Para Pengkhianat Pada Masa Perang Padri

Apakah Puan dan Tuan menganggap bahwa kaum Padri semuanya adalah orang-orang yang setia dan istiqamah berperang untuk mewujudkan cita-cita mereka? Kalau jawaban Puan dan Tuan ‘ya’, maka jawaban Puan dan Tuan itu salah. Banyak tokoh Padri yang juga menjadi pengkhianat. Di sisi lain, kalau Puan dan Tuan menganggap bahwa kolonialis Belanda berperang dengan sungguh-sungguh demi mencapai ambisi dan birahi kekuasannnya, maka Puan dan Tuan benar. Sebagai kolonialis, demi mencapai tujuannya Belanda menghalalkan segala macam cara. Berkata bohong, mengingkari janji yang telah dibuat, dan mengkhianati kawan yang sebelumnya mendukung mereka adalah hal yang sangat lumrah bagi Belanda. Semua itu tidak dilakukannya sekali saja, tetapi berkali-kali.

Berdasarkan realitas sejarah tersebut, di samping diisi oleh berbagai peristiwa yang menampilkan keharmonisan dan kerja sama yang erat, Perang Padri sesungguhnya juga sarat dengan aksi-aksi munafik dari para pengkhianat, dan itu dilakukan oleh pihak Padri dan juga Belanda.

Keberadaan dan pengalaman para pengkhianat pada masa Perang Padri relatif belum diungkapkan selama ini. Kalaupun ada beberapa tulisan yang menyajikannya, maka sajiannya relatif terbatas dan bersifat desriptif naratif saja. Padahal, tidak diragukan lagi, aksi-aksi para pengkhianat itu sangat besar artinya, bahkan bisa dikatakan, aksi-aksi mereka itu mampu mengubah jalannya jalan sejarah. Di samping itu, aksi-aksi tersebut sangat kompleks sifatnya. Aksi-aksi itu tidak bisa dilihat sebagai aksi personal dari si pengkhianat semata, tetapi juga sarat dengan aspek dan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan tentu saja politik daerah yang melingkupi sang pengkhianat secara keseluruhan.

Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan dinamika sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri dari perspektif yang relatif berbeda dari yang dikemukakan sebelum ini. Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Siapa para pengkhianat tersebut? Siapa yang mereka khianati? Bagaimana aksi pengkhianatan yang mereka lakukan? Mengapa mereka berkianat? Sejauh mana pengkhianatan tersebut memberi dampak terhadap kelompok yang dikhianati atau menguntungkan pihak lawan?

II

Secara umum, pengkhianat diartikan sebagai seseorang yang tidak setia kepada kawan, kelompok, dan bangsa. Namun, kadang-kadang, defenisi kata pengkhianat itu ditambah juga dengan pernyataan “…, serta mengalihkan kesetiaan dan dukungannya kepada kelompok lain yang sebelumnya dianggap sebagai musuh”.

Karena melibatkan kaum Paderi dan Belanda maka ada dua kelompok pengkhianat pada masa Perang Padri: pertama, pengkhianat dari kelompok Padri dan kedua pengkhianat dari kelompok Belanda.

Pengkhianat dari kalangan Padri adalah Urang Awak. Pengkhianat dari kalangan Belanda lebih beragam bangsa  dan etnisnya. Pertama tentu saja orang Belanda itu sendiri, kedua orang Minang yang bekerja sama dengan Belanda, dan ketiga, orang-orang dari suku bangsa lain yang menjadi bagian dari hulptroepen (tentang bantuan Belanda).

Bila dicermati dengan saksama, maka para pengkhianat dari kalangan Padri bisa dibagi menjadi tiga kelompok utama:

Pertama, tokoh Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah para petinggi Padri yang berasal dari kalangan ulama (tuanku), memiliki ideologi Padri dan memperjuangkan implementasi ideologi tersebut, telah terlibat dalam perjuangan menggasak kaum non-Padri serta Belanda dalam waktu yang lama (sejak awal gerakan), bahkan memiliki peran yang penting (seperti panglima perang) dalam berbagai aksi fisik kaum Padri. Mereka tinggal di pusat-pusat pemukiman dan aksi Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah Tuanku Mudo, tangan kanan dan panglima perang Tuanku Imam Bonjol (Bonjol) dan Intan Bekati, Tuanku Halaban (Halaban), Tuanku Alam dan sejumlah tuanku lainnya.

Kedua, pendukung Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai peran penting dalam memberikan ‘support’ pada perjuangan atau aksi Padri. Peran mereka umumnya pemberi dukungan logistik dan material. Dengan kata lain mereka kurang atau tidak terlibat secara langsung dalam aksi fisik (militer) melawan Belanda. Kelompok pendukung Padri ini umumnya terdiri dari para saudagar (saudagar Padri). Mereka tidak berdomisili dan tidak tinggal di pusat pemukiman kaum Padri, melainkan tinggal di kawasan ‘pinggiran’, di mana mereka lebih leluasa beraktivitas (berniaga), serta lebih leluasa menjalin hubungan dan kontak dagang dengan dunia luar. Kalau pun mereka bergabung dengan dan mendatangi pusat pemukiman kaum Padri, maka itu dalam waktu yang sebentar atau bukan untuk alasan berjuang secara fisik bersama kaum Padri. Misalnya karena alasan untuk menyelamatkan diri (dalam waktu yang singkat) dari serangan musuh. Bila keadaan telah aman, mereka akan kembali ke tempat mereka beraktivitas. Dua dari sekian banyak wakil pendukung Padri ini adalah Peto Magek dan Tuanku Nan Cerdik.

Ketiga, pengikut Padri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah kaum ulama, namun bukan pengikut fanatik paham Padri, mereka bahkan mengkritisi ajaran Padri. Sayangnya, demi alasan keselamatan diri, mereka tidak secara terang-terangan menampilkan sikap kritis tersebut. Bisa dikatakan mereka adalah pembaharu (kaum Muda) di kalangan Padri. Banyak dari mereka termasuk ‘ulama modern’, dalam artian memiliki pemahaman akan ajaran Islam yang relatif berbeda dengan tokoh Padri ‘konvensional’, yang menerima ajaran Padri sebagai disampaikan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19. Kelompok pengikut Padri ini umumnya bergelar haji, karena mereka telah menunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima. Mereka telah mendapat pemahaman akan ajaran Islam langsung dari ‘sumbernya’ di Mekkah dan Medinah pada kurun waktu yang berbeda pemahaman Islam dan semangat zamannya dari era Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Dua dari sekian banyak pengikut Padri ini adalah Haji Ibrahim dan Tuanku Haji Nan Garang.

Pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul sejak awal tahun 1830-an. Ini berarti sekitar 10 tahun sejak perang berkecamuk atau tiga 30 tahun sejak paham (ideologi) Padri mulai diperkenalkan.

Bila dilihat dari perspektif durasi perang, para pengkhianat di kalangan Padri mulai muncul pada periode mulai ‘lelahnya’ pihak yang berperang. Setelah berperang sekitar 10 tahun kelelahan mulai hadir di kalangan Padri. Mereka lelah karena banyak energi yang terkuras, cadangan makanan mulai berkurang, senjata dan amunisi yang semakin sedikit, kawan seperjuangan banyak yang meninggal,  dan ‘akhir’ perang masih belum jelas. Dalam suasana seperti ini, bagi yang lemah fisik atau lemah ‘iman’, meninggalkan perang atau menyeberang ke kelompok lawan yang dirasa akan menang adalah jalan terbaik. Di sinilah lahirnya pengkhianat di kalangan Padri.

Bila dilihat dari perspektif ideologi, para pengkhianat umumnya muncul pada saat perlu diadakannya evaluasi terhadap sebuah faham. Evaluasi terhadap sebuah ideologi atau faham cenderung dilakukan setelah 25 s.d. 30 tahun sejak ideologi atau faham tersebut diperkenalkan. Evaluasi terhadap paham itu sering diikuti oleh adanya diskursus intelektual di kalangan penganut ideologi atau bahkan kegaduhan pisik sebagai kelanjutan dari perdebatan pemikiran itu. Lahirnya pengkhianat adalah juga bagian dari proses evaluasi itu. Mereka hadir karena harapan atau janji eskatologis dari ideolgi yang dianut tidak juga terwujud.

Bila dilihat dari jarak waktu, maka bisa dikatakan bahwa munculnya para pengkhianat di kalangan Padri cocok dengan uraian di atas, yakni sekitar 25-30 tahun sejak ajaran Padri pertama kali diperkenalkan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada awal abad ke-19.

Evaluasi terhadap ajaran Padri diawali oleh Tuanku Imam Bonjol. Seperti dinyatakan dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjollah yang menyampaikan gagasan untuk mengevaluasi paham yang mereka amalkan selama ini. Gagasan Tuanku Imam disetujui oleh tokoh-tokoh utama Padri, seperti Tuanku Mudo, Tuanku Kadi Besar, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Proses evaluasi dilakukan dengan mengirim anak-kemenakan mereka ke Mekkah ‘untuk mencari hukum kitabullah nan adil’. Sekembali dari Mekkah (1829/1830), anak-kemenakan mereka tersebut mengatakan bahwa aksi-aksi kekerasan dalam menyebarkan (dakwah) Islam tidak diamalkan lagi di Tanah Suci. Sejak itulah terjadi perubahan yang besar dalam aksi dan dakwah kaum Padri.

Segera setelah itu, Tuanku Imam Bonjol melarang aksi-aksi kekerasan dalam dakwah. Dia menegaskan agar barang-barang rampasan harus dikembalikan, penjagaan dan keamaman nagari (berhadapan dengan Belanda) diserahkan kepada para basa, penghulu dan raja. Selanjutnya Tuanku Imam mengatakan dia ‘tinggal dituahnya saja’, akan fokus pada soal agama (di surau).

Catatan sejarah menyajikan, selepas pernyataan Tuanku Imam itulah sesungguhnya muncul para pengkhianat di kalangan Padri. Jadi pengkhianat muncul etelah evaluasi ideologi diadakan.

Di samping faktor internal, munculnya para pengkhianat di kalangan Padri juga disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor luar yang dimaksud adalah semakin intensifnya serangan Belanda. Sejak usainya perlawanan Pangeran Diponegoro (1830), Belanda memokuskan upayanya untuk mengakhiri perlawanan kaum Padri. Jumlah tentara yang diterjunkan ke medan tempur Sumatra Barat semakin banyak, dan komandan tempur yang dikirim ke Sumatra Barat saat itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk ‘memenangkan perang’.

Intensifnya serangan Belanda membuat sebagian kaum Padri mulai berpaling dan kemudian mengkhianati kawan seperjuangannya.

Pengkhianatan pertama dikalangan Padri dilakukan oleh tokoh Padri (ulama konvensional). Tidak tanggung-tanggung pengkhianat pertama itu adalah Tuanku Mudo, panglima perang Padri dan tangan kanan Tuanku Imam Bonjol. Pengkhianatannya diwujudkan dengan menjadi kaki tangan Belanda (diangkat menjadi Regen Bonjol). Segera setelah menjadi kaki tangan Belanda, Tuanku Mudo membuktikan kepatuhannya pada ‘tuannya’ yang baru, yakni dengan menyerang Sundatar dan Rao. Sundatar dan Rao sebelumnya adalah basis Padri dan pendukung utama Padri. Di samping itu Tuanku Mudo juga membiarkan Belanda menduduki Bonjol dan mengizinkan sejumlah aksi Belanda di wilayahnya.

Tokoh Padri berikutnya yang menjadi pengkhianat adalah Tuanku Halaban (diangkat menjadi Regen Halaban). Sama dengan Tuanku Mudo, segera setelah menjadi kaki tangan Belanda Regen Halaban ini aktif memerangi kaum Padri Limaupuluh Kota dan juga di kawasan Agam dan Tanah Datar.

Sebagai pejabat bumiputra (Inlandsche Hoofden) setingkat Regen mereka digaji f.250,- per bulan.

Hampir bersamaan waktunya dengan pengkhianatan Tuanku Mudo dan Tuanku Halaban, juga terjadi pengkhianatan di kalangan pendukung Padri (saudagar). Sosok pendukung Padri yang pertama berkhianat adalah Peto Magek. Peto Magek adalah seorang pedagang besar (Padri) yang berdomisili di Katiagan. Katiagan adalah sebuah nagari yang terletak di kawasan pantai Pasaman, di utara Padang. Hingga awal tahun 1930-an kekuasaan Belanda belum begitu utuh di sana. Peto magek aktif berdagang dengan saudagar Aceh yang saat itu masih leluasa mendatangi kawasan pesisir di utara Sumatra Barat. Peto Magek menjual berbagai komoditas niaga yang dihasilkan daerah pedalaman kepada saudagar Aceh yang datang ke daerahnya serta menjadi pembeli barang-barang dagang yang dimasukkan saudagar Aceh ke daerahnya, dan kemudian mengirimnya ke daerah pedalaman (Bonjol, Lubuk Sikaping dan Rao), ke daerah Padri.

Kegiatannya ini sangat membantu kaum Padri, namun pada saat yang bersamaan membuat Belanda marah besar. Belanda marah, karena Peto Magek membantu kaum Padri dan merugikan Belanda (seretnya aktivitas niaga Belanda).

Belanda menyerang Peto Magek dan perkampungan pusat niaganya. Sang saudagar Padri tersebut kalah dan melarikan diri ke kawasan Padri. Namun beberapa waktu kemudian Peto Magek sudah bergabung dengan Belanda. Di samping adanya peran iparnya yang mengajaknya untuk meninggalkan Padri, ‘darah dagang yang mengalir dalam tubuhnya’ dikatakan sebagai salah satu alasan dia memilih bergabung dengan Belanda. Bergabung dengan Belanda memberi kesempatan kepada untuk tetap aktif dan mendapat perlindungan dari penguasa dalam dunia niaga. Setelah bergabung dengan Belanda, Peto Magek sering membantu Belanda saat kolonialis itu terdesak oleh kaum Padri.

Satu lagi pendukung Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda adalah Tuanku Nan Cerdik. Tuanku Nan Cerdik adalah juga seorang saudagar besar yang aktif berniaga di kawasan sebelah utara Pariaman. Sama dengan Katiagan, hingga saat itu, kekuasaan Belanda belum begitu utuh di kawasan tersebut, sehingga memungkinkan dia dan saudagar asing aktif berdagang di sana. Kampung halamannya adalah Naras. Di nagari itulah Tuanku Nan Cerdik aktif berdagang, memasukkan berbagai barang dagang dari luar untuk selanjutnya diperdagangtkan pula di daerah pedalaman dan memperdagangkan berbagai barang dagangan yang dibawa dari darek dengan saudagar asing.

Aktivitas dagangnya ini membuat Belanda marah. Kegiatannya jelas membantu Padri dan merugikan Belanda.

Di samping aktif berniaga, konflik internal tingkat nagari atau rivalitas dengan tokoh lain di nagarinya yang mendukung Belanda juga membuat Tuanku Nan Cerdik dibenci Belanda. Faktor-faktor itulah yang akhirnya membuat Belanda menyerangnya.

Tidak mudah menaklukan Tuanku nan Cerdik. Sang Tuanku memberikan perlawanan yang gigih dan memakai taktik perlawanan yang jitu (bahkan sempat pula bergabung dengan kekuatan Padri di Bonjol). Namun akhirnya Tuanku Nan Cerdik takluk dan menerah kepada Belanda. Oleh Belanda dia tidak dihukum atau dipenjara, bahkan ‘diapresiasi’ sehingga membuatnya mendukung Belanda. Setelah bergabung dengan Belanda dia kemudian dianugerahi beberapa fasilitas, termasuk diberi gelar ‘Raja Bicara’ dan gaji f.100 per bulan.

Sebagai pendukung Belanda, Tuanku Nan Cerdik banyak membantu ‘tuannya’. Dari dia Belanda mendapat banyak keterangan tentang Bonjol dan kekuatan serta kelamahan Padri. Berkat bantuannyalah berbagai operasi Belanda di kawasan Pariaman utara, Tiku, hingga Agam barat laut, dan tentu saja Bonjol lebih mudah dilakukan.

Sayangnya, seperti yang akan dibicarakan nanti, dia kemudian dikhianati pula oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik adalah salah satu contoh pengkhianat yang kena khianat dalam sejarah Perang Padri.

Sesungguhnya pengkhianat dari kelompok pengikut Padri (ulama muda atau haji) telah muncul beberapa waktu sebelum tampilnya pengkhianat dari kalangan tokoh (ulama konvensional) dan pendukung Padri (saudagar). Namun karena ‘greget’ dari pengkhianatan mereka tidak kuat maka pengkhianatan mereka itu kurang nampak. Pengkhianatan dari kelompok pendukung Padri muncul lebih awal dari atau pada saat bersamaan dengan kembalinya anak-kemenakan tokoh Padri dari Mekkah. Hal ini disebabkan oleh karena mereka adalah juga orang-orang yang juga pergi ke Mekkah dan mendapat kesan tentang ‘damainya’ Islam di Tanah Suci (seperti yang didapat anak-kemenakan tokoh Padri).

Pengkhianatan pengikut Padri adalah pengkianatan kaum cendekiawan. Mereka adalah para haji yang mendapat pengetahuan keislaman dari sumbernya di Tanah Suci. Pengkhianatan mereka dilakukan dengan cara menjauh atau tidak mendukung dari aksi-aksi kekerasan tokoh Padri. Sikap ini terutama dilakukan secara personal, namun juga disampaikan kepada kawan dan sahabat yang sejalan dengan ide mereka. Walau pun tidak menyebut jumlah, Kielstra mengatakan pengaruh pengkhianatan pengikut Padri ini cukup besar dan pendukungnya cukup banyak. Pengkhianatan mereka juga diwujudkan melalui aksi berhubungan dengan pejabat Belanda. Mereka berkorespondesi dengan Mac Gilavry, Resident van Padang en Onderhoorigheden. Gilavry memuji-muji sikap dan pemahaman mereka (yang moderat) terhadap Islam. Mereka merespon pujian dan tawaran kerja sama yang dikemukakan Gilavry dengan jalan meminta dukungan finansial. Permohonan yang tidak dipenuhi Gilavry, namun ideologis, Belanda telah menang, karena berhasil menjaga kaum muda dan para haji muda itu tetap berjarak dari tokoh Padri. Pengkhianatan kaum intelektual umumnya buka melalui aksi fisik.

Gilavry bisa dikatakan sebagai tokoh Belanda yang pertama yang berhasil menggiring kaum muda (haji) menjadi pengkhianat. Korespondensi yang dilakukan dan puji-pujian yang disampaikan serta ajakan untuk ‘bekerja sama’ adalah sebagian dari mantra yang disampaikan Gilavry dalam upaya menarik pengikut Padri menjadi pengkhianat.

Di samping Gilavry, tokoh Belanda yang paling berhasil menghadirkan pengkhianat Padri adalah Elout. Eloutlah yang menjinakkan Tuanku Mudo, Tuanku Halaban, Peto Magek, Tuanku Nan Cerdik dan banyak lagi tuanku-tuanku Padri lainnya. Eloutlah yang menjadikan mereka pendukung Belanda dan kemudian mengajak mereka memerangi kaum Padri. Iming-iming jabatan (sebagai Regen, Tuanku Laras), gelar, tidak menyebut-nyebut atau mengungkit-ngungkit ‘dosa’ mereka terhadap Belanda di masa lalu, serta gaji yang besar adalah bagian dari strategi yang dijalankan Elout untuk membuat tokoh-tokoh kunci kaum Padri mengkhianati kawan dan perjuangannya.

Pengkhianatan orang-orang hebat Padri dalam jumlah yang cukup banyak tidak serta-merta berdampak negatif pada perlawanan kaum Padri menentang Belanda. Bahkan pada saat yang bersamaan dengan terjadinya pengkhianatan massal tokoh kunci Padri tersebut terjadi perlawanan serentak orang Minang terhadap Belanda (awal 1833). Dan dalam kenyataannya, dibutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat atau lima tahun lagi, oleh Belanda sehingga kolonialis itu mampu mengalahkan Padri (merebut Bonjol dan menawan Tuanku Imam). Dengan kata lain, pengkhianatan yang dilakukan oleh para panglima atau tokoh Padri relatif tidak banyak artinya bagi perlawanan kaum Padri. Kenyataan ini pulalah yang kemudian menyebabkan Belanda mengkhianati pula tokoh-tokoh Padri yang berkhianat tersebut.

III

Para pengkhianat pada kelompok Belanda terdiri dari orang Belanda, orang-orang Minang pendukung Belanda, dan tentara non-Minang (Hulptroepen). Pengkhianat dari kalangan Belanda adalah para pejabat sipil dan militer setingkat residen dan gubernur. Stuers, Elout dan Micheals adalah tiga pejabat yang bisa dikatakan sebagai ‘bapak’ pengkhianat Belanda dalam sejarah Perang Padri. Melihat dari kurun waktu kekuasaan mereka, maka bisa dikatakan bahwa pengkhianatan dilakukan sekitar empat atau lima tahun setelah Belanda terlibat dalam Perang Padri dan tetap berlanjut hingga akhir perang secara keseluruhan. Bahkan, bila dikaitkan dengan keberadaan pemerintahan Belanda di Sumatra Barat, maka pengkhianatan itu tetap dilakukan hingga beberapa dasawarsa setelah Perang Padri usai.

H.J.J.L. de Stuers, C.P.J. Elout, dan A.V. Michiels

Bila dibandingkan dari kesemua tokoh tersebut, maka Elout adalah pengkhianat tulen, bapaknya dari ‘bapak’ pengkhianat Belanda. Dialah yang paling banyak mengkhianati ‘kawannya’.

Ada tiga aksi pengkhianatan yang mereka lakukan. Pertama, mengkhianati orang-orang yang mendukung mereka sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Kedua, mengkhianati tokoh pengkhianat Padri atau mengkhianati orang Padri yang mendukung Belanda ketika perang telah berkecamuk. Ketiga, mengkhianati tokoh-tokoh Padri (orang Padri secara keseluruhan), dengan siapa mereka membuat berbagai perjanjian damai.

Pengkhianat pertama adalah Stuers dan dia mengkhianati orang Minang yang mendukung Belanda sejak awal mereka terlibat dalam Perang Padri. Pengkhianatan yang dilakukan adalah menurunkan jabatan Sutan Alam Bagagar Syah dari Hoofderegent van Minangkabau menjadi Regent van Minangkabau saja. Stuers juga meniadakan lagi Kerajaan Minangkabau dan raja Minangkabau, karena keberadaan dan posisinya telah digantikan oleh Hoofdafdeeling van Minangkabau serta Hoofdregent van Minangkabau. Mengaktualkan kembali Kerajaan dan Raja Minangkabau adalah salah satu yang dijanjikan sewaktu Belanda saat pertama mereka menjalin kerja sama dengan keluarga kerajaan.

Pengkhianatan Stuers terhadap Bagagar Syah dilakukan karena Belanda sudah ‘di atas angin’, bantuan Bagagar Syah tidak diperlukan lagi, dan Bagagar Syah sudah sangat tergantung padanya. Bagagar Syah diberi gaji yang besar dan keluarga kerajaan (Muning Syah serta Tuan Gadis diberi uang pensiun).

Seperti disebu di atas, Elout mengkhianati banyak ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah, Tuanku Nan Cerdik, Raja Buo, Tuanku Alam adalah beberapa ‘kawannya’ yang dikhianati. Berbeda dengan Stuers, pengkhiatanatan Elout betul-betul sadis. Tidak saja diturunkan dari jabatan, Elout bahkan memenjarakan (mengasingkan) ‘kawan-kawannya’ dan bahkan tega membunuh ‘kawannya’. Alam Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik dipenjarakan (diasingkan) ke Batavia dan Tuanku Alam dan Raja Buo dibunuh.

Pengkhianatan Elout betul-betul licik. Dia menuduh kawan-kawannya (khususnya Bagagar Syah dan Tuanku Nan Cerdik) mengkhianati Belanda, sebuah tuduhan yang kemudian tidak terbukti. Artinya, Elout hanya ingin menyingkirkan mereka. Mereka disingkirkan karena peran dan arti mereka relatif tidak ada bagi kampanye militer Belanda dan ekspansi politik/administratif kolonial di Sumatra Barat.

Seorang lagi ‘kawan’ yang dikhianati Elout adalah Sentot Ali Basya. Sentot, panglima perang Pangeran Diponegoro didatangkan dengan ratusan anak buahnya ke Sumatra Barat untuk memerangi kaum Padri. Namun kemudian dia dituduh berkhianat oleh Elout. Dia dituduh menjalin hubungan erat dengan orang Minang dan ingin mendepak Belanda dalam upaya menjadikan dirinya sebagai raja di Minangkabau. Elout melupakan jasa-jasa Sentot dan mengasingkannya ke Bengkulu.

Micheals adalah Gubernur Sipil dan Militer pertama Gouvernement van Sumatra’s Westkust yang dibentuk tahun 1837. Dia mempunyai tugas menuntaskan perlawanan Padri dan anasir-anasir yang mengganggu ketertiban dan keamanan (rust en orde) daerah. Karena itu dia melibas sebuah orang dan kelompok masyarakat yang dirasa mengganggu misi yang diembannya. Dalam kaitan dengan inilah dia mengkhianati Regen Batipuh yang sejak waktu yang lama sangat setia mendukung Belanda memerangi Padri. Sebagaimana banyak dikemukan oleh banyak penulis, atas jasa-jasanya Regen Batipuh yang mendapat banyak fasilitas dari Belanda, mulai dari gaji yang sangat besar (f.500,-), berbagai bintang dan penghargaan, hak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya, ide dan sarannya yang umumnya diiyakan pejabat Belanda, dan banyak kemudahan lainnya.

Seusai Perang Padri sang regen meminta fasilitas yang lebih lagi, salah satu di antaranya keinginan untuk menjadi Raja Minangkabau, sebuah posisi yang telah diidamkannya sejak masa sebelum Padri dikalahkan. Belanda tidak penah mau mengabulkan permintaannya ini. Akumulasi dari berbagai tuntunannya yang tidak dipenuhi oleh Belanda itulah akhirnya sang regen memberontak. Micheals bersikap tegas terhadapnya. Setelah berperang dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Regen Batipuh berhasil dikalahkan. Dia ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Keponakannya dan 60 orang pengikutnya yang lain juga ditangkap.

Sama dengan Elout, bila mengganggu kekuasaannya, Micheals melupakan jasa besar yang pernah diberikan ‘kawannya’.

Pengkhiatan terhadap tokoh (orang Minang secara keseluruahan) yang pernah membuat perjanjian damai dengan Belanda sesungguhnya telah dilakukan oleh Stuers. Ada banyak perjanjian yang dibuat Belanda dengan kaum Padri, hampir semua isi perjanjian itu dikhiatani. Dua dari sekian banyak perjanjian yag sangat nyata dikhianati adalah Perjanjian Masang dan Perjanjian Tuanku Keramat (dan Tuanku Saleh, Tuanku Di Bawah Tabing dan Datuk Ujung) dengan Stuers. Perjanjian-perjanjian yang salah satu isinya adalah saling tidak menyerang selalu dikhianati oleh Belanda. Isi perjanjian dengan segera dikhianati bila mereka merasa kuat dan Padri lemah.

Kolonialis Belanda memang dikenal sebagai bangsa yang paling suka membuat perjanjian dan sekaligus paling suka mengkhianati janji. Dalam konteks mengkhianati janji, kolonialis Belanda adalah juaranya.

IV

Pengkhianat dari kalangan tentara non-Minang (Hulptroepen) umumnya terdiri dari pasukan yang berasal dari suku Jawa dan Madura. Mereka mengkhianati Belanda (tuan besarnya). Mereka berkhianat kepada Belanda dan kemudian bersimpati atau bergabung dengan kaum Padri. Para pengkhianat dari kelompok ini umumnya ‘orang kecil’, dari kalangan ‘prajurit’.

Pengkhianatan mereka terhadap Belanda memberi arti yang besar bagi kaum Padri. Jumlah pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura ini tidak diketahui dengan pasti, tapi dari data-data yang disajikan Kielstra, jumlah anggota Hulptroepen yang desersi berkisar 5 s.d. 10 orang dalam setiap tahun laporan. Tuanku Imam Bonjol juga mengatakan bahwa beberapa orang Jawa (tentara Jawa) memberikan banyak informasi dan bantuan terhadapnya (kaum Padri). Tuanku Tambusai bahkan pernah mengatakan bahwa belasan tentara Jawa bergabung dengan pasukannya.

Kesamaan agama adalah latar belakang utama mau bergabungnya ‘tentara Madura’ dan ‘tentara Jawa’ dengan kaum Padri. Kielstra dan Lange mengatakan bahwa  Tuanku Tambusai menyebut-nyebut kesamaan agama mereka kepada tentara Madura dan Jawa saat mengajak mereka bergabung dengannya (dan meninggalkan Belanda). Penulis-penulis Belanda juga sering mengatakan bahwa kesamaan agama membuat tentara Madura dan Jawa merasa dekat dengan kaum Padri.

Pengkhianatan kalangan prajurit Madura dan Jawa ini diganjar dengan pemecatan dari kesatuan Hulptroepen. Dalam catatan dan buku-buku Belanda disebut disersi.

Tidak hanya dari kalangan prajurit, pengkhianat dari etnis Jawa juga terdiri dari petingginya. Bahkan pucuk pimpinan tertinggi mereka, Sentot Ali Basya juga bisa dikatakan sebagai pengkhianat terhadap Belanda. Namun, berbeda juga dengan pengertian umum tentang pengkhianat, maka pengkhianatan Sentot agak istimewa. Sentot mengkhianati Belanda bukan untuk bergabung dengan musuh Belanda (kaum Padri), tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri (dia ingin menjadi raja di Minangkabau). ‘Hukuman’ atas pengkhianatannya adalah dibuang ke Bengkulu. Elout yang menentukan hukuman tersebut.

Berbeda dengan Sentot, karena mereka telah bergabung dengan kaum Padri, maka ‘hukuman’ terhadap para pengkhianat dari kalangan prajurit Madura dan Jawa hanya sampai pada tingkat dipecat dari kesatuan Hulptroepen atau tuduhan disersi saja. Sangat sedikit atau hampir tidak ada dari mereka yang ditawan atau dipenjara. Mereka kemudian mendapat ‘rumah baru’ di pusat atau perkampungan Padri. Diperkirakan, mereka kemudian menjadi ‘sumando’ urang Awak.

V

Pengkhianat menjadi bagian dari Perang Padri. Ada pengkhianat dari kalangan Padri dan pengkhianat dari kalangan Belanda.

Sejarah para pengkhianat pada masa Perang Padri menyajikan data bahwa sesungguhnya pengkhianatan umumnya dilakukan oleh para petinggi Padri dan petinggi Belanda. Pengkhianatan merugikan kelompok yang dikhianati. Pengkhianatan umumnya ‘diganjar’ dengan berbagai kemudahan oleh pihak tempat pengkhianat bergabung.

‘Ganjaran’ yang diberikan Belanda umumnya sangat memuaskan, karena berupa jabatan tinggi, gaji (uang) yang banyak, dan berbagai fasilitas yang sesuai dengan kapasitas para pengkhianat sebagai orang penting.

Pengalaman sejarah juga mengatakan bahwa Belanda (pejabat Belanda) sesungguhnya adalah juga pengkhianat.

Karena pengkhianat bertemu dengan pengkhianat, maka pengkhianat yang lebih besar dan mempunyai kekuasaan (pejabat Belanda) umumnya mengkhianati pula para pengkhianat yang bergabung dengannya. Hampir semua pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda akhirnya dikhianati oleh Belanda. Sebagian dikhianati pada saat Perang Padri masih berlangsung, namun sebagian lainnya setelah perang usai. Tidak jarang, beberapa dekade setelah perang usai. Tuanku Nan Tinggi, Tuanku Lareh Sungaipuar misalnya dikhianati pemerintah jauh setelah perang usai.

Bila diperbandingkan, maka terlihat bahwa sangat banyak kaum Padri yang berkhianat dan bergabung dengan Belanda.  Seperti telah disebut di atas, umumnya pengkhianat Padri tersebut adalah orang-orang hebat dan punya pengaruh sosial, politik dan ekonomi yang besar. Sebaliknya, sangat sedikit kalangan Belanda yang bergabung dengan Padri. Dan dari yang sedikit itu, mereka bukan pula kalangan ‘orang besar’. Namun berbeda dengan pengkhianat Padri yang bergabung dengan Belanda yang umumnya terlantar dan disia-siakan Belanda pada akhirnya, maka tentara Jawa dan Madura yang bergabung dengan Padri mendapat tempat dan penghargaan yang tinggi dari kaum Padri dan Urang Awak. Mereka diajak sama-sama memerangi kolonailis dan kemudian juga diterima menjadi ‘urang sumando’.

Bila dilihat dari perspektif historiografi nasional, maka pengkhianat dari kalangan prajurit Jawa dan Madura inilah yanglayak dinobatkan sebagai pahlawan. Mereka mengkhianati kolonialis dan bergabung dengan pejuang yang berperang melawan penjajah.

Masih banyak dinamika sejarah para pegkhianat ini yang masih belum terungkap, dan dinamika sejarahnya itu sangat menarik untuk dicermati. Apalagi gejala dan perilaku khianat ini tetap ada pada masa-masa sesudah Perang Padri bahkan – mungkin – sekarang. Untuk itu, untuk memahaminya secara lebih utuh, perlu pengetahuan dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keberadaan para pengkhianat di masa lampau. Bukankah masa kini dibentuk oleh masa lampau, dan sebagian persoalan masa kini bisa dicarikan jalan keluarnya dengan mengambil hikmah dari peristiwa di masa lampau? Karena itu sangat ditunggu adanya sejarawan atau peminat sejarah yang akan mengkaji dunia pengkhinat di daerah ini di masa lampau. Ditunggu.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Weskust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan