Skip to content

Pergilah Nak, Pergilah Sayang: Catatan Historis Melepas Orang Pergi Merantau di Minangkabau Tempo Doeloe

Setelah menamatkan pendidikan di salah satu SLTA di kota Padang, pada pertengah­an tahun 2011, Adrian (bukan nama sebenarnya) anak seorang pengusaha di Padang melanjutkan pendidikan­nya ke salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Adrian pergi ke Bandung bersama kawan-kawannya sewaktu di SMA, yang juga melanjutkan pendidikan ke Kota Kembang itu. Mereka pergi dengan mengunakan pesawat terbang dan diantar oleh orang tuanya hingga bandara. Tiga tahun kemudian terdengar kabar Adrian menjadi salah seorang aktivis gay, tidak hanya untuk kota Bandung tetapi juga untuk level nasional (Wawancara dengan Irfandi Burhan, 6 Juni 2019).

Tahun 2016, seorang mantan pejabat tingkat Propinsi Sumatera Barat (dan istrinya) ingin menunaikan ibadah haji melalui embarkasi Padang. Ketika berangkat menuju Wisma Haji Tabing, mereka hanya diantar oleh sopir dan pembantu yang berasal dari Pulau Jawa.  Tidak ada anggota keluarga yang ikut-serta. Dua anak mereka juga tidak bisa mengatar. Kedua anak mereka kebetulan bertugas di luar negeri dan sama-sama tidak bisa pulang. Anak tertua bertugas di Jepang dan anak kedua bertugas di Australia. Tidak ada pula acara khusus yang diadakan sebelum berangkat ke Tanah Suci. “Hanya berdoa sendiri setelah sholat”, kata Bapak sang mantan pejabat yang tinggal di kawasan Jati itu. Namun setelah pulang dari Mekah, Pak Haji lebih sering ke lapau untuk main domino daripada ke mushalla untuk menunaikan shalat berjamaah, apalagi setelah istrinya sering pergi mendampingi anak-anaknya yang baru melahirkan di kota lain (Wawancara Eri Rahmawati, 9 Juni 2019).

Dua ilustrasi di atas menyajikan dua informasi tentang kepergian Urang Awak merantau untuk melanjutkan ilmu dan kepergian ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji pada beberapa waktu belakangan. Ilustrasi yang pertama menyuguhkan informasi bahwa sang anak dilepas pergi oleh orang tua hanya sampai bandara, dan sang anak pergi dengan teman-teman menuju rantau. Ilustrasi kedua menyajikan informasi mengenai kepergian sepasang suami istri, yang pasti sudah usia lanjut (karena telah pensiun dari tugas) menunaikan ibadah haji, yang pergi hanya diantar oleh sopir dan pembantu tanpa dilepas oleh anak dan dunsanak, serta tanpa ada acara penglepasan yang khusus.

Dua pengalaman di atas barangkali tidak berlaku umum bagi Urang Awak dewasa ini, namun kecenderungan tersebut telah terjadi di tengah masyarakat. Dari penelitian yang dilakukan bahwa ada banyak anak muda yang pergi merantau, baik untuk melanjutkan pendidikan atau untuk bekerja pada beberapa waktu belakangan yang hanya di lepas hingga bandara atau terminal bus, atau hanya dilepas di pintu rumah saja oleh orang tua (keluarga). Ada pula sejumlah Urang Awak yang pergi haji seperti hendak pergi ke Jakarta atau ke kota lain untuk keperluan dinas atau plesir saja, tidak dilepas dan diantar oleh sanak keluarga. Mereka pergi, “seperti melepas ayam dari kandang di pagi hari saja”, meminjam ungkapan orang-orang tua Minang tempo doeloe.

Sebagai bagian dari pengalaman Urang Awak yang sejak dahulu sudah lazim pergi ke rantau atau naik haji, tentu menarik untuk mempertanyakan, bagaimana pula pola melepas orang pergi di kalangan Urang Awak di masa silam. Pengetahuan tentang pola-pola melepas orang pergi di masa silam penting untuk diketahui, karena di samping bertujuan untuk melihat sejauh mana perubahan telah terjadi, juga untuk memahami makna di balik tradisi melepas orang pergi tersebut.

Untuk itu tulisan ini mencoba mengungkapkan tradisi melepas orang pergi di kalangan Urang Awak di masa lamapu, tepatnya pada akhir abaad ke-19 dan awal abad ke-20. Melepas orang pergi yang dimaksud adalah melepas kepergian anak-kemenakan ke rantau untuk melanjutkan pendidikan, dan melepas sanak keluarga, handai dan tolan untuk menunaikan ibadah haji. Adapun bahan yang dipergunakan sebagai sumber penulisan adalah beberapa biografi atau otobiografi serta karya-karya lain yang menyajikan informasi tentang pengalaman orang Minangkabau melepas kaum kerabatnya pergi merantau dan menunaikan ibadah haji.

Pergi Merantau dan Naik Haji dalam Catatan Sejarah

Pasti ada ratusan, atau lebih tepatnya, pasti ada ribuan orang Minangkabau yang pergi meninggalkan sanak-saudara dan kampung halaman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mereka pergi ke tempat lain, ke kota atau pulau lain, atau ke benua lain. Kosa kata Minang menamakan pergi ke tempat lain tersebut dengan merantau. Banyak alasan kepergian mereka itu. Beberapa diantaranya adalah karena kegaduhan politik (pemberontakan pajak), untuk berniaga, melanjutkan pendidikan (baik pendidikan umum atau pendidikan agama), menunaikan ibadah haji, dan sejumlah alasan lain.

Walaupun banyak Urang Awak yang pergi merantau, namun tidak banyak diketahui kisah perantauan mereka itu, baik yang dikemukakan sendiri atau yang dikisahkan oleh orang lain. Berdasarkan kajian awal yang dilakukan, hanya ada sedikit catatan mengenai pengalaman perantauan Urang Awak pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu. Pengalaman yang dimaksud adalah apa-apa yang dialami pada saat-saat menjelang keberangkatan, kejadian-kejadian di perjalanan, kedatangan dan dinamika kehidupan di tanah rantau, dan pulang ke kampung halaman dan kembali lagi ke rantau (kalau ada).

Dari catatan yang sedikit itu, bila diklasifikan, maka sangat terlihat bahwa catatan yang ada umumnya mengenai kepergian untuk menuntut ilmu (umum dan sekuler) dan kepergian ke Baitullah. Sebaliknya, catatan mengenai kepergian (perantauan) karena kegaduhan politik atau untuk keperluan berniaga hanya satu atau dua buah saja.  Hal ini, barangkali disebabkan oleh orang yang pergi menuntut ilmu adalah orang terpelajar dan banyak dari mereka kemudian hidup dalam dunia tulis menulis. Di samping itu, kepergian untuk menuntut ilmu pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dianggap yang “wah”, apalagi bagi orang-orang yang melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda atau sekolah-sekolah tinggi, atau di surau-surau serta sekolah-sekolah agama yang terkemuka saat itu. Tidak banyak orang yang bisa melakukannya, sehingga oleh sebagian dari mereka atau oleh sebagian penulis perlu dicatatkan. Kejadian yang sama juga berlaku bagi Urang Awak yang naik haji. Umumnya orang yang pergi ke Mekkah menunaikan rukun Islam yang kelima ini adalah yang secara ekonomis termasuk ke dalam kelompok orang kaya atau memiliki kesanggupan. Di samping itu, secara sosiologis, umumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat. Tidak sedikit pula di antara mereka termasuk kedalam kelompok kaum terpelajar. Sehingga ada dari mereka yang mencatat pengalaman mereka berhaji atau ada orang lain yang menuliskan pengalaman berhaji mereka.

Sesuatu yang menarik dari catatan itu adalah informasi mengenai saat-saat seseorang akan pergi, baik pergi untuk menuntut ilmu atau pergi ke Baitullah. Nampaknya ada “ritual” atau “tradisi” tersendiri yang dijalani oleh mereka yang akan pergi atau oleh mereka yang akan melepas dunsanak pergi berjalan. Dengan kata lain, ada “ritual” atau “tradisi” khusus melepas orang pergi di kalangan Urang Awak.

Sayangnya, informasi tentang “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi ini sebetulnya lebih sedikit. Walaupun sedikit, tetapi menarik untuk dikemukakan. Menarik karena: pertana, dewasa ini “ritual” atau “tradisi” tersebut sudah semakin langka ditemui; kedua, pasti ada makna dibalik “ritual” atau “tradisi” tersebut, dan ini perlu untuk diketahui dalam rangka memahami kearifan lokal masyarakat Minang tempo dulu, yang barangkali nilai-nilainya sangat relevan untuk hidup kita dewasa ini.

Catatan historis mengenai “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi di kalangan Urang Awak itu ada yang dikemukakan dalam otobiografi, biografi atau karya orang lain mengenai pengalaman perantauan mereka. Tiga otobiografi yang dijadikan rujukan dalam makalah ini adalah buah karya Mohammad Hatta (2011) dan Bahder Djohan (1980), serta Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi (2016). Satu biografi yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah karya Irfan Hamka (2013). Tiga karya penulis lain tentang pengalaman orang bepergian yang digunakan adalah karya Pistorius (1886) dan karya seorang petualang tentang mesjid dan sekolah agama bumiputera di Darek pada perempat terakhir abad ke-19 (1888), serta karya Kurnia Imran (n.d). Di samping itu juga digunakan naskah Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah yang telah dialihaksarakan oleh Pramono mengenai seorang tuanku (Mato Aia) yang juga mengisahkan bagaimana dia dilepas pergi ke Tanah Suci.

Ada perbedaan yang sangat kontras mengenai “prosesi” melepas orang pergi yang disajikan dalam berbagai sumber di atas. Mohammad Hatta menginformasikan bahwa sebelum dia pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya (1919), dia merasa perlu meminta restu kepada ayah gaek (kakak sulung ayahnya) dan kaum kerabat lainnya di Batuhampar (Payakumbuh). Ayah gaek Hamka, Syekh Arsyad, seorang ulama tarikat Naqsabandiyah memberi banyak petuah. Beliau berpesan agar Mohammad Hatta selalu ingat Allah, rajin beribadah, sayang kepada Allah serta sayang pula kepada sesama manusia makhluk Allah. Syekh Arsyad juga mengingatkan agar Hatta senantiasa memelihara diri supaya jangan tergoda oleh setan, karena setan selalu berupaya menyesatkan manusia dari jalan yang lurus.

Selanjutnya Hatta mengatakan bahwa ayah gaeknya berpesan agar selalu tawakal kepada Allah dan harus yakin bahwa Alah senatiasa di sisinya. Dengan keyakinan seperti itu, kata ayah gaek Hatta, kita tidak akan pernah terjerumus karena bujuk rayu setan dan tidak akan pernah merasa takut dengan siapapun, di manapun  dan kapanpun. Ulama terkemuka itu juga mengingatkan bahwa di kota besar sebagai Betawi banyak godaan bagi anak muda. “Kalau teguh iman dan selalu berjalan di jalan Allah, insya Allah, Hatta akan terpelihara dari godaan itu” (Mohammad Hatta 2011: 73-75).

Hatta tinggal di Batuhampar selama empat hari. Hatta menyadari bahwa dia akan pergi berjalan jauh sehingga merasa perlu mengunjungi banyak kaum kerabat di sana. Setiap kunjungan disediakan santapan dan santapan yang disediakan itu tidak pula sedikit jumlah atau ragamnya. “Santapan itu harus disinggung, walau seteguk air atau sekepal nasi”, kata Hatta. Setiap hari ada tujuh atau delapan rumah yang dikunjunginya, dan sebanyak itu pulalah Hatta disunguhi hidangan yang harus di santap, walaupun hanya disinggung sedikit saja (Mohammad Hatta 2011: 75-76).

Hatta mencatat bahwa inti utama dari “ritual” yang dilakukannya pada saat-saat menjelang pergi merantau adalah minta restu kepada ayah gaek dan kaum kerabat yang berada jauh dari tempat dia berdomisili di Bukittinggi. Sebaliknya “tradisi” yang dilakukan ayah gaek dan kerabat di Batuhampar dalam rangka melepas anak pergi merantau adalah memberi petuah dan nasihat, serta menjamu anak dengan hidangan yang beraneka ragam jenisnya.

Pengalaman yang berbeda dialami oleh Bahder Djohan. Tidak ada “ritual” khusus yang dilakukan Bahder atau keluarganya saat dia akan berangkat melanjutkan pendidikannya ke Betawi. Pada saat akan pergi ke Betawi, kondisi ekonomi dan sosial keluarga Bahder memang kurang beruntung. Ayahnya tengah menjalani ”strap” (hukuman) yang dijatuhkan seorang pejabat Belanda (L.C. Westenenk) karena menegur pejabat tersebut yang tengah berselingkuh (berbuat mesum) dengan seorang perempuan di pesanggerahan Payakumbuh (Bahder Djohan 1980: 9).

Catatan Bahder Djohan menginformasikan kepada kita bahwa kepergiannya ke Betawi hanya dilepas oleh sanak keluarga yang masing-masingnya memberi sedikit uang. Uang itu dikumpulkan secara patungan sehingga akhirnya, seperti dikatakan Bahder “menjadi lumayan juga banyaknya” (Bahder Djohan 1980: 22). Pemberian “bekal” berupa uang, walaupun dalam jumlah yang sedikit, merupakan “adat” bagi orang Minang saat melepas anak atau sanak keluarga pergi merantau (khususnya) melanjutkan pendidikan. Hatta dan Bahder pergi ke Betawi, dengan kapal dari Teluk Bayur (Emmahaven) tanpa diantar atau didampingi oleh orang tua mereka. Bahder mengatakan bahwa dia pergi bersama beberapa murid yang sudah lebih tua dan lebih tinggi kelasnya.

Para Penumpang dan Pengantar di Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) pada Awal Abad ke-20

(KITLV 32822)

Tradisi pergi menuntut ilmu tanpa diantar (didampingi) oleh orang tua atau kaum kerabat juga berlaku pada murid-murid surau. Murid-murid Surau Batuhampar yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau, Riau, Jambi dan bahkan dari Bengkulu umumnya datang sendiri (atau berombongan dengan kawan-kawan yang sama-sama akan menuntut ilmu di sana) (“De Masdjid..” 1888: 326”). Hanya saja, bagi murid yang baru pertama pergi untuk menuntut ilmu, sebelum berangkat dia diberi nasihat oleh mamak, kaum kerabat dan juga ayahnya. Murid-murid yang melanjutkan pendidikan ke Surau Batuhampar umumnya adalah murid-murid yang telah menamatkan pendidikan di surau-surau kampung. Pendidikan di surau kampung (nagari) adalah pendidikan pertama yang ditempuh oleh para murid. Biasanya para murid memulai pendidikan di surau (kampung) ini dengan cara diantar oleh orang tuanya. Tidak hanya diantar, untuk diserahkan kepada tuanku yang menjadi guru di surau tersebut, biasanya sang ayah juga menyerahkan sang anak sepenuhnya kepada guru untuk diperlakukan apa saja selama dia menunt ilmu di surau. Tidak jarang, orang tua juga menyerahkan rotan untuk melecut sang anak bila dia nakal (Muhammad Radjab 1950: 80).

Sama dengan pergi sekolah, ada juga berbagai pengalaman yang berbeda yang dialami Urang Awak yang pergi ke Tanah Suci. Ada yang mengikuti “ritual” yang cukup rumit di pada saat-saat menjelang keberangkatan, namun ada yang hanya dilepas secara ala kadar saja. Haji Muhammad, seorang tuanku dari Silungkang pergi ke Tanah Suci pada perempat terakhir abad ke-19 dengan didahului oleh serangkaian acara. Ada acara doa bersama dan saling maaf memaafkan yang diiringi dengan makan-makan, petuah-petuah dan amanat-amat, kemudian dia diantar oleh hampir semua sanak saudara, tua muda, lelaki perempuan hingga batas nagari. Selanjutnya dia ditemani oleh sekitar 20-an orang hingga ke Padang (Pistorius 1889: 199). Perjalanan itu dilakukan dengan jalan kaki, karena belum ada jalan raya serta kendaraan berupa pedati atau kereta api saat itu. Dan jarak antara Silungkang lebih dengan 100 km melalui bukit dan lembah.

Tuanku Mato Aia, seorang ulama lain, juga mengisahkan pengalamannya menjelang berangkat haji tahun 1309 H (1892 M). Dikisahkan bahwa sebelum berangkat ulama yang mengajar di Surau Mato Aia (Pariaman) ini berupaya mendapatkan uang untuk biaya perjalanan dan biaya hidup. Dia pergi menjelang sanak saudara dan kaum kerabat. Dari merekalah biaya perjalanan dan biaya hidup diperdapat.

Kepergian Tuanku Mata Aia dilepas oleh sanak saudara dan kaum kerabatnya di surau tempat dia mengajar. Ada acara penglepasan secara “resmi” (doa-doa, wasiat an wejangan) oleh sanak saudara. Kemudian kaum kerabat mengantarnya separoh jalan (hingga batas nagari). Selanjutnya, dengan didampingi oleh beberapa kerabat dekat dan kawan akrab Tuanku Mato Aia berjalan menuju Padang. Dikatakan dia berangkat dari Surau Mato Aia sekitar pukul sembilan pagi dan sampai di Padang ketika hari telah malam.

Di Padang Tuanku Mato Aia mesti menunggu untuk beberapa hari. Selama masa itu dia menumpang tinggal di beberapa tempat. Selama itu pula beberapa kerabat dan sohibnya mendampinginya. Tuanku Mato Aia merasakan bahwa kerabat dan sohibnya itu menginginkan agar dia segera berangkat (dia menduga barangkali mereka tidak sabar menunggu lebih lama dalam ketidakpastian). Sikap seperti itu membuat Tuanku Mato Aia merasa tidak nyaman sehingga dia selalu berupaya dan berdoa agar segera mendapat kapal. Akhirnya kapal didapat dan dia jadi berangkat.

Pada detik-detik menjelang keberangkatan, Tuanku Mato Aia mengatakan bahwa dia dan kerabat serta sohibnya saling meminta maaf atas segala kilaf dan janggal di antara mereka, saling meminta kerelaan atas segala hutang dan piutang di antara mereka agar tidak menjadi sangkutan kelak di hari akhir (Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah n.d. 3-5).

Kisah “ritual” melepas kepergian ke Tanah Suci juga dikisahkan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi, seorang ulama Urang Awak yang pernah menjadi imam Masjidil Haram, serta menjadi guru sejumlah ulama di Indonesia. Syekh Ahmad Khatib pergi dua kali ke Tanah Suci, namun kepergiannya yang kedualah yang memiliki kesan tersendiri baginya, karena diawali oleh sejumlah kejadian dan “prosesi” penglepasan yang unik. Pihak keluarga, khususnya ibunya, tidak mengizinkannya pergi ke Mekkah untuk yang kedua kalinya. Namun panggilan Tanah Suci yang begitu kuat dihatinya membuatnya nekad untuk “mengakali” pihak keluarga. Kebetulan saat dia di kampung datanglah gurunya sewaktu di Makkah al-Mukarramah. Ahmad Khatib mengatur siasat dengan gurunya agar pada saat pertemuan dengan keluarga dan kaum kerabatnya sang guru mau meyakinkan keluarga dan kerabatnya sehingga mereka mengizinkan Ahmad Khatib pergi ke Makkah. Siasat itu ternyata berhasil, pihak keluarga mengizinkannya pergi ke Makkah.

Walaupun berasal dari keluarga terpandang dan kaya, pihak keluarga mengatakan bahwa mereka akan mengumpulkan uang untuk nafkah Ahmad Khatib selama pergi. Dikatakan pula bahwa pihak keluarga (perwakilan keluarga) akan mengantar Ahmad Khatib dan gurunya hingga ke kapal.

Setelah Ahmad Khatib naik ke kapal, bapaknya menyesal mengizinkannya pergi, sehingga sang bapak memintanya agar pulang kembali. Namun, Ahmad Khatib tidak memenuhi permintaan ayahnya. Dia mengatakan kepada utusan ayahnya bahwa tiket sudah dibeli dan barang-barang sudah naik ke kapal. Untuk mengobati hati ibunya yang juga tidak mengikhlaskan kepergiannya, Ahmad Khatib menulis surat agar merelakan dia pergi dan memaafkan segala kesalahannya, serta dia memohon agar ibunya memperbanyak sabar. Sang ayah dan ibu merelakan kepergiannya serta mengiringi kepergian tersebut dengan doa (Ahmad Khatib 2016: 57-59).

Seperti disebut sebelumnya, sesungguhnya masih ada beberapa catatan lain mengenai kepergian orang Minangkabau, baik pergi menuntut ilmu atau pergi menunaikan ibadah haji. Namun, dari beberapa catatan lain itu, hampir tidak ada informasi mengenai pengalaman pada saat menjelang keberangkatan secara umum serta “ritual” atau “tradisi” tertentu yang dilakukan pada saat keberangkatan secara khusus. Padahal, bisa dikatakan, ada pesan dan makna dari “ritual” atau “tradisi” melepas orang anak atau kerabat pergi berjalan tersebut.

Sebagai Ganti Kesimpulan: Makna Budaya Melepas Orang Pergi

Pergi merantau, dalam artian meninggalkan rumah atau kampung halaman untuk menuntut ilmu pengetahuan atau keuntungan ekonomi, adalah bagian dari kehidupan orang Minangkabau. Bahkan, mengacu kepada ungkapan adat yang lazim dikenal Urang Awak, pergi meninggalkan kampung ini nampaknya wajib (terutama bagi orang muda). Ungkapan adat yang dimaksud berbunyi:

Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun

Marantau bujang dahulu

Di rumah baguno balun

Dari ungkapan ini tersirat makna bahwa pergi meninggalkan kampung (bagi orang muda) bukanlah pergi sembarang pergi. Kepergian itu adalah untuk mencari sesuatu, sesuatu yang membuat diri yang pergi (pemuda tersebut) berguna. KBBI mengartikan bahwa “berguna” mengandung makna “berfaedah, bermanfaat, mendatangkan kebaikan (keuntungan)” (KBBI 2001: 375). 

Di masa lampau, beberapa tokoh adat dan penulis menyebut bahwa pergi untuk mencari sesuatu yang berguna dinamakan juga “pergi siang” (Kurnia Imran nd.: 14). Artinya kepergian tersebut dilakukan ada izin dan sepengetahuan orang tua, kaum kerabat handai dan tolan. Dikatakan juga, bahwa kepergian seperti ini juga diiringi oleh pemberian bekal, baik bekal materi dan juga bekal bathin. Bekal materi berupa uang untuk biaya perjalanan dan belanja hidup atau bekal makanan untuk pengganjal perut bila lapar. Sedangkan bekal bathin umumnya berbentuk nasihat dan petuah agar hati-hati hidup di rantau. Tidak jarang juga bekal bathin ini berupa “kepandaian” bathin untuk membentengi diri dari hal-hal atau kejadian-kejadian yang tidak diingini.

Kaba, historiografi tradisional Minangkabau, juga banyak berkisah tentang “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi. Sesuatu yang menarik dari kaba adalah “ritual” dan “radisi” malapeh orang pergi berjalan itu hampir selalu diisi dengan pemberian nasihat dan petuah. Salah satu contoh yang paling menarik adalah apa yang disajikan dalam kaba Cindua Mato. Ada dua informasi mengenai saat-saat melepas orang pergi dalam kaba tersebut. Momen pertama saat Dang Tuanku dan Cindua Mato akan pergi menjelang Datuak Bandaro Sungaitarab yang tengah memacah galanggang (mengadakan keramaian dan hiburan) untuk mencarikan jodoh buat anak gadisnya yang bernama Puti Lenggogeni, dan kedua saat Cindua Mato akan pergi menghantar ‘tanda putih hati’ kepada Tuanku Rajo Mudo, ayah Puti Bungsu di Ranah Sikalawi.

Dikatakan bahwa Cindua Mato pergi Ke Sungai Tarab mendampingi Dang Tuanku sebagai wakil kerajaan. Mereka juga diiringi oleh Medan Labiah sebagai dubalang serta Barakaik, Baruliah, dan Tambahi sebagai pendamping. Kepergian mereka dilepas oleh Bundo Kanduang, Kambang Bandohari serta sejumlah dayang istana. Sebelum pergi Bundo Kanduang memberi sejumlah nasihat dan pesan, terutama kepada Cindua Mato, Medan Labiah dan Barakaik, Baruliah, dan Tambahi. Banyak nasihat yang disampaikan. Nasihat dan pesan sesuai dengan posisi dan kedudukan mereka masing-masing. Nasihat dan pesan yang bila diamalkan akan selamat dalam perjalanan (Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung 2015: 18). Selanjutnya juga dikisahkan bahwa Dang Tuanku, Cindua Mato dan rombongan dilepas pergi secara resmi oleh Bundo Kanduang dan penghuni istana. Mereka dilepas pergi dengan ikhlas. Mereka yang akan pergi juga meminta izin dan minta dilepas dengan tulus serta ikhlas (Hikayat….2015: 19).

Pada bagian lain, dikisahkan kepergian Cindua mato ke Ranah Sikalwi (Tanjuang Sungai Ngiang). Cindua Mato pergi sendiri dan kepergiannya dilepas oleh banyak orang. Dia dilepas oleh Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Basa Ampek Balai, seluruh pemuka dan petinggi negeri, serta hampir seluaruh rakyat. Dia dilepas dengan “upacara kerajaan” dan diringi dengan doa baik-baik agar selamat di perjalanan. Juga dilepas dengan sejumlah pesan dan nasihat serta petuah. Selanjutnya dia diberi bekal materi, mulai dari bekal makanan hingga emas. (Hikayat…..2015: 71-75).

“Ritual” dan “tradisi” melepas orang pergi seperti yang tertuang dalam kaba Cindua Mato juga ditemukan dalam hampir semua kaba. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku di tengah masyarakat Minang tempo dulu. Kurnia Imran menyebut bahwa gejala yang sama juga dipraktikkan orang Minang pada dekade 1920-an hingga 1950-an (Kurnia Imran n.d). Kurnia Imran mengungkapkan kisah kakek dan ayah serta eteknya saat dilepas pergi oleh keluarga mereka di kampung saat mereka ingin melanjutkan pendidikan ke Bukitinggi dan juga ke Betawi. Mereka ditunjukajari, diberi petuah dan nasihat oleh orang tua, mamak, serta kaum kerabat. Mereka diminta agar pandai-pandai hidup di rantau, pandai-pandai dalam bergaul, cari kawan, jangan sekali-kali mencari lawan, jangan boros, harus pandai menjaga keuangan, rajin belajar, ingat Tuhan, adalah sebagian pesan yang disampaikan kepada mereka (Kurnia n.d.: 40-48.

Kurnia juga menceritakan bagaimana kisah kakek dan ayahnya sewaktu akan pergi Mekkah. Ada “kenduri” dan doa dari orang Siak saat melepas mereka pergi. Kepergian mereka juga diantar banyak orang (keluarga) hingga Teluk Bayur. Saat kakek dan ayahnya pergi, keluarga yang tinggal pada bertangisan, seakan-akan yang pergi tidak akan kembali lagi, seakan-akan mereka tidak akan saling bertemu lagi. Namun ada juga yang menarik, banyak keluarga yang hadir saat “kenduri” melepas pergi mintak didoakan di Mekkah agar suatu saat mereka juga bisa menunaikan ibadah haji (Kurnia nd. 56-59).

Pergi secara berkerilaan (saling maaf-memaafkan), dipercayai sebagai kunci sukses orang-orang yang dilepas pergi. Bagi yang pergi untuk menuntut ilmu maka kesuksesan yang mereka peroleh ditandai dengan keberhasilan menyelesaikan pendidikan dan menikmati buah pendidikan yang diraih. Kesuksesan mereka juga ditandai dengan perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik. Muncul dan tampilnya karakter orang terdidik dan terpelajar dari perilaku dan sikap kesehariannya. Kesuksesan yang diraih oleh orang yang pergi haji ditandai dengan berkahnya dan mabrurnya ibadah yang ditunaikan, berubahkan sikap dan perilaku setelah pulang dari Mekkah. Kesuksesan itu ditandai dengan semakin dekan dengan Tuhan dan semakin akrab dengan sesama manusia (Wawancara dengan sejumlah narasumber Juni 2019).

Sebaliknya, orang yang pergi tanpa dilepas ‘bagai melepas ayam pagi hari’, atau hanya dibekali dengan bekal materi semata, dipercayai cenderung gagal di perantauan.

Jangan-jangan banyak lepasan perguruan tinggi yang berperilaku bagaikan orang tidak terdidik atau banyak orang yang pulang menunaikan haji masih bersikap bagaikan orang jahiliyah akhir-akhir ini, seperti yang disajikan  pada ilustrasi di awal tulisan ini, disebabkan oleh karena kepergian mereka bagaikan melepas ayam di pagi hari saja, pergi tanpa petuah, pesan dan doa. Wallahu’alam bissawab.

Daftar Kepustakaan

Bahder Djohan: Pengabdi Kemanusiaan. Jakarta: Gunung Agung, 1980.

“De Masdjid’s en Inlandsche Godsdienstscholen in de Padangsche Bovenlanden” dalam Indische Gids, 10, I, 1888, hal. 340-61.

Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (M. Yusuf Penyunting). Padang: Fak. Ilmu Budaya, 2015.

Irfan Hamka. Ayah, Kisah Buya Hamka. Jakarta: Penerbit Republika, 2011.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Kurnia Imran, Kisah Perjalanan Tiga Anak Manusia (Naskah tidak diterbitkan).

Mohammad Hatta, Untuk Negriku. Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Sebuah Otobiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011.

Muhammad Radjab, Semasa Ketjil Di Kampung (1913-1928): Autobiografi Seorang Anak Minangkabau. Djakarta: Balai Pustaka, 1950.

Pistorus, A.W.P. Verkerk, Studien over de Inlandsche Huishouding in de Padangsche  Bovenlanden. Zalt-Bommel: Joh. Noman & Zoon., 1871.

Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah (Transliterasi Promono) (Tidak diterbitkan).

Syekh Ahmad Khatib, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam “Otobiografi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui (1860-1916 M). (Z. Malin Mudo dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Gre Publishing, 2016.

Wawancara Eri Rahmawati, 9 Juni 2019.

Wawancara dengan Irfandi Burhan, 6 Juni 2019.

Ditulis oleh Gusti Asnan