Month: August 2021

Pergilah Nak, Pergilah Sayang: Catatan Historis Melepas Orang Pergi Merantau di Minangkabau Tempo Doeloe

Setelah menamatkan pendidikan di salah satu SLTA di kota Padang, pada pertengah­an tahun 2011, Adrian (bukan nama sebenarnya) anak seorang pengusaha di Padang melanjutkan pendidikan­nya ke salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Adrian pergi ke Bandung bersama kawan-kawannya sewaktu di SMA, yang juga melanjutkan pendidikan ke Kota Kembang itu. Mereka pergi dengan mengunakan pesawat terbang dan diantar oleh orang tuanya hingga bandara. Tiga tahun kemudian terdengar kabar Adrian menjadi salah seorang aktivis gay, tidak hanya untuk kota Bandung tetapi juga untuk level nasional (Wawancara dengan Irfandi Burhan, 6 Juni 2019).

Tahun 2016, seorang mantan pejabat tingkat Propinsi Sumatera Barat (dan istrinya) ingin menunaikan ibadah haji melalui embarkasi Padang. Ketika berangkat menuju Wisma Haji Tabing, mereka hanya diantar oleh sopir dan pembantu yang berasal dari Pulau Jawa.  Tidak ada anggota keluarga yang ikut-serta. Dua anak mereka juga tidak bisa mengatar. Kedua anak mereka kebetulan bertugas di luar negeri dan sama-sama tidak bisa pulang. Anak tertua bertugas di Jepang dan anak kedua bertugas di Australia. Tidak ada pula acara khusus yang diadakan sebelum berangkat ke Tanah Suci. “Hanya berdoa sendiri setelah sholat”, kata Bapak sang mantan pejabat yang tinggal di kawasan Jati itu. Namun setelah pulang dari Mekah, Pak Haji lebih sering ke lapau untuk main domino daripada ke mushalla untuk menunaikan shalat berjamaah, apalagi setelah istrinya sering pergi mendampingi anak-anaknya yang baru melahirkan di kota lain (Wawancara Eri Rahmawati, 9 Juni 2019).

Dua ilustrasi di atas menyajikan dua informasi tentang kepergian Urang Awak merantau untuk melanjutkan ilmu dan kepergian ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji pada beberapa waktu belakangan. Ilustrasi yang pertama menyuguhkan informasi bahwa sang anak dilepas pergi oleh orang tua hanya sampai bandara, dan sang anak pergi dengan teman-teman menuju rantau. Ilustrasi kedua menyajikan informasi mengenai kepergian sepasang suami istri, yang pasti sudah usia lanjut (karena telah pensiun dari tugas) menunaikan ibadah haji, yang pergi hanya diantar oleh sopir dan pembantu tanpa dilepas oleh anak dan dunsanak, serta tanpa ada acara penglepasan yang khusus.

Dua pengalaman di atas barangkali tidak berlaku umum bagi Urang Awak dewasa ini, namun kecenderungan tersebut telah terjadi di tengah masyarakat. Dari penelitian yang dilakukan bahwa ada banyak anak muda yang pergi merantau, baik untuk melanjutkan pendidikan atau untuk bekerja pada beberapa waktu belakangan yang hanya di lepas hingga bandara atau terminal bus, atau hanya dilepas di pintu rumah saja oleh orang tua (keluarga). Ada pula sejumlah Urang Awak yang pergi haji seperti hendak pergi ke Jakarta atau ke kota lain untuk keperluan dinas atau plesir saja, tidak dilepas dan diantar oleh sanak keluarga. Mereka pergi, “seperti melepas ayam dari kandang di pagi hari saja”, meminjam ungkapan orang-orang tua Minang tempo doeloe.

Sebagai bagian dari pengalaman Urang Awak yang sejak dahulu sudah lazim pergi ke rantau atau naik haji, tentu menarik untuk mempertanyakan, bagaimana pula pola melepas orang pergi di kalangan Urang Awak di masa silam. Pengetahuan tentang pola-pola melepas orang pergi di masa silam penting untuk diketahui, karena di samping bertujuan untuk melihat sejauh mana perubahan telah terjadi, juga untuk memahami makna di balik tradisi melepas orang pergi tersebut.

Untuk itu tulisan ini mencoba mengungkapkan tradisi melepas orang pergi di kalangan Urang Awak di masa lamapu, tepatnya pada akhir abaad ke-19 dan awal abad ke-20. Melepas orang pergi yang dimaksud adalah melepas kepergian anak-kemenakan ke rantau untuk melanjutkan pendidikan, dan melepas sanak keluarga, handai dan tolan untuk menunaikan ibadah haji. Adapun bahan yang dipergunakan sebagai sumber penulisan adalah beberapa biografi atau otobiografi serta karya-karya lain yang menyajikan informasi tentang pengalaman orang Minangkabau melepas kaum kerabatnya pergi merantau dan menunaikan ibadah haji.

Pergi Merantau dan Naik Haji dalam Catatan Sejarah

Pasti ada ratusan, atau lebih tepatnya, pasti ada ribuan orang Minangkabau yang pergi meninggalkan sanak-saudara dan kampung halaman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mereka pergi ke tempat lain, ke kota atau pulau lain, atau ke benua lain. Kosa kata Minang menamakan pergi ke tempat lain tersebut dengan merantau. Banyak alasan kepergian mereka itu. Beberapa diantaranya adalah karena kegaduhan politik (pemberontakan pajak), untuk berniaga, melanjutkan pendidikan (baik pendidikan umum atau pendidikan agama), menunaikan ibadah haji, dan sejumlah alasan lain.

Walaupun banyak Urang Awak yang pergi merantau, namun tidak banyak diketahui kisah perantauan mereka itu, baik yang dikemukakan sendiri atau yang dikisahkan oleh orang lain. Berdasarkan kajian awal yang dilakukan, hanya ada sedikit catatan mengenai pengalaman perantauan Urang Awak pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu. Pengalaman yang dimaksud adalah apa-apa yang dialami pada saat-saat menjelang keberangkatan, kejadian-kejadian di perjalanan, kedatangan dan dinamika kehidupan di tanah rantau, dan pulang ke kampung halaman dan kembali lagi ke rantau (kalau ada).

Dari catatan yang sedikit itu, bila diklasifikan, maka sangat terlihat bahwa catatan yang ada umumnya mengenai kepergian untuk menuntut ilmu (umum dan sekuler) dan kepergian ke Baitullah. Sebaliknya, catatan mengenai kepergian (perantauan) karena kegaduhan politik atau untuk keperluan berniaga hanya satu atau dua buah saja.  Hal ini, barangkali disebabkan oleh orang yang pergi menuntut ilmu adalah orang terpelajar dan banyak dari mereka kemudian hidup dalam dunia tulis menulis. Di samping itu, kepergian untuk menuntut ilmu pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dianggap yang “wah”, apalagi bagi orang-orang yang melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda atau sekolah-sekolah tinggi, atau di surau-surau serta sekolah-sekolah agama yang terkemuka saat itu. Tidak banyak orang yang bisa melakukannya, sehingga oleh sebagian dari mereka atau oleh sebagian penulis perlu dicatatkan. Kejadian yang sama juga berlaku bagi Urang Awak yang naik haji. Umumnya orang yang pergi ke Mekkah menunaikan rukun Islam yang kelima ini adalah yang secara ekonomis termasuk ke dalam kelompok orang kaya atau memiliki kesanggupan. Di samping itu, secara sosiologis, umumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat. Tidak sedikit pula di antara mereka termasuk kedalam kelompok kaum terpelajar. Sehingga ada dari mereka yang mencatat pengalaman mereka berhaji atau ada orang lain yang menuliskan pengalaman berhaji mereka.

Sesuatu yang menarik dari catatan itu adalah informasi mengenai saat-saat seseorang akan pergi, baik pergi untuk menuntut ilmu atau pergi ke Baitullah. Nampaknya ada “ritual” atau “tradisi” tersendiri yang dijalani oleh mereka yang akan pergi atau oleh mereka yang akan melepas dunsanak pergi berjalan. Dengan kata lain, ada “ritual” atau “tradisi” khusus melepas orang pergi di kalangan Urang Awak.

Sayangnya, informasi tentang “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi ini sebetulnya lebih sedikit. Walaupun sedikit, tetapi menarik untuk dikemukakan. Menarik karena: pertana, dewasa ini “ritual” atau “tradisi” tersebut sudah semakin langka ditemui; kedua, pasti ada makna dibalik “ritual” atau “tradisi” tersebut, dan ini perlu untuk diketahui dalam rangka memahami kearifan lokal masyarakat Minang tempo dulu, yang barangkali nilai-nilainya sangat relevan untuk hidup kita dewasa ini.

Catatan historis mengenai “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi di kalangan Urang Awak itu ada yang dikemukakan dalam otobiografi, biografi atau karya orang lain mengenai pengalaman perantauan mereka. Tiga otobiografi yang dijadikan rujukan dalam makalah ini adalah buah karya Mohammad Hatta (2011) dan Bahder Djohan (1980), serta Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi (2016). Satu biografi yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah karya Irfan Hamka (2013). Tiga karya penulis lain tentang pengalaman orang bepergian yang digunakan adalah karya Pistorius (1886) dan karya seorang petualang tentang mesjid dan sekolah agama bumiputera di Darek pada perempat terakhir abad ke-19 (1888), serta karya Kurnia Imran (n.d). Di samping itu juga digunakan naskah Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah yang telah dialihaksarakan oleh Pramono mengenai seorang tuanku (Mato Aia) yang juga mengisahkan bagaimana dia dilepas pergi ke Tanah Suci.

Ada perbedaan yang sangat kontras mengenai “prosesi” melepas orang pergi yang disajikan dalam berbagai sumber di atas. Mohammad Hatta menginformasikan bahwa sebelum dia pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya (1919), dia merasa perlu meminta restu kepada ayah gaek (kakak sulung ayahnya) dan kaum kerabat lainnya di Batuhampar (Payakumbuh). Ayah gaek Hamka, Syekh Arsyad, seorang ulama tarikat Naqsabandiyah memberi banyak petuah. Beliau berpesan agar Mohammad Hatta selalu ingat Allah, rajin beribadah, sayang kepada Allah serta sayang pula kepada sesama manusia makhluk Allah. Syekh Arsyad juga mengingatkan agar Hatta senantiasa memelihara diri supaya jangan tergoda oleh setan, karena setan selalu berupaya menyesatkan manusia dari jalan yang lurus.

Selanjutnya Hatta mengatakan bahwa ayah gaeknya berpesan agar selalu tawakal kepada Allah dan harus yakin bahwa Alah senatiasa di sisinya. Dengan keyakinan seperti itu, kata ayah gaek Hatta, kita tidak akan pernah terjerumus karena bujuk rayu setan dan tidak akan pernah merasa takut dengan siapapun, di manapun  dan kapanpun. Ulama terkemuka itu juga mengingatkan bahwa di kota besar sebagai Betawi banyak godaan bagi anak muda. “Kalau teguh iman dan selalu berjalan di jalan Allah, insya Allah, Hatta akan terpelihara dari godaan itu” (Mohammad Hatta 2011: 73-75).

Hatta tinggal di Batuhampar selama empat hari. Hatta menyadari bahwa dia akan pergi berjalan jauh sehingga merasa perlu mengunjungi banyak kaum kerabat di sana. Setiap kunjungan disediakan santapan dan santapan yang disediakan itu tidak pula sedikit jumlah atau ragamnya. “Santapan itu harus disinggung, walau seteguk air atau sekepal nasi”, kata Hatta. Setiap hari ada tujuh atau delapan rumah yang dikunjunginya, dan sebanyak itu pulalah Hatta disunguhi hidangan yang harus di santap, walaupun hanya disinggung sedikit saja (Mohammad Hatta 2011: 75-76).

Hatta mencatat bahwa inti utama dari “ritual” yang dilakukannya pada saat-saat menjelang pergi merantau adalah minta restu kepada ayah gaek dan kaum kerabat yang berada jauh dari tempat dia berdomisili di Bukittinggi. Sebaliknya “tradisi” yang dilakukan ayah gaek dan kerabat di Batuhampar dalam rangka melepas anak pergi merantau adalah memberi petuah dan nasihat, serta menjamu anak dengan hidangan yang beraneka ragam jenisnya.

Pengalaman yang berbeda dialami oleh Bahder Djohan. Tidak ada “ritual” khusus yang dilakukan Bahder atau keluarganya saat dia akan berangkat melanjutkan pendidikannya ke Betawi. Pada saat akan pergi ke Betawi, kondisi ekonomi dan sosial keluarga Bahder memang kurang beruntung. Ayahnya tengah menjalani ”strap” (hukuman) yang dijatuhkan seorang pejabat Belanda (L.C. Westenenk) karena menegur pejabat tersebut yang tengah berselingkuh (berbuat mesum) dengan seorang perempuan di pesanggerahan Payakumbuh (Bahder Djohan 1980: 9).

Catatan Bahder Djohan menginformasikan kepada kita bahwa kepergiannya ke Betawi hanya dilepas oleh sanak keluarga yang masing-masingnya memberi sedikit uang. Uang itu dikumpulkan secara patungan sehingga akhirnya, seperti dikatakan Bahder “menjadi lumayan juga banyaknya” (Bahder Djohan 1980: 22). Pemberian “bekal” berupa uang, walaupun dalam jumlah yang sedikit, merupakan “adat” bagi orang Minang saat melepas anak atau sanak keluarga pergi merantau (khususnya) melanjutkan pendidikan. Hatta dan Bahder pergi ke Betawi, dengan kapal dari Teluk Bayur (Emmahaven) tanpa diantar atau didampingi oleh orang tua mereka. Bahder mengatakan bahwa dia pergi bersama beberapa murid yang sudah lebih tua dan lebih tinggi kelasnya.

Para Penumpang dan Pengantar di Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) pada Awal Abad ke-20

(KITLV 32822)

Tradisi pergi menuntut ilmu tanpa diantar (didampingi) oleh orang tua atau kaum kerabat juga berlaku pada murid-murid surau. Murid-murid Surau Batuhampar yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau, Riau, Jambi dan bahkan dari Bengkulu umumnya datang sendiri (atau berombongan dengan kawan-kawan yang sama-sama akan menuntut ilmu di sana) (“De Masdjid..” 1888: 326”). Hanya saja, bagi murid yang baru pertama pergi untuk menuntut ilmu, sebelum berangkat dia diberi nasihat oleh mamak, kaum kerabat dan juga ayahnya. Murid-murid yang melanjutkan pendidikan ke Surau Batuhampar umumnya adalah murid-murid yang telah menamatkan pendidikan di surau-surau kampung. Pendidikan di surau kampung (nagari) adalah pendidikan pertama yang ditempuh oleh para murid. Biasanya para murid memulai pendidikan di surau (kampung) ini dengan cara diantar oleh orang tuanya. Tidak hanya diantar, untuk diserahkan kepada tuanku yang menjadi guru di surau tersebut, biasanya sang ayah juga menyerahkan sang anak sepenuhnya kepada guru untuk diperlakukan apa saja selama dia menunt ilmu di surau. Tidak jarang, orang tua juga menyerahkan rotan untuk melecut sang anak bila dia nakal (Muhammad Radjab 1950: 80).

Sama dengan pergi sekolah, ada juga berbagai pengalaman yang berbeda yang dialami Urang Awak yang pergi ke Tanah Suci. Ada yang mengikuti “ritual” yang cukup rumit di pada saat-saat menjelang keberangkatan, namun ada yang hanya dilepas secara ala kadar saja. Haji Muhammad, seorang tuanku dari Silungkang pergi ke Tanah Suci pada perempat terakhir abad ke-19 dengan didahului oleh serangkaian acara. Ada acara doa bersama dan saling maaf memaafkan yang diiringi dengan makan-makan, petuah-petuah dan amanat-amat, kemudian dia diantar oleh hampir semua sanak saudara, tua muda, lelaki perempuan hingga batas nagari. Selanjutnya dia ditemani oleh sekitar 20-an orang hingga ke Padang (Pistorius 1889: 199). Perjalanan itu dilakukan dengan jalan kaki, karena belum ada jalan raya serta kendaraan berupa pedati atau kereta api saat itu. Dan jarak antara Silungkang lebih dengan 100 km melalui bukit dan lembah.

Tuanku Mato Aia, seorang ulama lain, juga mengisahkan pengalamannya menjelang berangkat haji tahun 1309 H (1892 M). Dikisahkan bahwa sebelum berangkat ulama yang mengajar di Surau Mato Aia (Pariaman) ini berupaya mendapatkan uang untuk biaya perjalanan dan biaya hidup. Dia pergi menjelang sanak saudara dan kaum kerabat. Dari merekalah biaya perjalanan dan biaya hidup diperdapat.

Kepergian Tuanku Mata Aia dilepas oleh sanak saudara dan kaum kerabatnya di surau tempat dia mengajar. Ada acara penglepasan secara “resmi” (doa-doa, wasiat an wejangan) oleh sanak saudara. Kemudian kaum kerabat mengantarnya separoh jalan (hingga batas nagari). Selanjutnya, dengan didampingi oleh beberapa kerabat dekat dan kawan akrab Tuanku Mato Aia berjalan menuju Padang. Dikatakan dia berangkat dari Surau Mato Aia sekitar pukul sembilan pagi dan sampai di Padang ketika hari telah malam.

Di Padang Tuanku Mato Aia mesti menunggu untuk beberapa hari. Selama masa itu dia menumpang tinggal di beberapa tempat. Selama itu pula beberapa kerabat dan sohibnya mendampinginya. Tuanku Mato Aia merasakan bahwa kerabat dan sohibnya itu menginginkan agar dia segera berangkat (dia menduga barangkali mereka tidak sabar menunggu lebih lama dalam ketidakpastian). Sikap seperti itu membuat Tuanku Mato Aia merasa tidak nyaman sehingga dia selalu berupaya dan berdoa agar segera mendapat kapal. Akhirnya kapal didapat dan dia jadi berangkat.

Pada detik-detik menjelang keberangkatan, Tuanku Mato Aia mengatakan bahwa dia dan kerabat serta sohibnya saling meminta maaf atas segala kilaf dan janggal di antara mereka, saling meminta kerelaan atas segala hutang dan piutang di antara mereka agar tidak menjadi sangkutan kelak di hari akhir (Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah n.d. 3-5).

Kisah “ritual” melepas kepergian ke Tanah Suci juga dikisahkan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi, seorang ulama Urang Awak yang pernah menjadi imam Masjidil Haram, serta menjadi guru sejumlah ulama di Indonesia. Syekh Ahmad Khatib pergi dua kali ke Tanah Suci, namun kepergiannya yang kedualah yang memiliki kesan tersendiri baginya, karena diawali oleh sejumlah kejadian dan “prosesi” penglepasan yang unik. Pihak keluarga, khususnya ibunya, tidak mengizinkannya pergi ke Mekkah untuk yang kedua kalinya. Namun panggilan Tanah Suci yang begitu kuat dihatinya membuatnya nekad untuk “mengakali” pihak keluarga. Kebetulan saat dia di kampung datanglah gurunya sewaktu di Makkah al-Mukarramah. Ahmad Khatib mengatur siasat dengan gurunya agar pada saat pertemuan dengan keluarga dan kaum kerabatnya sang guru mau meyakinkan keluarga dan kerabatnya sehingga mereka mengizinkan Ahmad Khatib pergi ke Makkah. Siasat itu ternyata berhasil, pihak keluarga mengizinkannya pergi ke Makkah.

Walaupun berasal dari keluarga terpandang dan kaya, pihak keluarga mengatakan bahwa mereka akan mengumpulkan uang untuk nafkah Ahmad Khatib selama pergi. Dikatakan pula bahwa pihak keluarga (perwakilan keluarga) akan mengantar Ahmad Khatib dan gurunya hingga ke kapal.

Setelah Ahmad Khatib naik ke kapal, bapaknya menyesal mengizinkannya pergi, sehingga sang bapak memintanya agar pulang kembali. Namun, Ahmad Khatib tidak memenuhi permintaan ayahnya. Dia mengatakan kepada utusan ayahnya bahwa tiket sudah dibeli dan barang-barang sudah naik ke kapal. Untuk mengobati hati ibunya yang juga tidak mengikhlaskan kepergiannya, Ahmad Khatib menulis surat agar merelakan dia pergi dan memaafkan segala kesalahannya, serta dia memohon agar ibunya memperbanyak sabar. Sang ayah dan ibu merelakan kepergiannya serta mengiringi kepergian tersebut dengan doa (Ahmad Khatib 2016: 57-59).

Seperti disebut sebelumnya, sesungguhnya masih ada beberapa catatan lain mengenai kepergian orang Minangkabau, baik pergi menuntut ilmu atau pergi menunaikan ibadah haji. Namun, dari beberapa catatan lain itu, hampir tidak ada informasi mengenai pengalaman pada saat menjelang keberangkatan secara umum serta “ritual” atau “tradisi” tertentu yang dilakukan pada saat keberangkatan secara khusus. Padahal, bisa dikatakan, ada pesan dan makna dari “ritual” atau “tradisi” melepas orang anak atau kerabat pergi berjalan tersebut.

Sebagai Ganti Kesimpulan: Makna Budaya Melepas Orang Pergi

Pergi merantau, dalam artian meninggalkan rumah atau kampung halaman untuk menuntut ilmu pengetahuan atau keuntungan ekonomi, adalah bagian dari kehidupan orang Minangkabau. Bahkan, mengacu kepada ungkapan adat yang lazim dikenal Urang Awak, pergi meninggalkan kampung ini nampaknya wajib (terutama bagi orang muda). Ungkapan adat yang dimaksud berbunyi:

Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun

Marantau bujang dahulu

Di rumah baguno balun

Dari ungkapan ini tersirat makna bahwa pergi meninggalkan kampung (bagi orang muda) bukanlah pergi sembarang pergi. Kepergian itu adalah untuk mencari sesuatu, sesuatu yang membuat diri yang pergi (pemuda tersebut) berguna. KBBI mengartikan bahwa “berguna” mengandung makna “berfaedah, bermanfaat, mendatangkan kebaikan (keuntungan)” (KBBI 2001: 375). 

Di masa lampau, beberapa tokoh adat dan penulis menyebut bahwa pergi untuk mencari sesuatu yang berguna dinamakan juga “pergi siang” (Kurnia Imran nd.: 14). Artinya kepergian tersebut dilakukan ada izin dan sepengetahuan orang tua, kaum kerabat handai dan tolan. Dikatakan juga, bahwa kepergian seperti ini juga diiringi oleh pemberian bekal, baik bekal materi dan juga bekal bathin. Bekal materi berupa uang untuk biaya perjalanan dan belanja hidup atau bekal makanan untuk pengganjal perut bila lapar. Sedangkan bekal bathin umumnya berbentuk nasihat dan petuah agar hati-hati hidup di rantau. Tidak jarang juga bekal bathin ini berupa “kepandaian” bathin untuk membentengi diri dari hal-hal atau kejadian-kejadian yang tidak diingini.

Kaba, historiografi tradisional Minangkabau, juga banyak berkisah tentang “ritual” atau “tradisi” melepas orang pergi. Sesuatu yang menarik dari kaba adalah “ritual” dan “radisi” malapeh orang pergi berjalan itu hampir selalu diisi dengan pemberian nasihat dan petuah. Salah satu contoh yang paling menarik adalah apa yang disajikan dalam kaba Cindua Mato. Ada dua informasi mengenai saat-saat melepas orang pergi dalam kaba tersebut. Momen pertama saat Dang Tuanku dan Cindua Mato akan pergi menjelang Datuak Bandaro Sungaitarab yang tengah memacah galanggang (mengadakan keramaian dan hiburan) untuk mencarikan jodoh buat anak gadisnya yang bernama Puti Lenggogeni, dan kedua saat Cindua Mato akan pergi menghantar ‘tanda putih hati’ kepada Tuanku Rajo Mudo, ayah Puti Bungsu di Ranah Sikalawi.

Dikatakan bahwa Cindua Mato pergi Ke Sungai Tarab mendampingi Dang Tuanku sebagai wakil kerajaan. Mereka juga diiringi oleh Medan Labiah sebagai dubalang serta Barakaik, Baruliah, dan Tambahi sebagai pendamping. Kepergian mereka dilepas oleh Bundo Kanduang, Kambang Bandohari serta sejumlah dayang istana. Sebelum pergi Bundo Kanduang memberi sejumlah nasihat dan pesan, terutama kepada Cindua Mato, Medan Labiah dan Barakaik, Baruliah, dan Tambahi. Banyak nasihat yang disampaikan. Nasihat dan pesan sesuai dengan posisi dan kedudukan mereka masing-masing. Nasihat dan pesan yang bila diamalkan akan selamat dalam perjalanan (Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung 2015: 18). Selanjutnya juga dikisahkan bahwa Dang Tuanku, Cindua Mato dan rombongan dilepas pergi secara resmi oleh Bundo Kanduang dan penghuni istana. Mereka dilepas pergi dengan ikhlas. Mereka yang akan pergi juga meminta izin dan minta dilepas dengan tulus serta ikhlas (Hikayat….2015: 19).

Pada bagian lain, dikisahkan kepergian Cindua mato ke Ranah Sikalwi (Tanjuang Sungai Ngiang). Cindua Mato pergi sendiri dan kepergiannya dilepas oleh banyak orang. Dia dilepas oleh Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Basa Ampek Balai, seluruh pemuka dan petinggi negeri, serta hampir seluaruh rakyat. Dia dilepas dengan “upacara kerajaan” dan diringi dengan doa baik-baik agar selamat di perjalanan. Juga dilepas dengan sejumlah pesan dan nasihat serta petuah. Selanjutnya dia diberi bekal materi, mulai dari bekal makanan hingga emas. (Hikayat…..2015: 71-75).

“Ritual” dan “tradisi” melepas orang pergi seperti yang tertuang dalam kaba Cindua Mato juga ditemukan dalam hampir semua kaba. Hal yang sama sebetulnya juga berlaku di tengah masyarakat Minang tempo dulu. Kurnia Imran menyebut bahwa gejala yang sama juga dipraktikkan orang Minang pada dekade 1920-an hingga 1950-an (Kurnia Imran n.d). Kurnia Imran mengungkapkan kisah kakek dan ayah serta eteknya saat dilepas pergi oleh keluarga mereka di kampung saat mereka ingin melanjutkan pendidikan ke Bukitinggi dan juga ke Betawi. Mereka ditunjukajari, diberi petuah dan nasihat oleh orang tua, mamak, serta kaum kerabat. Mereka diminta agar pandai-pandai hidup di rantau, pandai-pandai dalam bergaul, cari kawan, jangan sekali-kali mencari lawan, jangan boros, harus pandai menjaga keuangan, rajin belajar, ingat Tuhan, adalah sebagian pesan yang disampaikan kepada mereka (Kurnia n.d.: 40-48.

Kurnia juga menceritakan bagaimana kisah kakek dan ayahnya sewaktu akan pergi Mekkah. Ada “kenduri” dan doa dari orang Siak saat melepas mereka pergi. Kepergian mereka juga diantar banyak orang (keluarga) hingga Teluk Bayur. Saat kakek dan ayahnya pergi, keluarga yang tinggal pada bertangisan, seakan-akan yang pergi tidak akan kembali lagi, seakan-akan mereka tidak akan saling bertemu lagi. Namun ada juga yang menarik, banyak keluarga yang hadir saat “kenduri” melepas pergi mintak didoakan di Mekkah agar suatu saat mereka juga bisa menunaikan ibadah haji (Kurnia nd. 56-59).

Pergi secara berkerilaan (saling maaf-memaafkan), dipercayai sebagai kunci sukses orang-orang yang dilepas pergi. Bagi yang pergi untuk menuntut ilmu maka kesuksesan yang mereka peroleh ditandai dengan keberhasilan menyelesaikan pendidikan dan menikmati buah pendidikan yang diraih. Kesuksesan mereka juga ditandai dengan perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik. Muncul dan tampilnya karakter orang terdidik dan terpelajar dari perilaku dan sikap kesehariannya. Kesuksesan yang diraih oleh orang yang pergi haji ditandai dengan berkahnya dan mabrurnya ibadah yang ditunaikan, berubahkan sikap dan perilaku setelah pulang dari Mekkah. Kesuksesan itu ditandai dengan semakin dekan dengan Tuhan dan semakin akrab dengan sesama manusia (Wawancara dengan sejumlah narasumber Juni 2019).

Sebaliknya, orang yang pergi tanpa dilepas ‘bagai melepas ayam pagi hari’, atau hanya dibekali dengan bekal materi semata, dipercayai cenderung gagal di perantauan.

Jangan-jangan banyak lepasan perguruan tinggi yang berperilaku bagaikan orang tidak terdidik atau banyak orang yang pulang menunaikan haji masih bersikap bagaikan orang jahiliyah akhir-akhir ini, seperti yang disajikan  pada ilustrasi di awal tulisan ini, disebabkan oleh karena kepergian mereka bagaikan melepas ayam di pagi hari saja, pergi tanpa petuah, pesan dan doa. Wallahu’alam bissawab.

Daftar Kepustakaan

Bahder Djohan: Pengabdi Kemanusiaan. Jakarta: Gunung Agung, 1980.

“De Masdjid’s en Inlandsche Godsdienstscholen in de Padangsche Bovenlanden” dalam Indische Gids, 10, I, 1888, hal. 340-61.

Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (M. Yusuf Penyunting). Padang: Fak. Ilmu Budaya, 2015.

Irfan Hamka. Ayah, Kisah Buya Hamka. Jakarta: Penerbit Republika, 2011.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Kurnia Imran, Kisah Perjalanan Tiga Anak Manusia (Naskah tidak diterbitkan).

Mohammad Hatta, Untuk Negriku. Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Sebuah Otobiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011.

Muhammad Radjab, Semasa Ketjil Di Kampung (1913-1928): Autobiografi Seorang Anak Minangkabau. Djakarta: Balai Pustaka, 1950.

Pistorus, A.W.P. Verkerk, Studien over de Inlandsche Huishouding in de Padangsche  Bovenlanden. Zalt-Bommel: Joh. Noman & Zoon., 1871.

Syair Al-Rihlatu’l-Minangkabauwiyyah (Transliterasi Promono) (Tidak diterbitkan).

Syekh Ahmad Khatib, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam “Otobiografi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui (1860-1916 M). (Z. Malin Mudo dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Gre Publishing, 2016.

Wawancara Eri Rahmawati, 9 Juni 2019.

Wawancara dengan Irfandi Burhan, 6 Juni 2019.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Orang Minangkabau Sebagai Bangsa Pelaut

Dalam banyak literatur dinyatakan bahwa orang Indonesia adalah bangsa pelaut. Dalam lagu didendangkan bahwa orang Indonesia adalah keturunan para pelaut. Di alam nyata, jauh panggang dari api.

Sejak beberapa abad yang lalu orang Indonesia lebih menumpukan hidup dan kehidupan mereka pada tanah darat. Aspek-aspek kebudayaan dan peradaban agraris tumbuh dan berkembang dengan pesat. Secara kuantitatif, sangat sedikit orang Indonesia yang terlibat dalam kegiatan/pekerjaan yang berhubungan dengan laut. Dari yang sedikit itu, kualitas keterlibatan mereka juga relatif rendah. Kenyataan ini akan semakin terlihat dari berbagai catatan/data statistik yang disajikan akhir-akhir ini. Sekitar 96 % muatan angkutan laut dari Indonesia ke luar negeri diambil kapal asing dan sekitar 46.8 % muatan laut dalam negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing. Dari seluruh angkutan ekspor Indonesia hanya 4 % yang menggunakan kapal nasional. Sektor perikanan hanya menyumbang 2 % dari GDP Indonesia (dengan nilai kurang dari 2 milar dollar AS). Nilai ini sangat jauh di bawah Thailand (4,2 miliar dollar AS), padahal Negeri Gajah Putih itu hanya memiliki garis pantai sepanjang 2.600 km atau hanya 3 % panjang pantai Indonesia. TNI-AL yang seharusnya memiliki 300 kapal cobatan hanya punya 130 buah kapal yang umumnya tua dan rapuh. Thailand memiliki kapal induk, kapal combatan Indonesia hanya jenis korvet. Malaysia punya kapal selam canggih jenis Scorpene buatan Perancis dan Indonesia hanya punya dua kapal usang buatan 1960-an dan awal 1970-an yang tidak bisa optimal digunakan (karena kekurangan suku cadang). Dan ada banyak data lain yang membuat kita miris membacanya.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, hal yang sama juga berlaku di Minangkabau. Sejatinya, orang Minang adalah bagian dari bangsa pelaut. Namun dalam kenyataan, orang Minang dirasakan lebih identik  dengan  masyarakat  agraris. Sama dengan yang terjadi pada lingkup Indonesia, aspek-aspek kebudayaan dan peradaban agraris juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan orang Minang dewasa ini. Tradisi bersawah, berkebun dan berladang serta beternak menjadi identitas orang Minang. Kedudukan seseorang diukur dari luasnya sawah, kebun dan ladang serta banyak ternak yang dimiliki. Sektor perikanan terabaikan dan kaum nelayan atau perkampungan nelayan sangat jauh dari gambaran sejahtera. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dicatat dan dikemukakan dalam berbagai risalah sejarah daerah umumnya meliputi peristiwa yang terjadi di tanah darat. Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan laut, nyaris tidak terungkap. Lagu-lagu tentang laut orang Minang hanya “ratok” kesedihan dan kegagalan semata.

Kenyataan-kenyataan di atas menjadi pertanyaan bagi orang yang berpikiran kritis. Benarkah kita keturunan para pelaut? Kalau benar apakah buktinya (di mana buktinya bisa ditemukan)? Dan mengapa tradisi bahari itu bisa lenyap?

Tulisan ini mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena Indonesia terlalu luas maka – sebagai langkah awal – jawaban terhadap pertanyaan tersebut lebih difokuskan pada suku bangsa Minangkabau. Namun berbeda dari kecenderungan kajian sejarah “moderen”, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dicarikan jawabannya pada karya sejarah tradisional orang Minang, yakni tambo. Dengan menggunakan metode hermeunistik, informasi yang disajikan tambo dicoba untuk digunakan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas. Tambo dipakai sebagai sumber jawaban karena karya sejarah ini adalah salah satu “bukti tertulis tertua” yang mencatat dan mengiformasikan berbagai pengalaman hidup orang Minang di masa lampau. Di dalamnya terdapat banyak “kebenaran” historis, demografis, geografis, politis, dan budaya, yang hingga sekarang ditemukan kenyataannnya serta diakui keberadaannya. Berbagai kearifan lokal (tradisional) juga terhimpun dalam penulisan sejarah ini. Tambo dipakai karena sumber-sumber lain, terutama yang berasal tangan sejarawan kolonial atau nasional cenderung menghilangkan informasi tentang dunia maritim “urang awak” dahulunya. Di samping itu, untuk melengkapi informasi tambo, maka juga dipergunakan beberapa sumber (karya) lain, baik yang masih berhubungan dengan tambo, seperti karya Datoek Soetan Maharadja sebagaimana dimuat dalam Adatrechtbundel (1928), karya Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires (1944), dan berbagai sumber/bahan lainnya.

Tambo, Laut dan Alam Minangkabau

Dalam ilmu sejarah, tambo dikategorikan sebagai penulisan sejarah (historiografi) tradisional. Historiografi dalam corak ini berkembang dalam masyarakat dengan peradaban dan kebudayaan yang masih bersahaja. Masyarakat dalam fase ini cenderung mencampuradukkan kenyataan (realitas) dengan hal-hal yang bersifat supranatural. Kecenderungan ini menyebabkan banyak kenyataan (realitas) dalam kehidupan nyata mereka dikemukakan dalam narasi yang – bagi kita “manusia moderen” – sering dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat mitologis, irrasional, anakronistis, pars-prototo, dan lain sebagainya.

Dibutuhkan pengetahuan untuk memahami penulisan sejarah masyarakat bersahaja ini. Ilmu sejarah (historiografi) menawarkan pengetahuan itu. Dalam historiografi terdapat sebuah diktum yang mengatakan “sejarah yang benar adalah sejarah masa kini”. Ungkapan yang dikemukakan oleh Benedicto Grooce ini mengandung makna bahwa sebuah penulisan sejarah sesuai dengan latar belakang sosial, politik dan latar belakang kebudayaan berkembang pada saat ia ditulis. Sebuah penulisan yang mencampuradukkan kenyataan dengan hal-hal yang bersifat supranatural akan diakui sebagai sebuah kebenaran bagi masyarakat bersahaja  yang dalam keseharian mereka memang hidup dalam dunia yang penuh pantangan, tabu, magi, mitos, dlsbnya. Sebaliknya, penulisan sejarah yang berkembang saat ini, harus berdasarkan sumber yang kredibel, rasional (empiris) serta juga sesuai dengan jiwa zaman dan latar belakang kebudayaan masyarakat yang moderen, serba bukti dan rasional (empiris).

Dalam setiap karya sejarah tersimpan “kenyataan”, sebab karya sejarah itu sendiri adalah rekonstruksi dari kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lampau. Namun karena sejarawan khususnya dan masyarakat pendukung penulisan sejarah tersebut pada umumnya, memiliki perbedaan tingkat peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahuan (untuk menyebut beberapa faktor), maka kedalaman, kekayaan, dan jumlah “kenyataan” yang disajikan dalam setiap karya sejarah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Historiografi tradisional menyajikan “kenyataan” yang menurut kita manusia moderen termasuk dalam kategori “tersamar”, sedangkan “kenyataan” yang disajikan historiografi moderen lebih “nyata”.

“Kenyataan-kenyataan” yang disajikan tambo umumnya termasuk ke dalam kategori “tersamar”. Karena itulah dibutuhkan pengetahuan (metode) tambahan guna mengambil atau memahami “kenyataan” yang disajikannya. Metode hermeunistik adalah alat bantu yang bisa digunakan untuk itu. Walaupun demikian, tidak semua informasi tambo yang membutuhkan bantuan ilmu lain untuk memahaminya, bahkan ada banyak keterangan (deskripsi) yang bisa langsung dibuktikan kenyataannya.

Tambo menyebut, alam Minangkabau  terdiri dari dua daerah utama, darek dan rantau. Darek adalah penyebutan terdadap daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan rantau adalah kawasan di sekeliling daerah pedalaman. Secara etimologis (dalam bahasa Indonesia) kata rantau bermakna pantai sepanjang teluk (sungai) atau pesisir (sebagai lawan dari darat). Tanpa menggunakan bantuan ilmu lain, keterangan tambo ini bisa langsung dibuktikan kebenarannya, bahwa kawasan yang termasuk darek dalam daerah budaya Minangkabau memang terdapat di daerah pedalaman yang secara geografis berkukit-bukit, dan daerah rantau umumnya terdapat di kawasan sepanjang aliran sungai dan kawasan pantai.

Ungkapan-ungkapan yang membutuhkan tafsiran (hermeunistik) juga ada. Bahkan jumlahnya cukup banyak, bila dibandingkan dengan keterangan yang langsung bisa dibuktikan kebenarannya. Dalam hal ini termasuk informasi mengenai laut atau dunia maritim orang Minangkabau.

Laut sesungguhnya mendapat tempat yang banyak dalam tambo, maksudnya kata laut atau keterangan mengenai laut ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dalam karya sejarah tersebut. Dalam kaitannya dengan wilayah (teritori), tambo telah bertegas-tegas menyebut bahwa laut (dan kawasan pantai) sebagai bagian dari alam Minangkabau. Dari keterangan tambo mengenai wilayah “urang awak” dikemukakan bahwa Alam Minangkabau mencakup:

Dari sirangkak nan badangkuang, Siluluak punai mati, Hinggo buayo putiah daguak, Sampai ka pintu rajo ilia, taruih ka durian ditakuak rajo, Dari sipisau-pisau anyuik, sampai ka sialang balantak basi, hinggo aia babaliak mudiak, sampai ka ombak nan badabua, sailiran Batang Sikilang, hinggo lauik nan sadidiah, sampai ka timua ranah Aia Bangih, taruih ka Rao jo Guguak Malintang, Pasisia Banda Sapuluah, hinggo Taratak Aia Itam, sampai ka Tanjuang Simalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah“.

Ada ungkapan “ombak nan badabua” serta “lauik nan sadidiah” dalam pernyataan di atas. Dua keterangan ini menyatakan bahwa tambo telah mengakui laut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Alam Minangkabau. Di samping adanya keterangan mengenai sejumlah  nagari atau kawasan yang terletak dipinggir pantai, seperti “Aia Bangih”, “Sikilang”, dan “Pasisia Banda Sapuluah” juga mengindikasikan bahwa tambo juga memasukkan kawasan di pinggir laut tersebut sebagai bagian dari Alam Minangkabau.

Dari tambo juga diketahui bahwa laut Minangkabau tersebut terhampar dari kawasan pantai bagian barat hingga ke gugusan Kepulauan Mentawai. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan “…..dari Sipisau-pisau anyuik….” yang disebutkan dalam kutipan di atas, dan “sipisau-pisau anyuik” ditafsirkan sebagai  Kepulauan Mentawai.

Kebetulan atau tidak, berbagai peta etnografis atau atlas sejarah yang dibuat ilmuwan selama ini menempatkan daerah budaya Minangkabau di bagian tengah kawasan barat Pulau Sumatera. Gambaran dari berbagai peta dan atlas tersebut, melukiskan Minangkabau sebagai sebuah daerah yang memiliki kawasan pantai, sebuah daerah yang berhadapan langsung dengan laut.

Pelabuhan Muaro dan Gunung Padang

(Sumber: Marsden, William, The History of Sumatra. London: J. M’Creery, 1811)

Orang Minang sebagai Bangsa Pelaut

Hampir tidak ada suku bangsa di Indonesia yang dengan tegas mengaitkan asal-usul mereka dengan dunia bahari, kecuali orang Minang. Umumnya etnik-etnik lain penghuni Nusantara ini menghubungkan para leluhur mereka dengan dewa (yang bersemayam di langit) atau putri cantik yang keluar dari dalam tanah (perut bumi) atau bayi lelaki yang keluar dari belahan betung. Orang Minang menegaskan leluhur mereka datang dari negeri yang jauh (Benua Ruhum/Makedonia), datang melalui laut dan menggunakan perahu. Mereka melakukan perjalanan (pelayaran) yang lama, menyinggahi berbagai negeri (pulau) yang berlokasi di tengah laut (seperti Langkapuri), menyebut berbagai istilah yang berhubungan dunia perkapalan (seperti mualim), serta kisah yang terjadi selama dalam pelayaran (jatuhnya mahkota ke dalam laut) sebelum sampai di negeri ini. Sebagaimana dikemukakan Tambo Minangkabau buah karya Ahmad Dt. Batuah, rombongan nenek moyang tersebut sampai ke Pulau Andalas, Pulau Perca. Perahu mereka tersekat di sebuah karang di pesisir barat pulau itu. Deskripsi ini menegaskan bahwa nenek moyang mereka itu adalah pelaut sejati. Dengan demikian orang Minang adalah keturunan para pelaut.

Gunung Merapi dan Atap Rumah Gadang Mirip Perahu dalam Lukisan Tempo Dulu

(Sumber: Treasures Uit de Collecties van het Koninklijke Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde; Leiden: KITLV, 2009).

Deskripsi lain yang menyatakan leluhur orang Minang berhubungan dengan dunia laut adalah ungkapan yang menyebut ”ruso nan datang dari lauik”. Tafsiran yang diajukan terhadap pernyataan ini adalah kedatangan Adityawarman, dan seperti diketahui Adityawarman adalah salah satu ”founding father”, peletak dasar sistem politik dan sosial Minangkabau. Dia menjadi raja di daerah ini pada abad ke-14. Orang Minang mengapresiasi kedatangannya dengan bertegas-tegas menyebut kedatangannya dari laut.

Laut juga dicatat sebagai tonggak sejarah matrilineal yang dianut orang Minang. Tambo mengaitkan pilihan kepada sistem sosial ini kepada sebuah kisah yang terjadi di di kawasan Tiku, sebuah negeri yang berlokasi di pinggir pantai kawasan barat Minangkabau. Menurut tambo, Tuanku Rajo Tuo yang memerintah di rantau tersebut membuat sebuah kapal. Namun ketika akan dilayarkan, kapal tidak bisa bergerak. Dan setelah Sutan Balun (anak Daulat Yang Dipertuan Minangkabau) ikut-serta diketahuilah bahwa kapal baru akan turun ke laut bila “dikalangkan” sesosok tubuh manusia. Ketika Tanku Rajo meminta anaknya melakukan hal itu, mereka menolak, namun ketika dia meminta kemenakannya (dengan seizin ibunya) sang kemenakan segera menuruti. Dengan kesaktian Sutan Balun, kapal turun ke laut, badan sang kemenakan selamat tanpa cacat. Cati Bilang Pandai yang hadir di saat itu kemudian menitahkan bahwa pusaka benda, sawah-ladang, emas-perak yang selama ini diturunkan ke anak dialihkan kekemenakan. Sebab sang anak hanya ingin enak dan yang baik saja, sedangkan kemenakan suka atau menanggung buruk atau baiknya, sekalipun nyawanya hilang. Sekali lagi, laut diungkapkan sebagai sebuah dunia yang ikut-serta membentuk tatanan sosial orang Minang.  

Selanjutnya tambo menegaskan bahwa laut harus dijaga dan dipelihara, tugas menjaga dan memelihara laut itu diemban oleh raja. Karena itu, raja sesungguhnya adalah sebuah jabatan (pangkat) yang diberikan kepada seseorang yang memelihara laut dari Alam Minangkabau.

Tugas sang raja dinyatakan dengan ungkapan ”….mengamankan dan memakmurkan sekalian taluak taluak rantau, palabuhan, kuala, muaro dan sebagainya…”. sebagai imbalan dari tugas-tugasnya itu, raja juga memiliki sejumlah hak. Raja berwenang menerima hak daciang, pangaluaran, gantuang kamudi dan ubua-ubua. Hak pangaluaran artinya bea atas perniagaan barang yang masuk, pangaluaran artinya bea atas barang perniagaan yang keluar, gantuang kamudi artinya sewa atau bea pelabuhan, serta ubua-ubua artinya bea atas barang-barang yang diambil dari laut.

Posisi raja sesungguhnya tidak lebih dari penghulu, dinamai raja hanya agar dimaklumi oleh juragan-juragan atau nakhoda-nakhoda (asing atau non-Minang) yang datang. Bukankah ”raja” adalah sebuah sebutan yang lazim dikenal di seantero bandar niaga dan kawasan pesisir Nusantara. Sedangkan sistem politik tradisional Minangkabau menegaskan bahwa raja adalah pemegang kuasa di wilayah rantau. ”Luhak bapanghulu, ranjau barajo”.

Ada posisi raja dan berbagai tugas, kewajiban dan hak raja mengindikasikan bahwa aktivitas bahari menjadi bagian dari kehidupan orang Minang tempo doeloe. Lantas mengapa aktivitas bahari orang Minang itu dewasa ini nyaris tidak berbekas lagi?

Menjadi ”Urang Darek”

Setidaknya ada dua pengalaman sejarah penting yang mengurangi (dan bahkan ikut serta menghabisi) aktivitas bahari orang Minang. Pertama, kebijakan politik yang dijalankan Adityawarman; dan kedua, kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda.

Dalam rangka menghindari pengejaran dari penguasa dan bala tentara Majapahit, Adityawarman yang melarikan diri serta memutuskan hubungan dengan Majapahit. Pada mulanya dia mendirikan kerajaan tersendiri yang berdaulat di ”negeri leluhurnya” di kawasan Darmasraya. Merasa lokasi kerajaannya kurang aman dari gangguan Majapahit, Adiyawarman memindahkan pusat kerajaannnya jauh ke daerah pedalaman bagian tengah Pulau Sumatera (Tanahdatar). Pemindahan pusat kegiatan politik ini sekaligus juga mengurangi aktivitas bahari kerajaan. Padahal, sebelum dipindahkan ke Tanahdatar, pusat kerajaan berada di pinggir sungai (Batanghari) yang sangat strategis dan sejak zaman purba menjadi ”jalan raya” utama dari daerah pedalaman ke dunia niaga Selat Malaka.

Pemindahan pusat politik ini bahkan diiringi dengan perubahan orientasi perekenomian menjadi ekonomi agraris. Menurut Dobbin dan Ambler, tradisi bersawah diperkirakan tumbuh dengan pesat pada saat tampuk kekuasaan politik Minangkabau berada di bawah kendali Aditywarman. Proses ”daratisasi” Minangkabau oleh Adityawarman juga dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya di Majapahit yang secara umum dikenal sebagai kerajaan yang mengembangkan tradisi agraris. Sebagaimana dikemukakan Denys Lombard, kerajaan-kerajaan konsentris di sekitar pusat atau pedalaman Jawa bagian tengah adalah transplantasi dari kultur stepa bangsa Arya di India. Sebuah kultur yang dengan kekuatan peradaban kuno, penjelajah daratannya yang panjang dan diaspora yang hebat kala itu, mampu melakukan tekanan keras pada bangsa-bangsa pelaut serta pesisir. Sehingga bangsa-bangsa yang disebut terakhir ini takluk dan membiarkan dirinya tenggelam dalam cara berpikir, cara hidup, relasi sosial, spritualitas hingga ekspresi yang berpola pedalaman (daratan/konsentris).

Orang Belanda ikut-serta menghilangkan tradisi bahari orang Minang. Orang Belanda khususnya dan Eropa umumnya sangat menyadari kekuatan maritim penduduk Nusantara. Catatan yang dibuat Tome Pires dalam The Suma Orientalnya menggambarkan betapa dinamisnya dan majunya dunia bahari penduduk Nusantara. Dalam buku tersebut juga diungkapkan betapa banyaknya jenis kapal atau perahu yang dimiliki penduduk Nusantara dan betapa repotnya bangsa “Sipatokah” tersebut  menghadapi ”kerewelan” berbagai reinos dan terras yang memiliki tradisi bahari yang luar biasa itu. Portugis membutuhkan waktu yang lama serta pengorbanan moril dan materil yang tidak sedikit guna mengenyahkan aspek-aspek maritim penduduk Sumatra khususnya. Kesan yang sama juga dikemukakan juga dalam berbagai catatan pejabat VOC, catatan harian berbagai loji VOC, serta berbagai laporan yang dibuat pada era pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai sebuah kesimpulan dirumuskan sebuah kebijakan untuk menyingkirkan penduduk bumiputera dari samudera. Untuk itu berbagai aspek maritim yang dimiliki penduduk Nusantara sengaja dikurangi dan dihilangkan keberadaannya (dan digantikan dengan aspek-aspek maritim Barat). 

Di Minangkabau, penyingkiran pertama dilaksanakan oleh VOC. Berbagai ekspedisi militer dilakukan VOC untuk mengakhiri kedaulatan raja-raja yang berada di sepanjang pantai barat. Penaklukan raja-raja tersebut, di samping ditujukan untuk menjadikan mereka sebagai bawahan VOC, juga dimaksudkan untuk mereduksi (mengakhiri) peranan berbagai aspek maritim mereka. Hal ini terlihat dari perintah pimpinan ekspedisi untuk menghancurkan kapal dan perahu serta pusat-pusat pembuatan kapal dan perahu inlanders. Kehancuran kapal, perahu dan pusat pembuatan perahu sudah pasti berdampak pada aspek maritim yang lain, seperti aspek pelayaran, perdagangan, perikanan, dan bahkan bajaklaut.

Kebijakan VOC lainnya menggantikan peranan orang Minang dalam dunia maritim dengan peran-serta orang Belanda (Eropa) serta timur asing lainnya (terutama Tionghoa). Data-data statistik yang disajikan berbagai sumber yang dibuat VOC memang menunjukan bahwa keterlibatan orang Belanda (Eropa) dan Tionghoa dalam dunia maritim (terutama perkapalan dan perniagaan laut) Minangkabau memang meningkat dengan sangat signifikan. VOC misalnya mengganti peranan pialang pantai pribumi dengan para koopman, baik yang masih aktif dalam jajaran kompeni dagang itu atau yang sudah pensiun. Peranan raja (penghulu dagang) di bandar-bandar niaga atau pelabuhan di setiap teluk dan kuala diganti oleh para pachter Tionghoa, dlsbnya.

Sesudah VOC bankrut, pemerintahan Hindia Belanda melanjutkan kebijakan ”mendaratkan” orang Minangkabau. Pemerintah Hindia Belanda dinyatakan sebagai pemegang monopoli perkapalan, pelayaran dan penguasaan pelabuhan. Kapal-kapal VOC yang diambilalih pemerintah Hindia Belanda diberi hak melayani aktivitas perkapalan di pantai barat Minangkabau. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan dengan pengoperasian kapal NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij), kapal-kapal dari perusahaan NISM (Nederlandsch Indische Stoomvaart Maatschappij, Core de Vries, NISM (kembali) dan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Kapal-kapal KPM mengunjungi hampir semua pelabuhan yang ada di pantai barat Minangkabau, mulai dari Airhaji di selatan hingga Airbangis di utara. Di samping itu prioritas juga diberikan kepada kapal-kapal dari perusahaan milik orang Belanda (dan Eropa) serta orang Tionghoa untuk ikut-serta melayani transportasi laut di kawasan pesisir barat negeri ini. Kapal-kapal dan perahu orang Minangkabau dipersulit dan dipersempit ruang geraknya. Jumlah dan ukuran serta lingkup operasi mereka juga dibatasi. Banyak pembatasan yang diberikan kepada mereka. Tidak itu saja, berbagai pusat pemuatan kapal atau perahu diminimasilir keberadaannya dengan pengurangan jatah mendapatkan kayu yang baik untuk pembuatan kapal.

Proses ”daratisasi” orang Minang ini kemudian dilanjutkan dengan menggalakkan aktivitas penanaman kopi khususnya, perkebunan dan persawahan pada umumnya, serta juga penggalakkan usaha peternakan dan kegiatan-kegiatan lain yang jamak dilaksanakan di tanah “darek”. Penanaman kopi diterapkan dengan cara paksa dan massal (lewat praktik tanam paksa kopi). Penanaman padi diprogramkan dengan berbagai aturan atau plakat sawah yang dibuat dan disetujui pemerintah. Berbagai tentoonstelling (pameran atau pasar malam) untuk menampilkan atau berbagai produk dari keberhasilan pertanian, perkebunan dan peternakan diadakan di berbagai tempat di Sumatera Barat serta mendapat apresiasi yang tinggi dari pemerintah. Padi yang bulirnya paling besar dan banyak, buah kopi yang paling lebat dan bernas, sapi atau kerbau yang paling besar dan gemuk dihadiahi oleh para pejabat. Bahkan kegiatan kesenian atau alek nagari seperti pacu kuda yang diperkenalkan sejak tahun 1889 (dengan membuat gelanggang pacuan kuda di berbagai kota di Sumatera Barat) adalah juga merupakan bagian dari upaya kaum penjajah Belanda untuk melupakan orang Minang dengan tradisi baharinya. Berbagai kebijakan dan kegiatan seperti inilah, secara lambat namun pasti menggiring orang Minang menjadi orang ”darek” sejati.

Sebaliknya, berbagai data sejarah menampilkan kenyataan bahwa kaum kolonialis Belanda hampir tidak pernah membuat kebijakan atau kegiatan yang menghidupkan gairah berlaut orang Minangkabau. Kalaupun ada kebijakan atau kegiatan yang dilakukan dan berhubungan dengan dunia laut, maka dapat dipastikan tujuan kebijakan atau kegiatan itu ditujukan untuk kepentingan penjajah. Sebutlah misalnya pembuatan peta laut dan pendokumentasian wilayah pesisir Minangkabau diakhir dekade 1830-an hingga pertengahan abad ke-19 (dan akhir abad ke-19), pencatatan berbagai jenis perahu atau kapal yang dimiliki penduduk pantai barat Minangkabau, peningkatan kondisi pelabuhan atau pembuatan pelabuhan yang baru serta melengkapi sarana transportasi laut (seperti lampu suar), semuanya ditujukan bagi kepentingan penjajah. Tidak itu saja, semua kebijakan dan kegiatan itu bahkan semakin mengurangi atau bahkan mematikan keberadaan aspek-aspek maritim “urang awak”.

Akhirul Kalam

Walaupun demikian kasar dan “kejam” upaya yang dilakukan pihak luar untuk menghilangkan tradisi bahari orang Minang, ternyata hingga saat sekarang, dalam jumlah yang sangat minim, aspek-aspek-aspek maritim itu masih tersisa. Walaupun dalam porsi yang sangat sedikit, jejak-jejak kebesaran dunia maritim “urang awak” di masa lampau masih terasa jejaknya. Jejak tersebut, antara lain ditemukan dalam penulisan sejarahnya (tambo sebagai historiografi tradisional), berbagai penulisan sejarah yang dibuat oleh orang asing, serta kenyataan-kenyataan sosiologis, demografis, geografis, dan budaya yang bisa ditemukan dewasa ini.

Kebetulan, sejak dua dekade terakhir muncul gairah yang luar biasa dalam penelitian dan penulisan sejarah maritim di Indonesia. Gairah tersebut terlihat dari bermunculan sejumlah karya sejarah maritim, mulai dari yang sangat ilmiah (terutama sebagai bagian dari karya ilmiah atau disertasi guna mencapai gelar akademis doktor hingga karya-karya yang sifatnya sangat “eskperimental”, seperti karya-karya yang mengatakan bahwa Benua Atlantis dengan tradisi bahari yang demikian tinggi ada di sini (Nusantara) ini, atau karya-karya yang mengatakan bahwa nenek moyang Indonesia sebelum kedatangan bangsa Palaeo- dan Deuteromelanesoid adalah pelaut-pelau ulung yang telah berlayar mengharungi samudera luas hingga mencapai pulau-pulau kecil Lautan Pasifik dan pantai timur serta barat Benua Afrika.

Di tengah gairah penulisan sejarah maritim yang tengah menggebu sekarang, ada baiknya sejarawan daerah (Minangkabau) khususnya, juga menukikkan pandangan mereka pada dunia bahari negeri ini. Ada banyak banyak aspek maritim negeri ini yang masih membutuhkan uluran tangan para peneliti (terutama sejarawan) untuk mengungkapkannya.

Di samping itu, di saat tanah darat kita mulai susut potensinya, kawasan laut masih menyimpan kekayaan yang melimpah. Itu bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejarahan anak negeri. Dan jujur diakui, seperti disebut di atas, potensi laut itu belum tergarap dengan maksimal. Orang Minang masih bangga dengan banyak makin daging (sapi, kerbau, ayam) daripada memakan ikan. Padahal riset membuktikan bahwa memakan daging (sapi, kerbau, ayam) jauh lebih beresiko terhadap kesehatan bila dibandingkan dengan memakan ikan. Konsumsi ikan kita masih rendah, baru 26 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 45 kg dan Jepang 70 kg. Kita buktikan orang Jepang memiliki usia harapan hidup tertinggi di dunia (mungkin mereka juga termasuk manusia dengan otak yang tercerdas di dunia). Sedangkan kita, “urang awak”?

Ketika kita telah menghadapkan wajah ke laut, bertekad memanfaatkan laut secara maksimal, kita dihadapkan pada tantangan untuk mengelola laut dengan “penuh perasaan”. Artinya laut tidak bisa dieksploitasi dengan serampangan tanpa memikirkan kerusakan yang akan terjadi padanya. Pengalaman telah membuktikan, bahwa selama ini, ketika kita mengeksploitasi tanah darat dengan membabibuta, lingkungan telah rusak parah. Hutan menjadi gundul, kesuburan tanah berkurang dengan drastis, sungai dan tanah tercemar. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta keracunan pestisida atau bahan kimia lain mengancam di mana-mana.

Karena itu, ketika laut (pada saat sekarang dan nantinya) kita eksploitasi, dibutuhkan kehati-hatian dalam mengelolanya. Pengetahuan eksakta semata tidak cukup untuk itu. Pengetahuan akan sistem sosial, budaya dan kearifan tradisional masyarakat lingkungan juga memegang peranan penting. Ini semua bisa didapatkan dengan pengkajian dan penelusuran sejarah. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah maritim. Bukankah sejarah maritim adalah sejarah yang menyangkut laut (mer), kelautan (marine) dan pelaut (marins)? Dalam kondisi sekarang, kegiatan ini masih belum terlambat, sebab kita baru saja mulai memalingkan diri ke laut dan kerusakan laut itu, walaupun telah terjadi , tetapi “masih belum begitu parah”. Masih ada waktu untuk mengurangi bencana yang mungkin (pasti) terjadi bila kita lalai memperhatikannya.

Daftar Kepustakaan

Ambler, John S., „Historical Perspectives on Sawah Cultivation and the Political and Economical Contex for Irrigation in West Sumatra“, Indonesia, No. 46 (October), 1988.

Batuah, Ahmad Dt. dan A. Dt. Madjo­indo, Tambo Minang­kabau. Djakarta: Balai Pustaka, 1956  .

Cortesao, Armando, The Suma Oriental of Tome Pires. London: Haklyut Society, 1944.

Dj. Datuak Batuah, Tambo Alam Minangkabau. Pajakombo: n.p. 1930.

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.  London: Curzon Press, 1983.

Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak, 2007.

“Het Minangkabausche Gebied” No. 66 ‘Artikelen van Datoek Soeta Maharadja in de Oetoesan Melajoe (1911-1913’ dalam Adatrechtbundel. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1928.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium (Jilid 1). Jakarta: Gramedia, 1984.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Urang Awak dan Gerakan ke Pantai Timur Sumatra

“Go West, young man” adalah sebuah ungkapan yang terkenal dalam sejarah Amerika Serikat. Frase yang dipopulerkan oleh Horace Greeley ini menjadi “penuntun” arah perkembangan ekspansi orang Amerika ke arah barat, dari kawasan timur yang semula mereka duduki. “Anjuran” ini menjadi gerakan yang akhirnya menghadirkan kisah-kisah sukses bagi warga Amerika yang menuruti imbauan tersebut khususnya dan membuahkan kejayaan bagi bangsa Amerika yang merestui gerakan itu pada umumnya.

Berbeda dengan Amerika Serikat, pemerintah Hindia Belanda atau Republik Indonesia umumnya dan orang Minangkabau atau pemerintah Sumatra Barat khususnya, memilih melakukan gerakan ke arah timur. Hasil gerakan itu nyaris sama dengan pengalaman Amerika. Banyak kisah sukses yang dicatat oleh orang Minangkabau atau pemerintah Sumatera Barat setelah mereka melakukan gerakan ke timur itu. Sehingga bisa dikatakan, gerakan ke timur tersebut memberi arti yang besar bagi Minangkabau (Sumatra Barat). Gerakan ke timur itulah, yang secara langsung atau tidak, mengakibatkan terjadinya sejumlah perubahan di kalangan Urang Awak atau warga Sumatra Barat. Perubahan yang bisa dikatakan menuju ke arah kesempurnaan.

Dari catatan sejarah diketahui, bahwa gerakan ke timur itu telah dimulai sejak waktu yang lama. Gerakan itu telah terjadi sejak hari-hari pertama era moderen awal, namun gerakan yang paling intensif dan terencana, serta dilakukan dengan sungguh-sungguh mulai terjadi sejak hadirnya pemerintahan kolonial di daerah ini (dan tentu saja berlanjut ke zaman pemerintah RI dewasa ini). Gerakan ke timur pada era moderen awal lebih bersifat spontanitas dari “masyarakat biasa” (bisa terdiri dari kaum  saudagar  atau  para  bangsawan),   namun  gerakan  ke  timur  pada  zaman penjajahan dan Indonesia merdeka lebih terencana (terutama yang dilakukan oleh pemerintah) dan mempunyai alasan/latarbelakang serta tujuan yang jelas.

Tulisan ini mencoba menelusuri dinamika sejarah Minangkabau (Sumatra Barat) dalam kaitannya dengan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah, baik pemerintah kolonial Belanda ataupun pemerintah RI dalam melakukan gerakan ke timur. Pemerintah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemerintah daerah pada masa kolonial dan masa republik (Residentie van Padang en Onderhoorighenden, Gouvernement van Sumatra’s Westkust, Residentie Sumatra’s Westkust dan Provinsi Sumatera Barat).

Ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, di antaranya: Mengapa pemerintah daerah pada era kolonial atau repubik memilih melakukan gerakan ke timur? Ada apa di kawasan timur itu? Bagaimana gerakan tersebut diwujudkan dan mengapa aspek-aspek itu yang dipilih?

II

Gerakan ke timur betul-betul dimulai dari kawasan yang paling barat dari Sumatra Barat. Kawasan paling barat itu adalah kawasan pantai barat Sumatra Barat. Secara geografis, kawasan paling barat ini berada di bibir pantai Samudra Hindia. Di kawasan pesisir inilah sesungguhnya sejarah pembangunan dan perkembangan Sumatra Barat bermula, dan dari daerah ini pulalah gerakan ke timur itu berawal.

Berawalnya gerakan ke timur (dari kawasan pantai) karena kawasan itulah yang pertama kali didatangi oleh orang Eropa. Bangsa Eropa yang pertama kali menjejakan kaki mereka di daerah itu adalah bangsa Portugis dan kemudian diikuti oleh Perancis. Kedua bangsa ini mengunjungi kawasan Barat Sumatra sejak abad ke-16. Pada abad itu armada Portugis setidaknya mengunjungi daerah tersebut sebanyak empat kali (1519, 1521, 1543, dan 1539), sementara itu armada Perancis sebanyak dua kali (1529 dan 1539).

Walaupun datang agak kemudian (pada perkisaran abad ke-16 dan 17), bangsa Belanda (dan Inggris) ternyata punya arti yang besar bagi berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya Pantai Barat. Tidak itu saja, mereka dapat dikatakan sebagai peletak dasar pemerintahan moderen di Sumatra Barat. Hal itu bisa dilihat, bahwa segera setelah mendatangi daerah itu, mereka mulai menubuhkan kekuasaan politik mereka. Sedikit perbedaan di antara kedua penguasa tersebut, Inggris lebih fokus menguasai kawasan Pantai Barat bagian selatan, dan Belanda lebih intensif menggarap kawasan Pantai Barat bagian utara hingga (Singkel). Walaupun demikian, sebagai konsekuensi dari dinamika politik kawasan khususnya dan perkembangan politik di Eropa umumnya, Inggris juga pernah menguasai kawasan Pantai Barat bagian utara. Penguasaan Inggris yang mencakup hampir seluruh pesisir barat Sumatra berlangsung antara tahun 1895 hingga 1819. Masa itu populer disebut dengan masa interegnum pemerintahan Inggris.

Sama dengan yang berlaku di Nusantara hingga Tanah Semenanjung Malaysia, Belanda menubuhkan “pemerintahan” VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan Inggris mendirikan “pemerintahan” EIC (East Indian Company) di Pantai Barat Sumatra. “Pemerintahan” VOC di kawasan ini dinamakan Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust dan beribukotakan Padang (sebelumnya Pulau Cingkuak). Kawasan yang termasuk ke dalam unit administratif ini meliputi daerah mulai dari Indrapura di selatan hingga Singkel di utara. Namun perlu diperhatikan bahwa kawasan yang menjadi bagian dari unit administratif tersebut – sesungguhnya – hanyalah sebuah dataran sempit yang jaraknya tidak begitu jauh dari bibir pantai. Walaupun demikian kekuasaan VOC yang betul-betul eksis hanyalah pada beberapa buah kota pantai saja, terbatas di kota-kota di mana VOC mendirikan loji-lojinya.

Sekitar selama 150 tahun VOC (dan Inggris) hanya menguasai daerah sempit di bagian paling barat Sumatra. Bangsa Belanda (dan juga Inggris) betah bertahan di kawasan yang sempit dan terbatas itu karena adanya berbagai potensi yang bisa membuat aktivitas politik mereka jalan dan kegiatan perniagaan mereka bisa bergairah di sana.  Di kawasan itu tumbuh subur lada, dan lada merupakan komoditas dagang utama pantai barat saat itu. Di samping lada, kawasan tersebut juga menghasilkan emas. Walaupun dalam jumlah yang tidak begitu melimpah, emas bisa didapat di banyak nagari kawasan pantai barat. Kedua komoditas ini, adalah “modal” utama yang membuat orang Belanda merasa cukup nyaman tinggal dan menguasai kawasan sekitar tepi pantai semata. Apatah lagi, berbagai komoditas impor yang didatangkan dari negeri luar, sesungguhnya bisa diserap oleh penduduk kawasan pantai. Kawasan pantai barat (khususnya kota-kota pesisir di mana VOC mendirikan lojinya) juga menjadi pintu masuk ke daerah pedalaman dari Tanah Seberang dan sekaligus pintu keluar dari daerah pedalaman bila ingin pergi ke Tanah Seberang, sehingga dengan menguasai kawasan pantai saja, VOC – sampai pada batas tertentu – juga “menguasai” daerah pedalaman. Dengan demikian, menguasai kawasan pantai, untuk kurun waktu itu, sudah lebih dari cukup bagi mereka.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, situasi mulai berubah. Menjelang akhir abad ke-18, terjadi kebangkitan ekonomi yang diiringi dengan perubahan sosial di daerah pedalaman. Kebangkitan ekonomi itu berhubungan erat dengan dihasilkannya kopi dan kayu manis dalam jumlah yang melimpah di daerah tersebut. Kedua komoditas ini sangat laku di pasaran dunia saat itu, dan keduanya menjanjikan keuntungan yang besar bagi aktor-aktor yang terlibat di dalam penanaman dan perdagangannya. Kebangkitan ekonomi ini menjadi pemicu bagi perubahan sosial. Perubahan sosial terjadi karena produksi kopi dan kayu manis yang melimpah menghadirkan “orang kaya baru”. “Orang kaya baru” yang muncul itu menggunakan uang mereka untuk “mengubah nasib” melalui perantauan mental. “Perubahan nasib” tersebut dilakukan dengan jalan menyekolahkan anak-anak muda mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang ada masa itu, dan pendidikan itu adalah pendidikan Islam. Pada tingkat lokal, lembaga pendidikan tersebut adalah surau (kebetulan seiring dengan kebangkitan ekonomi, juga terjadi gerakan pembaruan Islam di Minangkabau dan surau-surau mulai tampil di panggung sejarah daerah saat itu). Ada banyak surau yang terkemuka pada waktu itu, dan ke surau-surau tersebut tersebut di berbagai tempat di Minangkabau. Sebagian alumni surau dan kebetulan memiliki cadangan finansial yang cukup kemudian melanjutkan pendidikan mereka ke Tanah Arab.

Sepulang menuntut ilmu tersebut, dengan pengetahuan baru yang mereka miliki, banyak dari mereka yang ingin melakukan perubahan di tengah masyarakat. Mereka mengeritisi praktik-praktik ibadah (agama) yang dianggap tidak sesuai ajaran agama (Al-Qur’an dan hadist), mereka juga mengeritisi bahkan ingin membongkar sistem/pranata sosial, politik, dan budaya daerah. Perubahan yang mereka lakukan ternyata menimbulkan “kegaduhan” sosial dan politik, yang dalam berbagai literatur sejarah, “kegaduhan” tersebut dikenal dengan Gerakan Paderi (kemudian dilanjutkan dengan Perang Paderi).

Kebangkitan ekonomi dan gejolak sosial yang terjadi di daerah pedalaman akhirnya melibatkan bangsa Barat yang berada di kawasan pantai. Inggris, yang pada saat gejolak itu mulai membara, menguasai Sumatra’s Westkust menjadi bangsa Barat pertama yang terlibat dalam persoalan itu. Namun keterlibatan tersebut tidak dalam artian ikut-serta dalam kecamuk perang, tetapi diwujudkan dengan sebuah misi “perjalanan ilmiah” ke daerah pedalaman. Perjalanan yang dimaksud adalah kunjungan ke pusat Minangkabau yang dilakukan oleh Raffles dan rombongan  tahun 1818. Walaupun dikatakan hanya sebagai sebuah “perjalanan ilmiah”, tidak diragukan lagi kunjungan itu didasarkan oleh keinginan Raffles khususnya dan “pemerintahan  Bengkulu” pada umumnya untuk mengetahui keadaan di daerah pedalaman serta potensi daerah-daerah yang ada di kawasan timur daerah pedalaman tersebut. Jelas sekali Gerakan Ke Timur Raffles ini tidak hanya sekedar kunjungan musibah, tetapi juga mengandung arti ekonomi dan politis. Kenyataan ini bisa dibuktikan dari dengan dibangunnya Benteng Simawang dan ditinggalkan satu pleton pasukan sepoy di sana oleh Raffles. Besar sekali arti ekonomis dan politisnya pembangunan benteng dan penempatan tentara ini, karena Simawang terletak pada salah satu ruas jalan yang penting antara daerah pesisir dengan pedalaman. Ini berarti Inggris ingin mengontrol pergerakan orang dan barang antara kedua daerah. Arti ekonomi dan politik lain dari misi Raffles ke pedalaman terlihat ketika Inggris harus hengkang dari Pantai barat sebagai akibat dari Konvensi London, Raffles bersikeras untuk mempertahankan Sumatra’s Westkust dan daerah pedalamannya. Raffles bahkan mengusulkan kepada pemerintahan “pusat” di India (dan juga di Inggris) agar tetap menguasai Sumatra Barat (hingga daerah pedalamannya). Penguasaan ini penting, karena Raffles mengatakan “siapa yang berhasil menguasai kawasan tengah Sumatra berarti akan dapat menguasai jantung kawasan niaga Selat Malaka”.

Gerakan ke timur yang dilakukan Raffles (Inggris) tidak bisa dilanjutkan, karena Inggris harus meninggalkan Sumatra. Ikhtiar Inggris tersebut diwujudkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda menerima Sumatra’s Westkust dari tangan Inggris. Segera setelah menguasai Sumatra’s Westkust, pemerintah Hindia Belanda langsung melanjutkan gerakan ke timur yang telah dimulai Inggris. Prahara politik yang terjadi di daerah pedalaman dijadikan sebagai alasan gerakan ke timur oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memandang kegaduhah politik di daerah pedalaman tersebut akan bisa mengancam kekuasaan Belanda yang baru saja eksis di kawasan pantai. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh munculnya sejumlah penghulu dari Luhak Tanah Datar (yang dipimpin oleh Sutan Alam Bagagarsyah) di Padang dan kedatangan mereka ke ibu kota keresidenan tersebut adalah meminta bantuan Belanda untuk memerangi kaum Paderi.

Bak pucuk dicinta ulam tiba, Residen Du Puys segera menyetujui permintaan tersebut, dan segera setelah itu Belanda memulai gerakan ke timur. Gerakan ke timur ini kemudian berhasil menubuhkan kekuasaan Belanda di daerah pedalaman. Daerah “timur” yang pertama mereka kuasai adalah Tanah Datar. Hal itu ditandai dengan jadikannya daerah itu sebagai bagian dari unit administratif Residentie Padang en Onderhoorigheden, dan ditempatkannya seorang wakil pemerintah Belanda di daerah itu (Batu Sangkar) yang saat itu populer dengan sebutan Fort van der Capellen. Tidak itu saja, Sutan Alam Bagagarsyah, tokoh yang berperan mengundang Belanda masuk ke daerah pedalaman juga diangkat penguasa kolonial sebagai Hoofdregent van Minangkabau, sebuah jabatan yang diciptakan Belanda, yang sesungguhnya tidak punya peran soial, politik, atau ekonomi apa-apa. Jabatan itu seharusnya dipandang sebagai “imbalan” dari pemerintah kolonial terhadap Alam Bagagarsyah yang melempangkan jalan baginya untuk masuk ke daerah pedalaman.

Setelah menguasai Tanah Datar, gerakan ke timur dilanjutkan dengan menguasai Agam dan Limapuluh Kota. Setelah penaklukan itu dilaksanakan maka Fort de Kock (Bukittinggi) dijadikan sebagai pusat pemerintah, militer, dan ekonomi kolonial oleh penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Residentie Padangsche Boven­landen dibentuk, maka Fort de Kock dijadikan ibu kota unit administratif yang baru dibuat itu.

Dari Agam Belanda merangsek ke arah utara dan kemudian kawasan timur dari belahan utara tersebut, di antaranya ke kawasan Dalu-Dalu (Rokan). Sehubungan dengan itu, ekspansi ke utara itu sesungguhnya juga bagian dari gerakan ke timur pemerin­tah kolonial Belanda.

Sejumlah karya sejarah mengenai masuknya Belanda ke kawasan pedalaman selama ini cenderung mengaitkan gerakan ke timur itu dengan kampanye militer. Gerakan ke timur periode awal ini dilihat dari ikut-sertanya Belanda dalam Perang Paderi. Sering dikatakan bahwa gerakan ke timur yang dilakukan pemerintah Belanda sebagai sebuah penaklukan militer yang melibatkan ribuan tentara. Dan kemenangan yang diperoleh pihak Belanda cenderung dikaitkan dengan kelebihan mereka dalam sistem persenjataan dan taktik serta strategi perang yang lebih moderen. Sangat sedikit, atau hampir tidak ada kajian yang melihat bahwa kisah sukses ekspansi ke daerah pedalaman itu adalah juga hasil dari strategi “non-militer”, yang antara lain ditandai dengan pembangunan jalan raya untuk memudahkan mobilisasi pasukan. Nyaris belum ada kajian yang lebih sungguh-sungguh menelusuri berapa banyak jalan raya antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman yang dibangun oleh Belanda pada hari-hari pertama gerakan mereka menuju kawasan pedalaman, yang nota benenya berada di sebelah timur daerah yang selama ini mereka kuasai.

Tidak diragukan lagi, kisah sukses masuknya Belanda ke kawasan pedalaman (gerakan ke timur), atau kisah sukses Belanda menaklukan Kaum Paderi  adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan jaringan jalan raya yang mereka lakukan. Setidaknya, selama Perang Paderi tersebut, Belanda membangun tiga jalur jalan raya utama yang menghubungkan kawasan pantai dengan daerah pedalaman. Pertama, antara Padang via Limau Manis terus ke Gantung Ciri, Guguak, Selayo dan ke Tanah Datar; kedua, dari Padang via Lubuk Minturun terus ke Saningbakar dan Singkarak serta dilanjutkan ke Tanah Datar; ketiga, dari Pariaman dan Tiku, terus ke Lubukbasung, Maninjau, Matur, dan dari Matur jalan bercabang dua, yang pertama ke Bukittinggi serta yang satu lagi ke Palembayan dan selanjutnya ke Bonjol.

Ada fenomena yang sangat menarik dari Gerakan ke Timur dengan cara membangun jalan raya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Jalan yang mereka bangun itu sesungguhnya adalah jalan lama (jalan setapak) yang sebelumnya telah digunakan oleh penduduk pedalaman ketika mereka pergi ke daerah pantai atau ketika mereka pulang ke daerah pedalaman dari daerah pantai. Namun jalan baru mereka bangun itu jauh lebih baik mutunya sehingga bisa dilalui oleh kuda dan kendaraan penarik meriam (orang Belanda meningkatkan mutu apa yang dibuat penduduk setempat).

Di samping membangun jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman, di daerah pedalaman itu sendiri, baik di Tanah Datar, atau antara Tanah Datar dengan Limapuluh Kota serta Agam pemerintah kolonial Belanda juga membangun puluhan atau ratusan ruas jalan. Pembangunan ruas-ruas jalan tersebut, pada awalnya adalah untuk kepentingan pergerakan pasukan (tentara). Itulah sebabnya, mengapa di kawasan Tanah Datar khususnya dan dari Tanah Datar ke kawasan Agam dan Limapuluh Kota terdapat demikian banyak ruas jalan. Ruas-ruas jalan itu masih bisa ditemukan hingga saat sekarang.

Pembangunan jaringan jalan raya inilah yang menyebabkan dinamisnya mobilisasi pasukan Belanda selama Perang Paderi. Dan dinamisnya mobilisasi pasukan ini pulalah yang menjadi salah satu faktor penentu utama kemenangan Belanda dalam Perang Paderi. Kemenangan dalam Perang Paderi berarti juga tuntasnya upaya gerakan ke timur fase awal pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat.

III

Pembangunan jaringan jalan raya kemudian menjadi salah satu prioritas pemerintah daerah Sumatra Barat pasca-penaklukan Kaum Paderi. Ruas-ruas jalan yang telah dirintis sebelumnya ditingkatkan mutunya. Program peningkatan mutu jalan ini antara lain ditandai dengan pelebaran jalan dan pengurangan terjalnya tanjakan atau tajamnya penurunan. Upaya peningkatan jalan ini menyebabkan jalan yang semula hanya bisa dilalui oleh kuda atau kereta penarik meriam sekarang bisa dilalui oleh pedati yang ditarik oleh kerbau.

Di samping peningkatan mutu jalan yang telah ada, juga dilakukan pembukaan jalan baru. Dua ruas jalan yang dibuka pasca-Perang Paderi adalah ruas jalan dari Padang atau Pariaman menuju Padang Panjang dan Bukittinggi via Sicincin dan Kayutanam serta Lembah Anai, serta ruas jalan antara Air Bangis dengan Rao.

Pembangunan ruas jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah salah satu “proyek” paling besar dan paling penting artinya di dan bagi Sumatra Barat. Pembangunan berbagai ruas jalan itu dilakukan dengan susah payah dan dengan energi serta dana yang besar. Ada perbedaan topografi yang sangat signifikan antara daerah pesisir dengan daerah  pedalaman, dan perbedaan itu menyebabkan adanya sebuah tanjakan yang paling tajam pada hampir semua ruas jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman. Tanjakan yang paling tajam dalam ruas Pariaman – Lubuk Basung – Maninjau – Matur adalah Kelok 44, tanjakan palin tajam pada ruas jalan antara Padang (Pariaman) – Sicincin – Kayutanam – Padangpanjang adalah Singgalang Kariang, tanjakan yang paling tajam dalam ruas jalan Padang – Solok adalah Sitinjau Laut.

Pemerintah kolonial Belanda “nekad” membangun jalan raya antara kawasan pesisir dengan pedalaman, walaupun menguras tenaga dan biaya yang besar. Pilihan tersebut tetap mereka ambil karena itu adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik gerakan ke timur. Pembangunan jaringan jalan raya adalah kunci suksesnya gerakan ke timur pada fase kedua.

Pemerintah kolonial Belanda tetap melanjutkan  politik pembangunan jaringan jalan raya pasca-Perang Paderi. Peningkatakan mutu jalan atau pembukaan ruas jalan baru saat itu berhubungan erat dengan keinginan penguasa Belanda untuk memperlancarkan hubungan antara daerah Barat dengan Timur dalam upaya memaksimalkan eksploitasi ekonomi daerah-daerah yang telah mereka kuasai. Eksploitasi ekonomi yang dimaksud adalah penyerahan wajib (Cultuur-stelsel) kopi oleh penduduk kepada pemerintah.

Sejak tahun 1847 pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa kopi di Sumatra Barat. Dalam sistem tanam paksa ini, setiap keluarga petani diwajibkan menanam sebanyak 250 batang kopi di tanah yang tersubur yang mereka miliki, kemudian mereka diwajibkan merawat, memanen, dan mengantarkan hasil panen kopi ke gudang-gudang kopi yang telah disediakan pemerintah. Dari gudang-gudang kopi yang umumnya berada di kawasan pedalaman tersebut kopi di bawa ke kawasan pantai. Untuk itu semua dibutuhkan adanya dan tersedianya jalan raya yang baik, jalan raya yang bisa dilalui oleh petani untuk membawa kopi yang mereka hasilkan dan jalan raya yang bisa dilalui pedati untuk mengangkut kopi.

“Jalan raya kopi” yang dibangun pasca-Perang Paderi itu nyaris menghubungkan semua daerah di kawasan pantai dengan daerah pedalaman, dan nyaris pula menghubungkan semua daerah yang ada di daerah pedalaman. Puluhan atau ratusan ruas jalan raya tersebut juga “dihiasi” oleh puluhan atau ratusan jembatan. Semua jembatan yang ada pada masa itu terdiri dari jembatan kayu. Dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan jembatan tersebut, maka pemerintah atau penduduk setempat memberi atap pada banyak jembatan. Tidak tanggung-tanggung, banyak jembatan yang diberi atap menyerupai atap rumah gadang, rumah adat Minangkabau.

Suksesnya Tanam Paksa Kopi didukung oleh tersedianya jaringan jalan raya yang bisa dikatakan lebih dari cukup di Sumatra Barat. Sehingga bisa dikatakan, pada era Tanam Paksa Kopi (dan tentu saja pada masa sesudah Tanam Paksa Kopi dihapuskan), Sumatra Barat termasuk salah satu daerah yang memiliki jaringan jalan raya yang paling banyak dan dengan kondisi yang paling baik saat itu di Hindia Belanda).

Gerakan ke timur yang ditandai dengan pembangunan prasarana transporasi memasuki babak baru pada perempat terakhir abad ke-19. Pada saat itu, pemerintah kolonial membangun jaringan jalan kereta api yang menghubungkan kota Padang dengan Padang Panjang, Solok dan Sawahlunto. Secara geografis, Sawahlunto berada di bagian timur kota Padang. Pembangunan jaringan jalan kereta api ini dilakukan karena ditemukannya cadangan batubara dalam jumlah yang banyak di kawasan sekitar Sawahlunto. Kereta api menjadi alat pengangkut utama batubara ini. Dari Swahlunto, batubara tersebut dibawa ke Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur), pelabuhan laut yang ada di kota  Padang untuk selanjutnya diekpsor ke mancanegara.

Pembangunan jaringan jalan kereta api yang semula hanya hingga Sawahlunto kemudian (pada awal abad ke-20) dilanjutkan hingga ke Bukittinggi dan Payakumbuh, direncanakan hingga Suliki. Perluasan jangkauan dan layanan kereta api ini bisa juga dilihat sebagai bagian dari gerakan ke Timur yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda. Bukankah Payakumbuh khususnya dan kawasan hingga Suliki pada umumnya terletak timur dari Sumatra Barat?

Introduksi jalan kereta api menjadikan lengkapnya prasarana dan sarana transportasi darat di Sumatra Barat. Kehadiran dua prasarana transportasi ini telah ikut menyukseskan eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya kolonial Belanda di Sumatra Barat.

IV

Seiring dengan perjalanan waktu, memasuki abad ke-20 kejayaan daerah yang berada di kawasan pantai barat mulai meredup. Kelesuan juga melanda daerah pedalaman Sumatra’s Westkust. Produksi kopi menurun dengan drastis dan kopi tidak lagi menjadi komoditas primadona dalam perdagangan dunia. Penurunan produksi yang tajam juga dialami oleh berbagai komoditas dagang lain yang dihasilkan daerah pedalaman. Sehubungan dengan itu, secara lambat namun pasti, kawasan pesisir barat mulai ditinggalkan para pelaku ekonomi. Beberapa negara asing yang sebelumnya membuka konsulat perdagangan mereka di Padang misalnya, mulai meninggalkan kota itu dan memindahkan kantor mereka ke daerah lain. Sejumlah perusahan ekspor-impor yang sebelumnya memiliki handelhuizen (rumah dagang) satu demi satu juga meninggalkan kota itu. Sejumlah prusahaan pelayaran perkapalan mancanegara yang pada waktu sebelumnya menjadikan Padang sebagai pelabuhan “wajib singgah” mereka dalam pelayaran antara Batavia dengan Eropa atau sebaliknya, juga mengalihkan rute mereka ke kawasan lain. Padang khususnya dan Sumatra Barat umumnya tidak lagi termasuk kawasan yang  memiliki gairah niaga yang mempesona. Seperti di sebut di atas, kopi dan kayu manis, sebagai hasil andalan daerah pedalaman dan yang membuat bergairahnya daerah pantai barat, mulai menurun jumlah dan mutunya. Berbagai komoditas lain, yang dimasa-masa lampau juga ikut menggairahkan dunia niaga Sumatra Barat, juga merosot dengan sangat tajam produksinya. Kenyataan ini membuat lesunya hubungan antara daerah pantai barat dengan daerah pedalamannya, sebab sebagian besar komoditas perdagangan tersebut dihasilkan oleh daerah pedalaman.

Sebaliknya, memasuki awal abad ke-20 pantai timur Sumatra (termasuk daerah yang berada tepat di sebelah timur Sumatra Barat) mulai menggeliat. Secara perlahan namun pasti, kawasan itu tampil menjadi pusat pertumbuhan politik dan ekonomi di Sumatra. Di samping itu, kawasan itu juga menjadi daerah pelintasan utama yang harus dilalui bila orang Sumatra Barat ingin pergi ke pusat-pusat politik dan ekonomidi kawasan Tanah Semenanjung Malaysia.

Perkembangan yang disebut terakhir inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda mulai memberikan perhatian yang istimewa pada kawasan tersebut (kawasan paling timur dari Sumatra Barat). Sehubungan dengan itu, berbagai misi perluasan kekuasaan ke arah timur mulai dilakukan.  Beberapa ekspedisi militer dikirim ke wilayah XIII Koto dan V Koto Kampar. Di samping itu daerah Kuantan, Indragiri, Siak, dan Rokan mulai dimasuki.

Dalam rangka memudahkan pergerakan pasukan dan rombongan berbagai ekspedisi ke kawasan Kampar khususnya (dari arah Sumatra Barat, dari Bukittinggi dan Payakumbuh), serta dalam rangka mengontrol daerah yang telah dikuasai di daerah itu, maka dibangunlah jalan raya antara Bukittinggi dan Payakumbuh dengan kawasan Kampar. Dengan demikian, sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat mengintensifkan gerakan ke daerah yang lebih jauh di timur.

Gerakan ke timur dari Sumatra tidak saja ditujukan ke kawasan yang dewasa ini menjadi bagian dari Provinsi Riau. Gerakan ke timur di awal abad ke-20 ini sesungguhnya juga mengarah ke kawasan yang lazim dikenal dengan Sumatra’s Oostkust atau Sumatra Timur (kawasan yang antara lain meliputi Deli, Serdang, Langkat, dlsbnya). Di kawasan ini juga muncul sebuah kota besar, yakni Medan dan kemunculan kota tersebut dengan cepat mengambil alih kejayaan Padang. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Medan tumbuh menjadi kota terbesar dan terpenting di Sumatra. Pada decade-dekade pertama abad ke-20, Medan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang terkemuka di Sumatra. Kenyataan ini disebabkan oleh pembukaan berbagai ordernemingen (perkebunan besar) di kawasan itu. Pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan kota Medan mengambil alih peran pelabuhan Emmahaven (Padang), dan kapal-kapal samudera yang dahulu menyinggahi Padang mengalihkan rutenya ke pelabuhan Belawan. Perkembangan inilah menyebabkan hampir semua konsulat perdagangan yang ada di Padang memindahkan kegiatan mereka ke Medan. Sejumlah besar handelhuizen yang sebelumnya ada di kota Padang juga hijrah ke kota itu.

Kebangkitan Medan khususnya dan Sumatra Timur umumnya, mendorong pemerintah Hindia membangun jaringan jalan raya dari Sumatra Barat ke Sumatra Timur, tepatnya dari Bukittinggi ke kota Medan. Karena itu, hubungan darat jarak jauh pertama di Sumatra (pada mulanya menggunakan bendi dan kemudian menggunakan bus/truk), adalah pelayanan transportasi darat antara Bukittingggi dengan Medan. Pelayanan ini telah terselenggara sejak dekade-dekade permulaan abad ke-20.

Pemerintah kolonial Belanda memang menggunakan jaringan jalan raya sebagai bagian penting dari penubuhan kekuasaan mereka di Sumatra. Sarana transporasi darat adalah faktor terpenting dari politik penaklukan mereka di Sumatra. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, untuk mengintensifkan penguasaan dan peneguhan kontrol atas Kampar khususnya dan Riau pada umumnya, pemerintah kolonial Belanda juga membangun jaringan jalan raya dari Bukittinggi, Payakumbuh hingga Bangkinang dan selanjutnyake Pakanbaru (di Riau). Di kawasan selatan Sumatra Barat, Belanda juga membangun jalan raya dari Solok, Sijunjung, Kiliran Jao menuju Taluk Kuantan hingga Rengat (di Riau).

Karena terletak di jajaran Pegunungan Bukit Barisan, maka kedua ruas jalan raya ini juga dipenuhi oleh tanjakan, penurunan, tikungan, serta diapit oleh tebing yang tinggi serta lembah yang dalam. Ruas jalan yang secara intensif mulai dibangun tahun 1920-an itu dapat dikatakan “selesai” pada pertengahan tahun 1930-an.

Kelok Sembian pada Ruas Jalan Antaar Bukittinggi – Pakanbaru

(Sumber: Elout, C.K., Indisch Dagboek. Den Haag: W.P. van Stockum & Zoon N.V., 1936)

Sejak dimulai pembangunan, jalan tersebut telah dimanfaatkan oleh para pengguna (baik saudagar atau orang biasa). Beberapa Laporan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Laporan Kadin Padang yang dibuat pada tahun-tahun pengerjaan jalan tersebut memberitakan bahwa ada banyak pengguna yang melintasi jalan yang tengah dikerjakan itu. Sehingga mereka berani meramalkan bahwa nantinya kedua ruas jalan itu akan menjadi ruas jalan utama dan terpenting di bagian tengah Sumatra. Laporan PU dan Kadin Padang juga menyebut bahwa salah satu pengerjaan yang paling sulit dan membutuhkan biaya serta menyita waktu yang banyak adalah pengerjaan ruas Jalan Kelok Sembilan. Walaupun demikian kedua lembaga ini juga mengatakan bahwa keberadaan Kelok Sembilan akan menjadi sangat penting, karena menjadi penentu utama dalam hidup atau matinya hubungan antara Payakumbuh (Sumatra Barat) dengan Bangkinang dan Pakanbaru (Riau). Pembangunan ruas jalan antara Payakumbuh dengan Bangkinang dan Pakanbaru (serta antara Kiliran Jao dengan Taluk Kuantan dan Rengat) dapat dikatakan sebagai puncak dari gerakan ke timur yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda. Pembangunan ruas jalan tersebut mengantarkan Sumatra Barat menjadi sebuah daerah yang mulai menggantungkan dirinya dengan kawasan sebelah timur, Riau khususnya dan Tanah Semenanjung pada umumnya.

V

Segera setelah Indonesia merdeka, pemerintah Sumatra khususnya nyaris alpa memperhatikan kawasan timur. Fokus perhatian lebih ditujukan kepada Sumatra Barat sendiri, khususnya daerah pedalamannya. Kebetulan atau tidak, segera setelah kemerdekaan RI diproklamirkan, daerah pedalaman Sumatra Barat, terutama Bukittinggi tampil sebagai pusat pemerintahan, pada awalnya Keresidenan Sumatra Barat, dan kemudian Provinsi Sumatra Tengah.

Pengabaian kawasan timur oleh pemerintahan daerah Sumatra Barat, atau warga daerah Sumatra Barat semakin menjadi-jadi ketika aktivitas sosial, politik, dan ekonomi Sumatra Tengah (sejak awal dasawarsa 1950-an) terkonsetrasi di Sumatra Barat umumnya dan di beberapa kota di daerah itu khususnya. Akibat perkembangan ini, orang Riau atau Jambi, yang secara geografi berada di kawasan timur Sumatra “terpaksa” datang ke Sumatra Barat. Mereka datang ke Sumatra Barat untuk menuntut ilmu karena sekolah lanjutan terbaik dan sekolah tinggi (akademi dan universitas terkemuka) hanya ada di Sumatra Barat. Mereka datang ke Sumatra Barat untuk berbelanja berbagai barang kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan lain. Mereka juga harus datang ke Sumatra barat untuk berbagai urusan administrasi atau politik, karena hampir semua instansi pemerintahan yang bersifat regional menempatkan kantor pusatnya di Sumatra Barat. Hal ini terlihat dari, antara lai, ditempatkannya di Sumatra Barat kantor Pusat Pelayanan Pajak untuk daerah Sumbar, Riau, dan Jambi; Kantor Pusat PLN; Pos dan Telekomonikasi; Bank Indonesia; BPCP; Kodam III; dlsbnya.

Keadaan seperti di atas berlangsung hingga berakhirnya era Orde Baru. Setelah itu berlaku ungkapan, “zaman berganti, musim berubah”. Era reformasi yang nyaris bersamaan dengan pergantian millennium mengantarkan Riau pada era baru, menuju alaf baru, Alaf Melayu Riau. Di era baru ini Riau mendapatkan kembali haknya yang selama ini nyaris tidak pernah didapatnya (terutama karena sistem politik yang sentralistis yang dijalankan Jakarta).

Memasuki alaf baru, orang Riau menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri. Posisi-posisi penting dalam lapangan politik daerah beralih dengan segera ke tangan orang Riau. Dana yang besar, sebagai kompensasi dari eksploitasi kekayaan alam daerahnya, dikucurkan pusat ke Riau.

Dalam waktu yang relatif singkat Riau umumnya dan Pakanbaru khususnya tumbuh menjadi pusat perekonomian. Investor masuk dan menanamkan modal mereka dalam berbagai lapangan pertanian dan industri. Prasarana transportasi dibangun dengan masif dan sarana transportasi juga tumbuh mencengangkan. Dalam kaitannya dengan sektor transportasi ini, Riau menjadi daerah yang begitu terbuka. Ada banyak pilihan yang mereka miliki. Ada jaringan jalan raya memudahkan mobilitas warga daerah ke utara (Sumatra Utara) atau ke selatan (Jambi dan Sumatra Selatan serta terus ke Jakarta). Perhubungan laut (menuju Kepulauan Riau atau Malaysia) juga tersedia. Transportasi udara juga tumbuh dengan pesat. Bandara yang semula hanya “selebar telapak tangan” dan gedungnya yang sederhana diperbesar dan dirombak menjadi gedung yang megah.

Kompleks perumahan dan hotel, serta pertokoan, supermarket dan mall juga tumbuh dengan maraknya.

Dengan dana yang melimpah Riau mengembangkan dunia pendidikannya. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi baru didirikan atau ditingkatkan mutunya. Untuk itu peralatan belajar-mengajar juga dilengkapi, serta sumber daya pendidikan (dan kualitas para pengajar) juga ditingkatkan. Dana yang besar juga diberikan untuk menyekolahkan “anak-anak” Riau ke pusat-pusat pendidikan (terutama di Pulau Jawa dan Malaysia). Dengan dana yang besar pula para penentu kebijakan di Riau menyekolahkan “anak-anak’ Riau ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Riau juga menggairahkan dunia tulis menulis. Para penulis difasilitasi dan diapresiasi dengan luar biasa. Dalam waktu yang relatif pendek, ratusan (kalau tidak ribuan) buku lahir dari tangan penulis Riau. Media massa (terutama surat kabar) juga tumbuh dengan pesat di Riau. Industri penerbitan apalagi.

Kehidupan seni dan budaya juga bergairah. Inovasi dan kreasi seni (dan sastra) hadir di Riau. Tidak hanya di pusat pemerintah dan ekonomi  (Pakanbaru) tetapi juga di tingkat kabupaten dan kota). Sepanjang tahun kita saksikan selalu ada pertunjukan seni/budaya di Riau.

Perlahan namun pasti, secara resmi atau tidak, berbagai lembaga pemerintahan yang berstruktur wilayah (Sumatra Tengah) mulai “memindahkan” kantor pusat mereka ke Riau (Pakanbaru). “Pemindahan” ini terutama sekali disebabkan oleh aktivitas yang paling besar dari lembaga tersebut adalah di Riau (Pakanbaru). Kalau tidak “dipindahkan” dengan sendiri oleh lembaga tersebut, orang Riau bahkan dengan aktif mengupayakan pemindahan itu. Dalam, berbagai kesempatan misalnya, orang Riau dengan gigih mengusulkan agar BPCB Sumatra Barat, Riau dan Kepulauan Riau yang berpusat di Batusangkar dipindahkan saja ke Pakanbaru.

Tidak itu saja, orang Sumatra Barat sendiri juga menjadikan Riau sebagai “kiblat” yang baru. Dalam media cetak yang terbit di Sumatra Barat beberapa kali diberitakan adanya sejumlah kunjungan (studi banding) dari sejumlah sekolah di Sumatra Barat ke Riau, banyak “anak“ Sumatra Barat akhir-akhir ini yang melanjutkan pendidikan mereka di Riau (Pakanbaru), adanya sejumlah pemerintah daerah di Sumatra Barat yang mengadakan “rapat kerja” di Pakanbaru, melakukan studi perbandingan ke Riau, dan membuka akses jalan dari daerah merek ke Riau (seperti yang dilakukan pemerintah Kabupaten Pasaman), dlsbnya. Sehubungan dengan kasus yang terakhir, pemerintah Provinsi Sumatra Barat bahkan berupaya memperbaiki (meningkatkan mutu jalan antara Payakumbuh hingga ke perbatasan Riau), yang antara lain ditandai dengan pembangunan jembatan Kelok Sembilan.

Pembangunan Kelok Sembilan menghadirkan kembali gerakan ke timur dari pemerintah daerah Sumatra Barat, karena pada kenyataannya, pemerintah Sumatra Baratlah yang paling sibuk dan habis-habisan membangun ruas jalan itu.

Nilai penting jalan raya antara Sumatra Barat dengan Riau saat sekarang memang untuk orang Sumatra Barat. Pengguna yang paling banyak dari jalan raya itu adalah orang Sumatra Barat, dan keuntungan yang paling banyak dari jalan raya tersebut adalah untuk orang/daerah Suamtera Barat. Bagi Riau dewasa ini, tanpa Sumatra Barat mereka juga bisa hidup, setidaknya begitulah sejumlah suara yang muncul di daerah itu. Hal ini masuk akal juga karena hubungan Riau dengan daerah lain di utara dan selatan terbuka dengan lempangnya.

Gerakan ke timur fase keempat baru saja dimulai, dan yang memulai sekarang adalah orang atau pemerintah daerah Sumatra Barat. Bagaimanakah perkembangan selanjutnya dari gerakan ini? Waktulah yang akan menjawab.

Daftar Kepustakaan

Bastin, John, The Bristish in West Sumatra (1685-1825). Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1965.

Dobbin, Chiristine¸ Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784 – 1847. London: Curzon Press, 1983.

Gusti Asnan, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera” dalam Taufik Abdullah (ed.), Indonesia Dalam Arus Sejarah (Jilid IV). Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal.  42-69.

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat: Dari VOC Hingga Reformasi (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006).

Gusti Asnan “Transportation on the West Coast of Sumatra in the Nineteenth Century” dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 159-4, 2002, hal. 727-741.

Katirithamby-Wells, J, The British West Sumatran Presidency, 1760-1885: Problem of Early Colonial Enterprise. Kuala Lumpur: Penerbit University Malaya, 1977.

Kraus, Werner, Zwischen Reform und Repebellion: Ueber die Entwickelung des Islams in Minangkabau (West Sumatra, Zwischen den Beiden Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908) (Wiesbaden: Franz Steiner Verslag, 1984).

Mohammad Radjab,, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837). Djakarta: Djambatan, 1954.

Raffles, Sofia, Memoirs of the Life and Public Service of Sir Stamford Raffles. London: John Murray-Albemarke Street, 1830.

Reid, Anthony , ‘The French in Sumatra and the Malay World 1760–1890’, dalam Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (12, 2/3, 1973), hal. 195-238.

Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981);

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Thomaz, Luis Felippe, “Sumatra’s Westcoast In Portuguese Sources of the Mid 16th Century” dalam Bernhard Dahm (ed.), Region and Regional Devepment in the Malay World. Wiesbaden: Otto Harrasowitz, 1992.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Perjalanan ke Pengasingan

Ada dua versi tentang lokasi kuburan Tuanku Imam Bonjol. Versi pertama mengatakan kuburan Tuanku Imam Bonjol berada di Lotak, Sulawesi Utara.  Versi kedua mengatakan makam Tuanku Imam Bonjol berlokasi di suatu tempat di Bonjol. Versi pertama bisa dikatakan sebagai karya sejarah yang empiris, sedangkan versi kedua lebih bersifat pengetahuan sejarah (sebagian) masyarakat.

Sebagai rekonstruksi sejarah, versi pertama atau versi kedua, pasti memiliki bukti atau sumber. Versi pertama, yang lazim kita kenal, menjadikan makam sang tuanku dan bangunan pendukungnya di Lotak, serta sejumlah catatan atau dokumen historis sebagai bukti atau sumber. Sebaliknya, versi kedua, juga menyatakan ada bukti atau sumber pendukung yang mereka miliki. Sayangnya, para pendukung versi kedua ini tidak mau menampilkan data atau sumber yang mereka miliki. Mereka menyelimuti sumber mereka dengan ungkapan bahwa kuburan itu “berada di lokasi yang dirahasiakan”.

Para pendukung versi kedua tetap mempercayai dan berupaya pula meyakinkan orang lain bahwa kuburan Tuanku Imam Bonjol bukan di Lotak. Mereka juga mencoba meyakinkan orang lain bahwa Tuanku Imam Bonjol tidak pernah ditangkap, ditawan dan dibuang ke sejumlah negeri sebelum akhirnya sampai ke Lotak. Mereka juga meyakinkan orang bahwa yang ditangkap dan dibuang, serta berkubur di Lotak itu adalah orang lain yang disuruh ‘berakting’ menjadi Tuanku Imam Bonjol.

Walaupun versi kedua ini tidak menghebohkan lagi, sebagaimana terjadi tahun 1980-an, tetapi keberadaannya tetap dirasakan hingga sekarang. Tidak hanya itu, keberadaan versi kedua ini dianggap bersifat kontra produktif. Pernyataan ini berpotensi menghadirkan penilaian negatif terhadap Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut TIB), dia akan dikatakan pengecut, mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya, dan tidak berjuang sampai akhir hayat. Penilaian ini akan menguatkan pernyataan Taufik Abdullah dan Muchtar Luthfi saat polemik itu menghangat tahun 1980-an, yang mengatakan “kalau begitu cabut saja gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan kepada Tuanku Imam Bonjol”. Versi yang kedua ini juga berpotensi melemahkan kesahihan Naskah Tuanku Imam Bonjol, yang dewasa ini diusulkan menjadi Memory of the World.

Naskah Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut NTIB) adalah salah satu sumber yang tidak hanya menginformasikan berbagai hal yang dialami Tuanku Imam Bonjo selama Perang Padri, tetapi juga informasi khusus mengenai penangkapan serta pembuangannya. Ada banyak informasi menarik yang tersaji dalam naskah ini. Informasi yang memperlihatkan mengapa Tuanku Imam Bonjol memilih datang ke Palupuh menemui wakil Belanda, keberadaan ‘tentara niniak mamak’ yang sangat setia pada Belanda, sikap politik Belanda terhadap penangkapan dan pembuangan Tuanku Imam Bonjol, sikap Tuanku Imam Bonjol terhadap penangkapan dan pembuangannya, serta berbagai ‘fakta sosial’ tentang simpati dan hasat sejumlah orang yang ikut menjadi lakon cerita, termasuk juga informasi tentang keramatnya TIB.

Tulisan ini akan menampilkan kisah perjalanan Tuanku Imam Bonjol sejak dia ditangkap hingga sampai Lotak. Bahan utama yang digunakan untuk tulisan ini adalah NTIB.

Ada dua alasan penggunaan sumber ini: Pertama, setakat ini isi NTIB relatif belum banyak dikenal masyarakat luas. Kedua, menggunakan NTIB sebagai sumber berarti menyajikan informasi mengenai penangkapan, pembuangan dan pengalaman hidup TIB di tanah pembuangan sebagaimana yang dia sajikan sendiri. Ketiga, memberikan penghargaan kepada NITB sebagai sebuah karya yang bernilai historis dan layak digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Disadari juga, ada satu kelemahan NTIB, yakni kurang memiliki kesadaran waktu. Untuk mengatasi kelemahan ini bisa digunakan sumber lain.

II

Dari NTIB kita mengetahui bahwa memenuhi undangan Belanda (Residen Francis) untuk berunding di Palupuh adalah pilihan terbaik, dari yang terburuk, oleh TIB. TIB memutuskan menemui sang residen setelah melihat banyaknya korban yang jatuh dan semakin brutalnya Belanda menghajar para pendukungnya. NTIB menyajikan banyak informasi mengenai kekejaman dan kebrutalan Belanda sejak beberapa waktu sebelum kejatuhan Benteng Bonjol (16 Agustus 1837) hingga hari-hari menjelang Tuanku Imam Bonjol memenuhi undangan Francis untuk berunding di Palupuh. Tidak hanya pihak lelaki, kaum perempuan juga dibunuh, dilukai atau yang paling ringan ditangkapi oleh tentara Belanda.

TIB pergi ke Palupuh, sebuah nagari yang berlokasi antara Bonjol dengan Bukittinggi dan saat itu di sana ada benteng Belanda, bersama empat pengiringnya. Keempat pengiring itu adalah Durahap (keponakan TIB), Sutan Saidi (anak TIB), Bagindo Tan Labiah (semenda TIB), dan si Golong (‘ajudan’ TIB). Mereka sampai di Palupuh pada tanggal 28 Oktober 1838.

Ada proses yang cukup rumit dalam pertemuan itu. Proses pertemuan TIB dengan petinggi Belanda itu difasilitasi oleh ‘broker’, Tuanku Manis namanya. Tuanku Manis ini dahulunya adalah murid TIB namun kemudian berkhianat dan bergabung dengan Belanda. Sesampai di Palupuh ternyata Francis tidak ada, TIB kemudian hanya bersua dengan Kapten Steinmetz, Asisten Residen di Bukittinggi.

Setelah pertemuan dengan Steinmetz, tengah malam saat menginap di rumah Tuanku Manis, TIB dijemput oleh jaksa dengan mengatakan Tuan Besar (Asisten Residen) menunggu di Bukittinggi. Dari Palupuh TIB berjalan ke Bukittinggi bersama jaksa dan diiringi oleh tentara.

Setelah tiga hari di Bukittinggi, TIB dan kawan-kawan bertemu dengan Asisten Residen serta para kepala laras dan regen (pejabat bumiptra atau Inlandsche Bestuur) pendukung Belanda.  Dalam pertemuan itu, Steinmetz mengatakan bahwa TIB harus tinggal di Bukittinggi, akan diberi uang belanja, boleh bersenang-senang diri dengan beribadah di surau dan mengaji. Dikatakan juga istri dan keluarga TIB diizinkan untuk datang dan tinggal di Bukittinggi.

Namun, Regen Batipuh, seorang tokoh adat pendukung Belanda dan sangat benci kepada kaum Padri mengatakan bahwa selama TIB ada di Tanah Darat maka Belanda tidak akan pernah tenang.

Dipengaruhi oleh hasungan Regen Batipuh atau memang telah direncanakan oleh Belanda, pada selepas shalat isya, empat hari setelah pertemuan dengan Steinmetz dan para pemimpin bumiputra kaki tangan kolonialis itu, anak buah Regen Tanah Datar menangkap Bagindo Tan Labiah dan seorang pengikut TIB. TIB yang ingin membela anak buahnya dibawa menghadap Seteinmetz serta komandan tentara Bukittinggi. Dalam pertemuan malam itu dikatakan bahwa TIB akan dibawa ke Padang menemui Residen Francis. Dikatakan bahwa masalah TIB tidak bisa diputuskan oleh Asisten Residen. TIB yang menduga dia akan dipenjara atau dibunuh (TIB menyebut akan dibinasakan) ditampik oleh komandan tentara (Letnan Arbacht) bahwa TIB tidak akan dibinasakan. TIB menulis, komandan tentara itu berkata “Tidak Tuanku akan binasa, tidak berkicuh pada Tuanku. Saya bersumpah kepada hari malam dan kepada lampu yang hidup ini, tidak Tuanku dibinasakan kompeni”.

Pandai benar komandan tentara tersebut meyakin TIB, pakai sumpah segala.

Setelah itu, malam itu juga TIB dan empat pengikutnya dibawa ke Padang. Dikatakan TIB dibawa dalam usungan. Beliau ditandu oleh anggota pasukan Regen Batipuh.

Ada informasi yang menarik dalam proses perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang. Perjalan ke Padang dilakukan dalam delapan kali berhenti dan pergantian “tuan” (pejabat militer Belanda) yang mendampingi perjalanannya. Delapan kali berhenti ini nampaknya menjadi pola perjalanan Bukittinggi – Padang atau sebaliknya sejak masa pembangunan jalan via Lembah Anai. Pada masa-masa berikutnya, jarak antar perhentian itu dinamakan  etape.

Delapan etape yang ditempuh TIB adalah Bukittinggi – Padangpanjang, Padangpanjang – Kayutanam, Kayutanam – Kiambang, Kiambang – Lubukalung, Lubukalung – Batanganai, Batanganai – Duku, Duku – Ujungkarang, dan Ujungkarang – Padang.

Di setiap tempat perhentian, TIB dan rombangan makan, minum, shalat dan istirahat (bermalam kalau sampai malam hari).

Perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang ternyata telah diketahui orang banyak. Karena itu, TIB menyebut dalam BTIB bahwa sepanjang jalan banyak warga yang menantinya atau mengiringi rombongannya untuk jarak tertentu.

Berbeda dengan perjalan sebelumnya, sesampai di Ujungkarang, TIB dan pengikutnya dibawa dengan kereta menuju Padang. Tidak disebutkan di mana mereka berhenti dan makan-minum di Padang, informasi yang disajikan hanyalah setelah makan mereka langsung dibawa lagi dengan kereta menuju kuala (muara). Muara adalah pelabuhan kota Padang. Setiba di pelabuhan itu TIB baru sadar bahwa dia ditipu, bahwa dia tidak dibawa untuk bersua dengan Residen Francis. Apalagi setelah itu dia dan rombongannya disuruh naik sekoci menuju Pulau Pisang. Pulau Pisang adalah reede kota Padang saat itu. Reede adalah pelabuhan tempat kapal samudra berlabuh, karena Pelabuhan Muara terlalu dangkal untuk kapal-kapal besar. Dalam dunia maritim Indonesia reede umumnya berlokasi di sebuah pulau.

Sesampai di Pulau Pisang TIB dan rombongan langsung naik ke kapal yang sudah menunggu di sana. Saat itu, sekali lagi, TIB menyadari bahwa dia akan dibawa jauh menyeberang lautan dan tidak akan kembali lagi ke Alahan Panjang (Bonjol).

Kapal yang dinaiki TIB adalah kapal layar tiang tiga layar. Kapal tidak langsung berangkat, karena itu TIB tidur di kapal malam itu.

Besoknya Residen Francis datang ke kapal menemui TIB. TIB menulis dalam NTIB bahwa ada banyak dialog antara dia dengan Francis. Inti dari dialog itu adalah: Pertama, TIB mengatakan bahwa dia ditipu Belanda; kedua, TIB rela menerima apapun yang diputuskan kompeni terhadapnya; ketiga, Francis mengatakan masalah TIB harus diputuskan oleh “Tuan Besar” di Betawi; keempat, dengan sombongnya Francis bahwa sekarang TIB berhadapan dengan orang yang menang perang.

Selama dalam pelayaran TIB tidak boleh memegang senjata. Tiga jenis senjata TIB, yakni sebuah sewah, dua keris dan satu rudus mesti diserahkan kepada kapten kapal.

Setelah Residen datang pula jaksa menemui TIB. Dia datang dengan membawa beberapa perlengkapan untuk TIB, seperti pakaian dan bahan makanan.

Pada pagi-pagi hari ketiga kapal berlayar meninggalkan Pulau Pisang menuju Batavia. TIB menyebut ada tujuh hari lama pelayarannya, kapal berlayar dengan kecepatan penuh, sebab semua layar terkembang sempurna.

Seperti di Padang, di Batavia kapal juga berlabuh di reede (Pulau Onrust). Karena itu TIB dan rombongannya harus naik sekoci lagi menuju pelabuhan.

Di pelabuhan TIB ditunggu oleh Komandan Hamzah. Dan dengan kereta TIB dibawa menemui residen. TIB selalu menyebut bahwa setiap kali bersua dengan pejabat tinggi Belanda selalu ada kalimat sapaan yang menyenangkan, pertanyaan basa-basi. Ketika bersua dengan Residen Betawi misalnya sang residen menyapa “Sudah datang Tuanku. Ada baik Tuanku”.

Sesudah pertemuan dengan residen, TIB tinggal di rumah Komandan Hamzah selama empat bulan.

Setelah empat bulan, residen memberi tahu TIB bahwa dia akan tinggal di Cianjur. Dikatakan bahwa TIB akan dapat gaji (50 rupiah/gulden) per bulan, dapat makan, dan dapat rumah tempat tinggal.

Lima hari setelah itu, dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh enam kuda, TIB bersama Komandan Hamzah berangkat menuju Bogor. Di Bogor mereka ingin menemui residen, tetapi residen hanya berpesan agar TIB dibawa menemui regen depati Bogor. TIB juga tidak sempat bersua dengan regen/bupati Bogor, namun sempat bermalam di sana. Besoknya perjalanan dilanjutkan menuju Cianjur. Setelah itu TIB menetap di sana.

Dalam NTIB ini tidak disebutkan aktivitas TIB selama di Cianjur. Namun ada satu informasi yang menarik. Tidak lama sesampai di Cianjur, TIB membuat surat permintaan kepada Tuan Besar (Gubernur Jendral Hindia Belanda) melalui Residen Cianjur untuk diizinkan pulang ke kampung halamannya. Tiga bulan menunggu, akhirnya datang balasan yang isinya meminta TIB datang ke Batavia. Tidak datang sembarang datang, tetapi datang dengan membawa semua barang dan perkakas yang dimiliki.

Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, TIB dijemput tengah malam. Dibawa ke Bogor dengan pengawalan penuh, 12 serdadu di depan dan 12 dibelakang. Dari Bogor dibawa ke Betawi. Sesampai di Betawi menginap lagi di rumah Komandan Hamzah,

Di Betawi TIB baru sadar bahwa jawaban atas permintaannya agar diizinkan pulang kampung dijawab oleh Gubernur Jendral dengan keputusan memindahkannya ke Ambon.

NTIB memberikan rincian perjalanan ke Ambon dengan cukup lengkap. Dari Betawi TIB berangkat dengan kapal perang menuju Surabaya. Di Surabaya menginap selama tiga malam. Dari Surabaya pelayaran dilanjutkan ke Negeri Sido Tabing, bermalam pula selama tiga malam. Di Sido Tabing TIB membeli bahan makanan (bahan yang akan dimasak). Dari Sido Tabing pelayaran dilanjutkan ke Buton. Berlabuh selama enam malam di Buton. Dari Buton pelayaran dilanjutkan menuju Ambon. TIB menulis dibutuhkan waktu dua bulan untuk menempuh jarak Betawi dengan Ambon tersebut.

Di pelabuhan TIB dijemput fiskal dan dibawa menghadap “tuan besar” (gubernur). Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan dan kesehatan “tuan besar” mengataka bahwa TIB akan tinggal di Ambon, mendapat gaji 65 rupiah (gulden) sebulan, 200 pon beras, namun tidak mendapat pakaian.

TIB tinggal di rumah Al Haji Umar. Rumah itu disewakan oleh pemerintah sebesar 15 rupiah per bulan. TIB tinggal selama 2 tahun di rumah itu.

Karena kondisi rumah yang buruk dan sewa mahal, TIB berniat untuk pindah rumah. Pindah ke  rumah seorang saudagar bangsa Belanda.

Al Haji Umar tidak setuju TIB pindah, sebab pasti membuat dia rugi. Selama ini dia diuntungkan dengan kehadiran TIB, sebab rumahnya jelek dan dibayar mahal. Karena hasat dan dengki ini, Haji Umar melapor pada gubernur dan mengasung gubernur dengan mengatakan bahwa dia tidak bertanggung jawab kalau TIB lari atau mengamuk.

Hasungan sang haji tersebut diterima sang gubernur, sehingga gubernur memutuskan akan memindahkan TIB ke Menado. Namun, ketika menyampaikan rencana itu kepada TIB, gubernur mengatakan bahwa kepindahan TIB ke Menado adalah demi kebaikan TIB sendiri. Dikatakan bahwa Menado negeri baik, tempat baik, makan murah. Di sini (Ambon) segala barang mahal karena negeri kecil.

TIB mencoba meminta kepada sang gubenur agar dia tidak dipindahkan ke Menado. Tetapi gubernur bersikeras mengatakan TIB harus pindah.

Dalam NTIB kemudian dikemukakan bagaimana usaha TIB agar diizinkan tetap tinggal di Ambon. Dikatakan bagaimana lika-liku usaha yang ditempuh TIB dalam membuat surat permohonan agar tidak dipindahkan ke Menado. Bagaimana dia membuat surat permohonan yang juga ditandatangi dan didukung oleh banyak pihak, di antaranya fiskal dan Kapiten Melayu. Diceritakan juga bagaimana pandangan Kapiten Melayu dan seorang Belanda (Tuan Pinner) juru tulis yang membantu TIB membuat surat permohonan tentang negeri Menado. Keduanya mengatakan bahwa Menado tidak Islam. Banyak babi di situ. Negerinya kotor sekali.

Surat permintaan agar tidak dipindahkan ke Menado dibalas oleh gubernur dengan perintah segera berangkat. Tidak pakai lama, besok harinya TIB harus berangkat karena kapal sudah menunggu.

Dari Ambon kapal yang ditumpangi TIB singgah dulu di Ternate (pelayaran Ambon-Ternate ditempuh selama lima hari). Bermalam selama tiga hari di Ternate. Sewaktu berlabuh itu TIB dikunjungi oleh Raja Ternate. Dari Ternate, pelayaran dilanjutkan menuju Menado. Setelah berlayar selama tiga hari tiga malam sampailah di pelabuhan, tetapi kapal tidak bisa merapat ke dermaga. Ombak besar dan angin kencang. Akibatnya kapal hanyut terbawa arus hingga mendekat ke Ternate lagi. Kapal kemudian balik lagi ke Menado, dan pengalaman yang sama terulang lagi. Terulang sampai tiga kali. Dinyatakan dalam NTIB, ada hubungan antara kegagalan kapal tersebut merapat ke pelabuhan dengan keramat TIB. TIB tidak rela pindah ke Menado.

Setelah turun ke darat diketahui bahwa negri tempat kapal berlabuh itu bukan Menado, tetapi Kimah. Dari Kimah kapal berlayar lagi selama satu hari dan barulah sampai di Menado.

Sesampai di Menado TIB dibawa menemui residen, dan residen memerintahkan agar TIB dibawa menemui Letnan Melayu.

TIB tinggal di Menado selama empat bulan. Setelah itu diputuskan pula bahwa TIB dipindahkan ke Komba. TIB, yang telah mengetahui bahwa Komba adalah negeri kecil dan berada di pedalaman, serta memiliki suhu yang dingin, meminta agar dia jangan dipindahkan ke sana. Permintaannya ditolak dengan jawaban yang kasar. “Belum lagi Tuanku rasa sudah tuanku minta, mana boleh. Pai malah Tuanku dulu. Coba barang satu atau dua bulan. Kalau rasa tidak baik boleh datang sama saya minta tolong”.

Setelah delapan bulan tinggal di Komba, TIB merasa tidak cocok. Suhu di sana terlalu dingin sehingga TIB minta dipindahkan kembali. Dijawab oleh petinggi setempat dengan mengatakan boleh pindah tetapi ini yang terakhir. TIB ditawarkan pindah ke beberapa tempat, boleh pindah ke Menado, Lotak, Tomohon, atau Tondano. Akhirnya dipilih Lotak dan disetujui.

Tetapi kemudian oleh pemerintah TIB dibuatkan rumah di Kokas dan dipindahkan ke sana. TIB merasa tidak cocok tinggal di Kokas. Alasannya Kokas terlalu kecil, airnya kotor dan tidak cocok untuk beribadah.

Setelah setahun tinggal di Kokas, TIB minta kepada residen agar dia diizinkan membeli tanah tempat tinggal di Lotak, tempat yang semula dia pilih dan disetujui residen. Usulannya ini disetujui residen, bahkan dikatakan TIB boleh membeli tanah sebanyak yang dia suka. TIB beli tanah seluas 100 benih padi, dengan harga 60 rupiah delapan puluh kepeng.

Setelah itu dibangunlah rumah tempat tinggal di tanah yang dibeli tersebut.

Namun sewaktu akan pindah, ketika TIB melapor, komandan militer tidak terima dan menghasung residen agar TIB tidak diizinkan pindah ke Lotak. TIB disalahkan karena tidak melapor kepadanya terlebih dahulu. Residen menerima pengaduan komandan tentara sehingga dia juga tidak mengizinkan TIB pindah ke Lotak. Protes TIB yang mengatakan mengapa dulu dia diizinkan, tidak didengar sang residen.

Nasib baik berpihak pada TIB. Tidak lama setelah komandan tentara dan residen membatalkan kepindahannya ke Lotak, “Tuan Besar” (gubernur) dari Ambon datang berkunjung ke Menado dan juga Lotak. “Tuan Besar” bahkan memanggil TIB untuk bertemu. Saat itulah TIB mengadukan permasalahan yang dihadapinyadengan sang residen. Setelah pertemuan tersebut, residen mengizinkan TIB pindah ke Lotak.

TIB tinggal selama 10 tahun di Lotak. Sebagaimana tertulis pada NTIB, hari Selasa bulan November 1864 TIB berpulang ke Rahmatullah.

TIB berpulang pada usia 92 tahun. Usia ini dihitung dengan menjumlahkan keterangan yang disampaikan TIB saat bersua dengan Elout di Bonjol tahun 1832, saat itu beliau mengatakan bahwa beliau berusia 60 tahun. Bila dihitung bahwa beliau meninggal tahun 1864  (32 tahun setelah pertemuan dengan Elout), maka berarti usianya saat meninggal TIB berusiadalah 92 tahun.

Berpulangnya TIB berarti berakhir pulalah masa pembuangannya yang berlangsung selama 26 tahun. Angka 26 tahun diambil dari perhitungan mulai dia ditangkap tahun 1838 hingga meninggal tahun 1864. Angka ini juga berarti bahwa hampir sepertiga umurnya dihabiskan di pengasingan.

III

Pengasingan TIB memiliki dinamika tersendiri. Tidak seperti kebanyakan pejuang Indonesia musuh Belanda, yang umumnya diasingkan ke satu tempat saja, maka TIB diasingkan ke banyak tempat. Pada awalnya diasingkan ke negeri yang penduduknya Islam, selanjutnya ke negeri yang mayoritas warganya non-muslim. Pola pengasingan ini ada hubungannya dengan upaya pengasingan TIB dari lingkungan yang islami.

Perjalanan TIB menuju tanah pengasingan juga diisi banyak pertemuan dengan sejumlah sosok yang memiliki berbagai karakter. Ada komandan tentara yang munafik dan sombong, ada tokoh adat Urang Awak yang penuh hasat dan dengki, ada ‘menak’ atau bangsawan dan pejabat Sunda yang tidak mau menemui TIB, ada pejabat Belanda yang sama dan orang sipil Belanda yang suka menolong, ada haji yang juga penuh hasat dan dengki, ada ‘orang lain’ (komandan orang Bali di Betawi, Kapiten dan Letnan Melayu di Ambon dan Menado) yang penuh simpati dan suka membantu, ada Raja Ternate yang memberi penghargaan kepada TIB, dan sejumlah sosok lain dengan sifat dan karakter yang berbeda. Semua orang yang ditemui TIB dalam pengasingannya memiliki sifat yang menampilkan karakter manusia dengan segala kurenah dan perangainya. Itu semua sangat manusiawi.

Tidak hanya pengalaman fisik serta kasat mata yang ditampilkan, NTIB juga menyajikan sejumlah informasi tentang dunia spritual bahkan dunia magis yang ada pada TIB. Ada banyak informasi tentang dunia ini dalam NITB. Salah satu contoh aspek ini dikemukakan TIB dalam kaitannya dengan kegagalan kapal merapat ke pelabuhan dalam perjalanan menuju Menado.  Kapal gagal merapat karena TIB tidak rela diasingkan ke negeri di mana kapal akan berlabuh. Dikatakan, keramat TIB-lah yang membuat kapal selalu gagal berlabuh, dan karena keramat TIB pulalah akhirnya, atas izin beliau, kapal akhir bisa sandar di dermaga. TIB ‘mengalah’ karena tidak ingin kapal dan penumpang kapal lebih lama menderita karena ketidakikhlasannya dipindahkan ke negeri yang tidak disukainya.

Sebagai sebuah karya ‘biografi’ yang ditulis menurut pola histriografi tradisional, NTIB memang memiliki sejumlah unsur yang tidak ditemukan dalam karya sejarah moderen (empiris). NTIB tidak memiliki kesadaran waktu, NITB sering memasukkan aspek-aspek non-empiris dalam narasinya, dan sejumlah ciri histriografi tradisional lainnya. Namun itu semua tidak mengurangi makna historis kandungan isinya, tidak mengurangi nilainya untuk dijadikan sebagai sumber sejarah. Kelemahan-kelemahan NTIB bisa diperkuat dengan penggunaan sumber-sumber tertulis lain yang bejibun jumlahnya.

Di samping bisa digunakan untuk penulisan sejarah Perang Padri khususnya, NTIB juga bisa dijadikan “senjata” untuk mengkaunter pendapat atau pandangan yang mengatakan bahwa TIB tidak pernah ditangkap, tidak pernah dibuang, dan tidak meninggal serta tidak berkubur di Lotak. Karena dari NTIB ini kita bisa mengetahui bahwa pendapat itu adalah sangat tidak mungkin. NTIB menyebut ada banyak orang, dengan siapa Tuanku Imam Bonjol berhubungan dalam proses penangkapanan dan pembuanganya. Dan sebagian dari orang-orang itu, kenal dan pernah berhubungan dengan Tuanku Imam Bonjol. Jadi tidak mungkin, bahwa orang-orang banyak itu bisa ditipu oleh orang yang ‘berakting’ sebagai Tuanku Imam Bonjol.

TIB memang ditangkap, dibuang ke banyak tempat, dan meninggal serta berkubur di Lotak.

Perjalanan TIB menuju tanah pembuangan adalah sejarah perjuangan yang juga perlu dihayati dan diapresiasi. Ada banyak perderitaan yang juga dialami dan ada banyak upaya yang dilakukan TIB agar tetap survive dalam perjalanan menuju dan tinggal di pengasingan. Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa Tuanku Imam Bonjol betul-betul berjuang hingga akhir hayatnya.

Daftar Kepustakaan:

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh Gusti Asnan