Month: May 2021

Bonjol Pada Masa Perang Padri

Bonjol adalah benteng terakhir kaum Padri menghadapi Belanda. Penaklukan Bonjol adalah ‘the ultimate target’ yang harus dicapai oleh tentara Belanda. Di mata pemerintah Belanda, klaim kemenangan melawan Padri baru bisa dinyatakan kalau Bonjol dikuasai dan Tuanku Imam ditawan atau dikalahkan.

Dalam kenyataannya, sangat susah bagi Belanda untuk menaklukkan Bonjol. Dibutuhkan waktu yang relatif lama dan pengerahan tentara yang banyak sebelum kolonialis itu berhasil memenangkan perang. Mengapa itu bisa terjadi? Apakah ada kaitan antara susahnya proses penaklukan tersebut dengan lingkungan geografis kawasan di mana Bonjol berada? Apakah ada kaitannya dengan sistem pertahanan/perbentengan Padri? Atau apakah ada hubungannya dengan keadaan sosial, politik, dan budaya masyarakat setempat?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sehingga bisa menyajikan gambaran mengenai Bonjol pada masa Perang Padri. Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada bagian berikut ini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai sejarah nama Bonjol tersebut.

II

Bonjol sesungguhnya bukanlah nama ‘asli’ dari unit permukiman yang menjadi basis pejuang Padri pada tahun-tahun perang mereka melawan Belanda. Nama ini muncul dalam kaitannya dengan Gerakan dan Perang Padri. Seperti yang akan dibicarakan nanti, nama ini muncul karena dibuatnya kubu atau benteng pertahanan oleh kaum Padri di kawasan itu. Kubu atau benteng pertahanan dalam bahasa Minangkabau lama (Minangkabau archaic word) disebut dengan bonjo (bonjol).

Karena di masa lalu, khususnya pada masa Perang Padri, oleh Urang Awak banyak dibangun kubu atau benteng pertahanan, maka ada banyak unit permukiman (kampung atau nagari) di Minangkabau yang dinamai dengan bonjol (atau diawali dengan kata bonjol), di samping kubu atau benteng. Beberapa nama kampung atau nagari yang memakai kata bonjo (bonjol) ini adalah Bonjo Alam, Bonjo Itam, Bonjo Panjang, dlsbnya. Jadi, Bonjol adalah nama yang mulai lazim disebut untuk unit permukiman yang menjadi kampung sekaligus markas Imam Bonjol dan pengikutnya pada masa Gerakan atau Perang Padri. Dan pada awalnya, penamaan itu hanya untuk sebagian kecil dari kawasan yang dewasa ini disebut Bonjol. Seperti yang terlihat pada peta yang dilampirkan pada tulisan ini, Bonjol yang dimaksud pada masa Perang itu hanya terbatas pada sebuah kawasan yang betul-betul berperan sebagai kubu, benteng pertahanan dan ‘markas’ kaum Padri.

Lukisan Bonjol, Mesjid dan Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi)

(Sumber: “Bondjol’ dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, II-1, 1839)

Segera setelah perang usai dan kaum Padri dikalahkan, maka untuk menghapuskan memory collective warga setempat atas kehebatan bonjol (kubu atau benteng pertahanan) mereka, maka pemerintah kolonial mengganti nama unit permukiman ini dengan nama ‘ala Belanda, yakni Kotta Generaal Cochius. Pergantian nama ini dilakukan tahun 1838. Sejak saat itu, penamaan Bonjol dihilangkan dalam berbagai catatan resmi dan administratif kolonial, dan diganti dengan Kotta Generaal Cochius).

Sama dengan Bukittinggi dan Batusangkar, Bonjol sesungguhnya di masa lalu juga pernah memiliki nama Belanda.

Harus dipahami, bahwa di mata kolonialis Belanda, pemberian nama seorang tokoh penting kepada sebuah kota atau daerah berarti bahwa unit permukiman atau wilayah itu dianggap penting serta memiliki arti istimewa oleh pemerintah kolonial. Hanya kota atau unit permukiman dan wilayah tertentu yang diberi nama tokoh hebat Belanda oleh pemerintah kolonial, dan itu – sekali lagi – adalah kota atau unit permukinan yang memegang peranan penting atau memiliki arti istimewa di mata mereka. Artinya, Bonjol adalah salah satu unit permukiman atau daerah yang memiliki arti istimewa di mata kolonialis Belanda.

Karena nama Kotta Generaal Cochius dan Bonjol adalah nama-nama yang muncul belakangan, lantas, apa nama ‘asli’ dari unit permukiman di mana Bonjol itu berada?

III

Seperti disajikan pada peta yang dilampirkan dalam tulisan ini, dalam bahasa Belanda, kawasan di mana Bonjol itu berada dinamakan Vallei van Alahan Pandjang (Lembah Alahan Panjang). Seperti dinyatakan juga dalam sejumlah sumber Belanda, penamaan ini diambil dari nama sungai yang mengalir di kawasan ini yaitu Sungai (Batang) Alahan Panjang. Di samping itu, sumber lokal, terutama Naskah Tuanku Imam Bonjol, juga menamakan unit permukiman ini dengan Alahan Panjang.

Peta Lembah Alahan Panjang

(Sumber: Lange, H.M., Het Nederlandsh Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra, (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch, 1854).

Dikatakan, bahwa Lembah Alahan Panjang adalah sebuah kawasan yang memiliki panjang 3 palen (4,5 kilometer) panjang dan lebar 1 paal (1,5 kilometer), yang berbentuk lingkaran memanjang dari utara ke selatan, serta dikelilingi oleh pegunungan (bukit-bukit) yang berhutan lebat. Pegungan atau bukit-bukit itu sendiri sesungguhnya sangat besar artinya bagi kawasan ini, karena di pintu masuk ke lembah ini dari luar berada di pegunungan itu. Menurut analisis ahli perang Belanda, jika bisa dijaga atau dipertahankan dengan benar (sungguh-sungguh), maka semua pintu masuk ke lembah (kawasan ini) sudah terlindungi oleh pegunungan atau bukit-bukit itu.

Pintu masuk atau akses jalan itu menghubungkan Alahan Panjang dengan negeri-negeri atau kawasan-kawasan yang ada di sekitarnya. Jalan ke arah utara menghubungkan Alahan Panjang dengan Lubuk Sikaping dan Rao, ke arah timur menghubungkan Alahan Panjang dengan Suliki hingga ke XIII Koto Kampar, ke arah selatan menghubungkan Alahan Panjang dengan Agam, ke arah barat menghubungkan Alahan Panjang dengan Alahan Mati, Simpang, Malampah, dan terus Sasak dan Katiagan. Akses jalan yang terbuka ke empat kawasan yang kaya penduduk dan memiliki arti yang penting dalam bidang sosial-ekonomi ini pernah dimanfaatkan oleh kaum Padri Bonjol untuk meluaskan dakwah (gerakan) penyebaran ajaran yang mereka miliki.

Lembah Alahan Panjang adalah sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kawasan ini memiliki lahan pertanian (sawah) yang bagus dan luas. Untuk mengolah sawah digunakan kerbau, dan kerbau itu sendiri banyak sekali jumlahnya di daerah ini. Daerah ini memiliki berbagai jenis tanaman, mulai dari sayur-mayur hingga buah-buahan. Semuanya tersedia dalam jumlah lebih dari yang dibutuhkan warganya. Batang Alahan Panjang yang mengalir dari utara ke arah selatan juga kaya dengan ikan. Tidak hanya di sungai, warga juga memelihara ikan dalam kolam. Salah satu jenis ikan yang dipelihara di kolam adalah ikan gurami.

Di Lembah Alahan Panjang itu terdapat sejumlah kampung, di antaranya Bonjo Itam, Lubuak Ambacang, Pasia, Kampuang Baru, Mandari, Alai, Padang Sikaduduak, Koto Marapak, Jambak, Caniago, Talang atau Pancuran Tujuah, Tandikek, Bonjol, Tanjuang Bungo, Padang Baru, Padang Laweh, dlsbnya.

Oleh sejumlah sumber Belanda dikatakan bahwa Bonjol adalah ibu kota atau kampung yang paling besar (utama) Lembah Alahan Panjang. Bonjol itu sendiri terletak di sebelah timur bagian selatan lembah.

Seperti tersaji pada peta dalam tulisan ini, Bonjol kira-kira berbentuk empat persegi panjang, yang mana bagian utara lebih luas dari bagian selatan, dan bagian selatan itu sendiri juga agak runcing. Dari peta ini bisa dilihat bahwa Bonjol berlokasi di lereng perbukitan (Bukit Tajadi atau kadang-kadang dinamai juga Bukit Tak Jadi). Posisi ini menempatkan bagian timur Bonjol dilindungi oleh Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi), sedangkan tiga sisinya yang lain, utara, barat dan selatan merupakan sisi yang terbuka. Dari peta juga terlihat bahwa di Bonjol ini mengalir sebuah sungai kecil, sungai yang seakan-akan membagi Bondjol menjadi dua bagian.

Boelhouwer, seorang perwira menengah Belanda yang sempat masuk ke Bonjol pada tahun 1833, serta juga sempat bertemu dengan Tuanku Imam Bonjol, memberikan gambaran yang lengkap mengenai Bonjol pada saat itu. Sebuah gambaran yang meyakinkan kita bahwa Bonjol itu adalah memang sebuah kubu atau benteng pertahanan, sekaligus menjadi markas kaum Padri.

Dikatakan juga, bahwa di samping terletak pada posisi yang cukup tinggi, Bonjol dilengkapi dengan sistem pertahanan yang canggih. Sistem pertahanan itu mencakup adanya dua lapis dinding dengan kekuatan bahan dan ukuran yang berbeda. Pada lapisan pertama ada dinding yang terbuat dari batu besar yang nampaknya diambil dari sungai. Tinggi dinding pada lapisan pertama ini sekitar tiga meter. Dinding kedua, sebelah dalam, adalah dinding tembok yang terbuat dari batu dengan campuran ‘kapur’ (non semen) yang kuat dan kokoh. Tinggi dinding pada lapisan kedua ini sekitar 3,5 meter.

Di bagian luar dinding tersebut dibuat parit yang dalam yang digenangi oleh air dengan lebar sekitar empat meter. Tidak sampai di sana saja, untuk memperkuat pertahanan, pada bagian atas dinding diisi dengan aur berduri yang ditanam rapat. Bila tumbuh, aur berduri yang ditanam rapat tidak akan bisa atau sangat sukar untuk dilalui, karena di samping berduri, aur jenis ini memiliki ranting yang saling mengikat, saling mengait, dan saling melilit batangnya.

Namanya sebuah kubu atau benteng pertahanan, Bonjol ini juga dilengkapi dengan sejumlah meriam (buatan Inggris) dengan ukuran 12 pon (salah satu meriam kaliber terbesar saat itu). Keberadaan meriam dalam ukuran yang besar dan jumlah yang banyak ini semakin membuktikan bahwa Bonjol adalah sebuah kubu atau benteng pertahanan yang sangat kuat, dan akan sangat susah untuk ditaklukkan.

Di bagian dalam Bonjol ada sejumlah rumah tempat tinggal tokoh atau pemimpin Padri serta sejumlah hulubalang Padri. Rumah-rumah itu memiliki kamar yang cukup banyak, dan kamar yang banyak itu nampaknya diperuntukan buat para istri para tokoh atau pemimpin Padri. Di halaman rumah-rumah itu ada kolam yang airnya jernih serta diisi dengan banyak ikan, di antaranya ikan gurami.

Sebagai sebuah permukiman kaum Padri, mesjid menjadi salah satu bangunan terpenting di Bonjol. Pentingnya mesjid ini bisa disaksikan dari deskripsi yang disampaikan Boelhouwer. Sang serdadu ini menyebut adanya dua masjid di Bonjol. Pertama masjid yang terdapat di dalam kubu, yakni masjid lama dan saat dia berkunjung ke sana masjid ini tidak digunakan lagi. Diperkirakan, masjid lama ini tidak mampu menampung jumlah jamaah yang kian bertambah, karena itulah dibangun mesjid yang baru. Mesjid kedua, mesjid yang baru, dibangun di luar kubu. Pada saat Boelhouwer berkunjung ke sana, nampaknya mesjid itu belum selesai benar. Dikatakan bahwa mesjid itu sangat bagus dan besar. Arsitektur mesjid itu mirip dengan mesjid yang lazim ditemui di mana-mana di Minangkabau. Atapnya memiliki lima tingkat yang makin ke atas makin kecil serta terbuat dari sirap. Sebagai aksesori ada bola yang terbuat dari logam menyerupai perak dipuncaknya. Tiang utama (soko guru)nya dari kayu utuh sebesar tiga kali badan orang dewasa dan tinggi sekali hingga mencapai puncak mesjid. Ke tiang utama ini bergabung sejumlah kayu (balok) lain yang berfungsi sebagai penyangga atap. Lantai masjid yang tingginya sekitar 60 sentimeter dari tanah terbuat dari papan dan sangat luas. Ruangan mesjid itu diperkirakan mampu menampung 3.000 orang dan itu pun masih banyak tempat yang kosong.

Gambar yang dilampirkan pada tulisan ini menyajikan lukisan Bonjol dengan menampilkan mesjid serta Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi) di bagian belakangnya.

Bonjol sebagai sebagai permukiman Islam, menjadikan mesjid menjadi bangunan yang paling utama, paling besar, dan paling ‘wah’.

Karena dibangun dan difungsikan pada perang, maka di kawasan sekitar bonjol ini juga dibuat sejumlah kubu pertahanan lagi. Berdasarkan sajian peta di atas dan informasi Boelhouwer, setidaknya ada lima kubu lain yang dibuat oleh kaum Padri di sekitar Bonjol ini (terutama di perbukitan) bagian belakang mesjid. Ini semua, kata Boelhouwer, sungguh-sungguh membuat Bonjol akan sangat susah untuk ditaklukan. Perkiraan Boelhouwer ini terbukti beberapa tahun kemudian, dibutuhkan waktu lebih 1,5 tahun oleh Belanda dan dibutuhkan pengerahan tentara yang banyak untuk menaklukan Bonjol.

Namun mengapa kok tahun 1833 Boelhouwer, Kolonel Elout (Resident van Padangsche en Onderhoorigheden) dan pasukannya bisa masuk dengan mudah ke Bonjol? Dan mengapa pula kok pada tahun-tahun terakhir Perang Padri Bonjol begitu sulit ditaklukkan?

IV

Seperti disebut sebelumnya, di Lembah Alahan Panjang terdapat sejumlah kampung. Sebagaimana dikatakan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, kampung-kampung tersebut terhimpun ke dalam dua nagari, yakni Ganggo Mudik dan Ganggo Hilir. Masing-masing nagari diperintahi oleh empat penghulu, yang berempat di mudik diketuai oleh Datuk Sati dan yang berempat di hilir diketuai oleh Datuk Bandaro.

Pada hari-hari pertama Gerakan Padri, para petinggi kedua nagari bersepakat untuk mendirikan agama Allah dan Rasulullah, bersepakat untuk menghentikan kaul siganjia-ganjia (pekerjaan sia-sia), menghentikan sabung dan tuak di kawasan Alahan Panjang. Namun kesepakatan tersebut tidak berlangsung lama, sebab ada pihak yang tidak setuju dengan isi kesepakatan tersebut. Pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa isi kesepakatan tersebut akan merusak tradisi dan adat kebiasaan mereka. Puncak dari perselisihan itu adalah terjadinya cakak dan kelahi di dalam mesjid saat diadakannya maulud nabi. Sejak saat itu masyarakat Alahan Panjang terpecah menjadi dua kelompok, kelompok pendukung adat dan tradisi lama di satu pihak serta kelompok pendukung penegakan agama Allah (kaum Padri) di sisi lain.

Pembangunan bonjol (kubu atau benteng pertahanan) di kawasan Bukit Tajadi (Bukit Tak Jadi) sesungguhnya berawal dari perselisihan itu. Pada awalnya, kaum Padri membangun bonjol itu untuk melindungi diri mereka dari gangguan/serbuan kaum pendukung adat dan tradisi lama. Dan sebagaimana disebutkan Tuanku Imam Bonjol, kelompok pendukung adat dan tradisi lama beberapa kali menyerang bonjol, tapi selalu gagal karena posisi dan pertahanan bonjol yang hebat serta didukung oleh semangat juang kaum Padri.

Kemudian, seiring dengan semakin banyaknya pengikut dan adanya bantuan dari luar (seperti Tuanku Nan Renceh  dari Kamang), kaum Padri bisa tampil sebagai kelompok yang dominan di Lembah Alahan Panjang. Kaum Padri bisa mengalahkan kaum pendukung adat dan tradisi lama. Namun hingga tahun-tahun permulaan 1830-an, kaum pendukung adat dan tradisi masih memendam dendam kepada kaum Padri. Konflik bak bara dalam sekam inilah yang akhirnya memecah warga Alahan Panjang.

Perpecahan warga mencapai klimaknya ketika Belanda mengancam mereka dengan pilihan menyerah atau melawan. Kalau menyerah mereka tidak akan diapa-apakan, namun kalau melawan akan diserang dan dibinasakan. Datuak Sati dan Datuk Bandaro, sebagai pucuk dari Ganggo Mudik dan Ganggo Hilir tidak mendapat kata sepakat dalam merespon ancaman itu. Datuk Putih tidak mau menyerah dan Datuk Bandaro ingin berdamai. Tuanku Imam Bonjol sebagai orang yang “tidak punya rakyat dan tidak pula mempunyai nagari” menginginkan kalau melawan ya melawan secara melawan bersama, kalau berdamai ya berdamai secara bersama. Karena tidak ada juga kata sepakat, Tuanku Imam Bonjol meninggalkan Alahan Panjang dan pergi ke Lubuk Sikaping. Pada saat dia pergi itulah, pada saat warga terpecah itulah, Belanda masuk dan menguasai ke Bonjol. Sehingga Belanda masuk tanpa ada perlawanan sedikit pun dari warga Alahan Panjang.

Perselisihan antarwarga itu membuat Bonjol kalah dan dikuasai Belanda. Perpecahan antarwarga itu pulalah menyebabkan Tuanku Imam kemudian menerima tawaran damai pemerintah Belanda (karena tidak ada pilihan lain).

Namun, pendudukan Belanda atas Bonjol melahirkan kekecewaan warga. Banyak kezaliman yang mereka lakukan. Kezaliman demi kezaliman yang dilakukan oleh kolonialis Belanda itulah yang akhirnya membuat warga Bonjol bersatu kembali. Tidak hanya itu, mereka juga menjadikan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin dan panutan. Kejadian itu, bersatunya warga Bonjol tersebut, dicatat Boelhouwer sebagai ‘Orang-orang Padri dan Melayu yang dahulu bermusuhan besar, sekarang bersahabat kental. Mereka bersatu dan ingin mengusir kekuasan Belanda yang masih lemah”.

Pascabersatunya warga itulah bonjol (kubu dan benteng pertahanan) segera diperkuat, kampung-kampung (khususnya Bonjol) diperbaiki, parit-parit yang juga difungsikan sebagai bagian dari sistem pertahanan digali dan diperbaiki, senjata diperbanyak dan dilengkapi, serta empat penjuru jalan masuk ke Lembah Alahan Panjang dijaga siang malam. Mereka betul-betul siap perang. Sistem pertahanan yang kuat, senjata yang banyak dan lengkap, kerjasama yang kompak, serta persatuan antarwarga itulah yang membuat Belanda membutuhkan waktu lama sehingga baru bisa menaklukkan Bonjol serta menangkap Tuanku Imam Bonjol. Gambaran yang disajikan terakhir inilah, rakyat yang bersatu dan melengkapi diri dengan berbagai bekal menghadapi Belanda, sebagai potret warga Bonjol di penghujung Perang Padri.

V

Seperti telah disebut di atas, segera setelah menaklukan Bonjol dan menawan Tuanku Imam, maka nama Bonjol diganti dengan Kotta Generaal (Jendral) Cochius. Seperti telah disebut juga, penggantian nama ini adalah bagian dari upaya Belanda untuk menghilangkan kebanggaan akan adanya sebuah kubu dan benteng pertahanan yang hebat dari memori orang Bonjol. Penggantian nama itu adalah juga bagian dari upaya Belanda untuk mengganti kenangan akan kehebatan bonjo dari ingatan warga dengan kehebatan Belanda (tokoh Belanda). Pembelandaan nama itu adalah bagian dari belandanisasi daerah dan warga daerah yang telah ditaklukan. Upaya ini adalah salah satu contoh dari brain washing yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap warga jajahannya.

Namun dalam kenyataannya, orang Bonjol tidak mengindahkan upaya Belanda tadi. Mereka tetap memakai nama Bonjol untuk menamakan daerah mereka. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, nama itu dipakaikan untuk semua kawasan Alahan Panjang. Itu pulalah sebabnya, sejak pertengahan abad ke-19 penyebutan Alahan Panjang nyaris sudah berganti menjadi Bonjol. Bagi mereka nama Bonjol mengandung arti perjuangan, perlawanan terhadap penjajah, kecanggihan teknologi perang (perbentengan), dan tentu saja berarti sesuatu yang membanggakan. Dan sejarah membuktikan itu semua.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

“Bondjol” dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, II-1, 1839, hal. 456-458.

Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bonjol, Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatn, 1951.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (II). ‘s-Hertogenbosch, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

v.d.H, “Oorsprong der Padries (Eene Secte op de Westkust van Sumatra), dalam Tijdschrift voor Neerlandsch’s Indie, I-1, 1838, hal. 113-132.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Kekuatan Tentara Belanda Selama Perang Padri

Perang Padri berlangsung hampir selama dua dasawarsa. Perang yang begitu lama, di samping didukung oleh semangat juang yang tinggi, tentu membutuhkan dukungan logistik, persenjataan dan sumber daya manusia (tentara) yang memadai. Tiga aspek yang disebut terakhir ini memang relatif kurang terungkap secara khusus atau komprehensif selama ini. Kalau ada informasi tentang itu, maka sajiannya bisa dikatakan bersifat fragmentaris, terserak-serak dalam berbagai buku atau tulisan mengenai Perang Padri.

Tulisan ini mencoba memulai upaya untuk mengungkapkan salah satu dari tiga aspek itu, yakni kekuatan tentara Belanda yang ditempatkan dan bertempur di Sumatra Barat menghadapi kaum Padri antara tahun 1821 hingga awal tahun 1840-an. Walaupun akan dituding sebagai rekonstruksi sejarah politik dan tidak mencerminkan kajian sejarah terkini (yang cenderung mengungkapkan aspek-aspek non-politis), tulisan ini setidaknya ingin mengungkapkan betapa seriusnya dan susahnya Belanda menundukkan dan mengalahkan kaum Padri. Sebab, tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup lama, mereka ternyata juga harus mengerahkan banyak atau sangat banyak tentara ke daerah ini.

Karena itu, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah seberapa banyak tentara Belanda yang terlibat dalam perang menghadapi kaum Padri? Pemokusan tulisan pada kekuatan tentara Belanda di daerah ini ditujukan untuk melihat dinamika perang tersebut. Sebab ada hubungan yang erat antara jumlah tentara yang diterjunkan ke medan perang dengan ‘keseriusan’ Belanda menghadapi Padri khususnya dan dalam melakukan ekspansi politik di daerah ini serta konstelasi politik Hindia Belanda pada umumnya. Pertanyaan lain yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah siapa-siapa saja yang dikatakan sebagai tentara Belanda tersebut? Bagaimana pergerakan kekuatan militer Belanda tersebut selama Perang Padri? Dan bagaimana pula ‘etos perang’ bala tentara Belanda itu dalam menghadapi para pejuang Padri?

Sumber-sumber yang digunakan untuk penulisan ini umumnya berasal dari karya-karya pelaku sejarah, mantan tentara atau perwira Belanda yang terlibat dalam Perang Padri atau sumber yang dibuat lain yang dibuat penulis Belanda pada masa Belanda yang membicarakan sejarah Perang Padri secara umum.

II

Dalam banyak buku sejarah daerah Sumatra Barat (Minangkabau) dikatakan bahwa Belanda telah hadir dan menjajah daerah ini sejak pertengahan abad ke-17. Namun, hingga akhir abad ke-18, kekuasaan Belanda (VOC) hanya mencakup kawasan sekitar pantai barat Sumatra (Minangkabau) saja. Kekuasaannya hanya meliputi kawasan hingga beberapa kilometar ke arah pedalaman. Daerah pedalaman, masih asing dan belum terjamah oleh mereka. Di samping itu perlu juga disadari bahwa Belanda juga pernah terdepak dari daerah ini, karena kekuasaannya diambil alih Inggris (1781-85 dan 1795-1819) dan serta juga (dalam waktu yang singkat) oleh Perancis (1793).

Belanda, dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda, kembali ke daerah ini tahun 1819. Dia kembali karena adanya Perjanjian London (1814) yang mengharuskan Inggris menyerahkan jajahannya dibekas wilayah jajahan Belanda ke tangan pemerintah Hindia Belanda.

Karena Inggris masih enggan mengembalikan daerah ini sepenuhnya, maka wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun-tahun pertama kekuasaannya relatif terbatas. Dia hanya menguasai kawasan sekitar Padang, Pulau Cingkuak, Air Haji dan Pariaman. Daerah-daerah lain di kawasan barat, di bagian utara Pariaman dan selatan Air Haji masih dikuasai oleh Inggris. Terbatasnya wilayah kekuasaan itu juga tercermin dari sedikitnya pegawai dan tentara yang ditempatkan di daerah ini.

III

Du Puy yang menerima Padang dan kawasan sekitarnya dari Inggris tiba di Padang tanggal 17 Mai 1819. Dia datang dengan menggunakan Zr. Ms. Frigat Wilhelmina. Kedatangannya di dampingi oleh beberapa orang pegawai sipil. Di samping itu dia juga membawa 162 orang tentara, yang terdiri dari 150 orang dari kesatuan infantri (bangsa Eropa) dan 12 dari kesatuan artileri.

Sebagai bagian dari perjanjian dengan Inggris, du Puy juga menerima sebanyak 76 orang mantan serdadu Inggris (berbangsa India/Benggala dan bumiputera/Bugis) yang ditempatkan di Padang.

Dengan demikian total kekuatan militer Belanda pada hari-hari pertama kekuasaan di daerah ini adalah sebanyak 238 orang.

Dari jumlah itu, kemudian 6 orang ditempatkan di Pulau Cingkuak dan Air Haji serta 13 orang (1 bintara dan 12 prajurit) ditempatkan di Pariaman.

Terbatasnya aparat, terutama untuk menjaga ketertiban dan keamanan kota, membuat du Puy membentuk satu kesatuan khusus yang dinamakan ‘Burgerwacht’ (Kesatuan Pengawal Kota). Kesatuan ini terdiri dari 2 sersan, 4 kopral, dan 12 ‘satpam’. Di samping itu juga ada beberapa orang Nias yang menjadi bagian dari Kesatuan Pengawal Kota ini (1 mandor dan 16 opas). Kesatuan ini diresmikan pembentukannya tanggal 23 September 1820.

Dengan jumlah yang ‘hanya’ segelintir inilah Belanda menerima tawaran Sutan Alam Bagagar Syah dan sejumlah penghulu dari Tanah Datar untuk memerangi kaum Padri melalui Perjanjian 10 Februari 1821. Namun, sesuai dengan pepatah lama, ‘kalau kita lemah maka akal harus diperpanjang,’ Belanda mensyaratkan dalam perjanjian agar dia dibantu oleh anak-kemenakan kaum penghulu dalam menghadapi kaum Padri. Maka terbentuklah serdadu bantuan yang beranggotakan anak-kemenakan para penghulu yang meminta bantuan kepada Belanda tersebut. Literatur Belanda menamakannya Gewapene Malaier (orang Melayu yang Bersenjata) atau Hulp-Benden (Gerombolan Pembantu). Jadi, ‘tentara ninik mamak’ ini telah menjadi bagian dari Angkatan Perang Belanda sejak hari-hari pertama mereka melakukan ekspansi politik ke daerah pedalaman. Atas dukungan anak-kemenakan para penghulu itulah pasukan Belanda, pada tanggal 27 dan 28 April 1821 mampu merebut Benteng Simawang serta Sulit Air dan nagari-nagari sekitarnya.

Penaklukan Benteng Simawang juga menambah kekuatan serdadu Belanda. Karena di sana oleh Inggris ditempatkan sebanyak 2 perwira dan 100 orang tentara (dari kesatuan Benggala dan Eropa/Inggris).

Dalam rangka meluaskan jangkauan kampanye militernya, Belanda mendatangkan pasukan tambahan dari Batavia. Pasukan bangtuan yan datang tanggal 8 Desember 1821 itu terdiri dari 4 perwira dan 187 prajurit. Dengan kedatangan pasukan tambahan itu, maka total kekuatan tentara Belanda yang ada di daerah ini pada akhir 1821 adalah 12 perwira dan 307 prajurit. Rinciannya adalah 284 dari kesatuan infantri bangsa Eropa, 20 dari kesatuan artileri bangsa Eropa, 40 dari kesatuan infantri Benggala, 96 kesatuan infantri bumiputra (Bugis), dan 44 dari kesatuan artileri bumiputera.

Bala bantuan yang dipimpin oleh Letkol A.T. Raaff ini memang ditujukan untuk menggasak kaum Padri. Karena itu, segera setelah sampai di Padang pasukan ini segera dikirim ke darek dan langsung bertempur menghadapi kaum Padri. Didukung pula oleh gewapene Malaier, pasukan ini bertempur di banyak tempat, terutama, di kawasan Tanah Datar. Tidak ada informasi yang pasti mengenai jumlah gewapane Malaier. Jumlah sangat bervariasi, tergantung waktu dan daerah di mana aksi dilakukan. Pada saat menyerang Pagaruyung misalnya, pasukan Belanda yang dipimpin Raaff dibantu oleh 15 sampai dengan 20.000 ‘orang Melayu’ dari Tanah Datar.

Walaupun memperoleh banyak kemajuan, pemerintah masih ingin meluaskan daerahnya. Untuk itu, jumlah tentara mesti diperbanyak. Karena itu, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral tanggal 30 Oktober 1822 dikirim lagi sebanyak 206 tentara ke daerah ini. Dari jumlah itu 6 perwira dan 200 prajurit (150 dari kesatuan infantri dan 50 dari kesatuan artileri).

Pada bulan Juni tahun 1823 didatangkan lagi sebanyak 264 tentara (8 perwira dan 256 prajurit) ke Sumatera Barat. Dari jumlah tersebut ada 62 orang serdadu bumiputra atau Hulp-Tropen. Hulp-Tropen adalah serdadu Belanda bangsa bumiputera yang berasal dari etnik non-Minang, seperti Jawa, Madura, Ambon, Bugis, Gorontalo, dlsbnya.

Antara tahun 1823 dan 1825 juga dikirim dan ditempatkan sebanyak 523 mobile brigade dan marinir di kawasan ini. Karena sifatnya mobil dan penugasannya bergantung pada operasi militer yang dilakukan, rata-rata jumlah yang bertugas di Sumatra Barat sebanyak 200 orang setiap tahun (maksudnya pada tahun tertentu, karena banyaknya kampanye militer jumlah yang diterjunkan ke medan perang lebih dari 200 orang, namun pada tahun berikutnya jumlahnya kurang dari 200 orang).

Sebagai realisasi dari Perjanjian London yang ditandatangani tahun 1824, maka pada tahun 1825 Inggris betul-betul harus meninggalkan Pantai Barat Sumatra dan menyerahkannya kepada Belanda. Saat hengkang dari daerah ini Inggris juga meninggalkan sebanyak 673 orang serdadunya. Dari jumlah itu ada sebanyak 147 orang tentara berbangsa Eropa, 154 orang serdadu yang berasal dari Gorontalo, 112 orang serdadu dari masyarakat setempat, 100 orang serdadu Madura, 138 serdadu Benggala.  

Dengan penambahan kekuatan dari mantan tentara Inggris tersebut maka pada 1 Juli 1825 jumlah tentara Belanda di daerah ini sebanyak 1.568 orang.

Dengan tambahan bala bantuan yang berturut-turut dari Batavia sejak tahun tahun 1822 dan tambahan pasukan mantan tentara Inggris, pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat merasa yakin akan mampu memperluas aksi di kawasan pedalaman juga memberi tekanan yang kuat pada kaum Padri. Sayangnya, rencana itu tidak bisa diwujudkan. Karena pada tahun 1825 Batavia memutuskan menarik sebagian besar tentara yang ada di daerah ke Pulau Jawa. Penarikan itu ditujukan untuk menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro.

Hingga pertengahan September 1826 dari Sumatra Barat dikirim ke Pulau Jawa (Batavia dan Semarang) sebanyak 699 orang serdadu. Di samping jumlahnya yang banyak, Batavia juga mensyaratkan bahwa tentara yang dikirim ke Jawa tersebut haruslah tentara pilihan (terbaik). Khusus untuk tentara bumiputera, sangat disarankan agar dikirim tentara Ambon dan Bugis.

Pengiriman serdadu dalam jumlah yang cukup banyak ini menyebabkan kekuatan Belanda di Sumatera Barat menurun drastis. Melemahnya kekuatan Belanda di daerah ini juga disebabkan oleh dikirimnya tentara yang terbaik yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, jelas tidak mungkin dilakukan operasi militer yang serius menghadapi kaum Padri. Karena itu, pada tahun-tahun minimnya jumlah tentara di daerah ini (selama Perang Diponegoro antara tahun 1825 s.d. 1830), pemerintah kolonial cenderung ‘bersikap lembut’ terhadap Padri. Sikap lembut itu antara lain diwujudkan dengan membuat banyak perjanjian damai dengan kaum Padri. Di samping menggunakan jasa saudagar Eropa yang telah lama menetap di daerah ini dan telah menjadi mitra bisnis pedagang pedalaman (termasuk saudagar Padri), seperti van den Berg, untuk mendekati atau membujuk kaum Padri agar mau berunding, Belanda juga mempergunakan jasa orang Arab. Salah satu orang Arab yang dimaksud adalah Said Al-Jufri. Penggunaan jasa orang Arab adalah bagian dari kecerdasan politik penguasa Belanda. Mereka mengetahui adanya kedekatan emosional, rasa segan atau hormat kaum Padri terhadap orang Arab yang diisukan sebagai keturunan Rasullullah Muhammad SAW.

Di samping membuat banyak perundingan dengan pihak Padri, pemerintah Belanda di Padang banyak melakukan aksi militer ke kawasan pantai bagian utara. Aksi militer ini ditujukan untuk betul-betul menubuhkan kedaulatannya di bekas wilayah kekuasaan Inggris tersebut (mulai dari Sibolga, Barus dan Singkel). Aksi ke kawasan utara ini juga ditujukan terhadap Aceh yang dianggap mendukung kota-kota pantai di bagian utara itu melawan Belanda.

Segera setelah Perang Doponegoro berakhir, Belanda  mulai mengirim kembali pasukannya ke Sumatra Barat. Pada tahun 1831 dengan menggunakan dua kapal perang, datang sebanyak 283 serdadu dari Batavia. Tentara yang datang ini dipimpin oleh Kolonel Elout yang kemudian diangkat menjadi Resident van Padang en Onderhoorigheden. Dengan kedatangan pasukan bantuan tersebut jumlah tentara yang ada di Sumara Barat saat itu adalah sebanyak 26 perwira dan 707 prajurit.

Karena jumlah serdadu yang belum begitu banyak, maka aksi militer yang dilakukan masih dikonsentrasi di kawasan pantai. Dalam kaitan dengan itulah, Belanda misalnya menyerang Naras, sebagai salah satu basis Padri di kawasan pantai, kemudian menyerangkan Katiagan, nagari yang menjadi markas Peto Magek, saudagar terkemuka Padri, serta menyerang Air Bangis basis tokoh Padri Sidi Mara.

Dibantu oleh gewapene Malaier dan juga pelaut Bugis, yang dipimpin Anakoda Langkap, maka tentara Belanda dapat menaklukan kekuatan Padri yang ada di Naras, Katiagan dan juga Air Bangis. Dengan demikian, pada tahun-tahun permulaan 1830-an, Belanda sudah dapat mengukuhkan hegemoni politiknya di kawasan pantai.

Seiring dengan itu, kekuatan Belanda juga semakin besar. Meningkatnya jumlah tentara Belanda ini antara lain disebabkan oleh datangnya ‘Barisan Sentot’. Nama kesatuan ini berasal dari nama mantan perwira perang Pangeran Diponegoro yang berkianat kepada tuannya dan kemudian menyatakan kesetiaan kepada Belanda. Dengan beberapa kapal, Barisan Sentot yang tiba di Sumatra Barat pertengahan tahun 1832.

Barisan Sentot memiliki struktur kepangkatan tersendiri (yang bisa disetarakan dengan ranking kepangkatan tentara Belanda regular). Posisi paling tinggi dinamakan Panembahan. Pangkat selanjutnya adalah Pangeran (Mayor), Raden Temenggung (Kapten), Temenggung Tua (Letnan Satu), Temenggung Muda (Letnan Dua), Panji (Sersan, Ngabehi (Kopral), dan prajurit. Di samping itu, dalam Barisan Sentot ini juga ada posisi yang bertugas sebagai penabuh tambur, peniup terompet.

Karena tuduhan bahwa Sentot akan berkianat kepada pemerintah, maka tahun 1833 dia diasingkan ke Bengkulu. Dengan demikian pangkat Penembahan yang disandangnya ditiadakan dalam struktur Barisan Sentot. Karena adanya rotasi dan alasan-alasan lain, dilaporkan bahwa tanggal 30 April 1834 kekuatan pasukan ini adalah sebagai berikut:

1 Pangeran (Mayor)

3 Raden Temenggung (Kapten)

2 Temenggung Tua (Letnan Satu)

20 Temenggung Muda (Letnan Dua)

44 Panji (Sersan)

178 Ngabehi (Kopral)

375 prajurit

16 penabuh tambur dan peniup terompet.  

Dikatakan bahwa 63 orang anggota Barisan Sentot ini termasuk kesatuan pionier dan sisanya tergabung ke dalam kesatuan infantri.

Kehadiran Sentot dan Barisan Sentot sangat besar artinya bagi Belanda menghadapi Padri. Melalui ‘pendekatan keagamaan’ (karena sama-sama seiman dan mengenakan simbol-simbol keagamaan yang sama, seperti sorban, jubah, menunaikan shalat, dlsbnya) Sentot dan sejumlah petinggi barisannya bisa menjinakkan beberapa tokoh Padri sehingga bisa diajak berdamai dengan Belanda. Kehadiran Barisan Sentot juga membuat kaum Padri mengurangi agresifitas mereka menyerang pasukan Belanda.

Di samping aktif dalam kampanye-kampanye militer di daerah pedalaman, Sebagian Barisan Sentot juga dipergilirkan untuk menjaga kota Padang. Seperti yang diintruksikan oleh van den Bosch pada tahun 1833, kota Padang harus selalu dijaga oleh paling sedikit 300 tentara reguler dan 30 sampai 40 dari Barisan Sentot, serta diperkuat oleh 4 pucuk meriam lapangan dan dua diantaranya adalah jenis howitzer.

Di samping anak kemenakan para penghulu antipadri, Belanda juga menjadikan para pemuda (lelaki) Batak sebagai Hulp-Benden. Lasykar Batak yang dipimpin oleh Raja Gadobang ini sangat penting artinya bagi Belanda dalam melakukan aksinya di kawasan utara (Rao dan sekitarnya). Sama dengan gewapene Malaier, Lasykar Batak ini juga sangat bersemangat membantu Belanda memerangi kaum Padri. Alasannya, juga sama dengan gewapene Malaier, adalah juga untuk membalas dendam terhadap kaum Padri, yang pada masa sebelumnya menyerang dan memerangi kampung halaman mereka. Seperti yang disebut pada tulisan lain dalam Seri 200 Tahun Perang Padri ini, pasukan Padri memang pernah menyerang dan melakukan aksi kekerasan terhadap orang dan perkampungan Batak. Sama dengan gewapene Malaier, tidak diketahui jumlah pasti Lasykar Batak ini. Informasi hanya menyebutkan jumlah ribuan orang banyaknya.

Belanda memang memiliki taktik perang yang jitu. Di samping menggunakan strategi militer yang hebat, strategi yang kadang-kadang licik, dan memanfaatkan ‘pendekatan keagamaan’, mereka juga menggunakan dendam lama kelompok yang pernah dizalimi kaum Padri untuk melawan Padri. Hulp-benden yang berasal dari Urang Awak dan Batak memang diakui oleh sejumlah penulis Belanda sangat benci kepada kaum Padri. Bila ada kesempatan untuk menyerang Padri, apalagi kaum Padri sudah terjepit atau hampir kalah oleh serangan tentara Eropa dan Hulp-tropen yang berasal dari pasukan Bugis, Ambon, Gorontalo, Madura, atau Jawa, maka Lasykar Urang Awak dan Batak ini akan melakukan aksi dengan penuh kesadisan. Tidak hanya merampoki harta benda kaum Padri, mereka juga membunuh serta menjadikan kaum Padri sebagai budak.

Atas bantuan beragam tentara, baik yang berasal dari bangsa Eropa, Hulp-tropen dan Hulp-Benden dengan jumlah yang relatif banyak, serta taktik perang yang jitu itulah akhirnya Belanda mampu mengalahkan kaum Padri.

IV

Seperti disebut di atas, ada banyak tentara Belanda yang dikirim dan bertempur menghadapi Padri. Namanya perang, tentu ada yang tewas dan luka-luka. Tidak ada atau belum didapat angka pasti mengenai jumlah tentara Belanda serta pasukan bantuannya yang tewas dan luka-luka selama aksi mereka melawan Padri. Namun bisa dikatakan, kalau tidak ribuan, jumlahnya ada ratusan orang. Sama dengan yang berlaku di mana pun di dunia ini, masing-masing pihak yang berperang cenderung tidak mau atau tidak jujur menginformasikan jumlah korban di pihak mereka.

Tentara Belanda adalah ‘manusia’ juga. Di samping memiliki ‘etos juang’ yang tinggi untuk menaklukan musuh (kaum Padri) ternyata ada juga di antara mereka yang ‘lemah’. ‘Lemah’ yang dimaksud di sini antara lain menyerah kepada kaum Padri, terpesona oleh ideologi Padri, dan bekerja sama dengan kaum Padri. Umumnya serdadu yang ‘lemah’ ini berasal dari kelompok Hulp-Tropen, dan khususnya lagi yang berasal dari suku bangsa yang seiman dengan kaum Padri. Sebagian besar dari mereka adalah tentara Jawa (baik yang menjadi bagian Barisan Sentot atau yang datang sebelum Barisan Sentot).

Keterangan tentang adanya tentara Jawa yang menyerah atau bekerja sama dengan kaum Padri ini ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Bahwa ada sejumlah tentara Jawa yang memberi informasi kepada Tuanku Imam Bonjol atau tokoh Padri tentang keberadan atau aksi serta rencana yang akan dilakukan oleh tentara Belanda. Bahkan ada dari mereka yang bergabung dengan pasukan Padri dan mendampingi tokoh Padri. Adanya serdadu Belanda yang terpesona dengan ideologi Padri dikemukakan oleh Boelhouwer. Dia menyebut ada serdadu berkewarganegaraan Perancis yang bergabung dengan Padri dan menjadi mualaf (walaupun kemudian bergabung lagi dengan pasukan Belanda dikembalikan keiman awalnya oleh komandannya).

Adanya tentara yang lemah atau membelot ini juga diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Walaupun diduga tidak jujur dengan jumlah jumlah yang disajikan, sebuah laporan menyebut bahwa pada tahun 1825 ada sebanyak 31 tentara yang dikategorikan desersi dan tahun 1826 ada sebanyak 5 tentara yang disersi (salah satu alasan pengkategorian disersi di sini adalah membelot ke pihak musuh).

Ketika perang usai, sebagian besar tentara Belanda (khususnya Eropa dan Hulp-Tropen) dipindahkan ke daerah lain. Namun, ada juga yang tetap tinggal di daerah ini, terutama yang pro-padri. Salah satu di antaranya adalah bagian dari Barisan Sentot serta tentara India. Karena mereka lelaki tentu, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, mereka menikah dengan wanita daerah ini dan kemudian memiliki anak cucu mereka. Karena itu, seperti yang pernah diungkapkan budayawan A.A. Navis, sebagian kecil orang Minang dewasa ini adalah keturunan Hulp-Tropen Belanda yang pro-padri itu. Siapakah dia? Mungkin saya penulis artikel ini atau juga Anda?

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I-II). ‘s-Hertogenbosch, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh: Gusti Asnan

Jamuan, Perayaan dan Pesta pada Masa Perang Padri

Perang Padri adalah perang antara dua pihak yang sama-sama ingin mengalahkan lawannya. Ambisi untuk mengalahkan lawan menyebabkan kedua belah pihak menggunakan semua cara agar tujuannya tercapai. Karena itu, kitab-kitab sejarah mengenai Perang Padri umumnya diisi oleh narasi tentang berbagai taktik dan strategi perang yang dilakukan kedua belah pihak. Menariknya, narasi yang disajikan umumnya berisikan tindak kekerasan, yang diselingi oleh beberapa kisah perundingan (yang sesungguhnya hanya berupa taktik yang licik dan busuk, karena hasil perundingan itu dengan segera akan diingkari). Kalaupun ada sejumlah karya yang narasinya menyimpang dari kecendrungan ini, maka jumlahnya sangat sedikit dan baru muncul beberapa waktu belakangan. Karya-karya yang disebut terakhir ini juga cenderung melihat Perang Padri dari perspektif makro, bukan mengambarkan dunia keseharian para pelakunya. Padahal, sebagai manusia, para aktor Perang Padri pasti juga melakukan aktivitas yang jauh dari watak perang yang keras dan kasar, membunuh atau dibunuh. Mereka pasti juga melakukan sejumlah tradisi atau ritual atau kebiasaan yang sangat manusiawi, serta sarat dengan nilai budaya atau nilai relijius yang halus.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan aktivitas-aktivitas non-senjata para pelaku Perang Padri. Aktivitas yang dimaksud adalah jamuan makan, perayaan-perayaan hari besar keagamaan atau syukuran atas nikmat atau keberuntungan yang diperoleh, serta perayaan yang dikaitkan dengan tradisi atau adat-budaya masing-masing pihak. Karena itu beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah bentuk jamuan, perayaan dan pesta yang diadakan pada masa Perang Padri? Bagaimana pelaksanaannya? Apa menunya? Bagaimana pula respon dari pihak-pihak yang berperang terhadap pelaksanaan berbagai acara tersebut?

Bahan utama untuk penulisan artikel ini diambilkan dari catatan atau tulisan pelaku sejarah serta sumber-sumber sezaman lainnya.

II

Jamuan, perayaan, dan pesta dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam Perang Padri. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan nyaris sepanjang masa perang dan dilakukan di semua daerah di mana perang berlangsung.

Bila dicermati dengan saksama, maka berbagai acara yang diselenggarakan di atas bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori: pertama, acara yang berkaitan dengan adat dan tradisi (budaya daerah/Minangkabau); kedua, acara yang berkaitan dengan adat dan tradisi (budaya penjajah); ketiga, acara yang berkaitan dengan ritual keagamaan (Islam). Kecuali untuk acara yang kedua, acara dalam kategori pertama dan ketiga sesungguhnya bisa dilakukan oleh kaum Padri atau orang Melayu (Minangkabau) antipadri.

Ada banyak acara yang dipraktikkan yang termasuk kelompok pertama. Beberapa di antaranya adalah jamuan makan, syukuran atas kesuksesan suatu kegiatan, syukuran melepas niat, baralek atau kenduri kawin, memancang atau mendirikan gelanggang, dlsbnya. Acara yang termasuk ke dalam kelompok kedua adalah pesta dalam rangka perkenalan dan perpisahan dengan pejabat lama/baru, pesta atau perayaan ‘hari besar kebangsaan’, jamuan menghormati tamu, dlsbnya. Sedangkan acara yang termasuk kelompok ketiga antara lain perayaan hari besar keagamaan yang ditradiisikan di daerah ini.

Jamuan makan adalah acara yang paling lazim dilakukan Urang Awak. Namun, dari sumber-sumber yang tersedia, acara ini paling sering disebut dalam sumber yang berasal dari kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol misalnya berkali-kali menyebut bahwa dia diajak makan terlebih dahulu oleh berbagai pihak dalam berbagai kesempatan dan di berbagai tempat bila dia melakukan kunjungan atau mendatangi seseorang/sekelompok orang untuk urusan tertentu. Pengalaman yang sama juga dialami oleh Sutan Chaniago dan juga Sutan Pakih Saidi anak Tuanku Imam Bonjol dan beberapa tuanku atau tokoh Padri lainnya. Ada belasan, kalau tidak puluhan kali acara jamuan makan ini disajikan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Dalam konteks ini, jamuan makan adalah perwujudan ungkapan ‘barundiang sasudah makan’ yang telah menjadi aturan main dalam praktik sosial Urang Awak.

Walaupun inti dari jamuan adalah makan nasi dengan gulai dan sambal (makan langkok), Imam Bonjol juga menyebut bahwa acara jamuan kadang-kadang ‘hanya’ diisi dengan minum kopi. Minum kopi berarti tamu yang baru datang disuguhi minuman kopi yang ditemani dengan beberapa juadah oleh tuan rumah.

Acara selanjutnya adalah syukuran atas kesuksesan suatu kegiatan. Acara ini juga banyak ditemukan, baik dalam sumber-sumber yang dibuatkan oleh kaum Padri atau yang ditulis orang Belanda. Naskah Tuanku Imam Bonjol berkali-kali menyebut diadakannya syukuran atas keberhasilan kampanye kaum Padri. Syukuran biasanya diadakan segera setelah sebuah kampung atau nagari dikalahkan serta menyatakan akan melaksanakan agama Allah dan Rasulullah dengan sungguh-sungguh. Di samping memanjatkan doa syukur kepada Allah yang telah memberkati usaha kam Padri dan janji untuk menjalankan agama Islam, melengkapi struktur sosial nagari dengan menambahkan pranata-pranata islami, acara syukuran juga diisi dengan makan-makan. Penanggung jawab acara adalah penghulu atau pemimpin tertinggi di kampung yang bersangkutan. Tiga dari sekian banyak acara ini adalah syukuran yang diselenggarakan oleh para penghulu Lubuk Sikaping, dan oleh Yang Dipertuan di Lubuk Layang, Padang Matinggi, serta pemuka masyarakat Kabun di Rokan Hulu.

Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir juga mengisahkan syukuran yang diadakan oleh sejumlah nagari, salah satu diantaranya adalah Nagari Air Terbit, segera setelah warga nagari tersebut berikrar untuk betul-betul menjalankan agama Allah. Fakih Saghir menyebut acara syukuran itu dengan nama ‘alas tobat’.

Syukuran atas kesuksesan dalam perang juga dilaksanakan oleh kelompok antipadri (dan pro-Belanda). Sebagaimana dikisahkan Boelhouwer, dalam rangka ‘mensyukuri’ kemenangan pasukan Belanda mengganyang Padri di Ujung Rajo di Pasaman (markas Peto Magek, seorang saudagar dan tokoh Padri terkemuka), maka Tuanku Pakandangan dan sejumlah penghulu dari nagari itu mengadakan pesta. Mereka ‘mensyukuri’ kemenangan tersebut, karena mereka juga ikut-serta dalam pasukan Belanda memerangi kaum Padri. Karena acara tersebut dikaitkan dengan kemenangan pasukan Belanda maka pembuat acara meminjam bendera Belanda untuk dikibarkan selama acara berlangsung. Bendera Belanda dikibarkan pada sebuah bukit yang sebelumnya dikuasai kaum Padri.

Acara diadakan di lapangan di pusat nagari, dekat mesjid dan tidak jauh dari pasar. Lapangan tempat acara diadakan dipasangi kain linen. Untuk Boelhouwer dan petinggi nagari (saudara tuanku yang berperan sebagai wakil beliau) disediakan kursi khusus. Sedangkan untuk undangan yang hadir dibentangkan tikar yang bersih.

Boelhouwer menyebut bahwa acara yang diadakan pada malam hari itu adalah sebuah pesta yang meriah dan besar. Tuanku utama dan warga nagari setempatnya nampaknya senang dengan kegiatan itu. Penghulu-penghulu dari sejumlah nagari di sekitar Pakandangan juga hadir. Diperkirakan acara dihadiri oleh sekitar 600 orang banyaknya. Makanan disajikan dalam piring di atas tikar dihadapan para undangan sangat banyak. Di samping nasi ada gulai dan juadah lainnya.

Makanan itu dibawa oleh para wanita warga kampung dalam jamba. Para wanita juga menghibur para tamu yang sedang makan dengan mendendangkan lagu dari dalam mesjid. Para hadirin mengenakan pakaian yang rancak dan mewah.

Ada sejumlah pesta atau perayaan lain yang dilakukan oleh kelompok antipadri atau pendukung kolonialis Belanda. Salah satu acara yang dimaksud, sebagaimana diceritakan oleh Nahuijs, adalah pesta perayaan ulang tahun raja yang dilakukan di Tanah Datar. Perayaan ini diisi dengan sejumlah acara kesenian (seni tradisi), seperti pacu kerbau dan tari kuda, serta keramaian anak nagari lainnya. Perayaan ini dselenggarakan oleh pemimpin masyarakat setempat, serta didukung oleh pejabat Belanda yang ditempatkan di sana.

Kegiatan lain yang dilakukan oleh Urang Awak, terutama di kawasan yang dikuasai oleh pemerintah Belanda adalah alek kawin. Ada beberapa pesta perkawinan yang disebut dalam buku atau tulisan selama Perang Padri. Beberapa di antaranya adalah pesta perkawinan yang diadakan di Pariaman, Tiku dan Tanah Datar. Diceritakan, pesta diadakan dengan meriah, ada keramaian dan diselang-selingi oleh bunyi-bunyian (yang berasal dari tembakan senjata).

Untuk sekedar penyelenggaraan acara helat kawin, nampaknya pejabat Belanda yang berkuasa di daerah, di mana pesta diadakan, selalu memberi izin. Namun, penggunaan senapan untuk menghasilkan bunyi-bunyian kemudian dilarang. Larangan ini akan semakin keras bila di daerah pesta masih ada kelompok kaum Padri. Bahkan pernah pesta perkawinan dibubarkan oleh tentara karena ditengarai yang punya helat dan yang meletuskan senapan adalah pengikut Padri.

Perayaan lain yang juga lazim diadakan pada masa Perang Padri adalah memancang atau mendirikan gelanggang. Ada dua acara dalam bentuk ini yang disajikan dalam sumber yang berasal dari kalangan Padri. Pertama mendirikan gelanggang dalam rangka pelewaan atau penobatan penghulu, dan kedua mendirikan gelanggang sebagai bagian dari tradisi lama yang diamalkan oleh para penghulu dan warga nagari yang antipadri.

Naskah Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa warga Bonjol pernah mendirikan gelanggang untuk melewakan naik nobatnya Basa Datuak Bandaro nan mudo. Dikatakan gelanggang diadakan selama dua minggu dan dihadiri oleh banyak undangan. Disebut juga, bahwa hampir semua warga kampung terlibat dalam kegiatan itu. Walaupun tidak disebut dalam naskah, acara naik nobat ini diisi dengan berbagai acara (kesenian dan makan-minum).

Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir juga menyebut tentang ada kegiatan memancang gelanggang. Kegiatan memancang gelanggang yang dikisahkan oleh Fakih Saghir adalah acara yang sarat dengan ‘hiburan’, seperti adu ayam, berjudi, minum tuak, mengisap madat, yang mana kegiatan-kegiatan tersebut biasanya diakhiri dengan perkelahian. Penyelenggara kegiatan ini adalah kelompok antipadri, bahkan mereka mengadakan kegiatan ini dalam rangka ‘menantang’ kaum Padri, di antaranya di Bukit Betabuh, Parabek, dlsbnya.

Acara mendirikan gelanggang, baik yang diadakan oleh kaum Padri atau antipadri umumnya berakhir dengan perkelahian. Acara yang diadakan dalam rangka naik nobatnya Basa Datuak Bandaro nan mudo, serta mendirikan gelanggang di Bukit Betabuh dan Parabek sama-sama berakhir dengan adanya kericuhan. Gelanggang di Bonjol digaduh oleh kelompok antipadri yang memasang ranjau saat acara diadakan, sedangkan gelanggang yang diselenggarakan oleh kelompok antipadri berubah menjadi perang karena dihalangi atau ingin dibubarkan oleh kaum pembaharu (Tuanku Nan Tuo dan sejumlah tuanku lainnya).

Orang Belanda yang ada di Sumatra Barat juga menyelenggarakan sejumlah acara. Sebagian acara yang mereka adakan ‘ditempelkan’ pada kegiatan yang diselenggrakan oleh “Urang Awak”. Seperti yang disebut di atas, perayaan ulang tahun (raja), yang jelas-jelas kegiatan yang murni berasal dari tradisi Barat (orang Minang sebelumnya tidak mengenal tradisi merayakan hari lahir), diselenggarakan dengan melibatkan Urang Awak serta diisi dengan serangkaian acara ‘seni tradisi’ Minangkabau.

Acara lain yang khas Belanda adalah pesta perpisahan dengan pejabat yang mengakhiri masa tugasnya di daerah ini, serta acara perkenalan atau penyambutan pejabat baru yang akan memulai tugas. Di samping diisi dengan serangkaian pidato, acara pisah sambut ini biasanya juga diisi dengan makan-makan dan acara kesenian ala Barat, seperti pesta dansa.

Acara ala Barat, khususnya pesta dansa yang sifatnya insidentil, barangkali sekedar untuk refreshing bagi para perwira dan petinggi sipil dan militer yang tengah berperang, juga pernah diadakan. Residen Elout misalnya pernah mengadakan acara seperti ini pada bulan Januari 1833. Sang kolonel mengundang hampir semua petinggi sipil dan militer Belanda, baik ada di kota Padang atau yang bertugas di daerah, termasuk juga Sentot Ali Basha dan istri-istrinya (sekutu Belanda saat itu) untuk hadir dalam acara itu. Nmanya pesta dansa, maka dalam acara para hadirin diberi kesempatan untuk melantai (sampai pagi).

Acara perpisahan yang telah dibiasakan oleh orang Belanda tidak selalu diiringi oleh makan-makan dan pesta dansa. Hal ini misalnya terjadi bila acara perpisahan dilakukan secara mendadak dan di daerah. Hal ini dialami oleh Boelhouwer, yang acara perpisahannya dilaksanakan secara mendadak (karena persetujuan kepindahannya diizinkan saat Kolonel Elout singgah di Pariaman). Walaupun tidak diiringi oleh acara makan-makan dan pesta dansa, acara perpisahan ini diisi dengan berbagai sambutan, mulai dari sang residen serta para tokoh daerah. Pidato dan sambutan adalah ‘ritual’ khas acara perpisahan dengan pejabat yang akan mengakhiri tugas, atau pejabat yang akan memulai tugas.

Acara pisah sambut pejabat denga sejumlah pidato nampaknya diperkenalkan dan ditradisikan oleh kolonialis Belanda di daerah ini.

Satu lagi acara yang lazim diadakan pada masa Perang Padri adalah acara yang berhubungan dengan perayaan keagamaan. Salah satu acara yang termasuk kelompok ini dan disebut Tuanku Imam Bonjol adalah perayaan maulud. Tuanku Imam tidak memberikan banyak keterangan tentang jalannya acara maulud tersebut. Namun, ada penjelasan yang menarik, yakni perayaan diadakan di mesjid (Bonjol), dihadiri oleh kaum Padri dan non-padri, dan diakhiri dengan terjadinya perkelahian antara kedua kelompok. Dikatakan bahwa perkelahian terjadi ketika kaum antipadri mengingkari janji untuk sama-sama menegakkan agama Allah dan Rasulullah serta meninggalkan kebiasaan jahiliah.

Tidak ditemukan informasi lain mengenai pelaksanaan acara-acara lain yang berhubungan dengan ritual keagamaan untuk masa itu.

Informasi lain yang ditemukan dari pelaksanaan berbagai acara dalam bentukan jamuan, syukuran, perayaaan, dlsbnya itu adalah menu (makanan) yang disajikan. Salah satu menu makanan yang paling sering disebut adalah olahan daging kerbau. Tidak disebutkan dengan jelas apa  jenis menunya, yang jelas menu tersebut terbuat dari daging kerbau. Namun diduga menu yang disajikan adalah gulai, karena Boelhouwer misalnya menyebut salah satu makanan yang disajikan terbuat dari daging kerbau yang dipotong kecil-kecil.

Diinformasikan dengan tegas dalam berbagai sumber bahwa ada banyak kerbau yang dibantai setiap kali diadakan acara. Pemotongan dua ekor kerbau nampaknya sudah sangat lazim dalam setiap kegiatan. Untuk acara yang lebih besar, pernah dibantai sembilan ekor kerbau. Memotong kerbau dan menyajikan menu dari daging kerbau adalah tuah atau prestise bagi yang punya acara.

Di samping daging kerbau, orang Minang juga lazim mengkonsumsi daging sapi dan kuda. Nahuijs menyebut dalam tulisannya tentang kebiasaan orang Minang memakan daging sapi dan kuda ini.

Sayangnya sumber-sumber dari tangan Belanda tidak banyak bercerita tentang menu yang disajikan dalam berbagai acara yang mereka adakan. Namun Tuanku Imam Bonjol pernah menyebut bahwa ketika dia bertemu dengan Elout di Bonjol dia disuguhi roti dan juadah (tanpa merinci jenisnya). Boelhouwer menyebut bahwa di samping makan roti dan nasi, orang Belanda di Sumatra Barat masa Perang Padri juga suka mengkonsumsi minuman keras (grog). Sedangkan dalam laporan tahunannya Stuers juga menulis bahwa genever adalah salah satu minuman yang banyak didatangkan (impor) ke Sumatra Barat pada tahun-tahun 1820-an.

Seperti yang disebut di atas, minuman yang lazim dikonsumsi Urang Awak adalah kopi. Sayangnya tidak ada sumber yang menegaskan, apakah kopi yang dimaksud adalah kopi daun (kahwa) atau kopi bubuk. Namun, mengingat tradisi minum kopi orang Minang saat itu, maka kemungkinan kopi yang diminum adalah kopi daun (kahwa). Di samping itu, karena yang berkuasa adalah kaum Padri, kemungkinan besar kopi yang diminum adalah memang kopi daun (kahwa), sebab ada anggapan dikalangan fanatik Islam haram meminum kopi bubuk, karena ada efek ‘sensasi’nya.

Walaupun tidak banyak dikemukakan, dalam berbagai acara itu, makanan disajikan atau dihidangkan oleh kaum lelaki. Hanya pada acara tertentu, acara yang bersifat keluarga atau menjamu orang yang dianggap akrab (dekat) makanan kadang-kadang disajikan oleh perempuan.

Dikalangan orang Belanda, terutama pejabat yang bertugas di daerah, makanan kadang-kadang disajikan oleh ‘perempuan’ (‘istri’ sang pejabat). Sutan Caniago misalnya beberapa kali disuguhi makanan oleh ‘perempuannya’ Tuan Albacht sewaktu dia menghadap petinggi Belanda itu di Bukittinggi. Dari Naskah Tuanku Imam Bonjol diketahui bahwa ‘perempuan’nya Tuan Albacht adalah urang awak.

III

Di tengah kecamuk perang, kaum Padri, Urang Awak antipadri, dan juga orang Belanda  masih sempat atau masih tetap menyelenggarakan sejumlah jamuan, perayaan, syukuran dan pesta. Namun bila dikaji dengan saksama, maka bisa ditarik sejumlah kesimpulan dari pelaksanaan berbagai acara tersebut.

Sebagian besar acara syukuran yang dilakukan oleh sejumlah kampung atau nagari yang baru saja dikalahkan kaum Padri dilaksanakan dengan keterpaksaan. Ada kesan bahwa para tuanku Padri meminta pemimpin kampung atau nagari yang dikalahkan untuk mengadakan acara tersebut. Seperti terlihat pada pelaksanaan syukuran di Lubuk Layang, ada kesan bahwa ‘meminta’ artinya ‘harus dilaksanakan’. Yang dipertuan di Lubuk Layang harus mengadakan acara itu. Bayangkan, dalam suasana kampung atau nagari baru kalah perang atau baru saja diserang, mereka harus pula menyelenggarakan acara syukuran.  Acara yang diisi dengan makan-makan (menyembelih kerbau), di mana tentu mereka harus sibuk dengan persiapan acara (memasak nasi dan gulai serta juadah lain yang akan disajikan). Jelas acara ini memberatkan bagi mereka. Mereka terpaksa mengadakannya.

Acara syukuran atau perayaan yang dilaksanakan oleh Urang Awak antipadri nampaknya lebih murni berasal dari keinginan petinggi atau warga nagari. Mereka mengadakan acara karena ingin membuktikan kepada pejabat kolonial bahwa mereka dan warga nagarinya setia dan mendukung aksi serta kebijakan kolonialis. Para warga antipadri nampaknya lebih leluasa dan suka cita melaksanakan acara-acara tersebut. Nampaknya tidak ada paksaan dari pejabat Belanda agar mereka mengadakan acara itu, inisatif datang dari para pemimpin penduduk setempat. Mereka merasa enjoy mengadakan acara, karena imbalannya adalah nagari mereka terjaga dan terlindungi oleh kekuatan kolonialis (dari serangan Padri).

Kontrol penguasa terhadap pelaksanaan acara, seperti alek kawin dan pemancangan gelanggang mulai muncul pada masa Perang Padri. Pemerintah kolonial mulai mengontrol pelaksanaan alek kawin di wilayah-wilayah yang didukuki. Mereka memerintahkan agar penduduk yang akan mengadakan perayaan alek kawin minta izin terlebih dahulu. Aturan ini dikeluarkan karena sebelumnya acara alek kawin lazim diisi dengan bunyi-bunyian yang berasal dari letusan senapan. Pemerintah kolonial beralasan jangan ada penyusup yang meletuskan senapannya untuk merusak rust en orde.

Kaum Padri mulai mengontrol pemancangan gelanggang yang dilaksanakan oleh warga nagari, baik di daera yang dikuasainya atau di nagari-nagari non-Padri. Mereka meminta agar kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti adu ayam, judi, meminum tuak, mengisap madat tidak dilakukan. Bila pelaksana tetap mengadakan acara-acara ‘jahiliyah’ tersebut, maka kaum Padri tidak segan-segan membubarkan atau menyerang nagari pemilik gelanggang.

Pola-pola pelaksanaan acara seperti di atas (terpaksa karena tekanan penguasa atau untuk mengambil hati penguasa), serta kontrol atau berbagai aturan yang dikeluarkan dalam pelaksanaan berbagai oleh penguasa nampaknya menjadi bagian dari sejarah Perang Padri. Sayangnya aspek ini kurang dikaji selama ini. Mudah-mudahan setelah ini akan muncul kajian yang lebih serius dan komprehensif tentang aspek yang ‘non-fisik’ ini.

Kesimpulan terakhir, hadirnya menu yang terbuat dari daging dalam setiap acara menyiratkan bahwa Urang Awak adalah ‘pemakan daging’ dan secara ekonomi adalah warga yang makmur. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang diadakan pada tahun 1920-an yang mengatakan bahwa orang Minang adalah warga suku bangsa yang paling tinggi mengkonsumsi daging di antara warga seluruh suku bangsa di Hindia Belanda dan ekonomi mereka relatif lebih baik. Bagaimana keadaannya dewasa ini? Wallahu a’lam bissawab.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).

Ditulis oleh Gusti Asnan

Mesjid yang Dirusak, Mesjid yang Dibangun, Mesjid yang Dilecehkan: Mesjid dalam Dinamika Perang Padri

Gerakan dan Perang Padri adalah gerakan dan perang yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai keagamaan (Islam). Para pendukung Padri melakukan aksinya dengan mengatasnamakan agama. Simbol-simbol keagamaan mereka gunakan, baik sebagai pembeda antara mereka dengan kelompok sasaran gerakan atau pihak musuh, atau untuk mengobarkan semangat juang. Untuk itu simbol-simbol agama mereka jaga dan ciptakan. Sebaliknya, simbol-simbol keagamaan menjadi sasaran serangan kelompok antipadri. Kalaupun tidak diserang, simbol-simbol agama dilecehkan oleh kelompok lawan kaum Padri.

Salah satu dari sekian banyak simbol agama (Islam) yang menjadi bagian terpenting dalam Perang Padri adalah mesjid. Mesjid pernah menjadi salah satu titik awal pecahnya perang. Mesjid pernah diruntuhkan karena dituding sebagai sumber ajaran yang merusak adat-kebiasaan. Demi menjaga kesuciannya, kaum Padri pernah membantai puluhan serdadu Belanda yang menjadikan masjid sebagai tangsi mereka. Ada banyak lagi kejadian historis lainnya tentang masjid pada masa Perang Padri. Sayangnya, selama ini faktor masjid ini nyaris tidak disinggung dalam rekonstruksi sejarah perang tersebut. Karena itu, tulisan ini mencoba mengungkapkan sejarah mesjid di Minangkabau dalam kaitannya dengan Perang Padri. Tulisan ini juga mencoba mengungkapkan bagaimana kaum Padri membina dan menjaga mesjid, serta bagaimana kelompok antipadri memperlakukan masjid. Di samping itu tulisan ini juga akan menampilkan bagaimana gambaran masjid pada saat Perang Padri.

II

Tidak ada atau nyaris tidak ditemukan informasi mengenai gambaran mesjid di Minangkabau hingga dekade ketiga abad ke-19. Minimnya informasi ini juga berkenaan dengan apresiasi dan perlakuan warga terhadapnya, serta kedudukannya dalam tatanan sosial-kemasyarakatan Minangkabau.

Minimnya informasi tersebut terutama sekali disebabkan oleh hampir tidak adanya sumber-sumber tertulis, baik yang berasal dari penulis Minangkabau atau penulis asing, yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua dari masa Perang Padri. Minimnya informasi tersebut akan semakin terlihat bila pandangan ditukikkan ke kawasan pedalaman. Karena hingga saat itu hanya ada dua orang Eropa (Thomas Dias dan Thomas Stamford Raffles) yang pernah menjejakkan kaki mereka di kawasan darek tersebut. Hingga saat itu, daerah pedalaman masih merupakan terra incognita bagi orang Barat.

Keterangan tertulis mengenai mesjid di Minangkabau sesungguhnya baru mulai tersedia sejak dimulainya Gerakan dan Perang Padri. Ada dua jenis sumber tentang itu: Pertama, sumber naskah yang ditulis oleh pelaku sejarah dari kalangan Urang Awak; dan kedua, catatan perjalanan ke Sumatra Barat atau kenang-kenangan semasa bertugas di Sumatra Barat, atau buku mengenai Perang Padri khususnya dan Sejarah Sumatra Barat pada umumnya yang dibuat oleh pelaku sejarah dari pihak Belanda. Sumber dalam bentuk naskah yang ditulis oleh Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Sanghir yang telah dialihaksarakan dan kemudian telah diterbitkan dalam bentuk buku (Naskah Tuanku Imam Bonjol: 2002) dan Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir: 2002). Sedangkan sumber-sumber yang dibuat oleh orang Belanda semuanya berbentuk buku. Ada tiga buku yang digunakan untuk penulisan ini. Buku pertama ditulis dan diterbitkan pada saat Perang Padri berlangsung (Nahuijs 1827). Buku kedua adalah karya Boelhouwer yang diterbitkan tahun 1841, namun isinya tentang pengalaman penulis pada saat perang berlangsung (1831-34). Buku ketiga dipublikasikan sekitar 10 tahun setelah perang usai, dan ditulis oleh seorang petinggi sipil dan militer Belanda pada saat Perang Padri berlangsung (Stuers 1849).

Tulisan ini membatasi pembahasannya pada penggunaan dua jenis sumber yang disebut di atas. Alasannya adalah untuk membuat rekonstruksi berdasarkan informasi dari tangan pertama, langsung dari lapangan, dan ‘apa adanya’.

III

Ada lima informasi mengenai keberadaan mesjid pada masa Perang Padri. Kelima informasi yang dimaksud adalah: pertama, mesjid sebagai tempat bermulanya konflik antara kaum Padri atau pendukung pembaharu Islam dengan kelompok Melayu (penamaan kelompok antipadri sebagaimana dikemukakan dalam banyak sumber); kedua, mesjid yang dirusak atau diruntuhkan; ketiga, mesjid yang dibangun; keempat, mesjid sebagaimana dilukiskan oleh saksi mata; kelima, mesjid diperlakukan secara tidak wajar (dilecehkan) dari fungsinya sebagai bangunan suci.

Informasi tentang mesjid yang berperan sebagai tempat bermulanya konflik ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Pemimpin kaum Padri tersebut bahkan menempatkan mesjid sebagai titik awal konflik pada bagian-bagian awal karyanya. Disebutkan bahwa pada mulanya telah ada kesepakatan antara berbagai komponen masyarakat Alahan Panjang (Bonjol) untuk mendirikan agama Allah dan Rasullullah. Namun dua bulan setelah itu sebagian warga Ganggo Mudiak dan Ganggo Hilir (dua kampung di Bonjol) membatalkan perjanjian itu. Mereka menggap bahwa perjanjian itu menghilangkan adat kebiasaan mereka (terutama mendirikan gelanggang di mana diadakan adu ayam/balam, perjudian, mengisap madat, dlsbnya). Pembatalan perjanjian tersebut terjadi di dalam mesjid saat diadakannya acara maulud di dalam mesjid. Tidak disebutkan siapa yang memulai, yang jelas pembatalan tersebut berubah menjadi cakak dan perkelahian. Mesjid sebagai rumah Allah berubah menjadi ajang perkelahian. Selanjutnya Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa cakak dan kelahi dalam mesjid itu berlanjut menjadi perang yang berlangsung hingga tiga bulan, perang menyebabkan jatuhnya korban kaum Padri serta kelompok Melayu.

Pada masa-masa awal Gerakan dan Perang Padri, nampaknya mesjid belum dipahami atau dihargai sebagai rumah ibadah dan rumah Allah yang mesti disucikan oleh warga, baik oleh kaum Padri atau kelompok Melayu yang antipadri. Mereka masih belum menjadikan mesjid sebagai bangunan yang bebas dari hawa nafsu dan sikap emosional.

Informasi mengenai perusakan atau penghancuran mesjid ditemukan dalam Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir (selanjutnya disebut SKSJ). Fakih Saghir menyebut tentang perusakan mesjid di Batu Tebal. Tidak hanya itu, Fakih Saghir juga menyebut bahwa suraunya juga dirusak (diruntuhkan), serta buku-buku milik surau dibuang keluar dan seluruh isi surau dirampok. Perusakan Mesjid Batu Tebal dan surau Fakih Saghir berhubungan erat dengan larangan oleh para ulama (Tuanku Nan Tuo serta Tuanku-Tuanku yang lain) terhadap adu ayam yang dilakukan warga Nagari Ampang Gadang. Para ulama melarang adu ayam karena umumnya adu ayam mengandung unsur judi dan selalu berujung dengan perkelahian. Anak Nagari Ampang Gadang tidak terima larangan para tuanku tersebut, sehingga mereka marah dan menyerang para tuanku. Karena kalah jumlah maka para tuanku terpaksa melarikan diri. Gagal menghajar para tuanku mereka menyerang mesjid dan surau, karena mereka memandang bahwa ajaran yang disiarkan lewat mesjid dan surau itulah yang menyebabkan para tuanku melarang mereka menyabung ayam.

Dalam SKSJ ditemukan banyak konflik antara para tuanku dengan warga sejumlah nagari di Sumatra Barat. Konflik-konflik tersebut umumnya berhubungan dengan ajaran yang dibawa para tuanku yang melarang warga nagari menyabung ayam, meminum tuak, mengisap madat, berjudi, merampok, menculik warga, menjua orang, dlsbnya. Informasi tentang perusakan mesjid dan surau hanya sekali disebut, namun bisa dikatakan, mesjid dan surau adalah simbol Islam yang menjadi sasaran amuk para penentang dakwah kaum pembaharu saat itu.

Informasi mengenai pembangunan mesjid ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Ada beberapa informasi mengenai pembangunan mesjid dalam naskah itu. Informasi pertama adalah pembangunan mesjid segera setelah terjadinya cakak dan perkelahian sebagaimana disebut di atas. Segera setelah perkelahian tersebut, kaum Padri segera mendirikan koto (permukiman) yang baru yang terletak di luar kampung. Berdasarkan infomasi ini bisa ditafsirkan bahwa mesjid, di mana cakak dan perkelahian itu terjadi, adalah ‘mesjid nagari’ yang telah ada sebelumnya, dan mesjid itu bukanlah milik kaum Padri. Hal ini dikuatkan oleh penegasan Imam Bonjol dalam memoarnya yang mengatakan bahwa perkelahian itu terjadi di mesjid orang dahulu, bukan mesjid yang sekarang.

Proses pembangunan mesjid yang baru (kaum Padri) dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pembangunan koto (unit permukimaan). Seperti disebut Imam Bonjol, pembangunan dilakukan dengan cara bergotong royong dan melibatkan banyak orang. Dikatakan bahwa dalam proses pembangunan itu ikut-serta orang dari berbagai daerah di sekitar Bonjol, Agam, Lubuk Sikaping dan Rao.

Pembangunan permukiman dan mesjid umumnya dilakukan pada masa-masa awal Gerakan atau Perang Padri. Hal ini bisa dimaklumi, karena pada masa itulah tenaga dan biaya bisa sepenuh dikerahkan dan diarahkan untuk pembangunan permukiman dan mesjid. Ketika fase gerakan berubah menjadi perang yang lebih serius, terutama sejak awal 1830-an, maka tenaga dan biaya telah beralih penggunaannya. Saat itu, tenaga dan dana sepenuhnya dialihkan untuk menghadapi musuh.

Informasi mengenai gambaran mesjid ditemukan dalam catatan perjalanan dan kenang-kenanganan selama bertugas di Sumatera Barat yang dibuat oleh orang Belanda. Seperti yang disebut di atas, dua penulis yang berkontribusi besar dalam hal ini adalah Nahuijs dan Boelhouwer. Walaupun begitu ada perbedaan narasi yang cukup prinsip di antara kedua penulis. Nahuijs hanya menyebut satu mesjid dalam bukunya dan Boelhouwer menyebut beberapa mesjid dan informasi yang disajikannya juga cukup beragam.

Nahuijs menyajikan gambaran mesjid (dinamakannya temple atau candi) yang ditemuinya di Saruaso dan menggeneralisasikan mesjid-mesjid lain di Kawasan Tanah Datar (atau juga Agam) mirip dengan mesjid yang ada di Suruaso. Ada sejumlah kesan yang disajikannya mengenai mesjid. Pertama, mesjid umumnya berukuran kecil (kleine Mohamedaansche meziegiet). Kedua, mesjid umumnya berlokasi di tempat yang tersembunyi dari mata orang banyak dan berlokasi di tempat terpencil, biasanya berada di dasar lembah-lembah kecil di luar permukiman utama. Hal ini, menurut Nahuijs, sangat berbeda dengan apa yang ditemuinya di Pulau Jawa. Di Jawa, katanya, mesjid biasanya berlokasi dekat jalan raya dan berada di lingkungan permukiman yang ramai penduduknya. Ketiga, mesjid-mesjid di Tanah Datar sekaligus tempat tinggal ulamanya (de priesters). Tinggalnya sang ulama di masjid dan di tempat terpencil sekaligus menggambarkan minim atau tidak adanya peran sosial sang ulama dalam strukur masyarakat nagari. Keempat, hampir semua mesjid biasanya dilengkapi dengan sebuah kolam kecil yang berisi banyak ikan kaluih (gurami). Walaupun tidak dikatakan Nahuijs, kolam tersebut biasanya digunakan untuk mengambil wuduk dan juga tempat mandi.

Sama dengan Nahuijs, Boelhouwer menyebut mesjid dengan istilah yang lazim digunakannya atau orang Barat terhadap rumah ibadah, yakni kerk (gereja) atau tempel (candi). Berbeda dengan Nahuijs, Boelhouwer menyajikan gambaran mesjid yang umumnya berukuran besar dan dengan kontruksi yang mengagumkan, serta berlokasi di kawasan yang cukup strategis di dalam nagari. Misalnya di Pakandangan, mesjid yang bagus berlokasi dekat pasar, di sebelah ‘alun-alun’ nagari, dan dikelilingi oleh dinding batu. Di belakang mesjid ada kolam dengan sejumlah pancuran (untuk tempat berwuduk).

Selanjutnya Boelhouwer menyebut adanya mesjid yang sangat bagus besar di Bonjol. Mesjid ini dikatakan memiliki ruang yang luas, yang bisa menampung 3.000 orang (serdadu) dan itupun masih banyak tempat yang kosong. Mesjid yang saat didatangi Boelhouwer belum sepenuhnya selesai itu berbentuk segi empat dan memiliki atap lima tingkat, yang makin ke atas semakin kecil. Atapnya terbuat dari sirap, dan di puncak atap tersebut, di ujung tiang kayu, terdapat sebuah bulatan yang kelihatannya menyerupai bola perak. Logam mengkilap tersebut, yang diyakini bukan terbuat dari perak, juga dipasang pada keempat parabuangan atap mesjid.

Boelhouwer mengatakan bahwa masjid itu tingginya dua kaki dari tanah dan memiliki lantai papan. Mesjid ini memiliki tiang utama (soko guru) yang besarnya tiga kali tubuh lelaki dewasa. Tiang utama tersebut merupakan titik tumpu dari sejumlah balok yang digunakan untuk menyangga atap.

Selanjutnya Boelhouwer memperlihatkan kekagumannya pada masjid yang dikatakannya sebagai bangunan raksasa itu. Dia kagum karena seluruh pengerjaan dilakukan dengan tangan tanpa peralatan yang canggih. Dia kagum pada pengerjaan yang tanpa menggunaan seng, besi dan paku. Dia juga memuji tukang yang mengerjakan pembuatan masjid tersebut.

Mesjid yang diceritakan Boelhouwer ini adalah masjid yang baru dibangun (bahkan belum sepenuhnya selesai). Di samping itu, Boelhouwer juga menyebut ada masjid lama (tua) di Bonjol.

Boelhouwer juga mengatakan bahwa masjid dibangun di pusat permukiman Padri dalam benteng (benteng juga disebut bonjol dalam bahasa Minangkabau lama). Dalam benteng itu juga ada sejumlah rumah yang didiami warga dan juga para pemimpin Padri. Permukiman ini juga dilengkapi dengan banyak kolam yang penuh dengan ikan gurami. Di samping tempat memelihara ikan, kolam-kolam tersebut juga digunakan sebagai tempat mengambil wuduk, dan juga prasarana sanitasi lainnya.

Ada dua lagi masjid dengan gambaran yang hampir sama dengan masjid di Bonjol yang dikisahkan Boelhouwer dalam bukunya. Kedua masjid itu ditemukannya di Lundar dan Padang Matinggi. Kedua daerah itu adalah daerah kaum Padri.

Lukisan Sebuah Mesjid di Pedalalaman Minangkabau pada Abad ke-19

(Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879, Derde Deel: Volksbeschrijving en Taal, 1ste Gedeelte, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).

Dari karya Nahuijs dan Boelhouwer di atas dapat kita katakan bahwa di daerah inti Minangkabau (Tanah Datar) masjid umumnya berukuran kecil, terletak di kawasan yang terpencil, dan bukan merupakan bangunan yang memiliki arti sosial-keagamaan yang istimewa. Sebaliknya di daerah rantau umumnya (termasuk juga Pariaman), dan di daerah Padri khususnya, masjid merupakan bangunan yang istimewa, berukuran besar, megah, dengan arsitektur yang sophisticated untuk masanya, berlokasi di tempat strategis dan dilengkapi dengan prasarana sanitasi yang baik.

Informasi mengenai pelecehan terhadap masjid ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol dan Boelhouwer. Naskah Tuanku Imam Bonjol mengatakan pelecehan dilakukan oleh tentara Belanda, di mana mereka menjadikan mesjid sebagai tempat tinggal (tangsi), memasukkan anjing ke dalam masjid, dan mengambil ikan yang dipelihara dalam kolam masjid. Menurut Imam Bonjol, dijadikan mesjid sebagai tempat tinggal menyebabkan pelaksanaan ibadah warga menjadi terganggu, bahkan akhirnya warga tidak bisa lagi shalat di masjid lagi.

Imam Bonjol juga menyebut bahwa sejumlah masjid di Lubuk Sikaping, Rao, Padang Matinggi, Payakumbuh, dan sejumlah nagari lainnya juga dijadikan sebagai tempat tinggal (tangsi) dan gudang oleh tentara Belanda. Imam Bonjol mengatakan bahwa perlakukan seperti itu adalah tindakan pelecehan atau bahkan penghinaan terhadap mesjid sebagai bangunan suci umat Islam.

Dijadikan masjid sebagai tempat tinggal juga disebut oleh Boelhouwer. Dia mengatakan, bahwa di banyak tempat, para serdadu langsung menuju mesjid untuk bermalam. Boelhouwer juga menyebut bahwa pemakaian mesjid sebagaitempat tinggal bagi tentar aBelanda juga membuat mesjid tidak bisa difungsikan warga untuk tempat ibadah, bahkan kolam dan tempat mandi di mesjid (pancuran) juga tidak bisa lagi digunakan warga. Dengan kata lain, akses warga ke mesjid menjadi terputus.

Pelecehan terhadap mesjid, dan juga kezaliman-kezaliman lain yang dilakukan tentara Belanda membuat warga Bonjol marah. Mereka tidak bisa merima penodaan terhadap masjid mesjid. Sikap ini akhirnya menyebabkan warga melawan.

Pada suatu malam, mereka menyerbu tentara yang tinggal di mesjid. Sebanyak 10 orang pejuang Padri, dibawah pimpinan tuo dubalang yang bergelar Tuanku Garang dan Rajo Layang mereka menyerang tentara yang tinggal di mesjid. Hampir semua tentara yang mereka serang, baik serdadu Jawa dan Belanda, mati semua. Bahkan Tuan Regen, yang semula pendukung Padri dan mendapat rekomendasi pemimpin Padri untuk diangkat menjadi Regen, yang mencoba membela tentara Belanda juga kena amuk dan mengalami luka-luka sehingga akhirnya juga tewas.

Informasi yang disajikan Tuanku Imam Bonjol, memperlihatkan apresiasi warga (terutama kaum Padri) terhadap mesjid, bahwa mereka marah atau melawan kalau mesjid dinodai. Karya Imam Bonjol sekaligus menginfomasikan bahwa kaum Padrilah kelompok masyaraklt di Minangkabau yang mengawali pemberian penghargaan yang tinggi pada mesjid.

IV

Informasi yang disajikan penulis Urang Awak dan Belanda memberikan pemahaman pada kita bahwa sesungguhnya pembangunan mesjid dalam ukuran besar dengan arsitektur yang mengagumkan marak dilakukan segera setelah dimulainya Gerakan Padri dan pada hari-hari pertama meletusnya Perang Padri. Mesjid-mesjid dalam ukuran besar dan megah banyak dibangun di daerah-daerah yang dikuasai kaum Padri.

Pembangunan umumnya dilakukan ‘untuk meningkatkan marwah’ masjid, untuk menampilkan mesjid sebagai sebuah bangunan suci dan rumah ibadah yang memiliki arti yang penting dalam tatanan sosial-keagamaan warga.

Pembangunan masjid nampaknya menjadi bagian dari dakwah kaum Padri.

Di sisi lain, perlu juga disadari, bahwa hingga masa Perang Padri, mesjid sesungguhnya masih belum atau tidak memiliki arti istimewa bagi kalangan kelompok Melayu. Bahkan mereka tega merusak (menghancurrkan) masjid. Di samping itu, kalau pun ada bangunan masjid di daerah-daerah yang didominasi kelompok Melayu, maka bangunannya kecil, jauh dari keramaian, dan berlokasi di tempat-tempat yang sukar didatangi. Kaum ulamanya di kawasan mereka juga belum atau tidak memiliki peran sosial-kemasyarakatan yang berarti.

Orang Belanda melecehkan masjid bisa saja disebabkan oleh tiga alasan: Pertama, kurangnya pemahaman mereka akan arti mesjid di kalangan umat Islam; kedua, mereka melecehkan mesjid karena meniru atau didukung oleh kelompok Melayu yang juga melecehkan mesjid; ketiga, sebagian bagian dari strategi perang mereka, perang melawan kaum Padri adalah juga perang agama, dalam mana simbol-simbol agama juga ikut diperangi oleh orang Belanda.

Pelecehan terhadap mesjid menjadi salah satu faktor bangkitnya perlawanan kaum Padri terhadap Belanda dan para pendukungnya. Belajar dari perlawanan yang dilakukan kaum Padri pulalah akhirnya pemerintah Belanda yang berkuasa di Sumatra Barat pascapadri menerapkan politik membiarkan pembanguan masjid yang dlakukan oleh orang Minang. Itu pulalah sebabnya, dalam sejarah Islam di Minangkabau ditemuka fase pembangunan masjid-mesjid besar dan indah pada kurun waktu setelah perang. Tidak hanya itu, mesjid sebagai salah satu syarat keberadaan sebuah nagari (babalai bamusajik, balabuah batapian tampek mandi), dan kemudian pembangunan mesjid di lokasi yang strategis di pusat nagari, diperkirakan muncul segera setelah Perang Padri berakhir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Perang Padri memiliki arti sendiri dalam sejarah mesjid di Sumatra Barat.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdam: P. Baeumer & Co., 1849.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).

Ditulis oleh Gusti Asnan