Category: Sejarah Perang

Pantun, Talibun, Teka-Teki “Tempo Doeloe” dan Perlawanan Terhadap Belanda di Sumatra Barat

Sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia menentang dengan keras setiap bentuk penindasan yang dilakukan oleh para penguasa yang zalim, baik penguasa yang berasal dari negeri sendiri atau penguasa yang datang dari luar. Dari sejarah juga diketahui bahwa perlawanan terhadap penguasa yang zalim itu dilakukan melalui berbagai cara. Kitab-kitab sejarah menginformasikan bahwa secara umum ada dua bentuk perlawanan; pertama, perlawanan secara fisik; dan kedua perlawanan secara non-sisik.

Sesuai dengan sifatnya, perlawanan secara fisik antara lain ditandai dengan penggunaan organ jasmaniah dan badaniah, serta ditambah dengan alat/senjata yang biasa digunakan untuk sebuah tindak kekerasan, seperti parang, pedang, hingga senjata api. “Tindak kegaduhan” hingga “perang basosoh” adalah wujud perlawanan secara fisik ini. Sebaliknya, perlawanan secara non-fisik lebih mengandalkan aktivitas rohaniah dan otak. Perlawanan corak ini juga menggunakan alat/senjata, tetapi alat/senjata yang biasanya digunakan bertujuan untuk mencerdaskan dan mencerahkan rohani dan pemikiran, seperti pena, kuas, kertas, mesin ketik, dinding, dan alat-alat yang berhubungan dengan dunia seni. Pidato, pemogokan, tulisan di media-massa, buku, corat-coret di tembok-tembok, dan berbagai bentuk karya seni (termasuk seni bertutur) adalah sebagian contoh pelawanan secara non-fisik ini.

Pelawanan secara fisik (ditambah dengan pengunaan alat/senjata yang berhubungan dengan dunia kekerasan) telah dilakukan dalam waktu yang lama. Perlawanan corak ini telah dilakukan sejak peradaban/kebudayaan anak bangsa ini masih bersahaja. Pola perlawanan ini menjadi karakter utama yang dilakukan terhadap penguasa (raja) yang zalim. Pola ini juga menjadi bentuk perlawanan utama yang dilakukan terhadap kolonialis kulit putih hingga pertengahan kedua abad ke-19 khususnya. Tidak dipungkiri, perlawanan dengan pola kekerasan ini tetap berlanjut hingga beberapa waktu belakangan, namun persentase jumlahnya semakin lama semakin menurun.

Perlawanan secara non-fisik sesungguhnya juga telah dilakukan sejak zaman “bahuela”. Namun perlawanan corak ini mulai banyak dilakukan pada pertengahan kedua abad ke-19. Seiring dengan kemajuan peradaban/kebudayaan, termasuk di dalamnya kemajuan ilmu dan pengetahuan, persentase perlawanan dalam bentuk ini semakin lama semakin besar.

Sejarah penulisan sejarah Indonesia hingga tahun 1970-an mencatat bahwa perlawanan secara fisik (dan ditambah dengan penggunaan senjata) adalah bentuk perlawanan yang paling banyak diungkapkan. Kitab-kitab sejarah Indonesia umumnya dipenuhi oleh rekonstruksi peristiwa/kejadian yang bernuansakan kekerasan ini.

Bertolak belakang dengan itu, perlawanan yang sifatnya non-fisik, relatif sedikit diungkapkan. Tingginya minat sejarawan (penulis sejarah) untuk mengung­kapkan perlawanan dengan menggunakan kekerasan, barangkali, disebabkan oleh langsung nampaknya akibat dari perlawanan itu, banyaknya jejak (bekas) perlawanan yang ditinggalkan, serta bisa diaksesnya dengan mudah sumber-sumber yang berkenaan dengan perlawanan tersebut. Sebaliknya, sedikitnya karya-karya mengenai perlawanan secara non-fisik, diduga, disebabkan oleh tidak langsung nampaknya hasil dari perlawanan bentuk itu, serta relatif sedikitnya jejak (bekas) yang ditinggalkan, dan relatif susah didapatkannya sumber-sumber yang berkaitan dengan perlawanan tersebut.

Namun seiring dengan perjalanan zaman, perlawanan secara fisik semakin ditinggalkan dan perlawanan secara non-fisik semakin banyak digunakan. Seiring dengan itu, sarana pendukung penelitian guna mengungkapkan bentuk perlawanan secara non-fisik semakin banyak ditawarkan lembaga penelitian. Apresiasi masyarakat banyak terhadap hasil karya yang mengungkapkan perlawanan secara non-fisik ini juga semakin lama semakin besar. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mencoba mengungkapkan perlawanan non-fisik yang dilakukan orang Sumatra Barat/Minangkabau terhadap penjajah Belanda.

Ada banyak bentuk perlawanan secara non-fisik yang dilakukan orang Minangkabau terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Namun dalam tulisan ini, fokus bahasan ditujukan pada perlawanan melalui ungkapan seni (bertutur) dan permainan kata. Tegasnya, tulisan ini akan mendiskusikan perlawanan yang dilakukan terhadap kolonialis Belanda melalui pantun, talibun, dan teka-teki. Sehingga tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimana corak perlawanan terhadap rezim kolonialis tersebut dinyatakan dalam pantun, talibun, dan teka-teki itu? Mengapa mereka memiliki corak perlawanan secara non-fisik ini? Apa dimensi historis dari pola perlawanan tersebut?

Tulisan ini memfokuskan pembahasannya pada pantun, talibun, dan teka-teki “tempo doeloe” (zaman kolonial Belanda), karena – sejauh yang penulis ketahui – pembahasan seperti ini belum pernah dilakukan. Di samping itu tulisan ini juga ingin mengungkapkan bahwa perlawanan terhadap kolonialis Belanda juga dilakukan oleh orang Minangkabau melalui ungkapan seni. Dan corak seni yang dipilih bukan bentuk seni yang sudah lazim dikenal, tetapi seni dalam wujud yang selama ini nyaris tidak diduga mengandung untuk perlawanan terhadap penguasa kulit putih itu. Zaman kolonial yang dimaksud dalam tulisan ini adalah parohan kedua abad ke-19 khususnya. Pemilihan batasan waktu itu juga dilatarbelakangi oleh sumber yang digunakan, yang memang berasal dari kurun waktu itu. Di samping itu, pemilihan batasan waktu ini juga ditujukan untuk menginformasikan bahwa perlawanan melalui ungkapan seni ini telah dilakukan dalam waktu yang lama, pada saat kekuasaan kolonialis tersebut masih demikian kuatnya di Minangkabau.

II

Sumber yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari Midden Sumatra Expeditie Jilid III Bagian 2. Buku itu pada dasarnya adalah catatan penelitian dan perjalanan yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan Belanda yang menjelajah kawasan pedalaman Sumatra (bagian tengan hingga selatan) yang dilakukan pada tahun 1877-1879 di bawah pimpinan P.J. Veth. Hasil ekspedisi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku tersebut dipublikasikan tahun 1881. Jilid II Bagian 2 karya ini umumnya mengungkapkan mengenai keadaan penduduk dan bahasa (serta berbagai tradisi seni bertutur), permainan, nyanyian, sejarah, dlsbnya. yang dimiliki penduduk bagian tengah hingga selatan kawasan pedalaman pulau itu. Namun perlu dicatat, meskipun deskripsi yang dikemukakan adalah kondisi yang berlaku pada perempat terakhir abad ke-19, namun spirit zaman dan latar belakang kebudayaan yang ditampilkan pastilah meliputi kurun waktu yang jauh lebih luas dari 25 tahun terakhir abad ke-19, setidaknya deskripsi itu juga mewakili era satu atau dua dekade sebelumnya. Hal ini pulalah yang mendasari pemilihan batasan waktu kajian ini meliputi pada parohan kedua abad ke-19 umumnya dan perempat terakhir abad ke-19 pada khususnya.

Sejumlah Alat Musik Tradisi Minangkabau Pada Perempat Terkahir Abad ke-19

(Sumber: P. J. Veth, Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-2. Leiden: E.J. Brill, 1881).

Pantun, talibun, dan teka-teki adalah tiga dari sejumlah produk budaya (karya seni) yang dimiliki orang Minangkabau yang dikemukakan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Ada 342 pantun yang disajikan dalam buku ini. Hampir semua pantun yang ditampilkan terdiri dari bait (kuplet) empat baris (namun ada juga beberapa buah yang terdiri dari 6, 8, dan 10 baris). Dari 342 pantun tersebut ada sejumlah pantun yang tumpuan atau sampirannya berkaitan dengan kehadiran atau aktivitas kaum kolonialis Belanda di Minangkabau dan ada dua dua pantun yang tumpuan atau sampiran serta isinya langsung berkenaan dengan kehadiran dan aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau. Kedua pantun inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.

Ada satu talibun yang dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Sebagaimana yang dikemukakan penulisnya, talibun yang ditampilkan dalam buku ini didengarnya di Padang. Sesuai dengan cirinya sebagai puisi bebas, maka talibun yang disajikan dalam buku itu terdiri dari 19 bait dengan jumlah baris yang sangat bervariasi, ada yang terdiri dari 27 baris dan ada pula yang hanya terdiri dari empat baris. Karena talibun juga bercirikan menceritakan satu cerita/kisah, maka sangat jelas terlihat bahwa talibun yang ditampilkan dalam buku ini adalah kisah penderitaan yang dialami penceritanya (orang Minangkabau) sebagai akibat kehadiran dan aktivitas politik/ekonomi kolonialis Belanda di daerah ini.

Teka-teki adalah juga karya seni “Urang Awak” yang ditampilkan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Dikatakan oleh penulisnya, ada banyak teka-teki yang dikenal/dimiliki orang Minangkabau saat itu, namun dalam buku ini penulisnya hanya menampilkan 56 buah. Ada dua teka-teki yang langsung berkenaan dengan kehadiran dan aktivitas Belanda di Minangkabau. Kedua teka-teki itulah yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Sama dengan pantun, sesungguhnya ada sejumlah teka-teki lainnya yang secara tidak langsung berhubungan dengan kehadiran dan aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau/ Sumatra Barat, namun karena penyampaiannya tidak begitu tegas, hanya dijadikan sebagai sampiran, maka teka-teki yang termasuk kelompok itu tidak termasuk yang didiskusikan dalam tulisan ini.

Merujuk informasi yang dikemukakan penulis buku tersebut, bisa dipastikan ada banyak lagi pantun, talibun, dan teka-teki yang dikenal serta dimiliki orang Minangkabau pada saat buku itu ditulis. Dan bisa pula dikatakan bahwa dalam banyak pantun, talibun, dan teka-teki tersebut ada juga ekspresi perlawanan terhadap kehadiran dan aktivitas kaum kolonialis Belanda di Minangkabau. Namun, karena apa yang disajikan dalam buku tersebut pasti setelah melalui seleksi oleh penulisnya, maka pantun, talibun, atau teka-teki yang terlalu “tajam” menohok kolonialis Belanda tidak ditampilkan.

III

Perlawanan secara fisik, sering disebut sebagai “reaksi yang ideal”. Seperti yang dikemukakan di atas, para penulis sejarah lebih memilih perlawanan secara fisik ini untuk diungkapkan dalam kitab-kitab sejarah yang mereka tulis. Setakat ini, pemerintah RI juga cenderung lebih menghargai anak bangsa yang berjuang secara fisik daripada non-fisik. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah pemberian gelar pahlawan kepada mereka yang berjuang secara fisik dibandingkan dengan mereka yang berjuang secara non-fisik. Bahkan, dalam perspektif agama Islam, perlawanan yang diberikan secara fisik juga mendapat tempat yang utama di mata Rasulullah. Realitas ini terlihat dari hadist beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim:

Daripada Abu Said al Khudri r.a. katanya: Aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesiapa dikalangan kamu melihat kemungkaran maka hendaknya dia mencegah dengan tangannya, sekiranya dia tidak mampu hendaknya dia mencegah dengan lidahnya, sekiranya dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (hadist sahih riwayat Muslim).

Perlawanan secara fisik telah dilakukan orang Minangkabau terhadap penzaliman kaum kolonialis dalam waktu yang lama. Pola perlawanan ini telah lakukan sejak pertama kali kaum kolonialis hadir di negeri ini (pada awal abad ke-17). Pola perlawanan seperti ini ini tetap berlanjut hingga mereka hengkang dari Minangkabau/Sumatra Barat tahun 1949. Namun, dari sejarah perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di daerah ini diketahui, bahwa puncak perlawanan secara fisik itu terjadi pada awal abad ke-19. Klimaks perlawanan tersebut dikenal dengan Gerakan atau Perang Padri. Sebagaimana diketahui, Perang Padri diakhiri dengan kekalahan orang Minangkabau/Sumatra Barat.

Setelah kalah dalam Perang Padri, walaupun perlawanan secara fisik ini masih tetap ada, pola perlawanan dengan senjata atau tulang delapan kerat bukan lagi yang paling utama. Orang Minangkabau mulai mengalihkan perlawanannya ke bentuk lain. Peralihan bentuk perlawanan itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: pertama, kekalahan yang dialami orang Minangkabau dalam Perang Padri menyadarkan mereka bahwa perlawanan secara fisik tidak mungkin dilanjutkan lagi. Pemerintah kolonial begitu represif menghadapi setiap bentuk perlawanan secara fisik yang dilakukan “Urang Awak”; kedua, semakin kuatnya kontrol atau upaya penegakan ketertiban dan keamanan (rust en orde) yang dijalankan oleh penguasa kolonial. Upaya ini ditandai dengan pengintensifan upaya pencegahan terhadap semua gejala yang mengarah pada perlawanan yang bersifat fisik serta penggunaan senjata; ketiga, semakin cerdas dan terpelajarnya “Urang Awak” sehingga mereka menghindari perlawanan menggunakan organ fisik dan senjata yang membahayakan keselamatan jiwa dan raga, serta mudah dideteksi oleh rezim kolonialis.

Pasca-Gerakan/Perang Padri pemerintah kolonial Belanda memang berupaya secara sungguh-sungguh menegakkan ketertiban dan keamanan di Minangkabau/Sumatra Barat. Mereka bereaksi dengan cepat terhadap semua perlawanan fisik yang dilakukan oleh orang Minang terhadap kehadiran mereka di daerah ini. Tidak itu saja, reaksi yang dilakukan juga sangat keras, serta umumnya dilakukan sampai tuntas hingga ke akar-akarnya. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman satuan tentara yang diberi wewenang melakukan apa saja dan kemudian ditindaklanjuti dengan pemenjaraan atau pembuangan para tokoh perlawanan ke daerah lain.

Sikap tegas dan keras kaum kolonialis Belanda inilah yang menyebabkan orang Minang menurunkan “level” perlawanan mereka, yakni melalui perlawanan secara non-fisik. Pola perlawanan secara non-fisik ini sesungguhnya juga merefleksikan kecerdasan dan keintelektualan para pelakunya, sebab, bila ditelaah dengan saksama, perlawanan secara fisik bukanlah reaksi yang elegan dan mencerminkan reaksi manusia sebagai makhluk yang berakal. Reaksi secara fisik (bila yang bersangkutan diusik), juga dilakukan oleh binatang. Makanya, perlawanan yang dilakukan secara non-fisik adalah reaksi yang seharusnya yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk yang berfikir, karena dibutuhkan kecerdasan dan keterampilan yang melibatkan otak. Perlawanan secara non-fisik sesungguhnya adalah perlawanan yang lebih beradab dan berbudaya.

Realitias historis memang menunjukan bahwa sejak parohan kedua abad ke-19 jumlah orang Minangkabau terpelajar memang meningkat dengan tajam. Mereka tampil menjadi kaum terpelajar, antara lain disebabkan oleh diperkenalkannya lembaga pendidikan (sekolah-sekolah) sekuler oleh kolonialis Belanda di daerah itu. Sejak tahun 1840-an berbagai bentuk dan jenjang sekolah diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat. Lulusan sekolah-sekolah itulah yang kemudian tampil menjadi golongan terpelajar di daerah tersebut. Merekalah yang mulai menyadari betapa kuatnya Belanda dan naifnya bangsa kita bila menghadapi kekuatan Belanda tersebut dengan mengandalkan kemampuan badaniah dan jasmaniah saja. Dari buah pikiran merekalah lahir berbagai ide dan bentuk perlawanan yang termasuk kategori perlawanan secara non-fisik terhadap kolonialis di negeri ini.

Perlawanan secara non-fisik ini juga dihadirkan oleh intelektual Islam yang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan Islam (tradisional) saat itu. Sejak kalah dalam Perang Padri, sebagian besar ulama Minangkabau melanjutkan perjuangan mereka melalui lembaga pendidikan (surau) dan surau tumbuh di berbagai tempat di Minangkabau (Sumatra Barat). Ada belasan kalau tidak puluhan surau besar (dengan jumlah murid ratusan orang banyak) di Minangkabau pasca-Perang Padri. Dari lembaga pendidikan itulah munculnya sejumlah intelektual Islam yang memiliki pandangan lebih moderat dalam menghadapi kehadiran dan aktivitas Belanda di daerah ini.

Pilihan perlawanan secara non-fisik, apalagi dengan menggunakan pantun, talibun, dan teka-teki juga didukung oleh situasi zaman saat itu dan latar belakang sosial-politik saat itu. Berpantun, bertalibun dan berteka-teki saat itu juga menjadi alternatif pengalihan kesusahan hidup. Aktivitas ini adalah juga sebagai hiburan yang menyenangkan. Namun pada saat yang sama, kegiatan ini juga menyisipkan “pesan-pesan politik” dari penggubah ke pendengarnya. Berpantun, bertalibun dan berteka-teki adalah salah satu upaya atau strategi bertahan di tengah kuatnya sikap opresif penguasa kolonial. Di samping itu, aktivitas ini adalah juga sebuah potret tingginya intelektualitas masyarakat pendukungnya, sebab mereka masih mampu menemukan cara lain yang lebih beradab dan berbudaya di tengah sikap opresif yang berlebihan dari pemerintah. Sebaliknya, bagi kaum kolonialis, apa yang disampaikan ini memang dirasakan (disadari) sebagai sebuah perlawanan atau setidaknya kritikan, tetapi karena disampaikan dengan cara yang halus (lewat “ungkapan seni”), maka “hantamannya” tidak begitu keras dirasakan.

III

Seperti disebut pada bagian terdahulu, ada dua bait pantun yang langsung berhubungan dengan kehadiran atau aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau/ Sumatra Barat yang dikemukakan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2. Lengkapnya, kedua bait pantun itu berbunyi:

Dahoeloe rabab nan batangkai

Kinilah kopi nan baboengo

Dahoeloe adat nan bapakai

Kinilah rodi nan bagoeno

(Dahulu rebab yang bertangkai

Sekarang kopi yang berbunga

Dahulu adat yang dipakai

Sekarang rodi yang berguna)

Bakudo ka Boekit-tinggi

Djalan ka sowoeq di kidakan

Ko datang rodi Gompani

Nasi di soewoeq di tinggakan

(Berkuda ke Bukittinggi

Jalan ke kanan dikirikan

Jika datang rodi Kompeni

Nasi yang sedang disuap ditinggalkan)

Kedua bait pantun di atas sangat jelas memperlihatkan situasi dan pengalaman Minangkabau/Sumatra Barat zaman kolonial Belanda (khususnya pada saat pantun ini diperkenalkan). Bisa dikatakan, pantun ini memang dibuat beberapa saat sebelum dituliskan dalam buku Midden Sumatra Expeditie ini. Sampiran dan isi dari kedua pantun ini berkaitan langsung dengan jiwa zaman dan pengalaman sosial, politik, ekonomi, dan budaya Minangkabau/Sumatra Barat yang terjadi pada masa kolonial (abad ke-19).

Pernyataan mengenai “kinilah kopi nan baboengo” menginformasikan tentang telah dikenalnya penanaman kopi di daerah ini. Kopi bukan tanaman asli Minangkabau/Sumatra Barat. Tanaman kopi baru diperkenalkan ke daerah ini sejak parohan kedua abad ke-18, dibawa dari Mekkah oleh orang Minangkabau yang pulang menunaikan ibadah haji.

Pada waktu-waktu awal masuknya tanaman ini, kopi hanya dibiarkan tumbuh liar, terutama di pekarangan rumah/kebun-kebun di sekitar kampung, atau dijadikan pagar pembatas kebun/pekarangan rumah. Tanaman ini belum dibudidayakan dengan sungguh-sungguh, apalagi orang Minangkabau/ Sumatra Barat belum/tidak mengonsumsi bijinya. “Urang awak” hanya memanfaatkan daun kopi yang telah dikeringkan. Pengeringan daun kopi biasanya dilakukan dengan cara merangkai sejumlah daun kopi dalam sebuah bilah dan disalai di atas tungku pemasakan (tentu saja juga bisa dilakukan dengan pengeringan di bawah terik sinar matahari). Pada saat-saat awal itu, biji kopinya dibuang begitu saja.

Keadaan mulai berubah sejak kehadiran pedagang Amerika akhir abad ke-18 dan ekspansi politik serta eksploitasi ekonomi Belanda pada awal abad ke-19 di daerah ini. Sejak saat itu biji kopi mulai dimanfaatkan (diperdagangkan). Puncaknya adalah dengan pelaksanaan tanam paksa kopi di Minangkabau/Sumatra Barat (1847).

Tanam paksa kopi adalah sebuah kebijakan ekonomi pemerintah kolonial yang lazim mereka namakan cultuur stelsel. Kebijakan ini mewajibkan setiap keluarga petani menanam, menjaga, memanen, memproses hasil panen, serta mengantarkan biji kopi hasil panenan mereka ke gudang-gudang kopi yang telah disediakan pemerintah. Kopi yang dikirim (diserahkan) ke gudang kopi haruslah merupakan biji kopi yang terbaik. Praktik tanam paksa kopi sangat menyengsarakan. Praktik ini pernah mengalami kejayaan yang luar biasa di Minangkabau/Sumatera Barat. Kejayaan itu terjadi beberapa saat sebelum buku Midden Sumatra Expeditie ini dibuat (dipublikasikan), yakni sejak parohan kedua dasawarsa 1850-an hingga akhir dekade 1860-an).

Pada saat itu kopi berbunga (dan tentu saja berbuah) di seantero Minangkabau/ Sumatra Barat. Sehingga cocok sekali dengan gambaran yang diungkapkan dalam sampiran dalam pantun di atas.

Selanjutnya pantun pertama di atas juga menginformasi (keluhan) tentang perubahan sosial yang dialami Minangkabau/Sumatra Barat. Perubahan yang dimaksud dalam pantun ini adalah tidak atau kurang dipakainya lagi adat di tengah masyarakat. Padahal, bagi orang Minangkabau (terutama di masa-masa sebelum kedatangan orang Belanda, adat menjadi dasar dari semua aktivitas mereka. Tambo, historiografi tradisional Minangkabau mengatakan “duduk beradat, berdiri beradat, berjalan dengan adat, berbicara dengan adat”, dlsbnya. Bahkan, jika mereka berjanji, mereka mengatakan “pado adat” (jika sesuai dengan adat), jadi bukan “insya-Allah”. Dan bukan pula sesuatu yang aneh bila saat itu orang Minangkabau akan sangat marah bila dikatakan “tidak beradat” (walaupun perilaku dan perangainya tidak sesuai dengan tuntunan adat).

Sejak ekspansi politik pemerintah kolonial ke Minangkabau/Sumatra Barat, satu demi satu praktik adat mulai dipreteli. Keberadaan penghulu dan pemerintahan nagari, yang selama ini menjadi lambang supremasi sosial-politik orang Minangkabau mulai diintervensi pemerintah kolonial. Pemerintah Hindia Belanda membentuk nagari-nagari baru dan mengangkat penghulu diluar ketentuan adat. Hukum adat dan praktik-praktik yang berkenaan dengan adat istiadat mulai ditinggalkan melalui sebuah pernyataan yang dikenal dengan nama “Plakat Panjang” yang dibuat tahun 1833. Melalui plakat ini, wewenang para penghulu mulai dilucuti dan melalui tangan penghulu, hak-hak adat masyarakat akan tanah mulai dihilangkan, hukum adat mulai diganti dengan barat, dlsbnya. Jadi, setelah masuknya kolonialis Belanda, adat memang mulai/telah ditinggalkan. Instruksi, kebijakan atau perintah pemerintah lebih diutamakan daripada ajaran adat. Inilah perubahan sosial dan politik (dalam bidang adat-istiadat) yang terjadi saat itu, dan dalam konteks inilah baris ketiga dari pantun di atas bisa dipahami maknanya.

Baris yang mengatakan “kini rodi nan baguno” menginformasikan bahwa sejak kehadiran kolonialis Belanda, praktik rodi menjadi suatu yang lazim. Rodi adalah praktik kerja paksa selama tiga atau empat minggu dalam setahun yang dikenakan kepada hampir semua penduduk (laki-laki). Mereka diwajibkan bekerja pada sejumlah pekerjaan (proyek pemerintah, seperti pembangunan jalan raya, jembatan, kantor-kantor pemerintah, gudang-gudang kopi, pembangunan sekolah, dlsbnya). Bila tiba giliran seseorang untuk ikut dalam rodi, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak ikut. Ada sanksi (hukuman) yang keras bila tidak segera menunaikan kewajiban ini. Sanksi tersebut bisa berupa penambahan (penglipat­gandaan) kerja paksa atau juga hukuman fisik, seperti hukum cambuk.

Betapa keras dan kuatnya pengaruh rodi ini, nyata dan tegas diungkapkan dalam pantun kedua di atas.

“Bilo datang rodi Gompani

Nasi disuok ditinggakan”

            (Jika datang rodi kompeni

            Nasi yang senang dimakan ditinggalkan)

Bila datang giliran untuk ikut kerja rodi, nasi yang telah terhidang atau jika seseorang tengah makan nasi, harus segera pergi. Makan tidak perlu dilanjutkan. Bila tidak segera pergi, sanksi dan hukuman akan segera berlaku.  Pantun kedua ini menegaskan bahwa rodi adalah momok yang sangat menakutkan bagi orang Minangkabau pada kurun waktu pantun ini dibuat. Dan itu pastilah segera setelah Belanda betul-betul hadir dan menguasai daerah ini (pasca-Perang Padri).

Dari berbagai sumber sejarah diketahui, bahwa dengan rodi, sejumlah agenda pembangunan pemerintah Hindia Belanda terlaksana dengan baik. Rodi adalah “ujung tombak” kesuksesan pembangunan infrastruktur transportasi, gudang-gudang kopi, kantor, sekolah, dlsbnya oleh pemerintahan Belanda di daerah ini.

Pantun di atas sekaligus merupakan ekspresi perlawanan mereka terhadap kemunduran praktik adat sebagai akibat intervensi kolonialis Belanda. Pantun di atas juga memperlihatkan ketidakberdayaan mereka menentang kebijakan (yang sangat memberatkan) yang dibuat pemerintah Mereka hanya bisa mengemukakan keprihatinan atau perlawanan mereka lewat pantun, karena secara sosial dan politik mereka saat itu tidak berdaya menghadapi kekuatan Belanda.

Belanda saat itu adalah pemenang dalam berbagai peperangan di Minangkabau (seperti Perang Paderi, Perang Batipuh, Pariaman, Padangpanjang, Situjuh, Solok-Selayo, dlsbnya). Kekuatan senjata kolonialis Belanda tidak bisa lagi dilawan oleh orang Minang saat itu. Apalagi, sejumlah orang Minang saat itu telah menjadi bagian pula dari mesin politik kolonialis.

Berbagai sumber sejarah bahkan menginformasikan, bahwa ikut-sertanya Belanda dalam Perang Padri adalah karena mereka diundang oleh sejumlah elit tradisional Minangkabau. Ketika kaum Paderi kalah, elit tradisional inilah yang menjadi mitra utama pemerintah Hindia Belanda. Bila terjadi kerjasama antara elit tradisional dengan kaum kolonialis, manalah mungkin rakyat “kecil” mampu melawan mereka secara fisik, sehingga kalau mereka tetap ingin melawan, maka perlawanan yang memungkinkan hanya lewat “ungkapan seni”, seperti pantun di atas.

Ekspresi perlawanan yang sama juga dikemukakan dalam talibun. Dalam karya sastra ini juga dikemukakan tentang adanya praktik kerja paksa (rodi) yang merupakan kebijakan kompeni (pemerintah Hindia Belanda). Dinyatakan dalam talibun ini, “rodi adalah pelaksanaan dari perintah residen. Rodi dilaksanakan dengan pengawasan seorang komandan polisi yang tegas serta keras. Bila bersalah, dengan berbagai cara (baik secara diikat atau dipegang, akan dibawa ke penjara (tangsi)”. Selanjutnya, dalam talibun ini dikisahkan tentang “proses hadirnya Belanda (kekuasaan kolonial) di daerah ini, yang dikatakan datang dari Betawi dengan kapal dan mendarat di Padang dengan sekoci”.

Beberapa baris talibun yang mengungkapkan adanya informasi tentang rodi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan rodi, serta kehadiran pemerintah Belanda itu adalah:

“…….

…….

Rodi Goempani talampau garang

Palentah residen di Padang

Angkek poelisi koemandan Si Mandi-Arang

Antah tarike, tarapegang

Di baownjo ka tangsi gadang

…..

……

Tatakalo maso tanah Batawi

Toeroen Oelando dari si kotji

Siapo baoentoeang dape sandiri

…..

…..”

            …..

…..

Rodi kompeni terlampau keras

            Perintah residen di Padang

            Dilaksanakan komandan polisi yang bernama Mandi Arang

            Dalam kondisi terikat atau dipegang

            Dibawanya ke tangsi (penjara) Padang

            …..

            …..

            Tatkala zaman ranah Betawi

            Turun Belanda dari sekoci

            Siapa yang beruntung mendapat sendiri

            …..

            …..

Sesuai dengan defenisinya, teka-teki juga bermakna permainan. Namun dalam permainan tersebut juga sering terselip sindiran, kritikan atau bahkan perlawanan. Ada dua teka-teki yang menggambarkan sikap/pandangan “urang awak” terhadap kolonialis Belanda. Kedua teka-teki tersebut adalah:

Sagadang-gadang koeman

Koeman a nan gadang

Dj. Koemandoewe

                                    Sebesar-besar kuman (bakteri)

                                    Kuman apa yang paling besar

                                                Jawab: kumandor (angku mandor)

            Sagadang-gadang oela

Oela a nan gadang

            Dj. Oelandoe

                                    Sebesar-besar ular

                                    Ular apa yang paling besar

                                                Jawab: Ulanda (Belanda)

Dilihat secara sepintas lalu, teka-teki di atas kedengarannya “lunak”. “Sampiran” dalam teka-teki pertama, kedengarannya wajar sekali. “Kuman (bakteri) apa yang paling besar”. Pertanyaan ini terlihat sangat wajar dan biasa. Namun bila dialisis dengan lebih saksama, sampiran itu sesungguhnya sudah langsung memuat pandangan yang “tajam”. “Kuman” dalam bahasa Minangkabau berarti dua; pertama, bakteri (bibit) penyakit dalam artian yang sesungguhnya; kedua, sesuatu yang tidak disukai atau membawa petaka. Seseorang yang kehadiran atau keberadaannya membawa kesusahan atau kekacauan di tengah masyarakat sering disebut sebagai “kuman”.

“Kumandoewe” atau mandor adalah sosok yang merupakan perpanjangan tangan aparat kolonial dalam menjalankan berbagai kebijakan politik dan ekonominya. “Kumandoewe” atau mandor adalah salah satu sosok yang paling bertanggungjawab atas pelaksanaan rodi atau tanam paksa kopi. Dialah yang menjemput, mengawasi, bahkan menghukum para pekerja paksa (rodi) atau rakyat (petani) yang terlibat dalam pelaksanaan tanam paksa kopi. “Kumandoewe”atau mandor sangat ditakuti dan sekaligus dibenci, sehingga dikatakan sebagai „kuman” yang paling besar.

Gejala yang sama juga terlihat dalam teka-teki kedua. Isi teka-teki kedua ini kedengarannya juga “lunak”. “Sampiran” yang disajikan juga wajar kedengarannya. Namun bila dianalisis, terlihat betapa “tajamnya” pesan yang disampaikan teka teki ini. Pertanyaan tentang ular kedengarannya biasa saja, tentang sejenis makhluk melata yang tidak berbeda banyak dengan makhluk hidup yang lain. Namun, ular juga memiliki makna ganda dalam masyarakat Minangkabau. Di samping berarti makhluk hidup (melata) ular juga dimaknai sebagai sesuatu yang licik, penghianat, tidak bisa dipercaya, dlsbnya. Dalam jawaban terhadap teka-teki di atas, Belanda disamakan dengan ular.

Sama dengan pantun dan talibun, teka- teki sesungguhnya juga merupakan ekspresi perlawanan ketika orang Minangkabau/Sumatra Barat tidak mampu lagi melawan secara fisik. Teka-teki adalah bentuk perlawanan yang sekaligus upaya menghibur diri dari orang Minangkabau/Sumatra Barat. Dengan berteka-teki mereka masih bisa menertawakan aparat pemerintah kolonial khususnya dan orang Belanda pada umumnya.

IV

Bila dikaitkan dengan karakter orang Minangkabau, adanya peralihan perlawanan terhadap penguasa yang zalim (pemerintah kolonial), dari perlawanan secara fisik menjadi perlawanan lewat “seni bertutur”, bisa dikatakan bahwa orang Minangkabau memiliki karakter pantang menyerah dan mereka tidak akan berhenti melawan penindasan penguasa yang zalim. Dalam upaya menghadapi penguasa yang zalim itu, mereka rela mengganti strategi, walaupun strategi baru yang akan dipakai (dilihat dari kacamata sosial, politik atau agama) dinilai lebih rendah mutunya.

Pergantian pola perlawanan ini juga merefleksikan kecerdasan mereka dalam mencari strategi dan inovasi baru. Dengan strategi dan inovasi baru tersebut secara psikologis mereka menjadi tidak terbebani, perlawanan tetap dilanjukan, badan “selamat” dari pembalasan penguasa yang zalim, dan sekaligus bisa menghibur diri. Jadi dengan pola perlawanan “baru” ini, bagaikan pepatah, “sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.

Namun, menarik juga melihat realitas yang terjadi kemudian. Pantun, talibun, dan teka-teki – ternyata – tidak hanya bisa dimaknai sebagai ekspresi perlawanan terhadap kezaliman pemerintah kolonial, tetapi juga dilakukan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah bangsa sendiri. Ekspresi perlawanan tersebut bisa dilakukan dengan “memodifikasi” atau mengambil bentuk pantun, talibun, teka-teki “tempo doeloe” dan mengganti kata-katanya dengan kata-kata lain sehingga kandungannya jadi berubah (sesuai dengan kondisi “kini”), atau dengan membuat pantun, talibun, dan teka-teki yang baru sama sekali. Walaupun demikian, konteks pembicaraan atau realitas yang disajikan tidak lagi semata mengenai perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Minangkabau/Sumatra Barat, tetapi telah meluas ke tingkat Indonesia. Sayangnya, ungkapan “seni” ini relatif belum terkumpul (belum dibukukan) dengan utuh.  Umumnya, pantun, talibun, dan teka-teki “baru” ini hanya berkembang secara lisan (atau melalui media sosial) di tengah masyarakat luas. Sehingga tidak ada referensi khusus yang bisa dijadikan rujukan.

Ada banyak contoh yang bisa disajikan dari “modifikasi” pantun, talibun, teka-teki ini. Salah satu pantun hasil “modifikasi” dari pantun pertama di atas adalah:

            “Dahulu rabab nan batangkai

Kini kopi dan babango

Dahulu untuak jadi pegawai utak nan dipakai

Kini pitih nan baguno”

                        Dahulu rebab yang bertangkai

                        Sekarang kopi yang berbunga

                        Dahulu untuk menjadi pegawai otak yang dipakai

                        Sekarang uang yang berguna

Beberapa kalimat dari talibun yang pernah didengar di Talu (Pasaman Barat) berbunyi.

‘…..

…..

Ganti zaman, ganti pamimpin

Ganti pamimpin ganti kuaso

Kuaso marubah apo nan lah dibuek

Maurak nan lah dijalankan

Kamajuan untuak rakyaik indak nampak

….

….

Alah limo pamarentahan bajalan

Alah banyak nan barubah

Nasib kami co iko juo

…..

…..”

Berganti zaman, berganti pemimpin

Berganti pemimpin berganti kekuasaan

Kekuasaan merubah apa yang telah dibuat

Mengganti yang telah dijalankan

Kemajuan untuk rakyat tidak kelihatan

….

…..

Telah ada lima pemerintahan

Telah banyak perubahan

Nasib kami seperti ini juga

….

….

Dibandingkan dengan pantun dan talibun, teki-teki mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat. Perubahan dan pertumbuhan yang pesat bisa dilihat dari jumlah dan pola penyampaian. Walaupun belum atau tidak ada yang menghitung serta menghimpun secara khusus, dipastikan ada ribuan teka-teki yang “sarat makna” atau berisikan pesan perlawanan ini (namun sekaligus memiliki unsur menghibur).

Beberapa contoh teka-teki yang termasuk kategori “kontemporer” ini ditampilkan dalam bentuk akronim. Misalnya, pada tahun-tahun terakhir Orde Baru, sebagai kritik terhadap pemerintahan Presiden Soeharto, muncul misalnya teka-teki “apa kepanjangan BATAM?”. Jawabnya, “Bila Ada Tutut, Anda Minggir”. Teka-teki ini adalah ekspresi perlawanan terhadap dominasi keluarga Soeharto dalam bisnis (proyek pembangunan) di Indonesia saat itu. Bila ada sebuah bisnis atau proyek pembangunan yang akan dikerjakan, dan ketika pekerjaan (proyek) itu akan ditenderkan, maka bila ada perusahaan Tutut Soeharto yang ikut pelelangan proyek tersebut, maka perusahaan lain dipastikan akan kalah (sehingga sebaiknya mereka mundur saja).

Di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, di kalangan “lawan-lawan politiknya”, muncul teka-teki “apa kepanjangan SBY?” Jawabnya, “Suka Bencana Ya”. Teka-teki ini muncul atau dimunculkan, karena kebetulan (atau tidak) sejak tampilnya SBY ke tampuk pemerintah RI bencana memang silih berganti melanda negeri ini, apa banjir, gempa bumi, kekeringan, hingga kegaduhan/perkelahian antar kelompok masyarakat atau antar-aparat keamaman, dan masih banyam bencana lainnya.

Terlepas dari perkembangan yang terakhir, pantun, talibun, dan teka-teki adalah media yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai kelompok masyarakat yang sedang terjepit untuk mengaktualkan diri mereka, atau bahkan untuk melakukan perlawanan. Karena pantun, talibun, dan teka-teki adalah juga produk kebudayaan, dan kebudayaan akan senantiasa tumbuh dan berkembang, maka pantun, talibun, serta teka-teki akan terus berubah dan berkembang. Perubahan dan perkembangan ini akan semakin cepat seiring dengan cepatnya perubahan zaman.

Semua kita telah ikut-serta dalam perubahan itu dan telah ikut pula membuat pantun, talibun, teka-teki, atau karya-karya “seni” lain yang berekspresikan perlawanan. Bukankah melawan terhadap kezaliman dan penzaliman adalah sebuah kewajiban?

Daftar Kepustakaan

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784 – 1847. London: Curzon Press, 1983.

Goud, J.W., „Sumatra-America’s Pepperpot 1784-1873“ EIHC, xcii., 1956.

Graves, Elizabeth E., “The Ever Victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia Solved Their ‘Colonial Question’”. Ph. D. Disssertation, Univ. of Wisconsin, 1971.

Kraus, Werner, Zwischen Reform und Rebellion: Ueber die Entwickelung des Islams in Minangkabau (West Sumatra) Zwischen den Beiden Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908): Ein Beitrag zur Geschichte der Islamisierung Indonesiens. Wiesbaden: Frans Steiner Verslag, 1984.

Mardjani Martamin et al., Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatera Barat. Jakarta: PIDSN, Dirjen Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud, 1982.

Mestika Zed, “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Ekonomi Kolonial di Sumatera Barat 1847-1908”, Tesis M.A., Univ. Indonesia, 1983.

Mohammad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837). Djakarta: Djambatan, 1954.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Veth, P.J., Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-1. Leiden: E.J. Brill, 1881.

Veth, P.J., Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-2. Leiden: E.J. Brill, 1881.

Plakat Panjang dalam Bahasa Minang

Setelah meraih banyak sukses dalam kampanye militer, maka memasuki tahun 1833 Belanda mendapat perlawanan sengit dari kaum Padri dan sebagian non-Padri. Perlawanan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dipihak Belanda serta menyebabkan semakin jauhnya harapan untuk mendapat keuntungan ekonomis dari perdagangan kopi dan pemungutan pajak di daerah Sumatra Barat. Karena itu pemerintah mengubah siasat perangnya, yakni kembali mengumbar janji kepada kaum Padri khussunya dan Urang Awak pada umumnya. Janji-janji khidmat itu kemudian dikenal orang Minang dengan nama Plakat Panjang.

Plakat Panjang dibuat setelah Komisaris Jendral Hindia Belanda J. van den Bosch berkunjung ke Sumatra Barat serta ditandatangani oleh J.J. van Sevenhoven sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda untuk Sumatra Barat dan J.C. Rietz sebagai anggota Dewan Hindia.

Plakat Panjang ini dibuat tiga rangkap: satu rangkap dalam bahasa Belanda, satu rangkap dalam bahasa Melayu huruf Jawi, dan satu rangkap dalam bahasa Melayu huruf Latin.

Rangkap ketiga ini sangat menarik. Bahasanya berbelit-belit, kalimatnya panjang-panjang, nyaris tanpa tanda baca (titik atau koma), dan penulisan nama dan gelar yang lucu.

Walaupun ada beberapa kata yang tidak terbaca, teks ini kiranya bisa menjadi bahan kajian oleh para linguis. Bagaimana menarik atau lucunya bahasa orang Minang tempo dulu itu silahkan baca naskah Plakat Panjang dalam bahasa Minang berikut, naskah yang diambil dari tulisan Ph. S. van Ronkel “De Maleische Tekst der Proclamatie van 1833 tot de Bevoling van Sumatra’s Westkust” dalam Gedenkschrift Uitgegeven ter Gelegenheid van het 75 Jarig Bestaan Koninklijke Instituut voor de Taal-, Land en Volkenkunde van Nederlandsch Indie op 4 Juni 1926 (‘s-Gravenhage: Martinus Nijjhoff, 1926: hal.129-138).

Soerat masawarah Darie pada serta dengan nama Radja.

Maka datang darie pada Commissaris kadoea yaitoe Jan Heisapan seban Hopen pangkat madjalis pamarentahan India Nederlandsch serta bahadara darie pada singa Nederlandsch dan Eisiris djindral majoor bahadara darie pada pangkat jang katiga darie orde hoeloebalang Willem maka ditaslimkan kapada sekalian marikaitoe darie tanah passisir dan di darat serta dipermaaloemkan.

Toean Besar commissaris djindral wakil maharadja wolanda jang di tatabkan tahtanja di tanah djawa akan mamarentah sekalian poelo-poelo di tanah India jang telah datang bertamoe mahamanganakan (baca manghimpoenkan) diringa kadalam perhimpoenan marikaitoe mamareksa akan hal persalisihan antara sekalian negory-negory itoe jang bersatroe dengan pamarentahan di Padang jang ija sapertie bapak jang mahilangkan sekalian perkerdjaan jang mambawak kapada persalisihan lagie maenatabkan sekalian parentah jang telah membawak pada moefakat dengan adat dan hoekoeman jang terpakei dalam tiap-tiap negory di sinie sopaya manatabkan kasanangan dan perdameian serta membawak kapada kasantousaan adapoen prang membawak kapada kabinasaan jang telah soedah trangdisaya oleh marikaitoe sekalian sebab tiap-tiap negory dan roemah dengan segala harta banda marikaitoe telah terbakar dan roesak serta banjak orang matie dan loeka dan damikian lagie kamie di (baca: tiada) manjoekakan jang damikian itoe sebab mambawak kapada karoegian oewang dan manoesia serta membawak kapada dandam dan kasoemat jang menjakitie pada sekalian officier dan segala soldadoe kerna kamatian sanak soedara dan sahabat-sahabatnja yaitoe telah soedah disaya oleh sekalian kamie inie maka darie sebab hal jang damikian itoe sajigiyanja kadoea pihak kita mentjarie kahidoepan dengan perdameian dan kasanangan toean Besar kommissaris djindral poen soeka mambarie kasanangan hidoep kapada sekalian marika itoe kerna soedah doea ratoes tahoen compagnie wolanda soedah bersahabat dengan marikaitoe pada mengardjakan djalan perniagaan dalam tanah Sumatra serta poela sebab orang islam dengan kamie oemah nabie Issa jang soedah berdjinak djinakan tiada haroes bersatroe saorang dengan lainnja oleh saorang doea orang alam jang telah baperdajakan di atas marikaitoe kerna kamie dan marikaitoe adalah beriman kapada alah taala satoe sadja jang mampoenjahie pekerdjaan tatab sekalian kita ibadat akandia dan prentah alah taala akan kadoea pihak kita patoet tjinta kasih kapada sekalian manoesia itoe serta djangan mam ba wak kabinasaan saorang diatas lainnja barang siapa orang dalam kadoea pihak kita jang melaloewie prentah inie itoelah orang jang kanei maroeka darie pada alah dan barang siapa jang menoeroet prentah inie itoelah orang jang beroleh kapoedjian darie pada alah taala karna itoelah kita orang bersoedara boekannja kita satroe oleh sebab itoelah toean Besar Commissaris djindral handak mahirit sekalian manoesia itoe akan bole mambawak berboeat pakerdjaan jang akan manjan tousakan marikaitoe adapoen Compagnie telah banjak roegie dan harta serta kamatian manoesia oleh manolong marikaitoe manjihakan sekalian orang jang mahilangkan hoekoem dan adat orang toea-toea dahoeloe-dahoeloe itoe dan lagie sekalian parsaan compagnie dari passar die sinie dan padjak-padjak telah dihantikan kapada marikaitoe sebab jang damikian rasanja membawak-membawak kapada kabaratan marikaitoe dan oepah-oepah kopie itoepoen telah dikadangkan darie pada dahoeloenja tambahan poela prentah toean Besar kapada kamie mantjarie orang-orang pada lain tampat atawa di sinie jang akan mandjadie koelie jang tatab serta poela manantie pedattie-pedattie darie Batawie dan koedanja poen soedah ada di sinie akan mahangkat barang-barang itoe itoelah akan mamboewat kasanangan marikaitoe darie pada pekerdjaan koeliekoeli harie itoe inilah akan mamboewangkan kasoesahan inie dan kasoesahan jang lagie tinggal itoepoen soedah dihilangkan djoega dan lagie poela toean Besar Commissaris djindral wakil maharadja wolanda handak manjampeikan maksoednja tidak lain darie pada pikir jang bawak kabadjikan diatas kadoea pihak kita vaitoe perkara jang pertama tiada boleh marika itoe berprang-prang saorang akan lainnja sapertie jang teleh soedah itoe saraa ada prang batoe atawa dengan sendjata atawa lainlain roepa paparangan atawa manjimpan dandam dan kasoemat dan djika ada barang apa persalisihan marikaitoe dalam tiap-tiap loehak dan negory atawa kampong dalam sekalian laras-laras itoe hanja handaklah di baratie oleh sekalian kapala-kapala itoe dengan kabadjikan sapertie bagimana adat perhoekoeman dalam negory dan apabila marikaitoe kapala-kapala mintak tolong pada compagnie masoek dalam hal itoe nantie compagnie bole memboewatie serta mahabiskan selisih itoe dengan moefakat serta kapala-kapala marika itoeitoe djoega barang siapa marikaitoe jang tiada menoeroet kapoetoessan itoe atawa menjarang dengan koewassanja akan sekalian loehak-loehak atawa negory atawa kampongkampong nantie compagnie akan menolong orang jang kanei parang itoe compagnie tertjampoer dalam perkara inie sebab mandjagahie persalisihan marikaitoe jang telah biassa mambawak kapada kabinasaan marikaitoe sandiri sopaya tiap-tiap negory itoe tingal dengan kasanangan dalam perdamaiannja akan mambawak kapada kabadjikan marika itoe oleh sebab itoe patoet poela marikaitoe marabahkan benteng-benteng dan paret-paret tiap-tiap loehak dan tiap-tiap negory sopaya malengakan dalam hatie marikaitoe mamboewat prang-prang sapertie jang telah soedah itoe dan compagnie nantie bole mamboeat kotta atawa benteng pada tiap-tiap batas jang patoet atawa dimana tempat jang patoet sopaya djangan orang bangsa lain datang menjarang tiap loehak atawa negory-negory marikaitoe. Kadoea perkara toean Resident atawa toean-toean lain jang telah mamegang prentah darie compagnie tidak sekalie-sekalie bole tjampoer dalam adat dan perhoekoeman persalisihan marikaitoe serta barang apa koekoewasaan Radja-Radja dan Penghoeloe dalam adat marikaitoe dan lagie kaloe marikaitoe dan lagie kaloe marikaitoe handak maangkat Radjanja yalah dengan kasoekaan pamilihan oleh karapatan marikaitoe dengan adat jang telah dibiasakan dahoeloe-dahoeloe djoega serta segala perkara oetang pioetang atawa apa-apa silang salisih-salisih jang lain-lain darie pada itoe atawa kawin atawa thalak atawa matie kapala-kapala itoe mahabiskan sendirie dengan adat-adat negorijnja serta tiada poela compagnie tjampoer dalam perkara boenoeh mamboenoeh atawa maling tjoerie biar samonja itoe marikaitoe kapala-kapala mehabiskan sendirie malainkan compagnie tjampoer apabila ada orang mahangkat paparangan atawa manoelakan prentah compagnie atawa mamoenoeh dan maroesakan orang compagnie dan mantjoerie atawa mahilangkan barang-barang compagnie barang siapa mandapat salah dalam perkara itoe di hoekoem dalam madjalis kapala-kapala bitjara di Padang katiga perkara nantie compagnie akan mambarie gadjie barang siapa-siapa kapalakapala orang malayoe jang di kasoekainja akan mandjadie wakil compagnie mambawak bitjara pada sekalian marikaitoe dan akan mambrie tjarito kapada compagnie baik dan djahat tetapie tiada bole lebih koewasanja darie pada adat-adat kapalakapala jang lain itoe. Kaampat perkara toean Besar Commissaris djindral mengandakie sapertie tolongannja diatas marikaitoe jang sahinga inie kaatas apabila ada moesoeh compagnie handakla marikaitoe menolong dengan orangnja serta dengan alat sendjatanja sebab ada jang damikian itoe tiada bergoena compagnie melatakan soldadoe banjak disinie jang akan manggadangkan balandja compagnie sebab itoe nantie apabila datang prang compagnie mintak orang itoe pada tiap-tiap negory berapa patoebnja dan lagie handakla segala djalan-djalan dan djambatan-djambatan paliharakan sapertie patoeb dan compagnie poen menolong poela memboewati itoe dengan pekakas-pekakas serta orangnja sekalie. Kalima perkara compagnie tidak mamintak akan marikaitoe barang apa-apa tjokei oewang malainkan compagnie handak menjoeroeh marikaitoe bertanam kopie banjak atawa lada hitam akan kabadjikan kapada marikaitoe sebab itoe compagnie bole perlabaan poela dan paker menjoeroeh mandjaga-mandjaga dengan orangnja sendirie sopaya mendjadie perboewatan itoe mendjoewalkan barang marikaitoe nantie compagnie boewatkan goedang

mendjoewal garam dan lain-lain perniagaan dan lagie

                                                  sekarang inie sopaya djangan soesah

marikaitoe

dan dengar oelihmoe hei sekalian manoesia jang dalam passisir atawa jang di darat akan perdjandjian jang pandak inie inilah perdjandjian jang membawak hidoep marikaitoe dengan kasanangan sama-sama doedoek dengan compagnie serta poela bole mamalikarakan negory dan roemah tanganja darie pada katjilakaan prang-prang serta akan mambawak kasantousaan adapoen dahoeloe telah di mintak orang akan marika itoe lebih dahoeloe darie pada perdjandjian jang terseboet itoe sebab kapala orang compagnie jang mamegang prentah salah mengartinja akan mamikirkan djalan jang patoet tampat mandapat perlabaan compagnie dengan kasanangan kadoewa pihok inie kerna itoelah sekarang kamie tarangkan akan marikaitoe sekalian perdjandjian jang tersaboet inie tjoekoeblah menjampeikan kahandak compagnie sebab perdjandjian itoe lebih banjak timboel kaoentoengan compagnie darie pada tjokei jang di atas perniagaan jang kaloewar masoek kalaoet serta darie djoewal balie kopie dengan garam Tambahan poela perlabaan gadang oleh compagnie dengan peroentoengan inie akan membawak ramie perniagaan dan membaikan (mambanjakkan) kadatangan kapal jang manambahie razkhie diatas bariboe-bariboe manoesia dalam negory wolanda dengan atoeran inie mandjadikan santousa dalam negory inie sebab itoelah prentah dan maksoed darie daulat maharadja wolanda jang mangasihie kasanangan serta handakla sekalian marikaitoe jang dalam parentah akan berbagia dengan rata dalam sekalian kaoentoengan perlabaan jang datang dariepada sepertie pamarentahan bapak diatas anaknja serta handak maramikan perniagaan sopaya akan bertambah-bertambah kabadjikan negory wolanda dan negory inie hei sekalian manoesia dalam passisir dan di darat kamie menjatakan sekalian perkataan inie dengan trang dan ichlats hatie kamie sebab itoelah titah jang dibarikan kapada kamie salama-salamanja tiada akan bole perdjandjian jang lebih baik darie pada inie dan lagie pardjandjian kasantousaan inie terbit darie pada kadatangan toean Besar Commissaris djindral sendirie kamarie sebab perlihatannja sendirie barang apa-apa jang akan mendjadie kabaikan kapada marikaitoe dengan kapada compagnie kerna itoelah kamie ingatkan akan marikaitoe trimakanlah perdjandjian inie dengan soekoer menoeroet jang tersaboet itoe dengan ichlats hatie serta kamie djandjikan dengan marikaitoe dengan nama toean Besar commissaris djindral wakil daulat mahardja wolanda jang tiada sekalie bole di obahie salamanja marikaitoe tiada bole akan mamhoewat barang pakerdjaan jang maoebahkan perdjandjian inie adanja.

Tertoelis di Padang pada 25 October 1833.

Perjalanan ke Pengasingan

Ada dua versi tentang lokasi kuburan Tuanku Imam Bonjol. Versi pertama mengatakan kuburan Tuanku Imam Bonjol berada di Lotak, Sulawesi Utara.  Versi kedua mengatakan makam Tuanku Imam Bonjol berlokasi di suatu tempat di Bonjol. Versi pertama bisa dikatakan sebagai karya sejarah yang empiris, sedangkan versi kedua lebih bersifat pengetahuan sejarah (sebagian) masyarakat.

Sebagai rekonstruksi sejarah, versi pertama atau versi kedua, pasti memiliki bukti atau sumber. Versi pertama, yang lazim kita kenal, menjadikan makam sang tuanku dan bangunan pendukungnya di Lotak, serta sejumlah catatan atau dokumen historis sebagai bukti atau sumber. Sebaliknya, versi kedua, juga menyatakan ada bukti atau sumber pendukung yang mereka miliki. Sayangnya, para pendukung versi kedua ini tidak mau menampilkan data atau sumber yang mereka miliki. Mereka menyelimuti sumber mereka dengan ungkapan bahwa kuburan itu “berada di lokasi yang dirahasiakan”.

Para pendukung versi kedua tetap mempercayai dan berupaya pula meyakinkan orang lain bahwa kuburan Tuanku Imam Bonjol bukan di Lotak. Mereka juga mencoba meyakinkan orang lain bahwa Tuanku Imam Bonjol tidak pernah ditangkap, ditawan dan dibuang ke sejumlah negeri sebelum akhirnya sampai ke Lotak. Mereka juga meyakinkan orang bahwa yang ditangkap dan dibuang, serta berkubur di Lotak itu adalah orang lain yang disuruh ‘berakting’ menjadi Tuanku Imam Bonjol.

Walaupun versi kedua ini tidak menghebohkan lagi, sebagaimana terjadi tahun 1980-an, tetapi keberadaannya tetap dirasakan hingga sekarang. Tidak hanya itu, keberadaan versi kedua ini dianggap bersifat kontra produktif. Pernyataan ini berpotensi menghadirkan penilaian negatif terhadap Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut TIB), dia akan dikatakan pengecut, mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya, dan tidak berjuang sampai akhir hayat. Penilaian ini akan menguatkan pernyataan Taufik Abdullah dan Muchtar Luthfi saat polemik itu menghangat tahun 1980-an, yang mengatakan “kalau begitu cabut saja gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan kepada Tuanku Imam Bonjol”. Versi yang kedua ini juga berpotensi melemahkan kesahihan Naskah Tuanku Imam Bonjol, yang dewasa ini diusulkan menjadi Memory of the World.

Naskah Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut NTIB) adalah salah satu sumber yang tidak hanya menginformasikan berbagai hal yang dialami Tuanku Imam Bonjo selama Perang Padri, tetapi juga informasi khusus mengenai penangkapan serta pembuangannya. Ada banyak informasi menarik yang tersaji dalam naskah ini. Informasi yang memperlihatkan mengapa Tuanku Imam Bonjol memilih datang ke Palupuh menemui wakil Belanda, keberadaan ‘tentara niniak mamak’ yang sangat setia pada Belanda, sikap politik Belanda terhadap penangkapan dan pembuangan Tuanku Imam Bonjol, sikap Tuanku Imam Bonjol terhadap penangkapan dan pembuangannya, serta berbagai ‘fakta sosial’ tentang simpati dan hasat sejumlah orang yang ikut menjadi lakon cerita, termasuk juga informasi tentang keramatnya TIB.

Tulisan ini akan menampilkan kisah perjalanan Tuanku Imam Bonjol sejak dia ditangkap hingga sampai Lotak. Bahan utama yang digunakan untuk tulisan ini adalah NTIB.

Ada dua alasan penggunaan sumber ini: Pertama, setakat ini isi NTIB relatif belum banyak dikenal masyarakat luas. Kedua, menggunakan NTIB sebagai sumber berarti menyajikan informasi mengenai penangkapan, pembuangan dan pengalaman hidup TIB di tanah pembuangan sebagaimana yang dia sajikan sendiri. Ketiga, memberikan penghargaan kepada NITB sebagai sebuah karya yang bernilai historis dan layak digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Disadari juga, ada satu kelemahan NTIB, yakni kurang memiliki kesadaran waktu. Untuk mengatasi kelemahan ini bisa digunakan sumber lain.

II

Dari NTIB kita mengetahui bahwa memenuhi undangan Belanda (Residen Francis) untuk berunding di Palupuh adalah pilihan terbaik, dari yang terburuk, oleh TIB. TIB memutuskan menemui sang residen setelah melihat banyaknya korban yang jatuh dan semakin brutalnya Belanda menghajar para pendukungnya. NTIB menyajikan banyak informasi mengenai kekejaman dan kebrutalan Belanda sejak beberapa waktu sebelum kejatuhan Benteng Bonjol (16 Agustus 1837) hingga hari-hari menjelang Tuanku Imam Bonjol memenuhi undangan Francis untuk berunding di Palupuh. Tidak hanya pihak lelaki, kaum perempuan juga dibunuh, dilukai atau yang paling ringan ditangkapi oleh tentara Belanda.

TIB pergi ke Palupuh, sebuah nagari yang berlokasi antara Bonjol dengan Bukittinggi dan saat itu di sana ada benteng Belanda, bersama empat pengiringnya. Keempat pengiring itu adalah Durahap (keponakan TIB), Sutan Saidi (anak TIB), Bagindo Tan Labiah (semenda TIB), dan si Golong (‘ajudan’ TIB). Mereka sampai di Palupuh pada tanggal 28 Oktober 1838.

Ada proses yang cukup rumit dalam pertemuan itu. Proses pertemuan TIB dengan petinggi Belanda itu difasilitasi oleh ‘broker’, Tuanku Manis namanya. Tuanku Manis ini dahulunya adalah murid TIB namun kemudian berkhianat dan bergabung dengan Belanda. Sesampai di Palupuh ternyata Francis tidak ada, TIB kemudian hanya bersua dengan Kapten Steinmetz, Asisten Residen di Bukittinggi.

Setelah pertemuan dengan Steinmetz, tengah malam saat menginap di rumah Tuanku Manis, TIB dijemput oleh jaksa dengan mengatakan Tuan Besar (Asisten Residen) menunggu di Bukittinggi. Dari Palupuh TIB berjalan ke Bukittinggi bersama jaksa dan diiringi oleh tentara.

Setelah tiga hari di Bukittinggi, TIB dan kawan-kawan bertemu dengan Asisten Residen serta para kepala laras dan regen (pejabat bumiptra atau Inlandsche Bestuur) pendukung Belanda.  Dalam pertemuan itu, Steinmetz mengatakan bahwa TIB harus tinggal di Bukittinggi, akan diberi uang belanja, boleh bersenang-senang diri dengan beribadah di surau dan mengaji. Dikatakan juga istri dan keluarga TIB diizinkan untuk datang dan tinggal di Bukittinggi.

Namun, Regen Batipuh, seorang tokoh adat pendukung Belanda dan sangat benci kepada kaum Padri mengatakan bahwa selama TIB ada di Tanah Darat maka Belanda tidak akan pernah tenang.

Dipengaruhi oleh hasungan Regen Batipuh atau memang telah direncanakan oleh Belanda, pada selepas shalat isya, empat hari setelah pertemuan dengan Steinmetz dan para pemimpin bumiputra kaki tangan kolonialis itu, anak buah Regen Tanah Datar menangkap Bagindo Tan Labiah dan seorang pengikut TIB. TIB yang ingin membela anak buahnya dibawa menghadap Seteinmetz serta komandan tentara Bukittinggi. Dalam pertemuan malam itu dikatakan bahwa TIB akan dibawa ke Padang menemui Residen Francis. Dikatakan bahwa masalah TIB tidak bisa diputuskan oleh Asisten Residen. TIB yang menduga dia akan dipenjara atau dibunuh (TIB menyebut akan dibinasakan) ditampik oleh komandan tentara (Letnan Arbacht) bahwa TIB tidak akan dibinasakan. TIB menulis, komandan tentara itu berkata “Tidak Tuanku akan binasa, tidak berkicuh pada Tuanku. Saya bersumpah kepada hari malam dan kepada lampu yang hidup ini, tidak Tuanku dibinasakan kompeni”.

Pandai benar komandan tentara tersebut meyakin TIB, pakai sumpah segala.

Setelah itu, malam itu juga TIB dan empat pengikutnya dibawa ke Padang. Dikatakan TIB dibawa dalam usungan. Beliau ditandu oleh anggota pasukan Regen Batipuh.

Ada informasi yang menarik dalam proses perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang. Perjalan ke Padang dilakukan dalam delapan kali berhenti dan pergantian “tuan” (pejabat militer Belanda) yang mendampingi perjalanannya. Delapan kali berhenti ini nampaknya menjadi pola perjalanan Bukittinggi – Padang atau sebaliknya sejak masa pembangunan jalan via Lembah Anai. Pada masa-masa berikutnya, jarak antar perhentian itu dinamakan  etape.

Delapan etape yang ditempuh TIB adalah Bukittinggi – Padangpanjang, Padangpanjang – Kayutanam, Kayutanam – Kiambang, Kiambang – Lubukalung, Lubukalung – Batanganai, Batanganai – Duku, Duku – Ujungkarang, dan Ujungkarang – Padang.

Di setiap tempat perhentian, TIB dan rombangan makan, minum, shalat dan istirahat (bermalam kalau sampai malam hari).

Perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang ternyata telah diketahui orang banyak. Karena itu, TIB menyebut dalam BTIB bahwa sepanjang jalan banyak warga yang menantinya atau mengiringi rombongannya untuk jarak tertentu.

Berbeda dengan perjalan sebelumnya, sesampai di Ujungkarang, TIB dan pengikutnya dibawa dengan kereta menuju Padang. Tidak disebutkan di mana mereka berhenti dan makan-minum di Padang, informasi yang disajikan hanyalah setelah makan mereka langsung dibawa lagi dengan kereta menuju kuala (muara). Muara adalah pelabuhan kota Padang. Setiba di pelabuhan itu TIB baru sadar bahwa dia ditipu, bahwa dia tidak dibawa untuk bersua dengan Residen Francis. Apalagi setelah itu dia dan rombongannya disuruh naik sekoci menuju Pulau Pisang. Pulau Pisang adalah reede kota Padang saat itu. Reede adalah pelabuhan tempat kapal samudra berlabuh, karena Pelabuhan Muara terlalu dangkal untuk kapal-kapal besar. Dalam dunia maritim Indonesia reede umumnya berlokasi di sebuah pulau.

Sesampai di Pulau Pisang TIB dan rombongan langsung naik ke kapal yang sudah menunggu di sana. Saat itu, sekali lagi, TIB menyadari bahwa dia akan dibawa jauh menyeberang lautan dan tidak akan kembali lagi ke Alahan Panjang (Bonjol).

Kapal yang dinaiki TIB adalah kapal layar tiang tiga layar. Kapal tidak langsung berangkat, karena itu TIB tidur di kapal malam itu.

Besoknya Residen Francis datang ke kapal menemui TIB. TIB menulis dalam NTIB bahwa ada banyak dialog antara dia dengan Francis. Inti dari dialog itu adalah: Pertama, TIB mengatakan bahwa dia ditipu Belanda; kedua, TIB rela menerima apapun yang diputuskan kompeni terhadapnya; ketiga, Francis mengatakan masalah TIB harus diputuskan oleh “Tuan Besar” di Betawi; keempat, dengan sombongnya Francis bahwa sekarang TIB berhadapan dengan orang yang menang perang.

Selama dalam pelayaran TIB tidak boleh memegang senjata. Tiga jenis senjata TIB, yakni sebuah sewah, dua keris dan satu rudus mesti diserahkan kepada kapten kapal.

Setelah Residen datang pula jaksa menemui TIB. Dia datang dengan membawa beberapa perlengkapan untuk TIB, seperti pakaian dan bahan makanan.

Pada pagi-pagi hari ketiga kapal berlayar meninggalkan Pulau Pisang menuju Batavia. TIB menyebut ada tujuh hari lama pelayarannya, kapal berlayar dengan kecepatan penuh, sebab semua layar terkembang sempurna.

Seperti di Padang, di Batavia kapal juga berlabuh di reede (Pulau Onrust). Karena itu TIB dan rombongannya harus naik sekoci lagi menuju pelabuhan.

Di pelabuhan TIB ditunggu oleh Komandan Hamzah. Dan dengan kereta TIB dibawa menemui residen. TIB selalu menyebut bahwa setiap kali bersua dengan pejabat tinggi Belanda selalu ada kalimat sapaan yang menyenangkan, pertanyaan basa-basi. Ketika bersua dengan Residen Betawi misalnya sang residen menyapa “Sudah datang Tuanku. Ada baik Tuanku”.

Sesudah pertemuan dengan residen, TIB tinggal di rumah Komandan Hamzah selama empat bulan.

Setelah empat bulan, residen memberi tahu TIB bahwa dia akan tinggal di Cianjur. Dikatakan bahwa TIB akan dapat gaji (50 rupiah/gulden) per bulan, dapat makan, dan dapat rumah tempat tinggal.

Lima hari setelah itu, dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh enam kuda, TIB bersama Komandan Hamzah berangkat menuju Bogor. Di Bogor mereka ingin menemui residen, tetapi residen hanya berpesan agar TIB dibawa menemui regen depati Bogor. TIB juga tidak sempat bersua dengan regen/bupati Bogor, namun sempat bermalam di sana. Besoknya perjalanan dilanjutkan menuju Cianjur. Setelah itu TIB menetap di sana.

Dalam NTIB ini tidak disebutkan aktivitas TIB selama di Cianjur. Namun ada satu informasi yang menarik. Tidak lama sesampai di Cianjur, TIB membuat surat permintaan kepada Tuan Besar (Gubernur Jendral Hindia Belanda) melalui Residen Cianjur untuk diizinkan pulang ke kampung halamannya. Tiga bulan menunggu, akhirnya datang balasan yang isinya meminta TIB datang ke Batavia. Tidak datang sembarang datang, tetapi datang dengan membawa semua barang dan perkakas yang dimiliki.

Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, TIB dijemput tengah malam. Dibawa ke Bogor dengan pengawalan penuh, 12 serdadu di depan dan 12 dibelakang. Dari Bogor dibawa ke Betawi. Sesampai di Betawi menginap lagi di rumah Komandan Hamzah,

Di Betawi TIB baru sadar bahwa jawaban atas permintaannya agar diizinkan pulang kampung dijawab oleh Gubernur Jendral dengan keputusan memindahkannya ke Ambon.

NTIB memberikan rincian perjalanan ke Ambon dengan cukup lengkap. Dari Betawi TIB berangkat dengan kapal perang menuju Surabaya. Di Surabaya menginap selama tiga malam. Dari Surabaya pelayaran dilanjutkan ke Negeri Sido Tabing, bermalam pula selama tiga malam. Di Sido Tabing TIB membeli bahan makanan (bahan yang akan dimasak). Dari Sido Tabing pelayaran dilanjutkan ke Buton. Berlabuh selama enam malam di Buton. Dari Buton pelayaran dilanjutkan menuju Ambon. TIB menulis dibutuhkan waktu dua bulan untuk menempuh jarak Betawi dengan Ambon tersebut.

Di pelabuhan TIB dijemput fiskal dan dibawa menghadap “tuan besar” (gubernur). Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan dan kesehatan “tuan besar” mengataka bahwa TIB akan tinggal di Ambon, mendapat gaji 65 rupiah (gulden) sebulan, 200 pon beras, namun tidak mendapat pakaian.

TIB tinggal di rumah Al Haji Umar. Rumah itu disewakan oleh pemerintah sebesar 15 rupiah per bulan. TIB tinggal selama 2 tahun di rumah itu.

Karena kondisi rumah yang buruk dan sewa mahal, TIB berniat untuk pindah rumah. Pindah ke  rumah seorang saudagar bangsa Belanda.

Al Haji Umar tidak setuju TIB pindah, sebab pasti membuat dia rugi. Selama ini dia diuntungkan dengan kehadiran TIB, sebab rumahnya jelek dan dibayar mahal. Karena hasat dan dengki ini, Haji Umar melapor pada gubernur dan mengasung gubernur dengan mengatakan bahwa dia tidak bertanggung jawab kalau TIB lari atau mengamuk.

Hasungan sang haji tersebut diterima sang gubernur, sehingga gubernur memutuskan akan memindahkan TIB ke Menado. Namun, ketika menyampaikan rencana itu kepada TIB, gubernur mengatakan bahwa kepindahan TIB ke Menado adalah demi kebaikan TIB sendiri. Dikatakan bahwa Menado negeri baik, tempat baik, makan murah. Di sini (Ambon) segala barang mahal karena negeri kecil.

TIB mencoba meminta kepada sang gubenur agar dia tidak dipindahkan ke Menado. Tetapi gubernur bersikeras mengatakan TIB harus pindah.

Dalam NTIB kemudian dikemukakan bagaimana usaha TIB agar diizinkan tetap tinggal di Ambon. Dikatakan bagaimana lika-liku usaha yang ditempuh TIB dalam membuat surat permohonan agar tidak dipindahkan ke Menado. Bagaimana dia membuat surat permohonan yang juga ditandatangi dan didukung oleh banyak pihak, di antaranya fiskal dan Kapiten Melayu. Diceritakan juga bagaimana pandangan Kapiten Melayu dan seorang Belanda (Tuan Pinner) juru tulis yang membantu TIB membuat surat permohonan tentang negeri Menado. Keduanya mengatakan bahwa Menado tidak Islam. Banyak babi di situ. Negerinya kotor sekali.

Surat permintaan agar tidak dipindahkan ke Menado dibalas oleh gubernur dengan perintah segera berangkat. Tidak pakai lama, besok harinya TIB harus berangkat karena kapal sudah menunggu.

Dari Ambon kapal yang ditumpangi TIB singgah dulu di Ternate (pelayaran Ambon-Ternate ditempuh selama lima hari). Bermalam selama tiga hari di Ternate. Sewaktu berlabuh itu TIB dikunjungi oleh Raja Ternate. Dari Ternate, pelayaran dilanjutkan menuju Menado. Setelah berlayar selama tiga hari tiga malam sampailah di pelabuhan, tetapi kapal tidak bisa merapat ke dermaga. Ombak besar dan angin kencang. Akibatnya kapal hanyut terbawa arus hingga mendekat ke Ternate lagi. Kapal kemudian balik lagi ke Menado, dan pengalaman yang sama terulang lagi. Terulang sampai tiga kali. Dinyatakan dalam NTIB, ada hubungan antara kegagalan kapal tersebut merapat ke pelabuhan dengan keramat TIB. TIB tidak rela pindah ke Menado.

Setelah turun ke darat diketahui bahwa negri tempat kapal berlabuh itu bukan Menado, tetapi Kimah. Dari Kimah kapal berlayar lagi selama satu hari dan barulah sampai di Menado.

Sesampai di Menado TIB dibawa menemui residen, dan residen memerintahkan agar TIB dibawa menemui Letnan Melayu.

TIB tinggal di Menado selama empat bulan. Setelah itu diputuskan pula bahwa TIB dipindahkan ke Komba. TIB, yang telah mengetahui bahwa Komba adalah negeri kecil dan berada di pedalaman, serta memiliki suhu yang dingin, meminta agar dia jangan dipindahkan ke sana. Permintaannya ditolak dengan jawaban yang kasar. “Belum lagi Tuanku rasa sudah tuanku minta, mana boleh. Pai malah Tuanku dulu. Coba barang satu atau dua bulan. Kalau rasa tidak baik boleh datang sama saya minta tolong”.

Setelah delapan bulan tinggal di Komba, TIB merasa tidak cocok. Suhu di sana terlalu dingin sehingga TIB minta dipindahkan kembali. Dijawab oleh petinggi setempat dengan mengatakan boleh pindah tetapi ini yang terakhir. TIB ditawarkan pindah ke beberapa tempat, boleh pindah ke Menado, Lotak, Tomohon, atau Tondano. Akhirnya dipilih Lotak dan disetujui.

Tetapi kemudian oleh pemerintah TIB dibuatkan rumah di Kokas dan dipindahkan ke sana. TIB merasa tidak cocok tinggal di Kokas. Alasannya Kokas terlalu kecil, airnya kotor dan tidak cocok untuk beribadah.

Setelah setahun tinggal di Kokas, TIB minta kepada residen agar dia diizinkan membeli tanah tempat tinggal di Lotak, tempat yang semula dia pilih dan disetujui residen. Usulannya ini disetujui residen, bahkan dikatakan TIB boleh membeli tanah sebanyak yang dia suka. TIB beli tanah seluas 100 benih padi, dengan harga 60 rupiah delapan puluh kepeng.

Setelah itu dibangunlah rumah tempat tinggal di tanah yang dibeli tersebut.

Namun sewaktu akan pindah, ketika TIB melapor, komandan militer tidak terima dan menghasung residen agar TIB tidak diizinkan pindah ke Lotak. TIB disalahkan karena tidak melapor kepadanya terlebih dahulu. Residen menerima pengaduan komandan tentara sehingga dia juga tidak mengizinkan TIB pindah ke Lotak. Protes TIB yang mengatakan mengapa dulu dia diizinkan, tidak didengar sang residen.

Nasib baik berpihak pada TIB. Tidak lama setelah komandan tentara dan residen membatalkan kepindahannya ke Lotak, “Tuan Besar” (gubernur) dari Ambon datang berkunjung ke Menado dan juga Lotak. “Tuan Besar” bahkan memanggil TIB untuk bertemu. Saat itulah TIB mengadukan permasalahan yang dihadapinyadengan sang residen. Setelah pertemuan tersebut, residen mengizinkan TIB pindah ke Lotak.

TIB tinggal selama 10 tahun di Lotak. Sebagaimana tertulis pada NTIB, hari Selasa bulan November 1864 TIB berpulang ke Rahmatullah.

TIB berpulang pada usia 92 tahun. Usia ini dihitung dengan menjumlahkan keterangan yang disampaikan TIB saat bersua dengan Elout di Bonjol tahun 1832, saat itu beliau mengatakan bahwa beliau berusia 60 tahun. Bila dihitung bahwa beliau meninggal tahun 1864  (32 tahun setelah pertemuan dengan Elout), maka berarti usianya saat meninggal TIB berusiadalah 92 tahun.

Berpulangnya TIB berarti berakhir pulalah masa pembuangannya yang berlangsung selama 26 tahun. Angka 26 tahun diambil dari perhitungan mulai dia ditangkap tahun 1838 hingga meninggal tahun 1864. Angka ini juga berarti bahwa hampir sepertiga umurnya dihabiskan di pengasingan.

III

Pengasingan TIB memiliki dinamika tersendiri. Tidak seperti kebanyakan pejuang Indonesia musuh Belanda, yang umumnya diasingkan ke satu tempat saja, maka TIB diasingkan ke banyak tempat. Pada awalnya diasingkan ke negeri yang penduduknya Islam, selanjutnya ke negeri yang mayoritas warganya non-muslim. Pola pengasingan ini ada hubungannya dengan upaya pengasingan TIB dari lingkungan yang islami.

Perjalanan TIB menuju tanah pengasingan juga diisi banyak pertemuan dengan sejumlah sosok yang memiliki berbagai karakter. Ada komandan tentara yang munafik dan sombong, ada tokoh adat Urang Awak yang penuh hasat dan dengki, ada ‘menak’ atau bangsawan dan pejabat Sunda yang tidak mau menemui TIB, ada pejabat Belanda yang sama dan orang sipil Belanda yang suka menolong, ada haji yang juga penuh hasat dan dengki, ada ‘orang lain’ (komandan orang Bali di Betawi, Kapiten dan Letnan Melayu di Ambon dan Menado) yang penuh simpati dan suka membantu, ada Raja Ternate yang memberi penghargaan kepada TIB, dan sejumlah sosok lain dengan sifat dan karakter yang berbeda. Semua orang yang ditemui TIB dalam pengasingannya memiliki sifat yang menampilkan karakter manusia dengan segala kurenah dan perangainya. Itu semua sangat manusiawi.

Tidak hanya pengalaman fisik serta kasat mata yang ditampilkan, NTIB juga menyajikan sejumlah informasi tentang dunia spritual bahkan dunia magis yang ada pada TIB. Ada banyak informasi tentang dunia ini dalam NITB. Salah satu contoh aspek ini dikemukakan TIB dalam kaitannya dengan kegagalan kapal merapat ke pelabuhan dalam perjalanan menuju Menado.  Kapal gagal merapat karena TIB tidak rela diasingkan ke negeri di mana kapal akan berlabuh. Dikatakan, keramat TIB-lah yang membuat kapal selalu gagal berlabuh, dan karena keramat TIB pulalah akhirnya, atas izin beliau, kapal akhir bisa sandar di dermaga. TIB ‘mengalah’ karena tidak ingin kapal dan penumpang kapal lebih lama menderita karena ketidakikhlasannya dipindahkan ke negeri yang tidak disukainya.

Sebagai sebuah karya ‘biografi’ yang ditulis menurut pola histriografi tradisional, NTIB memang memiliki sejumlah unsur yang tidak ditemukan dalam karya sejarah moderen (empiris). NTIB tidak memiliki kesadaran waktu, NITB sering memasukkan aspek-aspek non-empiris dalam narasinya, dan sejumlah ciri histriografi tradisional lainnya. Namun itu semua tidak mengurangi makna historis kandungan isinya, tidak mengurangi nilainya untuk dijadikan sebagai sumber sejarah. Kelemahan-kelemahan NTIB bisa diperkuat dengan penggunaan sumber-sumber tertulis lain yang bejibun jumlahnya.

Di samping bisa digunakan untuk penulisan sejarah Perang Padri khususnya, NTIB juga bisa dijadikan “senjata” untuk mengkaunter pendapat atau pandangan yang mengatakan bahwa TIB tidak pernah ditangkap, tidak pernah dibuang, dan tidak meninggal serta tidak berkubur di Lotak. Karena dari NTIB ini kita bisa mengetahui bahwa pendapat itu adalah sangat tidak mungkin. NTIB menyebut ada banyak orang, dengan siapa Tuanku Imam Bonjol berhubungan dalam proses penangkapanan dan pembuanganya. Dan sebagian dari orang-orang itu, kenal dan pernah berhubungan dengan Tuanku Imam Bonjol. Jadi tidak mungkin, bahwa orang-orang banyak itu bisa ditipu oleh orang yang ‘berakting’ sebagai Tuanku Imam Bonjol.

TIB memang ditangkap, dibuang ke banyak tempat, dan meninggal serta berkubur di Lotak.

Perjalanan TIB menuju tanah pembuangan adalah sejarah perjuangan yang juga perlu dihayati dan diapresiasi. Ada banyak perderitaan yang juga dialami dan ada banyak upaya yang dilakukan TIB agar tetap survive dalam perjalanan menuju dan tinggal di pengasingan. Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa Tuanku Imam Bonjol betul-betul berjuang hingga akhir hayatnya.

Daftar Kepustakaan:

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Historiografi Perang Padri

Sejak beberapa waktu yang lalu, ada upaya yang dilakukan oleh sejarawan atau peminat sejarah untuk melakukan re-rekonstruksi sejarah Perang Padri. Mereka mencoba mengkaji dan menulis Perang Padri dari sudut pandang lain, salah satu di antaranya adalah menampilkan aspek kekerasan dalam Perang Padri. Ada dari mereka yang menyamakan aksi kaum Padri dengan Taliban atau ISIS. Karena itu, ada dari mereka yang mengeritik kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol.

Sebelumnya ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian respon dari warga daerah terhadap perubahan ekonomi yang terjadi di daerah ini dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi skala regional atau internasional.

Sebelumnya lagi, ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian dari revolusi sosial dan intelektual yang ingin menata ulang struktur, serta tatanan sosial Minangkabau.

Sebelumnya dan sebelumnya lagi, ada sejumlah perspektif atau sudut pandang lain yang digunakan dalam merekonstruksi sejarah Perang Padri.

Bisa dikatakan, Perang Padri adalah salah satu iven historis di Minangkabau (Sumatra Barat) yang ditulis dengan banyak sudut pandang atau perspektif.

Apa-apa saja sudut pandang atau perspektif yang pernah ditampilkan dalam rekonstruksi sejarah Perang Padri selama ini? Dalam tulisan yang mana sudut pandang itu hadir? Siapa penulisnya? Kapan ditulis? Untuk apa ditulis?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

II

Sejarah atau informasi historis tertulis mengenai Perang (atau Gerakan) Padri telah mulai muncul beberapa saat setelah Perang Padri meletus (1821), dan terus berlanjut hingga saat sekarang.

Informasi tertulis tersebut diwujudkan dalam bentuk buku, artikel, karya ilmiah untuk mencapai gelar akademis tertentu, makalah-makalah yang disajikan dalam berbagai seminar, artikel di surat kabar dan majalah, hingga tulisan-tulisan di media sosial.

Karya tulis berupa buku bisa lagi dibagi ke dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya adalah kenang-kenangan hidup, kompilasi dari pengalaman hidup dan berbagai catatan yang dibuat berkenaan dengan perang tersebut, bagian dari travelogue (catatan perjalanan), dan hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut. Di samping itu juga ada buku yang merupakan alih aksara dari buku bertuliskan Arab Melayu  mengenai keterlibatan/kesaksian penulisnya dalam Perang Padri, serta buku berupa kumpulan tulisan (artikel) mengenai Perang Padri.

Hal yang relatif sama juga berlaku pada tulisan dalam bentuk artikel. Sebagian artikel merupakan kenang-kenangan hidup atau pemahaman penulis berkenaan dengan Perang Padri. Sebagian lain berkenaan dengan tinjauan kritis tentang Perang atau Gerakan Padri, dan tulisanitu lahir dari hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut.

Makalah, artikel surat kabar dan majalah atau media sosial umumnya merupakan hasil bacaan atau penelitian dari berbagai sumber primer dan sekunder mengenai Perang Padri.

Bila dilihat dari urutan waktu terbitnya, para penulis, dan isi tulisannya, maka secara umum bisa dikatakan ada enam periode penulisan sejarah Perang Padri: Pertama, periode 1820-1850-an; kedua, 1860-an hingga akhir 1920-an; ketiga, 1930-an hingga awal 1950-an; keempat tahun 1960-an; kelima, 1970-an hingga akhir 1990-an; dan keenam, awal tahun 2000-an hingga saat sekarang.

Periodesasi sejarah penulisan sejarah Perang Padri ini jangan dipahami secara sempit, karena bisa saja ada ‘jiwa zaman’ pada satu periode muncul lagi pada zaman yang lain. Namun, tidak diragukan lagi, keenam kurun waktu ini menghadirkan corak tersendiri dalam rekonstruksi sejarahnya.

III

Ada belasan tulisan yang ditulis mengenai Perang Padri pada kurun waktu 1820-an hingga 1850-an.  Beberapa di antaranya adalah Nahuijs dan Anderson (1827), Raffles (1830), Mueller (1837), v.d.H. (1838), “Bondjol“ (1839), Francis (1839), Boelhouwer dan Epp (1841), “De Secte der Padries in de Padangsche Bovenlanden” (1844), B.d. (1845); Stuers (1849, 1850), Lange (1854); Francis (1956), dlsbnya. Di samping itu juga ada karya yang ditulis oleh Urang Awak, yakni Fakih Saghir (1829) dan Tuanku Imam Bonjol (n.t.).

Dilihat dari nama-nama penulisnya, maka bisa dipastikan bahwa tulisan-tulisan yang terbit pada periode pertama ini umumnya ditulis oleh pelaku sejarah atau saksi sejarah. Dengan kata lain, sebagian besar dari mereka ikut-serta dalam Perang Padri. Penulis bangsa Belanda umumnya terdiri dari para pejabat dan petinggi sipil dan militer (Nahuijs, Stuers, Francis, Lange, dan Boelhouwer). Penulis dari kalangan Urang Awak adalah pemimpin Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) dan tokoh penting  daerah (Fakih Sanghir). Karya penulis dari kalangan pelaku sejarah ini sarat dengan informasi penting mengenai jalannya Perang.

Ada juga penulisnya yang hanya mendengar kisah tentang Gerakan atau Perang Padri dari orang yang terlibat dalam perperangan itu (Anderson dan Raffles). Sehubungan dengan itu, deskripsi yang disajikan dalam tulisan-tulisan mereka t hanya berisikan informasi secara umum atau aspek tertentu tentang Perang Padri.

Di samping itu, ada beberapa tulisan (artikel di jurnal) yang tidak menyertakan nama penulis. Namun, membaca narasi, deskripsi yang rinci, dan pemahaman mereka terhadap apa yang ditulis, diperkirakan, para penulis artikel itu adalah juga pelaku sejarah.

Khusus untuk karya Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Saghir, walaupun ditulis pada saat berlangsung perang, namun untukperiode pertama ini keberadaannya tidak tampil. Karya Tuanku Imam Bonjol ‘hanya’ dijadikan Lampiran (Bijlage) dalam karya Stuers, dan tulisan Fakih Sangir ‘tersimpan rapat’ entah di mana saat itu (kedua tulisan ini baru mulai banyak diperbincangkan dan dikutip sejak awal abad ke-20).  

Ada ‘evolusi’ yang sangat sempurna dari penulisan sejarah Perang Padri pada periode pertama ini. Maksudnya adalah ada porsi pembahasan mengenai dinamika dan jalannya Perang Padri yang makin lama semakin luas dan mendalam yang dilakukan oleh para penulis. Bila pada tulisan-tulisan yang  terbit pada tahun-tahun pertama pembahasan mengenai Perang Padri relatif sedikit, atau hanya menyinggung sepintas lalu, dengan pengecualian karya Boelhouwer, maka karya-karya yang terbit pada tahun-tahun terakhir periode pertama ini, pembahasannya semakin mendalam dan luas. Bahkan karya-karya itu terdiri dari dua atau tiga jilid tebal-tebal, seperti terlihat dari karya Stuers, Lange, dan Francis.

Pokok bahasan dalam karya-karya yang terbit pada periode pertama ini bisa dibagi kedalam tiga pokok pembahasan: Pertama, tentang penamaan-penamaan; kedua, jalannya perang; dan ketiga, tinjauan menyeluruh mengenai perang dalam kontek sejarah daerah dan Hindia Belanda.

Pokok pembahasan pertama menjadi penting karena penamaan yang diberikan pada kurun waktu ini akan menjadi penamaan di masa-masa berikutnya. Ada beberapa penamaan yang diberikan atau disajikan saat itu, di antaranya penamaan terhadap kelompok yang melancarkan aksi pembaruan. Raffles misalnya menamai mereka sebagai ‘Para Fanatik’, Anderson menyebut ‘Gerakan Nan Renceh’, Nahuijs menyebut ‘Kaum Putih’, Boelhouwer,  v.d.H., , Francis, Epp, Stuers dan Lange menamakan mereka ‘Kaum Padri’.

Sedangkan perang itu sendiri, hampir semua penulis Belanda sepakat menamainya Perang Padri (Padrioorlog).

Penamaan-penamaan yang diberikan pada periode inilah yang kemudian menjadi penamaan ‘resmi’ yang lazim dipakai oleh banyak penulis di masa-masa selanjutnya (hingga saat sekarang)

Pokok pembahasan kedua dari karya-karya yang terbit pada periode pertama ini adalah pembahasan menyeluruh mengenai jalannya perang. Karya Boelhouwer adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Buku ini menyajikan kecamuk perang dan dinamika perang, serta gambaran sosial-budaya kaum Padri, kaum adat, orang Batak, dan orang Belanda. Sebagian sajian Boelhouwer adalah deskripsi non-senjata atau non-fisik sifatnya, sajian tentang manusia dan kemanusiaan dalam perang. Buku ini sangat kaya informasi mengenai jalannya perang serta informasi sosial-budaya Urang Awak saat perang berlangsung. Termasuk informasi tentang aspek-aspek kehidupan sehari-hari Urang Awak saat itu. Hal yang sama sebetulnya juga ditemukan dalam karya Nahuijs.

Pokok bahasan ketiga, adalah tinjauan menyeluruh mengenai Perang Padri dalam konteks sejarah daerah dan Hindia Belanda. Karya Stuers, Lange dan Francis adalah contoh untuk pokok bahasan yang ketiga ini. Di samping membahas jalannya perang secara luas dan mendalam, para pengarangnya juga menyajikan perjalanan sejarah daerah (Sumatra Barat dan juga Hindia Belanda), termasuk juga dinamika sosial-politik daerah dalam karya-karya mereka. Membaca ketiga karya ini maka kita akan disuguhi sajian mengenai jalannya perang, banyaknya tentara yang diterjunkan, tempat-tempat terjadinya kontak senjata, komandan tentara (penyerangan), jumlah korban yang jatuh dipihak Belanda dan kaum Padri (biasanya korban pihak Padri jauh lebih banyak), dan kekejaman Padri (kekejaman Belanda tidak atau ditampilkan ). Juga ada pembahasan, alaupun dalam porsyang tidak begitu banyak mengenai pembangunan infratruktur transportasi, dunia niaga dan kehidupan ekonomi, dan pembentukan unit administratif daerah.

Kesimpulan kajian untuk historiografi Perang Padri periode awal ini adalah kaum Padri dikatakan jahat, pengacau dan perusak ketentraman, sedangkan orang/pemerintahan Belanda adalah baik dan berperang demi menciptakan perdamaian, serta memajukan kehidupan sosial-ekonomi daerah.

Karya-karya in sangat berarti bagi penulisan sejarah Perang Padri, karena menyimpan data dari tangan pertama. Karya-karya ini adalah sumber terpenting dan sumber utama penulisan sejarah Perang Padri.

IV

Kurun waktu kedua adalah periode yang paling ‘subur’, sehingga bisa dikatakan berupakan periode yang paling banyak melahirkan karya tulis tentang Perang Padri. Ada dua puluhan tulisan  yang terbit pada kurun waktu ini. Tidak hanya jumlahnya yang banyak, tetapi corak dan penulisnya juga beragam.

Tulisan yang khusus mengenai Perang Padri masih tetap ada, namun persentase dan ragamnya semakin berkurang. Umumnya karya khusus ini berbentuk artikel yang terbit di jurnal. Tulisan yang paling terkenal adalah karya Kielstra (1887- 1890), Hart (1876), Gerlach (1860, Ronkel (1915).

Di samping karya khusus, ada karya yang membincangkan Perang Padri namun sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain. Beberapa contoh tulisan bentuk ini adalah karya Veth (1867),  Hooyer (1895), Bosch (1864), Joustra (1923), Buys (1896).

Perspektif yang tampil dari karya-karya yang terbit pada kurun waktu ini masih menempatkan kaum Padri sebagai para fanatik, pemberontak, kejam, menganut ideologi kekerasan, dlsnya. Sebaliknya, Belanda masih digambarkan sebagai pihak yang ingin menciptakan rust en orde, serta membawa kemakmuran untuk daerah Sumatra Barat.

Satu pengecualian dari pandangan itu adalah karya Schrieke. Penulis ini mencoba melihat Gerakan dan Perang Padri sebagai revolusi sosial dan intelektual di kalangan orang Minangkabau. Sebuah gerakan yang ingin menata ulang tatanan sosial masyarakat Minangkabau dan pemberian peluang kepada kalangan intelektual untuk tampil dan unjuk intelektualitas mereka bagi kebaikan umat dan masyarakat.

Seperti disebut di atas, pada periode ini karya-karya Fakhir Saghir dan Tuanku Imam Bonjol mulai mendapat perhatian peminat sejarah Barat (Belanda). Ada upaya pengalihaksaraan dan pemberian tinjauan kritis terhadap karya-karya ini oleh ilmuan Belanda (Hollander 1857) dan Ronkel (1915).

Karya-karya Schrieke, Hollander dan Ronkel bisa pula dikatakan sebagai tonggak baru dalam historiografi kolonial dalam memandang Perang Padri. Tonggak baru historiografi Perang Padri yang menghadirkan perspektif lebih moderat dibandingkan dengan karya-karya penulis lain yang sangat kentara pandangan neerlandosentrisnya. Perspektif  ketiga penulis yang disebut terakhir ini pulalah yang disambut oleh penulis “Urang Awak” yang melahirkan karya tentang Perang Padri dari perspektif non-kolonialsentris.

V

Pada periode ketiga, secara kuantitas, jumlah tulisan mengenai Perang Padri tidak banyak. Jumlahnya bisa dikatakan hanya sebanyak bilangan jari tangan. Namun ada perubahan yang sangat signifikan pada kurun waktu ini. Perubahan-perubahan itu antara lain: pertama, tampilnya Urang Awak sebagai penulis; kedua, ‘digesernya’ fokus penulisan dari sejarah perang secara keseluruhan ke penulisan sejarah tokoh (Padri); ketiga, dikaitkannya penulisan sejarah dengan semangat nasionalisme dan patriotisme; keempat, dijadikannya sejarah Perang Padri sebagai bagian dari rekonstruksi sejarah daerah, regional, dan nasional; kelima, berkurangnya dengan drastis keterlibatan sejarawan (penulis sejarah Belanda) dalam penulisan sejarah Perang Padri.

Karya-karya penulis Belanda memang berkurang dengan drastis pada periode kelima ini. Walaupun demikian, ada juga yang menarik dari karya penulis Belanda yang sedikit itu, yakni dijadikannya Perang Padri sebagai salah satu bahasan dalam apa yang dinamakan ‘buku babun’ sejarah Hindia Belanda, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, yang dieditori Stapel (1938-1940).

Buku pertama karya Urang Awak tentang Perang Padri pada periode ketiga ini adalah karya L. Dt. R Dihoeloe yang berjudul Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam (1939). Bukunya tipis (41 halaman) sehingga pengalaman dan kejadian sejarah yang disajikan hanya secara sekilas pintas saja atau sangat umum sifatnya. Walaupun sebagai besar isi buku ini ditujukan kepada Tuanku Imam Bonjol, namun sajiannya sangat banyak dan itu terlihat jelas dari banyak ‘bab’ yang disajian seperti: negeri asal uanku Imam Bonjol, ‘biografi’ beliau, pertentangan kaum hitam dan kaum putih (paling panjang), Tuanku Imam Bonjol dan ulama yang mengembangkan agama Islam, Tuanku Imam Bonjol menjadi pemimpin (tuanku), pembahasan mengenai kubu dan benteng pertahanan, selanjutnya mengirim utusan ke Mekkah untuk mengetahui dakwah dan Islam yang sesungguhnya, kemudian perang antara kaum Padri dengan kaum adat yang meminta bantuan kepada Belanda, serta terakhir Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang.

Dengan kata lain, dalam buku ini sangat sedikit narasi mengenai perang antara kaum Padri dengan Belanda yang mendukung kaum adat. Hal ini bisa dimaklumi, karena saat buku ini ditulis Belanda masih berkuasa sehingga tidak mungkin memberikan pandangan yang berbeda (non-belandasentris) terhadap keterlibatan Belanda dalam Perang Padri. Karena itu, fokus kajian dialihkan kepada Tuanku Imam Bonjol sebagai pejuang Islam, bukan penjuang daerah atau bangsa/negara, walapun konsep nation (Indonesia) sudah ada saat itu. Di samping  pengalihan fokus kajian dengan menyebut pejuang Islam, karya L. Dt. R. Dihulu ini juga menekankan penciptakan  kehidupan yang damai antara orang Padri dan kaum adat (di Bonjol) dengan mengajukan konsep keserasian antara adat dan Islam, dengan melahirkan kesepakatan ‘Adat bersendi sjara’, sjara’ bersendi kitaboellah’.

Segera setelah pengakuan kedaulatan terbit lagi satu buku yang khusus menampilkan Tuanku Imam Bonjol. Buku yang dikarang oleh Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini berjudul Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951). Ada perbedaan yang sangat jelas dari judul buku karya L. Dt. R Dihoeloe. Dalam buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini telah ada kata-kata ‘kemerdekaan’. Jadi, dalam buku Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki Tuanku Imam onjol sudah dikatakan berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu Indonesia sudah merdeka dan Belanda hengkang.

Berbeda juga dengan L. Dt. R Dihoeloe, buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini lebih banyak menyajikan campur tangan Belanda dalam kehidupan masyarakat Sumatra Barat (Minangkabau) dan lebih banyak mengungkapkan jalannya perang antara kaum Padri (dan juga orang Minang) dengan Belanda. Tidak itu saja, dalam buku ini juga ditampilkan heroismenya kaum Padri (dan orang Minang), serta ditampilkan juga taktik licik Belanda, termasuk strategi berdamai Stuers, tipu muslihat lewat Plakat Panjang, dlsbnya.

Karena buku ini ditujukan untuk menganjungkan Tuanku Imam Bonjol, maka pada bagian akhir buku ini ditampilkan bagaimana baiknya Tuanku Imam Bonjol dibandingkan dengan Tuanku Pasaman dan Tuanku Nan Renceh. Dikatakan “…Tuanku Imam Bondjol ada mempunjai kebidjaksanaan, sehingga beliau hampir tiada mendapat perlawanan dari penghulu-penghulu dan anak negeri, melainkan segala golongan anak negeri suka menolong beliau…..’, dan banyak lagi pernyataan yang senada dengan itu. Puji-pujian seperti ini disajikan pada empat setengah halaman lebih.

Hal ini bisa dimaklumi, karena tujuan penulisan buku ini adalah mere-rekonstruksi penulisan sejarah Tuanku Imam Bonjol khususnya dan sejarah Perang Padri umumnya dengan perspektif baru, sesuai dengan semangat baru, semangat Indonesia merdeka.

Penulisan sejarah adalah bagian dari dekolonisasi yang dilakukan orang dan bangsa Indonesia. Penulisan sejarah saat itu ingin ‘membersihkan’ Tuanku Imam Bonjol dan kaum Padri dari warna hitam yang dilumurkan penulis kolonial terhadap mereka.

Senada dengan ikhtiar Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Muhammad Radjab menulis buku Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838) (1954). Buku dengan ketebalan hampir 500 halaman ini bisa dikatakan sebagai sajian mendetil mengenai Perang Padri. Buku ini sangat kaya dengan penceritaan mengenai aksi militer, pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, serta pasukan bantuan (Hulptroepen) dari berbagai etnis di Nusantara. Tidak hanya lokasi di mana perang/pertempuaran terjadi yang disajikan, tetapi juga ditampilkan jumlah tentara dan jenis atau banyak senjata yang dilibatkan. Disajikan juga banyak korban yang jatuh serta strategi-strategi peran yang dijalankan kedua belah pihak.

Buku Muhammad Radjab adalah kisah Perang Padri dalam bahasa Indonesia yang paling lengkap. Karya ini dibuat berdasarkan referensi yang banyak mengenai Perang Padri. Radjab menggunakan hampir semua referensi utama mengenai Perang Padri, yakni karya-karya ditulis oleh para pelaku sejarah atau saksi sejarah, karya-karya yang terbit pada periode pertama dan kedua historiografi Perang Padri.

Sebagai karya pada era dekolonisasi Indonesia dalam segala bidang, termasuk penulisan sejarah, maka Belanda dalam buku ini dikesankan sebagai penjajah dan kaum Padri (orang Sumatra Barat) sebagai orang yang ingin mengenyahkan Belanda, serta ingin memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Belanda dikesankan sebagai bangsa yang suka mengingkari janji, Belanda memiliki siasat licik. Sebaliknya semangat nasionalisme dan partriotisme dikalangan kaum Padri dan orang Minang, serta juga orang Jawa (Sentot pasukannya) sangat ditonjolkan. Karena itu dalam buku ini ditemukan banyak narasi tentang Sentot Ali Basya yang sebelumnya bersekutu dengan Belanda akhirnya bergabung dengan orang Minang melawan Belanda. Juga disebutkan ada banyak anggota pasukan Sentot yang desersi karena bergabung dengan kaum Padri. Bahkan penangkapan Sutan Alam Bagagar Syah dikatakan juga sebagai akibat dari berpihaknya dia kembali pada bangsa dan negara (walaupun kemudian tidak terbukti).

Di samping menampilkan perspektif indonesiasentris, sebagaimana disebut H.A.J. Klooster (1980), buku-buku mengenai Perang Padri  yang terbit pada periode ketiga ini juga sarat dengan nilai-nilai kedaerahan. Penulisnya adalah orang daerah dan terasa sekali nuansa penonjolan sejarah daerah dalam karya mereka. Namun, karena karya ini ditulis dalam kerangka dekolonisasi, maka sejarah yang ditampilkan adalah sebagai bagian dari sejarah nasional. Dukungan Sentot dan pasukannya terhadap kaum Padri (orang Minang) dan dukungan Tuanku Rao, serta Tuanku Tambusai (yang secara etnik bukan orang Minang) adalah perwujudan sejarah daerah dalam kerangka sejarah nasional itu.

Di samping dalam bentuk buku utuh, periode ketiga ini juga menghadirkan tulisan mengenai Perang Padri sebagai bagian dari buku yang ditulis dengan tema yang lain. Setidaknya ada dua tulisan dalam bentuk ini, yakni buku Sedjarah Minangkabau karya Dali Mutiara (1946) dan buku Propinsi Sedjarah Sumatera Tengah yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan (1953). Penulis buku kedua ini adalah juga Urang Awak (Decha et.al).

Karena sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain, maka pembahasan tentang Perang Padri relatif sedikit dalam kedua buku di atas. Namun, sebagai karya yang ditulis sesudah kemerdekaan, maka dalam kedua buku ini Perang Padri dikatakan sebagai perang melawan penjajah, perang yang ditujukan untuk memerdekakan Minangkabau/Sumatra Barat khususnya dan Indonesia umumnya dari cengkeraman kolonialis Belanda.

Tanpa mengabaikan arti buku karya Dali Mutiara dan terbitan Kementerian Penerangan, karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Perintis Djalan ke Kemerdekaan dan Muhammad Radjab Perang Padri di Sumatera Barat bisa dikatakan sebagai klimaks tulisan mengenai Perang Padri untuk periode ketiga. Tidak ada karya lain yang ditulis atau diterbitkan pada periode ini lagi, dan tidak ada pula karya lain yang melebihi luasnya pembahasan tentang Perang Padri atau tokoh Padri dari kedua buku ini.

VI

Periode keempat historiografi Perang Padri menghadirkan dua fenomena yang sangat menarik. Fenomena yang pertama adalah tidak ada lagi Urang Awak yang menulis tentang Perang Padri secara serius (berupa buku). Kalau pun hanya berupa tulisan singkat dan cetak ulang atas buku karya Urang Awak yang telah terbit sebelumnya. Fenomena kedua, adalah hadirnya karya mengenai Perang Padri yang ditulis oleh penulis orang Indonesia non-Minang (Batak) dan dengan perspektif yang sangat jauh berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya. Perspektif yang ditampilkan adalah kaum Padri adalah kaum fanatik, brutal, kejam, tangan dan pedang mereka penuh darah, serta aksi yang penuh dengan pemaksanaan. Aksi mereka sama dengan aksi teror. Perspektif yang ditampilkan ini mencari ciri khas dari historiografi Perang Padri periode keempat.

Master peice untuk historiogfai periode keempat ini adalah karya Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongki Nangongolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Teror Islam Marzab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 (1964). Seperti disebut oleh Parlindungan, dia menulis karyanya itu berdasarkan sumber-sumber sejarah keluarga yang diwariskan moyangnya (namun sayang sekali, seperti kata penulis, bahan-bahan itu sudah tidak ada lagi). Parlindungan juga mengaku bahwa bukunya ini ditulis sebagai hadiah untuk anak-cucunya tentang ‘sejarah keluarga’.

Buku ini diterbitkan pada tahun 1964, pada saat orang Minangkabau di Sumatra Barat baru saja dilibas habis oleh tentara pusat karena pemberontakan PRRI. Aksi PRRI memang direspon secara keras dan represif oleh Jakarta. Tindakan keras dan represif Jakarta itu dilakukan dalam segala aspek, mulai dari tindakan fisik hingga penghancuran mental. Termasuk juga penghilangan kebanggaan orang Minang akan masa lalunya. Penghilangan kebanggaan akan masa lalu itu, salah satu diantaranya diwujudkan penulisan ulang buku-buku sejarah. Ada perspektif baru dalam penulisan sejarah Minangkabau ditulis pada masa pemerintahan militer itu.

Ada banyak contoh untuk kasus ini, salah satu di antaranya adalah penghapusan kebanggaan orang Minangkabau akan ‘kecerdikan’ mereka ‘menipu orang Jawa’ dalam tambo, historiografi tradisional mereka. Kebanggaan seperti ini dihilangkan dalam historiografi pasca-PRRI. Hal ini bisa dilihat pada Tambo Minangkabau (B. Dt. Nagari Basa 1964). Tambo itu telah mengalami perubahan total dari versi sebelumnya. Bila dalam tambo lama dikatakan bahwa asal usul nama Minangkabau dikaitkan dengan adu kerbau orang Minang dengan orang Jawa dan kerbau orang Jawa kalah, maka dalam tambo B. Dt. Nagari Baa dikatakan asal usul nama itu berasal dari adu kerbau orang Minang dengan saudagar Aceh, yang kalah adalah kerbau orang Aceh. Pesan yang tersirat dalam perspektif  baru ini adalah Jawa tidak boleh dianggap kalah (oleh orang Minang) untuk masa itu. Kebetulan yang berkuasa di Sumatra Barat saat itu adalah para petinggi militer dari Jawa, dan orang jawa dari kalangan militer (tentara) sangat banyak jumlah di Sumatra Barat saat itu.

Penulisan buku Parlindungan adalah juga bagian dari upaya itu. Dalam buku ini kaum Padri, Perang Padri, ideologi Padri (agama Islam yang mereka bawa dan dakwahkan), dan orang Minang secara keseluruhan digugat dan dicerca sehabis-habisnya. Bagaikan kutu, kaum Padri, ideologi Padri dan bahkan Urang awak ditindas habis dalam buku tersebut.

Parlindungan bisa bersilantas angan menindas, menggugat serta mencerca kaum Padri, ideologi Padri dan Urang Awak, karena saat itu orang Minang dalam kondisi tidak berdaya sama sekali. Kalaupun ada orang Minang yang tengah memegang posisi hebat di pusat pemerintahan (Jakarta), maka mereka adalah bagian dari rezim yang berkuasa saat itu, rezim yang melumatkan orang Minang di Sumatra Barat.

Segera setelah terbit, karya Parlindungan mendapat apresisi dari sejumlah sejarawan muda Minang (yang umumnya besar di rantau) dan kurang atau tidak memiliki ikatan historis dengan kebanggaan akan masa lalu Minang. Mereka ini pulalah yang tahun 1970 menulis buku Sedjarah Minangkabau, serta meminta endorsemen Parlindungan atas buku yang mereka tulis. Namun, bagi sebagian besar orang Minang, terutama kalangan tua, yang telah tampil di panggung sejara sebelum PRRI, karya Parlindungan itu dianggap sebagai ‘tidak benar’. Salah satu di antaranya mereka yang mengeritik karya Parlindungan ini adalah Hamka. Dan sebagai layaknya orang hebat, Hamka menyampaikan kritiknya melalui buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (1974).

Seperti yang akan dibicarakan nanti, Hamka bisa mengeritik buku Parlindungan karena zaman telah berubah dan angin telah berganti arah. Perubahan zaman ternyata juga membuat buku Parlindungan tidak begitu ramai dibincangkan sejak tahun-tahun terakhir 1960-an (barangkali demi menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana prinsipnya Orde Baru). Seperti juga yang akan dibicakan nanti, buku Parlindungan ini ramai lagi dibincangkan para Era Reformasi. Sekali lagi, itu bisa terjadi karena zaman juga telah berubah.

Sebelum mengakhiri bahasan pada bagian ini, perlu juga disampaikan, seiring dengan terbitnya buku Parlindungan juga terbit tulisan Urang Awak tentang Perang Padri. Tapi karya itu nyaris tidak ada gaung dan relatif tidak mendapat perhatian pembaca. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya edisi revisi buku Pusaka Indonesia, Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air karya Tamar Djaja (1964). Dalam buku ini disebutkan ada empat tokoh Padri (Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam, dan Tuanku Tambusai). Di samping itu, dalam buku ini juga ditampilkan Sutan Alam Bagagar Syah.

Periode ini juga ditandai dengan cetak ulang buku yang telah diterbitkan sebelumnya. Dua buku yang dicetak ulang tersebut Tuanku Imam Bondjol, Perintis Djalan Ke Kemedekaan (1964) dan Perang Padri (1964).

Periode keempat, adalah sebuah peiode yang paling dinamis dalam historiografi Perang Padri pasca-proklamasi kemerdekaan. Sebab ada tulisan dan penulis yang tampil dengan perspektif baru dan itu betul-betul mewakili  zaman saat buku itu ditulis. Tulisan yang melanggar ‘pakem’ penulisan Perang Padri pada era selepas perang, yang sejatinya masih mengedepankan atau menonjolkan aspek nasionalisme, patriotisme serta semangat persatuan san kesatuan bangsa.

VII

Seperti disebut di atas, periode kelima historiografi Perang Padri ditandai dengan adanya perubahan zaman di Indonesia, dan itu bisa terjadi karena adanya perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagaimana yang terjadi di tempat lain di Indonesia, di Sumatra Bara, peralihan zaman ini juga ditandai dengan adanya proses ‘deordelamaisasi’. Segala yang berbaru Orde Lama dikritik dan dihujat. Temasuk penulisan sejarahnya.  Dalam konteks inilah bisa kita terima, mengapa pada awal tahun 1970-an, Hamka menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” yang isinya mengeritisi karya Parlindungan. Buku ini sesungguhnya adalah kelanjutan dari tulisan-tulisan Hamka yang sebelumnya (1969-1970) telah terbit dalam surat kabar Haluan.

Buku Hamka ini adalah satu-satunya karya yang tampil beda pada kurun waktu kelima historiografi Perang Padri. Karya Hamka adalah satu-satunya karya yang menyajikan narasi dan penceritaan dengan sumber yang baru. Di samping menyanggah tulisan Parlindungan yang dikatakannya 98 % dusta, karya Hamka ini memberikan sebuah informasi yang baru mengenai sejarah Perang Padri khususnya dan sejarah Islam di Sumatra (Indonesia) umumnya, informasi yang didasarkan pada sumber-sumber yang tidak digunakan dalam tulisan penulis Belanda atau Urang Awak sebelumnya.

Karya Hamka ini adalah satu-satunya karya yang menampilkan diskursus intelektual orang Minang dalam penulisan sejarah Perang Padri. Karya-karya lain yang terbit pada periode kelima ini, adalah karya-karya yang dikategorikan sebagai ‘karya-karya biasa’ saja.

‘Karya-karya biasa’ adalah penamaan terhadap karya yang dibuat ‘hanya’ dengan menulis ulang karya-karya yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, relatif tidak ada novelty dari karya-karya tersebut.

Apalagi, karya-karya yang terbit pada saat itu termasuk pula pada kategori buku-‘buku proyek’.  Walaupun ada juga yang tinggi kualitasnya, namun sebagian besar ‘buku proyek’ dinilai mengandung makna hampir sama dengan pengertian ‘karya-karya’ biasa di atas.

Aspek perang kurang mendapat pembahasan khusus pada periode kelima ini. Kalau pun ada, maka pembahasannya berupa bagian dari karya dengan tema yang lain. Sebagai gantinya, buku-buku mengenai Perang Padri yang terbit pada saat itu lebih mengarah pada penceritaan tokoh Padri. Di samping Tuanku Rao, ditulis juga riwayat hidup Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol (Mahdin Said 1969; Sjafnir Abu Naim 1979; Mardjani Martamin 1983). Di samping itu juga ada karya mengenai tokoh non-Padri, namun nama dan peran sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari Perang Padri, yakni Sutan Alam Bagagar Syah (Mardanas Sjafwan 1975).

Penerbitan karya-karya tokoh yang terlibat Perang Padri ini juga ada hubungannya dengan upaya pemberian gelar pahlawan nasional kepada mereka, serta upaya untuk menjadikan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Masa Orde Baru juga ditandai dengan maraknya penulisan sejarah tokoh, yang dikatakan berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka, walaupun pada saat mereka hidup dan berperang konsep Indonesia sebagaimana yang dipahami dewasa ini belum ada. Sebagai imbalan dari perjuangan mereka itu maka mereka diangerahi gelar pahlawan, salah satu diantarany adalah pahlawan nasional. Tuanku Imam Bonjol diangerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 1973 dan Tuanku Tambusai tahun 1995. Sedangkan penulisan buku tentang Sutan Alam bagagar ada hubungannya dengan upaya pelegitimasian pemindahan makam beliau dari Mangga Dua ke Taman Makam Pahlawan.

Jadi aspek keilmuan kurang menonjol dari buku-buku yang ditulis dengan genre ini.

Tidak diragukan pula, bahwa periode kelima ini juga ditandai dengan munculnya karya-karya sejarah Perang Padri yang ditulis dengan standar akademis yang tinggi, karena penulisannya ditujukan untuk meraih gelar akademis tertinggi. Tidak hanya itu, karya-karya dalam bentuk ini bahkan menghadirkan penafsiran baru mengenai latar belakang dan jalannya Perang Padri. Karya Chrisine Dobin adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Dobbin melihat Perang Padri tidak dari persoalan konflik antara kaum pembaharu Islam (kaum Padri) dengan kaum anti pembaharuan (kaum adat), atau tidak hanya melihat Perang Padri dari keinginan para fanatik untuk mengadakan pembaharuan kehidupan beragama semata, tetapi juga digerakkan oleh adanya dorongan ekonomi yang dilatarbelakangi  oleh adanya kebangkitan ekonomi daerah, serta masuknya orang (daerah) Minangkabau pada aktivitas ekonomi tingkat regonal atau global (Dobbin 1983). Pandangan Dobbin itu diperkuat puloa oleh Kato yang mengatakan bahwa “….gerakan Padri tampaknya lebih dari sekedar perselisihan paham mengenai ajaran Islam… atau pertentangan di antara adat dan agama. ….gerakan Padri juga merupakan satu usaha untuk mencari jalan lain supaya dapat mempersatukan dan memperkuat Alam Minangkabau (Kato 1982). Jauh sebelum Dobbin dan Kato, Taufik Abdullah (1967; 1971) juga telah melihat Perang Padri dalam perspektif lain, perspektif perubahan sosial (inletelektual) orang Minang. Beda Kato dan Taufik Abdullah dengan Dobbin adalah bahwa Kato dan Taufik Abdullah menjadikan pembahasan mengenai Perang Padri hanya sebagai bagian dari karya mereka dengan topik dan tema yang lain, sedangkan Dobbin lebih fokus pada Perang (Gerakan) Padrinya.

Di samping tiga tulisan di atas, ada beberapa tesis dan skripsi yan juga membicarakan Perang Padri, namun karena dibuat setelah tiga karya monumental itu terbit maka apa yang ditampilkan dalam tesis atau skrispi itu bisa dikatakan ‘pengikut’ dari karya Taufik Abdullah, Dobbin dan Kato.

Satu lagi hal yang menarik mengenai sejarah Perang Padri pada periode kelima ini adalah dijadikan kisah perang ini sebagai bahan ajar dalam buku-buku teks sejarah yang digunakan berbagai jenjang pendidikan. Dan ketika pemerintah menulis serta menerbitkan buku Sejarah Nasional Indonesia (1975), Perang Padri juga mendapat tempat yang cukup banyak dalam buku babun sejarah Indonesia itu.

Peran dan campur tangan pemerintah cukup menonjol dalam penulisan sejarah Perang Padri pada kurun waktu itu.

VIII

Periode keenam dalam historiografi Perang Padri bersamaan juga dengan terjadinya perubahan politik di Indonesia, yakni berakhirnya  era Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi. Dalam sejarah penulisan sejarah Indonesia, Era Reformasi juga ditandai dengan keinginan untuk ‘meluruskan’ atau menulis ulang sejarah nasional. Keinginan itu diwujudkan dengan terbitnya buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), sebuah buku yang merupakan karya bersama puluhan sejarawan Indonesia.

Era Reformasi juga ditandai dengan terbitnya buku atau karya sejarah yang menampilkan tindak kekerasan yang pernah terjadi di masa lampau. Hal ini, misalnya , ditandai dengan terbitnya buku-buku mengenai aksi kekerasan yang dialami pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kecenderungan menulis kekerasan yang dialami oleh suatu kelompok masyarakat di masa lampau akhirnya juga merambah masuk ke penulisan sejarah Perang Padri. Sehubungan dengan itu, buku Tuanku Rao karya Parlindungan yang sarat dengan narasi kekerasan dicetak ulang. Buku ini mendapat sambutan luar biasa dari pembaca dan laris manis.

Dicetak ulang pada era semua orang boleh menyampaikan apa yang ingin disampaikannya (era kebebasan yang kebablasan), maka segera setelah terbitnya buku ini muncul gugatan terhadap kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Berdasarkan sajian buku Tuanku Rao, Muhdi Situmorang, seorang Batak, yang merasa keturunan dari korban kekerasan kaum Padri membuat petisi agar gelar pahlawan Tuanku Imam Bonjol dicabut. Muhdi berpendapat, Tuanku Imam Bonjol tidak layak menyandang gelar itu. Karena dia adalah tokoh penyebar teror di negerinya pada di masa lalu.

Terbitnya buku Tuanku Rao dan keluarnya petisi Muhdi kemudian dilanjutkan oleh majalah Tempo dengan menyajikan tulisan yang berjudul “Kontroversi Kebrutaralan Kaum Padri” sebagai supplemennya (Tempo, 21 Oktober 2007).  

Kekerasan dan kebrutalan Padri menjadi aspek yang menonjol dalam penulisan Sejarah Perang Padri pada awal Era Reformasi. Perspektif yang sama tetap berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, bahkan sampai beberapa waktu belakangan. Beberapa tulisan dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dipraktikan kaum Padri.Namun berbeda dengan karya Parlindungan dan Tempo, tulisan-tulisan yang dimuat dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dilakukan kaum adat dan Belanda.

Di samping menampilkan aksi kekerasan, penulisan sejarah Perang Padri pada Era Reformasi ini juga mencoba melihat Perang Padri ‘apa adanya’. Cetak ulang buku Tuanku Rao misalnya direspon dengan penerbitan buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidi Harahap (2007) dengan mengajukan sejumlah kritik dan koreksian terhadap karya Parlindungan, serta penulisan sejarah Islam di Tanah Batak (Tapanuli) ‘as actuality was’. Mardjohan (2009) menerbitkan buku Gerakan Padri, Pahlawan dan Dendam Sejarah yang berisikan sejumlah tulisan tentang Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) juga menyajikan narasi Perang Padri dan keterlibatan Tuanku Imam Bonjol ‘sebagaimana adanya’.

Tidak diragukan lagi, hadirnya nuansa kekerasan dalam historiografi Perang Padri pada Era Reformasi tidak bisa dipisahkan dari maraknya aksi kekerasan di Indonesia pada permulaan era ini. Saat itu, terjadi aksi kekerasan di banyak tempat diIndonesia. Ada aksi kekerasan di Ambon, Sambas, Palu, Lampung, Aceh, dan di lain-lain tempat di persada tercinta ini. Tidak itu saja, di tingkat global, kata kekerasan dan teror didengar setiap saat di media elektronik (televisi dan radio) atau dibaca setiap waktu dalam media cetak. Dan orang Islam, apalagi  ‘kelompok radikal’ dianggap sebagai bagian atau aktor utama dari aksi kekerasan itu. Apalagi saat itu ada aksi pemboman WTC dan juga Bom Bali serta ‘kebangkitan’ Taliban. Maka sangat masuk akal jika penulisan sejarah mengenai Perang Padri juga menampilkan Tijdgeest (jiwa zaman) yang sarat dengan aksi kekerasan ini. Apalagi narasi yang ditampilkan oleh Parlindungan dan juga kesaksian Fakih Sanghir dan pengakuan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya cocok pula dengan semangat zaman ini.

IX

Historiografi adalah sebuah kajian sejarah penulisan sejarah. Dalam kajian ini yang dibincangkan adalah apa yang ditulis, siap penulisnya (latar belakang ilmu, ideologi, ’status’ kepenulisan penulis), kapan ditulis (bagaimana jiwa zaman saat ditulis), untuk apa karya itu ditulis, dlsbnya. Kajian historiografi tidak mempersoalkan sahih atau tidaknya sumber yang dipergunakan.

Tujuan utama kajian historiografi adalah untuk memahami bahwa sebuah iven sejarah bisa saja ditulis berulang kali dengan berbagai perspektif, sehingga dengan memahami adanya berbagai perpekstif  tersebut kita akan bisa menerima adanya perbedaan dalam penulisan sejarah. Kajian historiografi akan menyadarkan kita bahwa sebuah karya sejarah sangat dipengaruhi oleh siapa penulisnya, jiwa zaman sat karya itu ditulis, dan untuk apa karya itu ditulis dan diterbitkan.

Dengan pemahaman itu, diharapkan kita lebih dewasa dan bijaksana menerima adanya pernbedaan dalam sebuah penulisan sejarah.

Perang Padri adalah contoh yang paling menarik. Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang (200 tahun), telah lahir sejumlah perspektif  tentang perang itu. Ada karya yang melihat kaum Padri sebagai pemberontak, perusak ketentraman dan kedamaian,  namun ada tulisan yang melihat kaum Padri sebagai pejuang yang berperang menghadapi Belanda untuk mencapai kedamaian, mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia. Ada tulisan yang mengatakan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemberontak atau teroris, namun ada pula yang mengatakannya sebagai pejuang kemerdekaan dan penyatu antarberbagai kelompok masyarakat (etnik).

Adanya perspektif, sudut pandang dan pemahaman yang tidak sama sekaligus menyadarkan kita bahwa Perang Padri ditulis oleh penulis dalam berbagai kurun waktu dengan berbagai jiwa zaman yang berbeda. Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, karena sudut pandang dan pemahaman sejarah sesungguhnya adalah refleksi zaman. Setiap zaman akan menghadirkan penulisan sejarah (terhadap objek yang sama) sesuai dengan perspektif zaman dia ditulis. Kenyataan ini akan menyakinkan kita akan diktum yang disampaikan sejarawan Italia, Benedigto Grooce yang berbunyi, ogni vera storia, e storia comtemporanea (sejarah yang benar, adalah sejarah masa kini). Karena itu, tidak perlulah kita risau atau sampai uring-uringan bila ada sebuah karya tulis yang tampil dengan perspektif dan sudut pandang yang berbeda dari perspektif dan sudut pandang kita. Tidak perlu pula kita risau dan uring-uringan bila ada suara yang menggugat sebuah tulisan sejarah. Terimalah itu sebagai ‘sunatullah’.  Sebab perbedaan itu adalah hakikatnya sejarah dan penulisan sejarah.

Daftar Kepustakaan:

Basyral Hamidi Harahap, Greget Tuanku Rao. Depok: Komunitas Bambu, 2007.

B..d., ‘De Padries op Sumatra’, Indische Magazijn, 1845: 2.

B. Dt. Nagari Basa¸ Tambo Minangkabau. Pajakumbuh: Elionora, 1964.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Buys, M., Twee Jaren op Sumatra’s Westkust. Amsterdam: A. Akkeringa, 1886.

Dali Mutiara, Sedjarah Minangkabau. Djokja: Moetiara, 1946.

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951           .

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.  London: Curzon Press, 1983.

 — , ‘Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830’ dalam Indonesia, 1977: 23.

 — , ‘Tuanku Imam Bondjol (1772-1864) dalam  Indonesia, 1972: 13.

Francis, E., Herinneringen uit den Levensloop van een’ Indisch’ Ambtenaar van 1815 tot 1851. Medegedeeld in Brieven (I, II, III). Batavia, 1856-59.

H., v.d., ‘Oorsprong der Padaries’ dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1838: I.

Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Hollander, J.J. de (ed.), Sjech Djilal Eddin: Verhaal van den Aanvang der Padri-Onlusten op Sumatra. Leiden: E.J. Brill, 1857.

Hooyer, G.B., De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsch-Indie van 1811 tot 1894 (3 Deelen). The Hague/Batavia: De Bebr. van Cleef/G. Kolff & Co. , 1895.  

Joustra, M., Minangkabau: Overzicht van het Land, Geschie­denis en Volk. Leiden: Drukkerij Louis H. Becherer, 1923.

Kato, Tsuyoshi, Matriliny and migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 1982.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , ‘Het Ontstaan van den Padrie-Oorlog’ dalam Indisch Militair Tijdschrift, 1887: II.

Klooster, H.A.J., Indonesiers Schrijven Hun Gechiedenis: De Ontwikkeling van de Indoneisiche Geschiedbeofening in Theori en Praktijk 1900-1980. Dordrecht/ Cinaminson: Foris Publication, 1985.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Parlindungan, M.O., Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. TerrorAgama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak. 1816-1833. Djakarta: Tandjung Pengaharapan, 1964.

Mahdin Said, Rokan. Tuanku Tambusai Berdjuang. Padang: Sri Dharma, 1969.

Mardanas Safwan, Sultan Alam Bagagar Syah (1789-1849). Jakarta: Panitia1975.

Mardjani Martamin, Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983.

Mardjohan (ed.), Gerakan Paderi, Pahlawan dan Dendam Sejarah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009,

M.D. Mansoer et al. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara. 1970

Muhammad Radjab, Perang Padr di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Propinsi Sumatera Tengah. Djakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953.

Raffles, Sophia, Memoirs of the Life and Public Servives of Sir Stamford Raffles. Londion: John Murray, 1830.

Ronkel, Ph.S. van, ‘Inlandsche getuigenissen aangaande den Padri-Oorlog’, Indische Gids, 1915, XXXVII.

Schrieke, B. J.O., ‘Bijdrage tot de Bibliografie van de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust’, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1920: 59.

Stein Parve, H.A., ‘De Secte der Padaries (Padries) in de Bovenlanden van Sumatra’ dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1855: 3.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stapel, F.W. (d.), Geschiedenis van Nederlandsch Indie (5 Deelen). Amsterdam: Jost van der Vodelt, 1838-40.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia (Riwajat Hidup Orang Besar Tanah Air. Djakarta: Bulan Bintang, 1964.

Taufik Abdullah et.all. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemendikbud, 2012.

Taufik Abdullah, ‘Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies in Social Development’, M.A. Thesis, Cornell University, 1967            .

 — , , School and politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Ithaca, New York: Cornell University, 1971            .

Tempo, 21 Oktober 2007.

Veth, P.J., Schets van het Eiland van Sumatra. Amsterdam: P.N. van Kampen, 1867.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti tersendiri bagi keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Sayangnya, penulisan sejarah selama ini cenderung mengerdilkan arti perang itu bagi mereka, sehingga yang banyak dikemukakan hanyalah mengenai penangkapan (serta pembuangan) Sutan Alam Bagagar Syah dan pembunuhan keluarga kerajaan oleh kaum Padri. Dengan kata lain, penulisan sejarah selama ini kurang menampilkan adanya sejumlah sosok lain dari keluarga kerajaan serta pengalaman sejarah yang mereka alami. Di samping itu penulisan sejarah selama ini juga kurang menampilkan hubungan (harmoni dan konflik) antara keluarga kerajaan dengan pelaku lain dari Perang Padri, seperti Belanda, kaum Padri, kelompok adat, dlsbnya.

Tulisan ini mencoba merekonstruksi keberadaan dan pengalaman sejarah keluarga kerajaan Pagaruyung secara lebih menyeluruh, serta menyajikan kerjasama dan konkurensi antara mereka dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri.  

Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab pada kesempatan ini. Beberapa di antaranya adalah: Bagaimana proses keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung dalam Perang Padri? Siapa-siapa saja anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung yang tampil di panggung sejarah saat itu? Apa saja peran sejarah yang mereka lakoni? Bagaimana pula keharmonisan yang tercipta dan konflik yang terjadi antara keluarga kerajaan dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri? Sejauh mana keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung serta respon pemerintah Belanda dan pelaku Perang Padri yang lain terhadap keberadaan Kerajaan Pagaruyung?

II

Keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dalam Perang Padri dapat dibagi kedalam dua pokok pembahasan. Pertama, keterlibatan pada masa sebelum perang; dan kedua, keterlibatan pada kurun waktu perang berlangsung.

Keterlibatan pada masa sebelum perang bisa pula dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, keterlibatan karena ‘dipaksa terlibat’ oleh kaum Padri; dan kedua, keterlibatan sebagai reaksi atau respon atas pemaksaan yang dilakukan kaum Padri.

Keterlibatan dalam pengertian pertama, berawal dari pembunuhan yang dilakukan Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman dan kawan-kawannya terhadap sejumlah anggota  keluarga kerajaan. Tuanku Lintau dan kawan-kawannya, sebagai bagian dari kaum Padri, telah menyeret keluarga kerajaan ke dalam pusaran revolusi sosial dan keagamaan yang mereka kobarkan sejak tahun-tahun permulaan abad ke-19. Mereka melibatkan keluarga kerajaan ke dalam revolusi yang mereka sulut karena hingga saat pembunuhan dilakukan, keluarga kerajaan menempatkan diri mereka pada posisi netral, tidak berpihak kepada Padri dan tidak pula kepada kelompok non-Padri.

Kaum Padri tidak bisa menerima sikap netral itu. Di tengah revolusi yang mereka cetuskan, sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap ajaran yang mereka anut hanya ada dua, setuju atau tidak setuju. Pihak yang setuju akan dirangkul dan dijadikan kawan dan pihak yang tidak setuju akan dianggap sebagai musuh. Dilandasi oleh ideologi kekerasan yang mereka amalkan, maka pihak yang tidak setuju boleh diserang atau dibunuh. Deskripsi sejarah yang dibuat oleh pihak Padri, seperti Tuanku Imam Bonjol atau saksi sezaman dari kalangan modernis, seperti Fakih Sanghir membuktikan pernyataan ini. Dari karya kedua tokoh ini diketahui bahwa kekerasan dan pembunuhan mewarnai sejarah dakwah kaum Padri. Atas dasar itulah sejumlah anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dibunuh oleh Padri. Aksi pembunuhan itu terjadi dalam pertemuan Kototangah, sebuah pertemuan yang diinisiasi oleh Tuanku Lintau. Menurut Stuers dan Kielstra, ada tiga anggota kerajaan yang tewas, yaitu Yang Dipertuan Radja Nari, Yang Dipertuan Raja Tallan dan anak lelaki Raja Muning (tidak disebut namanya). Anggota keluarga kerajaan yang selamat melarikan diri ke daerah rantau, baik Rantau Pesisir di sebelah barat atau Rantau Hilir di sebelah timur Tanah Datar. Stuers menyebut Muning syah, Raja Minangkabau saat itu menyelematkan diri ke Jambi (Kuantan).

Lukisan Seorang Padri {Tuanku Lintau (?), Aktor Intelektual dan Eksukutor Peristiwa Kototangah}
Sumber: Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1839, 2,1

Peristiwa Kototangah adalah klimaks serangan Padri terhadap keluarga kerajaan. Seperti yang akan disebut di bawah nanti, merujuk informasi yang disampaikan Raffles, kaum Padri sesungguhnya menyerang keluarga kerajaan berkali-kali.

Ada berbagai informasi tentang tahun terjadinya peristiwa Kototangah. Sejumlah penulis menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1806, 1812, 1806, dlsbnya. Beragam informasi ini disebabkan oleh tidak adanya tradisi mencatat (menulis) dikalangan Urang Awak. Namun bila melihat apa yang dikatakan oleh Raffles yang sempat bertemu dengan keluarga kerajaan yang selamat, termasuk Tuan Gadis, serta sempat mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, maka bisa dikatakan bahwa pendapat yang menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1816 nampaknya sukar diterima. Mestinya peristiwa itu terjadi sebelum tahun tersebut.

Raffles menyebut saat dia berkunjung ke Pagaruyung, nyaris tidak ditemukan lagi bekas permukiman dan bekas istana di sana. Permukiman itu nampaknya telah lama ditinggalkan. Lokasi di mana istana berdiri telah dikuasai oleh petani. Di bekas tapak istana yang tanahnya subur  telah ditanami mentimun, dan tanah-tanah di sekitarnya telah ditanami dengan tebu.

Membaca keterangan Raffles, sekali lagi, bisa dikatakan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffles.

Penegasan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffes juga bisa kita ambil dari keterangan pejabat Inggris yang saat itu berkuasa di Padang. Tahun 1816 telah ada keluarga Kerajaan Pagaruyung di kota tersebut dan mereka telah meminta bantuan  Inggris untuk menyerang Padri.

Seperti disebut di atas, Raffles sempat bersua dengan Tuan Gadis di Suruaso. Raffles menaruh hormat kepada Tuan Gadis yang disebut dan diakuinya sebagai ganti Raja Minangkabau (karena raja yang sesungguhnya tidak bisa menjalankan fungsi dan perannya). Sebagai bagian dari rasa hormatnya, Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang dan memintanya tinggal di sana. Sesuai dengan namanya, Benteng Simawang adalah sebuah benteng yang dibangun Inggris di Nagari Simawang, di pinggir timur Danau Singkarak. Pembangunan benteng itu sebagai pembuktian oleh Inggris bahwa dia juga memiliki kedaulatan di daerah pedalaman. Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang  dengan tujuan memberi perlindungan kepadanya dari kemungkinan gangguan kaum Padri. Di samping itu, tafsiran lain menyebut bahwa perlindungan yang diberikan Raffles tersebut sebagai respon dari usulan yang diajukan oleh Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, dua anggota Kerajaan Suruaso, yang mendampingi Raffles dalam perjalanannya dari Padang ke pedalaman.

Dalam perjalanan ke pedalamanan, Raffles didampingi oleh lima orang Eropa (termasuk istrinya), 50 tentara dari kesatuan Benggala, sejumlah saudagar terkemuka di kota Padang, ratusan kuli angkat, dan dua keluarga Kerajaan Suruaso (Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam) yang telah mengungsi ke kota Padang.

Merujuk laporan Stuers, Kielstra menyebut bahwa Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam adalah wakil Kerajaan Minangkabau di Padang yang diakui oleh Inggris. Oleh pemerintah Inggris mereka berdua diberi ‘tunjangan hidup’ sebesar f.100,- (Raja Tangsir Alam) dan f.20,- (Sutan Kerajan Alam) per bulan. Hubungan mereka sangat akrab dengan Inggris. Itu pulalah sebabnya, ketika terdengar kabar bahwa Padang akan dikembalikan kepada Belanda, kedua anggota kerajaan tersebut hijrah ke Bengkulu yang saat itu masih dikuasai Inggris.

Namun, pada saat Belanda mengambil alih kekuasaan Inggris di Sumatra Barat, kedua anggota kerajaan itu kembali ke Padang. Mereka juga mengucapkan selamat kepada Belanda yang telah berkuasa kembali. Tidak itu saja, sesampai di Padang mereka menyatakan kesetiaan kepada Belanda dan meminta bantuan kepada Belanda untuk menyerang Padri.

Sikap oportunis mereka ini khususnya dan keluarga kerajaan pada umumnya telah lama dicatat oleh Inggris. Sebagaimana ditulis Marsden, tahun 1781, saat Inggris baru saja mendepak Belanda dari Pantai Barat, datang serombongan utusan Raja Minangkabau ke Padang dan mereka mengucapkan selamat kepada Inggris yang telah berhasil mengusir Belanda. Namun, seorang pejabat Inggris di Padang mengomentari ucapan selamat keluarga Kerajaan Minangkabau itu dengan mengatakan bahwa ucapan yang sama akan disampaikan kepada siapa pun yang berpeluang menggantikan kami (Upon the capture of Padang by the English in 1871, deputations arrived from two of these chiefs with congratulations upon the success of our arms; which will be repeated with equal sincerity to those who may chance to succeed us).

Setelah berkorespondensi dengan Batavia, pemerintahan Keresidenan Padang menerima kedatangan dan ketundukan Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Du Puy, Residen Padang berencana akan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Belanda di daerah ini. Untuk itu mereka juga diberi tunjangan hidup. Namun karena dulu mereka pernah setia kepada Inggris, musuh Belanda, maka tunjangan yang diberikan hanya separo dari yang mereka terima sebelumnya, yakni f.50, – dan f.10,- per bulan.

Dalam rangka merespon permintaan bantuan yang diajukan anggota keluarga kerajaan itu, pemerintah di Padang membentuk satu tim penyelidik keinginan masyarakat mengenai keterlibatan Belanda dalam memerangi Padri. Anggota inti tim ini adalah Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Mereka didampingi oleh 12 orang anggota (menurut Stuers ke-12 anggota itu terdiri dari 12 Inlandsche Soldaten (tentara bumiputra, kemungkinan orang Bugis), sedangkan Lange mengatakan bahwa ke-12 anggota lainnya itu hanyalah penduduk biasa saja).

Hasil penyelidikan tim, sebagaimana dilaporkan kedua ‘toeankoe’ adalah warga pedalaman betul-betul menginginkan campur tangan atau keterlibatan Belanda memerangi kaum Padri.

Bekerja sama dengan atau meminta bantuan kepada Inggris dan Belanda adalah respon atau reaksi keluarga kerajaan terhadap pemaksaan (pembunuhan) yang dilakukan oleh kaum Padri. Permintaan bantuan untuk menyerang Padri kepada Inggris dan Belanda bentuk konkrit respon atau reaksi keluarga kerajaan atas pembunuhan yang dilakukan kaum Padri terhadap kerabatnya. Mereka ingin menuntut balas atas kekejaman kaum Padri terhadap anggota keluarga mereka. Di samping untuk membalas perlakukan Padri, seperti yang akan dibicarakan nanti, permintaan bantuan tersebut juga ditujukan untuk memulihkan keberadaan kerajaan dan mengembalikan raja ke posisinya semula.

Puncak dari move keluarga kerajaan pada periode sebelum perang dan sekaligus menjadi awal perang adalah dibuatnya Perjanjian 10 Februari 1821. Perjanjian itu adalah ‘tiket’ bagi Belanda untuk menguasai Minangkabau dan terlibat secara langsung dalam perang melawan Padri. Perjanjian itu sekaligus pernyataan dukungan, pernyataan takluk dari keluarga Kerajaan Pagaruyung dan Suruaso, serta sejumlah penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya kepada Belanda.

Keterlibatan keluarga kerajaan dalam perjanjian itu sangat nyata. Tiga penandatangan pertama perjanjian adalah keluarga kerajaan, yaitu Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suuaso, dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso. Penandatangan berikutnya adalah 12 penghulu, yang mengatasnamakan lebih dari 100 penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya.

Perjanjian tersebut terdiri dari enam pasal dan lima pasal pertamanya berisikan:

Pasal 1, Kepala-kepala (anggota keluarga kerajaan dan para penghulu) tersebut di atas dengan ini menyerahkan  secara resmi dan mutlak, negeri  Pagaru­yung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-dae­rah di sekeliling Kerajaan Mi­nang­­ka­bau kepa­da pemerin­tah Hindia Belanda

Pasar 2, Kepala-kepala tersebut berjanji dengan sung­guh-sungguh – atas nama mereka dan rakyat maupun ketu­run­­an mereka – untuk patuh dan taat kepada pemerin­tah Hindia Belanda dan sekali-kali tidak akan menen­tang perintah apa pun dari Belanda.

Pasal 3, Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah dise­rah­­kan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari Kaum Paderi, untuk menghancurkan Kaum Paderi dan men­­ciptakan perdamaian di Minang­kabau, peme­rintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam.

Pasal 4, Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli da­lam jum­lah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara de­ngan sebaik-baiknya.

Pasal 5, Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu de­ngan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pa­sal dalam per­janjian.

Pasal keenam berisikan pernyataan tentang perjanjian, tentang perjanjian yang dibuat dengan sumpah yang khidmat, menjunjung Al-Qur’an, disaksikan oleh sejumlah petinggi di Padang. Di samping itu ada keterangan waktu pembuatan perjanjian, serta dibuatnya perjanjian dalam tiga rangkap (1 rangkap dikirim kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, satu rangkap dipegang Residen di Padang, dan satu rangkap dikirim pada Tuan Gadis di Suruaso).

Perjanjian 10 Februari 1821 inilah yang menjadi dasar keterlibatan Belanda dalam perang melawan kaum Padri awalnya dan kemudian perang menghadapi orang Sumatra Barat untuk menguasai daerah ini. Di sisi lain, perjanjian ini adalah titik puncak dari respon keluarga kerajaan terhadap aksi kaum Padri yang membunuh kerabat mereka, membuat mereka terpencar ke mana-mana, dan menghabisi Kerajaan Minangkabau. Perang Padri yang terjadi segera setelah Perjanjian 10 Februari 1821 menghadirkan pengalaman sejarah yang tersendiri pula bagi keluarga kerajaan.

III

Ada lima keluarga Kerajaan (Pagaruyung dan Suruaso) yang banyak mengisi lembaran sejarah Perang Padri. Di samping Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, tiga nama lainnya adalah Raja Muning, Tuan Gadis, dan Sutan Alam Bagagar Syah. Ada peran dan pengalaman sejarah yang berbeda dan menarik dari masing-masing anggota keluarga kerajaan itu.

Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, sebagai sosok yang tinggal di Padang dan aktif membantu Belanda sejak awal, serta dipandang ‘menguasai medan/lapangan’ adalah anggota keluarga kerajaan yang dilibatkan secara langsung dalam kampanye militer yang dilakukan oleh Belanda. Mereka dilibatkan, terutama sekali, pada masa-masa awal kampane militer ke daerah pedalaman. Mereka diminta mendampingi aksi militer yang dipimpin Raaf. Para pejabat di Padang umumnya dan Raaff khususnya meyakini keterlibatan mereka akan banyak membantu aksi militer menghadapi Padri. Mereka diyakini memiliki hubungan yang baik dengan kaum adat atau para penghulu, sehingga akan memudahkan untuk memobilisasi dukungan rakyat.

Namun, walaupun telah membantu Belanda dengan ikut menandatangan Perjanjian 10 Februari 1821, serta ikut mendampingi Raaff menyerang Padri, pada bulan April 1822 Raaff menangkap mereka berdua dan mengirim mereka ke Padang. Kielstra menyebut mereka ditangkap karena dituduh membunuh seorang penghulu di Belimbing. Mereka marah karena sang penghulu serta warga nagarinya tidak bersimpuh atau menyembah kepada mereka. Aksi “main hakim sendiri’ yang mereka lakukan tidak bisa diterima Raaff, aksi mereka tersebut dinilai Raaff dapat menggagalkan pendekatan “winning the heart” yang juga diterapkan komandan tempur tersebut. Apalagi saat pembunuhan dilakukan telah ada beberapa tokoh Padri yang menyerah dengan suka rela.

Sikap tegas Raaff di atas didasarkan pada tidak adanya hubungan pribadi antara dia dengan kedua keluarga kerajaan tersebut. Raaff juga dipandang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang peran sosial-budaya kedua keluarga kerajaan tersebut, serta tidak mengetahui hubungan antara kedua keluarga kerajaan itu dengan pemerintah Belanda di masa lampau.

Apapun tafsiran yang dikemukakan, yang jelas baru saja kedua anggota keluarga kerajaan itu terlibat secara langsung dalam Perang Padri, mereka telah menjadi korban perang yang mereka kobarkan.

Keluarga kerajaan selanjutnya yang tampil ke panggung Perang Padri dan berurusan dengan Raff, serta kemudian juga menjadi korban kebijakan Raff adalah Muning Syah, Raja Pagaruyung (Minangkabau) yang melarikan diri ke Kuantan.

Raja Muning, yang nama dan gelar lengkapnya adalah Daulat Yang Dipertuan Raja Muning, Raja Alam Yang Kerajaan Di Dalam Alam Minangkabau, mengirim surat kepada Raaff pada bulan September 1822. Isi suratnya antara lain minta diizinkan pulang ke Pagaruyung dan kemudian minta diizinkan (direstui) kembali menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Sekali lagi, sebagai ‘orang baru’ di daerah, Raaff tidak serta-merta menyetujui permintaan Raja Muning. Dia membentuk tim (komisi) penyelidik kebenaran status dan kedudukan Muning Syah. Salah satu tugas tim atau komisi tersebut adalah meneliti kebenaran status dan kedudukan Muning Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Setelah bekerja dan menunaikan tugasnya, tim atau komisi tersebut mengumumkan bahwa ‘tidak diragukan lagi, Raja Muning adalah raja terakhir Kerajaan Minangkabau’. Berdasarkan temuan tersebut Raaff mengizinkan Raja Muning kembali pulang ke Pagaruyung. Namun, permintaannya agar dia diangkat menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau) tidak disetujui. Alasannya adalah usianya telah lanjut. Walaupun demikian dia diberi uang pensiun. Tiga tahun setelah usulannya menjadi raja ditolak, tanggal 1 Agustus 1825 Raja Muning meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Raaff kemudian mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Minangkabau.

Pemerintahan Keresidenan Padang menyetujui keputusan Raaff menolak permohonan Raja Muning untuk menjadi Raja Minangkabau. Pemerintahan Keresidenan Padang juga menyetujui keputusan Raaff untuk mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau). Raaff (yang disetujui oleh Gubernur Jendral) juga mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah menjadi Hoofdregent van Minangkabau dengan gelar Raja Alam Minangkabau (karena telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Di samping Hoofdregent dia juga sekaligus diamanahi jabatan sebagai Regent Tanahdatar. Sebagai Raja Minangkabau dia diberi gaji f.200,- per bulan, dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan.

Menurut Raaff pengangkatan Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau), Hoofdregent van Minangkabau serta Regent Tanah Datar adalah sebagai bagian dari imbalan yang diberikan kepadanya atas jasa-jasanya yang memungkinkan Belanda bisa masuk ke pedalaman. Alasan ini pulalah yan menjadi dasar penolakan usulan Raja Muning agar dia diangkat kembali menjadi Raja Pagaruyung. Raja Muning dianggap tidak memiliki kontribusi  bagi ekspansi politik Belanda.

Kepemimpinan Raaff sebagai komandan tentara dan residen digantikan oleh Baud dan kemudian Stuers (1825). Berbeda dengan masa Raaff yang sarat dengan aksi militer menggempur Padri, maka era pemerintahan Stuers adalah kurun waktu ‘tenang’ dari konfrontasi fisik dengan Padri. Hal ini disebabkan oleh ditariknya sebagian besar tentara Belanda ke Pulau Jawa guna menghadapi Pangeran Diponegoro. Tidak hanya membuat banyak ‘perjanjian damai’ dengan kaum Padri, Stuers juga memperkenalkan kebijakan politik khusus pada keluarga Kerajaan Pagaruyung. Stuers membebaskan duo Tuanku Suruaso dari hukuman yang dijatuhkan Raaff. Tidak sekedar dibebaskan, mereka berdua dan juga Tuan Gadis diberi uang pensiun sebesar f.20,- per bulan. Sutan Kerajaan Alam, bila ada kesempatan, diizinkan untuk terlibat dalam kegiatan politik, sedangkan kakaknya, Raja Tangsir Alam, karena pernah menyalahgunakan wewenang di masa lalu, tidak diizinkan kembali terjun ke dunia politik.

Sutan Alam Bagagar Syah juga kena kebijakan politik Stuers. Stuers menghapus gelar Hoofdregent van Minangkabau dan menurunkan status Bagagar Syah hanya menjadi regent. Penurunan satus ini menjadikan Bagagar Syah menempati posisi yang sama dengan sejumlah orang Minangkabau lainnya yang menjadi regent saat itu di Sumatra Barat.

Stuers mengatakan bahwa penghapusan jabatan Hoofdregent dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ‘unit administratif’ setingkat Hoofdafdeeling vanMinangkabau yang menjadi wilayah kekuasannya tidak pernah terwujud. Jadi adanya jabatan itu dianggap tidak efektif (mubazir).

Tidak hanya menghapus gelar Hoofdregent, Stuers juga mengakhiri pengakuan Raja Minangkabau kepada Bagagar Syah, dan mengakhiri keberadaan Kerajaan Minangkabau (Het rijk van Minangkabau dus niet meer bestande).

Sutan Alam Bagagar Syah menerima semua kebijakan yang dilakukan Stuers. Bagagar Syah nampaknya tidak merasa kehilangan dengan ditiadakannya dua gelar yang sebelumnya pernah disandangnya, serta dia juga tidak merasa kehilangan ketika Kerajaan Minangkabau dihapuskan keberadaannya.

Berbagai gelar yang disandangnya dan keberadaan Kerajaan Minangkabau nyaris tidak ada artinya bagi diri Bagagar Syah. Sebagai ‘pejabat tinggi’ pemerintahan dan sebagai raja, Bagagar Syah nyaris tidak mendapat banyak keistimewaan. Walaupun pernah disebut, bahwa sebagai Raja Minangkabau, Bagagar Syah menerima gaji f.200,- per bulan dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan, namun sebagaimana dilaporkan Nahuijs, Bagagar Syah hanya berpenghasilan f. 100,- per bulan. Ini bukanlah penghasilan yang ‘sangat besar’, sehingga dia tidak bisa hidup mewah.

Kemewahan memang jauh dari Bagagar Syah. Hal ini terlihat dari penampilan sehari-harinya yang relatif tidak berbeda dari penduduk biasa. Tempat tinggalnya, walaupun disebut sebagai istana, namun jauh berbeda dari gambaran orang tentang istana raja. Nahuijs menambahkan, apa yang disebut istana Raja Pagaruyung bagaikan gudang kayu yang sangat sederhana dibandingkan dengan rumah-rumah lain (Het zoogenaamde vorstelijk paleis van Pagaruyung is eene zeer onaanzienlijke houten schuur, in vergeleijking van andere huizen).

Tidak hanya memiliki kekurangan secara ekonomi dan kemewahan hidup, sebagai Raja, Hoofdregent dan Regent, Bagagar Syah juga kurang mendapat penghormatan dari penduduk. Nahuijs menyebut bahwa warga masyarakat, bahkan dari kalangan rendah sekalipun, biasa saja lalu lalang di dekatnya tanpa memperlihatkan sikap homat. Nahuijs juga mengatakan bahwa dia menyaksikan bahwa banyak rakyat yang tidak mengenal Bagagar Syah sebagai raja.

Kalaupun ingin dicari juga perbedaan antara Sang Raja, Hoofdregent dan Regent dengan penduduk biasa atau saudagar kaya, maka perbedaan itu terlihat dari adanya seorang pengiring yang membawa payung bewarna coklat serta sejumlah perangkat lain untuk keperluan Bagagar Syah. Payung berwarna cokllat (kuning)inilah sesungguhnya yang paling membedakannya dengan warga lain, karena dalam kenyataan ada juga orang Minang yang kaya yang juga didampingi (diiringi) oleh pengiring saat dia bepergian atau membawa barang-barang keperluannya.

Dengan kondisi seperti ini, bisa dipahami mengapa Bagagar Syah relatif tidak bereaksi ketika Stuers menghapuskan gelar Hoofdregent dan Raja, serta meniadakan Kerajaan Minangkabau. Di samping itu, diamnya Bagagar Syah, seperti yang disebut oleh Stuers, juga disebabkan oleh “begitu tergantungnya dia kepada kita, kitalah yang membuat dia besar dan berkuasa”.

Bila Bagagar Syah diam terhadap kebijakan Stuers, maka dia akan bereaksi keras kepada orang biasa yang dirasanya mengancam jabatannya. Hal ini terlihat dari pernyataan Stuers yang mengatakan bahwa dia terlibat dalam pembunuhan Said Salimul Jafrid. Stuers mengatakan bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuhan juru runding Arab yang juga digelari Raja Perdamaian itu, karena Said Salimul Jafrid berpotensi menggantinya sebagai Regent Tanah Datar. Said Salimul Jafrid dekat dengan Stuers dan juga mendapat dukungan dari kaum Padri ntuk menjadi Regen Tanah Datar (pendapat lain menyebut bahwa pembunuhan Said Salimul Jafrid itu didalangi oleh Tuanku Lintau atau kaum penghulu).

Pejabat Belanda lain yang tidak suka dengan Bagagar Syah adalah Elout. Residen yang mulai berkuasa sejak akhri tahun 1832 ini bahkan menuduh Bagagar Syah berkhianat kepada Belanda dan merencanakan makar terhadap pemerintah. Itu pulalah sebabnya, Muhammad Rajab dan Rusli Amran menyebut, bahwa Bagagar Syah bersama Sentot Alibasyah, Tuanku Nan Cerdik, serta sejumlah tokoh lainnya, sebagai orang-orang yang dikhianati Belanda (Elout). Elout menangkap Bagagar Syah dan kemudian mengasingkannya ke Batavia. Namun setelah ditinjau ulang, ternyata tuduhan itu tidak terbukti. Artinya, Bagagar Syah tidak pernah berkhianat kepada Belanda. Karena itu nama baiknya dipulihkan, dan selanjutnya dia diberikan tunjangan hidup yang bisa dinikmatimya sampai akhir hayatnya di Batavia.

IV

Tidak hanya Raaf, Stuers dan Elout yang memperlihatkan sikap kritis atau tidak suka kepada keluarga Kerajaan Pagaruyung, kaum adat dan Padri juga memiliki sikap yang sama. Sebagaimana disebut Kielstra, segera setelah Raaff menyetujui pengangkatan Bagagar Syah sebagai Hoofdregent dan Regent, kaum adat menyatakan ketidaksukaan mereka. Mereka merasa bahwa gelar Regent seharusnya diberikan kepada penghulu (bukan kepada keluarga kerajaan yang telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Pengangkatan Bagagar Syah sebagai Regent dianggap kaum penghulu sebagai pelanggaran terhadap hak mereka. Karena itu, akibat pengangkatan tesrebut, ada sejumlah penghulu di Tanah Datar tidak mendukung Belanda ‘sepenuh hati’.

Regen Batipuh, yang pernah menjadi ‘tangan kanan’ Belanda dalam menumpas kaum Padri, juga memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Bagagar Syah. Bahkan pasukan Regen Batipuh ini menumpas habis hulubalang-hulubalang Regen Tanah Datar (Bagagar Syah) ketika mereka melawan pemerintah beberapa waktu setelah Babagar Syah ditawan dan dibuang Batavia. Ketidaksukaan Regen Batipuh disebabkan bahwa dia sesungguhnya menginginkan jabatan Raja Minangkabau.

Sikap tidak suka terhadap keluarga kerajaan juga berasal dari kaum Padri. Tidak hanya karena peran mereka dalam ‘mengundang’ Belanda untuk memerangi kaum Padri, tetapi juga disebabkan oleh tidak diserahkannya jabatan Regen Tanah Datar kepada Said Salimul Jafrid, calon unggulan mereka, oleh Belanda. Setelah reorganisasi tahun 1825, jabatan Regent Tanah Datar tetap dipegang Bagagar Syah. Hal ini mengecewakan kaum Padri dan kekecewaan itu dilampiaskan kepada Bagagar Syah. Apalagi dikemudian hari mereka mendengar kabar bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuh Said Salimul Jafri.

Persiteruan antara Bagagar Syah khususnya dan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dengan Belanda, kaum adat (penghulu) dan kaum Padri adalah bagian dari dinamika Perang Padri. Persiteruan itu adalah sebuah pembuktian bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia politik. Hampir semua anggota keluarga kerajaan yang mendukung Belanda dan kaum adat pernah dizalimi serta dikhianati oleh Belanda dan juga dimusuhi oleh kaum adat/kaum Padri. Bagagar Syah yang mendukung Belanda memerangi Padri akhirnya dihukum dan dibuang oleh Belanda bersama dengan tokoh Padri (Tuanku Imam Bonjol) yang diperanginya. Perang Padri merefleksikan pepatah lama, habis manis sepah dibuang. Perang Padri adalah sebuah pembuktian bahwa bekerjasama dengan kolonialis tidak akan pernah berbuah manis.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Marsden, William, The History of Sumatra. London: J. M’Creery, 1811.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Sistem Persenjataan dan Strategi Tempur Pada Masa Perang Padri

Di samping tentara yang campin, terlatih, dan berani, persenjataan dan strategi yang dijalankan sangat menentukan kemenangan pihak-pihak yang tengah berperang. Hal yang sama juga berlaku pada masa Perang Padri. Masing-masing pihak yang bersiteru sama-sama menyiapkan sumber daya tentara yang siap bertempur ke medan laga, melengkapi angkatan perang atau tentaranya dengan persenjataan yang tercanggih untuk masanya, serta juga menerapkan strategi tempur yang diperhitungkan bisa mengalahkan alwan.

Selama ini ada pendapat yang mengatakan bahwa angkatan perang Belanda lebih banyak jumlahnya. Pendapat ini didasarkan pada adanya tentara bantuan dari orang-orang Indonesia non-Minang (Hulptroepen), serta orang Minang atau Hulpbende. Khusus untuk yang disebut terakhir ini sering dikatakan “…jumlahnya tak terkira banyaknya”. Juga sering dikatakan bahwa strategi perang Belanda lebih hebat karena dikomandoi oleh para perwira veteran berbagai perang di Eropa atau di banyak tempat di Hindia Belanda. Acap pula dikatakan bahwa tentara Belanda jauh lebih hebat atau canggih persenjataannya. Berbagai lukisan tentang perang Padri menjadi dasar untuk pernyataan terakhir ini.

Apakah pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan kenyataan di lapangan? Apakah jumlah tentara kaum Padri tidak banyak serta persenjataannya tidak lengkap dan canggih? Apakah kaum Padri tidak memiliki strategi perang dalam menghadapi Belanda atau strategi perang mereka kalah hebat dibandingkan dengan yang dimiliki Belanda?Apakah para tuanku Padri bukan ahli strategi perang? 

Tulisan ini mencoba menampilkan aspek-aspek persenjataan yang dimiliki dan strategi tempur yang dipaktikkan oleh kaum Padri dan Belanda selama Perang Padri. Aspek-aspek ini adalah aspek-aspek yang sangat penting tetapi cendrung dikemukakan secara fragmentaris serta partial dalam sejumlah kitab atau tulisan mengenai Perang Padri selama ini.

II

Masing-masing pihak yang terlibat dalam Perang Padri sesungguhnya memiliki senjata yang mumpumi dan strategi perang yang hebat. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa begitu lamanya perang berlangsung dan begitu sulitnya masing-masing pihak yan berperang mengalahkan lawannya. Sehingga akhirnya bisa dikatakan bahwa pihak Belanda bisa memenangkan perperangan bukan karena kehebatan tentaranya, bukan karena kecanggihan senjatannya, dan bukan pula karena kehebatan strategi tempur yang dirancang para komandan atau ahli perangnya, tetapi karena kelicikan yang mereka jalankan.

Kaum Padri, di samping memiliki tentara yang banyak, berani dan militan, juga memiliki sistem persenjataan dan sistem perlindungan diri yang canggih, serta strategi perang yang jitu. Informasi mengenai persenjataan dan sistem perlindungan diri kaum Padri, serta strategi tempur yang mereka miliki bisa ditemukan dalam memoar Tuanku Imam Bonjol dan juga dalam sumber-sumber yang dibuat oleh orang Belanda. Dari sumber-sumber itu bisa diketahui bahwa kaum Padri memiliki beragam jenis senjata, mulai dari jenis yang paling sederhana (atau senjata ‘tradisional’) hingga yang paling canggih (modern) untuk masanya. Beberapa jenis senjata ‘tradisional’ yang lazim dikenal dan paling banyak digunakan adalah pedang, tombak, ranjau, sejwa, umban tali, keris, rencong, pisau, cinangke, damaq, sakin, kulipah, dlsnya. Dikatakan bahwa senjata jenis ini dipergunakan oleh para pejuang Padri. Dikatakan juga sebagian dari senjata jenis ini, misalnya  pisau, keris dan pedang, telah menjadi ‘pakaian’ bagi kaum Padri. Maksudnya jenis-jenis senjata ini hampir selalu dibawa oleh atau diselipkan di pinggang para pejuang Padri ke mana pun mereka pergi.

Beberapa Jenis Senjata Orang Minang Hingga Abad ke-19

Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879, Derde Deel; Volkbeschrijving Taal, 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882.

Jenis-jenis senjata yang canggih (modern) yang dimiliki dan digunakan kaum Padri adalah setengga (disebut juga bedil atau senapan) dan meriam. Walaupun kedua senjata ini sering disebut sebagai senjata modern, pada saat Perang Padri, kedua jenis senjata bukan barang baru bagi para pejuang Padri. Bedil atau meriam telah lama dikenal orang Minang. Dari beberapa sumber diketahui bahwa kedua jenis senjata ini telah lazim digunakan orang Minang pada abad ke-17, atau bahkan telah digunakan juga pada abad ke-16. Tembakan senapan atau meriam telah lazim dilakukan orang Minang untuk menyambut atau melepas tamu. Thomas Dias yang tahun 1684 mengunjungi istana Pagaruyung (yang berlokasi di Kumanis) disambut dengan tembakan-tembakan senjata dan juga dentuman meriam berkali-kali).

Bahwa senapan atau bedil telah begitu akrab dengan orang Minang, bisa dilihat dari dijadikannya kata bedil itu sebagai kata kerja (verb) dalam bahasa Minang. Dalam memoar Tuanku Imam Bonjol banyak sekali ditemui kata kerja “membedil”.

Seperti disebut di atas, ada banyak “senjata tradisional” yang digunakan oleh kaum Padri, namun yang lazim disebut dan digunakan adalah pedang, tombak, dan ranjau. Tuanku Imam sendiri beberapa kali menyebut dirinya menggunakan pedang melawan musuh, salah satu di antaranya adalah saat sejumlah tentara bantuan Belanda (orang Payakumbuh dan Bugis) berhasil masuk ke bonjol (benteng Padri) dan menyusup ke rumah Tuanku Imam. Setelah kaki tangan Belanda itu melakukan aksi dengan menangkap dan melukai beberapa penghuni rumah, Tuanku Imam Bonjol melawan penyusup dengan pedang. Gemercingan bunyi pedang Tuanku Imam beradu dengan bayonet atau senapan para penyusup. Tuanku Imam sangat mahir memainkan pedangnya hingga banyak penyusup yang tewas dibabatnya. Namun karena dia mengamuk seorang diri dan musuh berjumlah banyak maka tak pelak lagi dia juga kena tusuk bayonet serta kena hantam senapan. Walaupun musuh kemudian melarikan diri, seusai perkelahian itu diketahui Tuanku Imam mengalami luka dan ada 13 liang luka di sekujur tubuhnya.

Pedang juga menjadi senjata andalan para tuanku Padri yang lainnya. Tuanku Nan Barampek, para panglima perang dan tangan Tuanku Imam Bonjol, berkali-kali menggunakan pedangnya dalam menghadapi lawan.

Jadi pedang adalah senjata yang paling lazim digunakan pejuang Padri.

Ranjau adalah jenis senjata kaum Padri yang banyak disebut oleh penulis Belanda. Senjata jenis ini banyak mendapat perhatian karena sangat ditakuti serta terbukti ampuh dalam menghadapi musuh. Sebagai mana dikatakan Boelhouwer dan juga Elout serta Kielstra, ranjau adalah ‘senjata rahasia’ yang terbuat dari bambu, kayu dan besi. Ranjau terdiri dari berbagai bentuk dan difungsikan pada atau dengan beberapa media.

Pertama, ranjau telapak kaki. Ranjau jenis ini paling banyak digunakan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 2 sampai 3 cm, dipotong pendek sekitar 20 s.d. 30 cm., salah satu ujungnya diruncingkan dan kemudian ditanam di tanah yang berumput sehingga kalau terpijak akan melukai telapak kaki.

Kedua, ranjau perut. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bambu yang dibelah-belah dengan ukuran 3 s.d. 5 cm. atau terbuat dari bambu jenis sariak, sejenis bambu dengan diameter 2 s.d. 3 cm, atau dari batang kayu kecil dengan diameter 3 s.d. 5 cm. yang dipotong dengan panjang sekitar 90 cm 100 cm. Salah satu ujungnya juga diruncingkan. Ranjau jenis ini ditanam didalam tanah yang banyak ditumbuhi ilalang dan ujung yang runcing sengaja ditinggalkan dipermukaan tanah dengan ketinggian sekitar 60 s.d. 70 cm. pada posisi miring (dengan kemiringan + 60°). Ranjau jenis ini ditujukan kepada musuh yang berlari di padang ilalang. Biasanya ranjau jenis ini akan menusuk perut penyerang yang kurang waspada.

Ketiga, ranjau dalam lubang. Ranjau jenis ini juga terbuat dari bilah bambu dan potongan kayu yang diruncingkan. Beda utamanya adalah ranjau jenis ini ditanam didalam lubang dengan ukuran 1 X 2 X 1,5 meter lebar, panjang dan dalamnya. Lubang yang ditanami ranjau tersebut ditutup dengan dedaunan guna mengelabui musuh. Sehingga ketika musuh berlari dan kurang awas akan terjebak dan masuk ke dalam lubang yang dipasangi ranjau.

Keempat, ranjau badan. Ranjau jenis ini umumnya terbuat dari bilah bambu dengan panjang 10 s.d. 15 dan lebar 1 s.d 1,5 cm. yang salah satu ujungnya diruncingkan, atau terbuat dari kayu dengan panjang 10 s.d. 15 c,. dan diameter 1 s.d. 1,5 cm dan salah satu ujungnya juga diruncingkan. Khusus untuk ranjau yang terbuat dari kayu kadang-kadang salah satu ujungnya juga dipasangi besi yang runcing. Ranjau jenis ini, dalam jumlah beberapa buah, dibawa oleh para pejuang Padri pada saat mereka berperang. Biasanya ranjau-ranjau ini diikat menjadi satu dengan simpul khusus dan  digantungkan didada (sebagaimana layaknya jalinan peluru yang digantungkan di dada tentara). Ranjau jenis ini bisa digunakan sebagai ‘senjata rahasia’ yang dilemparkan kepada musuh (sebagaimana yang dilakukan para ninja). Ranjau jenis ini bisa juga digunakan pada saat pemiliknya mundur (lari) dikejar musuh. Caranya dengan menjatuhkan ranjau-ranjau tersebut ke tanah sehingga musuh yang tidak hati-hati bisa menginjak ranjau badan ini.

Ranjau telapak kaki, ranjau perut, dan ranjau dalam lubang umumnya di pasang di sekitar benteng. Jadi ranjau adalah bagian dari strategi perlindungan benteng.

Seperti disebut di atas, di samping senjata ‘tradisional’, kaum Padri juga memiliki senjata ‘modern’. Setengga atau bedil adalah senjata ‘modern’ yang banyak dimiliki dan digunakan pejuang Padri. Dikatakan banyak memang ada dasarnya. Tidak hanya Tuanku Imam, sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa pejuang Padri memiliki banyak bedil. Tuanku Imam sendiri misalnya menyebut bahwa dalam serbuan ke Suliki pasukannya dilengkapi dengan 300 bedil. Waktu menyerang Rao dan Rokan dibawa 250 bedil. Waktu menyerang Malalak dibawa 7.050 bedil. Raaff, Stuers, Elout dan Kielstra sering menyebut bahwa pasukan Padri berjumlah ribuan orang dengan ratusan senapan. Mereka juga sering mengatakan bahwa ketika merebut benteng-benteng Padri ditemukan ratusan pucuk bedil di dalamnya.

Di samping dibuat sendiri, senjata kaum Padri juga didapat dengan jalan membelinya di Tanah Semenanjung dan juga dari Aceh. Para pedagang Padri sangat penting artinya dalam pengadaan bedil ini. Bedil dari Tanah Semenanjung dibawa para saudagar melalui sungai-sungai yang mengalir di kawasan timur  kawasan darek. Sungai Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan adalah ‘jalan raya’ yang digunakan oleh para saudagar Padri untuk memasok senjata dan berbagai barang kebutuhan perang lainnya. Bedil dari Aceh umumnya didatangkan oleh saudagar Aceh yang menjadi mitra dagang saudagar Padri. Senjata dan berbagai barang kebutuhan perang dipasok saudagar Aceh hingga kawasan pesisir Sumatra barat bagian utara (kawasan pantai Pasaman hingga Natal). Selanjutnya senjata dan barang-barang itu dibeli dan dibawa ke darek oleh saudagar Padri. Ini pulalah sebabnya, sejak awal tahun 1830-an, Belanda berupaya mematikan ‘jalan dagang’ di kawasan timur darek dan juga berupaya menguasai kawasan pesisir Pasaman.

Bentuk bedil yang dipakai kaum Padri sangat sederhana. Panjangnya sekitar dua meter dengan popor yang juga sangat sederhana dan kuncinya juga sangat sederhana. Penggunaan senapan itu memerlukan keahlian khusus, kalau tidak sipengguna akan merasakan goncangan yang kuat serta akan terkena semburan api yang keluar dari bedil saat meletus. Bedil tersebut menggunakan mesiu dengan kualitas rendah. Pelurunya terbuat dari timah yang dibulatkan. Mesiu dan peluru dibuat sendiri atau produksi lokal (namun ada juga yang diimpor dari Tanah Semenanjung dan Aceh). Mesiu biasanya ditempatkan dalam karapai, salapah atau labu kecil yang isinya telah dibuang. Mesiu diambil dari tempatnya dengan tabung bambu kecil yang sekaligus sebagai alat takar dan dituangkan kedalam bedil. Pola penempatan seperti ini menyebabkan mesiu sangat rentan basah, terutama bila hari hujan atau melintasi sungai. Sering kali dilaporkan bahwa senjata tidak bisa bingkas (dimanfaatkan) karena mesiu basah.

Melihat bentuk dan cara pemakaian bedi, serta hasil yang didapatkan maka Nahuijs dan Boelhouwer menyebut bahwa pejuang Padri adalah penembak yang piawai.

Satu lagi senjata ‘modern’ yang dimiliki kaum Padri adalah meriam. Sama dengan bedil, ada banyak meriam yang dimiliki kaum padri, namun tidak diketahui jumlah pastinya. Bila dihitung dari berbagai sumber, bisa dikatakan bahwa jumlahnya ada puluhan (kalau tidak ratusan). Di samping dibawa dalam berbagai kampanye militer, umumnya meriam Padri ditempatkan di benteng. Rata-rata tiap benteng memiliki empat hingga enam meriam. Hal ini bisa dilihat dari Benteng Bonjol, Benteng Lintau, Benteng Katiagan, Benteng Sumadang, Lubuk Ambalau, dlsbnya.

Ukuran meriam Padri cukup beragam, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Meriam yang dibawa dalam sejumlah penyerbuan umumnya berukuran kecil (2 pon), tetapi meriam yang ditempatkan di benteng berukuran besar (12 pon).

Kebanyakan meriam yang digunakan Padri buatan Inggris, dan itu didatangkan dari Tanah Semenanjung.

Tidak hanya didatangkan dari Tanah Semenanjung, kaum Padri juga menggunakan meriam yang didatangkan dari Aceh atau meriam yang di masa lampau digunakan oleh VOC. Ada beberapa contoh untuk pernyataan ini, dan salah satu diantaranya adalah meriam yang digunakan Tuanku Imam Bonjol.  Sebagaimana disebut dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjol menggunakan meriam yang pernah ditempatkan di Benteng Pasaman (benteng yang digunaka sejak masa VOC), yang dikatakan meriam itu dahulunya ‘pernah digunakan untuk mengalahkan Negeri Mesir’. Ada dua meriam yang pernah ada di benteng tersebut, namun keduanya sudah lama tidak digunakan dan terlantar. Satu buah sudah tergeletak di tengah padang (rumput/ilalang) dan yang satu lagi sudah terbenam ke dalam lubuk (sungai). Karena Tuanku Imam Bonjol ingin mendapatkan dan menggunakakannya maka kedua meriam itu diperbaiki. Berkat kecanggihan ahli senjatanya, kedua meriam tersebut berfungsi lagi dan menjadi meriam andalan Tuanku Imam Bonjol.

Sebagaimana layaknya meriam-meriam yang lain, kedua meriam lama itu juga diberi nama. Meriam yang tergeletak di tengah pada dinamai Air Benteng dan meriam yang sudah terbenam dalam lubuk dinamai Air Tajun.

Salah satu meriam di Bonjol yang sering dibawa-bawa untuk berperang dinamai Bujang Palembang.

Di samping memiliki peluru besi, kaum Padri juga menggunakan batu bulat sebagai peluru (anak meriam)nya. Hal ini dikemukakan oleh Boelhouwer ketika dia memasuki Bonjol.

Meriam sangat penting artinya bagi kaum Padri. Gerak maju Belanda menuju benteng Padri umumnya banyak terhambat karena bantuan meriam ini. Raaff melaporkan bahwa upaya dia dan pasukannya berkali-kali gagal menaklukkan benteng Padri di Lintau karena benteng tersebut dilengkapi dengan sejumlah meriam. Dan kesukarannya semakin menjadi-jadi ketika meriam yang dimiliki pasukannya juga berhasil direbut oleh pasukan Tuanku Lintau. Hal yang sama juga dilaporkan oleh sejumlah komandan perang Belanda yang pernah menyerang Bonjol. Benteng Bonjol sangat susah ditaklukan, karena dilengkapi dengan sederetan meriam berukuran besar.

Jadi meriam adalah senjata andalan kaum Padri dan menjad bagian yang tidak terpisahkan dari banyak benteng Padri.

Benteng merupakan bagian dari pertahanan diri kaum Padri. Ada banyak benteng kaum Padri dan “…benteng mereka ada di mana-mana”, kata Kielstra. Orang Padri khususnya dan Minang umumnya menamakan benteng dengan kubu atau bonjo. Di samping sebagai tempat bertahan menghadapi musuh, benteng juga dijadikan tempat tinggal dan juga gudang kaum Padri. Bangunan yang ada dalam benteng terbuat dari kayu yang kokoh dan atap nya terbuat dari sirap atau nipah.

Benteng kaum Padri umumnya berlokasi di atas bukit yang sulit untuk didatangi (dan ditaklukkan).  Posisi dan kesukaran menaklukkan benteng-benteng Padri tersebut dilukiskan oleh Raaff dan Boelhouwer.  Raaff menggambarkan Benteng Marapalam (Lintau), sedangkan Boelhouwer mengisahkan Benteng Ujung Rajo, Benteng Lubuk Ambalau dan Benteng Bonjol. Dikatakan bahwa benteng-benteng tersebut berada di puncak bukit, dengan kemiringan  tebing yang hampir tegak lurus. Kalau ada jalan menuju benteng itu, maka jalan itu berupa jalan  yang sempit dan mendaki pula. Juga dikatakan bahwa benteng itu sering dikelilingi oleh parit yang cukup lebar berisi air yang dalam. Di dalam parit itu juga sering dipasangi ranjau. Benteng sering dikelilingi oleh pagar pohon kelapa atau pohon nibung, dinding batu, gundukan tanah, atau bambu (aur) berduri yang rimbun dan rapat sehingga sangat sulit untuk ditembus. Di luar benteng, terutama di dataran rendah menuju benteng sering pula ditanami dengan ranjau (rantau telapak kaki, ranjau perut dan ranjau lobang). Di jalan sempit menuju benteng juga sering diletakkan potongan-potongan batang kayu atau batu besar, yang bila terpaksa akan digelindingkan ke bawah untuk menghajar, menghalangi atau melindas musuh yang ingin masuk ke dalam benteng. Di tempat-tempat yang strategis atau di pusat-pusat perlawanan Padri membangun lebih dari satu benteng. Di Gunung Tajadi (Bonjol) misalnya, kaum Padri membangun tujuh benteng.

Menaklukan benteng Padri adalah salah satu tujuan Belanda. Bila benteng telah dikuasai, biasanya Padri di kawasan itu juga akan mengaku kalah. Penguasaan Benteng Ujung Rajo dan Benteng Bonjol misalnya adalah contoh dari pernyataan di atas. Segera setelah Benteng Ujung Rajo dikuasai, nagari tersebut (dan juga nagari-nagari di sekitarnya) bisa dikatakan sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Benteng Bonjol dikuasai maka dapat dikatakan bahwa berakhirlah perlawanan kaum Padri.

Perang juga memiliki aturan. Seakan-akan telah ‘disepakti’, bahwa bila ada pihak yang kalah atau ingin menyerah, maka pihak yang kalah akan menaikan alam putih (alam adalah kata lama Minang untuk bendera). Pihak yang kalah biasanya juga akan membayar ‘tanda kalah’ yang biasanya berupa sebungkal emas dan penyerahan senjata. Sering pula pihak yang kalah diwajibkan ‘menjamu makan’ pihak yang menang dan menyatakan ketundukan dalam ‘jamuan’ tersebut.

Dalam sejarah Perang Padri diketahui bahwa sebagian pemimpin dan pasukan Padri yang kalah bergabung dengan Belanda. Bagi yang tidak mau bergabung atau mengaku tunduk ditangkap dan dibuang. Mereka yang ditangkap umumnya dipenjarakan di Padang, sedangkan mereka yang dibuang dikirim ke Pulau Jawa, namun ada juga ke pulau-pulau lain. Tuanku Imam Bonjol misalnya dibuang ke Pulau Jawa, Ambon dan terakhir ke Sulawesi (Utara).

Sebagaimana yang akan dikemukakan pada bagian berikut, hampir semua senjata dan siasat perang kaum Padri itu juga dimiliki oleh Belanda dan tentara bantuannya. Namun ada suatu ‘senjata khusus’ yang dimiliki kaum Padri dan itu tidak dimiliki oleh tentara Belanda dan Hulptroepen atau Hulpbendenya, yaitu doa kepada Allah dan seruan takbir. ‘Senjata’ ini sering digunakan oleh tuanku Padri dan pejuang Padri. Hal ini diakui dan dinyatakan, tidak hanya oleh Tuanku Imam Bonjol, tetapi juga oleh para komandan tempur serta penulis Belanda. Raaff dan Elout serta Michiels menyebut adanya sejumlah tuanku yang merapal doa sebelum bertempur, serta mengumandangkan Allahu Akbar saat menyerang pasukan Belanda, yang mereka katakan kafir dan anjing. ‘Senjata’ inilah yang paling membedakan antara kaum Padri dan Belanda, serta antek-anteknya.

III

Seperti telah disebut di atas, senjata-senjata yang digunakan oleh Belanda dan tentara bantuannya relatif sama dengan yang digunakan oleh kaum Padri. Tentara Belanda dan Hulptroepen hampir semuanya dilengkapi dengan senjata ‘modern’. Masing-masing memiliki senjata (bedil). Sehingga bisa dikatakan jumlah senapan hampir sama banyaknya dengan jumlah tentara Belanda dan Hulptroepen mereka.

Kalau ingin juga dibandingkan atau dicari perbedaannya, maka seperti kata Nahuijs, kualitas senapan tentara Belanda dan Hulptroepennya jauh lebih bagus dibandingkan dengan senjata kaum Padri. Mesiu yang mereka miliki juga jauh lebih baik kualitasnya bila dibandingkan dengan mesiu kaum Padri. Di samping itu, senjata tentara Belanda dan Hulptroepen mereka juga dilengkapi dengan bayonet. Dan tentara Belanda terlatih menggunakan bayonet tersebut.

Pasukan Belanda juga dilengkapi dengan meriam karena itu dalam data ketentaraaan Belanda selalu disebut adanya kesatuan artileri.

Meriam menjadi bagian terpenting kampanye militer Belanda. Nampaknya meriam selalu dibawa-serta dalam setiap serbuan yang dilakukan. Karena itu setiap meriam memiliki kereta pengangkut. Para kuli, yang umumnya adalah tentara ninik mamak, mendapat tugas mengangkut atau mendorong kereta meriam ini. Meriam ‘mobile’ yang digunakan pasukan Belanda memiliki ukuran yang beragam, mulai dari 3 s.d. 4 pon. Setiap kali aksi militer dilakukan dibawa 2 hingga 8 pucuk meriam.

Membawa meriam yang berat dan dalam jumlah yang cukup banyak jelas merepotkan serta menggangu mobilitas pasukan. Itulah sebabnya, para pejabat militer Belanda senantiasa mengupayakan pembukaan atau pembangunan jalan baru sehingga proses pengangkutan meriam dan mobiltas pasukan bisa lebih mudah. Pengalihan jalan setapak via Tambangan dan Sipinang ke arah Lembah Anai, yang dilakukan mulai tahun 1833 adalah bagian dari kebijakan tersebut.

Belanda sangat mengandalkan meriam dalam hampir semua kampanye militer mereka. Serbuan terhadap Benteng Lintau, Guguk Sigandang, Kapau, Ujung Rajo, Bonjol dlsbnya didukung oleh penggunaan meriam. Daya rusak meriam yang lebih hebat menjadi alasan penggunaan meriam oleh Belanda. Belanda menginginkan penghancuran musuh dengan cepat dan penggunaan meriam diyakini akan memudahkan upaya mereka mewujudkan tujuan itu.

Seperti dikatakan oleh Tuanku Imam, masuknya pasukan Belanda ke dalam benteng dan rumahnya karena hancurnya dinding benteng tersebut karena tembakan meriam.

Satu-satunya sistem persenjataan Belanda yang tidak dimiliki kaum Padri adalah kapal perang. Memang, dalam perang menghadapi Padri, Belanda juga mengerahkan sejumlah kapal perang. Tercatat ada 14 kapal perang yang pernah dikirim dan ikut-serta dalam berbagai ekspedisi militer di daerah ini. Kapal-kapal perang itu dipergunakan saat menyerang Benteng Ujung Rajo, Air Bangis, kota-kota atau daeral-daerah di bagian utara Pantai Barat, seperti Natal, Sibolga, Barus hingga Singkel. Kapal-kapal yang dilengkapi dengan meriam dengan ukuran 20 s.d. 34 pon, itu ikut menghanjar kota-kota atau daerah-daerah yang diserang. Ikut-sertanya kapal perang dengan persenjataan yang canggih tersebut memang sangat membantu gerakan militer Belanda. Hampir semua kota atau daerah yang diserang dengan mengikutsertakan kapal perang bisa ditaklukan (dikuasai).

Untuk memaksimalkan operasi kapal-kapal perang tersebut Belanda membangun Pangkalan Angkatan laut di Pariaman dan Tiku.

Seperti disebutkan dalam tulsian lain dari seri tulisan 200 Tahun Perang Padri ini, dalam menghadapi kaum Padri, Belanda juga membangun sejumlah benteng di berbagai tempat di Sumatra Barat. Benteng-benteng itu, di samping difungsikan sebagai tempat berlindung, juga digunakan sebagai ‘kantor’ pejabat militer dan sipil di daerah di mana benteng berada. Beberapa benteng yang terkenal adalah benteng di Batusangkar yang dinamai dengan Fort van der Capellen dan di Bukittinggi yang dinamai dengan Fort de Kock. Di samping itu ada sejumlah benetng lagi,yaitu Benteng Kayutanam, Tanjuang Barulak, Suliki, Amerangon, dlsbnya. Karena juga difungsikan sebagai kantor pejabat militer dan sipil daerah, maka nagari-nagari di mana benteng tersebut berada kemudian menjadi ibu kota unit administratif setingkat Afdeeling atau Onderafdeeling dalam struktur pemerintah Hindia Belanda.

Menariknya, hingga zaman Jepang (dan juga hingga beberapa waktu yang lalu) di hampir semua kota tersebut, tepatnya di dekat bangunan benteng Belanda di kota itu, selalu dipajangkan meriam lama. Mungkin ditujukan untuk mengenang perang yang dulunya pernah terjadi, dan mungkin untuk mengatakan bahwa walaupun memiliki benteng dan meriam serta persenjataan yang hebat, Belanda akhirnya juga bisa dikalahkan.

IV

Persenjataan tentara bantuan Belanda (Hulptroepen) hampir sama dengan tentara Belanda (tulen). Yang agak berbeda adalah senjata pasukan tentara Urang Awak. Umumnya mereka menggunakan bedil dan senjata ‘tradisonal’ sebagaimana dimiliki dan digunakan kaum Padri. Seperti yang akan dibicarakan pada bagian berikut, tidak banyak catatan tentang aksi tempur dan kehebatan berperang pasukan bantuan Urang Awak. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku pada Hulptroepen yang terdiri orang-orang dari etnis lain di Nusantara selain Minang.

Walapun demikian ada juga sedikit laporan dan catatan mengenai kehebatan pasukan Hulptropen dan Hulpbende ini. Dari laporan dan catatan itu setidaknya diketahui adanya dua kehebatan mereka.

Pertama, Hulptroepen sangat mahir rmenggunakan senapan. Tembakan mereka umumnya selalu mengenai sasaran. Kemampuan menembak yang hebat ini antara lain dilatarbelakangi rajinnya mereka berlatih. Seperti dikatakan Boehouwer, setiap ada waktu senggang maka anggota Hulptroepen akan menyibukkan diri dengan berlatih menembak. Latihan diadakan di lapangan terbuka dengan media berupa sebuah dinding setinggi 1,5 meter yang di bagian atasnya diletakan dua bilah bambu dengan panjang sekitar 20 cm dan lebar 5 cm secara bersilangan, yang akan dijadikan sasaran tembakan. Bambu yang bersilang itu ditembak dari jarak 200 langkah. Menurut Boelhouwer hampir setiap tembakan mengenai sasaran. Ini sesuatu yang dianggapnya luar biasa dan sukar dipercaya.

Kedua, anggota Hulptroepen dan Hulpbende juga mahir menggunakan bayonet. Kielstra menyebut, bahwa beberapa komandan perang Belanda memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan bayonet dalam sejumlah aksi penyerangan yang diakukan. Tuanku Imam Bonjol sendiri juga mengatakan bahwa dia diserang oleh anggota Hulptroepen dan Hulpbende (orang Bugis dan Payakumbuh) yang menggunakan bayonet.

Latihan pengunaan bayonet untuk Hulptroepen (dan juga tentara Belanda) sering dilakukan di dalam benteng.

Sejumlah pejabat Belanda, seperti Raaff, Stuers dan Nahuijs juga mengemukakan dan mendeskripsikan bagaimana kehebatan tentara bantuan Urang Awak mereka menggunakan senapan, pedang, tombak, dan keris. Sayangnya, karena mereka sering bertempur bersama tentara Belanda dan Hulptroepen yang umumnya tentara ‘profesional’ maka kehebatan mereka jadi hilang. Di samping itu, banyak pula dari mereka yang kurang atau tidak mampu menjadi kebugaran tubuh sebelum pergi berperang. Sering dikatakan bahwa mereka sering begadang, mengisap madat atau minum tuak sebelum pergi berperang sehingga ketika tiba waktu berperang, tenaga mereka sudah tidak ada lagi, atau karena badan tidak fit dan fikiran agak kacau, mereka tidak bisa menampilkan kehebatan mereka menembak atau menggunakan senjata.

Kehebatan anak kemenakan kaum adat akan nampak kalau mereka berperang (tanpa bantuan Belanda dan Hultroepen) melawan kaum Padri. Kenyataan terlihat dalam memoar Tuanku Imam Bonjol.

Suatu saat pasukan Padri Bonjol menyerang Suliki. Ternyata Suliki memiliki kubu pertahanan yang hebat. Kubunya berada di atas bukit dan dikelilingi oleh parit. Tidak hanya itu, di luar kubu, di bagian atas bukit juga ditempatkan kapuak (anyaman bambu berbentuk lingkaran besar) yang diisi dengan batang padi, serta juga tahi (tinja) yang ditempatkan pada wadah tertentu. Ketika pasukan Padri berhasil mendekati kubu maka pasukan yang bertahan didalam kubu menggelindingkan gulungan-gulungan batang padi dalam kapuak sehingga melindas dan membawa turun kaum Padri yang tengah mendekati kubu. Kemudian ketika kaum Padri mendekat lagi ke kubu maka mereka disirami mereka dengan tahi (tinja) sehingga berlumuran tahilah mereka semua. Mendapat serangan tahi (tinja) ini membuat pasukan Padri melarikan diri ke parit (untuk membasuh dan membersihkan diri). Setelah ‘senjata pamungkas’ tentara ninik mamak itu berhasil diatasi oleh kaum Padri barulah kubu itu berhasil ditaklukkan dan seisi benteng serta penduduk Suliki mengaku kalah.

V

Secara umum Perang Padri tidak menghadirkan sistem persenjataan dan strategi perang yang baru. Masing-masing pihak yang berperang menggunakan senjata yang relatif sama dengan yang dimiliki pihak lawan. Kalaupun ada perbedaan maka perbedaan yang paling nampak adalah kualitas persenjataan kaum Padri sedikit lebih tertinggal dibandingkan dengan senjata pasukan Belanda. Perbedaan lainnya adalah pasukan Belanda juga diperkuat oleh kapal perang dengan persenjataan yang juga lebih besar dan tinggi mutunya.

Sistem perbentengan kaum Padri dan Belanda juga relatif tidak begitu berbeda. Sistem perbentengan mereka sama-sama canggih dan sama-sama sukar untuk ditaklukan.

Strategi perang yang dijalankan, walaupun ada sedikit perbedaan, secara umum juga relatif sama. Strategi-strategi yang dimaksud antara lain: pertama, strategi perang yang sifatnya ofensif; kedua, strategi perang yang sifatnya defensif; ketiga, strategi perang yang dilakukan dengan menyerang secara tiba-tiba kemudian menghindar dengan cepat; keempat, strategi pengepungan terhadap benteng utama atau pemukiman utama musuh; kelima, strategi perang dengan membuat banyak benteng untuk menaklukan benteng utama musuh; keenam, strategi perang mengajak musuh berdamai pada saat terdesak kemudian mengingkari perjanjian bila bala bantuan telah tiba. Dari enam strategi ini, hanya strategi keenam yang nyaris tidak pernah dipratikan kaum Padri. Hal ini nampaknya berhubungan dengan ideologi (kepercayaan/agama). Kaum Padri yang berperang atas nama agama (Islam) jelas menghargai janji. Dalam ajaran agama mereka(Islam), janji adalah hutang yang harus dipenuhi. Sebaliknya,  Belanda menjadikan perang sebagai bagian dari ekspansi politik, di mana dalam dunia politik dihalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan. Termasuk melanggar janji yang telah diucapkan. Tuanku Imam Bonjol berkali-kali menyebut tentang pengkhiatan atas janji-janji yang dibuat Belanda.

Peranan ideologi (agama) atau kepercayaan tidak hanya terlihat dari keteguhan kaum Padri memegang janji, tetapi juga dalam ‘cara berperang’. Para pejuang Padri sangat percaya pada kekuatan gaib. Sering kali mereka pergi berperang setelah menemukan waktu yang cocok sesuai dengan ‘penglihatan’ para tuanku mereka. Para tuanku mereka percayai memiliki kekuatan gaib (keramat). Sehingga perkataan tuanku selalu dipatuhi. Kepercayaan kepada para tuanku ini juga memiliki makna negatif dalam pertempuran. Sebagaimana dilaporkan Raaff, Elout dan Boelhouwer, sering kali pejuang Padri tiba-tiba meninggalkan pertempuran yang sudah hampir mereka menangkan karena tuanku atau pemimpin perang mereka luka atau tewas. Sering pula dilaporkan bahwa pasukan Padri tiba-tiba meninggalkan pengepungan sebuah benteng, padahal penghuni benteng sudah sangat kelaparan atau sekarat, karena pemimpin mereka luka atau tewas. Pejuang Padri percaya pada konsep pars pro toto, kehebatan seseorang pemimpin (komandan pasukan) akan memengaruhi kehebatan atau keberuntungan seluruh anggota pasukan.

Aspek kepercayaan seperti yang dimiliki dan diamalkan kaum Padri ini jelas tidak pernah ditemukan atau dipraktikan oleh pasukan Belanda dan para pembantu mereka.

Perang Padri adalah perang terlama pertama yang dialami oleh pemerintah Hindia setelah mereka berkuasai setelah Pemerintahan Sementara (Tuschen Bestuur) Inggris. Masing-masing pihak sama serius dan sungguh-sungguh maju ke medan tempur. Dengan sistem persenjataan dan strategi tempur yang relatif sama, maka ‘aspek lain’ di luar persenjataan dan strategi tempurlah yang akhirnya menjadi penentu kemenangan salah satu pihak (Belanda).

Sebelum mengakhiri tulisan ini, bukan sekedar apologia atas kekalahan kaum Padri, perlu diulang sekali lagi, bahwa sesungguhnya sistem persenjataan dan strategi tempur kaum Padri dan Belanda relatif sama dan seimbang, serta nyaris tidak ada yang baru yang ditampilkan dalam pertempuran itu. Namun, kalau ingin dicari juga sesuatu yang baru dalam Perang Padri dan itu mungkin tidak pernah digunakan dalam perang modern adalah penggunaan tahi (tinja) oleh tentara Urang Awak. Penggunaan tahi (tinja) untuk menyerang musuh, sebagai upaya terakhir sebelum dikalahkan, tidak hanya menampilkan aspek ‘kreatif ‘ dalam berperang tetapi juga sebagai pembuktian bahwa perlawanan mesti dilakukan hingga penggunaan ‘senjata’ terakhir yang bisa menghinakan musuh.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Haan, F. de, “Naar Midden Sumatra in 1684” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 39 (1897), hal. 327-66.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Budak di Sumatra Barat pada Masa Perang Padri

Penulisan sejarah Perang Padri selama ini, apalagi yang ditulis oleh orang Indonesia, didominasi oleh penulisan sejarah politik, yang umummya menyajikan peristiwa-peristiwa besar dan tokoh-tokoh besar. Karena itu, aspek-aspek yang ditampilkan lebih terfokus pada permusuhan dan kesumat antara kaum Padri dan kaum adat (penghulu), kecamuk perang antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, peran atau heroisme Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Harimau Nan Salapan, serta kehebatan atau kedurjanaan para pejabat sipil dan militer Belanda, seperti Raaff, Stuers, Gilavry, Elout, Michiels, dlsbnya. Keberadaan dan kejadian-kejadian yang dialami ‘orang kecil’ atau ‘masyarakat kebanyakan’ relatif terabaikan. Keberadaan dan pengalaman historis para prajurit atau hulptroepen, kuli angkat, atau penduduk berbagai kampung yang terlibat serta sekaligus menjadi korban perang, misalnya, hampir tidak pernah diungkapkan.  

Satu lagi kelompok ‘orang kecil’ yang sangat sedikit dikaji/dikemukakan adalah budak. Padahal, keberadaan dan pengalaman historis ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau (Sumatra Barat) sangat erat kaitannya dengan Perang Padri. Bisa dikatakan, bahwa dalam struktur masyarakat Minangkabau, ‘kelas’ budak ini hadir karena Perang Padri. Proses kehadiran, respon dan perlakuan terhadap budak saat itu menjadikan Perang Padri semakin dinamis dan sekaligus rumit. Sayangnya, seperti yang disebut di atas, sebagian besar karya tentang Perang Padri tidak menyinggung atau hanya menyinggung secara sepintas saja mengenai keberadaan dan pengalaman historis mereka. Sajian yang sedikit itu malahan membuat keberadaan dan pengalaman sejarah budak semakin tidak jelas. Apalagi tulisan yang sedikit itu umumnya ditulis dalam kaitannya dengan penghapusan (afschaffing) budak di Sumatra Barat khususnya dan di Indonesia yang dimulai pada sejak tahan 1860 dan dilaksanakan tahun 1870-an.

Berdasarkan kenyataan itulah, tulisan ini mencoba menyajikan kaitan antara Perang Padri dengan keberadaan budak pada masyarakat Minangkabau dan bagaimana pengalaman historis para budak pada masa perang tersebut. Di samping itu tulisan ini juga akan mengungkapkan siapa yang dimaksud dengan budak.? Bagaimana budak diperlakukan dan bagaimana kelompok masyarakat ‘non-budak’ merespon kehadiran dan keberadaan mereka? Akhirnya juga akan disajikan bagaimana sikap pemerintah Belanda terhadap keberadaan budak.

II

Perang Padri memiliki hubungan yang  sangat erat dengan ‘kelas’ budak. Hubungan ini setidaknya dapat dilihat dari tiga sisi sejarah budak di Sumatra Barat (Minangkabau). Sisi pertama, Perang Padri adalah kurun waktu munculnya ‘kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau. Sisi kedua, Perang Padri adalah periode semakin banyaknya budak Nias di Sumatra Barat dan semakin luasnya wilayah sebaran budak Nias di daerah ini. Sisi ketiga, Perang Padri adalah kurun waktu ‘tarik ulur kebijakan’ dan ‘jaga gengsi’ di kalangan politisi dan pejabat kolonial dalam menyikapi keberadaan atau penghapusan budak.

Sumber-sumber sejarah menginformasikan bahwa budak mulai hadir dalam masyarakat Minangkabau, terutama di daerah pedalaman, secara masif pada masa Perang Padri. Dari sumber-sumber itu juga diketahui bahwa jumlah budak bertambah dengan sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat. 

Walaupun sumber-sumber adat tidak menyebut adanya ’kelas’ budak dalam masyarakat Minangkabau tradisional (sebelum Gerakan dan Perang Padri), namun bisa dipastikan, pada masa adat jahiliyah orang Minang telah mengenal budak. Adanya kata lacieh,dalam perbendaharaan kata lama (archaic word) Minangkabau, yang kira-kira sama padanannya dengan kata budak, mengindikasikan bahwa orang Minang ‘tempo jahalia’ telah mengenal budak. Tulisan yang Fakih Sangir yang menyebut bahwa ada kelompok bandit yang merampok serta menawan penduduk suatu kampung , kemudian menjual tawanannya tersebut adalah salah satu contoh bahwa sebelum masa Padri orang Minangkabau telah mengenal praktik ‘menjual orang’ (budak). Dalam konteks inilah pernyataan Verkerk Pistorius, yang juga diulangi oleh EP. van Kerckhoff  bisa kita pahami, bahwa sebelum ‘masa putih’ budak bukannya tidak dikenal di darek.

Budak memang hadir dalam jumlah yang besar di kalangan orang Minang seiring dengan adanya Gerakan dan kemudian Perang Padri. Dalam aksi mereka, kaum Padri menyerang berbagai perkampungan yang dikatakan belum menjalankan agama Islam dengan benar dan sungguh-sungguh. Dalam aksi tersebut banyak kaum lelaki yang luka dan meninggal, banyak rumah yang dirusak dan dibakar, banyak harta-benda, termasuk binatang ternak warga kampung yang diserang yang diambil (dirampas). Tidak itu saja, banyak pula penduduk kampung yang dikalahkan yang ditawan dan dijadikan budak.

Mengambil atau merampas harta penduduk kampung yang dikalahkan, atau menawan dan menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebagai budak adalah bagian dari aksi yang dilakukan kaum Padri dalam menyebarkan faham keagamaannya. Aksi ini kemungkinan besar dipengaruhi dari apa yang dilihat oleh pembawa faham Padri dari Tanah Arab. Ketika mereka berada di Tanah Suci, kaum Wahabi yang tengah mengadakan revolusi keagamaan, melakukan aksi kekerasan dalam dakwah mereka, termasuk merampas barang-barang milik lawan, menawan dan menjadikan lawan yang kalah sebagai budak. Aksi seperti itu dibawa pulang dan diperkenalkan pula oleh pengagum Wahabisme itu (Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang) ke Minangkabau. Pengagum ajaran Wahabi itu dinamakan kaum Padri. Aksi ‘ala Wahabi tersebut semakin massif dipraktikkan  ketika pengaruh Padri semakin kuat, dan itu terjadi karena kebanyakan tuanku Padri hanya mengamimi faham yang dibawa ‘trio’ ulama tersebut.

Sebagaimana disampaikan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, banyak kampung yang diserang oleh kaum Padri. Ada belasan, kalau tidak puluhan kampung yang mereka dan kalahkan. Karena Tuanku Imam lebih banyak berkisah mengenai aksi kaum Padri Bonjol, maka kampung-kampung yang mereka serang umumnya berada di kawasan Bonjol, Agam utara, Limapuluh kota bagian barat hingga Bangkinang, serta kampung-kampung di Lubuk Sikaping, Pasaman Barat, Rao, Rokan Hulu serta Mandahiling. Secara terang benderang Tuanku Imam menyebut bahwa banyak harta-benda dan ternak penduduk kampung yang diserang yang dirampas, dan banyak warga kampung yang diserang yang ditawan dan dijadikan budak.

Harta benda dan ternak yang dirampas tersebut dibawa ke Bonjol. Begitu juga warga berbagai kampung yang ditawan dan dijadikan budak juga dibawa ke Bonjol. Sehingga bisa dikatakan bahwa Bonjol ‘penuh’ oleh budak saat itu.

Nahuijs, Boelhouwer, Stuers, Lange dan sejumlah penulis Belanda lain juga menyebut bahwa aksi perampasan harta-benda serta menawan dan menjadikan budak penduduk kampung yang dikalahkan juga dilakukan oleh tokoh Padri yang lain dari daerah yang lain. Tuanku Nan Renceh dari Agam dan Tuanku Lintau dari Tanah Datar termasuk yang disebut-sebut sebagai pemimpin Padri yang banyak merampas harta benda penduduk dan menawan serta menjadikan budak penduduk kampung yang mereka kalahkan. Aksi-aksi Tuanku Nan Renceh (dan juga Tuanku Lintau) ini juga sampai terdengar di kawasan timur Sumatra. Sehingga di kawasan itu, sebagaimana disebut John Anderson, Gerakan atau Perang Padri lebih dikenal sebagai Gerakan Nan Rincih (Renceh). Namun bila diperbandingkan, aksi Padri Bonjol bisa dikatakan sebagai aksi yang paling banyak melakukan perampasan harta-benda penduduk, yang paling banyak menawan, serta menjadikan penduduk kampung yang dikalahkan sebaagi budak. Khusus untuk yang disebut terakhir, ada kaitannya dengan posisi daerah/wilayah ‘operasi’ Padri Bonjol.  Kaum Padri Bonjol umumnya beraksi di daerah pinggiran (rantau), sehingga perlawanan dari kaum adat (penghulu) tidak begitu kuat. Di samping itu, aksi Padri Bonjol banyak dilakukan di kawasan Mandailing (Batak) yang warganya sejak waktu yang lama juga telah menjadi sasaran para pencari budak. Sebagaimana dikatakan oleh John Anderson dan juga Tome Pires, orang Batak telah lama dicari dan dijadikan budak, serta dijadikan sebagai komoditas perdagangan.

Budak Batak

Sumber: Anderson, John, Mission to the Eastcoast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826).

Para tawanan atau budak terdiri dari penduduk laki-laki dan perempuan. Umumnya lelaki yang badannya kekar dan perempuan yang parasnya cantik. Di samping itu juga ada anak-anak (anak-anak dari warga kampung yang ditawan). Orang tua nyaris tidak ada, karena sengaja ditinggalkan di kampung yang ditaklukkan, lagi pula orang tua itu pasti tidak bisa berjalan jauh menuju Bonjol atau menuju nagari basis kedudukan kaum Padri.

Tidak diketahui berapa jumlah pasti budak kaum Padri di seluruh darek. Diperkirakan jumlahnya pasti ribuan. Data yang disajikan Stuers mengatakan bahwa saat memasuki Bonjol tahun 1832 Elout menyebut bahwa ada sekitar 2.000 budak pusat Padri itu. Dikatakan bahwa Tuanku Imam dan Tuanku Muda (panglima Peang Tuanku Imam) masing-masing memiliki 300 budak, Khatib memiliki 200 budak. Tuanku-tuanku yang lainnya juga memiliki cukup banyak budak.

Seperti disebut oleh Boelhouwer dan Lange, di Bonjol budak tersebut umumnya tinggal dalam benteng, tempat para pemimpin Padri tinggal. Di samping itu mereka juga tinggal di kampung-kampung di mana para pemiliknya bermukim.

Sebagai ‘barang’ kepunyaan, nasib budak sangat tergantung pada kehidupan tuannya. Ketika tuannya kelaparan maka para budak juga ikut kelaparan. Hal ini terjadi ketika Belanda menyerang dan memblokade benteng Bonjol dalam waktu yang lama, sehingga warga Bonjol kekurangan makanan. Saat itu, jangankan para budak, tuan pemilik budak juga menderita kelaparan. Ketika wabah berkembang dan menyerang tuannya di Bonjol, maka para budak juga ikut sakit kena wabah, bahkan bisa jadi para budak lebih dulu meninggal daripada tuannya karena tidak mendapat pengobatan yang layak.

Para budak memang diperlakukan sesuai dengan keinginan para pemiliknya. Mereka dijaga ketat agar tidak melarikan diri (upaya melarikan diri, dan cukup banyak yang berhasil, senantiasa dilakukan oleh para budak, terutama budak Batak). Para budak umumnya dipekerjakan mengolah sawah. Budak juga diperjualbelikan. Harga budak lelaki adalah f.30,- dan harga budakperempuan (gadis) f.60,- Para penjual (orang yang menjadi perantau penjualan budak) mendapat 1/3 atau ¼ dari harga penjualan. Tidak hanya diperjualbelikan, budak juga dijadikan sebagai hadiah. Tuanku Imam Bonjol misalnya pernah memberi Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik hadiah beberapa orang budak perempuan Batak.

Aksi-aksi penyerbuan kampung, perampaan harta-benda dan penawanan, serta menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak sudah dihentikan Padri Bonjol sejak tahun 1829/1830. Penghentian aksi ini ada hubungannya dengan kembalinya empat orang haji utusan kaum Padri Bonjol untuk melihat praktik dakwah dan keagamaan di Tanah Arab. Dikatakan bahwa di Mekkah dan Medinah tidak ada lagi aksi dan praktik kekerasan dalam dakwah. Sejak itu, sesungguhnya, jumlah budak Padri tidak bertambah lagi. Namun demikian, budak yang sudah mereka miliki tidak dibebaskan. Budak-budak itu tetap mereka ‘piara’ hingga, seperti yang akan dibicarakan, dibebaskan oleh Belanda nantinya.

Aksi kekerasan kaum Padri berupa perampasan harta benda, penawanan dan menjadikan warga kampung yang dikalahkan sebagai budak mendapat kecaman keras dari kaum adat (penghulu). Hal ini bisa dimaklumi, karena kampung-kampung yang diserang oleh kaum Padri adalah kampung-kampung yang dikatakan sebagai pendukung kaum adat. Kenyataan ini sangat nampak di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Walaupun terletak di daerah rantau, beberapa kampung yang diserang Padri Bonjol di Lubuk Sikaping, Rao dan Pasaman Barat juga bisa dikatakan sebagai kampungnya kaum adat, karena perlawanan gigih di kampung-kampung itu dipimpin langsung oleh para penghulu.

Sehubungan dengan itu, kaum penghulu, yang diwakili oleh anak-kemenakan mereka yang tergabung dalam Hulpbende (‘geromboan’ atau pasukan bantuan Melayu dalam tentara Belanda), sangat bersemangat membantu Belanda dalam menyerang kaum Padri. Tentara ninik-mamak ini akan semakin beringas kalau kaum dan kampung Padri telah kalah. Mereka segera melepaskan dendam kaumnya dengan menghajar kaum Padri yang sudah kalah, merampas harta-benda kaum Padri yang sudah takluk, termasuk juga menjadikan mereka sebagai tawanan dan juga budak. Pasukan ninik-mamak dari Tanah Datar, khususnya dari Batipuh, adalah kelompok Hulpbende yang paling bersemangat menyerang kaum Padri. Itu pulalah sebab di nagari itu paling banyak ditemukan budak (semasa Perang Padri dan sesudahnya hinga dibebaskan tahun 1870-an).

Elout dan pejabat Belanda sesungguhnya melarang menjadikan tawanan perang sebagai budak sesungguhnya. Tetapi, laranga itu tidak sepenuhnya dipatuhi oleh pemimpin perang dari kalangan Hulpbende (penghulu). Apalagi Regen Patipuh yang memiliki kedudukan istimewa di mata pejabat Belanda. Kedudukan istimewa yang banyak perbuatannya dibiarkan saja oleh petinggi Belanda, termasuk menjadikan budak tawanan perangnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Raja Gedombang, pemimpin masyarakat Batak (Mandahiling) yang bergabung dengan tentara Belanda. Raja Gedombang dari Huta Godang, dengan sengaja mengajukan dirinya kepada Elout, Resident van Padang en Onderhoorigheden, untuk membantu Belanda. Raja Gedombang ingin membantu Belanda karena ingin membalas kekejaman kaum Padri terhadap warganya (orang Tapanuli), termasuk menjadikan kaum perempuannya sebagai budak.

Raja Gedombang memang membuktikan kata-katanya. Dia mengerahkan ribuan rakyatnya berperang membantu Belanda melawan Padri. Dia juga melakukan balas dendam menghajar Padri dan menawan penduduk perkampungan Padri. Sayangnya, niat Raja Gedombang untuk menjadikan warga perkampungan Padri sebagai budak tidak bisa diwujudkan sepenuhnya. Karena seperti telah disebut di atas, Elout khususnya dan petinggi Belanda pada umumnya melarang Raja Gedombang menjadikan tawanan perang (kaum Padri) sebagai budak (dan Raja Gedombang mematuhinya). Di samping  itu Raja Gedombang tewas sebelum niatnya bisa diwujudkan.

Pelarangan kepemilikan budak sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Belanda di daerah ini sejak tahun 1820. Ini berarti setahun setelah pemerintah mengambil alih daerah ini dari tangan Inggris. Pelarangan kepemilikan budak di Sumatra Barat adalah kelanjutan dari ide atau gagasan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa sejak tahun 1818.

Walaupun telah digagas untuk diterapkan tahun 1820, ternyata hingga tahun 1832 belum ada penguasa daerah yang betul-betul menjalankan kebijakan tersebut. Penguasa daerah nampaknya ogah-ogahan menerapkan kebijakan tersebut. hal ini, bisa jadi sebagai hasil lobby para pemilik budak. Barulah tahun 1832 munculnya perintah pembebasan budak dan itu dilakukan oleh Elout. Tahun 1832 kebijakan tersebut dilaksanakan karena adanya ‘niat baik’ sang residen untuk menghabiskan praktik perbudakan di daerah ini. Alasan lainnya dan ini adalah alasan yang ‘paling utama’, sebagaimana dikatakan Stuers, adalah perbudakan itu tidak sesuai dengan ‘semangat/jiwa Eropa’.

Selanjutnya, seperti yang dikatakan juga oleh Stuers, penghapusan perbudakan adalah satu cara penihilan pengaruh negatif Padri (Islam) di tengah masyarakat. Dikatakan bahwa perbudakan diperkenalkan oleh kaum Padri dan dikerjakan oleh orang Islam.

Dengan alasan itu pulalah, ketika memasuki Bonjol, Elout atas nama pemerintah Hindia Belanda membebaskan 2.000 orang budak yang ada di tangan kaum Padri Bonjol. Dan seperti yang telah disebut sebelumnya,  600 budak yang dibebaskan itu adalah milik Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda, 200 orang milik Khatib dan sisanya milik sejumlah tuanku lainnya.

Elout juga memerintahkan pembebasan sejumlah budak yang ada di tangan sejumlah tuanku yang ada di Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Bahkan Elout juga menyuruh bebaskan para budak yang dihadiahkan oleh Tuanku Imam Bonjol kepada Tuanku Alam dan Tuanku Nan Cerdik.

Pembebasan budak disambut hangat oleh petinggi masyarakat Mandahiling dan kaum penghulu. Namun pada saat yang bersamaan mereka juga kecewa dengan sikap pemerintah. Mereka kecewa karena mereka tidak bisa membalaskan dendam dengan menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Mereka kecewa karena pemerintah Belanda melarang mereka menjadi kaum Padri sebagai budak.

Walaupun demikian, seperti yang telah dikatakan di atas, di sejumlah nagari kaum penghulu dan tentara ninik mamak tetap saja menawan kaum Padri dan menjadikan mereka sebagai budak. Beberapa petinggi Belanda sesudah Elout seakan-akan membiarkan para penghulu menjadikan kaum Padri yang dikalahkan sebagai budak. Ini adalah bagian dari politik kolonial licik, yang akan menumbuhkan rasa dendam di kalangan kaum Padri dan kaum penghulu (adat). Dendam antara dua kelompok yang bersiteru ini tetap dipelihara oleh pejabat Belanda hingga perang usai. Bahkan setelah perang usai, kaum penghulu dibiarkan memelihara atau mempertahankan budak-budak mereka, hingga perbudakan dihapuskan dari Sumatra Barat (Minangkabau) pada tahun 1870-an.

III

Perang Padri tidak hanya berarti bagi kemunculan budak di kawasan darek (budak dari kaum Padri dan juga dari kalangan penghulu), tetapi juga bagi keberadaan budak di kawasan pesisir. Perang Padri telah memicu pertambahan budak di kawaasan pesisir. Tidak itu saja, Perang Padri telah menyebabkan meluaskan wilayah sebaran atau operasional budak pesisir. Pada masa Perang Padri, banyak budak yang sebelumnya menetap atau beroperasi di kawasan pesisir, mulai masuk ke pedalalaman.

Walaupun pertambahan, sebaran domisili dan wilayah operasi budak pesisir semakin meluas pada masa Perang Padri, namun yang jelas keberadaan mereka tidak ada hubungannya dengan kaum Padri atau kalangan penghulu. Mereka juga bukan tawanan atau diperbudak oleh kaum Padri atau kaum penghulu. Budak pesisir bukan dari etnik Minang dan bukan berurusan dengan orang Minang. Budak pesisir adalah orang Nias dan umumnya dimiliki oleh Christenen (orang Kristen/Eropa) dan Chinezen (orang Tionghoa).

Budak pesisir atau budak Nias telah ada di kawasan pesisir jauh sebelum Perang Padri meletus. Mereka datang atau dibawa dari Pulau Nias. VOC punya andil besar dalam mendatangkan budak Nias ke Pantai Barat (Padang). Di samping itu, peran saudagar Aceh dan Melayu juga tidak bisa dikatakan kecil dalam perdagangan budak Nias. Bahkan H.J. Domis mengatakan bahwa orang Aceh dan Melayulah yang memulai perdagangan budak Nias.

Pada hari-hari pertama Belanda menguasai Padang, penguasa kolonial sempat mendata jumlah budak Nias yang ada di kota tersebut. Jumlahnya sebanyak 1.861 orang. Dari sajian data ini bisa dikatakan bahwa semua orang Nias yang ada di Padang saat itu adalah budak. Seperti yang disebut di atas, semua budak ini dimiliki oleh orang Eropa dan Tionghoa.

Orang Minang yang tinggal di Padang tidak ada yang memiliki budak, baik budak Nias atau budak Melayu (Minang). Stuers menyebut bahwa orang Minang di Padang tidak mengenal budak. Kalau pun ada orang yang ‘terikat’ dengan orang kaya di Padang, maka mereka bukan termasuk kelas budak, tetapi pandelingen (orang beroetang). Jumlah pandelingen juga tidak begitu banyak, serta status dan perlakuan terhadap mereka juga jauh berbeda daripada budak. Mereka lebih bebas dalam beraktivitas (tentu dengan seizin tuannya).

Budak Nias sering digunakan untuk menghasilkan uang oleh tuannya. Mereka juga diperjualbelikan. Ketika Perang Padri mulai berkecamuk dan tentara Belanda mulai mengalami kekurangan tukang angkat barang ke daerah pedalaman, maka para pemilik budak di Padang menawarkan budak-budak mereka kepada pemerintah. Tentara Belanda yang kekurangan tenaga menerima tawaran tersebut dan sejak saat itu, sejak tahun 1822/1823 mulai banyak budak Nias yang masuk ke daerah pedalaman.

Tentara Belanda menyukai budak Nias karena mereka lebih patuh bila dibandingkan dengan kuli angkat Melayu (orang Minang). Budak Nias dikatakan tidak pernah melalaikan kewajibannya atau lari, namun kuli angkat orang Minang acap lalai, suka memeras, dan sering melarikan diri bila ada kesempatan untuk lai. Kolonel Nahuijs mengalami pengalaman seperti ini, sejumlah kuli angkat yang telah dibayarnya melarikan diri dan tidak ditemukan lagi saat dia datang ke tempat kuli angkat yang dia tinggalkan. Sehingga dia terpaksa menyewa kuli angkat yang lain, yang tahan harga, yang mengenakan harga yang tinggi kepada Nahuijs karena meminta tenaganya dalam waktu yang mendesak.

Di samping ke arah pedalaman, budak Nias juga menyebar ke kota pantai lainnya di pesisir barat Sumatra Barat. Salah satu di antaranya ke Pariaman. Penyebaran ke kota yang berlokasi di utara Padang ini ada hubungannya dengan keberadaan orang Tionghoa di kota tersebut. Orang atau saudagar Tionghoa tersebutlah yang membawa mereka pertama kali ke sana.

Seperti yang telah disebut bagian terdahulu, seiring dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk ingin menghapuskan keberadaan budak, maka selama Perang Padri kita saksikan pula adanya sejumlah kebijakan untuk menghapuskan keberadaan budak di Sumatra Barat. Kebijakan ini terutama sekali diterapkan pada budak Nias. Kebijakan itu misalnya terlihat dari adanya pelarangan pemakaian budak Nias sebagai pembawa barang pasukan Belanda, dan program pemulangan budak Nias ke kampung asalnya. Namun, kebijakan ini nampaknya tidak berhasil. Budak Nias masih dipakai sebagai kuli angkut dan budak-budak yang dipulangkan ternyata kemudian kembali lagi ke Padang, atau dikembalikan oleh pedagang budak ke Padang. Sebagaimana disajikan dalam artikel yang berjudul “Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar” (1854), hingga berakhirnya Perang Padri atau bahkan hingga tahun 1850-an, budak Nias masih merupakan salah satu komoditas perdagangan di Pantai Barat Sumatra. Di samping ke Padang, beberapa tulisan lain juga menyebut mengenai perdagangan budak Nias ke Aceh, ke Tanah Semenanjung Malaysia, dan juga Batavia.

Sama dengan yang dialami oleh budak Minang, penghapusan status budak bagi orang Nias baru terjadi tahun 1870-an. Momen itu terjadi seiring dengan diperlakukan Undang-undang Penghapusan Perbudakan di Hindia Belanda, sebagaimana yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1859, No. 46 dan 47. Walaupun dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1860, namun Undang-undang tersebut baru mulai direalisasikan di Sumatra Barat tahun 1870-an. Sejak saat itu dilakukanlah pembebasan para budak dan juga orang berhutang, serta kemanakan di bawah lutuik, yang umumnya dimiiki orang Minang keturunan non-Padri di sejumlah daerah di darek, serta pembebasan sejumlah budak Nias di koa Padang dan Pariaman. Sejak waktu tersebut, secara resmi berakhirlah keberadaan budak, baik budak Minang, budak Mandahiling (Batak) atau budak Nias di Sumatra Barat. Sejak saat itu berakhir pulalah salah satu warisan, salah satu ‘legacy’ Perang Padri di Sumatra Barat (Minangkabau).

Sumber:

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh, London: William Blackwood, T. Cadel, 1826.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Domis, “Het Eiland Nias” dalam J. Olivier Jz.,  De Oosteerling, Tijdschrift Bij Uitsluiting Toegewijd Aan de Verbreiding der Kennis van oost-Indie, 2de Deel, no. 1, 1835.

Kerckhoff, Ch. E.P. van, “Eenige Mededelingen en Opmerkingen Betreffende de Slavernij in Nederlandsch-Indie en Hare Afschaffing” dalam Indische Gids, 13, 1891.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Pistorius, Verkerk, “Iets Over de Slaven en de Afstammelingen van Slaven in den Padangsche Bovenlanden” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 16, 1868.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

“Twee Togten Naar Nias, en Een Blik op den Slavenhandel en den Uitvoer van Pandelingen Aldaar”, dalam TNI, 16, 1854.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Para Pengkhianat Pada Masa Perang Padri

Apakah Puan dan Tuan menganggap bahwa kaum Padri semuanya adalah orang-orang yang setia dan istiqamah berperang untuk mewujudkan cita-cita mereka? Kalau jawaban Puan dan Tuan ‘ya’, maka jawaban Puan dan Tuan itu salah. Banyak tokoh Padri yang juga menjadi pengkhianat. Di sisi lain, kalau Puan dan Tuan menganggap bahwa kolonialis Belanda berperang dengan sungguh-sungguh demi mencapai ambisi dan birahi kekuasannnya, maka Puan dan Tuan benar. Sebagai kolonialis, demi mencapai tujuannya Belanda menghalalkan segala macam cara. Berkata bohong, mengingkari janji yang telah dibuat, dan mengkhianati kawan yang sebelumnya mendukung mereka adalah hal yang sangat lumrah bagi Belanda. Semua itu tidak dilakukannya sekali saja, tetapi berkali-kali.

Berdasarkan realitas sejarah tersebut, di samping diisi oleh berbagai peristiwa yang menampilkan keharmonisan dan kerja sama yang erat, Perang Padri sesungguhnya juga sarat dengan aksi-aksi munafik dari para pengkhianat, dan itu dilakukan oleh pihak Padri dan juga Belanda.

Keberadaan dan pengalaman para pengkhianat pada masa Perang Padri relatif belum diungkapkan selama ini. Kalaupun ada beberapa tulisan yang menyajikannya, maka sajiannya relatif terbatas dan bersifat desriptif naratif saja. Padahal, tidak diragukan lagi, aksi-aksi para pengkhianat itu sangat besar artinya, bahkan bisa dikatakan, aksi-aksi mereka itu mampu mengubah jalannya jalan sejarah. Di samping itu, aksi-aksi tersebut sangat kompleks sifatnya. Aksi-aksi itu tidak bisa dilihat sebagai aksi personal dari si pengkhianat semata, tetapi juga sarat dengan aspek dan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan tentu saja politik daerah yang melingkupi sang pengkhianat secara keseluruhan.

Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan dinamika sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri dari perspektif yang relatif berbeda dari yang dikemukakan sebelum ini. Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Siapa para pengkhianat tersebut? Siapa yang mereka khianati? Bagaimana aksi pengkhianatan yang mereka lakukan? Mengapa mereka berkianat? Sejauh mana pengkhianatan tersebut memberi dampak terhadap kelompok yang dikhianati atau menguntungkan pihak lawan?

II

Secara umum, pengkhianat diartikan sebagai seseorang yang tidak setia kepada kawan, kelompok, dan bangsa. Namun, kadang-kadang, defenisi kata pengkhianat itu ditambah juga dengan pernyataan “…, serta mengalihkan kesetiaan dan dukungannya kepada kelompok lain yang sebelumnya dianggap sebagai musuh”.

Karena melibatkan kaum Paderi dan Belanda maka ada dua kelompok pengkhianat pada masa Perang Padri: pertama, pengkhianat dari kelompok Padri dan kedua pengkhianat dari kelompok Belanda.

Pengkhianat dari kalangan Padri adalah Urang Awak. Pengkhianat dari kalangan Belanda lebih beragam bangsa  dan etnisnya. Pertama tentu saja orang Belanda itu sendiri, kedua orang Minang yang bekerja sama dengan Belanda, dan ketiga, orang-orang dari suku bangsa lain yang menjadi bagian dari hulptroepen (tentang bantuan Belanda).

Bila dicermati dengan saksama, maka para pengkhianat dari kalangan Padri bisa dibagi menjadi tiga kelompok utama:

Pertama, tokoh Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah para petinggi Padri yang berasal dari kalangan ulama (tuanku), memiliki ideologi Padri dan memperjuangkan implementasi ideologi tersebut, telah terlibat dalam perjuangan menggasak kaum non-Padri serta Belanda dalam waktu yang lama (sejak awal gerakan), bahkan memiliki peran yang penting (seperti panglima perang) dalam berbagai aksi fisik kaum Padri. Mereka tinggal di pusat-pusat pemukiman dan aksi Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah Tuanku Mudo, tangan kanan dan panglima perang Tuanku Imam Bonjol (Bonjol) dan Intan Bekati, Tuanku Halaban (Halaban), Tuanku Alam dan sejumlah tuanku lainnya.

Kedua, pendukung Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai peran penting dalam memberikan ‘support’ pada perjuangan atau aksi Padri. Peran mereka umumnya pemberi dukungan logistik dan material. Dengan kata lain mereka kurang atau tidak terlibat secara langsung dalam aksi fisik (militer) melawan Belanda. Kelompok pendukung Padri ini umumnya terdiri dari para saudagar (saudagar Padri). Mereka tidak berdomisili dan tidak tinggal di pusat pemukiman kaum Padri, melainkan tinggal di kawasan ‘pinggiran’, di mana mereka lebih leluasa beraktivitas (berniaga), serta lebih leluasa menjalin hubungan dan kontak dagang dengan dunia luar. Kalau pun mereka bergabung dengan dan mendatangi pusat pemukiman kaum Padri, maka itu dalam waktu yang sebentar atau bukan untuk alasan berjuang secara fisik bersama kaum Padri. Misalnya karena alasan untuk menyelamatkan diri (dalam waktu yang singkat) dari serangan musuh. Bila keadaan telah aman, mereka akan kembali ke tempat mereka beraktivitas. Dua dari sekian banyak wakil pendukung Padri ini adalah Peto Magek dan Tuanku Nan Cerdik.

Ketiga, pengikut Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah kaum ulama, namun bukan pengikut fanatik paham Padri, mereka bahkan mengkritisi ajaran Padri. Sayangnya, demi alasan keselamatan diri, mereka tidak secara terang-terangan menampilkan sikap kritis tersebut. Bisa dikatakan mereka adalah pembaharu (kaum Muda) di kalangan Padri. Banyak dari mereka termasuk ‘ulama modern’, dalam artian memiliki pemahaman akan ajaran Islam yang relatif berbeda dengan tokoh Padri ‘konvensional’, yang menerima ajaran Padri sebagai disampaikan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19. Kelompok pengikut Padri ini umumnya bergelar haji, karena mereka telah menunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima. Mereka telah mendapat pemahaman akan ajaran Islam langsung dari ‘sumbernya’ di Mekkah dan Medinah pada kurun waktu yang berbeda pemahaman Islam dan semangat zamannya dari era Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Dua dari sekian banyak pengikut Padri ini adalah Haji Ibrahim dan Tuanku Haji Nan Garang.

Pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul sejak awal tahun 1830-an. Ini berarti sekitar 10 tahun sejak perang berkecamuk atau tiga 30 tahun sejak paham (ideologi) Padri mulai diperkenalkan.

Bila dilihat dari perspektif durasi perang, para pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul pada periode mulai ‘lelahnya’ pihak yang berperang. Setelah berperang sekitar 10 tahun kelelahan mulai hadir di kalangan Padri. Mereka lelah karena banyak energi yang terkuras, cadangan makanan mulai berkurang, senjata dan amunisi yang semakin sedikit, kawan seperjuangan banyak yang meninggal,  dan ‘akhir’ perang masih belum jelas. Dalam suasana seperti ini, bagi yang lemah fisik atau lemah ‘iman’, meninggalkan perang atau menyeberang ke kelompok lawan yang dirasa akan menang adalah jalan terbaik. Di sinilah lahirnya pengkhianat di kalangan Padri.

Bila dilihat dari perspektif ideologi, para pengkhianat umumnya muncul pada saat perlu diadakannya evaluasi terhadap sebuah faham. Evaluasi terhadap sebuah ideologi atau faham cenderung dilakukan setelah 25 s.d. 30 tahun sejak ideologi atau faham tersebut diperkenalkan. Evaluasi terhadap paham itu sering diikuti oleh adanya diskursus intelektual di kalangan penganut ideologi atau bahkan kegaduhan pisik sebagai kelanjutan dari perdebatan pemikiran itu. Lahirnya pengkhianat adalah juga bagian dari proses evaluasi itu. Mereka hadir karena harapan atau janji eskatologis dari ideolgi yang dianut tidak juga terwujud.

Bila dilihat dari jarak waktu, maka bisa dikatakan bahwa munculnya para pengkhianat di kalangan Padri cocok dengan uraian di atas, yakni sekitar 25-30 tahun sejak ajaran Padri pertama kali diperkenalkan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19.

Evaluasi terhadap ajaran Padri diawali oleh Tuanku Imam Bonjol. Seperti dinyatakan dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjollah yang menyampaikan gagasan untuk mengevaluasi paham yang mereka amalkan selama ini. Gagasan Tuanku Imam disetujui oleh tokoh-tokoh utama Padri, seperti Tuanku Mudo, Tuanku Kadi Besar, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Proses evaluasi dilakukan dengan mengirim anak-kemenakan mereka ke Mekkah ‘untuk mencari hukum kitabullah nan adil’. Sekembali dari Mekkah (1829/1830), anak-kemenakan mereka tersebut mengatakan bahwa aksi-aksi kekerasan dalam menyebarkan (dakwah) Islam tidak diamalkan lagi di Tanah Suci. Sejak itulah terjadi perubahan yang besar dalam aksi dan dakwah kaum Padri.

Segera setelah itu, Tuanku Imam Bonjol melarang aksi-aksi kekerasan dalam dakwah. Dia menegaskan agar barang-barang rampasan harus dikembalikan, penjagaan dan keamaman nagari (berhadapan dengan Belanda) diserahkan kepada para basa, penghulu dan raja. Selanjutnya Tuanku Imam mengatakan dia ‘tinggal dituahnya saja’, akan fokus pada soal agama (di surau).

Catatan sejarah menyajikan, selepas pernyataan Tuanku Imam itulah sesungguhnya muncul para pengkhianat di kalangan Padri. Jadi pengkhianat muncul etelah evaluasi ideologi diadakan.

Di samping faktor internal, munculnya para pengkhianat di kalangan Padri juga disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor luar yang dimaksud adalah semakin intensifnya serangan Belanda. Sejak usainya perlawanan Pangeran Diponegoro (1830), Belanda memokuskan upayanya untuk mengakhiri perlawanan kaum Padri. Jumlah tentara yang diterjunkan ke medan tempur Sumatra Barat semakin banyak, dan komandan tempur yang dikirim ke Sumatra Barat saat itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk ‘memenangkan perang’.

Intensifnya serangan Belanda membuat sebagian kaum Padri mulai berpaling dan kemudian mengkhianati kawan seperjuangannya.

Pengkhianatan pertama dikalangan Padri dilakukan oleh tokoh Padri (ulama konvensional). Tidak tanggung-tanggung pengkhianat pertama itu adalah Tuanku Mudo, panglima perang Padri dan tangan kanan Tuanku Imam Bonjol. Pengkhianatannya diwujudkan dengan menjadi kaki tangan Belanda (diangkat menjadi Regen Bonjol). Segera setelah menjadi kaki tangan Belanda, Tuanku Mudo membuktikan kepatuhannya pada ‘tuannya’ yang baru, yakni dengan menyerang Sundatar dan Rao. Sundatar dan Rao sebelumnya adalah basis Padri dan pendukung utama Padri. Di samping itu Tuanku Mudo juga membiarkan Belanda menduduki Bonjol dan mengizinkan sejumlah aksi Belanda di wilayahnya.

Tokoh Padri berikutnya yang menjadi pengkhianat adalah Tuanku Halaban (diangkat menjadi Regen Halaban). Sama dengan Tuanku Mudo, segera setelah menjadi kaki tangan Belanda Regen Halaban ini aktif memerangi kaum Padri Limaupuluh Kota dan juga di kawasan Agam dan Tanah Datar.

Sebagai pejabat bumiputra (Inlandsche Hoofden) setingkat Regen mereka digaji f.250,- per bulan.

Hampir bersamaan waktunya dengan pengkhianatan Tuanku Mudo dan Tuanku Halaban, juga terjadi pengkhianatan di kalangan pendukung Padri (saudagar). Sosok pendukung Padri yang pertama berkhianat adalah Peto Magek. Peto Magek adalah seorang pedagang besar (Padri) yang berdomisili di Katiagan. Katiagan adalah sebuah nagari yang terletak di kawasan pantai Pasaman, di utara Padang. Hingga awal tahun 1930-an kekuasaan Belanda belum begitu utuh di sana. Peto magek aktif berdagang dengan saudagar Aceh yang saat itu masih leluasa mendatangi kawasan pesisir di utara Sumatra Barat. Peto Magek menjual berbagai komoditas niaga yang dihasilkan daerah pedalaman kepada saudagar Aceh yang datang ke daerahnya serta menjadi pembeli barang-barang dagang yang dimasukkan saudagar Aceh ke daerahnya, dan kemudian mengirimnya ke daerah pedalaman (Bonjol, Lubuk Sikaping dan Rao), ke daerah Padri.

Kegiatannya ini sangat membantu kaum Padri, namun pada saat yang bersamaan membuat Belanda marah besar. Belanda marah, karena Peto Magek membantu kaum Padri dan merugikan Belanda (seretnya aktivitas niaga Belanda).

Belanda menyerang Peto Magek dan perkampungan pusat niaganya. Sang saudagar Padri tersebut kalah dan melarikan diri ke kawasan Padri. Namun beberapa waktu kemudian Peto Magek sudah bergabung dengan Belanda. Di samping adanya peran iparnya yang mengajaknya untuk meninggalkan Padri, ‘darah dagang yang mengalir dalam tubuhnya’ dikatakan sebagai salah satu alasan dia memilih bergabung dengan Belanda. Bergabung dengan Belanda memberi kesempatan kepada untuk tetap aktif dan mendapat perlindungan dari penguasa dalam dunia niaga. Setelah bergabung dengan Belanda, Peto Magek sering membantu Belanda saat kolonialis itu terdesak oleh kaum Padri.

Satu lagi pendukung Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda adalah Tuanku Nan Cerdik. Tuanku Nan Cerdik adalah juga seorang saudagar besar yang aktif berniaga di kawasan sebelah utara Pariaman. Sama dengan Katiagan, hingga saat itu, kekuasaan Belanda belum begitu utuh di kawasan tersebut, sehingga memungkinkan dia dan saudagar asing aktif berdagang di sana. Kampung halamannya adalah Naras. Di nagari itulah Tuanku Nan Cerdik aktif berdagang, memasukkan berbagai barang dagang dari luar untuk selanjutnya diperdagangtkan pula di daerah pedalaman dan memperdagangkan berbagai barang dagangan yang dibawa dari darek dengan saudagar asing.

Aktivitas dagangnya ini membuat Belanda marah. Kegiatannya jelas membantu Padri dan merugikan Belanda.

Di samping aktif berniaga, konflik internal tingkat nagari atau rivalitas dengan tokoh lain di nagarinya yang mendukung Belanda juga membuat Tuanku Nan Cerdik dibenci Belanda. Faktor-faktor itulah yang akhirnya membuat Belanda menyerangnya.

Tidak mudah menaklukan Tuanku nan Cerdik. Sang Tuanku memberikan perlawanan yang gigih dan memakai taktik perlawanan yang jitu (bahkan sempat pula bergabung dengan kekuatan Padri di Bonjol). Namun akhirnya Tuanku Nan Cerdik takluk dan menerah kepada Belanda. Oleh Belanda dia tidak dihukum atau dipenjara, bahkan ‘diapresiasi’ sehingga membuatnya mendukung Belanda. Setelah bergabung dengan Belanda dia kemudian dianugerahi beberapa fasilitas, termasuk diberi gelar ‘Raja Bicara’ dan gaji f.100 per bulan.

Sebagai pendukung Belanda, Tuanku Nan Cerdik banyak membantu ‘tuannya’. Dari dia Belanda mendapat banyak keterangan tentang Bonjol dan kekuatan serta kelamahan Padri. Berkat bantuannyalah berbagai operasi Belanda di kawasan Pariaman utara, Tiku, hingga Agam barat laut, dan tentu saja Bonjol lebih mudah dilakukan.

Sayangnya, seperti yang akan dibicarakan nanti, dia kemudian dikhianati pula oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik adalah salah satu contoh pengkhianat yang kena khianat dalam sejarah Perang Padri.

Sesungguhnya pengkhianat dari kelompok pengikut Padri (ulama muda atau haji) telah muncul beberapa waktu sebelum tampilnya pengkhianat dari kalangan tokoh (ulama konvensional) dan pendukung Padri (saudagar). Namun karena ‘greget’ dari pengkhianatan mereka tidak kuat maka pengkhianatan mereka itu kurang nampak. Pengkhianatan dari kelompok pendukung Padri muncul lebih awal dari atau pada saat bersamaan dengan kembalinya anak-kemenakan tokoh Padri dari Mekkah. Hal ini disebabkan oleh karena mereka adalah juga orang-orang yang juga pergi ke Mekkah dan mendapat kesan tentang ‘damainya’ Islam di Tanah Suci (seperti yang didapat anak-kemenakan tokoh Padri).

Pengkhianatan pengikut Padri adalah pengkianatan kaum cendekiawan. Mereka adalah para haji yang mendapat pengetahuan keislaman dari sumbernya di Tanah Suci. Pengkhianatan mereka dilakukan dengan cara menjauh atau tidak mendukung dari aksi-aksi kekerasan tokoh Padri. Sikap ini terutama dilakukan secara personal, namun juga disampaikan kepada kawan dan sahabat yang sejalan dengan ide mereka. Walau pun tidak menyebut jumlah, Kielstra mengatakan pengaruh pengkhianatan pengikut Padri ini cukup besar dan pendukungnya cukup banyak. Pengkhianatan mereka juga diwujudkan melalui aksi berhubungan dengan pejabat Belanda. Mereka berkorespondesi dengan Mac Gilavry, Resident van Padang en Onderhoorigheden. Gilavry memuji-muji sikap dan pemahaman mereka (yang moderat) terhadap Islam. Mereka merespon pujian dan tawaran kerja sama yang dikemukakan Gilavry dengan jalan meminta dukungan finansial. Permohonan yang tidak dipenuhi Gilavry, namun ideologis, Belanda telah menang, karena berhasil menjaga kaum muda dan para haji muda itu tetap berjarak dari tokoh Padri. Pengkhianatan kaum intelektual umumnya buka melalui aksi fisik.

Gilavry bisa dikatakan sebagai tokoh Belanda yang pertama yang berhasil menggiring kaum muda (haji) menjadi pengkhianat. Korespondensi yang dilakukan dan puji-pujian yang disampaikan serta ajakan untuk ‘bekerja sama’ adalah sebagian dari mantra yang disampaikan Gilavry dalam upaya menarik pengikut Padri menjadi pengkhianat.

Di samping Gilavry, tokoh Belanda yang paling berhasil menghadirkan pengkhianat Padri adalah Elout. Eloutlah yang menjinakkan Tuanku Mudo, Tuanku Halaban, Peto Magek, Tuanku Nan Cerdik dan banyak lagi tuanku-tuanku Padri lainnya. Eloutlah yang menjadikan mereka pendukung Belanda dan kemudian mengajak mereka memerangi kaum Padri. Iming-iming jabatan (sebagai Regen, Tuanku Laras), gelar, tidak menyebut-nyebut atau mengungkit-ngungkit ‘dosa’ mereka terhadap Belanda di masa lalu, serta gaji yang besar adalah bagian dari strategi yang dijalankan Elout untuk membuat tokoh-tokoh kunci kaum Padri mengkhianati kawan dan perjuangannya.

Pengkhianatan orang-orang hebat Padri dalam jumlah yang cukup banyak tidak serta-merta berdampak negatif pada perlawanan kaum Padri menentang Belanda. Bahkan pada saat yang bersamaan dengan terjadinya pengkhianatan massal tokoh kunci Padri tersebut terjadi perlawanan serentak orang Minang terhadap Belanda (awal 1833). Dan dalam kenyataannya, dibutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat atau lima tahun lagi, oleh Belanda sehingga kolonialis itu mampu mengalahkan Padri (merebut Bonjol dan menawan Tuanku Imam). Dengan kata lain, pengkhianatan yang dilakukan oleh para panglima atau tokoh Padri relatif tidak banyak artinya bagi perlawanan kaum Padri. Kenyataan ini pulalah yang kemudian menyebabkan Belanda mengkhianati pula tokoh-tokoh Padri yang berkhianat tersebut.

III

Para pengkhianat pada kelompok Belanda terdiri dari orang Belanda, orang-orang Minang pendukung Belanda, dan tentara non-Minang (Hulptroepen). Pengkhianat dari kalangan Belanda adalah para pejabat sipil dan militer setingkat residen dan gubernur. Stuers, Elout dan Micheals adalah tiga pejabat yang bisa dikatakan sebagai ‘bapak’ pengkhianat Belanda dalam sejarah Perang Padri. Melihat dari kurun waktu kekuasaan mereka, maka bisa dikatakan bahwa pengkhianatan dilakukan sekitar empat atau lima tahun setelah Belanda terlibat dalam Perang Padri dan tetap berlanjut hingga akhir perang secara keseluruhan. Bahkan, bila dikaitkan dengan keberadaan pemerintahan Belanda di Sumatra Barat, maka pengkhianatan itu tetap dilakukan hingga beberapa dasawarsa setelah Perang Padri usai.

H.J.J.L. de Stuers, C.P.J. Elout, dan A.V. Michiels

Bila dibandingkan dari kesemua tokoh tersebut, maka Elout adalah pengkhianat tulen, bapaknya dari ‘bapak’ pengkhianat Belanda. Dialah yang paling banyak mengkhianati ‘kawannya’.

Ada tiga aksi pengkhianatan yang mereka lakukan. Pertama, mengkhianati orang-orang yang mendukung mereka sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Kedua, mengkhianati tokoh pengkhianat Padri atau mengkhianati orang Padri yang mendukung Belanda ketika perang telah berkecamuk. Ketiga, mengkhianati tokoh-tokoh Padri (orang Padri secara keseluruhan), dengan siapa mereka membuat berbagai perjanjian damai.

Pengkhianat pertama adalah Stuers dan dia mengkhianati orang Minang yang mendukung Belanda sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Pengkhianatan yang dilakukan adalah menurunkan jabatan Sutan Alam Bagagar Syah dari Hoofderegent van Minangkabau menjadi Regent van Minangkabau saja. Stuers juga meniadakan lagi Kerajaan Minangkabau dan raja Minangkabau, karena keberadaan dan posisinya telah digantikan oleh Hoofdafdeeling van Minangkabau serta Hoofdregent van Minangkabau. Mengaktualkan kembali Kerajaan dan Raja Minangkabau adalah salah satu yang dijanjikan sewaktu Belanda saat pertama mereka menjalin kerja sama dengan keluarga kerajaan.

Pengkhianatan Stuers terhadap Bagagar Syah dilakukan karena Belanda sudah ‘di atas angin’, bantuan Bagagar Syah tidak diperlukan lagi, dan Bagagar Syah sudah sangat tergantung padanya. Bagagar Syah diberi gaji yang besar dan keluarga kerajaan (Muning Syah serta Tuan Gadis diberi uang pensiun).

Seperti disebu di atas, Elout mengkhianati banyak ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah, Tuanku Nan Cerdik, Raja Buo, Tuanku Alam adalah beberapa ‘kawannya’ yang dikhianati. Berbeda dengan Stuers, pengkhiatanatan Elout betul-betul sadis. Tidak saja diturunkan dari jabatan, Elout bahkan memenjarakan (mengasingkan) ‘kawan-kawannya’ dan bahkan tega membunuh ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik dipenjarakan (diasingkan) ke Batavia dan Tuanku Alam dan Raja Buo dibunuh.

Pengkhianatan Elout betul-betul licik. Dia menuduh kawan-kawannya (khususnya Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik) mengkhianati Belanda, sebuah tuduhan yang kemudian tidak terbukti. Artinya, Elout hanya ingin menyingkirkan mereka. Mereka disingkirkan karena peran dan arti mereka relatif tidak ada bagi kampanye militer Belanda dan ekspansi politik/administratif kolonial di Sumatra Barat.

Seorang lagi ‘kawan’ yang dikhianati Elout adalah Sentot Ali Basya. Sentot, panglima perang Pangeran Diponegoro didatangkan dengan ratusan anak buahnya ke Sumatra Barat untuk memerangi kaum Padri. Namun kemudian dia dituduh berkhianat oleh Elout. Dia dituduh menjalin hubungan erat dengan orang Minang dan ingin mendepak Belanda dalam upaya menjadikan dirinya sebagai raja di Minangkabau. Elout melupakan jasa-jasa Sentot dan mengasingkannya ke Bengkulu.

Micheals adalah Gubernur Sipil dan Militer pertama Gouvernement van Sumatra’s Westkust yang dibentuk tahun 1837. Dia mempunyai tugas menuntaskan perlawanan Padri dan anasir-anasir yang mengganggu ketertiban dan keamanan (rust en orde) daerah. Karena itu dia melibas sebuah orang dan kelompok masyarakat yang dirasa mengganggu misi yang diembannya. Dalam kaitan dengan inilah dia mengkhianati Regen Batipuh yang sejak waktu yang lama sangat setia mendukung Belanda memerangi Padri. Sebagaimana banyak dikemukan oleh banyak penulis, atas jasa-jasanya Regen Batipuh yang mendapat banyak fasilitas dari Belanda, mulai dari gaji yang sangat besar (f.500,-), berbagai bintang dan penghargaan, hak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya, ide dan sarannya yang umumnya diiyakan pejabat Belanda, dan banyak kemudahan lainnya.

Seusai Perang Padri sang regen meminta fasilitas yang lebih lagi, salah satu di antaranya keinginan untuk menjadi Raja Minangkabau, sebuah posisi yang telah diidamkannya sejak masa sebelum Padri dikalahkan. Belanda tidak penah mau mengabulkan permintaannya ini. Akumulasi dari berbagai tuntunannya yang tidak dipenuhi oleh Belanda itulah akhirnya sang regen memberontak. Micheals bersikap tegas terhadapnya. Setelah berperang dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Regen Batipuh berhasil dikalahkan. Dia ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Keponakannya dan 60 orang pengikutnya yang lain juga ditangkap.

Sama dengan Elout, bila mengganggu kekuasaannya, Micheals melupakan jasa besar yang pernah diberikan ‘kawannya’.

Pengkhiatan terhadap tokoh (orang Minang secara keseluruahan) yang pernah membuat perjanjian damai dengan Belanda sesungguhnya telah dilakukan oleh Stuers. Ada banyak perjanjian yang dibuat Belanda dengan kaum Padri, hampir semua isi perjanjian itu dikhiatani. Dua dari sekian banyak perjanjian yag sangat nyata dikhianati adalah Perjanjian Masang dan Perjanjian Tuanku Keramat (dan Tuanku Saleh, Tuanku Di Bawah Tabing dan Datuk Ujung) dengan Stuers. Perjanjian-perjanjian yang salah satu isinya adalah saling tidak menyerang selalu dikhianati oleh Belanda. Isi perjanjian dengan segera dikhianati bila mereka merasa kuat dan Padri lemah.

Kolonialis Belanda memang dikenal sebagai bangsa yang paling suka membuat perjanjian dan sekaligus paling suka mengkhianati janji. Dalam konteks mengkhianati janji, kolonialis Belanda adalah juaranya.

IV

Pengkhianat dari kalangan tentara non-Minang (Hulptroepen) umumnya terdiri dari pasukan yang berasal dari suku Jawa dan Madura. Mereka mengkhianati Belanda (tuan besarnya). Mereka berkhianat kepada Belanda dan kemudian bersimpati atau bergabung dengan kaum Padri. Para pengkhianat dari kelompok ini umumnya ‘orang kecil’, dari kalangan ‘prajurit’.

Pengkhianatan mereka terhadap Belanda memberi arti yang besar bagi kaum Padri. Jumlah pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura ini tidak diketahui dengan pasti, tapi dari data-data yang disajikan Kielstra, jumlah anggota Hulptroepen yang desersi berkisar 5 s.d. 10 orang dalam setiap tahun laporan. Tuanku Imam Bonjol juga mengatakan bahwa beberapa orang Jawa (tentara Jawa) memberikan banyak informasi dan bantuan terhadapnya (kaum Padri). Tuanku Tambusai bahkan pernah mengatakan bahwa belasan tentara Jawa bergabung dengan pasukannya.

Kesamaan agama adalah latar belakang utama mau bergabungnya ‘tentara Madura’ dan ‘tentara Jawa’ dengan kaum Padri. Kielstra dan Lange mengatakan bahwa  Tuanku Tambusai menyebut-nyebut kesamaan agama mereka kepada tentara Madura dan Jawa saat mengajak mereka bergabung dengannya (dan meninggalkan Belanda). Penulis-penulis Belanda juga sering mengatakan bahwa kesamaan agama membuat tentara Madura dan Jawa merasa dekat dengan kaum Padri.

Pengkhianatan kalangan prajurit Madura dan Jawa ini diganjar dengan pemecatan dari kesatuan Hulptroepen. Dalam catatan dan buku-buku Belanda disebut disersi.

Tidak hanya dari kalangan prajurit, pengkhianat dari etnis Jawa juga terdiri dari petingginya. Bahkan pucuk pimpinan tertinggi mereka, Sentot Ali Basya juga bisa dikatakan sebagai pengkhianat terhadap Belanda. Namun, berbeda juga dengan pengertian umum tentang pengkhianat, maka pengkhianatan Sentot agak istimewa. Sentot mengkhianati Belanda bukan untuk bergabung dengan musuh Belanda (kaum Padri), tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri (dia ingin menjadi raja di Minangkabau). ‘Hukuman’ atas pengkhianatannya adalah dibuang ke Bengkulu. Elout yang menentukan hukuman tersebut.

Berbeda dengan Sentot, karena mereka telah bergabung dengan kaum Padri, maka ‘hukuman’ terhadap para pengkhianat dari kalangan prajurit Madura dan Jawa hanya sampai pada tingkat dipecat dari kesatuan Hulptroepen atau tuduhan disersi saja. Sangat sedikit atau hampir tidak ada dari mereka yang ditawan atau dipenjara. Mereka kemudian mendapat ‘rumah baru’ di pusat atau perkampungan Padri. Diperkirakan, mereka kemudian menjadi ‘sumando’ urang Awak.

V

Pengkhianat menjadi bagian dari Perang Padri. Ada pengkhianat dari kalangan Padri dan pengkhianat dari kalangan Belanda.

Sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri menyajikan data bahwa sesungguhnya pengkhianatan umumnya dilakukan oleh para petinggi Padri dan petinggi Belanda. Pengkhianatan merugikan kelompok yang dikhianati. Pengkhianatan umumnya ‘diganjar’ dengan berbagai kemudahan oleh pihak tempat pengkhianat bergabung.

‘Ganjaran’ yang diberikan Belanda umumnya sangat memuaskan, karena berupa jabatan tinggi, gaji (uang) yang banyak, dan berbagai fasilitas yang sesuai dengan kapasitas para pengkhianat sebagai orang penting.

Pengalaman sejarah juga mengatakan bahwa Belanda (pejabat Belanda) sesungguhnya adalah juga pengkhianat.

Karena pengkhianat bertemu dengan pengkhianat, maka pengkhianat yang lebih besar dan mempunyai kekuasaan (pejabat Belanda) umumnya mengkhianati pula para pengkhianat yang bergabung dengannya. Hampir semua pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda akhirnya dikhianati oleh Belanda. Sebagian dikhianati pada saat Perang Padri masih berlangsung, namun sebagian lainnya setelah perang usai. Tidak jarang, beberapa dekade setelah perang usai. Tuanku Nan Tinggi, Tuanku Lareh Sungaipuar misalnya dikhianati pemerintah jauh setelah perang usai.

Bila diperbandingkan, maka terlihat bahwa sangat banyak kaum Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda.  Seperti telah disebut di atas, umumnya pengkhianat Padri tersebut adalah orang-orang hebat dan punya pengaruh sosial, politik dan ekonomi yang besar. Sebaliknya, sangat sedikit kalangan Belanda yang bergabung dengan Padri. Dan dari yang sedikit itu, mereka bukan pula kalangan ‘orang besar’. Namun berbeda dengan pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda yang umumnya terlantar dan disia-siakan Belanda pada akhirnya, maka tentara Jawa dan Madura yang bergabung dengan Padri mendapat tempat dan penghargaan yang tinggi dari kaum Padri dan Urang Awak. Mereka diajak sama-sama memerangi kolonailis dan kemudian juga diterima menjadi ‘urang sumando’.

Bila dilihat dari perspektif historiografi nasional, maka pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura inilah yanglayak dinobatkan sebagai pahlawan. Mereka mengkhianati kolonialis dan bergabung dengan pejuang yang berperang melawan penjajah.

Masih banyak dinamika sejarah para pegkhianat ini yang masih belum terungkap, dan dinamika sejarahnya itu sangat menarik untuk dicermati. Apalagi gejala dan perilaku khianat ini tetap ada pada masa-masa sesudah Perang Padri bahkan – mungkin – sekarang. Untuk itu, untuk memahaminya secara lebih utuh, perlu pengetahuan dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keberadaan para pengkhianat di masa lampau. Bukankah masa kini dibentuk oleh masa lampau, dan sebagian persoalan masa kini bisa dicarikan jalan keluarnya dengan mengambil hikmah dari peristiwa di masa lampau? Karena itu sangat ditunggu adanya sejarawan atau peminat sejarah yang akan mengkaji dunia pengkhinat di daerah ini di masa lampau. Ditunggu.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Orang Tionghoa di Sumatra Barat Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti yang besar dalam proses penganekaragaman penduduk Sumatra Barat. Untuk mendukung aksi militernya, pemerintah Belanda membawa tentara reguler dan tentara bantuan (hulptropen), yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa ke Sumatra Barat. Selain bangsa Belanda, dalam jajaran tentara reguler juga ada orang Perancis dan Jerman, serta orang India dan Tionghoa. Pada jajaran hulptropen ada orang Jawa, Madura, Bugis, Ambon, dan Gorontalo. Pada masa sebelum perang, sebagian besar dari orang-orang ini belum pernah hadir di Sumatra Barat. Kalau pun pernah datang, seperti Bugis, jumlahnya relatif terbatas.

Perang Padri, tidak saja tercatat sebagai iven historis yang menghadirkan keberagaman bangsa/etnik bagi Sumatra Barat, tetapi juga memberi kesempatan kepada ‘orang asing’ tersebut masuk ke daerah pedalaman. 

Memang benar, hingga meletusnya Perang Padri, daerah pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau) masih merupakan terra incognita (daerah yang belum dikenal) bagi ‘orang asing’, khususnya bagi orang Eropa. Hingga meletusnya Perang Padri hanya dua kali daerah pedalaman dikunjungi orang Eropa. Pertama Thomas Dias yang mendatangi daerah pedalaman Minangkabau dari pantai timur (1684) dan Thomas Stamford Raffles yang didampingi istri dan beberapa kawan Eropanya yang memasuki daerah pedalaman dari pantai barat (1818).

Perang Padri mengubah semua itu. ‘Orang asing’ yang masa-masa sebelumnya hanya tinggal dan beraktivitas di kawasan pantai, maka sejak meletusnya Perang Padri, mereka dengan mudah dan leluasa bisa masuk ke daerah pedalaman. ‘Orang asing’ yang masuk ke pedalaman itu tidak hanya dari kalangan tentara, tetapi juga masyarakat sipil yang aktivitasnya nyaris tidak berhubungan dengan kampanye militer. Salah satu kelompok masyarakat yang dimaksud adalah orang Tionghoa.

Keberadaan dan dinamika sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa Perang Padri relatif belum dikaji oleh sejarawan atau ilmuwan sosial lainnya selama ini. Karena itu, walaupun dalam lingkup yang relatif terbatas, tulisan ini akan mencoba mengungkapkannya. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Berapa jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa-masa awal Perang Padri dan di mana konsentrasi pemukiman mereka? Bagaimana peran sosial, politik dan ekonomi mereka pada masa Perang Padri? Bagaimana hubungan mereka dengan penguasa kolonial dan bagaimana pula respon Urang Awak terhadap peran sosial-ekonomi orang Tionghoa, terutama di daerah pedalaman, selama Perang Padri?

II

Orang Tionghoa mulai hadir dan beraktivitas di Pantai Barat Sumatra sejak penghujung abad ke-16 dan mereka datang dari Banten. Kedatangan mereka tidak terlepas dari kegiatan perdagangan dan pela­yaran yang tengah tumbuh dan berkembang di kawasan barat Sumatra saat itu. Mereka datang untuk mencari lada dengan kapal-kapal mereka sendiri. Memasuki dekade ke-4 abad ke-17 mereka telah bermukim di kota Pariaman dan itu adalah pemukiman mereka yang pertama di kawasan ini. Pada perempat ketiga abad ke-17, ketika Belanda (VOC) menjadikan kota Padang sebagai pusat kegiatan politik dan ekonominya, orang Tionghoa juga menjadikan kota itu sebagai pusat pemukiman dan aktivitas niaga mereka. Pada abad ke-18 orang Tionghoa bisa ditemukan dan telah beraktivitas di banyak kota dagang Pantai Barat Sumatra.

Padang dan Pariaman adalah dua kota yang menjadi konsentrasi pemukiman dan aktivitas orang serta saudagar Tionghoa di Sumatra Barat.

Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat sebelum masa Perang Padri. Namun sebagaimana disebut E. Francis, tahun 1683 di Padang telah disetujui pengangkatan Letnan Cina, dan E. Netscher menyebut bahwa tahun 1781 di Padang telah ada Kapten Cina yang bernama Louw Tjoanko. Adanya Letnan dan Kapten Cina menunjukan terdapatnya konsentrasi pemukim Tionghoa dalam jumlah yang banyak di kota itu.

Hierarki jabatan ‘kepala’ kelompok masyarakat (penduduk) pada masa penjajahan sekaligus menggambarkan jumlah kelompok masyarakat yang bersangkutan. Penambahan jumlah penduduk senantiasa diikuti oleh pengangkatan ‘kepala’ yang baru serta pengakuan ‘kepala’ yang baru tersebut oleh pemerintah. Ketika jumlahnya relatif sedikit, pemerintah menetapkan (mengakui) jabatan ‘kepala’ cukup setingkat Letnan, namun ketika jumlah mereka semakin bertambah, ‘kepala’nya ditingkatkan menjadi Kapten. Bila jumlah semakin bertambah maka diangkat Mayor. Hingga akhir abad ke-18 jabatan ‘kepala’ tertinggi orang Tionghoa di Padang hanya setingkat Kapten (jabatan Mayor dicapai pada parohan kedua abad ke-19).

Tidak hanya jumlahnya yang banyak, orang Tionghoa juga memiliki peran sosial, ekonomi dan politik yang relatif besar. Dalam politik kolonialnya, Belanda menempatkan orang Tionghoa pada posisi kedua dalam struktur masyarakat tanah jajahannya. Posisi ini terlihat jelas dalam tata kota Padang. Pemukiman orang Tionghoa berada pada ‘lapisan kedua’ dalam tata ruang kota. Maksudnya, pemukiman orang Tionghoa berbatasan langsung dengan pemukiman orang Belanda (Eropa) yang berada di pusat kota.

Orang Tionghoa di Padang dan Pariaman khususnya aktif dalam dunia niaga, dan mereka menjadi mitra bisnis utama VOC. Di Padang mereka berperan sebagai pemegang hak penarikan pajak pelabuhan, dan perdagangan beberapa komoditas niaga. Hak ini didapat dengan cara memenangkan lelang yang dilakukan kompeni.

Orang Tionghoa di Padang juga memiliki peran politik yang kuat. Salah satu peran politik yang mereka mainkan dicatat oleh Netscher. Pada saat Padang akan diserang Inggris (1781), Kapten Cina mengirim surat kepada Gubernur Jendral di Batavia yang isinya meminta Gubernur Jendral agar mengirim sebuah kapal ke Padang untuk membawa warga Eropa dan Tionghoa Padang ke Batavia. Sayangnya, Batavia tidak bisa memenuhi permintaan itu, sehingga orang Eropa dan Tionghoa Padang beserta semua warga kota lainnya takluk pada Inggris. Peran politik yang mereka mainkan juga terlihat saat mana mereka bersama-sama dengan orang Eropa berupaya sekuat tenaga mempertahankan (membela) Padang dari serangan Inggris.

Pada masa pemerintahan pendudukan Inggris (1781) hingga berkuasanya Belanda kembali tahun 1819 orang Tionghoa Padang relatif tidak punya peran sosial, politik, dan ekonomi yang penting. Bahkan ketika François Le Mėme, bajak laut Perancis menguasai Padang untuk beberapa hari, orang Tionghoa termasuk kelompok masyarakat yang mendapat perlakuan buruk. Harta kekayaan mereka sebanyak 25.000 rijksdaalders (ringgit) dikuras habis dan banyak dari mereka melarikan diri ke arah mudik (pedalaman). Rumah-rumah yang ditinggalkan banyak yang dibakar. Bahkan ada dari mereka yang dibunuh, salah seorang di antaranya adalah ‘pembantu’ Kapten Cina yang digantung di pintu rumah sang Kapten.

III

Seiring dengan berkuasanya Belanda kembali (1819) muncul pula informasi tentang keberadaan orang Tionghoa di Padang khususnya dan Sumatra Barat pada umumnya. Saat itu mulai ada data tentang jumlah mereka. Stuers menyebut bahwa hari-hari pertama berkuasanya Belanda, jumlah orang Tionghoa di Padang sebanyak 200 orang. Sebagai perbandingan, jumlah orang Eropa sebanyak 150 orang (yang terdiri pegawai dan tentara Belanda serta mantan pegawai VOC, orang Inggris, dan ‘orang Indo’ hasil perkawinan perempuan bumiputera dengan orang Eropa), 200 orang India (Bengalezen), 7.000 orang Melayu (Minangkabau) dan 1.500 orang Nias.

Disebutkan juga bahwa pemukiman orang Tionghoa berada di pinggir sungai (Batang Arau) dan dekat dengan rumah atau gedung-gedung utama pemerintah. Orang Tionghoa di Padang memiliki rumah dan tanah yang luas. Rumah mereka umumnya ‘sederhana’. ‘Sederhana’nya rumah mereka adalah sebuah realitas daerah. Seperti disebut Nahuijs, pada saat dia berkunjung ke Padang (1824) tidak satu pun rumah yang bagus di kota itu. Jangankan rumah penduduk biasa, rumah dan kantor milik pemerintah saja berada dalam ‘kondisi yang menyedihkan’.

Sejak hadir pertama kali di kota Padang pada pertengahan abad ke-17, orang Tionghoa telah ‘mendapat’ tanah, di mana rumah mereka dibangun. Tanah-tanah tersebut umumnya mereka dapatkan dari ‘Panglima Padang’ (Urang Kaya Kecil). Sayangnya, seperti disebut Kielstra, tanah-tanah tersebut dikatakan tidak tercatat (teregister). Bukti yang dimiliki pemiliknya hanya berupa ‘surat jual beli’ dengan pemilik lama. Walaupun demikian, hampir semua tanah tersebut mendapat pengakuan dari pemerintah. Karena itulah, ketika  pajak bangunan diperkenalkan, rumah-rumah milik orang Tionghoa ini termasuk salah satu ‘objek pajak’ yang memberikan pemasukan cukup besar bagi pemerintah. Itu pulalah sebabnya, orang Tionghoa termasuk satu kelompok masyarakat yang relatif awal kena pajak di Sumatra Barat. Karena berada di pusat pemerintahan, mereka dapat dikatakan tidak bisa berkelit untuk tidak membayar pajak.

Di Padang ada sebuah Sekolah Melayu yang didirikan oleh seorang pendeta dari Ordo Lancaster berkebangsaan Inggris. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk menampung (mendidik) anak-anak Melayu, ‘anak Indo’, dan anak-anak Tionghoa. Dilaporkan bahwa yang rajin bersekolah adalah anak-anak Tionghoa, sedangkan anak-anak Melayu dan anak-anak Indo ‘tidak serius’. Secara pendidikan, anak-anak orang Tionghoa dikatakan jauh lebih hebat daripada ‘anak-anak Kristen’ (anak-anak Indo) dan anak-anak Melayu.

Nahuijs yang dalam bukunya mengungkapkan tata kota, lingkungan sosial serta dunia niaga dan politik kota Padang tahun 1824 menyebut adanya sejumlah saudagar Tionghoa di kota itu. Nahuijs menyebut bahwa mereka menjadi pachter candu serta aktif dalam dunia niaga pantai Barat, termasuk perniagaan dengan Batavia. Di samping aktif berdagang, Kielstra juga menyebut bahwa orang Tionghoa juga dipercaya pemerintah untuk menarik pajak (bangunan), dan pajak pasar, pajak sarang burung, dan bea pelabuhan. Salah satu saudagar besar Tionghoa di Padang saat itu dan sekaligus menjabat Kapten Cina adalah Lau Tiang King.

Pedagang Tionghoa memegang peranan yang penting dalam dunia niaga Pantai Barat saat itu. Pentingnya peran mereka sangat terlihat dalam perdagangan antarkota pantai, antara kota-kota pantai dengan pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Banyak, Pulau Batu, dan Nias), serta antara Padang dengan Batavia. Dilaporkan juga, walau pun tidak dilakukan secara reguler, mereka juga menjalin kontak dagang dengan Tanah Semenanjung (Pulau Penang). Peran ini bisa mereka lakoni karena mereka memiliki armada niaga (kapal dagang) yang bisa digunakan untuk pelayaran jarak jauh. Regeering Almanaak 1831, 1832, 1833 menginformasikan sejumlah saudagar Tionghoa sebagai pemilik kapal dagang yang ada di kota Padang. Sumber yang sama juga menginformasikan nama-nama kapal serta tonase kapal tersebut. Beberapa di antara pemilik kapal itu adalah Lim Piet dengan kapal jenis wankang bernama ‘Kim Banan’ dengan tonase 35 ton, Lim Tjioen dengan kapal jenis wankang bernama ‘Sen Singhang’ dengan tonase 128 ton, Kim Wattjouw dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Bin’ dengan tonase 30 ton, dan Kim Phokthaij dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Leksoeli’ dengan tonase 14 ton.

Di samping itu, laporan tahunan yang dibuat Stuers, serta tulisan-tulisan tentang Sumatra Barat pada masa Perang Padri juga menyebut adanya sejumlah perahu yang dimiliki orang Tionghoa di daerah ini. Perahu-perahu yang relatif kecil ini umumnya berlayar (berdagang) ke sejumlah negeri di utara Padang (Pariaman, Tiku, Katiagan, dan Air Bangis) dan ke sejumlah negeri di selatan Padang, seperti Salido, Pulau Cingkuak, Air Haji dan Indrapura. Kapal-kapal ini juga digunakan untuk berniaga ke pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Mentawai, Pulau Banyak, Pulau Batu, dan Pulau Nias).

Kesempatan menjadi penarik pajak pasar adalah momen historis yang sangat penting artinya bagi perluasan wilayah pengaruh (aktivitas) orang Tionghoa di Sumatra Barat. Menjadi penarik pajak pasar memberi kesempatan bagi orang Tionghoa untuk masuk ke daerah pedalaman. Hal ini disebabkan karena umumnya pasar-pasar yang akan dipajaki berada di daerah pedalaman. Sebagai telah disebut di atas, daerah pedalaman adalah daerah yang sebelumnya nyaris tidak pernah didatangi oleh orang Tionghoa pada masa sebelum Perang Padri.

Masuknya orang Tionghoa ke daerah pedalaman tidak hanya dilakoni oleh kalangan sipil (para penarik pajak), tetapi juga oleh kalangan militer. Boelhouwer menyebut bahwa ada sejumlah opsir Tionghoa dalam pasukan tentara Belanda yang ikut bertempur melawan kaum Padri di darek. Informasi Boelhouwer ini sangat penting artinya, karena setakat ini, hampir tidak ada tulisan yang mengungkapkan keterlibatan orang Tionghoa dalam kesatuan militer Belanda pada masa Perang Padri.

Di samping adanya sejumlah opsir yang menandai ikut-sertanya orang Tionghoa dalam aksi militer melawan kaum Padri, sesungguhnya pada saat itu juga ada sejumlah orang Tionghoa yang terlibat dalam korp keamanan. Sejak awal kekuasaannya, Belanda yang kekurangan sumber daya manusia dalam sektor keamanan warga (daerah) senantiasa berusaha melibat warga untuk ikut-serta menciptakan rust en orde (ketertiban dan keamanan). Pada awal tahun 1820-an misalnya orang Tionghoa dilibatkan dalam Burgerwacht (Satuan Pengamanan Kota). Pada tahun 1833 orang Tionghoa diikutsertakan dalam Korp Pengaman Kota yang dinamakan ‘Korp Cina’. Kesatuan ini terdiri dari sejumlah warga Tionghoa yang berbadan tegap (sehat) di bawah komando pimpinannya dan dengan senjatanya sendiri bertugas untuk menjaga ketertiban, mencegah kerusuhan (mendamaikan orang yang berkelahi), mencegah kebakaran atau ikut-serta memadamkan kebakaran, menjaga dan mengamankan kampung atau daerah tempat tinggal mereka. Mereka juga dibebani tugas mengamankan berbagai acara kegiatan sosial-keagamaan orang Tionghoa di Padang.

Altar Klenteng Tionghoa di Padang Akhir Abad ke-19

(Sumber: KITLV 3393)

Seperti disebut di atas, pimpinan tertinggi orang Tionghoa di Padang masa Perang Padri adalah setingkat Kapten (tidak berbeda dari kondisi terakhir era VOC). Salah satu Kapten Cina yang populer dan dekat hubungannya dengan pejabat Belanda saat itu adalah Lau Tiang King. Sang Kapten sering diundang dan ikut-serta dalam berbagai acara yang diadakan pejabat Belanda (Residen) di kota Padang.

Tidak hanya menjalin hubungan yang dekat dengan pejabat sipil atau militer Belanda, orang Tionghoa di Padang juga berhubungan akrab dengan NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij). NHM adalah sebuah perusahaan dagang Belanda yang didukung serta diberi banyak kemudahan oleh pemerintah dalam menjalankan bisnisnya. Beberapa tahun setelah perusahaan itu membuka keagenannya di Padang (1826), perusahan itu telah langsung akrab dengan saudagar Tionghoa dan menjadikannya sebagai salah satu mitra bisnisnya. Barang-barang yang didatangkan NHM dibeli dan kemudian didistribusikan oleh saudagar Tionghoa atau sebaliknya, sebagian barang yang akan dikirim keluar oleh NHM, didapatkan dari saudagar Tionghoa. Pada perkembangan selanjutnya, sejumlah saudagar Tionghoa juga tercatat sebagai ‘nasabah’ perusahaan itu, terutama sekali setelah perusahaan tersebut juga berperan sebagai lembaga perbankan. Mereka diberi modal (pinjaman) oleh NHM, namun sayangnya, banyak dari mereka yang gagal membayar hutang sehingga menyulitkan operasional NHM di kawasan tersebut.

Seperti telah disebut sebelumnya, orang Tionghoa tidak hanya bermukim dan beraktivitas di kota Padang. Mereka juga bermukim dan beraktivitas di Pariaman. Boelhouwer menyebut bahwa ada Kampung Cina di Pariaman, dan mereka adalah orang-orang yang rajin. Walaupun tidak disebutkan secara tegas tentang peran yang mereka mainkan, dari aktivitas yang dilakukan, misalnya “menjemur kopi di atas tikar di halaman rumahnya agar cepat kering” bisa dikatakan mereka adalah saudagar (pengumpul) kopi.

Tidak diketahui berapa jumlah orang Tionghoa di kota yang terletak di bagian utara Padang tersebut. Namun pada tahun 1836 dikatakan di sana adalah Letnan Cina.

Satu lagi informasi mengenai orang Tionghoa di Padang atau di Pariaman adalah mengenai kedekatan mereka dengan orang Nias. Stuers mengatakan bahwa sejumlah saudagar Tionghoa memiliki budak orang Nias. Sedangkan salah satu laporan pejabat NHM menyebut bahwa ada sejumlah orang Tionghoa yang memperistri orang Nias.

IV

Ada perbedaan respon yang berbeda antara orang Minang yang bermukim di daerah pesisir (Padang dan Pariaman) dengan yang tinggal di pedalaman terhadap orang Tionghoa. Urang Awak yang tinggal di Padang dan Pariaman nampaknya tidak mempersoalkan keberadaan dan peran sosial, politik, dan ekonomi yang dimainkan orang Tionghoa. Bahkan mereka tidak mempedulikan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah kepada orang Tionghoa (menjadi pachter atau penarik pajak) atau menjadi penjual candu. Kontak dan interaksi yang sudah lama menyebabkan cairnya hubungan di antara mereka.

Relatif tidak adanya respon negatif orang Minang yang tinggal di Padang atau Pariaman terhadap orang Tionghoa juga disebabkan oleh kuatnya posisi sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di kota-kota tersebut. Persatuan di antara mereka juga sangat kuat. Dalam hal ini, keberadaan ‘Burgerwacht’ dan ‘Korp Cina’ sangat penting artinya. Satuan ini akan melindungi komunitas Tionghoa dari setiap gangguan yang dilakukan kelompok masyarakat lain. Hal lain yang membuat minimnya respon negatif orang Minang di Padang dan Pariaman terhadap orang Tionghoa adalah adanya keberpihakan pemerintah terhadap mereka. Pembukaan Raad van Justitie (Pengadilan) di Padang tahun 1833 antara lain ditujukan untuk memberikan keadilan (perlindungan hukum) kepada orang Tionghoa, India, dan Eropa yang ‘dizalimi’ secara pidana atau perdata.

Berbeda dengan daerah pantai, Urang Awak di pedalaman memberi respon yang negatif terhadap kehadiran orang Tionghoa di negeri mereka. Dilaporkan bahwa berkali-kali penarik pajak (pasar) Tionghoa diserang oleh warga pedalaman. Berkali-kali mereka diburu oleh warga pedalaman sehingga lari terbirit-birit menyelamatkan diri ke rumah penghulu yang juga menjadi kaki tangan Belanda. Ada juga laporan tentang orang Tionghoa (penarik pajak) yang disamun (dirampok) di daerah pedalaman.

Respon negatif orang Minang di daerah pedalaman bisa dilihat dari dua sisi. Pertama mereka menyerang orang Tionghoa karena mereka tidak setuju terhadap pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Jadi, orang Tionghoa (pengumpul pajak Tionghoa) dalam hal ini hanya menjadi sasaran perlawanan terhadap kebijakan (pemerintah) Belanda semata. Dalam kasus ini, orang Tionghoa hanya menjadi tumbal kekesalan orang Minang terhadap pemerintah Belanda. Kedua, orang Minang memang tidak suka dengan orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda (menjadi penarik pajak) serta peran mereka sebagai penjual candu, suatu produk yang sangat ditentang oleh Padri. Karena ketidaksukaan itu mereka menyerang setiap orang Tionghoa penarik pajak atau yang mereka anggap sebagai wakil dari saudagar penjual candu.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, secara perlahan namun pasti, respon negatif tersebut mulai berkurang. Laporan pemerintah dan NHM mengatakan bahwa ada sejumlah pedagang pedalaman yang bekerja sama dengan saudagar Tionghoa di Padang. Mereka ‘mengambil barang’ pada saudagar Tionghoa di Padang dan menjual barang dagangan mereka kepada saudagar Tionghoa pula. Praktik ini semakin banyak terjadi pada tahun-tahun terakhir Perang Padri. Di Padang sendiri sejumlah saudagar Urang Awak bekerja sama dengan saudagar Tionghoa.

V

Perang Padri adalah salah iven historis terpenting dalam kaitannya dengan meluasnya sebaran pemukiman dan pengaruh jangkauan pengaruh sosial-ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat.

Selepas Perang Padri, seiring dengan munculnya pusat-pusat administrasi dan ekonomi di daerah pedalaman, semakin banyak orang Tionghoa yang menetap dan beraktivitas di darek. Perluasan wilayah pemukiman dan aktivitas niaga mereka ini mulai terlihat dengan nyata sejak tahun 1860-an, yakni seiring dengan mulai suksesnya Tanam Paksa Kopi dan bangkitnya ekonomi daerah pedalaman. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa orang Tionghoa bisa ditemukan di hampir semua kota penting di daerah pedalaman (dan pantai).

Sebagaimana di Padang, di kota-kota di daerah pedalaman atau di kawasan pantai orang Tionghoa tinggal mengelompok, umumnya di pusat kota, serta dekat gedung atau bangunan penting pemerintah. Sebagian pusat pemukiman mereka tersebut dinamakan Urang Awak dengan Kampuang Cino.

Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tidak ditemukan adanya catatan sejarah berkenaan dengan respon negatif, berupa penyerangan fisik terhadap orang Tionghoa, seperti yang terjadi pada masa Perang Padri, yang dilakukan Urang Awak.

Gaduh terhadap orang Tionghoa muncul lagi tahun 1944, saat mana adanya pembunuhan terhadap sejumlah orang Tionghoa di Pariaman. Dikatakan bahwa pembunuhan tersebut berhubungan erat dengan ulah beberapa orang di antara mereka yang diketahui menjadi mata-mata Jepang. Kemarahan terhadap ulah mata-mata itulah yang menyebabkan munculnya amuk massa terhadap orangTionghoa. Pembunuhan dan amuk massa tersebut menyebabkan eksodusnya orang Tionghoa dari kota itu, khususnya ke kota Padang.

Peristiwa itu menyebar luas ke seluruh Sumatra Barat sehingga banyak pula orang Tionghoa yang bermukim di kota-kota yang lebih kecil di Sumatra Barat juga pindah ke kota yang lebih besar, seperti Bukittinggi dan Padang.

Kegaduhan politik tahun 1950-an, seperti PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indoensia) dan gonjang-ganjing politik tahun 1960-an adalah iven historis lain yang juga menyebabkan semakin ditinggalkannya kota-kota, terutama di daerah pedalaman, oleh orang Tionghoa. Di samping itu, semakin lesunya ekonomi daerah semenjak tahun 1950-an, adalah faktor penting lain yang menyebabkan semakin terkonsentrasinya orang Tionghoa di kota yang (masih) penting dalam aktivitas ekonomi, yakni Padang dan Bukittinggi. Untuk masa yang akan datang, wallahu’alam.

Namun, di tengah naik-turunnya hubungan orang Awak dengan orang Tionghoa, ada yang menarik dari jalinan interaksi mereka. Orang Minang termasuk salah satu suku bangsa di Indoensia yang bisa dikatakan memiliki jiwa dagang yang nyaris setara dengan orang Tionghoa. Di samping itu, orang Tionghoa menjadi ‘role model’ dari suatu aktivitas yang menjadi ciri khas Urang Awak, yakni suka merantau. Bahkan salah satu dari sekian banyak jenis merantau dikaitkan dengan orang Tionghoa, yakni marantau cino (merantau meninggalkan kampung untuk waktu yang lama atau bahkan tidak pulang lagi ke kampung halamannya). Tidak itu saja, tambo, historiografi tradisional Minangkabau, menyebut Urang Awak berkerabat dengan orang Tionghoa. Tambo dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau (Sutan Maharaja) adalah saudara dari nenek moyang orang Tionghoa (Maharaja Dipang).

Sumber:

Almanak van Nederlandsch Indie voor het Jaar 1831-1833. Batavia: Land Drukkerij, 1831-1833.

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827

ARA NHM 9064;10, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1833/34

ARA NHM 9064; 15, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1838/39

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Pajak (Belasting) Pada Masa Perang Padri

Di tengah kecamuk Perang Padri, di tengah berbagai krisis dan wabah, pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak (belasting) kepada orang Minang. Seiring dengan perjalanan waktu, jenis pajak yang dikenakan semakin lama semakin beragam, dan orang yang kena pajak semakin lama semakin banyak. Urang Awak pendukung Belanda dalam memerangi kaum Padri juga ikut dipajaki. Namun yang lebih menyakitkan, di samping pemerintah, ada kelompok masyarakat tertentu yang diuntungkan dengan pengintroduksian pajak ini.

Pengenaan pajak yang makin lama semakin memberatkan, namun di sisi lain mendatangkan keuntungan kepada kelompok masyarakat tertentu, membuat sebagian besar warga masyarakat Sumatra Barat bereaksi, bahkan mereka memberontak. Aksi atau pemberontakan itu, walaupun untuk sementara, membuat pemerintah menarik kebijakannya memajaki rakyat. Nampaknya pemerintah perlu dilawan dulu baru mengubah kebijakannya.

Tulisan ini membicarakan berbagai jenis pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat pada masa Perang Padri, reaksi masyarakat terhadap pajak tersebut, serta respon pemerintah terhadap reaksi  masyarakat itu. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah: Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengenakan pajak terhadap warga Sumatra Barat? Apa saja jenis pajak yang dikenakan kepada warga daerah ini? Di samping pemerintah siapa lagi yang diuntungkan oleh pajak-pajak itu? Bagaimana reaksi rakyat terhadap pengenaan pajak dan bagaimana sikap pemerintah terhadap reaksi rakyat?

II

Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan pajak kepada masyarakat Minangkabau di daerah pedalaman tahun 1823. Itu berarti dua tahun setelah kolonialis itu menghajar kaum Padri dengan bantuan para pendukungnya, yang umumnya anak-kemanakan penghulu yang meminta bantuan Belanda di Padang. Pengenaan pajak tersebut diawali oleh usulan Du Puy sebagai Resident van Padang, yang diperkuat oleh komandan tentara daerah ini Letkol A.T. Raaff, kepada Gubernur Jendral. Duo petinggi sipil dan militer itu mengusulkan kepada Batavia agar mengenakan pajak terhadap warga keresidenan (termasuk warga Padang Hulu/Pedalaman), karena pajak akan dapat membantu keuangan pemerintah. Dikatakan juga bahwa pengenaan adalah bagian dari kewajiban warga kepada kerajaan (pemerintah). Di samping itu, juga dikemukakan keterangan yang pernah disampaikan oleh dua keturunan Raja Suraso, yang mengatakan bahwa mayoritas penghulu dan warga pedalaman mendukung kehadiran (kebijakan) Belanda.

Pengenaan pajak adalah salah satu dari sekian banyak usulan yang dikirim oleh Du Puy dan Raaff kepada Gubernur Jendaral. Satu lagi usulan yang sangat erat kaitannya dengan pengenaan pajak ini adalah usulan pembentukan (reorganisasi) pemerintahan daerah. Penataan pemerintahan daerah ini sangat penting artinya bagi pengenaan pajak, karena para pejabat yang diangkat itulah nantinya yang akan dijadikan sebagai ujung tombak pemungutan pajak.

Gubernur Jendral merespon usulan Du Puy dan Raaff dengan menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 4 November 1823. Dua dari sekian banyak isinya adalah disetujuinya pengenaan pajak dan penataan pemerintahan daerah.

Berkenaan dengan pengenaan pajak, Gubernur Jendral tidak serta-merta menerima usulan Du Puy dan Raaff. Namun dengan ‘penuh kebijaksanaan’ sang Gubernur Jendral hanya menyetujui pengenaan hoofdgeld (pajak kepala/pajak perseorangan) dan gebouwde eigendommen (pajak bangunan).

Gubernur Jendral mendasari keputusannya pada kenyataan sosial dan budaya daerah (Minang­kabau pedalaman khususnya), bahwa selama ini Urang Minang belum pernah mengenal dan dikenai pajak. Jadi untuk sementara, sebaiknya dikenakan saja ‘uang kepala’ dan ‘pajak bangunan’ kepada mereka. Anggaplah ini sebagai pengenalan pajak kepada mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa nanti, bila tiba masanya, akan dikenakan berbagai jenis pajak atau bea kepada rakyat.

Pajak perseorangan dikenakan sebesar f.1,- (satu gulden) per orang per tahun untuk orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan. Pajak bangunan dikenakan pajak paling tinggi f.6,- dan paling rendah f.1,- per tahun. Pajak dibayar dengan uang tunai atau hasil bumi atau lewat tenaga (untuk mengerjakan ‘proyek’ pemerintah, seperti pembuatan jalan, jembatan atau bangunan-bangunan lain milik pemerintah).

Pengenaan pajak seperti ini, untuk fase pengenalan, dirasa sudah ‘cukup’. Diperkirakan ada 800.000 penduduk keresidenan saat itu. Dari angka-angka itu pemerintah berharap bisa memajaki 2/5 bagian dari kesemua penduduk {sisanya 2/5 bagian diperkirakan adalah anak-anak di bawah 16 tahun dan 1/5 bagian lainnya adalah orang-orang yang sangat miskin, yang tidak mampu beli ‘brood’ atau roti (maksudnya beras) untuk dimakan, sehingga tidak mungkin dikenakan pajak}.

Satu lagi keputusan Gubernur Jendral adalah penataan (reorganisasi) pemerintah daerah. Penataan pemerintahan daerah ini ditandai dengan pengangkatan sejumlah pejabat Urang Awak, mulai dari Hoofdregent, Regnt, Kepala Laras, Kepala Nagari, dan Kepala Kampung dalam struktur pemerintahan daerah. Di samping sebagai imbalan kepada mereka yang berperan besar dalam proses berkuasanya Belanda di daerah pedalaman dan memerangi kaum Padri, pengangkatan para pejabat ini juga ditujukan untuk menyukseskan pengenaan (penarikan) pajak terhadap penduduk. Sebab salah satu klausul dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral itu adalah ‘pengenaan pajak’ akan dibantu oleh Inlandsche Hoofden (para pejabat Urang Awak).

Juga diputuskan bahwa pengumpulan pajak juga dilakukan oleh orang (pachter) China yang memenangkan ‘lelang’ yang diselenggarakan pemerintah.

Di samping kedua jenis pajak di atas, Batavia juga mengizinkan pengenaan bea (pajak) penjualan opium (candu) di daerah darek. Pajak opium dianggap berbeda dari kedua jenis pajak di atas, karena ‘lingkupnya lebih terbatas’, bukan masyarakat secara keseluruhan. Berbeda juga dengan kedua jenis pajak di atas, penarikan bea atau pajak penjualan candu, diutamakan, dilakukan oleh penghulu. Ada dua alasan pemberian hak kepada penghulu ini, pertama sebagai balas budi kepada mereka yang mendukung pemerintah, dan kedua sebagai bagian dari politik adu domba. Maksudnya, pemakaian candu adalah suatu praktik yang sangat dibenci oleh kaum Padri, dan dengan memberikan hak penarikan bea (pajak) candu kepada penghulu secara langsung atau tidak Belanda semakin membenturkan penghulu dengan kaum Padri. Dan demi imbalan yang akan didapat tentu para penghulu membela penjualan dan pemakaian candu.

Tiga jenis pajak yang diperkenalkan diakhir tahun 1823 di atas tidak berjalan seperti diharapkan. Hasil yang didapat relatif jauh dari target. Laporan resmi pemerintah menyalahkan perang yang masih berkecamuk sebagai alasan mandeknya penagihan pajak. Namun dalam kenyataannya, rakyat betul-betul tidak mau (menolak) membayar pajak.

Pada tahun 1825 (dan beberapa tahun berikutnya) tensi perang sedikit menurun. Ekspedisi militer Belanda ke dan di daerah pedalaman berkurang secara drastis.  Stuers yang menjabat Resident van Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah Taklukannya) saat itu mengambil kebijakan ‘berdamai’ dengan kaum Padri. Stuers membuat banyak perjanjian damai dengan Padri. Perjanjian damai ini sebetulnya hanya taktik Belanda semata, karena saat itu tentara mereka yang di Sumatra Barat dikerahkan ke Jawa untuk menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro. Menariknya, perjanjian-perjanjian damai yang sangat menguntungkan Belanda itu disetujui saja oleh pihak Padri. Salah satu dari sekian banyak isi perjanjian itu adalah pengenaan beberapa jenis pajak {seperti pasar, opium, tembakau, pajak kain, pajak minuman keras (suri atau tuak), pajak jalan, pajak penyembelihan, pajak garam (pajak terhadap garam yang didatangkan selain dari Pulau Jawa, dan beberapa jenis pajak lainnya}. Salah satu alasan pengenaan berbagai macam pajak ini adalah hasilnya nanti akan dinikmati oleh warga.

Pengenaan berbagai jenis pajak ini kemudian dikukuhkan dalam Surat Keputusan Residen yang ditandatangani oleh Stuers. Dalam Surat Keputusan itu juga ditegaskan bahwa hak pengumpulan pajak (khususnya pajak pasar) dipegang oleh Lau Tiang King, pemuka China di Padang. Hak ini dipegangnya untuk masa tiga tahun. Lau Tiang King juga mengsubkontrakkan pula hak penarikan pajak ini kepada sejumlah orang China lainnya.

Karena wilayah daerah administratif keresidenan juga mencakup pulau-pulau di lepas pantai barat, maka pajak juga dikenakan di pulau-pulau tersebut. Ankergeld (uang jangkar) adalah satu jenis pajak yang paling diandalkan dari pulau-pulau itu (terutama Pulau-pulau Batu dan Kepulauan Mentawai). Satu lagi jenis pajak yang ditargetkan akan menghasilkan banyak uang adalah pajak sarang burung. Di samping berbagai jenis pajak di atas, Sturs juga melanjutkan penarikan bea pelabuhan, dan pajak ekspor-impor berbagai komoditas perdagangan yang keluar masuk pelabuhan (tidak hanya untuk kota Padang, tetapi juga kota-kota lain, seperi Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji serta pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Batu dan Mentawai). Untuk aktivitas yang terakhir dibangun kantor duane (bea cukai) yang termasuk canggih di kota Padang saat itu.

Kantor Duane (Bea Cukai) dan Penjara Padang Tahun 1826

(Sumber: H.J.J.L. de Stuers, Vstiging en Uitbreiding der Nederlander ter Westkust van Sumatra (II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1850)

Pengenaan pajak pada berbagai ‘kebutuhan pokok’ warga memang bagian dari agenda politik ekonomi Belanda. Pengenaan pajak tersebut adalah bagian dari eksploitasi ekonomi pemerintah kolonial.

Di Sumatra Barat, pengenaan pajak adalah bagian dari ekspansi politik ke daerah pedalaman, karena sejak awal telah diperhitungkan, bahwa pengenaan pajak akan menjadi salah satu sumber pemasukan Belanda di daerah ini. Karena itu, data-data mengenai ‘anggaran pendapatan dan belanja daerah’ Pantai Barat Sumatra, senantiasa menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama.

Sejak pertama kali pajak diperkenalkan, pemerintah telah menghitung berapa ‘pendapatan” yang akan diperolehnya. Seperti yang disebutkan di atas, pada tahun 1823 penghitungan dimulai dari memperkirakan jumlah penduduk yang akan dikenakan hoofdgeld. Penghitungan juga dilakukan dengan memperkirakan berapa banyak konsumsi opium, candu, garam, kain (pakaian), minuman keras (suri atau tuak), banyaknya orang yang bepergian, banyaknya orang yang berjualan dan mendatangi pasar, dlsbnya. Hasil hitung-hitungannya ‘tidak begitu besar’. Umumnya, jumlah untuk masing-masing jenis pajak berkisar antara f.1.500,- hingga f.20.000,- per tahun (sebagian kecil lebih dari f.200.000,- per tahun).

Sama dengan pengalaman tahun 1823, pengenaan pajak yang diperkenalkan oleh Stuers tahun 1825 juga tidak bisa diterapkan sebagaimana yang diharapkan. Secara umum masyarakat menolak membayar pajak. Hanya pajak-pajak atau bea-bea komoditas atau kegiatan yang tidak begitu langsung bersintuhan dengan rakyat (hanya dengan saudagar) yang hampir seutuhnya bisa ditarik, seperti uang jangkar, pajak garam, pajak sarang burung, dlsbnya. Stuers menyebut bahwa pada tahun 1825-1826 ‘hanya’ terkumpul f.98.500,- Jumlah ini jelas sedikit, sebab tahun 1820 di kawasan pantai (Padang, Pariaman dan Pulau Cingkuak) saja, dikumpulkan sekitar f.60.000,- Padahal wilayah yang dikuasai pada tahun 1825/1826 jauh lebih luas, penduduknya banyak, dan umumnya adalah daerah yang kaya.

Memasuki tahun 1830-an, Belanda mulai mengubah kebijakan politiknya di Sumatra Barat. Perang Diponegoro telah usai. Tentara mulai didatangkan kembali ke Sumatra Barat. Kampanye militer melawan Padri semakin ditingkatkan. Orang-orang yang dianggap musuh atau berkianat kepada pemerintah dengan segera ditumpas atau dibuang ke daerah lain. Ini semua bisa terjadi, karena residen dan petinggi (komandan) militer yang memimpin daerah adalah orang-orang yang tegas dan memegang prinsip “perang harus dimenangkan“. Bersamaan dengan itu, sejumlah tokoh yang dulunya pro-Padri berpihak kepada Belanda, bahkan diangkat menjadi pejabat seperti regen. Akibatnya Belanda semakin berlantas angan terhadap orang Minang.

Sikap tegas dan kerasnya pemimpin sipil dan militer tersebut juga diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi, salah satu diantaranya adalah penarikan pajak. Tahun 1832 diputuskan untuk mengoptimalkan penarikan pajak. Residen Gilavry misalnya mengintruksikan aparatnya, termasuk para pejabat bumiputera (Kepala Laras dan Kepala Nagari) untuk mendukung upaya penarikan pajak.

Pengenaan pajak yang dilakukan dengan tegas itu (baik pembayaran dengan uang tunai atau kerja pada ‘proyek’ pemerintah) dirasakan masyarakat sebagai beban yang berat. Pengenaan pajak dirasa berat oleh masyarakat, karena perang yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun telah mengakibatkan ekonomi masyarakat turun ke tingkat yang rendah.

Bukan hanya besarnya dan banyaknya pajak yang mesti dibayar dengan tunai atau dengan tenaga, sikap para pejabat pemerintah dari kalangan Urang Awak (Kepala Laras dan Kepala Nagari) serta penarik pajak (pachter) China juga membuat masyarakat semakin muak dengan kebijakan pemerintah ini. Itulah sebabnya muncul perlawanan dari rakyat. Perlawanan pertama ditujukan terhadap para pachter China. Ada sejumlah laporan yang menyebut bahwa penduduk memburu atau bahkan menyerang pachter China di sejumlah pasar di Tanah Datar dan Agam. Ada dari mereka yang luka-luka atau babak belur dihajar massa, dan ada pula yang lari terbirit-birit dikejar penduduk, serta terpaksa menyelamatkan diri ke rumah penghulu (yang juga kaki tangan Belanda).

Perlawanan kedua ditujukan kepada pemerintah. Warga daerah, baik kaum Padri dan non-Padri, melawan secara serentak. Melawan dalam artian menyerang dan membunuh aparat pemerintah, baik tentara atau pihak sipil, termasuk pejabat Urang Awak pendukung Belanda. Perlawanan terjadi di mana-mana dan banyak korban yang jatuh di pihak Belanda. Di Lubuk Sikaping misalnya jatuh korban sekitar 60 orang, di Bonjol sebanyak 40-an orang, di Suliki 20-an orang, di sejumlah daerah di Agam dan Tanah Datar juga jatuh korban yang jumlah puluhan orang.

Pemerintah kaget melihat reaksi rakyat tersebut. Sampai-sampai Komisaris (Gubernur) Jendral Hindia Belanda Johannes van den Bosch menyempatkan datang ke Sumatra Barat saat itu. Dia mengakui bahwa rakyat menderita dan rakyat kecewa dengan sikap atau kebijakan yang dipraktikkan pemerintah. Karena itu, salah satu dari sekian banyak solusi yang ditawarkan van den Bosch adalah mengakhiri pengenaan sejumlah pajak dan kerja wajib.

Solusi atau tawaran van den Bosch ini kemudian ditegaskan dalam Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah janji-janji khidmad pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Sumatra Barat. Karena berhubungan dengan sikap dan keputusan yang diambil oleh van den Bosch, maka salah satu janji yang dinyatakan dalam Plakat Panjang ini adalah penghapusan berbagai macam, kerja wajib pada proyek-proyek pemerintah (dikecualikan pajak atau bea opium, pajak pelabuhan).

Penghentian pengenaan pajak dianggap sebagai salah satu kemenangan oleh Urang Awak. Mereka sangat senang dengan sikap pemerintah itu. Janji untuk menghentikan penarikan pajak dan sejumlah janji lain yang dinyatakan dalam Plakat Panjang selalu diingat sebagai “kemenangan” oleh kebanyakan orang Minang. Mereka menang karena mereka melawan, mereka menang karena melawan secara bersama (kaum Padri dan juga non-Padri). Karena itu, kebanggaan akan Plakat Panjang adalah kebanggaan seluruh orang Minang.

III

Untuk beberapa dekade setelah usainya Perang Padri, Belanda memang mematuhi janjinya, tidak mengenakan pajak kepada orang Minang. Namun pada tahun 1908, janji tersebut dilanggar Belanda. Belanda memperkenalkan pajak, bahkan pajak yang dikenakan jauh lebih banyak dari masa Perang Padri. Sebagian dari pajak yang diperkenalkan tersebut adalah jenis pajak yang dulu sudah dikenakan kepada penduduk, tetapi sebagian lainnya adalah jenis yang baru. Beberapa di antara pajak-pajak itu adalah: pajak kepala, pajak penghasilan, pajak pasar, pajak jalan, pajak ganti kerja rodi, pajak tanah, pajak keuntungan, pajak peralatan rumah tangga, pajak rumah gadang (rumah adat), pajak tembakau, pajak anjing dan pajak ternak (sapi dan kerbau), dll.

Khusus untuk yang terakhir ini (pajak ternak sapi dan kerbau), walaupun setiap tahun penduduk membayar pajak atas ternaknya, namun jika mereka ingin menjual ternak itu, maka mereka harus pula membayar sejumlah pajak (bea) lagi. Di antaranya, pertama kali mereka harus membayar uang izin penjualan, kemudian harus membayar pajak masuk pasar, setelah ternak terjual dikenai lagi pajak (pajak penjualan), sebelum ternak dipotong dikenai lagi pajak (bea/pajak pemeriksaan kesehatan hewan), masuk rumah potong bayar pajak lagi dan terakhir ada lagi pajak sembelihan.

Pembayaran pajak yang hampir sama juga ditemukan pada berbagai aktivitas perekonomian dan kegiatan yang lain , seperti pajak jual beli di pasar, pajakmembawa barang, pajak industri, pajak pertambangan, pajak perkebunan, dan masih ada banyak, dlsbnya.

Banyak sekali pajak yang dikenakan kepada penduduk Sumatra Barat saat itu. Mengapa Belanda melanggar janji yang dikemukakannya saat Perang Padri?

Ada banyak jawaban untuk itu, dan dua di antanya adalah: pertama, Belanda mengalami kesukaran ekonomi yang serius (defisit) di Sumatra Barat. Tanam paksa kopi yang menjadi sumber pemasukan utama pemerintah di Sumatra Barat sejak tahun 1840-an nyaris tidak lagi memberikan keuntungan pada tahun-tahun pertama abad ke-20 (bahkan sejak tahun-tahun terakhir abad ke-19). Sejalan dengan itu potnsi niaga danekonomiSumatra Barat juga menurun dengan drastis. Untuk itu perlu dicari sumber pemasukan yang baru. Dan pajak adalah alternatif yang paling mungkin serta paling mudah; kedua, berbeda dengan masa Perang Padri, pada awal abad ke-20 Belanda telah betul-betul menguasai Sumatra Barat secara politik (bahkan hampir seluruh Hindia Belanda). Di samping itu, percaya diri pemerintah tengah tumbuh, apalagi saat itu dia baru saja memenangkan Perang Aceh. Kondisi seperti ini membuat pemerintah, memiliki keleluasaan membuat dan menjalankan politik/kebijakan ekonomi apapun yang mereka anggap akan menguntungkannya. Kondisi ini, juga membuat pemerintah melakukan apa saja terhadap upaya yang merintangi kebijakan yang dijalankannya, termasuk memberantas dengan menggunakan kekerasan secara cepat dan besar-besaran terhadap perlawanan rakyat atas kebijakan yang mereka buat.

Pengenaan pajak oleh Belanda pada awal abad ke-20 memang menimbulkan perlawanan dari warga Sumatra Barat. Terjadi pemberontakan di banyak tempat, seperti di Kamang, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Talawi, dlsbnya. Namun, perlawanan-perlawanan itu dengan segera bisa ditumpas, banyak korban dikalangan penduduk, dan sebagian pemimpinnya tewas terbunuh, dipenjara atau dibuang ke daerah lain. Artinya, perlawanan rakyat menentang pajak pada awal abad ke-20 tidak membuahkan hasil.

Kegagalan perlawanan secara fisik pada tahun 1908 sesungguhnya dilanjutkan oleh Urang Awak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga tahun 1920-an. Kali ini dilakukan melalui cara-cara non-politik, seperti himbauan sebagai hasil rapat (pertemuan) yang dadakan oleh para penghulu dan politisi, atau resolusi-resolusi yang dinyatakan oleh partai politik (Syarikat Islam misalnya). Namun semua upaya itu tidak membuahkan hasil. Pemerintah tetap mengenakan pajak pada rakyat, dan sejak saat itu pajak telah menjadi bagian dari kewajiban rakyat.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan