Month: June 2021

Para Pengkhianat Pada Masa Perang Padri

Apakah Puan dan Tuan menganggap bahwa kaum Padri semuanya adalah orang-orang yang setia dan istiqamah berperang untuk mewujudkan cita-cita mereka? Kalau jawaban Puan dan Tuan ‘ya’, maka jawaban Puan dan Tuan itu salah. Banyak tokoh Padri yang juga menjadi pengkhianat. Di sisi lain, kalau Puan dan Tuan menganggap bahwa kolonialis Belanda berperang dengan sungguh-sungguh demi mencapai ambisi dan birahi kekuasannnya, maka Puan dan Tuan benar. Sebagai kolonialis, demi mencapai tujuannya Belanda menghalalkan segala macam cara. Berkata bohong, mengingkari janji yang telah dibuat, dan mengkhianati kawan yang sebelumnya mendukung mereka adalah hal yang sangat lumrah bagi Belanda. Semua itu tidak dilakukannya sekali saja, tetapi berkali-kali.

Berdasarkan realitas sejarah tersebut, di samping diisi oleh berbagai peristiwa yang menampilkan keharmonisan dan kerja sama yang erat, Perang Padri sesungguhnya juga sarat dengan aksi-aksi munafik dari para pengkhianat, dan itu dilakukan oleh pihak Padri dan juga Belanda.

Keberadaan dan pengalaman para pengkhianat pada masa Perang Padri relatif belum diungkapkan selama ini. Kalaupun ada beberapa tulisan yang menyajikannya, maka sajiannya relatif terbatas dan bersifat desriptif naratif saja. Padahal, tidak diragukan lagi, aksi-aksi para pengkhianat itu sangat besar artinya, bahkan bisa dikatakan, aksi-aksi mereka itu mampu mengubah jalannya jalan sejarah. Di samping itu, aksi-aksi tersebut sangat kompleks sifatnya. Aksi-aksi itu tidak bisa dilihat sebagai aksi personal dari si pengkhianat semata, tetapi juga sarat dengan aspek dan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan tentu saja politik daerah yang melingkupi sang pengkhianat secara keseluruhan.

Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan dinamika sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri dari perspektif yang relatif berbeda dari yang dikemukakan sebelum ini. Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Siapa para pengkhianat tersebut? Siapa yang mereka khianati? Bagaimana aksi pengkhianatan yang mereka lakukan? Mengapa mereka berkianat? Sejauh mana pengkhianatan tersebut memberi dampak terhadap kelompok yang dikhianati atau menguntungkan pihak lawan?

II

Secara umum, pengkhianat diartikan sebagai seseorang yang tidak setia kepada kawan, kelompok, dan bangsa. Namun, kadang-kadang, defenisi kata pengkhianat itu ditambah juga dengan pernyataan “…, serta mengalihkan kesetiaan dan dukungannya kepada kelompok lain yang sebelumnya dianggap sebagai musuh”.

Karena melibatkan kaum Paderi dan Belanda maka ada dua kelompok pengkhianat pada masa Perang Padri: pertama, pengkhianat dari kelompok Padri dan kedua pengkhianat dari kelompok Belanda.

Pengkhianat dari kalangan Padri adalah Urang Awak. Pengkhianat dari kalangan Belanda lebih beragam bangsa  dan etnisnya. Pertama tentu saja orang Belanda itu sendiri, kedua orang Minang yang bekerja sama dengan Belanda, dan ketiga, orang-orang dari suku bangsa lain yang menjadi bagian dari hulptroepen (tentang bantuan Belanda).

Bila dicermati dengan saksama, maka para pengkhianat dari kalangan Padri bisa dibagi menjadi tiga kelompok utama:

Pertama, tokoh Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah para petinggi Padri yang berasal dari kalangan ulama (tuanku), memiliki ideologi Padri dan memperjuangkan implementasi ideologi tersebut, telah terlibat dalam perjuangan menggasak kaum non-Padri serta Belanda dalam waktu yang lama (sejak awal gerakan), bahkan memiliki peran yang penting (seperti panglima perang) dalam berbagai aksi fisik kaum Padri. Mereka tinggal di pusat-pusat pemukiman dan aksi Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah Tuanku Mudo, tangan kanan dan panglima perang Tuanku Imam Bonjol (Bonjol) dan Intan Bekati, Tuanku Halaban (Halaban), Tuanku Alam dan sejumlah tuanku lainnya.

Kedua, pendukung Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai peran penting dalam memberikan ‘support’ pada perjuangan atau aksi Padri. Peran mereka umumnya pemberi dukungan logistik dan material. Dengan kata lain mereka kurang atau tidak terlibat secara langsung dalam aksi fisik (militer) melawan Belanda. Kelompok pendukung Padri ini umumnya terdiri dari para saudagar (saudagar Padri). Mereka tidak berdomisili dan tidak tinggal di pusat pemukiman kaum Padri, melainkan tinggal di kawasan ‘pinggiran’, di mana mereka lebih leluasa beraktivitas (berniaga), serta lebih leluasa menjalin hubungan dan kontak dagang dengan dunia luar. Kalau pun mereka bergabung dengan dan mendatangi pusat pemukiman kaum Padri, maka itu dalam waktu yang sebentar atau bukan untuk alasan berjuang secara fisik bersama kaum Padri. Misalnya karena alasan untuk menyelamatkan diri (dalam waktu yang singkat) dari serangan musuh. Bila keadaan telah aman, mereka akan kembali ke tempat mereka beraktivitas. Dua dari sekian banyak wakil pendukung Padri ini adalah Peto Magek dan Tuanku Nan Cerdik.

Ketiga, pengikut Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah kaum ulama, namun bukan pengikut fanatik paham Padri, mereka bahkan mengkritisi ajaran Padri. Sayangnya, demi alasan keselamatan diri, mereka tidak secara terang-terangan menampilkan sikap kritis tersebut. Bisa dikatakan mereka adalah pembaharu (kaum Muda) di kalangan Padri. Banyak dari mereka termasuk ‘ulama modern’, dalam artian memiliki pemahaman akan ajaran Islam yang relatif berbeda dengan tokoh Padri ‘konvensional’, yang menerima ajaran Padri sebagai disampaikan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19. Kelompok pengikut Padri ini umumnya bergelar haji, karena mereka telah menunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima. Mereka telah mendapat pemahaman akan ajaran Islam langsung dari ‘sumbernya’ di Mekkah dan Medinah pada kurun waktu yang berbeda pemahaman Islam dan semangat zamannya dari era Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Dua dari sekian banyak pengikut Padri ini adalah Haji Ibrahim dan Tuanku Haji Nan Garang.

Pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul sejak awal tahun 1830-an. Ini berarti sekitar 10 tahun sejak perang berkecamuk atau tiga 30 tahun sejak paham (ideologi) Padri mulai diperkenalkan.

Bila dilihat dari perspektif durasi perang, para pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul pada periode mulai ‘lelahnya’ pihak yang berperang. Setelah berperang sekitar 10 tahun kelelahan mulai hadir di kalangan Padri. Mereka lelah karena banyak energi yang terkuras, cadangan makanan mulai berkurang, senjata dan amunisi yang semakin sedikit, kawan seperjuangan banyak yang meninggal,  dan ‘akhir’ perang masih belum jelas. Dalam suasana seperti ini, bagi yang lemah fisik atau lemah ‘iman’, meninggalkan perang atau menyeberang ke kelompok lawan yang dirasa akan menang adalah jalan terbaik. Di sinilah lahirnya pengkhianat di kalangan Padri.

Bila dilihat dari perspektif ideologi, para pengkhianat umumnya muncul pada saat perlu diadakannya evaluasi terhadap sebuah faham. Evaluasi terhadap sebuah ideologi atau faham cenderung dilakukan setelah 25 s.d. 30 tahun sejak ideologi atau faham tersebut diperkenalkan. Evaluasi terhadap paham itu sering diikuti oleh adanya diskursus intelektual di kalangan penganut ideologi atau bahkan kegaduhan pisik sebagai kelanjutan dari perdebatan pemikiran itu. Lahirnya pengkhianat adalah juga bagian dari proses evaluasi itu. Mereka hadir karena harapan atau janji eskatologis dari ideolgi yang dianut tidak juga terwujud.

Bila dilihat dari jarak waktu, maka bisa dikatakan bahwa munculnya para pengkhianat di kalangan Padri cocok dengan uraian di atas, yakni sekitar 25-30 tahun sejak ajaran Padri pertama kali diperkenalkan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19.

Evaluasi terhadap ajaran Padri diawali oleh Tuanku Imam Bonjol. Seperti dinyatakan dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjollah yang menyampaikan gagasan untuk mengevaluasi paham yang mereka amalkan selama ini. Gagasan Tuanku Imam disetujui oleh tokoh-tokoh utama Padri, seperti Tuanku Mudo, Tuanku Kadi Besar, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Proses evaluasi dilakukan dengan mengirim anak-kemenakan mereka ke Mekkah ‘untuk mencari hukum kitabullah nan adil’. Sekembali dari Mekkah (1829/1830), anak-kemenakan mereka tersebut mengatakan bahwa aksi-aksi kekerasan dalam menyebarkan (dakwah) Islam tidak diamalkan lagi di Tanah Suci. Sejak itulah terjadi perubahan yang besar dalam aksi dan dakwah kaum Padri.

Segera setelah itu, Tuanku Imam Bonjol melarang aksi-aksi kekerasan dalam dakwah. Dia menegaskan agar barang-barang rampasan harus dikembalikan, penjagaan dan keamaman nagari (berhadapan dengan Belanda) diserahkan kepada para basa, penghulu dan raja. Selanjutnya Tuanku Imam mengatakan dia ‘tinggal dituahnya saja’, akan fokus pada soal agama (di surau).

Catatan sejarah menyajikan, selepas pernyataan Tuanku Imam itulah sesungguhnya muncul para pengkhianat di kalangan Padri. Jadi pengkhianat muncul etelah evaluasi ideologi diadakan.

Di samping faktor internal, munculnya para pengkhianat di kalangan Padri juga disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor luar yang dimaksud adalah semakin intensifnya serangan Belanda. Sejak usainya perlawanan Pangeran Diponegoro (1830), Belanda memokuskan upayanya untuk mengakhiri perlawanan kaum Padri. Jumlah tentara yang diterjunkan ke medan tempur Sumatra Barat semakin banyak, dan komandan tempur yang dikirim ke Sumatra Barat saat itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk ‘memenangkan perang’.

Intensifnya serangan Belanda membuat sebagian kaum Padri mulai berpaling dan kemudian mengkhianati kawan seperjuangannya.

Pengkhianatan pertama dikalangan Padri dilakukan oleh tokoh Padri (ulama konvensional). Tidak tanggung-tanggung pengkhianat pertama itu adalah Tuanku Mudo, panglima perang Padri dan tangan kanan Tuanku Imam Bonjol. Pengkhianatannya diwujudkan dengan menjadi kaki tangan Belanda (diangkat menjadi Regen Bonjol). Segera setelah menjadi kaki tangan Belanda, Tuanku Mudo membuktikan kepatuhannya pada ‘tuannya’ yang baru, yakni dengan menyerang Sundatar dan Rao. Sundatar dan Rao sebelumnya adalah basis Padri dan pendukung utama Padri. Di samping itu Tuanku Mudo juga membiarkan Belanda menduduki Bonjol dan mengizinkan sejumlah aksi Belanda di wilayahnya.

Tokoh Padri berikutnya yang menjadi pengkhianat adalah Tuanku Halaban (diangkat menjadi Regen Halaban). Sama dengan Tuanku Mudo, segera setelah menjadi kaki tangan Belanda Regen Halaban ini aktif memerangi kaum Padri Limaupuluh Kota dan juga di kawasan Agam dan Tanah Datar.

Sebagai pejabat bumiputra (Inlandsche Hoofden) setingkat Regen mereka digaji f.250,- per bulan.

Hampir bersamaan waktunya dengan pengkhianatan Tuanku Mudo dan Tuanku Halaban, juga terjadi pengkhianatan di kalangan pendukung Padri (saudagar). Sosok pendukung Padri yang pertama berkhianat adalah Peto Magek. Peto Magek adalah seorang pedagang besar (Padri) yang berdomisili di Katiagan. Katiagan adalah sebuah nagari yang terletak di kawasan pantai Pasaman, di utara Padang. Hingga awal tahun 1930-an kekuasaan Belanda belum begitu utuh di sana. Peto magek aktif berdagang dengan saudagar Aceh yang saat itu masih leluasa mendatangi kawasan pesisir di utara Sumatra Barat. Peto Magek menjual berbagai komoditas niaga yang dihasilkan daerah pedalaman kepada saudagar Aceh yang datang ke daerahnya serta menjadi pembeli barang-barang dagang yang dimasukkan saudagar Aceh ke daerahnya, dan kemudian mengirimnya ke daerah pedalaman (Bonjol, Lubuk Sikaping dan Rao), ke daerah Padri.

Kegiatannya ini sangat membantu kaum Padri, namun pada saat yang bersamaan membuat Belanda marah besar. Belanda marah, karena Peto Magek membantu kaum Padri dan merugikan Belanda (seretnya aktivitas niaga Belanda).

Belanda menyerang Peto Magek dan perkampungan pusat niaganya. Sang saudagar Padri tersebut kalah dan melarikan diri ke kawasan Padri. Namun beberapa waktu kemudian Peto Magek sudah bergabung dengan Belanda. Di samping adanya peran iparnya yang mengajaknya untuk meninggalkan Padri, ‘darah dagang yang mengalir dalam tubuhnya’ dikatakan sebagai salah satu alasan dia memilih bergabung dengan Belanda. Bergabung dengan Belanda memberi kesempatan kepada untuk tetap aktif dan mendapat perlindungan dari penguasa dalam dunia niaga. Setelah bergabung dengan Belanda, Peto Magek sering membantu Belanda saat kolonialis itu terdesak oleh kaum Padri.

Satu lagi pendukung Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda adalah Tuanku Nan Cerdik. Tuanku Nan Cerdik adalah juga seorang saudagar besar yang aktif berniaga di kawasan sebelah utara Pariaman. Sama dengan Katiagan, hingga saat itu, kekuasaan Belanda belum begitu utuh di kawasan tersebut, sehingga memungkinkan dia dan saudagar asing aktif berdagang di sana. Kampung halamannya adalah Naras. Di nagari itulah Tuanku Nan Cerdik aktif berdagang, memasukkan berbagai barang dagang dari luar untuk selanjutnya diperdagangtkan pula di daerah pedalaman dan memperdagangkan berbagai barang dagangan yang dibawa dari darek dengan saudagar asing.

Aktivitas dagangnya ini membuat Belanda marah. Kegiatannya jelas membantu Padri dan merugikan Belanda.

Di samping aktif berniaga, konflik internal tingkat nagari atau rivalitas dengan tokoh lain di nagarinya yang mendukung Belanda juga membuat Tuanku Nan Cerdik dibenci Belanda. Faktor-faktor itulah yang akhirnya membuat Belanda menyerangnya.

Tidak mudah menaklukan Tuanku nan Cerdik. Sang Tuanku memberikan perlawanan yang gigih dan memakai taktik perlawanan yang jitu (bahkan sempat pula bergabung dengan kekuatan Padri di Bonjol). Namun akhirnya Tuanku Nan Cerdik takluk dan menerah kepada Belanda. Oleh Belanda dia tidak dihukum atau dipenjara, bahkan ‘diapresiasi’ sehingga membuatnya mendukung Belanda. Setelah bergabung dengan Belanda dia kemudian dianugerahi beberapa fasilitas, termasuk diberi gelar ‘Raja Bicara’ dan gaji f.100 per bulan.

Sebagai pendukung Belanda, Tuanku Nan Cerdik banyak membantu ‘tuannya’. Dari dia Belanda mendapat banyak keterangan tentang Bonjol dan kekuatan serta kelamahan Padri. Berkat bantuannyalah berbagai operasi Belanda di kawasan Pariaman utara, Tiku, hingga Agam barat laut, dan tentu saja Bonjol lebih mudah dilakukan.

Sayangnya, seperti yang akan dibicarakan nanti, dia kemudian dikhianati pula oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik adalah salah satu contoh pengkhianat yang kena khianat dalam sejarah Perang Padri.

Sesungguhnya pengkhianat dari kelompok pengikut Padri (ulama muda atau haji) telah muncul beberapa waktu sebelum tampilnya pengkhianat dari kalangan tokoh (ulama konvensional) dan pendukung Padri (saudagar). Namun karena ‘greget’ dari pengkhianatan mereka tidak kuat maka pengkhianatan mereka itu kurang nampak. Pengkhianatan dari kelompok pendukung Padri muncul lebih awal dari atau pada saat bersamaan dengan kembalinya anak-kemenakan tokoh Padri dari Mekkah. Hal ini disebabkan oleh karena mereka adalah juga orang-orang yang juga pergi ke Mekkah dan mendapat kesan tentang ‘damainya’ Islam di Tanah Suci (seperti yang didapat anak-kemenakan tokoh Padri).

Pengkhianatan pengikut Padri adalah pengkianatan kaum cendekiawan. Mereka adalah para haji yang mendapat pengetahuan keislaman dari sumbernya di Tanah Suci. Pengkhianatan mereka dilakukan dengan cara menjauh atau tidak mendukung dari aksi-aksi kekerasan tokoh Padri. Sikap ini terutama dilakukan secara personal, namun juga disampaikan kepada kawan dan sahabat yang sejalan dengan ide mereka. Walau pun tidak menyebut jumlah, Kielstra mengatakan pengaruh pengkhianatan pengikut Padri ini cukup besar dan pendukungnya cukup banyak. Pengkhianatan mereka juga diwujudkan melalui aksi berhubungan dengan pejabat Belanda. Mereka berkorespondesi dengan Mac Gilavry, Resident van Padang en Onderhoorigheden. Gilavry memuji-muji sikap dan pemahaman mereka (yang moderat) terhadap Islam. Mereka merespon pujian dan tawaran kerja sama yang dikemukakan Gilavry dengan jalan meminta dukungan finansial. Permohonan yang tidak dipenuhi Gilavry, namun ideologis, Belanda telah menang, karena berhasil menjaga kaum muda dan para haji muda itu tetap berjarak dari tokoh Padri. Pengkhianatan kaum intelektual umumnya buka melalui aksi fisik.

Gilavry bisa dikatakan sebagai tokoh Belanda yang pertama yang berhasil menggiring kaum muda (haji) menjadi pengkhianat. Korespondensi yang dilakukan dan puji-pujian yang disampaikan serta ajakan untuk ‘bekerja sama’ adalah sebagian dari mantra yang disampaikan Gilavry dalam upaya menarik pengikut Padri menjadi pengkhianat.

Di samping Gilavry, tokoh Belanda yang paling berhasil menghadirkan pengkhianat Padri adalah Elout. Eloutlah yang menjinakkan Tuanku Mudo, Tuanku Halaban, Peto Magek, Tuanku Nan Cerdik dan banyak lagi tuanku-tuanku Padri lainnya. Eloutlah yang menjadikan mereka pendukung Belanda dan kemudian mengajak mereka memerangi kaum Padri. Iming-iming jabatan (sebagai Regen, Tuanku Laras), gelar, tidak menyebut-nyebut atau mengungkit-ngungkit ‘dosa’ mereka terhadap Belanda di masa lalu, serta gaji yang besar adalah bagian dari strategi yang dijalankan Elout untuk membuat tokoh-tokoh kunci kaum Padri mengkhianati kawan dan perjuangannya.

Pengkhianatan orang-orang hebat Padri dalam jumlah yang cukup banyak tidak serta-merta berdampak negatif pada perlawanan kaum Padri menentang Belanda. Bahkan pada saat yang bersamaan dengan terjadinya pengkhianatan massal tokoh kunci Padri tersebut terjadi perlawanan serentak orang Minang terhadap Belanda (awal 1833). Dan dalam kenyataannya, dibutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat atau lima tahun lagi, oleh Belanda sehingga kolonialis itu mampu mengalahkan Padri (merebut Bonjol dan menawan Tuanku Imam). Dengan kata lain, pengkhianatan yang dilakukan oleh para panglima atau tokoh Padri relatif tidak banyak artinya bagi perlawanan kaum Padri. Kenyataan ini pulalah yang kemudian menyebabkan Belanda mengkhianati pula tokoh-tokoh Padri yang berkhianat tersebut.

III

Para pengkhianat pada kelompok Belanda terdiri dari orang Belanda, orang-orang Minang pendukung Belanda, dan tentara non-Minang (Hulptroepen). Pengkhianat dari kalangan Belanda adalah para pejabat sipil dan militer setingkat residen dan gubernur. Stuers, Elout dan Micheals adalah tiga pejabat yang bisa dikatakan sebagai ‘bapak’ pengkhianat Belanda dalam sejarah Perang Padri. Melihat dari kurun waktu kekuasaan mereka, maka bisa dikatakan bahwa pengkhianatan dilakukan sekitar empat atau lima tahun setelah Belanda terlibat dalam Perang Padri dan tetap berlanjut hingga akhir perang secara keseluruhan. Bahkan, bila dikaitkan dengan keberadaan pemerintahan Belanda di Sumatra Barat, maka pengkhianatan itu tetap dilakukan hingga beberapa dasawarsa setelah Perang Padri usai.

H.J.J.L. de Stuers, C.P.J. Elout, dan A.V. Michiels

Bila dibandingkan dari kesemua tokoh tersebut, maka Elout adalah pengkhianat tulen, bapaknya dari ‘bapak’ pengkhianat Belanda. Dialah yang paling banyak mengkhianati ‘kawannya’.

Ada tiga aksi pengkhianatan yang mereka lakukan. Pertama, mengkhianati orang-orang yang mendukung mereka sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Kedua, mengkhianati tokoh pengkhianat Padri atau mengkhianati orang Padri yang mendukung Belanda ketika perang telah berkecamuk. Ketiga, mengkhianati tokoh-tokoh Padri (orang Padri secara keseluruhan), dengan siapa mereka membuat berbagai perjanjian damai.

Pengkhianat pertama adalah Stuers dan dia mengkhianati orang Minang yang mendukung Belanda sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Pengkhianatan yang dilakukan adalah menurunkan jabatan Sutan Alam Bagagar Syah dari Hoofderegent van Minangkabau menjadi Regent van Minangkabau saja. Stuers juga meniadakan lagi Kerajaan Minangkabau dan raja Minangkabau, karena keberadaan dan posisinya telah digantikan oleh Hoofdafdeeling van Minangkabau serta Hoofdregent van Minangkabau. Mengaktualkan kembali Kerajaan dan Raja Minangkabau adalah salah satu yang dijanjikan sewaktu Belanda saat pertama mereka menjalin kerja sama dengan keluarga kerajaan.

Pengkhianatan Stuers terhadap Bagagar Syah dilakukan karena Belanda sudah ‘di atas angin’, bantuan Bagagar Syah tidak diperlukan lagi, dan Bagagar Syah sudah sangat tergantung padanya. Bagagar Syah diberi gaji yang besar dan keluarga kerajaan (Muning Syah serta Tuan Gadis diberi uang pensiun).

Seperti disebu di atas, Elout mengkhianati banyak ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah, Tuanku Nan Cerdik, Raja Buo, Tuanku Alam adalah beberapa ‘kawannya’ yang dikhianati. Berbeda dengan Stuers, pengkhiatanatan Elout betul-betul sadis. Tidak saja diturunkan dari jabatan, Elout bahkan memenjarakan (mengasingkan) ‘kawan-kawannya’ dan bahkan tega membunuh ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik dipenjarakan (diasingkan) ke Batavia dan Tuanku Alam dan Raja Buo dibunuh.

Pengkhianatan Elout betul-betul licik. Dia menuduh kawan-kawannya (khususnya Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik) mengkhianati Belanda, sebuah tuduhan yang kemudian tidak terbukti. Artinya, Elout hanya ingin menyingkirkan mereka. Mereka disingkirkan karena peran dan arti mereka relatif tidak ada bagi kampanye militer Belanda dan ekspansi politik/administratif kolonial di Sumatra Barat.

Seorang lagi ‘kawan’ yang dikhianati Elout adalah Sentot Ali Basya. Sentot, panglima perang Pangeran Diponegoro didatangkan dengan ratusan anak buahnya ke Sumatra Barat untuk memerangi kaum Padri. Namun kemudian dia dituduh berkhianat oleh Elout. Dia dituduh menjalin hubungan erat dengan orang Minang dan ingin mendepak Belanda dalam upaya menjadikan dirinya sebagai raja di Minangkabau. Elout melupakan jasa-jasa Sentot dan mengasingkannya ke Bengkulu.

Micheals adalah Gubernur Sipil dan Militer pertama Gouvernement van Sumatra’s Westkust yang dibentuk tahun 1837. Dia mempunyai tugas menuntaskan perlawanan Padri dan anasir-anasir yang mengganggu ketertiban dan keamanan (rust en orde) daerah. Karena itu dia melibas sebuah orang dan kelompok masyarakat yang dirasa mengganggu misi yang diembannya. Dalam kaitan dengan inilah dia mengkhianati Regen Batipuh yang sejak waktu yang lama sangat setia mendukung Belanda memerangi Padri. Sebagaimana banyak dikemukan oleh banyak penulis, atas jasa-jasanya Regen Batipuh yang mendapat banyak fasilitas dari Belanda, mulai dari gaji yang sangat besar (f.500,-), berbagai bintang dan penghargaan, hak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya, ide dan sarannya yang umumnya diiyakan pejabat Belanda, dan banyak kemudahan lainnya.

Seusai Perang Padri sang regen meminta fasilitas yang lebih lagi, salah satu di antaranya keinginan untuk menjadi Raja Minangkabau, sebuah posisi yang telah diidamkannya sejak masa sebelum Padri dikalahkan. Belanda tidak penah mau mengabulkan permintaannya ini. Akumulasi dari berbagai tuntunannya yang tidak dipenuhi oleh Belanda itulah akhirnya sang regen memberontak. Micheals bersikap tegas terhadapnya. Setelah berperang dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Regen Batipuh berhasil dikalahkan. Dia ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Keponakannya dan 60 orang pengikutnya yang lain juga ditangkap.

Sama dengan Elout, bila mengganggu kekuasaannya, Micheals melupakan jasa besar yang pernah diberikan ‘kawannya’.

Pengkhiatan terhadap tokoh (orang Minang secara keseluruahan) yang pernah membuat perjanjian damai dengan Belanda sesungguhnya telah dilakukan oleh Stuers. Ada banyak perjanjian yang dibuat Belanda dengan kaum Padri, hampir semua isi perjanjian itu dikhiatani. Dua dari sekian banyak perjanjian yag sangat nyata dikhianati adalah Perjanjian Masang dan Perjanjian Tuanku Keramat (dan Tuanku Saleh, Tuanku Di Bawah Tabing dan Datuk Ujung) dengan Stuers. Perjanjian-perjanjian yang salah satu isinya adalah saling tidak menyerang selalu dikhianati oleh Belanda. Isi perjanjian dengan segera dikhianati bila mereka merasa kuat dan Padri lemah.

Kolonialis Belanda memang dikenal sebagai bangsa yang paling suka membuat perjanjian dan sekaligus paling suka mengkhianati janji. Dalam konteks mengkhianati janji, kolonialis Belanda adalah juaranya.

IV

Pengkhianat dari kalangan tentara non-Minang (Hulptroepen) umumnya terdiri dari pasukan yang berasal dari suku Jawa dan Madura. Mereka mengkhianati Belanda (tuan besarnya). Mereka berkhianat kepada Belanda dan kemudian bersimpati atau bergabung dengan kaum Padri. Para pengkhianat dari kelompok ini umumnya ‘orang kecil’, dari kalangan ‘prajurit’.

Pengkhianatan mereka terhadap Belanda memberi arti yang besar bagi kaum Padri. Jumlah pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura ini tidak diketahui dengan pasti, tapi dari data-data yang disajikan Kielstra, jumlah anggota Hulptroepen yang desersi berkisar 5 s.d. 10 orang dalam setiap tahun laporan. Tuanku Imam Bonjol juga mengatakan bahwa beberapa orang Jawa (tentara Jawa) memberikan banyak informasi dan bantuan terhadapnya (kaum Padri). Tuanku Tambusai bahkan pernah mengatakan bahwa belasan tentara Jawa bergabung dengan pasukannya.

Kesamaan agama adalah latar belakang utama mau bergabungnya ‘tentara Madura’ dan ‘tentara Jawa’ dengan kaum Padri. Kielstra dan Lange mengatakan bahwa  Tuanku Tambusai menyebut-nyebut kesamaan agama mereka kepada tentara Madura dan Jawa saat mengajak mereka bergabung dengannya (dan meninggalkan Belanda). Penulis-penulis Belanda juga sering mengatakan bahwa kesamaan agama membuat tentara Madura dan Jawa merasa dekat dengan kaum Padri.

Pengkhianatan kalangan prajurit Madura dan Jawa ini diganjar dengan pemecatan dari kesatuan Hulptroepen. Dalam catatan dan buku-buku Belanda disebut disersi.

Tidak hanya dari kalangan prajurit, pengkhianat dari etnis Jawa juga terdiri dari petingginya. Bahkan pucuk pimpinan tertinggi mereka, Sentot Ali Basya juga bisa dikatakan sebagai pengkhianat terhadap Belanda. Namun, berbeda juga dengan pengertian umum tentang pengkhianat, maka pengkhianatan Sentot agak istimewa. Sentot mengkhianati Belanda bukan untuk bergabung dengan musuh Belanda (kaum Padri), tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri (dia ingin menjadi raja di Minangkabau). ‘Hukuman’ atas pengkhianatannya adalah dibuang ke Bengkulu. Elout yang menentukan hukuman tersebut.

Berbeda dengan Sentot, karena mereka telah bergabung dengan kaum Padri, maka ‘hukuman’ terhadap para pengkhianat dari kalangan prajurit Madura dan Jawa hanya sampai pada tingkat dipecat dari kesatuan Hulptroepen atau tuduhan disersi saja. Sangat sedikit atau hampir tidak ada dari mereka yang ditawan atau dipenjara. Mereka kemudian mendapat ‘rumah baru’ di pusat atau perkampungan Padri. Diperkirakan, mereka kemudian menjadi ‘sumando’ urang Awak.

V

Pengkhianat menjadi bagian dari Perang Padri. Ada pengkhianat dari kalangan Padri dan pengkhianat dari kalangan Belanda.

Sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri menyajikan data bahwa sesungguhnya pengkhianatan umumnya dilakukan oleh para petinggi Padri dan petinggi Belanda. Pengkhianatan merugikan kelompok yang dikhianati. Pengkhianatan umumnya ‘diganjar’ dengan berbagai kemudahan oleh pihak tempat pengkhianat bergabung.

‘Ganjaran’ yang diberikan Belanda umumnya sangat memuaskan, karena berupa jabatan tinggi, gaji (uang) yang banyak, dan berbagai fasilitas yang sesuai dengan kapasitas para pengkhianat sebagai orang penting.

Pengalaman sejarah juga mengatakan bahwa Belanda (pejabat Belanda) sesungguhnya adalah juga pengkhianat.

Karena pengkhianat bertemu dengan pengkhianat, maka pengkhianat yang lebih besar dan mempunyai kekuasaan (pejabat Belanda) umumnya mengkhianati pula para pengkhianat yang bergabung dengannya. Hampir semua pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda akhirnya dikhianati oleh Belanda. Sebagian dikhianati pada saat Perang Padri masih berlangsung, namun sebagian lainnya setelah perang usai. Tidak jarang, beberapa dekade setelah perang usai. Tuanku Nan Tinggi, Tuanku Lareh Sungaipuar misalnya dikhianati pemerintah jauh setelah perang usai.

Bila diperbandingkan, maka terlihat bahwa sangat banyak kaum Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda.  Seperti telah disebut di atas, umumnya pengkhianat Padri tersebut adalah orang-orang hebat dan punya pengaruh sosial, politik dan ekonomi yang besar. Sebaliknya, sangat sedikit kalangan Belanda yang bergabung dengan Padri. Dan dari yang sedikit itu, mereka bukan pula kalangan ‘orang besar’. Namun berbeda dengan pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda yang umumnya terlantar dan disia-siakan Belanda pada akhirnya, maka tentara Jawa dan Madura yang bergabung dengan Padri mendapat tempat dan penghargaan yang tinggi dari kaum Padri dan Urang Awak. Mereka diajak sama-sama memerangi kolonailis dan kemudian juga diterima menjadi ‘urang sumando’.

Bila dilihat dari perspektif historiografi nasional, maka pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura inilah yanglayak dinobatkan sebagai pahlawan. Mereka mengkhianati kolonialis dan bergabung dengan pejuang yang berperang melawan penjajah.

Masih banyak dinamika sejarah para pegkhianat ini yang masih belum terungkap, dan dinamika sejarahnya itu sangat menarik untuk dicermati. Apalagi gejala dan perilaku khianat ini tetap ada pada masa-masa sesudah Perang Padri bahkan – mungkin – sekarang. Untuk itu, untuk memahaminya secara lebih utuh, perlu pengetahuan dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keberadaan para pengkhianat di masa lampau. Bukankah masa kini dibentuk oleh masa lampau, dan sebagian persoalan masa kini bisa dicarikan jalan keluarnya dengan mengambil hikmah dari peristiwa di masa lampau? Karena itu sangat ditunggu adanya sejarawan atau peminat sejarah yang akan mengkaji dunia pengkhinat di daerah ini di masa lampau. Ditunggu.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Orang Tionghoa di Sumatra Barat Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti yang besar dalam proses penganekaragaman penduduk Sumatra Barat. Untuk mendukung aksi militernya, pemerintah Belanda membawa tentara reguler dan tentara bantuan (hulptropen), yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa ke Sumatra Barat. Selain bangsa Belanda, dalam jajaran tentara reguler juga ada orang Perancis dan Jerman, serta orang India dan Tionghoa. Pada jajaran hulptropen ada orang Jawa, Madura, Bugis, Ambon, dan Gorontalo. Pada masa sebelum perang, sebagian besar dari orang-orang ini belum pernah hadir di Sumatra Barat. Kalau pun pernah datang, seperti Bugis, jumlahnya relatif terbatas.

Perang Padri, tidak saja tercatat sebagai iven historis yang menghadirkan keberagaman bangsa/etnik bagi Sumatra Barat, tetapi juga memberi kesempatan kepada ‘orang asing’ tersebut masuk ke daerah pedalaman. 

Memang benar, hingga meletusnya Perang Padri, daerah pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau) masih merupakan terra incognita (daerah yang belum dikenal) bagi ‘orang asing’, khususnya bagi orang Eropa. Hingga meletusnya Perang Padri hanya dua kali daerah pedalaman dikunjungi orang Eropa. Pertama Thomas Dias yang mendatangi daerah pedalaman Minangkabau dari pantai timur (1684) dan Thomas Stamford Raffles yang didampingi istri dan beberapa kawan Eropanya yang memasuki daerah pedalaman dari pantai barat (1818).

Perang Padri mengubah semua itu. ‘Orang asing’ yang masa-masa sebelumnya hanya tinggal dan beraktivitas di kawasan pantai, maka sejak meletusnya Perang Padri, mereka dengan mudah dan leluasa bisa masuk ke daerah pedalaman. ‘Orang asing’ yang masuk ke pedalaman itu tidak hanya dari kalangan tentara, tetapi juga masyarakat sipil yang aktivitasnya nyaris tidak berhubungan dengan kampanye militer. Salah satu kelompok masyarakat yang dimaksud adalah orang Tionghoa.

Keberadaan dan dinamika sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa Perang Padri relatif belum dikaji oleh sejarawan atau ilmuwan sosial lainnya selama ini. Karena itu, walaupun dalam lingkup yang relatif terbatas, tulisan ini akan mencoba mengungkapkannya. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Berapa jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa-masa awal Perang Padri dan di mana konsentrasi pemukiman mereka? Bagaimana peran sosial, politik dan ekonomi mereka pada masa Perang Padri? Bagaimana hubungan mereka dengan penguasa kolonial dan bagaimana pula respon Urang Awak terhadap peran sosial-ekonomi orang Tionghoa, terutama di daerah pedalaman, selama Perang Padri?

II

Orang Tionghoa mulai hadir dan beraktivitas di Pantai Barat Sumatra sejak penghujung abad ke-16 dan mereka datang dari Banten. Kedatangan mereka tidak terlepas dari kegiatan perdagangan dan pela­yaran yang tengah tumbuh dan berkembang di kawasan barat Sumatra saat itu. Mereka datang untuk mencari lada dengan kapal-kapal mereka sendiri. Memasuki dekade ke-4 abad ke-17 mereka telah bermukim di kota Pariaman dan itu adalah pemukiman mereka yang pertama di kawasan ini. Pada perempat ketiga abad ke-17, ketika Belanda (VOC) menjadikan kota Padang sebagai pusat kegiatan politik dan ekonominya, orang Tionghoa juga menjadikan kota itu sebagai pusat pemukiman dan aktivitas niaga mereka. Pada abad ke-18 orang Tionghoa bisa ditemukan dan telah beraktivitas di banyak kota dagang Pantai Barat Sumatra.

Padang dan Pariaman adalah dua kota yang menjadi konsentrasi pemukiman dan aktivitas orang serta saudagar Tionghoa di Sumatra Barat.

Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat sebelum masa Perang Padri. Namun sebagaimana disebut E. Francis, tahun 1683 di Padang telah disetujui pengangkatan Letnan Cina, dan E. Netscher menyebut bahwa tahun 1781 di Padang telah ada Kapten Cina yang bernama Louw Tjoanko. Adanya Letnan dan Kapten Cina menunjukan terdapatnya konsentrasi pemukim Tionghoa dalam jumlah yang banyak di kota itu.

Hierarki jabatan ‘kepala’ kelompok masyarakat (penduduk) pada masa penjajahan sekaligus menggambarkan jumlah kelompok masyarakat yang bersangkutan. Penambahan jumlah penduduk senantiasa diikuti oleh pengangkatan ‘kepala’ yang baru serta pengakuan ‘kepala’ yang baru tersebut oleh pemerintah. Ketika jumlahnya relatif sedikit, pemerintah menetapkan (mengakui) jabatan ‘kepala’ cukup setingkat Letnan, namun ketika jumlah mereka semakin bertambah, ‘kepala’nya ditingkatkan menjadi Kapten. Bila jumlah semakin bertambah maka diangkat Mayor. Hingga akhir abad ke-18 jabatan ‘kepala’ tertinggi orang Tionghoa di Padang hanya setingkat Kapten (jabatan Mayor dicapai pada parohan kedua abad ke-19).

Tidak hanya jumlahnya yang banyak, orang Tionghoa juga memiliki peran sosial, ekonomi dan politik yang relatif besar. Dalam politik kolonialnya, Belanda menempatkan orang Tionghoa pada posisi kedua dalam struktur masyarakat tanah jajahannya. Posisi ini terlihat jelas dalam tata kota Padang. Pemukiman orang Tionghoa berada pada ‘lapisan kedua’ dalam tata ruang kota. Maksudnya, pemukiman orang Tionghoa berbatasan langsung dengan pemukiman orang Belanda (Eropa) yang berada di pusat kota.

Orang Tionghoa di Padang dan Pariaman khususnya aktif dalam dunia niaga, dan mereka menjadi mitra bisnis utama VOC. Di Padang mereka berperan sebagai pemegang hak penarikan pajak pelabuhan, dan perdagangan beberapa komoditas niaga. Hak ini didapat dengan cara memenangkan lelang yang dilakukan kompeni.

Orang Tionghoa di Padang juga memiliki peran politik yang kuat. Salah satu peran politik yang mereka mainkan dicatat oleh Netscher. Pada saat Padang akan diserang Inggris (1781), Kapten Cina mengirim surat kepada Gubernur Jendral di Batavia yang isinya meminta Gubernur Jendral agar mengirim sebuah kapal ke Padang untuk membawa warga Eropa dan Tionghoa Padang ke Batavia. Sayangnya, Batavia tidak bisa memenuhi permintaan itu, sehingga orang Eropa dan Tionghoa Padang beserta semua warga kota lainnya takluk pada Inggris. Peran politik yang mereka mainkan juga terlihat saat mana mereka bersama-sama dengan orang Eropa berupaya sekuat tenaga mempertahankan (membela) Padang dari serangan Inggris.

Pada masa pemerintahan pendudukan Inggris (1781) hingga berkuasanya Belanda kembali tahun 1819 orang Tionghoa Padang relatif tidak punya peran sosial, politik, dan ekonomi yang penting. Bahkan ketika François Le Mėme, bajak laut Perancis menguasai Padang untuk beberapa hari, orang Tionghoa termasuk kelompok masyarakat yang mendapat perlakuan buruk. Harta kekayaan mereka sebanyak 25.000 rijksdaalders (ringgit) dikuras habis dan banyak dari mereka melarikan diri ke arah mudik (pedalaman). Rumah-rumah yang ditinggalkan banyak yang dibakar. Bahkan ada dari mereka yang dibunuh, salah seorang di antaranya adalah ‘pembantu’ Kapten Cina yang digantung di pintu rumah sang Kapten.

III

Seiring dengan berkuasanya Belanda kembali (1819) muncul pula informasi tentang keberadaan orang Tionghoa di Padang khususnya dan Sumatra Barat pada umumnya. Saat itu mulai ada data tentang jumlah mereka. Stuers menyebut bahwa hari-hari pertama berkuasanya Belanda, jumlah orang Tionghoa di Padang sebanyak 200 orang. Sebagai perbandingan, jumlah orang Eropa sebanyak 150 orang (yang terdiri pegawai dan tentara Belanda serta mantan pegawai VOC, orang Inggris, dan ‘orang Indo’ hasil perkawinan perempuan bumiputera dengan orang Eropa), 200 orang India (Bengalezen), 7.000 orang Melayu (Minangkabau) dan 1.500 orang Nias.

Disebutkan juga bahwa pemukiman orang Tionghoa berada di pinggir sungai (Batang Arau) dan dekat dengan rumah atau gedung-gedung utama pemerintah. Orang Tionghoa di Padang memiliki rumah dan tanah yang luas. Rumah mereka umumnya ‘sederhana’. ‘Sederhana’nya rumah mereka adalah sebuah realitas daerah. Seperti disebut Nahuijs, pada saat dia berkunjung ke Padang (1824) tidak satu pun rumah yang bagus di kota itu. Jangankan rumah penduduk biasa, rumah dan kantor milik pemerintah saja berada dalam ‘kondisi yang menyedihkan’.

Sejak hadir pertama kali di kota Padang pada pertengahan abad ke-17, orang Tionghoa telah ‘mendapat’ tanah, di mana rumah mereka dibangun. Tanah-tanah tersebut umumnya mereka dapatkan dari ‘Panglima Padang’ (Urang Kaya Kecil). Sayangnya, seperti disebut Kielstra, tanah-tanah tersebut dikatakan tidak tercatat (teregister). Bukti yang dimiliki pemiliknya hanya berupa ‘surat jual beli’ dengan pemilik lama. Walaupun demikian, hampir semua tanah tersebut mendapat pengakuan dari pemerintah. Karena itulah, ketika  pajak bangunan diperkenalkan, rumah-rumah milik orang Tionghoa ini termasuk salah satu ‘objek pajak’ yang memberikan pemasukan cukup besar bagi pemerintah. Itu pulalah sebabnya, orang Tionghoa termasuk satu kelompok masyarakat yang relatif awal kena pajak di Sumatra Barat. Karena berada di pusat pemerintahan, mereka dapat dikatakan tidak bisa berkelit untuk tidak membayar pajak.

Di Padang ada sebuah Sekolah Melayu yang didirikan oleh seorang pendeta dari Ordo Lancaster berkebangsaan Inggris. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk menampung (mendidik) anak-anak Melayu, ‘anak Indo’, dan anak-anak Tionghoa. Dilaporkan bahwa yang rajin bersekolah adalah anak-anak Tionghoa, sedangkan anak-anak Melayu dan anak-anak Indo ‘tidak serius’. Secara pendidikan, anak-anak orang Tionghoa dikatakan jauh lebih hebat daripada ‘anak-anak Kristen’ (anak-anak Indo) dan anak-anak Melayu.

Nahuijs yang dalam bukunya mengungkapkan tata kota, lingkungan sosial serta dunia niaga dan politik kota Padang tahun 1824 menyebut adanya sejumlah saudagar Tionghoa di kota itu. Nahuijs menyebut bahwa mereka menjadi pachter candu serta aktif dalam dunia niaga pantai Barat, termasuk perniagaan dengan Batavia. Di samping aktif berdagang, Kielstra juga menyebut bahwa orang Tionghoa juga dipercaya pemerintah untuk menarik pajak (bangunan), dan pajak pasar, pajak sarang burung, dan bea pelabuhan. Salah satu saudagar besar Tionghoa di Padang saat itu dan sekaligus menjabat Kapten Cina adalah Lau Tiang King.

Pedagang Tionghoa memegang peranan yang penting dalam dunia niaga Pantai Barat saat itu. Pentingnya peran mereka sangat terlihat dalam perdagangan antarkota pantai, antara kota-kota pantai dengan pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Banyak, Pulau Batu, dan Nias), serta antara Padang dengan Batavia. Dilaporkan juga, walau pun tidak dilakukan secara reguler, mereka juga menjalin kontak dagang dengan Tanah Semenanjung (Pulau Penang). Peran ini bisa mereka lakoni karena mereka memiliki armada niaga (kapal dagang) yang bisa digunakan untuk pelayaran jarak jauh. Regeering Almanaak 1831, 1832, 1833 menginformasikan sejumlah saudagar Tionghoa sebagai pemilik kapal dagang yang ada di kota Padang. Sumber yang sama juga menginformasikan nama-nama kapal serta tonase kapal tersebut. Beberapa di antara pemilik kapal itu adalah Lim Piet dengan kapal jenis wankang bernama ‘Kim Banan’ dengan tonase 35 ton, Lim Tjioen dengan kapal jenis wankang bernama ‘Sen Singhang’ dengan tonase 128 ton, Kim Wattjouw dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Bin’ dengan tonase 30 ton, dan Kim Phokthaij dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Leksoeli’ dengan tonase 14 ton.

Di samping itu, laporan tahunan yang dibuat Stuers, serta tulisan-tulisan tentang Sumatra Barat pada masa Perang Padri juga menyebut adanya sejumlah perahu yang dimiliki orang Tionghoa di daerah ini. Perahu-perahu yang relatif kecil ini umumnya berlayar (berdagang) ke sejumlah negeri di utara Padang (Pariaman, Tiku, Katiagan, dan Air Bangis) dan ke sejumlah negeri di selatan Padang, seperti Salido, Pulau Cingkuak, Air Haji dan Indrapura. Kapal-kapal ini juga digunakan untuk berniaga ke pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Mentawai, Pulau Banyak, Pulau Batu, dan Pulau Nias).

Kesempatan menjadi penarik pajak pasar adalah momen historis yang sangat penting artinya bagi perluasan wilayah pengaruh (aktivitas) orang Tionghoa di Sumatra Barat. Menjadi penarik pajak pasar memberi kesempatan bagi orang Tionghoa untuk masuk ke daerah pedalaman. Hal ini disebabkan karena umumnya pasar-pasar yang akan dipajaki berada di daerah pedalaman. Sebagai telah disebut di atas, daerah pedalaman adalah daerah yang sebelumnya nyaris tidak pernah didatangi oleh orang Tionghoa pada masa sebelum Perang Padri.

Masuknya orang Tionghoa ke daerah pedalaman tidak hanya dilakoni oleh kalangan sipil (para penarik pajak), tetapi juga oleh kalangan militer. Boelhouwer menyebut bahwa ada sejumlah opsir Tionghoa dalam pasukan tentara Belanda yang ikut bertempur melawan kaum Padri di darek. Informasi Boelhouwer ini sangat penting artinya, karena setakat ini, hampir tidak ada tulisan yang mengungkapkan keterlibatan orang Tionghoa dalam kesatuan militer Belanda pada masa Perang Padri.

Di samping adanya sejumlah opsir yang menandai ikut-sertanya orang Tionghoa dalam aksi militer melawan kaum Padri, sesungguhnya pada saat itu juga ada sejumlah orang Tionghoa yang terlibat dalam korp keamanan. Sejak awal kekuasaannya, Belanda yang kekurangan sumber daya manusia dalam sektor keamanan warga (daerah) senantiasa berusaha melibat warga untuk ikut-serta menciptakan rust en orde (ketertiban dan keamanan). Pada awal tahun 1820-an misalnya orang Tionghoa dilibatkan dalam Burgerwacht (Satuan Pengamanan Kota). Pada tahun 1833 orang Tionghoa diikutsertakan dalam Korp Pengaman Kota yang dinamakan ‘Korp Cina’. Kesatuan ini terdiri dari sejumlah warga Tionghoa yang berbadan tegap (sehat) di bawah komando pimpinannya dan dengan senjatanya sendiri bertugas untuk menjaga ketertiban, mencegah kerusuhan (mendamaikan orang yang berkelahi), mencegah kebakaran atau ikut-serta memadamkan kebakaran, menjaga dan mengamankan kampung atau daerah tempat tinggal mereka. Mereka juga dibebani tugas mengamankan berbagai acara kegiatan sosial-keagamaan orang Tionghoa di Padang.

Altar Klenteng Tionghoa di Padang Akhir Abad ke-19

(Sumber: KITLV 3393)

Seperti disebut di atas, pimpinan tertinggi orang Tionghoa di Padang masa Perang Padri adalah setingkat Kapten (tidak berbeda dari kondisi terakhir era VOC). Salah satu Kapten Cina yang populer dan dekat hubungannya dengan pejabat Belanda saat itu adalah Lau Tiang King. Sang Kapten sering diundang dan ikut-serta dalam berbagai acara yang diadakan pejabat Belanda (Residen) di kota Padang.

Tidak hanya menjalin hubungan yang dekat dengan pejabat sipil atau militer Belanda, orang Tionghoa di Padang juga berhubungan akrab dengan NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij). NHM adalah sebuah perusahaan dagang Belanda yang didukung serta diberi banyak kemudahan oleh pemerintah dalam menjalankan bisnisnya. Beberapa tahun setelah perusahaan itu membuka keagenannya di Padang (1826), perusahan itu telah langsung akrab dengan saudagar Tionghoa dan menjadikannya sebagai salah satu mitra bisnisnya. Barang-barang yang didatangkan NHM dibeli dan kemudian didistribusikan oleh saudagar Tionghoa atau sebaliknya, sebagian barang yang akan dikirim keluar oleh NHM, didapatkan dari saudagar Tionghoa. Pada perkembangan selanjutnya, sejumlah saudagar Tionghoa juga tercatat sebagai ‘nasabah’ perusahaan itu, terutama sekali setelah perusahaan tersebut juga berperan sebagai lembaga perbankan. Mereka diberi modal (pinjaman) oleh NHM, namun sayangnya, banyak dari mereka yang gagal membayar hutang sehingga menyulitkan operasional NHM di kawasan tersebut.

Seperti telah disebut sebelumnya, orang Tionghoa tidak hanya bermukim dan beraktivitas di kota Padang. Mereka juga bermukim dan beraktivitas di Pariaman. Boelhouwer menyebut bahwa ada Kampung Cina di Pariaman, dan mereka adalah orang-orang yang rajin. Walaupun tidak disebutkan secara tegas tentang peran yang mereka mainkan, dari aktivitas yang dilakukan, misalnya “menjemur kopi di atas tikar di halaman rumahnya agar cepat kering” bisa dikatakan mereka adalah saudagar (pengumpul) kopi.

Tidak diketahui berapa jumlah orang Tionghoa di kota yang terletak di bagian utara Padang tersebut. Namun pada tahun 1836 dikatakan di sana adalah Letnan Cina.

Satu lagi informasi mengenai orang Tionghoa di Padang atau di Pariaman adalah mengenai kedekatan mereka dengan orang Nias. Stuers mengatakan bahwa sejumlah saudagar Tionghoa memiliki budak orang Nias. Sedangkan salah satu laporan pejabat NHM menyebut bahwa ada sejumlah orang Tionghoa yang memperistri orang Nias.

IV

Ada perbedaan respon yang berbeda antara orang Minang yang bermukim di daerah pesisir (Padang dan Pariaman) dengan yang tinggal di pedalaman terhadap orang Tionghoa. Urang Awak yang tinggal di Padang dan Pariaman nampaknya tidak mempersoalkan keberadaan dan peran sosial, politik, dan ekonomi yang dimainkan orang Tionghoa. Bahkan mereka tidak mempedulikan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah kepada orang Tionghoa (menjadi pachter atau penarik pajak) atau menjadi penjual candu. Kontak dan interaksi yang sudah lama menyebabkan cairnya hubungan di antara mereka.

Relatif tidak adanya respon negatif orang Minang yang tinggal di Padang atau Pariaman terhadap orang Tionghoa juga disebabkan oleh kuatnya posisi sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di kota-kota tersebut. Persatuan di antara mereka juga sangat kuat. Dalam hal ini, keberadaan ‘Burgerwacht’ dan ‘Korp Cina’ sangat penting artinya. Satuan ini akan melindungi komunitas Tionghoa dari setiap gangguan yang dilakukan kelompok masyarakat lain. Hal lain yang membuat minimnya respon negatif orang Minang di Padang dan Pariaman terhadap orang Tionghoa adalah adanya keberpihakan pemerintah terhadap mereka. Pembukaan Raad van Justitie (Pengadilan) di Padang tahun 1833 antara lain ditujukan untuk memberikan keadilan (perlindungan hukum) kepada orang Tionghoa, India, dan Eropa yang ‘dizalimi’ secara pidana atau perdata.

Berbeda dengan daerah pantai, Urang Awak di pedalaman memberi respon yang negatif terhadap kehadiran orang Tionghoa di negeri mereka. Dilaporkan bahwa berkali-kali penarik pajak (pasar) Tionghoa diserang oleh warga pedalaman. Berkali-kali mereka diburu oleh warga pedalaman sehingga lari terbirit-birit menyelamatkan diri ke rumah penghulu yang juga menjadi kaki tangan Belanda. Ada juga laporan tentang orang Tionghoa (penarik pajak) yang disamun (dirampok) di daerah pedalaman.

Respon negatif orang Minang di daerah pedalaman bisa dilihat dari dua sisi. Pertama mereka menyerang orang Tionghoa karena mereka tidak setuju terhadap pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Jadi, orang Tionghoa (pengumpul pajak Tionghoa) dalam hal ini hanya menjadi sasaran perlawanan terhadap kebijakan (pemerintah) Belanda semata. Dalam kasus ini, orang Tionghoa hanya menjadi tumbal kekesalan orang Minang terhadap pemerintah Belanda. Kedua, orang Minang memang tidak suka dengan orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda (menjadi penarik pajak) serta peran mereka sebagai penjual candu, suatu produk yang sangat ditentang oleh Padri. Karena ketidaksukaan itu mereka menyerang setiap orang Tionghoa penarik pajak atau yang mereka anggap sebagai wakil dari saudagar penjual candu.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, secara perlahan namun pasti, respon negatif tersebut mulai berkurang. Laporan pemerintah dan NHM mengatakan bahwa ada sejumlah pedagang pedalaman yang bekerja sama dengan saudagar Tionghoa di Padang. Mereka ‘mengambil barang’ pada saudagar Tionghoa di Padang dan menjual barang dagangan mereka kepada saudagar Tionghoa pula. Praktik ini semakin banyak terjadi pada tahun-tahun terakhir Perang Padri. Di Padang sendiri sejumlah saudagar Urang Awak bekerja sama dengan saudagar Tionghoa.

V

Perang Padri adalah salah iven historis terpenting dalam kaitannya dengan meluasnya sebaran pemukiman dan pengaruh jangkauan pengaruh sosial-ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat.

Selepas Perang Padri, seiring dengan munculnya pusat-pusat administrasi dan ekonomi di daerah pedalaman, semakin banyak orang Tionghoa yang menetap dan beraktivitas di darek. Perluasan wilayah pemukiman dan aktivitas niaga mereka ini mulai terlihat dengan nyata sejak tahun 1860-an, yakni seiring dengan mulai suksesnya Tanam Paksa Kopi dan bangkitnya ekonomi daerah pedalaman. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa orang Tionghoa bisa ditemukan di hampir semua kota penting di daerah pedalaman (dan pantai).

Sebagaimana di Padang, di kota-kota di daerah pedalaman atau di kawasan pantai orang Tionghoa tinggal mengelompok, umumnya di pusat kota, serta dekat gedung atau bangunan penting pemerintah. Sebagian pusat pemukiman mereka tersebut dinamakan Urang Awak dengan Kampuang Cino.

Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tidak ditemukan adanya catatan sejarah berkenaan dengan respon negatif, berupa penyerangan fisik terhadap orang Tionghoa, seperti yang terjadi pada masa Perang Padri, yang dilakukan Urang Awak.

Gaduh terhadap orang Tionghoa muncul lagi tahun 1944, saat mana adanya pembunuhan terhadap sejumlah orang Tionghoa di Pariaman. Dikatakan bahwa pembunuhan tersebut berhubungan erat dengan ulah beberapa orang di antara mereka yang diketahui menjadi mata-mata Jepang. Kemarahan terhadap ulah mata-mata itulah yang menyebabkan munculnya amuk massa terhadap orangTionghoa. Pembunuhan dan amuk massa tersebut menyebabkan eksodusnya orang Tionghoa dari kota itu, khususnya ke kota Padang.

Peristiwa itu menyebar luas ke seluruh Sumatra Barat sehingga banyak pula orang Tionghoa yang bermukim di kota-kota yang lebih kecil di Sumatra Barat juga pindah ke kota yang lebih besar, seperti Bukittinggi dan Padang.

Kegaduhan politik tahun 1950-an, seperti PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indoensia) dan gonjang-ganjing politik tahun 1960-an adalah iven historis lain yang juga menyebabkan semakin ditinggalkannya kota-kota, terutama di daerah pedalaman, oleh orang Tionghoa. Di samping itu, semakin lesunya ekonomi daerah semenjak tahun 1950-an, adalah faktor penting lain yang menyebabkan semakin terkonsentrasinya orang Tionghoa di kota yang (masih) penting dalam aktivitas ekonomi, yakni Padang dan Bukittinggi. Untuk masa yang akan datang, wallahu’alam.

Namun, di tengah naik-turunnya hubungan orang Awak dengan orang Tionghoa, ada yang menarik dari jalinan interaksi mereka. Orang Minang termasuk salah satu suku bangsa di Indoensia yang bisa dikatakan memiliki jiwa dagang yang nyaris setara dengan orang Tionghoa. Di samping itu, orang Tionghoa menjadi ‘role model’ dari suatu aktivitas yang menjadi ciri khas Urang Awak, yakni suka merantau. Bahkan salah satu dari sekian banyak jenis merantau dikaitkan dengan orang Tionghoa, yakni marantau cino (merantau meninggalkan kampung untuk waktu yang lama atau bahkan tidak pulang lagi ke kampung halamannya). Tidak itu saja, tambo, historiografi tradisional Minangkabau, menyebut Urang Awak berkerabat dengan orang Tionghoa. Tambo dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau (Sutan Maharaja) adalah saudara dari nenek moyang orang Tionghoa (Maharaja Dipang).

Sumber:

Almanak van Nederlandsch Indie voor het Jaar 1831-1833. Batavia: Land Drukkerij, 1831-1833.

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827

ARA NHM 9064;10, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1833/34

ARA NHM 9064; 15, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1838/39

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Pajak (Belasting) Pada Masa Perang Padri

Di tengah kecamuk Perang Padri, di tengah berbagai krisis dan wabah, pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak (belasting) kepada orang Minang. Seiring dengan perjalanan waktu, jenis pajak yang dikenakan semakin lama semakin beragam, dan orang yang kena pajak semakin lama semakin banyak. Urang Awak pendukung Belanda dalam memerangi kaum Padri juga ikut dipajaki. Namun yang lebih menyakitkan, di samping pemerintah, ada kelompok masyarakat tertentu yang diuntungkan dengan pengintroduksian pajak ini.

Pengenaan pajak yang makin lama semakin memberatkan, namun di sisi lain mendatangkan keuntungan kepada kelompok masyarakat tertentu, membuat sebagian besar warga masyarakat Sumatra Barat bereaksi, bahkan mereka memberontak. Aksi atau pemberontakan itu, walaupun untuk sementara, membuat pemerintah menarik kebijakannya memajaki rakyat. Nampaknya pemerintah perlu dilawan dulu baru mengubah kebijakannya.

Tulisan ini membicarakan berbagai jenis pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat pada masa Perang Padri, reaksi masyarakat terhadap pajak tersebut, serta respon pemerintah terhadap reaksi  masyarakat itu. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah: Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak terhadap warga Sumatra Barat? Apa saja jenis pajak yang dikenakan kepada warga daerah ini? Di samping pemerintah siapa lagi yang diuntungkan oleh pajak-pajak itu? Bagaimana reaksi rakyat terhadap pengenaan pajak dan bagaimana sikap pemerintah terhadap reaksi rakyat?

II

Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan pajak kepada masyarakat Minangkabau di daerah pedalaman tahun 1823. Itu berarti dua tahun setelah kolonialis itu menghajar kaum Padri dengan bantuan para pendukungnya, yang umumnya anak-kemanakan penghulu yang meminta bantuan Belanda di Padang. Pengenaan pajak tersebut diawali oleh usulan Du Puy sebagai Resident van Padang, yang diperkuat oleh komandan tentara daerah ini Letkol A.T. Raaff, kepada Gubernur Jendral. Duo petinggi sipil dan militer itu mengusulkan kepada Batavia agar mengenakan pajak terhadap warga keresidenan (termasuk warga Padang Hulu/Pedalaman), karena pajak akan dapat membantu keuangan pemerintah. Dikatakan juga bahwa pengenaan adalah bagian dari kewajiban warga kepada kerajaan (pemerintah). Di samping itu, juga dikemukakan keterangan yang pernah disampaikan oleh dua keturunan Raja Suraso, yang mengatakan bahwa mayoritas penghulu dan warga pedalaman mendukung kehadiran (kebijakan) Belanda.

Pengenaan pajak adalah salah satu dari sekian banyak usulan yang dikirim oleh Du Puy dan Raaff kepada Gubernur Jendaral. Satu lagi usulan yang sangat erat kaitannya dengan pengenaan pajak ini adalah usulan pembentukan (reorganisasi) pemerintahan daerah. Penataan pemerintahan daerah ini sangat penting artinya bagi pengenaan pajak, karena para pejabat yang diangkat itulah nantinya yang akan dijadikan sebagai ujung tombak pemungutan pajak.

Gubernur Jendral merespon usulan Du Puy dan Raaff dengan menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 4 November 1823. Dua dari sekian banyak isinya adalah disetujuinya pengenaan pajak dan penataan pemerintahan daerah.

Berkenaan dengan pengenaan pajak, Gubernur Jendral tidak serta-merta menerima usulan Du Puy dan Raaff. Namun dengan ‘penuh kebijaksanaan’ sang Gubernur Jendral hanya menyetujui pengenaan hoofdgeld (pajak kepala/pajak perseorangan) dan gebouwde eigendommen (pajak bangunan).

Gubernur Jendral mendasari keputusannya pada kenyataan sosial dan budaya daerah (Minang­kabau pedalaman khususnya), bahwa selama ini Urang Minang belum pernah mengenal dan dikenai pajak. Jadi untuk sementara, sebaiknya dikenakan saja ‘uang kepala’ dan ‘pajak bangunan’ kepada mereka. Anggaplah ini sebagai pengenalan pajak kepada mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa nanti, bila tiba masanya, akan dikenakan berbagai jenis pajak atau bea kepada rakyat.

Pajak perseorangan dikenakan sebesar f.1,- (satu gulden) per orang per tahun untuk orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan. Pajak bangunan dikenakan pajak paling tinggi f.6,- dan paling rendah f.1,- per tahun. Pajak dibayar dengan uang tunai atau hasil bumi atau lewat tenaga (untuk mengerjakan ‘proyek’ pemerintah, seperti pembuatan jalan, jembatan atau bangunan-bangunan lain milik pemerintah).

Pengenaan pajak seperti ini, untuk fase pengenalan, dirasa sudah ‘cukup’. Diperkirakan ada 800.000 penduduk keresidenan saat itu. Dari angka-angka itu pemerintah berharap bisa memajaki 2/5 bagian dari kesemua penduduk {sisanya 2/5 bagian diperkirakan adalah anak-anak di bawah 16 tahun dan 1/5 bagian lainnya adalah orang-orang yang sangat miskin, yang tidak mampu beli ‘brood’ atau roti (maksudnya beras) untuk dimakan, sehingga tidak mungkin dikenakan pajak}.

Satu lagi keputusan Gubernur Jendral adalah penataan (reorganisasi) pemerintah daerah. Penataan pemerintahan daerah ini ditandai dengan pengangkatan sejumlah pejabat Urang Awak, mulai dari Hoofdregent, Regnt, Kepala Laras, Kepala Nagari, dan Kepala Kampung dalam struktur pemerintahan daerah. Di samping sebagai imbalan kepada mereka yang berperan besar dalam proses berkuasanya Belanda di daerah pedalaman dan memerangi kaum Padri, pengangkatan para pejabat ini juga ditujukan untuk menyukseskan pengenaan (penarikan) pajak terhadap penduduk. Sebab salah satu klausul dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral itu adalah ‘pengenaan pajak’ akan dibantu oleh Inlandsche Hoofden (para pejabat Urang Awak).

Juga diputuskan bahwa pengumpulan pajak juga dilakukan oleh orang (pachter) China yang memenangkan ‘lelang’ yang diselenggarakan pemerintah.

Di samping kedua jenis pajak di atas, Batavia juga mengizinkan pengenaan bea (pajak) penjualan opium (candu) di daerah darek. Pajak opium dianggap berbeda dari kedua jenis pajak di atas, karena ‘lingkupnya lebih terbatas’, bukan masyarakat secara keseluruhan. Berbeda juga dengan kedua jenis pajak di atas, penarikan bea atau pajak penjualan candu, diutamakan, dilakukan oleh penghulu. Ada dua alasan pemberian hak kepada penghulu ini, pertama sebagai balas budi kepada mereka yang mendukung pemerintah, dan kedua sebagai bagian dari politik adu domba. Maksudnya, pemakaian candu adalah suatu praktik yang sangat dibenci oleh kaum Padri, dan dengan memberikan hak penarikan bea (pajak) candu kepada penghulu secara langsung atau tidak Belanda semakin membenturkan penghulu dengan kaum Padri. Dan demi imbalan yang akan didapat tentu para penghulu membela penjualan dan pemakaian candu.

Tiga jenis pajak yang diperkenalkan diakhir tahun 1823 di atas tidak berjalan seperti diharapkan. Hasil yang didapat relatif jauh dari target. Laporan resmi pemerintah menyalahkan perang yang masih berkecamuk sebagai alasan mandeknya penagihan pajak. Namun dalam kenyataannya, rakyat betul-betul tidak mau (menolak) membayar pajak.

Pada tahun 1825 (dan beberapa tahun berikutnya) tensi perang sedikit menurun. Ekspedisi militer Belanda ke dan di daerah pedalaman berkurang secara drastis.  Stuers yang menjabat Resident van Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah Taklukannya) saat itu mengambil kebijakan ‘berdamai’ dengan kaum Padri. Stuers membuat banyak perjanjian damai dengan Padri. Perjanjian damai ini sebetulnya hanya taktik Belanda semata, karena saat itu tentara mereka yang di Sumatra Barat dikerahkan ke Jawa untuk menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro. Menariknya, perjanjian-perjanjian damai yang sangat menguntungkan Belanda itu disetujui saja oleh pihak Padri. Salah satu dari sekian banyak isi perjanjian itu adalah pengenaan beberapa jenis pajak {seperti pasar, opium, tembakau, pajak kain, pajak minuman keras (suri atau tuak), pajak jalan, pajak penyembelihan, pajak garam (pajak terhadap garam yang didatangkan selain dari Pulau Jawa, dan beberapa jenis pajak lainnya}. Salah satu alasan pengenaan berbagai macam pajak ini adalah hasilnya nanti akan dinikmati oleh warga.

Pengenaan berbagai jenis pajak ini kemudian dikukuhkan dalam Surat Keputusan Residen yang ditandatangani oleh Stuers. Dalam Surat Keputusan itu juga ditegaskan bahwa hak pengumpulan pajak (khususnya pajak pasar) dipegang oleh Lau Tiang King, pemuka China di Padang. Hak ini dipegangnya untuk masa tiga tahun. Lau Tiang King juga mengsubkontrakkan pula hak penarikan pajak ini kepada sejumlah orang China lainnya.

Karena wilayah daerah administratif keresidenan juga mencakup pulau-pulau di lepas pantai barat, maka pajak juga dikenakan di pulau-pulau tersebut. Ankergeld (uang jangkar) adalah satu jenis pajak yang paling diandalkan dari pulau-pulau itu (terutama Pulau-pulau Batu dan Kepulauan Mentawai). Satu lagi jenis pajak yang ditargetkan akan menghasilkan banyak uang adalah pajak sarang burung. Di samping berbagai jenis pajak di atas, Sturs juga melanjutkan penarikan bea pelabuhan, dan pajak ekspor-impor berbagai komoditas perdagangan yang keluar masuk pelabuhan (tidak hanya untuk kota Padang, tetapi juga kota-kota lain, seperi Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji serta pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Batu dan Mentawai). Untuk aktivitas yang terakhir dibangun kantor duane (bea cukai) yang termasuk canggih di kota Padang saat itu.

Kantor Duane (Bea Cukai) dan Penjara Padang Tahun 1826

(Sumber: H.J.J.L. de Stuers, Vstiging en Uitbreiding der Nederlander ter Westkust van Sumatra (II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1850)

Pengenaan pajak pada berbagai ‘kebutuhan pokok’ warga memang bagian dari agenda politik ekonomi Belanda. Pengenaan pajak tersebut adalah bagian dari eksploitasi ekonomi pemerintah kolonial.

Di Sumatra Barat, pengenaan pajak adalah bagian dari ekspansi politik ke daerah pedalaman, karena sejak awal telah diperhitungkan, bahwa pengenaan pajak akan menjadi salah satu sumber pemasukan Belanda di daerah ini. Karena itu, data-data mengenai ‘anggaran pendapatan dan belanja daerah’ Pantai Barat Sumatra, senantiasa menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama.

Sejak pertama kali pajak diperkenalkan, pemerintah telah menghitung berapa ‘pendapatan” yang akan diperolehnya. Seperti yang disebutkan di atas, pada tahun 1823 penghitungan dimulai dari memperkirakan jumlah penduduk yang akan dikenakan hoofdgeld. Penghitungan juga dilakukan dengan memperkirakan berapa banyak konsumsi opium, candu, garam, kain (pakaian), minuman keras (suri atau tuak), banyaknya orang yang bepergian, banyaknya orang yang berjualan dan mendatangi pasar, dlsbnya. Hasil hitung-hitungannya ‘tidak begitu besar’. Umumnya, jumlah untuk masing-masing jenis pajak berkisar antara f.1.500,- hingga f.20.000,- per tahun (sebagian kecil lebih dari f.200.000,- per tahun).

Sama dengan pengalaman tahun 1823, pengenaan pajak yang diperkenalkan oleh Stuers tahun 1825 juga tidak bisa diterapkan sebagaimana yang diharapkan. Secara umum masyarakat menolak membayar pajak. Hanya pajak-pajak atau bea-bea komoditas atau kegiatan yang tidak begitu langsung bersintuhan dengan rakyat (hanya dengan saudagar) yang hampir seutuhnya bisa ditarik, seperti uang jangkar, pajak garam, pajak sarang burung, dlsbnya. Stuers menyebut bahwa pada tahun 1825-1826 ‘hanya’ terkumpul f.98.500,- Jumlah ini jelas sedikit, sebab tahun 1820 di kawasan pantai (Padang, Pariaman dan Pulau Cingkuak) saja, dikumpulkan sekitar f.60.000,- Padahal wilayah yang dikuasai pada tahun 1825/1826 jauh lebih luas, penduduknya banyak, dan umumnya adalah daerah yang kaya.

Memasuki tahun 1830-an, Belanda mulai mengubah kebijakan politiknya di Sumatra Barat. Perang Diponegoro telah usai. Tentara mulai didatangkan kembali ke Sumatra Barat. Kampanye militer melawan Padri semakin ditingkatkan. Orang-orang yang dianggap musuh atau berkianat kepada pemerintah dengan segera ditumpas atau dibuang ke daerah lain. Ini semua bisa terjadi, karena residen dan petinggi (komandan) militer yang memimpin daerah adalah orang-orang yang tegas dan memegang prinsip “perang harus dimenangkan“. Bersamaan dengan itu, sejumlah tokoh yang dulunya pro-Padri berpihak kepada Belanda, bahkan diangkat menjadi pejabat seperti regen. Akibatnya Belanda semakin berlantas angan terhadap orang Minang.

Sikap tegas dan kerasnya pemimpin sipil dan militer tersebut juga diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi, salah satu diantaranya adalah penarikan pajak. Tahun 1832 diputuskan untuk mengoptimalkan penarikan pajak. Residen Gilavry misalnya mengintruksikan aparatnya, termasuk para pejabat bumiputera (Kepala Laras dan Kepala Nagari) untuk mendukung upaya penarikan pajak.

Pengenaan pajak yang dilakukan dengan tegas itu (baik pembayaran dengan uang tunai atau kerja pada ‘proyek’ pemerintah) dirasakan masyarakat sebagai beban yang berat. Pengenaan pajak dirasa berat oleh masyarakat, karena perang yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun telah mengakibatkan ekonomi masyarakat turun ke tingkat yang rendah.

Bukan hanya besarnya dan banyaknya pajak yang mesti dibayar dengan tunai atau dengan tenaga, sikap para pejabat pemerintah dari kalangan Urang Awak (Kepala Laras dan Kepala Nagari) serta penarik pajak (pachter) China juga membuat masyarakat semakin muak dengan kebijakan pemerintah ini. Itulah sebabnya muncul perlawanan dari rakyat. Perlawanan pertama ditujukan terhadap para pachter China. Ada sejumlah laporan yang menyebut bahwa penduduk memburu atau bahkan menyerang pachter China di sejumlah pasar di Tanah Datar dan Agam. Ada dari mereka yang luka-luka atau babak belur dihajar massa, dan ada pula yang lari terbirit-birit dikejar penduduk, serta terpaksa menyelamatkan diri ke rumah penghulu (yang juga kaki tangan Belanda).

Perlawanan kedua ditujukan kepada pemerintah. Warga daerah, baik kaum Padri dan non-Padri, melawan secara serentak. Melawan dalam artian menyerang dan membunuh aparat pemerintah, baik tentara atau pihak sipil, termasuk pejabat Urang Awak pendukung Belanda. Perlawanan terjadi di mana-mana dan banyak korban yang jatuh di pihak Belanda. Di Lubuk Sikaping misalnya jatuh korban sekitar 60 orang, di Bonjol sebanyak 40-an orang, di Suliki 20-an orang, di sejumlah daerah di Agam dan Tanah Datar juga jatuh korban yang jumlah puluhan orang.

Pemerintah kaget melihat reaksi rakyat tersebut. Sampai-sampai Komisaris (Gubernur) Jendral Hindia Belanda Johannes van den Bosch menyempatkan datang ke Sumatra Barat saat itu. Dia mengakui bahwa rakyat menderita dan rakyat kecewa dengan sikap atau kebijakan yang dipraktikkan pemerintah. Karena itu, salah satu dari sekian banyak solusi yang ditawarkan van den Bosch adalah mengakhiri pengenaan sejumlah pajak dan kerja wajib.

Solusi atau tawaran van den Bosch ini kemudian ditegaskan dalam Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah janji-janji khidmad pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Sumatra Barat. Karena berhubungan dengan sikap dan keputusan yang diambil oleh van den Bosch, maka salah satu janji yang dinyatakan dalam Plakat Panjang ini adalah penghapusan berbagai macam, kerja wajib pada proyek-proyek pemerintah (dikecualikan pajak atau bea opium, pajak pelabuhan).

Penghentian pengenaan pajak dianggap sebagai salah satu kemenangan oleh Urang Awak. Mereka sangat senang dengan sikap pemerintah itu. Janji untuk menghentikan penarikan pajak dan sejumlah janji lain yang dinyatakan dalam Plakat Panjang selalu diingat sebagai “kemenangan” oleh kebanyakan orang Minang. Mereka menang karena mereka melawan, mereka menang karena melawan secara bersama (kaum Padri dan juga non-Padri). Karena itu, kebanggaan akan Plakat Panjang adalah kebanggaan seluruh orang Minang.

III

Untuk beberapa dekade setelah usainya Perang Padri, Belanda memang mematuhi janjinya, tidak mengenakan pajak kepada orang Minang. Namun pada tahun 1908, janji tersebut dilanggar Belanda. Belanda memperkenalkan pajak, bahkan pajak yang dikenakan jauh lebih banyak dari masa Perang Padri. Sebagian dari pajak yang diperkenalkan tersebut adalah jenis pajak yang dulu sudah dikenakan kepada penduduk, tetapi sebagian lainnya adalah jenis yang baru. Beberapa di antara pajak-pajak itu adalah: pajak kepala, pajak penghasilan, pajak pasar, pajak jalan, pajak ganti kerja rodi, pajak tanah, pajak keuntungan, pajak peralatan rumah tangga, pajak rumah gadang (rumah adat), pajak tembakau, pajak anjing dan pajak ternak (sapi dan kerbau), dll.

Khusus untuk yang terakhir ini (pajak ternak sapi dan kerbau), walaupun setiap tahun penduduk membayar pajak atas ternaknya, namun jika mereka ingin menjual ternak itu, maka mereka harus pula membayar sejumlah pajak (bea) lagi. Di antaranya, pertama kali mereka harus membayar uang izin penjualan, kemudian harus membayar pajak masuk pasar, setelah ternak terjual dikenai lagi pajak (pajak penjualan), sebelum ternak dipotong dikenai lagi pajak (bea/pajak pemeriksaan kesehatan hewan), masuk rumah potong bayar pajak lagi dan terakhir ada lagi pajak sembelihan.

Pembayaran pajak yang hampir sama juga ditemukan pada berbagai aktivitas perekonomian dan kegiatan yang lain , seperti pajak jual beli di pasar, pajakmembawa barang, pajak industri, pajak pertambangan, pajak perkebunan, dan masih ada banyak, dlsbnya.

Banyak sekali pajak yang dikenakan kepada penduduk Sumatra Barat saat itu. Mengapa Belanda melanggar janji yang dikemukakannya saat Perang Padri?

Ada banyak jawaban untuk itu, dan dua di antanya adalah: pertama, Belanda mengalami kesukaran ekonomi yang serius (defisit) di Sumatra Barat. Tanam paksa kopi yang menjadi sumber pemasukan utama pemerintah di Sumatra Barat sejak tahun 1840-an nyaris tidak lagi memberikan keuntungan pada tahun-tahun pertama abad ke-20 (bahkan sejak tahun-tahun terakhir abad ke-19). Sejalan dengan itu potnsi niaga danekonomiSumatra Barat juga menurun dengan drastis. Untuk itu perlu dicari sumber pemasukan yang baru. Dan pajak adalah alternatif yang paling mungkin serta paling mudah; kedua, berbeda dengan masa Perang Padri, pada awal abad ke-20 Belanda telah betul-betul menguasai Sumatra Barat secara politik (bahkan hampir seluruh Hindia Belanda). Di samping itu, percaya diri pemerintah tengah tumbuh, apalagi saat itu dia baru saja memenangkan Perang Aceh. Kondisi seperti ini membuat pemerintah, memiliki keleluasaan membuat dan menjalankan politik/kebijakan ekonomi apapun yang mereka anggap akan menguntungkannya. Kondisi ini, juga membuat pemerintah melakukan apa saja terhadap upaya yang merintangi kebijakan yang dijalankannya, termasuk memberantas dengan menggunakan kekerasan secara cepat dan besar-besaran terhadap perlawanan rakyat atas kebijakan yang mereka buat.

Pengenaan pajak oleh Belanda pada awal abad ke-20 memang menimbulkan perlawanan dari warga Sumatra Barat. Terjadi pemberontakan di banyak tempat, seperti di Kamang, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Talawi, dlsbnya. Namun, perlawanan-perlawanan itu dengan segera bisa ditumpas, banyak korban dikalangan penduduk, dan sebagian pemimpinnya tewas terbunuh, dipenjara atau dibuang ke daerah lain. Artinya, perlawanan rakyat menentang pajak pada awal abad ke-20 tidak membuahkan hasil.

Kegagalan perlawanan secara fisik pada tahun 1908 sesungguhnya dilanjutkan oleh Urang Awak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga tahun 1920-an. Kali ini dilakukan melalui cara-cara non-politik, seperti himbauan sebagai hasil rapat (pertemuan) yang dadakan oleh para penghulu dan politisi, atau resolusi-resolusi yang dinyatakan oleh partai politik (Syarikat Islam misalnya). Namun semua upaya itu tidak membuahkan hasil. Pemerintah tetap mengenakan pajak pada rakyat, dan sejak saat itu pajak telah menjadi bagian dari kewajiban rakyat.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Perang Padri dan Bagi-Bagi Jabatan pada Pemerintahan Daerah

Bagi-bagi jabatan atau pemberian jabatan oleh pejabat yang memenangkan kontestasi politik bukanlah hal yang baru di Indonesia. Penciptaan jabatan atau posisi baru dalam struktur pemerintahan yang diperuntukkan bagi orang yang membantu pemenangan pejabat atau untuk anggota ‘tim sukses’ oleh pejabat yang berkuasa bukan pula hal yang baru di negeri ini. Hal ini nampaknya telah menjadi tradisi dan memiliki sejarah yang panjang dan telah dipraktikkan oleh banyak pejabat serta dalam banyak kesempatan di masa lampau.

Kolonialis Belanda adalah salah satu ‘sosok’ yang ikut-serta memperkenalkan dan mentradisikan bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan  baru untuk para pendukungnya, serta Perang Padri adalah sebuah iven historis, di mana ‘tradisi’ ini dengan sangat nyata dipraktikkan.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan bagaimana tradisi bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan baru dalam struktur pemerintahan daerah diperkenalkan oleh pejabat Belanda pada masa Perang Padri. Sehubungan dengan itu ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: pertama, mengapa pejabat Belanda membagi-bagi atau memberikan jabatan kepada para pendukungnya? Kepada siapa jabatan-jabatan itu diberikan? Jabatan-jabatan apa yang diciptakan untuk para pendukung tersebut? Bagaimana pola dan strategi bagi-bagi jabatan oleh para pejabat itu? Dan terakhir bagaimana tradisi bagi-bagi jabatan atau penciptaan jabatan tersebut dalam perjalanan sejarah Sumatra Barat (Minangkabau) secara umum?

II

Bagi-bagi jabatan oleh pejabat Belanda pada masa Perang Padri berhubungan erat dengan kerjasama yang mereka lakukan dengan beberapa tokoh daerah dan penciptaan jabatan-jabatan baru ada hubungannya dengan pembentukan unit administratif pemerintahan (reorganisasi pemerintahan) oleh Belanda di daerah ini. Namun, di atas dari semua itu, bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan-jabatan baru sangat nyata ‘nuansa balas budi’ oleh pejabat Belanda kepada orang-orang yang telah membantunya.

Keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, secara khusus, ada hubungannya dengan permintaan bantuan yang diajukan oleh keturunan Raja Pagaruyung dan penandatangan Perjanjian 10 Februari 1821. Permintaan bantuan yang dilakukan berulang-ulang kali itulah yang akhirnya direspon  oleh Du Puy, yang saat itu menjabat sebagai Residen Padang. Respon itu kemudian diwujudkan dalam sebuah perjanjian lima pasal yang ditandatangani oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar Syah dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir dari Suruaso, Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso, serta 12 penghulu yang mewakili 108 penghulu lainnya di Tanah Datar dan sekitarnya.

Dalam perjanjian tersebut dinyatakan beberapa hal, di antaranya ara penghulu dari negeri-negeri di bekas Kerajaan Minangkabau akan menyerahkan Pagaruyung, Sungai Tarab dan Suruaso, serta negeri-negari lainnya di dalam kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda, serta pemerintah Hindia Belanda akan menaklukkan negeri-negeri yang diserahkan itu, dan melindungi penduduk negeri-negeri tersebut dari kaum Padri, serta mengusir kaum Padri dan mengembalikan ketentraman di pedalaman. Di samping itu juga disepakati bahwa para penghulu tersebut akan menyediakan kaum lelaki untuk menjadi kuli pembawa barang perlengkapan serdadu Belanda dan menyediakan makanan.

Dalam praktiknya, kaum penghulu juga mengerahkan anak kemenakan mereka untuk membantu Belanda memerangi kaum Padri. Sebagaimana dilaporkan Stuers, Nahuijs, Boelhouwer, Lange dan sejumlah penulis lainnya, ada ribuan anak kemenakan penghulu tersebut yang menyertai Belanda memerangi kaum Padri.

Perjanjian 10 Februari 1821 adalah dokumen yang melegitimasi Belanda melakukan ekspansi politik ke pedalamaman Minangkabau. Dan dukungan anak kemenakan kaum penghulu itulah yang menjadi salah satu faktor yang membantu Belanda sukses mendesak kaum Padri dan akhirnya memenangkan perang.

Seiring dengan kemenangannya melawan Padri, Belanda memperluas wilayah administratifnya ke daerah pedalaman. Perluasan wilayah itu diwujudkan dengan penggantian nama Residentie van Padang menjadi Residentie van Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukkannya). Perluasan daerah administratif, yang juga bisa dikatakan sebagai reorganisasi pemerintahan daerah tahun 182 ini, merupakan perluasan wilayah Residentie van Padang (yang hanya mencakup daerah sekitar Padang, Pariaman, Air Haji, dan Pulau Cingkuak) ditambah dengan daerah Tanah Datar dan sebagian Agam.

Tahun 1825 dan 1833 karena daerah yang berhasil dikuasai semakin luas, maka wilayah yang menjadi bagian dari daerah administratif Residentie van Padang en Onderhoorigheden juga semakin luas. Pada tahun 1833, walupun belum dikuasai sepenuhnya, Belanda telah memasuki hampir seluruh wilayah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sebagian Tapanuli bagian selatan.

Perluasan daerah administratif atau reorganisasi pemerintahan pada masa Perang Padri memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan daerah Sumatra Barat. Arti penting yang dihadirkannya adalah dilibatkannya orang Minang dalam jajaran pemerintahan dan diciptakannya sejumlah jabatan baru dalam struktur pemerintah daerah, jabatan yang baru atau posisi yang belum pernah dikenal sebelumnya di daerah ini.

Proses pengikutsertaan orang Minang dalam pemerintahan daerah serta penciptaan jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan daerah ini juga memiliki dinamika yang khas. Dikatakan khas karena adanya sejumlah pejabat Belanda dengan kebijakan yang berbeda dalam proses bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan dalam pemerintahan daerah ini.

III

A.T. Raaff adalah pejabat Belanda (Resident van Padangsche Onderhoorigheden) yang pertama kali membagi-bagi jabatan kepada sejumlah Urang Awak, dan Raaff sekaligus menjadi tokoh pertama yang menciptakan jabatan-jabatan tertentu kepada Urang Awak. Satu tokoh yang mendapat hadiah jabatan itu adalah Sutan Alam Bagagar Syah. Tidak diragukan lagi, Sutan Alam Bagagar Syah dihadiahi jabatan karena perannya dalam mengundang Belanda agar mau memerangi kaum Padri, serta perannya sebagai salah satu penandatangan Perjanjian 10 Februari 1821 yang melempangkan jalan bagi Belanda untuk menguasai Minangkabau serta melakukan aksi militer memerangi kaum Padri.

Raaff juga dianggap sebagai pejabat yang pertama kali menciptakan jabatan yang baru, jabatan yang belum pernah ada sebelumnya dalam struktur pemerintahan daerah Sumatra Barat (Minangkabau). Setidaknya ada tiga jabatan baru yang diciptakan Raaff untuk pendukungnya: pertama, jabatan Hoofdregent (Regen Kepala); kedua, jabatan Regent (Regen); ketiga, jabatan Larashoofd (Kepala Laras). Di samping ketiga jabatan ini ada dua lagi jabatan yang diakui Raaff, yakni Dorphoofd (Kepala Nagari) dan Kepala Korong (Gehucht).

Tiga jabatan yang disebut pertama tidak pernah ada dalam struktur pemerintahan daerah (Hindia Belanda) di Minangkabau (Pantai Barat Sumatar) sebelumnya dan juga tidak pernah ada dalam struktur pemerintahan tradisional Minangkabau sebelumnya. Sedangkan jabatan Dorphoofd (Kepala Nagari) dab Gehuchthoofd (Kepala Korong/Kampung) sudah dikenal orang Minang sebelumnya.

Hoofdregent mengepalai sebuah wilayah yang dinamakan Hoofdafdeeling, Regent mengepalai daerah setingkat Regentschap, Larashoofd mengepalai Laras (Kelarasan) daerah yang terdiri beberapa nagari, sedangkan Dorfhoofd mengepalai daerah setingkat nagari, dan Gehuchthoofd mengepalai Korong/Kampung).

Ada dua Hoofdafdeelingen saat pertama kali diperkenalkan, yakni Hoofdafdeeling van Padang (yang merupakan gabungan dari empat Regentschappen yaitu 1. Padang, 2. Pariaman, 3. Pulau Cingkuak dan 4. Air Haji) serta Hoofdafdeelingvan Minangkabau (yang terdiri dari empat Regentschappen yaitu 1. Tanah Datar, 2. Tanah Datar Di Bawah (Lintau), 3. Agam, 4. Limapuluh Kota).

Sutan Alam Bagagar Syah dihadiahi jabatan sebagai Hoofderegent van Minangkabau dan sekaligus menjadi Regent van Tanah Datar. Dia juga dianugerahi gelar Raja Alam Minangkabau dengan gaji antara f.300,- sampai dengan f.400,- per bulan.

Walaupun dibentuk empat Regentschappen, namun karena kekuasaan Belanda belum sempurna di kawasan pedalaman, maka jabatan Regen Tanah Datar Di Bawah (Lintau) dan Regen Limapuluh Kota masih ditiadakan.

Belum utuhnya kekuasaan Belanda di daerah pedalaman menyebabkan pemberian jabatan untuk para pendukung Belanda lebih tertumpu di Tanah Datar dan sebagian Agam. Itu pulalah sebabnya hingga tahun 1825 jabatan Kepala Laras baru bisa diberikan kepada para penghulu di dua daerah tersebut. Menurut Kielstra sampai tahun 1825 ada sebanyak 23 Kepala Laras yang diangkat oleh Belanda di Tanah Datar dan 7 Kepala Laras di Agam.  Banyaknya Kepala Laras yang diangkat di Tanah Datar sangat beralasan, karena para penghulu daerah itulah yang ikut-serta menandangtangani Perjanjian 10 Februari 1821 dan dengan sungguh-sungguh mengerahkan anak kemenakan mereka membantu Belanda memerangi kaum Padri.

Informasi mengenai jumlah Kepala Laras tahun 1825 di atas diberikan oleh de Stuers, yang saat itu menjabat Residen Padang dan Daerah Taklukannnya.

Masa pemerintahan de Stuers juga memberikan informasi kepada kita tentang keberadaan Kepala Nagari dalam pemerintahan daerah. Stuers menjadikan nagari sebagai ujung tombak pemerintahan daerah. Karena itu, di samping mengakui keberadaan Nagari dan Kepala Nagari yang telah ada sebelumnya, Stuers juga pernah berupaya membentuk 80 nagari baru di daerah ini (namun karena kondisi belum memungkinkan, dalam artian kekuasaan Belanda belum utuh, maka hanya sekitar 30-an yang terwujud). Jabatan Kepala Nagari umumnya diberikan kepada para penghulu yang ikut menandatangani Perjanjian 10 Februari 1821 dan juga penghulu yang aktif mendukung kampanye militer Belanda mengganyang Padri.

Di samping memfokuskan perhatian pada Kepala Nagari dan unit pemerintahan setingkat Nagari di daerah pedalaman, Stuers juga tercatat sebagai Residen yang aktif membagi-bagi jabatan serta menciptakan jabatan Regen di kawasan pantai. Pada masa pemerintahannyalah dibentuk Regentschap Indrapura dan Pariaman.

H.J.J.L. de Stuers, Salah Seorang Resident van Padang en Onderhoorheden yang Terlibat Aktif dan bagi-bagi Jabatan dan Penciptaan Jabatan Baru untuk Para Pendukung Belanda di Sumatra Barat (Minangkabau)

Memasuki tahun 1830-an bagi-bagi jabatan tetap dilanjutkan oleh pejabat Residen yang berkuasa saat itu, dan Elout (1831-1834) tercatat sebagai Residen yang paling royal memberi jabatan kepada pendukungnya. Setakat ini, dari sumber yang tersedia, setidaknya ada tiga jabatan Regen yang diberikan dan diciptakannya di Minangkabau pada tahun-tahun tersebut. Ketiga jabatan itu diberikan kepada Tuanku Mudo yang dipercaya sebagai Regen Bonjol, Tuanku Halaban sebagai Regen Halaban dan Tuanku Batipuh (Kali Raja Asal Pariangan) sebagai Regen Batipuah.

Bagi-bagi jabatan ini juga dilakukannya di daerah Tapanuli yang saat itu menjadi bagian Residentie Padang en Onderhoorigheden. Jabatan Regen diberikan kepada Raja Gadombang yang diakui Belanda sangat setia dan sungguh-sungguh membantu pemerintah memerangi kaum Padri. Raja Gadombang tercatat sebagai sosok yang juga mengerahkan ribuan warga membantu Belanda memerangi kaum Padri.

Pada era Elout, gaji yang diberikan kepada Regen ternyata tidak sama besarnya. Gaji tersebut bervariasi antara f.250,- hingga f.500,- per bulan. Gaji yang paling besar diterima oleh Regen Batipuh, kemudian Raja Gadombang dan yang paling sedikit adalah Regen Halaban.

Gaji Kepala Laras, baik pada masa pemerintahan Raaff, Stuers atau Elout berkisar antara f.40,- hingga f.100,- per bulan. Sedangkan gaji Kepala Nagari berkisar antara f.20,- sampai dengan f.30,- per bulan.

Gaji Hoofdregent,  Regen, Kepala Laras dan Kepala Nagari dianggap sangat besar untuk saat itu. Di samping gaji, para pejabat tersebut juga mendapat fasilitas yang lainnya seperti adanya pembantu yang digaji oleh pemerintah serta kemudahan lain, seperti hak-hak istimewa dalam tata pemerintahan (politik) dan sosial-kemasyarakatan lainnya.

IV

Ada perbedaan yang cukup menarik dari bagi-bagi jabatan yang diberikan oleh tiga residen daerah ini. Raaff memberikan jabatan kepada sosok-sosok yang berperan-serta secara langsung mengundang dan menandatangani perjanjian yang memungkinkan Belanda terlibat dalam Perang Padri. Raaff sangat menghargai Alam Bagagar Syah sehingga diberi jabatan yang paling tinggi (Hoofdregent van Minangkabau) dan sekaligus menjadi Regent van Tanah Datar kepada Alam Bagagar Syah.

Raaff nampaknya masing menganggap raja sebagai lembaga dianggap bertuah dan memiliki peran yang besar dalam upaya melempangkan jalannya melakukan ekspansi politik ke daerah pedalaman.

Bagi-bagi jabatan para era Raaff masih terbatas di daerah Tanah Datar dan sebagian Agam.

Berbeda dengan Raaf, Stuers lebih memokuskan pemberian jabatan kepada Kepala Nagari. Stuers berkeinginan menjadi nagari sebagai ujung tombak pemerintahannya dan sekaligus garda terdepan dalam upanya pemerintah melawan Padri. Di mata Stuers para Kepala Nagari inilah yang paling langsung berhubungan dengan warga (penduduk). Karena itulah, di samping melanjutkan keberadaan Kepala Nagari yang telah ada sebelumnya, Stuers berupaya menciptakan sebanyak 80 Kepala Nagari (yang teralisir hanya sekitar 30-an).

Seperti yang disebut di atas, Stuers juga memberikan perhatian yang besar bagi pengangkatan Kepala Laras. Pada masa pemerintahannyalah keberadaan dan informasi mengenai Kepala Laras betul-betul nyata dan bisa ditemukan. Stuers memandang bahwa Kepala Laras adalah pejabat yang penting dalam membantu menjalankan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah daerah.

Politik ‘Pro-Kepala Nagari’ dan ‘Pro-Kepala Laras’ Stuer ini juga terlihat dari keputusannya menghilangkan jabatan Hoofdregent dan menghapuskan keberadaan Keregenan Tanah Datar Di Bawah (Lintau) dan Keregenan Limapuluh Kota, serta tidak mengangkat satupun Regen sampai akhir masa jabatannya.

Tidak hanya menghilangkan jabatan Hoofdregent yang diberikan kepada Sutan Alam Bagagarsyah, Stuers juga meniadakan keberadaan Raja dan Kerajaan Minangkabau. Dengan kata lain, Stuers betul-betul tidak menghargai keberadaan pejabat dan jabatan pada level atas dalam struktur pemerintahan daerah.

Satu lagi kebijakan politik Stuers adalah membentuk Keregenan Indrapura dan Pariaman. Pembentukan kedua Keregenan ini ada hubungannya dengan pengurangan tensi, atau ketegangan antara Belanda dengan kaum Padri. Sebab sejak tahun 1825 ada pengurangan jumlah tentara Belanda di daerah ini. Sejak tahun itu sebagian tentara Belanda, bahkan tentara pilihan, dikirim ke Pulau Jawa untuk mengakhiri pelawanan Pangeran Diponegoro. Dalam keadaan minim tentara itulah Stuers cenderung mengalihkan aksi militer dan kebijakan politik (termasuk pengangkatan pejabat dan pembentukan unit administratif yang baru) ke kawasan pantai barat. Pada saat itu pulalah Stuers berupaya menghidupkan aktivitas niaga di kawasan pantai barat, di mana Keregenan Indrapura dan Pariaman berada.

Kebijakan bagi-bagi jabatan yang dijalankan Residen Elout sangat berbeda dari apa yang dipraktikkan Raaff dan Stuers. Elout cenderung menghadiahi orang yang betul-betul membantunya melawan kaum Padri dan cenderung untuk memberikan jabatan setingkat Regen. Mereka adalah orang-orang yang membantu Belanda di daerah-daerah yang hingga akhir 1820an relatif belum jatuh ke tangan Belanda, seperti Tuanku Muda menjadi Regen Bonjol, Tuanku Halaban, Intan Bekati menjadi Regen Halaban dan Tuanku Batipuh, Kali Raja Asal Negeri Pariangan sebagai Regen Batipuh. Mereka adalah orang-orang yang ‘pasang badan’ atau turun langsung ke medan laga menghadapi kaum Padri atau memberikan nasihat yang membantu Belanda ‘menjinakkan’ kaum Padri. Bila dilihat dari gelar Regen Bonjol, Halaban, dan Batipuh yakni Tuanku Muda, Tuanku Halaban, dan Tuanku Batipuh terlihat juga kecendrungan lain dari Elout, yakni memberikan jabatan Regen kepada ulama (setidaknya sosok yang memiliki pengaruh atau pernah menjadi bagian dari kaum Padri). Tuanku adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang tinggi.

Bisa dikatakan bahwa jabatan Regen dihadiahkan Elout kepada sosok-sosok yang nyaris tidak ada kaitannya dengan undangan kepada Belanda untuk masuk ke Minangkabau serta penandatanganan Perjanjian 10 Februari 1821. Tidak hanya itu, Elout bahkan menganggap tidak ada artinya bantuan yang diberikan oleh para ‘supporter’ atau ‘tim sukses’ generasi awal mereka. Penihilan bantuan mereka itu antara lain terlihat dari ditangkap serta dibuangnya Sutan Alam Bagagarsyah ke Batavia karena dituduh berkianat kepada Belanda (tuduhan ini kemudian dianulir karena dianggap tidak terbukti  oleh sebuah tim yang dipimpin oleh Stuers).

Demikianlah fenomena bagi-bagai jabatan dan penciptaan jabatan baru pada masa Perang Padri yang sangat dinamis dan sarat kepentingan.

V

Dari gambar di atas bisa dikatakan bahwa fenomena bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan baru marak dilakukan pada masa Perang Padri. Namun perlu juga dipahami, bahwa fenomena ini bukanlah hal yang betul-betul terjadi di Sumatera Barat (Minangkabau) pada masa Perang Padri dan bukan pula fenomena yang terakhir dipraktikkan pada masa Perag Padri. Fenomena bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan-jabatan baru ternyata telah diperkenalkan oleh Belanda pada masa sebelum Perang Padri dan tetap dilanjutkan pada era setelah Perang Padri.

Pemberian jabatan kepada Urang Awak, dengan jabatan yang bergengsi tinggi, dilakukan oleh Belanda (VOC) tahun 1667, yakni satu tahun setelah kompeni itu berkuasa di daerah ini. Jabatan itu diberikan kepada Orang Kaya Kecil, satu dari delapan penghulu di Padang, yang tahun 1663 pergi ke Batavia untuk mengundang dan meminta bantuan VOC mengusir Aceh dari daerahnya. Atas undangannya itulah VOC memiliki semacam ‘mandat’ melakukan aksi militer memerangi dan mengusir Aceh dari Padang khususnya dan Pantai Barat Sumatra pada umumnya.

Setelah berhasil mendepak Aceh, VOC menganugerahi Orang Kaya Kecil gelar Panglima dengan ‘honorable inkomste’ (penghasilan/gaji penghormatan) sebesar 15 kati lada atas setiap 330 kati lada yang diekspor dari kawasan ini.

VOC tidak hanya menganugerahi gelar pada Orang Kaya Kecil, tetapi juga kepada delapan penghulu yang ikut mendukung berkuasanya kompeni tersebut di daerah ini. Seiring dengan perjalanan waktu, seiring pula dengan semakin banyaknya bantuan yang diberikan oleh penghulu di kota itu, maka tahun 1730 jumlah penghulu ditingkatkan menjadi 12 dan salah seorang dari mereka dianugerahi gelar Datuk Bendahara. VOC juga menentukan bahwa bila Panglima berasal dari suku penganut tradisi Koto Piliang maka Datuk Bendahara haruslah bagian dari tradisi Bodi Caniago.

Sesungguhnya, sebelum Belanda, praktik pemberian gelar ini telah dilakukan oleh Aceh. Bahkan, gelar Panglima itu sendiri diadopsi VOC dari gelar yang diberikan pengausa Aceh terhadap pejabat bumiputera tertinggi yang mewakinya di kota Padang.

Jadi bagi-bagi atau pemberian jabatan telah dilakukan di daerah ini sejak waktu yang jauh di masa lampau. Dan bagi-bagi jabatan ditujukan kepada sosok-sosk yang mendukung serta membantu pejabat atau pemerintah yang berkuasa.

Setelah Perang Padri usai, bagi-bagi atau penciptaan jabatan baru tetap dilanjutkan oleh pejabat Belanda. A.V. Michiels yang menjadi Gouverneur van Sumatra’s Westkust antara tahun 1837 sampai 1849 misalnya memperkenakan jabatan Penghulu Kepala yang diciptakan untuk mengepalai sebuah Nagari. Jabatan ini, sebagian didasarkan pada hak waris secara tradisional dan sebagian lagi ditentukan oleh keputusan yang ditetapkan oleh pejabat (Belanda) yang akan mengangkatnya. Gubernur van Swieten (1849-1858) melanjutkan praktik pemberian gelar Tuanku Laras dan Penghulu Kepala serta penciptaan jabatan baru. Van Swiete memperkenalkan jabatan baru yang dinamakan Penghulu Suku Rodi.

Berbeda dengan bagi-bagi jabatan pada masa Perang Padri yang diberikan kepada orang-orang yang membantu pemerintah memerangi kaum Padri, maka pemberian jabatan pada era pasca-Padri diperuntukan bagi figur-figur yang membantu pemerintah menyukseskan jalannya pemerintahan serta kebijakan politik ekonomi pemerintah, seperti praktik Tanam Paksa Kopi yang diperkenalkan tahun 1847.

Pola pemberian jabatan kepada orang-orang yang membantu pejabat khususnya dan pemerintah umumnya tetap berlanjut pada awal abad ke-20 hingga beberapa waktu belakangan di Sumatra Barat. Ada banyak kasus dan contoh serta ada banyak sumber untuk itu. Fenomena ini adalah pengalaman sejarah yang sangat menarik dan penting untuk diungkapkan. Dengan mempelajari pengalaman masa lampau itu diharapkan akan lebih mudah memahami praktik bagi-bagi atau pemberian jabatan kepada para pendukung atau ‘tim sukses’ yang marak dilakukan akhir-akhir ini. Mudah-mudahan ada sejarawan atau peminat sejarah yang ingin mengkaji serta mengungkapkan fenomena ini dengan sungguh-sungguh dan lebih komprehensif. Semoga.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Westenenk, L.C., “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Wabah dan Penyakit Pada Masa Perang Padri

Perang Padri adalah perang yang sarat dengan kekerasan. Tujuan masing-masing pihak yang terlibat dalam perang itu adalah memenangkan pertempuran. Untuk menang dihalalkan segala macam cara, termasuk membunuh atau mencederai lawan. Tekad masing-masing pihak ini mengakibatkan jatuhnya korban. Ada banyak korban jiwa, harta dan benda dalam perang yang berlangsung sekitar dua puluh tahun tersebut. Sayangnya, sampai saat ini, belum atau tidak diketahui berapa banyak jiwa yang melayang dan tidak diketahui pula berapa jumlah orang yang luka-luka atau cacat akibat perang tersebut. Namun dari berbagai sumber yang sampai ke tangan kita, bisa dipastikan jumlahnya pasti mencapai ribuan orang.

Perang tidak saja mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan mengakibatkan luka atau cacat tubuh, tetapi juga menyebabkan terusirnya banyak warga dari kampung (nagari)nya, rusaknya atau hancurnya rumah, mesjid, sarana dan prasarana transportasi, sarana dan prasarana sanitasi, kesukaran-kesukaran ekonomi, merosotnya kesejahteraan warga, serta kacaunya sistem, struktur dan praktik sosial-budaya. Berbagai dampak perang tersebut, secara langsung atau tidak, berpengaruh terhadap kesehatan warga. Dengan kata lain, kesehatan warga menjadi menurun. Tidak diragukan lagi, bahwa pada masa Perang Padri ada banyak warga yang sakit. Warga sakit karena daya tahan tubuh mereka yang berkurang sehingga tidak mampu melawan bibit penyakit yang sudah umum menjangkiti warga. Di samping itu, mereka sakit karena berkembangnya berbagai penyakit dan wabah di tengah masyarakat.

Setakat ini, persoalan penyakit atau wabah yang berkembang selama Perang Padri nyaris belum pernah dikaji atau diungkapkan oleh sejarawan atau peminat sejarah. Padahal, aspek ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iven historis tersebut dan nyata adanya pada saat itu. Penyakit dan wabah adalah ‘siksaan’ lain yang dialami warga pada saat perang berlangsung, dan ini sesungguhnya sebuah aspek perang yang sangat layak diungkapkan dan dikemukakan.

Tulisan ini mencoba menampilkan beberapa penyakit dan wabah yang dialami warga dan melanda Sumatra Barat pada masa berlangsungnya Perang Padri. Karena itu beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: pertama, penyakit-penyakit apa sajakah yang meruyak pada masa Perang Padri?; kedua, wabah apakah yang melanda Sumatra Barat selama masa Perang Padri? Mengapa penyakit atau wabah tersebut bisa muncul dan bagaimana warga daerah atau tentara (pemerintah) Belanda mengatasinya?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyan ini, pada bagian berikut akan disajikan beberapa penyakit yang lazim dikenal atau menjangkiti warga Sumatra Barat.

II

Sebagaimana diketahui, penyakit adalah sesuatu yang menyebabkan atau terjadinya gangguan yang berbahaya pada makhluk hidup, yang umumnya terkait dengan tanda atau gejala tertentu dan berbeda dari cidera fisik. Penyakit juga sering dipahami sebagai gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau kelainan sistem fa’al atau jaringan pada organ tubuh (pada makhluk hidup). Sedangkan wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang dalam waktu yang relatif cepat serta sering disertai oleh jatuhnya korban (jiwa) dalam jumlah yang banyak.

Adanya penyakit adalah hal yang lazim di Minangkabau dan sudah lama menjangkiti orang Minang. Sebagai mana dikutip oleh seorang peneliti pada awal tahun 1860-an di kawasan Agam, ada ‘responden’ yang mengatakan bahwa penyakit sudah ada semenjak manusia (orang Minang) ada.

Dikatakan ada sejumlah penyakit yang lazim menjangkiti Urang Awak. Seperti dicatat oleh Ludeking, ada sekitar 30-an penyakit yang dikenal Minangkabau hingga pertengahan abad ke-19. Beberapa di antaranya adalah sakit kulit {kudis, puru (frambusia), kurap longsong, kurap ayam, kurap besi, biring, kayap, dlsbnya), demam (kuro atau malaria dan kapiala), cacingan, sakit mata, sakit telinga, batuk (TBC), ketumbuhan (cacar), diare, sakit gigi, gondok, sawan (epilepsi), asma, kolera, pneumonia, hepatitis, tetanus, spilis, dlsbnya.

Diakui juga, bahwa sebagian dari penyakit ini sudah begitu biasa menyerang atau diidap penduduk, namun beberapa di antaranya tidak begitu sering menjangkiti warga, seperti spilis. Namun untuk kasus yang terakhir ini, dikatakan juga, bisa saja kasusnya berkembang di tengah masyarakat, namun warga tidak mau mengatakan alias mereka cenderung untuk merahasiakannya.

Ludeking juga mengutip pendapat warga yang mengatakan bahwa kehilangan kesadaran sesudah mengonsumsi genever (sejenis minuman keras) dan sesudah mengonsumsi opium (madat) juga sebagai penyakit. Kondisi tubuh yang kurus, tidak bertenaga, dan hilang gairah hidup atau sebaliknya menjadi begitu agresif sesudah mengonsumsi genever serta opium juga dikatakan warga sebagai penyakit (walaupun begitu warga tidak memberikan nama tertentu terhadap gejala yang dialami pengidapnya).

Gila juga dianggap sebagai penyakit. Sebagai bagian dari dunia timur yang dikatakan juga sarat dengan unsur yang sifatnya irasional, maka untuk penyakit gila ini Urang Awak cenderung mengaitkannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia magis. Seperti yang dikemukakan van der Toorn, penyakit gila yang diidap seseorang bisa saja disebabkan oleh dukun.

Satu lagi penyakit yang berhubungan dengan ‘dunia gaib‘ adalah keracunan. Di samping keracunan oleh racun yang ada di alam (dari getah, daun, kulit atau akar tumbuhan), keracunan sebagaimana dipahami Urang Awak adalah penyakit yang disebabkan oleh racun yang dibuat dan dikirim oleh dukun melalui kekuatan gaib. Penyakit yang disebabkan oleh racun ‘gaib’ ini dikisahkan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, bahwa Datuk Bandaro meregang nyawa karena ‘termakan’ (racun) yang diberikan orang padanya saat diadakan pesta.

Van der Toorn mengatakan, bahwa sesungguhnya hampir semua penyakit yang dikenal orang Minangkabau bisa dikaitkan penyebabnya dengan dunia gaib. Beberapa contoh peyakit yang disebut Toorn adalah sakit gila (sijundai), sakit kulit (biring), sakit perut (naik galang-galang), susah melahirkan karena bayi yang akan keluar ‘ditahan’, dlsbnya.

Di samping hal-hal yang bersifat irasional, ada sejumlah penyebab (penyebab empiris) munculnya penyakit-penyakit itu. Sebagaimaan dikemukakan oleh Ludeking dan Kleiweg, penyebab umum yang dimaksud adalah lingkungan, makanan, dan pakaian serta pola hidup yang kurang atau tidak sehat.

Walaupun dikatakan cukup makmur dan sejahtera, dalam berbagai sumber berupa buku atau dokumen (seperti karya Nahuijs, Stuers, Elout, Boelhouwer, Michiels, Ludeking, Kleiweg, serta sejumlah laporan bulanan dan tahunan yang dibuat oleh Gubenur Sumatra’s Westkust) diketahui bahwa secara umum lingkungan tempat tinggal Urang Awak masih banyak yang tidak sehat. Dikatakan bahwa banyak rumah di Minangkabau kurang bagus sirkulasi udaranya, tata ruangnya tidak bagus dan isi rumah sangat padat dan terdiri dari berbagai macam barang ditumpuk. Bagian bawah rumah juga sering dijadikan sebagai kandang ayam atau sapi, pekarangan rumah becek, peralatan makan dan minum kurang bersih, tempat mandi, cuci, dan buang air yang tidak lengkap/kurang baik, dlsbnya. Lingkungan yang kurang sehat ini juga dikaitkan dengan adanya tikus atau kecoak atau serangga-serangga lain yang berkeliaran di dalam rumah atau juga masuk ke dalam makanan atau bahan makanan.

Dikatakan juga bahwa makanan Urang Awak tempo doeloe kurang diolah dengan baik. Sering ditemukan daging yang kurang dibersihkan dengan baik dan atau dimasak tidak sampai sempurna.

Sebagian besar pakaian Urang Awak juga tidak sehat. Pakaian yang dipakai tidak atau kurang bersih. Pakaian sering dipakai dalam waktu yang lama (berhari-hari). Bahkan dikatakan pakaian yang dipakai juga banyak tuma.

Kondisi di atas sesungguhnya adalah gambaran pada abad ke-19. Namun dari bahan yang lebih tua yang berasal dari abad ke-16 (Dorleans) ditemukan juga catatan mengenai lingkungan yang kotor dan badan Urang Awak yang tidak bersih.

Demikianlah, hingga masa Perang Padri kondisi lingkungan yang kurang sehat, makanan dan pola makan yang kurang sempurna pengolahannya, dan pakaian yang umumnya tidak bersih menjadi faktor-faktor penyebab utama banyak penyakit yang berkembang dan diidap warga Sumatra Barat.

Di samping adanya sejumlah penyakit yang sudah dianggap lazim diidap warga, wabah sebagai kejadian ‘luar biasa’ juga pernah melanda daerah ini. Di samping menjadi bagian dari meruyaknya sejenis penyakit dalam wilayah yang luas (regional atau global), sejumlah wabah penyakit juga melanda Sumatra Barat dalam skala lokal, maksud wabah yang terjadi dalam wilayah Sumatra Barat sendiri. Wabah seperti ini di antaranya terjadi pada masa Perang Padri.

III

Sumber-sumber yang berasal dari pelaku sejarah atau saksi hidup Perang Padri menyebut ada sejumlah penyakit dan wabah yang berkembang di Sumatra Barat saat itu. Namun karena dikisahkan oleh dua kelompok orang dengan dua pemahaman yang berbeda tentang konsep penyakit serta wabah, maka ada dua bentuk penyakit dan wabah yang disajikan dalam catatan mereka. Bentuk pertama adalah penyakit sebagaimana dipahami ‘orang modern’ yang rasional (dunia medis) dan kedua penyakit sebagaimana dipahami ‘orang kampung’ yang irasional.

Salah satu jenis penyakit yang banyak disebut adalah penyakit kulit. Nahuijs, Stuers, Boelhouwer, Lange menyebut adanya penyakit kulit yang diidap warga, termasuk para tentara Belanda (tentara Eropa, bumiputera non-Minang dan lasykar Melayu pendukung Belanda), serta juga kalangan Padri. Mereka juga menyebut bahwa penyakit itu banyak diidap oleh masyarakat luas.

Nahuijs sendiri mengatakan bahwa dia sempat mengidap penyakit ini. Dia juga mengatakan bahkan dia melihat sejumlah warga yang mengidap penyakit kulit di kawasan Tanah Datar. Boelhouwer juga melihat sejumlah orang yang menderita sakit kulit di kawasan Rao. Dia bahkan menyebut bahwa ada banyak warga yang kotor pakaiannya dan nyaris tidak mengindahkan kebersihan tubuhnya dan itu diduga sebagai penyebab banyaknya warga mengidap penyakit ini. Walaupun tidak menyebut secara tegas di mana lokasinya, Stuers dalam laporan tahunannya juga mengatakan bahwa penyakit kulit banyak diidap orang Melayu (sebutan terhadap orang Minang non-Padri), serta  juga sejumlah tentara Belanda dan hulp-tropen (tentara Jawa, Madura).

Tiga penyakit lain yang pernah meruyak pada masa Perang Padri adalah kolera, demam, dan disentri. Tiga penyakit menyerang banyak tentara dan warga daerah, serta luas wilayah penyebarannya (sehingga bisa dikatakan sebagai wabah).

Kolera adalah penyakit (wabah) yang relatif awal disebut dan juga sering terjadi pada kurun waktu Perang Padri. Pada awal tahun 1820-an Anderson mengemukakan bahwa kolera mewabah di bagian timur Sumatra. Karena orang Minang, khususnya kaum Padri sering bepergian ke kawasan timur Sumatra diperkirakan penyakit ini juga menyebar ke kawasan pedalaman (Minangkabau).

Penyakit ini dikatakan berjangkit lagi pada awal tahun 1830-an. Sebuah pengalaman nyata mengenai wabah ini dikisahkan oleh Boelhouwer. Pengalaman Boelhouwer ini juga dikemukakan kembali oleh Kielstra dan Lange. Dikatakan bahwa dalam pelayaran dari Batavia menuju Padang, satu minggu setelah belayar, di kapal yang ditumpangi Boelhouwer (Jessy) berjangkit penyakit kolera, penyakit yang dikatakan Boelhouwer sebagai sesuatu ‘yang mengerikan.’ Dikatakan mengerikan karena datang dengan tiba-tiba dan langsung menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Sering terjadi, penumpang kapal masih berdiri atau berada dalam keadaan sehat, namun tiba-tiba dia mengaduh dan mengeluh dengan mengatakan “aduh, sakit sekujur tubuh saya dan sakit sekali perut saya”, kemudian dia terjatuh. Sang korban dibawa ke ruangan perawatan, segera dirawat dokter, tetapi tidak lama kemudian dia telah meninggal. Dikatakan mengerikan juga terlihat data yang disajikan, bahwa pernah pada suatu pagi tujuh jenazah yang dilemparkan ke laut. Dikatakan mengerikan bahwa dalam beberapa hari saja telah jatuh korban 25 orang tentara dan 12 anak kapal (pelaut). Ini adalah jumlah yang besar, karena di kapal itu ada 200 tentara, berarti seperdelepan anggota pasukan telah tewas oleh penyakit mengerikan tersebut.

Berkumpulnya orang yang demikian banyak pada suatu tempat yang relatif kecil serta penggunaan berbagai fasilitas, terutama fasilitas sanitasi secara bersama, adalah satu penyebab meruyaknya penyakit tersebut dalam waktu yang sangat singkat. Disyukuri, bahwa penyakit ini ‘hanya’ berjangkit beberapa hari. Cepatnya fase wabah ini, antara lain disebabkan oleh penanganan yang tepat dan cepat, hal ini disebabkan oleh tersedianya dan dimungkinkan oleh kinerja dokter yang menangani penyakit tersebut.

Penyakit lainnya adalah demam. Deman yang mengerikan juga pernah mewabah pada masa Perang Padri. Sebagaimana dikutip oleh Mohammad Radjab, pada akhir Oktober 1835 seorang budak perempuan Batak berhasil melarikan diri dari bonjol (kubu atau benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol). Dia lari dan meminta perlindungan Belanda. Banyak hal yang diceritakan wanita tersebut tentang keadaan dalam benteng, salah satu di antaranya adalah mewabahnya semacam penyakit (demam). Dikatakan bahwa tiga atau empat orang warga bonjol menjadi korban demam ini setiap hari.

Penyebab meruyaknya penyakit ini, diperkirakan, ada hubungannya dengan berbagai kesulitan yang dihadapi warga bonjol. Warga mengalami kekurang pangan yang serius. Hal ini sesuai benar dengan informasi yang dikatakan perempuan Batak itu, bahwa penghuni bonjol saat itu sudah sangat menderita. Cadangan beras sudah habis, sehingga prajurit Padri mesti keluar bonjol pada malam hari untuk mendapatkan atau membeli beras yang harganya sangat mahal. Makan dijatah dan budak-budak hanya diberi makan satu kali satu hari dalam porsi yang sedikit, serta tanpa garam (garam hanya untuk para tuanku dan keluarganya).

Kekurangan pangan dan juga kekurangan berbagai bahan kebutuhan hidup lainnya disebabkan oleh pengepungan dan serangan-srangan yang dilakukan Belanda terhadap benteng. Sejak pembunuhan 11 Januari 1833, yang mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak 46 orang serdadu (27 orang tentara Belanda dan 19 orang tentara bumiputera non-Minang), Belanda mengintensifkan upaya penaklukan bonjol. Upaya penaklukan dan pengepungan yang lama inilah yang menyebabkan kurangnya cadangan pangan dan berbagai kebutuhan hidup lainnya di kalangan kaum Padri penduduk bonjol. Kekurangan-kekurangan itu pulalah yang menjadi penyebab lemahnya daya tahan tubuh mereka ketika ada bakteri/virus sebagi sumber peyakit datang.

Demam yang mematikan sesungguhnya terjadi berulang kali selama masa Perang Padri. Korbannya tidak hanya rakyat atau Urang Awak, tetapi juga para serdadu Belanda. Dikalangan serdadu, korbannya tidak hanya meliputi para prajurit, tetapi juga perwira petinggi militernya. Salah satu korban demam mengerikan ini adalah Letnan Kolonel A.T. Raaff, komandan tentara dan kemudian juga residen untuk daerah ini. Dalam tulisan-tulisan yang dibuat pada masa atau segera setelah Perang Padri berakhir, seperti laporan tahunan Stuer, buku Stuers, Kielstra dan Lange, dikatakan bahwa penyebab kematian Raaff hanya ‘karena sangat lelah berperang melawan Padri”. Namun dalam tulisan yang muncul pada awal abad ke-20, di antaranya Memorie van Overgave J. Ballot, yang ditulis 12 Agustus 1915, dikatakan bahwa penyebab kematiannya adalah demam yang parah, dikatakan ‘Raaff overleed namelijk aan zware koortsen’ (Raaff meninggal karena demam yang parah).

Tidak hanya Raaf, sejumlah perwira dan prajurit yang lain juga dilaporkan pernah diserang deman parah ini. Kielstra menyebut bahwa Baud, Acting Resident pengganti Raaff juga pernah menderita deman parah sehingga kondisinya menjadi sangat lemah. Kielstra menyebut bahwa penyakit yang sama juga menyerang sejumlah perwira dan prajurit di Tanah Datar dan Agam. Salah satu dari sekian banyak korban itu adalah seorang komandan pasukan artileri ke-13, ajudan Baud yang meninggal di Fort de Kock. Di samping itu disebut juga tentang sejumlah prajurit yang sempat dirawat karena demam yang ganas di Rumah Sakit Fort de Kock.

Penyakit lain yang juga mewabah pada masa Padri adalah disentri. Ada sejumlah laporan tentang wabah ini, namun satu yang paling sering disebut adalah wabah yang terjadi tahun 1823. Kielstra menulis bahwa jumlah tentara Belanda yang sakit sangat banyak. 21 anggota serdadu Belanda dari pasukan keenam dari battalion infantri pertama diserang oleh penyakit ini. Jumlah serdadu bumiputera (Jawa dan Madura) yang sakit sekitar 20 sampai 30 orang. Sedangkan jumlah yang sakit dari kalangan ‘serdadu Urang Awak’ pendukung Belanda tidak terhitung banyaknya (karena memang tidak dihitung). Banyak dari penderita disentri ini kemudian meninggal. Kondisi lapangan, terutama penggunaan fasilitas sanitasi secara bersama, diperkirakan penyebab utama berjangkitnya penyakit ini. Pola pengolahan makanan yang kurang atau tidak sempurna juga diduga sebagai penyebab meruyaknya penyakit ini.  

Di samping penyakit-penyakit yang disebut di atas, ada satu  lagi penyakit yang berjangkit pada masa Perang Padri, yakni penyakit galkoort (deman empedu). Salah satu kasus penyakit ini terjadi di Pariaman. Pada saat berjangkitnya tidak ada kampung di Pariaman yang tidak kena, dan nyaris tidak ada rumah yang bebas dari serangan penyakit ini. Dikatakan bahwa rata-rata enam sampai delapan penghuni rumah jatuh sakit. Komandan tentara Belanda di Pariaman dan sejumlah prajuritnya juga diserang penyakit ini. Demam empedu dianggap sebagai salah satu penyakit yang ganas, sehingga tidak bisa diobat oleh dokter yang ada di Pariaman. Untuk pengobatannya orang Belanda yang sakit mesti dibawa ke Padang.

Ada sejumlah penyakit lain yang berjangkit di Sumatra Barat dan menyerang warga daerah, serta kalangan tentara. Namun penyakit-penyakit itu tidak disebutkan (tidak diketahui namanya). Salah satu penyakit itu dilaporkan oleh Elout, dan dikutip Kielstra. Dikatakan bahwa dalam waktu lima bulan, 70 orang dari 283 serdadu yang datang bersama Elout ke Sumatra Barat  menderita sakit. Apa nama penyakitnya tidak disebutkan.

Penyakit yang tidak disebutkan namanya yang diderita oleh serdadu juga disebut oleh Muhammad Radjab. Radjab menyebut ada sejumlah penyakit yang menyerang serdadu Belanda dan itu menambah beban atau penderitaan mereka yang senantiasa diserang oleh pejuang Padri.

IV

Sumber-sumber dari tangan pertama pihak Padri, seperti Memoar Tuanku Imam Bonjol atau Fakih Saghir, nyaris menyebut upaya yang dilakukan pihak Padri dalam rangka mengatasi penyakit atau wabah yang menyerang penduduk. Walaupun demikian, merujuk keterangan dari Ludeking dan Zwaan, diperkirakan bahwa pengobatan dilakukan dengan cara tradisional, dengan menggunaan dedauan, kulit pohon, dan akar tumbuhan. Di samping itu, pengobatan juga dilakukan dengan menggunakan ‘kepandaian’ sang tuanku. Sebagaimana disebut oleh Darwis Datoek Madjolelo, Tuanku Imam Bonjol sendiri adalah sosok yang memiliki kekuatan gaib (‘kepandaian’) yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Kepandaian yang sama juga dimiliki oleh sejumlah tuanku yang lain.

Sebaliknya, sumber-sumber yang dibuat Belanda menginformasikan adanya upaya yang mereka lakukan dan upaya itu bersifat modern. Upaya-upaya itu antara lain dengan menyediakan tenaga dokter dan para medis lainnya. Dalam setiap gugus tempur yang dikirim dari Batavia ke Padang (Sumatera Barat) atau pada setiap kapal perang selalu ada dokter dan para medis. Stuers, Lange, dan Kielstra juga menyebut bahwa senantiasa ada dokter dan para medis yang diikutsertakan dalam setiap kampanye militer di daerah ini.  

Dengan kata lain, adanya dokter dan para medis yang senantiasa siap memberikan perawatan atau pengobatan terhadap tentara yang sakit adalah contoh lain tentang kesiapsiagaan Belanda mengatasi penyakit atau wabah yang mungkin akan menjangkiti pasukannya.

Di samping adanya dokter dan para medis, untuk mendukung kampanye militer dan membantu tentara yang sakit atau cedera di medan tempur, pemerintah Belanda kolonial juga mendirikan rumah sakit. Ada sejumlah rumah sakit yang didirikan saat itu, di antaranya di Fort van der Capellen, Fort de Kock, Pariaman, Suliki, Lubuk Sikaping, dlsbnya. Rumah sakit-rumah sakit ini sangat besar artinya dalam merawat tentara yang sakit.

Dalam beberapa catatan dan tulisan dikatakan bahwa dokter tentara adalah dokter hebat. Obat yang digunakan adalah obat-obat yang dibrikan dokter tentara adalah obat-obat terbaik. Rumah sakit tentara adalah lembaga pengobatan yang hebat dan terbaik.

Sejak masa Perang Padri hingga awal abad ke-20, ada ‘mitos’ di Sumatra Barat yang mengatakan bahwa dokter tentara (dan obat-obat yang diberikannya), serta rumah sakit tentara adalah dokter dan rumah sakit yang hebat. Ada ‘mitos’ yang mengatakan bahwa setiap penyakit akan sembuh kalau dibawa dirawat oleh dokter tentara atau berobat ke rumah sakit tentara.

Mitos seperti ini diperkuat pula oleh kehadiran rumah sakit tentara yang terbesar dan terlengkap untuk Sumatra pada awal abad ke-20 (yang pada awalnya ditujukan untuk merawat tentara yang sakit atau cedera dalam Perang Aceh).

Penyakit atau wabah yang berjangkit pada masa Perang Padri serta penanganan yang dilakukan terhadapnya, menjadi dasar bagi upaya pengenalan dan pemberantasan penyakit oleh ahli dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1850-an. Sejak pertengahan abad ke-19 dilakukan sejumlah penelitian mengenai jenis-jenis penyakit dan wabah yang pernah ada di Sumatra Barat. Dilakukan juga penyelidikan terhadap cara-cara penanggulangan atau pengobatan penyakit-penyakit tersebut oleh Urang Awak. Seperti yang telah disebut pada bagian terdahulu, tokoh yang melakukan upaya ini antara lain E.W.A. Ludeking, J.P. Kleiweg de Zwaan dan J.L. van der Toorn.

Seperti dikatakan oleh Ludeking, Zwaan dan Toorn, Urang Awak lazim melakukan penanganan atau pengobatan secara tradisional. Pengobatan secara trasidisional ini, antara lain, dilakukan dengan menggunakan ramuan alami yang terbuat dari berbagai macam dedaunan, kulit pohon dan akar pohon. Pengobatan ‘cara tradisional’ juga berarti menggunakan jasa dukun.

Di samping itu, Nahuijs mengatakan bahwa orang Minang juga menggunakan sumber air panas (mata air panas) untuk pengobatan. Penyakit yang disembuhkan melalui pengobatan melalui cara ini adalah penyakit kulit. Metode pengobatan yang dilakukan si penderita adalah merendamkan diri mereka ke dalam air panas (sumur panas bumi) untuk beberapa lama dan dilakukan secara berulang-ulang selama beberapa hari. Nahuijs melihat sejumlah warga Tanah Datar yang mengobati penyakit kulit yang mereka idap di sumur-sumur air panas yang banyak terdapat di kawasan itu. Menuru Nahuijs, diperkirakan, kandungan belerang yang ada dalam air tersebut mampu membunuh bakteri penyebab sakit kulit itu.

Perang Padri tidak hanya mewariskan pengalaman perang yang mengakibatkan korban jiwa dan cacat fisik bagi tentara atau warga daerah, tetapi juga catatan-catatan – yang umumnya terserak-serak dalam berbagai dokumen dan buku – mengenai beberapa jenis penyakit dan berbagai wabah yang pernah berkembang serta meruyak pada masa perang tersebut. Informasi dalam dokumen atau buku-buku tersebut menanti jamahan tangan para sejarawan dan peminat sejarah untuk mengungkapkannya dengan lebih sungguh-sungguh dan komprehensif. Pengungkapan yang lebih sungguh-sungguh dan komprehensif diharapkan akan menghasilkan sebuah karya yang utuh tentang penyakit dan wabah di Sumatra Barat pada masa Perang Padri. Informasi yang disajikan tersebut pasti merupakan suatu pengetahuan yang bisa dijadikan sebagai modal bagi kita untuk memahami dunia kesehatan Urang Awak di masa lalu. Isi buku tersebut akan menjadi dasar pula guna memahami jenis-jenis penyakit dan wabah yang senantiasa ada dan menyerang warga daerah, serta cara-cara yang telah dijalankan dalam rangka mengobati dan memberantas penyakit dan wabah tersebut. Kita tunggu karya tersebut, dan tulisan ini hanya bersifat pemancing bagi lahirnya karya yang utuh itu.

Sumber:

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in M.DCCC.XXIII. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadell, M.DCCC.XXVI.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bonjol, Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatn, 1951.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Dorleans, Bernard, Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2016.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Ludeking, E.W.A., Natuur en Geneeskundige Topographie van Agam (Westkust van Sumatra). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867.

Memorie van Overgave J. Ballot, 1915.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Zwaan, J.P. Kleiweg de, De Geneeskunde der Minangkau-Maleiers. Amsterdam: Meulenhoff & Co., 1910.

Ditulis oleh: Gusti Asnan