selama ini. Kalau ada informasi tentang itu, maka sajiannya bisa dikatakan bersifat fragmentaris, terserak-serak dalam berbagai buku atau tulisan mengenai Perang Padri.

Tulisan ini mencoba memulai upaya untuk mengungkapkan salah satu dari tiga aspek itu, yakni kekuatan tentara Belanda yang ditempatkan dan bertempur di Sumatra Barat menghadapi kaum Padri antara tahun 1821 hingga awal tahun 1840-an. Walaupun akan dituding sebagai rekonstruksi sejarah politik dan tidak mencerminkan kajian sejarah terkini (yang cenderung mengungkapkan aspek-aspek non-politis), tulisan ini setidaknya ingin mengungkapkan betapa seriusnya dan susahnya Belanda menundukkan dan mengalahkan kaum Padri. Sebab, tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup lama, mereka ternyata juga harus mengerahkan banyak atau sangat banyak tentara ke daerah ini.

Karena itu, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah seberapa banyak tentara Belanda yang terlibat dalam perang menghadapi kaum Padri? Pemokusan tulisan pada kekuatan tentara Belanda di daerah ini ditujukan untuk melihat dinamika perang tersebut. Sebab ada hubungan yang erat antara jumlah tentara yang diterjunkan ke medan perang dengan ‘keseriusan’ Belanda menghadapi Padri khususnya dan dalam melakukan ekspansi politik di daerah ini serta konstelasi politik Hindia Belanda pada umumnya. Pertanyaan lain yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah siapa-siapa saja yang dikatakan sebagai tentara Belanda tersebut? Bagaimana pergerakan kekuatan militer Belanda tersebut selama Perang Padri? Dan bagaimana pula ‘etos perang’ bala tentara Belanda itu dalam menghadapi para pejuang Padri?

Sumber-sumber yang digunakan untuk penulisan ini umumnya berasal dari karya-karya pelaku sejarah, mantan tentara atau perwira Belanda yang terlibat dalam Perang Padri atau sumber yang dibuat lain yang dibuat penulis Belanda pada masa Belanda yang membicarakan sejarah Perang Padri secara umum.

II

Dalam banyak buku sejarah daerah Sumatra Barat (Minangkabau) dikatakan bahwa Belanda telah hadir dan menjajah daerah ini sejak pertengahan abad ke-17. Namun, hingga akhir abad ke-18, kekuasaan Belanda (VOC) hanya mencakup kawasan sekitar pantai barat Sumatra (Minangkabau) saja. Kekuasaannya hanya meliputi kawasan hingga beberapa kilometar ke arah pedalaman. Daerah pedalaman, masih asing dan belum terjamah oleh mereka. Di samping itu perlu juga disadari bahwa Belanda juga pernah terdepak dari daerah ini, karena kekuasaannya diambil alih Inggris (1781-85 dan 1795-1819) dan serta juga (dalam waktu yang singkat) oleh Perancis (1793).

Belanda, dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda, kembali ke daerah ini tahun 1819. Dia kembali karena adanya Perjanjian London (1814) yang mengharuskan Inggris menyerahkan jajahannya dibekas wilayah jajahan Belanda ke tangan pemerintah Hindia Belanda.

Karena Inggris masih enggan mengembalikan daerah ini sepenuhnya, maka wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun-tahun pertama kekuasaannya relatif terbatas. Dia hanya menguasai kawasan sekitar Padang, Pulau Cingkuak, Air Haji dan Pariaman. Daerah-daerah lain di kawasan barat, di bagian utara Pariaman dan selatan Air Haji masih dikuasai oleh Inggris. Terbatasnya wilayah kekuasaan itu juga tercermin dari sedikitnya pegawai dan tentara yang ditempatkan di daerah ini.

III

Du Puy yang menerima Padang dan kawasan sekitarnya dari Inggris tiba di Padang tanggal 17 Mai 1819. Dia datang dengan menggunakan Zr. Ms. Frigat Wilhelmina. Kedatangannya di dampingi oleh beberapa orang pegawai sipil. Di samping itu dia juga membawa 162 orang tentara, yang terdiri dari 150 orang dari kesatuan infantri (bangsa Eropa) dan 12 dari kesatuan artileri.

Sebagai bagian dari perjanjian dengan Inggris, du Puy juga menerima sebanyak 76 orang mantan serdadu Inggris (berbangsa India/Benggala dan bumiputera/Bugis) yang ditempatkan di Padang.

Dengan demikian total kekuatan militer Belanda pada hari-hari pertama kekuasaan di daerah ini adalah sebanyak 238 orang.

Dari jumlah itu, kemudian 6 orang ditempatkan di Pulau Cingkuak dan Air Haji serta 13 orang (1 bintara dan 12 prajurit) ditempatkan di Pariaman.

Terbatasnya aparat, terutama untuk menjaga ketertiban dan keamanan kota, membuat du Puy membentuk satu kesatuan khusus yang dinamakan ‘Burgerwacht’ (Kesatuan Pengawal Kota). Kesatuan ini terdiri dari 2 sersan, 4 kopral, dan 12 ‘satpam’. Di samping itu juga ada beberapa orang Nias yang menjadi bagian dari Kesatuan Pengawal Kota ini (1 mandor dan 16 opas). Kesatuan ini diresmikan pembentukannya tanggal 23 September 1820.

Dengan jumlah yang ‘hanya’ segelintir inilah Belanda menerima tawaran Sutan Alam Bagagar Syah dan sejumlah penghulu dari Tanah Datar untuk memerangi kaum Padri melalui Perjanjian 10 Februari 1821. Namun, sesuai dengan pepatah lama, ‘kalau kita lemah maka akal harus diperpanjang,’ Belanda mensyaratkan dalam perjanjian agar dia dibantu oleh anak-kemenakan kaum penghulu dalam menghadapi kaum Padri. Maka terbentuklah serdadu bantuan yang beranggotakan anak-kemenakan para penghulu yang meminta bantuan kepada Belanda tersebut. Literatur Belanda menamakannya Gewapene Malaier (orang Melayu yang Bersenjata) atau Hulp-Benden (Gerombolan Pembantu). Jadi, ‘tentara ninik mamak’ ini telah menjadi bagian dari Angkatan Perang Belanda sejak hari-hari pertama mereka melakukan ekspansi politik ke daerah pedalaman. Atas dukungan anak-kemenakan para penghulu itulah pasukan Belanda, pada tanggal 27 dan 28 April 1821 mampu merebut Benteng Simawang serta Sulit Air dan nagari-nagari sekitarnya.

Penaklukan Benteng Simawang juga menambah kekuatan serdadu Belanda. Karena di sana oleh Inggris ditempatkan sebanyak 2 perwira dan 100 orang tentara (dari kesatuan Benggala dan Eropa/Inggris).

Dalam rangka meluaskan jangkauan kampanye militernya, Belanda mendatangkan pasukan tambahan dari Batavia. Pasukan bangtuan yan datang tanggal 8 Desember 1821 itu terdiri dari 4 perwira dan 187 prajurit. Dengan kedatangan pasukan tambahan itu, maka total kekuatan tentara Belanda yang ada di daerah ini pada akhir 1821 adalah 12 perwira dan 307 prajurit. Rinciannya adalah 284 dari kesatuan infantri bangsa Eropa, 20 dari kesatuan artileri bangsa Eropa, 40 dari kesatuan infantri Benggala, 96 kesatuan infantri bumiputra (Bugis), dan 44 dari kesatuan artileri bumiputera.

Bala bantuan yang dipimpin oleh Letkol A.T. Raaff ini memang ditujukan untuk menggasak kaum Padri. Karena itu, segera setelah sampai di Padang pasukan ini segera dikirim ke darek dan langsung bertempur menghadapi kaum Padri. Didukung pula oleh gewapene Malaier, pasukan ini bertempur di banyak tempat, terutama, di kawasan Tanah Datar. Tidak ada informasi yang pasti mengenai jumlah gewapane Malaier. Jumlah sangat bervariasi, tergantung waktu dan daerah di mana aksi dilakukan. Pada saat menyerang Pagaruyung misalnya, pasukan Belanda yang dipimpin Raaff dibantu oleh 15 sampai dengan 20.000 ‘orang Melayu’ dari Tanah Datar.

Walaupun memperoleh banyak kemajuan, pemerintah masih ingin meluaskan daerahnya. Untuk itu, jumlah tentara mesti diperbanyak. Karena itu, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral tanggal 30 Oktober 1822 dikirim lagi sebanyak 206 tentara ke daerah ini. Dari jumlah itu 6 perwira dan 200 prajurit (150 dari kesatuan infantri dan 50 dari kesatuan artileri).

Pada bulan Juni tahun 1823 didatangkan lagi sebanyak 264 tentara (8 perwira dan 256 prajurit) ke Sumatera Barat. Dari jumlah tersebut ada 62 orang serdadu bumiputra atau Hulp-Tropen. Hulp-Tropen adalah serdadu Belanda bangsa bumiputera yang berasal dari etnik non-Minang, seperti Jawa, Madura, Ambon, Bugis, Gorontalo, dlsbnya.

Antara tahun 1823 dan 1825 juga dikirim dan ditempatkan sebanyak 523 mobile brigade dan marinir di kawasan ini. Karena sifatnya mobil dan penugasannya bergantung pada operasi militer yang dilakukan, rata-rata jumlah yang bertugas di Sumatra Barat sebanyak 200 orang setiap tahun (maksudnya pada tahun tertentu, karena banyaknya kampanye militer jumlah yang diterjunkan ke medan perang lebih dari 200 orang, namun pada tahun berikutnya jumlahnya kurang dari 200 orang).

Sebagai realisasi dari Perjanjian London yang ditandatangani tahun 1824, maka pada tahun 1825 Inggris betul-betul harus meninggalkan Pantai Barat Sumatra dan menyerahkannya kepada Belanda. Saat hengkang dari daerah ini Inggris juga meninggalkan sebanyak 673 orang serdadunya. Dari jumlah itu ada sebanyak 147 orang tentara berbangsa Eropa, 154 orang serdadu yang berasal dari Gorontalo, 112 orang serdadu dari masyarakat setempat, 100 orang serdadu Madura, 138 serdadu Benggala.  

Dengan penambahan kekuatan dari mantan tentara Inggris tersebut maka pada 1 Juli 1825 jumlah tentara Belanda di daerah ini sebanyak 1.568 orang.

Dengan tambahan bala bantuan yang berturut-turut dari Batavia sejak tahun tahun 1822 dan tambahan pasukan mantan tentara Inggris, pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat merasa yakin akan mampu memperluas aksi di kawasan pedalaman juga memberi tekanan yang kuat pada kaum Padri. Sayangnya, rencana itu tidak bisa diwujudkan. Karena pada tahun 1825 Batavia memutuskan menarik sebagian besar tentara yang ada di daerah ke Pulau Jawa. Penarikan itu ditujukan untuk menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro.

Hingga pertengahan September 1826 dari Sumatra Barat dikirim ke Pulau Jawa (Batavia dan Semarang) sebanyak 699 orang serdadu. Di samping jumlahnya yang banyak, Batavia juga mensyaratkan bahwa tentara yang dikirim ke Jawa tersebut haruslah tentara pilihan (terbaik). Khusus untuk tentara bumiputera, sangat disarankan agar dikirim tentara Ambon dan Bugis.

Pengiriman serdadu dalam jumlah yang cukup banyak ini menyebabkan kekuatan Belanda di Sumatera Barat menurun drastis. Melemahnya kekuatan Belanda di daerah ini juga disebabkan oleh dikirimnya tentara yang terbaik yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, jelas tidak mungkin dilakukan operasi militer yang serius menghadapi kaum Padri. Karena itu, pada tahun-tahun minimnya jumlah tentara di daerah ini (selama Perang Diponegoro antara tahun 1825 s.d. 1830), pemerintah kolonial cenderung ‘bersikap lembut’ terhadap Padri. Sikap lembut itu antara lain diwujudkan dengan membuat banyak perjanjian damai dengan kaum Padri. Di samping menggunakan jasa saudagar Eropa yang telah lama menetap di daerah ini dan telah menjadi mitra bisnis pedagang pedalaman (termasuk saudagar Padri), seperti van den Berg, untuk mendekati atau membujuk kaum Padri agar mau berunding, Belanda juga mempergunakan jasa orang Arab. Salah satu orang Arab yang dimaksud adalah Said Al-Jufri. Penggunaan jasa orang Arab adalah bagian dari kecerdasan politik penguasa Belanda. Mereka mengetahui adanya kedekatan emosional, rasa segan atau hormat kaum Padri terhadap orang Arab yang diisukan sebagai keturunan Rasullullah Muhammad SAW.

Di samping membuat banyak perundingan dengan pihak Padri, pemerintah Belanda di Padang banyak melakukan aksi militer ke kawasan pantai bagian utara. Aksi militer ini ditujukan untuk betul-betul menubuhkan kedaulatannya di bekas wilayah kekuasaan Inggris tersebut (mulai dari Sibolga, Barus dan Singkel). Aksi ke kawasan utara ini juga ditujukan terhadap Aceh yang dianggap mendukung kota-kota pantai di bagian utara itu melawan Belanda.

Segera setelah Perang Doponegoro berakhir, Belanda  mulai mengirim kembali pasukannya ke Sumatra Barat. Pada tahun 1831 dengan menggunakan dua kapal perang, datang sebanyak 283 serdadu dari Batavia. Tentara yang datang ini dipimpin oleh Kolonel Elout yang kemudian diangkat menjadi Resident van Padang en Onderhoorigheden. Dengan kedatangan pasukan bantuan tersebut jumlah tentara yang ada di Sumara Barat saat itu adalah sebanyak 26 perwira dan 707 prajurit.

Karena jumlah serdadu yang belum begitu banyak, maka aksi militer yang dilakukan masih dikonsentrasi di kawasan pantai. Dalam kaitan dengan itulah, Belanda misalnya menyerang Naras, sebagai salah satu basis Padri di kawasan pantai, kemudian menyerangkan Katiagan, nagari yang menjadi markas Peto Magek, saudagar terkemuka Padri, serta menyerang Air Bangis basis tokoh Padri Sidi Mara.

Dibantu oleh gewapene Malaier dan juga pelaut Bugis, yang dipimpin Anakoda Langkap, maka tentara Belanda dapat menaklukan kekuatan Padri yang ada di Naras, Katiagan dan juga Air Bangis. Dengan demikian, pada tahun-tahun permulaan 1830-an, Belanda sudah dapat mengukuhkan hegemoni politiknya di kawasan pantai.

Seiring dengan itu, kekuatan Belanda juga semakin besar. Meningkatnya jumlah tentara Belanda ini antara lain disebabkan oleh datangnya ‘Barisan Sentot’. Nama kesatuan ini berasal dari nama mantan perwira perang Pangeran Diponegoro yang berkianat kepada tuannya dan kemudian menyatakan kesetiaan kepada Belanda. Dengan beberapa kapal, Barisan Sentot yang tiba di Sumatra Barat pertengahan tahun 1832.

Barisan Sentot memiliki struktur kepangkatan tersendiri (yang bisa disetarakan dengan ranking kepangkatan tentara Belanda regular). Posisi paling tinggi dinamakan Panembahan. Pangkat selanjutnya adalah Pangeran (Mayor), Raden Temenggung (Kapten), Temenggung Tua (Letnan Satu), Temenggung Muda (Letnan Dua), Panji (Sersan, Ngabehi (Kopral), dan prajurit. Di samping itu, dalam Barisan Sentot ini juga ada posisi yang bertugas sebagai penabuh tambur, peniup terompet.

Karena tuduhan bahwa Sentot akan berkianat kepada pemerintah, maka tahun 1833 dia diasingkan ke Bengkulu. Dengan demikian pangkat Penembahan yang disandangnya ditiadakan dalam struktur Barisan Sentot. Karena adanya rotasi dan alasan-alasan lain, dilaporkan bahwa tanggal 30 April 1834 kekuatan pasukan ini adalah sebagai berikut:

1 Pangeran (Mayor)

3 Raden Temenggung (Kapten)

2 Temenggung Tua (Letnan Satu)

20 Temenggung Muda (Letnan Dua)

44 Panji (Sersan)

178 Ngabehi (Kopral)

375 prajurit

16 penabuh tambur dan peniup terompet.  

Dikatakan bahwa 63 orang anggota Barisan Sentot ini termasuk kesatuan pionier dan sisanya tergabung ke dalam kesatuan infantri.

Kehadiran Sentot dan Barisan Sentot sangat besar artinya bagi Belanda menghadapi Padri. Melalui ‘pendekatan keagamaan’ (karena sama-sama seiman dan mengenakan simbol-simbol keagamaan yang sama, seperti sorban, jubah, menunaikan shalat, dlsbnya) Sentot dan sejumlah petinggi barisannya bisa menjinakkan beberapa tokoh Padri sehingga bisa diajak berdamai dengan Belanda. Kehadiran Barisan Sentot juga membuat kaum Padri mengurangi agresifitas mereka menyerang pasukan Belanda.

Di samping aktif dalam kampanye-kampanye militer di daerah pedalaman, Sebagian Barisan Sentot juga dipergilirkan untuk menjaga kota Padang. Seperti yang diintruksikan oleh van den Bosch pada tahun 1833, kota Padang harus selalu dijaga oleh paling sedikit 300 tentara reguler dan 30 sampai 40 dari Barisan Sentot, serta diperkuat oleh 4 pucuk meriam lapangan dan dua diantaranya adalah jenis howitzer.

Di samping anak kemenakan para penghulu antipadri, Belanda juga menjadikan para pemuda (lelaki) Batak sebagai Hulp-Benden. Lasykar Batak yang dipimpin oleh Raja Gadobang ini sangat penting artinya bagi Belanda dalam melakukan aksinya di kawasan utara (Rao dan sekitarnya). Sama dengan gewapene Malaier, Lasykar Batak ini juga sangat bersemangat membantu Belanda memerangi kaum Padri. Alasannya, juga sama dengan gewapene Malaier, adalah juga untuk membalas dendam terhadap kaum Padri, yang pada masa sebelumnya menyerang dan memerangi kampung halaman mereka. Seperti yang disebut pada tulisan lain dalam Seri 200 Tahun Perang Padri ini, pasukan Padri memang pernah menyerang dan melakukan aksi kekerasan terhadap orang dan perkampungan Batak. Sama dengan gewapene Malaier, tidak diketahui jumlah pasti Lasykar Batak ini. Informasi hanya menyebutkan jumlah ribuan orang banyaknya.

Belanda memang memiliki taktik perang yang jitu. Di samping menggunakan strategi militer yang hebat, strategi yang kadang-kadang licik, dan memanfaatkan ‘pendekatan keagamaan’, mereka juga menggunakan dendam lama kelompok yang pernah dizalimi kaum Padri untuk melawan Padri. Hulp-benden yang berasal dari Urang Awak dan Batak memang diakui oleh sejumlah penulis Belanda sangat benci kepada kaum Padri. Bila ada kesempatan untuk menyerang Padri, apalagi kaum Padri sudah terjepit atau hampir kalah oleh serangan tentara Eropa dan Hulp-tropen yang berasal dari pasukan Bugis, Ambon, Gorontalo, Madura, atau Jawa, maka Lasykar Urang Awak dan Batak ini akan melakukan aksi dengan penuh kesadisan. Tidak hanya merampoki harta benda kaum Padri, mereka juga membunuh serta menjadikan kaum Padri sebagai budak.

Atas bantuan beragam tentara, baik yang berasal dari bangsa Eropa, Hulp-tropen dan Hulp-Benden dengan jumlah yang relatif banyak, serta taktik perang yang jitu itulah akhirnya Belanda mampu mengalahkan kaum Padri.

IV

Seperti disebut di atas, ada banyak tentara Belanda yang dikirim dan bertempur menghadapi Padri. Namanya perang, tentu ada yang tewas dan luka-luka. Tidak ada atau belum didapat angka pasti mengenai jumlah tentara Belanda serta pasukan bantuannya yang tewas dan luka-luka selama aksi mereka melawan Padri. Namun bisa dikatakan, kalau tidak ribuan, jumlahnya ada ratusan orang. Sama dengan yang berlaku di mana pun di dunia ini, masing-masing pihak yang berperang cenderung tidak mau atau tidak jujur menginformasikan jumlah korban di pihak mereka.

Tentara Belanda adalah ‘manusia’ juga. Di samping memiliki ‘etos juang’ yang tinggi untuk menaklukan musuh (kaum Padri) ternyata ada juga di antara mereka yang ‘lemah’. ‘Lemah’ yang dimaksud di sini antara lain menyerah kepada kaum Padri, terpesona oleh ideologi Padri, dan bekerja sama dengan kaum Padri. Umumnya serdadu yang ‘lemah’ ini berasal dari kelompok Hulp-Tropen, dan khususnya lagi yang berasal dari suku bangsa yang seiman dengan kaum Padri. Sebagian besar dari mereka adalah tentara Jawa (baik yang menjadi bagian Barisan Sentot atau yang datang sebelum Barisan Sentot).

Keterangan tentang adanya tentara Jawa yang menyerah atau bekerja sama dengan kaum Padri ini ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Bahwa ada sejumlah tentara Jawa yang memberi informasi kepada Tuanku Imam Bonjol atau tokoh Padri tentang keberadan atau aksi serta rencana yang akan dilakukan oleh tentara Belanda. Bahkan ada dari mereka yang bergabung dengan pasukan Padri dan mendampingi tokoh Padri. Adanya serdadu Belanda yang terpesona dengan ideologi Padri dikemukakan oleh Boelhouwer. Dia menyebut ada serdadu berkewarganegaraan Perancis yang bergabung dengan Padri dan menjadi mualaf (walaupun kemudian bergabung lagi dengan pasukan Belanda dikembalikan keiman awalnya oleh komandannya).

Adanya tentara yang lemah atau membelot ini juga diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Walaupun diduga tidak jujur dengan jumlah jumlah yang disajikan, sebuah laporan menyebut bahwa pada tahun 1825 ada sebanyak 31 tentara yang dikategorikan desersi dan tahun 1826 ada sebanyak 5 tentara yang disersi (salah satu alasan pengkategorian disersi di sini adalah membelot ke pihak musuh).

Ketika perang usai, sebagian besar tentara Belanda (khususnya Eropa dan Hulp-Tropen) dipindahkan ke daerah lain. Namun, ada juga yang tetap tinggal di daerah ini, terutama yang pro-padri. Salah satu di antaranya adalah bagian dari Barisan Sentot serta tentara India. Karena mereka lelaki tentu, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, mereka menikah dengan wanita daerah ini dan kemudian memiliki anak cucu mereka. Karena itu, seperti yang pernah diungkapkan budayawan A.A. Navis, sebagian kecil orang Minang dewasa ini adalah keturunan Hulp-Tropen Belanda yang pro-padri itu. Siapakah dia? Mungkin saya penulis artikel ini atau juga Anda?

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I-II). ‘s-Hertogenbosch, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh: Gusti Asnan