Bagi-bagi jabatan atau pemberian jabatan oleh pejabat yang memenangkan kontestasi politik bukanlah hal yang baru di Indonesia. Penciptaan jabatan atau posisi baru dalam struktur pemerintahan yang diperuntukkan bagi orang yang membantu pemenangan pejabat atau untuk anggota ‘tim sukses’ oleh pejabat yang berkuasa bukan pula hal yang baru di negeri ini. Hal ini nampaknya telah menjadi tradisi dan memiliki sejarah yang panjang dan telah dipraktikkan oleh banyak pejabat serta dalam banyak kesempatan di masa lampau.
Kolonialis Belanda adalah salah satu ‘sosok’ yang ikut-serta memperkenalkan dan mentradisikan bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan baru untuk para pendukungnya, serta Perang Padri adalah sebuah iven historis, di mana ‘tradisi’ ini dengan sangat nyata dipraktikkan.
Tulisan ini mencoba mengungkapkan bagaimana tradisi bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan baru dalam struktur pemerintahan daerah diperkenalkan oleh pejabat Belanda pada masa Perang Padri. Sehubungan dengan itu ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: pertama, mengapa pejabat Belanda membagi-bagi atau memberikan jabatan kepada para pendukungnya? Kepada siapa jabatan-jabatan itu diberikan? Jabatan-jabatan apa yang diciptakan untuk para pendukung tersebut? Bagaimana pola dan strategi bagi-bagi jabatan oleh para pejabat itu? Dan terakhir bagaimana tradisi bagi-bagi jabatan atau penciptaan jabatan tersebut dalam perjalanan sejarah Sumatra Barat (Minangkabau) secara umum?
II
Bagi-bagi jabatan oleh pejabat Belanda pada masa Perang Padri berhubungan erat dengan kerjasama yang mereka lakukan dengan beberapa tokoh daerah dan penciptaan jabatan-jabatan baru ada hubungannya dengan pembentukan unit administratif pemerintahan (reorganisasi pemerintahan) oleh Belanda di daerah ini. Namun, di atas dari semua itu, bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan-jabatan baru sangat nyata ‘nuansa balas budi’ oleh pejabat Belanda kepada orang-orang yang telah membantunya.
Keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, secara khusus, ada hubungannya dengan permintaan bantuan yang diajukan oleh keturunan Raja Pagaruyung dan penandatangan Perjanjian 10 Februari 1821. Permintaan bantuan yang dilakukan berulang-ulang kali itulah yang akhirnya direspon oleh Du Puy, yang saat itu menjabat sebagai Residen Padang. Respon itu kemudian diwujudkan dalam sebuah perjanjian lima pasal yang ditandatangani oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar Syah dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir dari Suruaso, Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso, serta 12 penghulu yang mewakili 108 penghulu lainnya di Tanah Datar dan sekitarnya.
Dalam perjanjian tersebut dinyatakan beberapa hal, di antaranya ara penghulu dari negeri-negeri di bekas Kerajaan Minangkabau akan menyerahkan Pagaruyung, Sungai Tarab dan Suruaso, serta negeri-negari lainnya di dalam kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda, serta pemerintah Hindia Belanda akan menaklukkan negeri-negeri yang diserahkan itu, dan melindungi penduduk negeri-negeri tersebut dari kaum Padri, serta mengusir kaum Padri dan mengembalikan ketentraman di pedalaman. Di samping itu juga disepakati bahwa para penghulu tersebut akan menyediakan kaum lelaki untuk menjadi kuli pembawa barang perlengkapan serdadu Belanda dan menyediakan makanan.
Dalam praktiknya, kaum penghulu juga mengerahkan anak kemenakan mereka untuk membantu Belanda memerangi kaum Padri. Sebagaimana dilaporkan Stuers, Nahuijs, Boelhouwer, Lange dan sejumlah penulis lainnya, ada ribuan anak kemenakan penghulu tersebut yang menyertai Belanda memerangi kaum Padri.
Perjanjian 10 Februari 1821 adalah dokumen yang melegitimasi Belanda melakukan ekspansi politik ke pedalamaman Minangkabau. Dan dukungan anak kemenakan kaum penghulu itulah yang menjadi salah satu faktor yang membantu Belanda sukses mendesak kaum Padri dan akhirnya memenangkan perang.
Seiring dengan kemenangannya melawan Padri, Belanda memperluas wilayah administratifnya ke daerah pedalaman. Perluasan wilayah itu diwujudkan dengan penggantian nama Residentie van Padang menjadi Residentie van Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukkannya). Perluasan daerah administratif, yang juga bisa dikatakan sebagai reorganisasi pemerintahan daerah tahun 182 ini, merupakan perluasan wilayah Residentie van Padang (yang hanya mencakup daerah sekitar Padang, Pariaman, Air Haji, dan Pulau Cingkuak) ditambah dengan daerah Tanah Datar dan sebagian Agam.
Tahun 1825 dan 1833 karena daerah yang berhasil dikuasai semakin luas, maka wilayah yang menjadi bagian dari daerah administratif Residentie van Padang en Onderhoorigheden juga semakin luas. Pada tahun 1833, walupun belum dikuasai sepenuhnya, Belanda telah memasuki hampir seluruh wilayah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sebagian Tapanuli bagian selatan.
Perluasan daerah administratif atau reorganisasi pemerintahan pada masa Perang Padri memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan daerah Sumatra Barat. Arti penting yang dihadirkannya adalah dilibatkannya orang Minang dalam jajaran pemerintahan dan diciptakannya sejumlah jabatan baru dalam struktur pemerintah daerah, jabatan yang baru atau posisi yang belum pernah dikenal sebelumnya di daerah ini.
Proses pengikutsertaan orang Minang dalam pemerintahan daerah serta penciptaan jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan daerah ini juga memiliki dinamika yang khas. Dikatakan khas karena adanya sejumlah pejabat Belanda dengan kebijakan yang berbeda dalam proses bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan dalam pemerintahan daerah ini.
III
A.T. Raaff adalah pejabat Belanda (Resident van Padangsche Onderhoorigheden) yang pertama kali membagi-bagi jabatan kepada sejumlah Urang Awak, dan Raaff sekaligus menjadi tokoh pertama yang menciptakan jabatan-jabatan tertentu kepada Urang Awak. Satu tokoh yang mendapat hadiah jabatan itu adalah Sutan Alam Bagagar Syah. Tidak diragukan lagi, Sutan Alam Bagagar Syah dihadiahi jabatan karena perannya dalam mengundang Belanda agar mau memerangi kaum Padri, serta perannya sebagai salah satu penandatangan Perjanjian 10 Februari 1821 yang melempangkan jalan bagi Belanda untuk menguasai Minangkabau serta melakukan aksi militer memerangi kaum Padri.
Raaff juga dianggap sebagai pejabat yang pertama kali menciptakan jabatan yang baru, jabatan yang belum pernah ada sebelumnya dalam struktur pemerintahan daerah Sumatra Barat (Minangkabau). Setidaknya ada tiga jabatan baru yang diciptakan Raaff untuk pendukungnya: pertama, jabatan Hoofdregent (Regen Kepala); kedua, jabatan Regent (Regen); ketiga, jabatan Larashoofd (Kepala Laras). Di samping ketiga jabatan ini ada dua lagi jabatan yang diakui Raaff, yakni Dorphoofd (Kepala Nagari) dan Kepala Korong (Gehucht).
Tiga jabatan yang disebut pertama tidak pernah ada dalam struktur pemerintahan daerah (Hindia Belanda) di Minangkabau (Pantai Barat Sumatar) sebelumnya dan juga tidak pernah ada dalam struktur pemerintahan tradisional Minangkabau sebelumnya. Sedangkan jabatan Dorphoofd (Kepala Nagari) dab Gehuchthoofd (Kepala Korong/Kampung) sudah dikenal orang Minang sebelumnya.
Hoofdregent mengepalai sebuah wilayah yang dinamakan Hoofdafdeeling, Regent mengepalai daerah setingkat Regentschap, Larashoofd mengepalai Laras (Kelarasan) daerah yang terdiri beberapa nagari, sedangkan Dorfhoofd mengepalai daerah setingkat nagari, dan Gehuchthoofd mengepalai Korong/Kampung).
Ada dua Hoofdafdeelingen saat pertama kali diperkenalkan, yakni Hoofdafdeeling van Padang (yang merupakan gabungan dari empat Regentschappen yaitu 1. Padang, 2. Pariaman, 3. Pulau Cingkuak dan 4. Air Haji) serta Hoofdafdeelingvan Minangkabau (yang terdiri dari empat Regentschappen yaitu 1. Tanah Datar, 2. Tanah Datar Di Bawah (Lintau), 3. Agam, 4. Limapuluh Kota).
Sutan Alam Bagagar Syah dihadiahi jabatan sebagai Hoofderegent van Minangkabau dan sekaligus menjadi Regent van Tanah Datar. Dia juga dianugerahi gelar Raja Alam Minangkabau dengan gaji antara f.300,- sampai dengan f.400,- per bulan.
Walaupun dibentuk empat Regentschappen, namun karena kekuasaan Belanda belum sempurna di kawasan pedalaman, maka jabatan Regen Tanah Datar Di Bawah (Lintau) dan Regen Limapuluh Kota masih ditiadakan.
Belum utuhnya kekuasaan Belanda di daerah pedalaman menyebabkan pemberian jabatan untuk para pendukung Belanda lebih tertumpu di Tanah Datar dan sebagian Agam. Itu pulalah sebabnya hingga tahun 1825 jabatan Kepala Laras baru bisa diberikan kepada para penghulu di dua daerah tersebut. Menurut Kielstra sampai tahun 1825 ada sebanyak 23 Kepala Laras yang diangkat oleh Belanda di Tanah Datar dan 7 Kepala Laras di Agam. Banyaknya Kepala Laras yang diangkat di Tanah Datar sangat beralasan, karena para penghulu daerah itulah yang ikut-serta menandangtangani Perjanjian 10 Februari 1821 dan dengan sungguh-sungguh mengerahkan anak kemenakan mereka membantu Belanda memerangi kaum Padri.
Informasi mengenai jumlah Kepala Laras tahun 1825 di atas diberikan oleh de Stuers, yang saat itu menjabat Residen Padang dan Daerah Taklukannnya.
Masa pemerintahan de Stuers juga memberikan informasi kepada kita tentang keberadaan Kepala Nagari dalam pemerintahan daerah. Stuers menjadikan nagari sebagai ujung tombak pemerintahan daerah. Karena itu, di samping mengakui keberadaan Nagari dan Kepala Nagari yang telah ada sebelumnya, Stuers juga pernah berupaya membentuk 80 nagari baru di daerah ini (namun karena kondisi belum memungkinkan, dalam artian kekuasaan Belanda belum utuh, maka hanya sekitar 30-an yang terwujud). Jabatan Kepala Nagari umumnya diberikan kepada para penghulu yang ikut menandatangani Perjanjian 10 Februari 1821 dan juga penghulu yang aktif mendukung kampanye militer Belanda mengganyang Padri.
Di samping memfokuskan perhatian pada Kepala Nagari dan unit pemerintahan setingkat Nagari di daerah pedalaman, Stuers juga tercatat sebagai Residen yang aktif membagi-bagi jabatan serta menciptakan jabatan Regen di kawasan pantai. Pada masa pemerintahannyalah dibentuk Regentschap Indrapura dan Pariaman.
Memasuki tahun 1830-an bagi-bagi jabatan tetap dilanjutkan oleh pejabat Residen yang berkuasa saat itu, dan Elout (1831-1834) tercatat sebagai Residen yang paling royal memberi jabatan kepada pendukungnya. Setakat ini, dari sumber yang tersedia, setidaknya ada tiga jabatan Regen yang diberikan dan diciptakannya di Minangkabau pada tahun-tahun tersebut. Ketiga jabatan itu diberikan kepada Tuanku Mudo yang dipercaya sebagai Regen Bonjol, Tuanku Halaban sebagai Regen Halaban dan Tuanku Batipuh (Kali Raja Asal Pariangan) sebagai Regen Batipuah.
Bagi-bagi jabatan ini juga dilakukannya di daerah Tapanuli yang saat itu menjadi bagian Residentie Padang en Onderhoorigheden. Jabatan Regen diberikan kepada Raja Gadombang yang diakui Belanda sangat setia dan sungguh-sungguh membantu pemerintah memerangi kaum Padri. Raja Gadombang tercatat sebagai sosok yang juga mengerahkan ribuan warga membantu Belanda memerangi kaum Padri.
Pada era Elout, gaji yang diberikan kepada Regen ternyata tidak sama besarnya. Gaji tersebut bervariasi antara f.250,- hingga f.500,- per bulan. Gaji yang paling besar diterima oleh Regen Batipuh, kemudian Raja Gadombang dan yang paling sedikit adalah Regen Halaban.
Gaji Kepala Laras, baik pada masa pemerintahan Raaff, Stuers atau Elout berkisar antara f.40,- hingga f.100,- per bulan. Sedangkan gaji Kepala Nagari berkisar antara f.20,- sampai dengan f.30,- per bulan.
Gaji Hoofdregent, Regen, Kepala Laras dan Kepala Nagari dianggap sangat besar untuk saat itu. Di samping gaji, para pejabat tersebut juga mendapat fasilitas yang lainnya seperti adanya pembantu yang digaji oleh pemerintah serta kemudahan lain, seperti hak-hak istimewa dalam tata pemerintahan (politik) dan sosial-kemasyarakatan lainnya.
IV
Ada perbedaan yang cukup menarik dari bagi-bagi jabatan yang diberikan oleh tiga residen daerah ini. Raaff memberikan jabatan kepada sosok-sosok yang berperan-serta secara langsung mengundang dan menandatangani perjanjian yang memungkinkan Belanda terlibat dalam Perang Padri. Raaff sangat menghargai Alam Bagagar Syah sehingga diberi jabatan yang paling tinggi (Hoofdregent van Minangkabau) dan sekaligus menjadi Regent van Tanah Datar kepada Alam Bagagar Syah.
Raaff nampaknya masing menganggap raja sebagai lembaga dianggap bertuah dan memiliki peran yang besar dalam upaya melempangkan jalannya melakukan ekspansi politik ke daerah pedalaman.
Bagi-bagi jabatan para era Raaff masih terbatas di daerah Tanah Datar dan sebagian Agam.
Berbeda dengan Raaf, Stuers lebih memokuskan pemberian jabatan kepada Kepala Nagari. Stuers berkeinginan menjadi nagari sebagai ujung tombak pemerintahannya dan sekaligus garda terdepan dalam upanya pemerintah melawan Padri. Di mata Stuers para Kepala Nagari inilah yang paling langsung berhubungan dengan warga (penduduk). Karena itulah, di samping melanjutkan keberadaan Kepala Nagari yang telah ada sebelumnya, Stuers berupaya menciptakan sebanyak 80 Kepala Nagari (yang teralisir hanya sekitar 30-an).
Seperti yang disebut di atas, Stuers juga memberikan perhatian yang besar bagi pengangkatan Kepala Laras. Pada masa pemerintahannyalah keberadaan dan informasi mengenai Kepala Laras betul-betul nyata dan bisa ditemukan. Stuers memandang bahwa Kepala Laras adalah pejabat yang penting dalam membantu menjalankan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah daerah.
Politik ‘Pro-Kepala Nagari’ dan ‘Pro-Kepala Laras’ Stuer ini juga terlihat dari keputusannya menghilangkan jabatan Hoofdregent dan menghapuskan keberadaan Keregenan Tanah Datar Di Bawah (Lintau) dan Keregenan Limapuluh Kota, serta tidak mengangkat satupun Regen sampai akhir masa jabatannya.
Tidak hanya menghilangkan jabatan Hoofdregent yang diberikan kepada Sutan Alam Bagagarsyah, Stuers juga meniadakan keberadaan Raja dan Kerajaan Minangkabau. Dengan kata lain, Stuers betul-betul tidak menghargai keberadaan pejabat dan jabatan pada level atas dalam struktur pemerintahan daerah.
Satu lagi kebijakan politik Stuers adalah membentuk Keregenan Indrapura dan Pariaman. Pembentukan kedua Keregenan ini ada hubungannya dengan pengurangan tensi, atau ketegangan antara Belanda dengan kaum Padri. Sebab sejak tahun 1825 ada pengurangan jumlah tentara Belanda di daerah ini. Sejak tahun itu sebagian tentara Belanda, bahkan tentara pilihan, dikirim ke Pulau Jawa untuk mengakhiri pelawanan Pangeran Diponegoro. Dalam keadaan minim tentara itulah Stuers cenderung mengalihkan aksi militer dan kebijakan politik (termasuk pengangkatan pejabat dan pembentukan unit administratif yang baru) ke kawasan pantai barat. Pada saat itu pulalah Stuers berupaya menghidupkan aktivitas niaga di kawasan pantai barat, di mana Keregenan Indrapura dan Pariaman berada.
Kebijakan bagi-bagi jabatan yang dijalankan Residen Elout sangat berbeda dari apa yang dipraktikkan Raaff dan Stuers. Elout cenderung menghadiahi orang yang betul-betul membantunya melawan kaum Padri dan cenderung untuk memberikan jabatan setingkat Regen. Mereka adalah orang-orang yang membantu Belanda di daerah-daerah yang hingga akhir 1820an relatif belum jatuh ke tangan Belanda, seperti Tuanku Muda menjadi Regen Bonjol, Tuanku Halaban, Intan Bekati menjadi Regen Halaban dan Tuanku Batipuh, Kali Raja Asal Negeri Pariangan sebagai Regen Batipuh. Mereka adalah orang-orang yang ‘pasang badan’ atau turun langsung ke medan laga menghadapi kaum Padri atau memberikan nasihat yang membantu Belanda ‘menjinakkan’ kaum Padri. Bila dilihat dari gelar Regen Bonjol, Halaban, dan Batipuh yakni Tuanku Muda, Tuanku Halaban, dan Tuanku Batipuh terlihat juga kecendrungan lain dari Elout, yakni memberikan jabatan Regen kepada ulama (setidaknya sosok yang memiliki pengaruh atau pernah menjadi bagian dari kaum Padri). Tuanku adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang tinggi.
Bisa dikatakan bahwa jabatan Regen dihadiahkan Elout kepada sosok-sosok yang nyaris tidak ada kaitannya dengan undangan kepada Belanda untuk masuk ke Minangkabau serta penandatanganan Perjanjian 10 Februari 1821. Tidak hanya itu, Elout bahkan menganggap tidak ada artinya bantuan yang diberikan oleh para ‘supporter’ atau ‘tim sukses’ generasi awal mereka. Penihilan bantuan mereka itu antara lain terlihat dari ditangkap serta dibuangnya Sutan Alam Bagagarsyah ke Batavia karena dituduh berkianat kepada Belanda (tuduhan ini kemudian dianulir karena dianggap tidak terbukti oleh sebuah tim yang dipimpin oleh Stuers).
Demikianlah fenomena bagi-bagai jabatan dan penciptaan jabatan baru pada masa Perang Padri yang sangat dinamis dan sarat kepentingan.
V
Dari gambar di atas bisa dikatakan bahwa fenomena bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan baru marak dilakukan pada masa Perang Padri. Namun perlu juga dipahami, bahwa fenomena ini bukanlah hal yang betul-betul terjadi di Sumatera Barat (Minangkabau) pada masa Perang Padri dan bukan pula fenomena yang terakhir dipraktikkan pada masa Perag Padri. Fenomena bagi-bagi jabatan dan penciptaan jabatan-jabatan baru ternyata telah diperkenalkan oleh Belanda pada masa sebelum Perang Padri dan tetap dilanjutkan pada era setelah Perang Padri.
Pemberian jabatan kepada Urang Awak, dengan jabatan yang bergengsi tinggi, dilakukan oleh Belanda (VOC) tahun 1667, yakni satu tahun setelah kompeni itu berkuasa di daerah ini. Jabatan itu diberikan kepada Orang Kaya Kecil, satu dari delapan penghulu di Padang, yang tahun 1663 pergi ke Batavia untuk mengundang dan meminta bantuan VOC mengusir Aceh dari daerahnya. Atas undangannya itulah VOC memiliki semacam ‘mandat’ melakukan aksi militer memerangi dan mengusir Aceh dari Padang khususnya dan Pantai Barat Sumatra pada umumnya.
Setelah berhasil mendepak Aceh, VOC menganugerahi Orang Kaya Kecil gelar Panglima dengan ‘honorable inkomste’ (penghasilan/gaji penghormatan) sebesar 15 kati lada atas setiap 330 kati lada yang diekspor dari kawasan ini.
VOC tidak hanya menganugerahi gelar pada Orang Kaya Kecil, tetapi juga kepada delapan penghulu yang ikut mendukung berkuasanya kompeni tersebut di daerah ini. Seiring dengan perjalanan waktu, seiring pula dengan semakin banyaknya bantuan yang diberikan oleh penghulu di kota itu, maka tahun 1730 jumlah penghulu ditingkatkan menjadi 12 dan salah seorang dari mereka dianugerahi gelar Datuk Bendahara. VOC juga menentukan bahwa bila Panglima berasal dari suku penganut tradisi Koto Piliang maka Datuk Bendahara haruslah bagian dari tradisi Bodi Caniago.
Sesungguhnya, sebelum Belanda, praktik pemberian gelar ini telah dilakukan oleh Aceh. Bahkan, gelar Panglima itu sendiri diadopsi VOC dari gelar yang diberikan pengausa Aceh terhadap pejabat bumiputera tertinggi yang mewakinya di kota Padang.
Jadi bagi-bagi atau pemberian jabatan telah dilakukan di daerah ini sejak waktu yang jauh di masa lampau. Dan bagi-bagi jabatan ditujukan kepada sosok-sosk yang mendukung serta membantu pejabat atau pemerintah yang berkuasa.
Setelah Perang Padri usai, bagi-bagi atau penciptaan jabatan baru tetap dilanjutkan oleh pejabat Belanda. A.V. Michiels yang menjadi Gouverneur van Sumatra’s Westkust antara tahun 1837 sampai 1849 misalnya memperkenakan jabatan Penghulu Kepala yang diciptakan untuk mengepalai sebuah Nagari. Jabatan ini, sebagian didasarkan pada hak waris secara tradisional dan sebagian lagi ditentukan oleh keputusan yang ditetapkan oleh pejabat (Belanda) yang akan mengangkatnya. Gubernur van Swieten (1849-1858) melanjutkan praktik pemberian gelar Tuanku Laras dan Penghulu Kepala serta penciptaan jabatan baru. Van Swiete memperkenalkan jabatan baru yang dinamakan Penghulu Suku Rodi.
Berbeda dengan bagi-bagi jabatan pada masa Perang Padri yang diberikan kepada orang-orang yang membantu pemerintah memerangi kaum Padri, maka pemberian jabatan pada era pasca-Padri diperuntukan bagi figur-figur yang membantu pemerintah menyukseskan jalannya pemerintahan serta kebijakan politik ekonomi pemerintah, seperti praktik Tanam Paksa Kopi yang diperkenalkan tahun 1847.
Pola pemberian jabatan kepada orang-orang yang membantu pejabat khususnya dan pemerintah umumnya tetap berlanjut pada awal abad ke-20 hingga beberapa waktu belakangan di Sumatra Barat. Ada banyak kasus dan contoh serta ada banyak sumber untuk itu. Fenomena ini adalah pengalaman sejarah yang sangat menarik dan penting untuk diungkapkan. Dengan mempelajari pengalaman masa lampau itu diharapkan akan lebih mudah memahami praktik bagi-bagi atau pemberian jabatan kepada para pendukung atau ‘tim sukses’ yang marak dilakukan akhir-akhir ini. Mudah-mudahan ada sejarawan atau peminat sejarah yang ingin mengkaji serta mengungkapkan fenomena ini dengan sungguh-sungguh dan lebih komprehensif. Semoga.
Sumber:
Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.
Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.
“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 38 tahun 1889, hal. 467-514.
— , “Sumatra’s Westkust van 1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 37, tahun 1888, hal. 216-380.
— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 36 tahun 1887, hal. 7-163.
Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.
Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.
Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.
Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.
Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.
Westenenk, L.C., “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.
Ditulis oleh: Gusti Asnan