Month: March 2021

Prasarana dan Sarana Transportasi Pada Masa Perang Padri

Perang tidak hanya membutuhkan tentara yang berbadan tegap, berani, campin menggunakan senjata, atau tersedianya persenjataan yang lengkap dan canggih, tetapi juga membutuhkan infrastruktur transportasi yang memadai. Tegasnya, perang membutuhkan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan dunia transportasi. Fasilitas-fasilitas ini digunakan untuk mendukung mobilitas pasukan, pengangkutan persenjataan, pendistribusian logistik, dan juga tujuan-tujuan sosial-ekonomis diadakannya perang. Untuk itulah, pihak-pihak yang berperang, berusaha untuk menjaga, melengkapi, membangun dan mengadakan prasarana dan sarana transportasi. 

Pengalaman yang sama juga terjadi pada saat meletusnya Perang Padri. Pihak-pihak yang berperang sama-sama memaksimalkan pemanfaatan prasarana dan sarana transportasi ini. Mereka juga sama-sama berupaya membangun dan melengkapi prasarana dan sarana transportasi yang akan manfaatkan dan gunakan.

Dalam kaitannya dengan itu, bisa dikatakan, bahwa Perang Padri adalah salah satu tonggak sejarah penting dalam pemanfaatan, pembangunan,  pengadaan berbagai prasarana dan sarana transporasi di daerah di Sumatra Barat khususnya dan di bagian tengah Sumatra pada umumnya.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan berbagai bentuk prasarana dan sarana transportasi yang ada dan dimanfaatkan pada masa Perang Padri, serta juga berupaya menyajikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia transportasi di daerah di mana perang itu berkecamuk.

Kajian mengenai dunia transportasi pada era Perang Padri menjadi sangat menarik karena apa yang terjadi pada saat itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dunia tranportasi masa sebelumnya serta menjadi dasar bagi keberadaan prasarana dan sarana transportasi pada masa-masa berikutnya.

Sebelum membahas berbagai bentuk prasarana dan sarana transportasi yang ada dan dikembangkan pada masa Perang Padri, serta perubahan-perubahan yang dialaminya termasuk arti fasilitas-fasilitas ini bagi masing-masing pihak yang berperang, maka pada bagian berikut akan disajikan terlebih dahulu keadaan prasarana dan sarana tranportasi Sumatra Barat sebelum Perang Padri.

II

Labuah atau jalan adalah prasarana transportasi yang telah lazim dikenal serta dimanfaatkan orang Minang sejak masa sebelum Perang Padri. Bahkan labuah telah ada sejak era legendaris dan labuah dijadikan sebagai salah satu syarat dalam keberadaan nagari, unit sosial-politik tertinggi di Minangkabau. Hal ini tercantum dalam ungkapan:

Babalai, bamusajik

balabuah, bagalanggang

batapian tampek mandi

Labuah adalah fasilitas umum yang digunakan sebagai tempat lalu lalang orang dan pengangkutan barang. Sebagian bagian dari keberadaan sebuah nagari, maka kondisi labuah umumnya baik, bahkan, seperti yang akan disebut pada bagian berikut tulisan ini, orang-orang Belanda yang pertama mendatangi pedalaman Minangkabau sangat kagum akan bagusnya kondisi jalan ini di banyak tempat di kawasan darek.

Jalan tidak hanya menghubungkan kampung yang ada dalam sebuah nagari, tetapi menghubungkan nagari yang satu dengan nagari yang lain. Jalan antarnagari ini lazim disebut sebagai ‘pelintasan’. Literatur asing (Belanda dan Inggris) menamakan jalan bentuk ini dengan voetpaden (Belanda) atau footpath (Inggris), sedangkan secara nasional jalan tipe ini disebut sebagai jalan setapak.

Kondisi jalan setapak tidak sebagus jalan nagari, karena tidak ada orang atau lembaga yang memeliharanya secara khusus.  Di samping itu pemanfaatannya juga tidak begitu intensif. Bahkan tidak jarang, pelintasan ini melewati kawasan yang berupa bukit, lembah dan pesawangan, serta berbahaya. Berbahaya dalam artian rawan penyamunan (perampokan).

Jalan setapak juga menjadi prasarana tranportasi yang penting yang menghubungkan daerah pedalaman Minangkabau dengan daerah sekitar atau antara daerah inti (Luhak Nan Tigo) dengan rantau. Lewat jalan setapak inilah hubungan antara kedua daerah dijalin. Mobilitas orang dan barang dilakukan dengan memanfaatkan ruas-ruas jalan ini.

Ada sejumlah jalan setapak antara daerah pedalaman dengan daerah rantau, baik rantau yang berada di bagian barat (Rantau Pesisir) atau Rantau Hilir yang berada di sebelah timur daerah inti. Dua diantaranya adalah ruas jalan  yang dimanfaatkan oleh Thomas Stanford Raffles ketika memasuki pedalaman Minangkabau tahun 1818. Kedua-duanya jalan setapak yang menghubungkan Padang dengan daerah pedalaman (Tanah Datar), namun berbeda rutenya. Rute pertama dari Padang, Limau Manih, Pulau Cubadak, Bukitbatu, Selayo, Saniangbaka, Ombilin, dan terus ke Suruaso. Ruas jalan kedua adalah (dari Tanah Datar) ke Padang, yaitu Suruaso, Ombilin, Panyinggahan, Gedungpapan, Sambuang, Pinang, Lubuak Minturun, Koto Tangah, dan Padang (jalan kedua ini adalah jalan yang dilalui Gamawan Fauzi dan rombongannya sewaktu beliau menjadi Bupati Solok, namun sang bupati dan rombongannya tersesat untuk beberapa hari).

Rute Jalan Setapak yang Ditempuh Raffles dari Padang hingga Pedalaman Minangkabau Tahun 1818
(Sumber: Raffles, Sophia, Memoirs of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: John Murray-Albemarke Street, 1830).

Dua lagi adalah jalan setapak yang dilalui Thomas Dias, seorang Portugis pegawai VOC yang ditempatkan di Malaka, yang memulai perjalanannya dari Patapahan (Riau) menuju pusat Kerajaan Minangkabau Pagaruyung (diperkirakan berada di Kumanih). Sama dengan Raffles, Dias juga menempuh dua rute jalan setapak, pertama dari Patapahan melalui nagari-nagari Air Tiris, Koto Padang, Paku, Ngungun, Buo hingga Pagaruyung (Kumanih). Kedua dari Kumanih melalui Siluka, Manganti, Sumu, Ungan, Mandiangin, Air Tanang, Pangkalan Sarai, Tarusan, Koto Baru, Mariring, Tanjung Balik, Pasar Ranah, Ujung Bukit, Domo, Padang Sawah, Kuntu, Lipat Kain, Koto Padang, AirTiris dan seterusnya hingga Patapahan.

Rute Jalan Setapak yang Ditempuh Thomas Dias dari Patapahan (Riau) ke Pagaruyung (Kumanih) Tahun 1684
(Sumber: Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981).

Beberapa ruas jalan lainnya antara rantau di pesisir barat dengan daerah pedalaman adalah jalan setapak antara Air Bangis dan Rao; Katiagan atau Sasak dengan Bonjol; Tiku, kawasan Danau Maninjau dan Bukitinggi; Pariaman, Kayu Tanam, dan Tanah Datar; serta  Kambang dan Sungai Pagu.

Jalan setapak tidak hanya menghubungkan daerah pedalaman dengan kawasan dengan pesisir barat, tetapi juga dengan pantai timur. Namun ada perbedaan yang signifikan untuk kawasan timur. Jalan setapak ke arah itu umumnya hanya tersedia hingga negeri-negeri yang juga berperan sebagai ‘pangkalan’, yaitu negeri-negeri yang terletak di pinggir sungai yang dapat dilayari (bevaarbaar) dan sekaligus berperan sebagai tempat berlabuhnya perahu yang bisa membawa orang dan barang ke arah hilir. Karena itu, jalan setapak ke arah timur akan berakhir di sejumlah ‘pangkalan’ yang ada di pinggir Sungai Rokan Kanan, Sungai Rokan Kiri, Batang Mahek (hulu Sungai Kampar Kanan), Batang Kuantan, dan Batanghari. Mueller menyebut nama sejumlah pangkalan yang penting hingga awal tahun 1830-an, yaitu Pangkalan Koto Baru, Pangkalan Cacang, Pangkalan Kapas, Pangkalan Sariak, dan Pangkalan Indaruang. Di samping itu, tentu ada banyak lagi negeri yang berperan sebagai ‘pangkalan’, tetapi tidak dinamai (toponimi) dengan kata ‘pangkalan’.

Beberapa Jalan Setapak dan Jalur Sungai di Sumatra Barat dan Kawasan Hulu Sejumlah Sungai di Rantau Hilir
(Sumber: Stuers, H.J.j.L., de, De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (II). Asterdam: P.N. Kampen, 1850)

Karena kecil, sempit dan medannya yang sulit, maka barang-barang dibawa melalui jalan setapak dengan cara memanggul. Karena itu kuli panggul menjadi ‘sarana’ transportasi yang sangat penting pada jalan-jalan setapak ini. Raffles membutuhkan beberapa ratus orang kuli panggul untuk membawa barang-barangnya saat melakukan ekspedisinya yang berlangsung selama 14 hari itu.

Informasi mengenai pemanfaatan kuli panggul ini untuk masa-masa sebelum Padri juga bisa dilihat dari apa yang disajikan oleh Nur St. Iskandar dalam Hulubalang Raja, yang sesungguhnya sebuah novel sejarah yang isi novelnya tersebut hampir sama dengan apa yang disajikan oleh Kroeskam dalam karya yang berjudul Minangkabau en Sumatra’s Westkust, sebuah karya yang mengungkapkan keadaan sosial, politik, ekonomi Sumatra Barat (Minangkabau) pada masa VOC. Nur St. Iskandar mengungkapkan adanya saudagar dari darek yang memanfaatkan kuli angkat untuk membawa barang dagangannya.

Di samping kuli angkat, sarana transporasi yang dimanfaatkan Urang Awak pada masa awal itu adalah perahu. Perahu dimanfaatkan di sungai dan danau. Raffles misalnya menggunakan perahu untuk menyeberangi Danau Singkarak, para saudagar atau pengelana (perantau) Minang memanfaatkan perahu dari sejumlah ‘pangkalan’ di kawasan hulu sejumlah sungai besar di kawasan timur untuk menuju Semenanjung Malaysia misalnya. Perahu juga digunakan oleh Urang Awak di Rantau Pesisir untuk mendatangi sejumlah negeri di barat Sumatra, seperti Natal, Pocan, Tapus, Barus, Singkel, Meulaboh, dan juga Kutaraja di utara, atau Muko-Muko, Bengkulu, Krue, Ketahun, hingga Lampung di sebelah selatan.

Prasarana dan sarana transporasi seperti yang disebut di atas berlanjut pemanfaatannya para era Perang Padri. Namun, karena manusia adalah makhluk yang kreatif dan memiliki kemampuan berinovasi, maka ada sejumlah perubahan yang mereka lakukan. Karena itu, wajah prasarana dan sarana tranportasi era Perang Padri juga mengalami sejumlah perubahan.

III

Jalan adalah prasarana transportasi utama pada masa Perang Padri. Jalan tersedia dalam jumlah yang banyak, hal ini sangat terlihat di daerah pedalaman. Hampir semua nagari terhubung oleh jalan dengan kondisi yang baik, terpelihara dan lebar.

Dari Memoar Imam Bonjol diketahui bahwa ada jalan yang menghubungkan berbagai nagari yang ada di Bonjol, ada jalan yang menghubungkan Bonjol dengan Kumpulan, Alahan Mati, Simpang, dan Malampah. Ada jalan yang menghubungkan Bonjol dengan Air kijang, Sipisang, Simauang dan Lariang, terus ke Kamang atau ke Palembayan. Ada jalan yang menghubungkan Bonjol dengan Suliki dan terus ke Bangkinang. Ada jalan yang menghubungkan Bonjol dengan Lubuk Sikaping dan Rao atau ke Lundar, Silayang hingga Rokan Hulu, atau dari Bonjol, Lubuk Sikaping, Rao hingga Mandahiling. Dan ada ruas jalan yang menghubungkan Bonjol ke Sasak, Katiagan hingga ke Airbangis.

Kondisi jalan bisa dikatakan baik. Baiknya kondisi jalan itu bisa dilihat dari mudahnya pergerakan pasukan Padri dalam jumlah yang banyak, dan dilalui berulang kali.

Kondisi yang baik juga ditemukan di kawasan Agam, Tanah Batar dan Lima Puluh Kota. Sejumlah penulis Belanda melaporkan keadaan jalan yang besar, lapang, baik dan terpelihara dengan baik di daerah-daerah itu. Mereka juga melaporkan adanya sejumlah jalan yang menghubungkan Limapuluh Kota dan Tanah Datar dengan sejumlah ‘pangkalan’ di pinggir Batang Mahek, Kampar Kiri dan Kuantan.

Jalan-jalan yang banyak tersebut, tidak hanya digunakan oleh kaum Padri untuk menyukseskan kampanye militer mereka, tetapi juga digunakan dalam kegiatan perdagangan. Jalan-jalan yang memiliki fungsi ekonomis, terutama sekali jalan yang menghubungkan pusat-pusat niaga Padri dengan dunia luar. Beberapa jalan yang dimaksud adalah jalan yang menghubungkan Bonjol dengan Sasak dan Katiagan; Rao dengan Air Bangis; Rao dengan Rambah (seterusnya menghiliri Sungai Rokan terus ke kawasan timur Sumatra dan ada juga yang menyeberang ke Semenanjung Malaysia); Payakumbuh dengan Pangkalan Kotobaru (dari sini mengiliri Batang Mahat, bergabung dengan Batang Kampar Kanan terus ke hilir ke Batang Kampar melalui Palawanan hingga Selat Malaka, selanjutnya menyebrang ke Singapura atau Tanah Semenanjung); Kumanih (atau Lintau sekitarnya) dengan Durian Gadang (seterusnya mengilir Batang Kuantan hingga ke Indragiri, Tembilahan dan menyeberangi Selat Malaka terus ke Singapura atau Semenanjung Malaysia).

Melalui jalan tersebut mereka membawa barang perdagangan yang dihasilkan daerah pedalaman ke pusat-pusat niaga di luar negeri, dan melalui jalan itu pula mereka membawa barang perdagangan yang dibeli di pusat-pusat niaga luar negeri untuk dimanfaatkan di daerah pedalaman. Senjata dan mesiu termasuk barang-barang yang mereka bawa dari luar negeri.

Jalan-jalan di atas juga digunakan sebagai prasarana yang ditempuh oleh Urang Awak yang ingin pergi naik haji. Seperti disebut dalam Memoar Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Pakih Muhammad, Pakih Sailu, Pakih Malano, menempuh jalan setapak dari Bonjol menuju Sasak sebelum naik kapal dalam perjalanan ibadah haji mereka. Mueller menyebut bahwa Tuanku Pasaman (Tuanku Lintau) menempuh jalan dari Lintau melalui titik pemberangkatan di Sungai Kampar Kanan selanjutnya mengiliri Sungai Kampar menuju Palalawan, saat itu menjadi salah satu kota pemberangkatan haji orang Minang. Seperti disebut di atas, dari Palalawan menuju Singaura dan dari sana baru ke Tanah Suci). Sayangnya, seperti ditulis Mueler, Tuanku Pasaman dibunuh (dirampok) sesampainya beliau di Palalawan.

Perjalanan melalui jalan setapak atau mengiliri sungai adalah perjalanan yang penuh tantangan. Di samping medan jalan yang ganas dan berbahaya, perjalanan juga penuh resiko, karena ada banyak orang jahat (penyamun atau perampok) pada berbagai ruas jalan itu. Pengalaman Tuanku Pasaman seperti  disebut di atas adalah salah satu contoh rawannya perjalanan itu. Thomas Dias juga menyebut dalam catatan perjalanannya bahwa dia sering diperingatkan oleh orang kampung yang dilaluinya bahwa perjalanan yang dia lakukan sangat berbahaya, sampai-sampai ada warga suatu kampung yang menyebut bahwa dia tidak akan pernah sampai ke negeri tujuannya (karena akan dirampok dan dihabisi oleh penyamun). Historiografi tradisional Minangkabau menamakan daerah-daerah atau titik-titik di mana para penyamun itu beroperasi dengan nama Bukit Tambun (Timbunan) Tulang. Untuk mengatasi gangguan para perampok itu, para pengguna jalan (sungai) biasanya berjalan secara berombongan.

Kuli angkat adalah masih merupakan ‘sarana’ transportasi penting, setidaknya pada tahun-tahun pertama Perang Padri. Bahkan, salah satu isi Perjanjian 20 Februari 1821 antara Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar Syah (Pagaruyung), Yang Dipertuan  Raja Tangsir Alam dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam (Saruaso), serta sekitar 120 penghulu dari kawasan Tanah Datar dengan Belanda adalah disediakannya kuli-kuli dalam jumlah yang dibutuhkan oleh Inlandsche Hoofden untuk mengangkut barang-barang tentara Belanda. 

Ada sejumlah informasi mengenai keberadaan kuli angkat Urang Awak selama Perang Padri. Ada banyak cerita mengenai kepatuhan mereka, namun lebih banyak kisah mengenai ‘kenakalan’ mereka. Salah satu kisah ‘kenakalan’ itu diungkapkan oleh Nahuijs. Kolonel ini menyewa sejumlah kuli untuk membawa barang-barangnya saat mendaki Bukit Ambacang. Setibanya di Tambangan (kampung pertama setelah pendakian Bukit Amang), karena jalan sudah bagus, maka untuk perjalanan selanjutnya Nahuijs mengurangi jumlah kuli. Untuk itu, sejumlah kuli ditinggalkan di Tambangan, dengan satu pesan mereka harus menunggu di sana. Namun apa yang terjadi, ketika Nahuijs kembali, para kuli tersebut sudah menghilang. Terpaksalah Nahuijs menyewa kuli yang baru. Celakanya, karena diminta secara mendadak dan sangat dibutukan, maka para kuli tersebut dengan segera ‘jual mahal’. Merka memalak Nahuijs dengan memasang tarif yang, kata Nahuijs, ‘dua kali lipat mahalnya dari sewa normal’.

Pengalaman dipalak atau ‘dikerjai’ oleh  kuli Urang Awak saat dibutuhkan, menyebabkan Belanda mengurangi ketergantungan mereka pada kuli angkat orang Minang. Sebagai gantinya Belanda menggunakan kuli angkat orang Nias. Di samping yang sudah ada di Padang, banyak dari mereka yang didatangkan dari Pulau Nias. Kebetulan, kata Stuers, banyak dari kuli angkat Nias ini adalah mereka yang berstatus sebagai budak. Penggunaan kuli angkat orang Nias menyebabkan maraknya perdagangan budak Nias di daerah ini. Sampai akhirnya terjadi kelebihan pasokan, sehingga pemerintah Belanda memulangkan mereka kembali ke Pulau Nias. Namun, menurut de Stuers, sebagian budak yang dipulangkan itu kembali lagi ke Padang (Tanah Tepi), dan bekerja lagi sebagai kuli angkat.

Walaupun agak kerepotan dengan banyaknya juga budak Nias, pejabat Belanda mengakui, bahwa kehadiran kuli angkat Nias sangat membantu mereka. Kuli angkat Nias itu lebih patuh dan murah dibandingkan dengan Minangkabausche dragers.

Kuli Angkat Tempo Dulu
(Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. rill, 1882.

Di samping kuli angkat, kuda adalah sarana transportasi yang lazim digunakan pada masa Perang Padri. Di samping kuda tunggangan juga ada kuda beban (draagpaarden). Tidak hanya kaum Padri, Belanda juga menggunakan kuda tunggangan. Tidak semata-mata digunakan dalam perperangan, kuda tunggangan juga dimanfaatkan dalam perjalanan dari satu negeri ke negeri lain. Nahuijs misalnya menunggangi kuda dari Padang hingga Kayu Tanam, dan juga pada sejumlah perjalanannya di darek.  Boelhouwer juga sering menggunakan kuda, baik dalam perjalanan antarnagari, inspeksi daerah atau juga dalam perang.

Kuda Beban dan Kuda Tunggangan
(Sumber: Bernard, Capitaine, A travers Sumatra: De Batavia a Atjeh. Paris: Library Hachette Et. Cie., 1904)

Kuda memang sejenis binatang yang sudah lama dikenal Urang Awak. Orang Minang telah membudidayakan kuda sejak waktu yang lama, dan ada usaha yang sungguh-sungguh oleh orang Minang untuk memelihara atau menghasilkan kuda-kuda yang baik. Nahuijs menyebut, ada banyak kegiatan orang Minang yang berhubungan dengan peternakan atau keberadaan kuda ini. Di antaranya perlombaan berkuda, ‘festival kuda’, dan tarian kuda. Tidak hanya itu, daging kuda sangat digemari orang Minang dan harganya jauh lebih mahal daripada daging sapi atau daging kerbau.

Kuda beban adalah sarana transportasi yang juga lazim digunakan selama Perang Padri. Namun karena kondisi jalan setapak yang kurang bagus, maka kuda beban jarang atau hampir tidak pernah digunakan dalam pengangkutan barang pada saat melintasi bukit-bukit antara kawasan pesisir dengan pedalaman. Penggunaannya lebih terbatas di kawasan pesisir atau di daerah pedalaman saja.

Di samping kuli angkat, kuda dan kuda beban, perahu adalah sarana transportasi lain pada masa Perang Padri. Mueller menyebut bahwa perahu yang lazim digunakan di kawasan paling hulu sejumlah sungai di bagian timur pedalamanan Minangkabau, (misalnya dari Pangkalan Koto Baru hingga Kuok (Bangkinang) dapat dimuat dengan 100 pikul (kopi), perahu dari Kuok (Bangkinang) hingga Palalawan dapat dimuati hingga 1.500 s.d. 2.00 pikul (kopi) dan empat sampai enam orang penumpang. Lama pelayaran dari Pangkalan Koto Baru ke Palalawan sekitar 13-16 hari. Dari Palalawan ada kapal layar tiga layar dengan 20 s.d. 30 penumpang menuju Singapura. Tipe perahu dan mode perjalanan yang sama juga berlaku untuk rute-rute Rokan, Siak (Tapung Kapan dan Tapung Kiri) dan juga Kuantan/Indragiri.

Perahu juga digunakan di sejumlah sungai kawasan muara sungai di pesisir bagian barat. Namun penggunaan perahu di kawasan ini relatif terbatas, terbatas di kawasan Pasaman.

IV

Sejumlah karya yang digubah oleh penulis Belanda juga menginformasikan keadaan jalan di daerah ini. Seperti disebut sebelumnya, mereka umumnya menyebut bahwa keadaan jalan di daerah pedalaman, Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota sangat bagus, lapang (lebar) dan terpelihara dengan baik. Kondisi jalan seperti ini tidak hanya untuk jalan nagari (jalan-jalan yang ada dalam sebuah nagari), tetapi juga jalan antarnagari. Nahuijs, Mueller dan Kielstra berulangkali menyebut hal ini.

Namun ada satu hal yang hampir selalu disebut kurang elok (negatif) oleh penulis Belanda, yakni jalan setapak yang menghubungkan kawasan pesisir barat dengan pedalaman (darek). Mereka umumnya mencela kondisi jalan antara Padang dengan Solok (Selayo) via Limau Manis, Pulau Cubadak, Bukit Batu, atau antara Padang via Koto Tangah, Pinang, Sumbang, Gaduang Papan, Panyinggahan, Simawang (Ombilin), terus Saruaso (tanah Datar). Mereka juga mengeluhkan jeleknya kondisi jalan setapak melewati Buki Ambacang antara Kayutanam dengan Tambangan. Mereka juga mengeluhkan jelek atau susahnya jalan setapak antara Manggopoh atau Kawasan sekitar Danau dengan Palembayan hingga Sipisang ke arah timur laut atau ke Bukittinggi ke arah tenggara. Bukit yang menjadi penghalang itu dikatakan sangat terjal dan susah dilalui. Nahuijs bahkan menyebut Bukit Ambacang adalah medan yang paling berat yang pernah dia lalui.

Ada dua latar belakang yang menyebabkan hadirnya keluhan tersebut. Pertama menghambat mobilitas pasukan mereka, terutama sekali mengganggu mobilisasi pasukan yang disertai dengan meriam dalam ukuranyang besar yan berjumlah beberapa buah. Kedua, jelek atau parahnya jalan setapak antara daerah pedalaman dengan pantai barat menyebabkan saudagar daerah pedalaman enggan berdagang (mengirim) barang dagangan mereka ke pantai barat, sebaliknya mereka lebih suka pergi ke kawasan timur. Aspek kedua dinilai sangat merugikan oleh Belanda, karena menguntungkan Inggris lawan mereka. Untuk mengatasi kondisi ini, maka selepas kunjungan van den Bosch (Gubernur Hindia Belanda) ke daerah ini tahun 1833, maka pemerintah kolonial memutuskan untuk membangun jalan baru melewati Lembah Anai. Jalan ini kemudian berkembang menjadi jalan utama yang menghubungkan daerah pesisir dengan pedalaman di Sumatra Barat. Peran penting jalan ini tetap berlaku hingga pasca-Perang Padri (Tanam Paksa Kopi). Bahkan ketika kereta api hadir di daerah ini, pada penghujung abad ke-19, daerah ini juga menjadi rute yang dilalui oleh kereta api.

Jalan Raya dan Jalan Kereta Api di Lembah Anai
(Sumber: Colijn, H., Neerlandsch Indie, Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijven en Samenleving (1ste Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913).

Seiring dengan pembangunan jalan via Lembah Anai, Belanda juga meningkatkan kondisi jalan dari Manggopoh dan kawasan sekitar Danau Maninjau menuju Palembayan dan Sipisang terus ke Bonjol.

Pada masa Tanam Paksa Kopi perintah kolonial Belanda juga membangun dan meningkatkan kondisi hampir semua jalan antara kawasan pesisir barat dengan daerah pedalaman. Mulai Natal di utara hingga Air Bangis, Katiagan dan Sasak, Tiku, Pariaman, Padang, hingga Bandar Sepuluh di selatan dengan daerah pedalamannya.

Tidak itu saja, pemerinah kolonial juga mulai memperkenalkan sarana transportasi yang baru. Salah satu kendaraan yang diperkenalkan saat itu adalah kereta kuda. Sayangnya, pemanfaatan kereta  kuda ini masih sangat terbatas. Hanya digunakan oleh ‘pejabat’ daerah setingkat residen atau asisten residen. ‘Petinggi’ lain bangsa Belanda yang sangat suka menggunakan kereta kuda ini adalah Sentot Ali Basya.

Kehadiran kereta kuda kemudian diikuti oleh hadirnya pedati dan bendi. Kedua jenis kendaraan ini adalah kendaraan rakyat, sangat lazim digunakan oleh penduduk (orang kebanyakan). Namun dua kendaran yang disebut terakhir marak dipergunakan di daerah ini selepas usainya Perang Padri, terutama pada era Tanam Paksa Kopi.

Di samping sarana dan prasarana transportasi darat, pada masa Perang Padri juga dipergunakan prasarana dan sarana transportasi laut. Namun, dibandingkan dengan transportasi darat, tidak banyak perubahan pada fasilitas dalam prasarana transportasi laut ini. Jumlah dan keadaan (fasilitas) reede yang ada di daerah ini relatif tidak bertambah dan berubah. Suatu yang sangat menarik adalah tingginya jumlah kedatangan dan keberangkatan kapal ke dan dari daerah ini. Kapal-kapal yang mengangkut tentara. Di samping itu jenis kapal juga semakin banyak, terutama jenis-jenis kapal tempur.

Seperti yang akan dibicarakan pada tulisan berikut, fasilitas transportasi laut di daerah ini mengalami perubahan yang sangat signifikan pada era Tanam paksa Kopi. Bahkan Pelabuhan (Reede) Padang saat itu menjadi Pelabuhan Kelas 1 di Hindia Belanda.

V

Pembangunan jalan (raya) via Lembah Anai dan peningkatan kuliatas sejumlah jalan yang menghubungkan kawasan pesisir Barat dengan daerah pedalaman adalah salah kunci sukses gerak maju pasukan Belanda. Mobilitas pasukan yang semakin besar serta pendisktirbusian logistik untuk kepentingan tentara Belanda pasca-Perang Diponegoro sangat didukung oleh keberadaan jalan (raya) yang semakin bagus ini. Sejumlah kemenangan yang diperoleh oleh Belanda dalam pertempuran dengan Padri disebabkan oleh kemudahan yang mereka nikmati karena adanya fasilitas-fasilitas transportasi yang memadai ini.

Setelah menguasai sebagian besar daerah pedalaman, Belanda ‘menutup’ akses jalan kaum Padi ke kawasan timur. Kebijakan yang dimulai sejak tahun-tahun pertama 1830-an ini sangat merugikan kaum Padri. Berada ‘di atas angin’ maka politik memutus hubungan kaum Padri dengan ‘dunia timur’ ini menjadi prioritas Belanda. Untuk itulah, penguasaan Rao dan daerah Rokan Hulu hingga Bila dan Pane dilakukan Belanda pada waktu yang nyaris bersamaan dengan penguasaan Bonjol, pusat perlawanan Padri (akhir penguasaan daerah-daerah yang disebut terakhir ini memang terjadi pasca-kejatuhan Bonjol).

Akhirnya, perang dimenangkan Belanda dan salah satu kunci kemenangannya adalah keunggulan mereka menguasai prasarana dan sarana transportasi.

VI

Perang Padri kita menyaksikan pemanfaatan sejumlah prasarana dan sarana transpotasi yang dikenal sebelumnya, baik oleh kaum Padri atau Belanda. Dan pada era Perang Padri kita menyaksikan bahwa ada sejumlah prasarana dan sarana transportasi baru yang diperkenalkan.

Kehadiran berbagai fasilitas transportasi yang baru ini menjadi dasar bagi pengembangan prasarana dan sarana transportasi daerah pada masa Tanam Paksa Kopi dan juga pasca-Tanam Paksa Kopi. Perubahan yang terjadi selepas Perang Padri akhirnya menjadi salah satu latar belakang Sumatra Barat menjadi salah satu daerah di Sumatera yang memilki prasarana dan sarana transportasi terlengkap dan tercanggih di Sumatra, setidaknya kondisi ini berlaku hingga pertengahan abad ke-20.

Perang, ternyata tidak hanya menyebabkan jatuhnya korban jiwa, harta dan benda, tetapi juga menghadirkan aspek-aspek lain, seperti kehadiran dan keberadaan prasarana dan sarana transportasi yang bagus, yang sangat bermanfaat bagi daerah dan warga daerah. Kehadiran dan keberadaan fasilitas transportasi ini ikut berkontribusi dalam berbagai perubahan sosial, ekonomi, politik , dan budaya orang Minang. Sejauh mana perubahan yang terjadi itu? Mungkin ada diantara pembaca yang ingin mengkajinya.

Daftar Bacaan:

Bernard, Capitaine, A Travers Sumatra” De Batavia A Atjeh. Paris: Library Hachette Et Cie, 1904.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Colijn, H., Neerlandsch Indie, Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenleving (2de Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913

Haan, F. de, “Naar Midden Sumtra in 1684” dalam Tijdschrift van Bataviasch Genootschap, XXXIX, 1897, hal. 327-366.

Raffles, Sophia, Memoirs of the Life and Public Service of Sir Thomas Stamford Raffles. London: John Murray-Albemarke Street, 1830

Mueller, Solomon, Berigten over Sumatra: Met Eene Kaart van Een Gedeelte van Hetzelve, Voornamelijk Aantoonende de Wegen en Rivieren, Welke Uit de Padangsche Binnenlanden Naar de Oostkust Afloopen. Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1837.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Stuers, H.J.J.L. de,  De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (II). Amsterdam: P.N. von Kampen, 1850

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882.

Westenenk, L.C., De Minangkabausche Nagarie. Padang: P. Bãumer & Co., 1915.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Ragam Bangsa dan Etnis Tentara/Juru Runding Dalam Perang Padri

Selama ini lazim diketahui bahwa hanya ada dua kelompok masyarakat yang terlibat dalam Perang Padri, yaitu orang Minang dan Belanda. Informasi ini kurang tepat, karena ada kelompok-kelompok masyarakat lain yang berperan dalam perang tersebut. Tidak itu saja, keterlibatan dan peran mereka cukup dalam dan penting, serta juga ada pengalaman historis mereka yang relatif unik, yang manusiawi. Sampai taraf tertentu pengalaman tersebut menjadi ‘legacy’ dan  pengetahuan sejarah orang Minang dewasa, ‘legacy’ dan pengetahuan sejarah yang pantas untuk direnungkan atau dibuktikan lebih lanjut.

Simplifikasi rekonstruksi sejarah yang hanya menampilkan dua kelompok masyarakat sebagai aktor Perang Padri dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan historiografis. Dikatakan kegagalan, karena ada aspek-aspek faktual dari peristiwa historis tersebut yang tidak terungkap secara utuh.

Tulisan ini mencoba menelusuri dan mengungkapkan adanya kelompok-kelompok masyarakat lain, bangsa-bangsa atau suku-suku bangsa lain yang terlibat dalam perang tersebut. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, di antaranya: Bangsa-bangsa dan suku bangsa-suku bangsa apa sajakah yang terlibat dalam perang itu? Bagaimana gambaran tentang masing-masing bangsa dan suku bangsa yang terlibat dalam perang tersebut? Apa peran yang mereka lakoni? Bagaimana kenangan atau warisan kehadiran mereka bagi daerah ini?

II

Perang Padri adalah perang yang memaksa kedua pihak yang bersiteru untuk menampilkan kehebatan tentara, persenjataan, serta strategi dan taktik perang mereka. Belanda sebagai pihak yang memicu perang dan sangat berkepentingan dengan (pemenangan) perang itu menampilkan sebaik mungkin semua aspek yang disebutkan di atas. Kaum Padri, sebagai pihak yang dipaksa Belanda untuk berperang juga tidak mau kalah, mereka juga menampilkan perlawanan yang terbaik yang bisa mereka lakukan.

Ikhtiar Belanda untuk memenangkan perang terlihat dari peningkatan jumlah tentara pada tahun-tahun permulaan perang. Kemudian mengubah strategi dan taktik perang konfrontatis pada saat mereka mesti memboyong tentaranya ke Jawa untuk mengakhiri Perang Diponegoro, serta menambah jumlah tentara kembali serta mengubah strategi perang, termasuk menghalalkan segala macam cara demi memenangkan perang sejak awal tahun 1830-an.

Pada saat Belanda mulai berkuasa kembali (1819), jumlah tentaranya relatif sedikit, hanya sebanyak 150 orang dari kesatuan infantri dan 12 orang dari kesatuan artileri (orang Eropa). Tentara sebanyak ini datang dari Batavia bersamaan dengan kedatangan Du Puy sebagai Residen untuk daerah ini tanggal 17 Mai 1819. Jumlah ini ditambah lagi dengan sejumlah mantan tentara Inggris yang sudah ada di daerah ini, yang diserahkan kepada penguasa Belanda. Sebagian mereka berasal dari kesatuan tentara yang ditinggalkan di Benteng Simawang serta kesatuan tentara yang ditinggalkan di Natal. Mantan tentara Inggris ini terdiri dari orang India (Sipahi dan Benggala) serta Bumiputra (Inlandsch). Mereka berasal dari kesatuan infantri dan artileri.

Total kekuatan Belanda pada hari-hari pertama kekuasaannya adalah sebanyak 315 orang yang terdiri dari 8 perwira dan 307 serdadu (gabungan dari tentara ‘asli’ Belanda dan mantan tentara Inggris).

Pada akhir 1821, datang bala bantuan dari Batavia. Bala bantuan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel A.T. Raaf ini berjumlah 191 orang, yang terdiri dari 4 perwira dan 187 tentara. Sehingga bila digabungkan dengan tentara yang telah ada sebelumnya maka jumlahnya menjadi 12 perwira dan 494 serdadu. Rinciannya adalah 284 orang dari kesatuan infantri (Eropa), 20 orang dari kesatuan artileri (Eropa), 50 orang Benggala/Sipahi, 96 orang dari kesatuan infantri (Bumiputra), dan 11 orang dari kesatuan artileri (Bumiputra).

Setahun kemudian, dikirim lagi bala tentara sebanyak 10 perwira dan 350 tentara dari kesatuan infantri, serta 50 orang tentara dari kesatuan artileri. Bala bantuan yang didatangkan tahun 1822 itu sebanyak 206 orang berasal dari Batavia dan 204 orang berasal dari Surabaya.

Tahun 1823 dikirim lagi sebanyak 256 orang tentara ke daerah ini. Dari jumlah itu 8 orang perwira dan 193 orang serdadu Eropa serta 62 orang serdadu Bumiputra.

Pada tahun 1825, sebagai realisasi dari Traktat London, Inggris betul-betul meninggalkan Sumatra dan menyerahkan kekuasaannya di pulau ini kepada Belanda. Tidak hanya itu, Inggris juga meninggalkan (menyerahkan) tentaranya sebanyak 900 orang tentara India (Benggala/Sipahi) dan 80 orang tentara Eropa kepada Belanda.

Tentara Belanda dari Kesatuan Madura
(Sumber: H. Colijn, Neerlandsch, Land en Volk, Geschiedenis en Besttur, Bedrijf en Samenleving (2de Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913)

Data di atas menyebut bahwa pada hari-hari pertama kekuasaannya tentara Belanda terdiri dari orang Eropa, orang India, dan Melayu (sejumlah suku bangsa di Nusantara yang non-Minang). Sayangnya, berbagai sumber sejarah tentang kekuatan tentara Belanda pada hari-hari pertama kekuasaan mereka di daerah ini tidak menyebut secara lebih terperinci mengenai bangsa-bangsa Eropa mana saja yang bergabung ke dalam kesatuan tentara Europeanen (orang Eropa) ini, dan suku-suku bangsa apa saja yang tergabung kedalam kelompok Inlandsch (Bumiputra/Melayu). Namun berdasarkan sumber-sumber sejarah yang terbit kemudian diketahui bahwa di samping orang Belanda, kesatuan tentara yang tergabung kedalam kelompok Europeanen juga terdiri dari orang Perancis, Jerman dan Inggris. Sedangkan kesatuan tentara yang tergabung ke dalam kelompok Inlandsche terdiri dari orang Bugis, Gorontalo, Jawa, dan Madura. Seperti yang disebut di atas, satu bangsa lagi yang juga menjadi bagian terpenting dari tentara Belanda adalah orang India (Sipahi/Benggala).

Memasuki tahun 1830-an ada perubahan yang cukup penting dalam komposisi tentara Belanda ini. Boelhouwer menyebut bahwa pada kurun waktu itu ada sejumlah opsir China dalam ketentaraan Belanda, suatu informasi yang nyaris belum pernah dikemukakan selama ini. Opsir-opsir China tersebut tiba bersamaan dengan kedatangan pasukan bantuan yang dipimpin oleh Jendral Mayor Riesz. Sayangnya tidak diketahui informasi di daerah mana saja mereka ikut bertempur melawan lasykar Padri dan juga tidak diketahui jumlah pasti opsir-opsir China tersebut.

Jumlah tentara Belanda yang berasal dari berbagai bangsa dan suku bangsa tersebut senantiasa berubah sepanjang sejarah Perang Padri. Perubahan ini ada hubungannya dengan ‘rotasi’ penempatan serdadu tersebut. Jumlah yang paling banyak adalah tentara dari bangsa Belanda. Tentara yang berkewarganegaraan Perancis pernah tercatat sebanyak 52 orang, Jerman 22 orang dan Inggris 120 orang. Tentara Jawa, sebelum Barisan Sentot datang sebanyak 200 orang, Madura 100 orang, Bugis 112 orang, Gorontalo 151 orang.

Perang Padri diawali oleh pendudukan Benteng Simawang dan penyerangan Sulit Air oleh Belanda. Pendudukan Benteng Simawang dilakukan tanggal 29 Februari 1821 dan penyerangan Sulit Air terjadi tanggal 28 April 1821.

Casus belli perang yang kemudian berlanjut hingga sekitar dua dekade lamanya itu adalah Perjanjian 20 Februari 1821. Intisari perjanjian tersebut adalah permintaan bantuan yang diajukan oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar Syah (Pagaruyung), Yang Dipertuan  Raja Tangsir Alam dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam (Saruaso), serta sekitar 120 penghulu dari kawasan Tanah Datar kepada Belanda agar mereka dibantu menghadapi kaum Padri. Mereka meminta bantuan Belanda karena mereka mengaku telah dizalimi oleh kaum Padri. Sebagai imbalannya, mereka menjanjikan akan menyerahkan alam Minangkabau kepada Belanda dan membantu Belanda memerangi kaum Padri.

Karena itu, berdasarkan perjanjian tersebut, anak-kemenakan para penanda tangan Perjanjian 20 Februari 1821 tersebut, yang membantu Belanda dalam menyerang kaum Padri, yang dalam literatur Belanda disebut sebagai Maleiers, Gewapene Maleiers, atau Hulp benden, adalah juga bagian dari tentara Belanda.

Jumlah tentara ninik mamak yang berasal dari Tanah Datar ini juga tidak diketahui dengan pasti. Berbagai tulisan tentang tentara niniak mamak ini menyebut bahwa jumlah mereka pernah mencapai 6.000 orang atau 7.000 orang, dan bahkan pernah dalam sebuah penyerbuan (ke Tanjung Barulak) jumlahnya mencapai 15.000 orang.

Bila pada awalnya tentara ninik mamak ini hanya terbatas pada anak kemenakan para penghulu dari Tanah Datar, maka pada perkembangan selanjutnya, mereka juga berasal dari hampir seluruh nagari di Minangkabau. Sehubungan dengan itu jumlahnya juga meningkat dengan sangat signifikan.

Keberagaman bangsa dan suku bangsa tentara Belanda ini tetap berlanjut pada tahun-tahun 1830-an. Kalau ada perbedaan adalah adanya penambahan jumlah pasukan dari suku bangsa Jawa yang cukup besar (639 orang), sekaitan dengan kedatangan pasukan Sentot Ali Basya. Lengkapnya, Barisan Sentot ini terdiri dari 1 mayor (pangeran), 3 kapten (raden temenggung), 2 letnan pertama (temenggung tua), 20 letnan dua (temenggung muda), 178 kopral (ngabehi), 16 orang pemain musik (tambur dan trompet), 375 orang prajurit.

Satu lagi warga bangsa asing yang juga menjadi bagian penting dalam perang yang dijalankan Belanda melawan kaum Padri adalah orang Arab. Tidak sama dengan keterlibatan bangsa dan suku bangsa yang lain, yang lebih terlibat pada aksi militer, maka keterlibatan bangsa Arab lebih terbatas pada bidang diplomasi. Sosoknya juga bukan tukang perang, tetapi ulama atau syekh dengan simbol-simbol keagamaan.

Dengan demikian, tentara dan aktor-aktor yang menjadi bagian dari imperialis Belanda sangat banyak macam ragamnya. Ada bangsa asing (Eropa, India dan Arab), ada suku-suku bangsa dari Nusantara non-Minang, dan ada Urang Awak.

Berbeda dengan pendukung Belanda yang sangat banyak macam ragam bangsa dan suku bangsanya, maka kekuatan Padri lebih terbatas pada orang Minangkabau dan Batak (Tapanuli). Jumlahnya dikatakan sumber Belanda ‘tidak terhitung’ banyaknya. Ada juga yang mengatakan bahwa Sebagian besar orang Minang adalah pendukung Padri. Di samping itu, pada tahun-tahun pertama perang, kaum Padri juga mendapat bantuan dari orang Aceh. Jadi tentara Padri hanya terdiri dari tiga suku bangsa dan ‘lokal’ sifatnya.

Aneka ragam bangsa dan suku bangsa yang terlibat dalam perang tersebut akan menghadirkan warna dan situasi perang yang relatif beragam pula. Apa saja pengalaman dan suasana perang itu?

III

Perang Padri adalah peristiwa politik. Sebagai sebuah peristiwa politik, maka aspek ‘kepentingan’ menjadi yang dominan dalam berbagai sikap, tindakan, keputusan atau juga penilaian yang dilakukan. Karena itu setiap penilaian yang dikemukakan oleh masing-masing pihak terhadap ‘lawan’ mereka umumnya didasari oleh kepentingan masing-masing. Namun, sebagai manusia yang juga memiliki nurani, akal, dan budi, maka ada saat-saat tertentu dimana rasionalitas mereka yang tampil, sehingga muncullah penilaian terhadap lawan yang lebih jujur.

Secara umum, penilaian yang diberikan oleh orang Belanda terhadap kaum Padri adalah jelek. Penilaian yang paling sering diajukan adalah kaum Padri merupakan kaum fanatik, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksi (dakwah) mereka. Tetapi bila dibaca dengan saksama, juga ada sejumlah tulisan yang menampilkan bahwa kaum Padri sebagai orang yang disiplin, bersih, setia kawan, membela (dan menegakkan) kebenaran serta mencegah kemungkaran. Mereka adalah kaum yang taat beribadah, bila hampir masuk waktu shalat maka mereka akan menghentikan semua kegiatannya. Bila dipaksa juga bekerja, mereka akan melawan. Mereka lebih takut kepada Tuhan (Allah) daripada manusia (Belanda atau kelompok tentara yang mendukungnya). Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Boelhouwer.

Sementara itu, Urang Awak yang mendukung Belanda digambarkan oleh penulis Belanda sebagai pendukung yang setia. Namun ada juga penulis Belanda yang kritis memberikan penilaian sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa Gewapene Maleirs ini adalah orang-orang yang penakut. Biasanya sebelum penyerangan dimulai, mereka berakting akan melakukan ini-itu pada saat pertempuran nanti. Mereka juga memperagakan bahwa mereka kebal senjata. Namun ketika pertempuran berlangsung mereka hanya berada di belakang, tapi mereka akan sangat garang merampok dan mengganyang kaum Padri setelah kaum Padri tersebut terdesak oleh tentara Belanda dan tentara pendukungnya yang non-Minang. Tidak itu saja, beberapa dari mereka dikatakan sebagai pengkhianat. Mereka tega mengkhianati kawan atau warganya demi kepentingannya sendiri. Informasi seperti ini dikemukakan oleh Stuers, Boelhouwer, Kielstra, Rusli Amran, dlsbnya.

Tentara Belanda digambarkan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya sebagai orang yang jahat dan juga baik (bahkan dianggap sahabat). Mereka dianggap jahat karena memerangi kaum Padri dan mengganggu aktivitas ekonomi serta keagamaan kaum Padri. Pernyataan ini diucapkan Tuanku Imam Bonjol karena ulah sejumlah tentara Belanda yang mengambil harta benda orang Bonjol dan menjadikan mesjid sebagai ‘markas’nya. Di samping itu, pandangan bahwa Belanda jahat tentu didasarkan pada perlakukan Belanda yang memerangi kaum Padri dan menzalimi kaum Padri. Walaupun demikian, Tuanku Imam Bonjol juga menganggap orang Belanda (Elout) sebagai sahabat karena bersikap baik kepadanya. Dia bahkan mempercayai pemimpin tentara itu serta mau berunding dan menerima beberapa tawaran Elout untuk berdamai. Tidak itu saja, Tuanku Imam Bonjol juga pernah mempercayai dan menjalin hubungan yang baik de Stuers melalui juru rundingnya van den Berg.  

Diakhir perlawanannya, pada tahun 1837 Tuanku Imam Bonjol juga mempercayai tawaran pejabat Belanda (Steinmez) untuk berunding. Kepercayaan yang akhirnya mengantarkannya ke pembuangan. Dia dikhianati oleh pejabat kolonalis (termasuk Residen Francis), yang menghalalkan segala macam cara demi kekuasaannya. Dia tidak diajak berunding, tetapi ditangkap dan kemudian di buang ke Cianjur, Ambon dan terakhir ke Lotak.

Beberapa catatan penulis Belanda juga menampilkan pandangan negatif kaum Padri terhadap orang Belanda dan tentara bantuan Belanda yang terdiri dari beragam bangsa dan suku bangsa. Sebaliknya di mata penulis Belanda, para tentara bantuannya ini digambarkan sebagai kawan yang sangat loyal. Khusus untuk tentara Jawa dan Madura digambarkan sebagai kesatuan yang sangat setia. Pandangan seperti itu ditemukan dalam banyak tulisan penulis Belanda, salah satu diantaranya Nahuijs. Dia menggambarkan bagaimana setia dan loyalnya tentara Madura yang ditempatkan di Kayutanam, dan di tempat-tempat lain yang dia temui. Sejumlah penulis Belanda yang lainnya, seperti Stuers, Boelhouwer, Hoyers, Kielstra, dan Colijn juga mengungkapkan kesetiaan dan loyalnya sejumlah tentara Madura, Jawa, dan Bugis yang bertempur di daerah pedalaman.

Salah satu pandangan yang negatif dari pejabat dan penulis Belanda tentang keberadaan tentara Jawa, khusus komandannya, adalah pandangan terhadap Sentot Ali Basya. Dalam sejumlah literatur era Perang Padri disebutkan bahwa Sentot adalah seseorang yang senantiasa tampil dengan gaya ‘wah’, bak ‘bangsawan’, cenderung arogan, serta kurang atau tidak pandai menempatkan dirinya dalam pergaulan dengan pejabat tinggi (Residen) Belanda. Sentot akhirnya dituding tidak setia dan berkianat kepada Belanda. Tudingan tersebut menyebabkan dia disingkirkan ke Bengkulu.

Ada banyak lagi kesan dan pandangan tentang masing-masing pihak (tentara atau tokoh) yang terlibat dalam Perang Padri. Kesan serta pandangan tersebut ‘sangat dinamis’, bisa saja pada suatu saat digambarkan sangat negatif, namun pada saat lain ditampilkan dengan sangat baik. Itulah politik.

IV

Di samping tentara, ada satu lagi aktor Perang Padri, yaitu juru runding. Juru runding adalah sosok-sosok yang umumnya digunakan oleh Belanda untuk mendekati kaum Padri. Juru runding sangat berperan pada saat pertama mereka terlibat dalam Perang Padri dan pada saat mereka mengendorkan serangannya terhadap kaum Padri (pada saat tentaranya ditarik ke Pulau Jawa untuk menghadapi Diponegoro).

Dalam kesempatan ini akan dikemukakan adanya dua kelompok masyarakat (bangsa) yang digunakan Belanda sebagai juru runding mereka. Kedua bangsa itu adalah orang Arab dan orang Belanda. Pemanfaatan orang Arab sebagai juru runding adalah bagian dari kecerdikan Belanda. Mereka menggunakan jasa orang Arab, yang Islam dan dihargai serta disegani oleh kaum Padri sebagai juru runding mereka.

Ada dua orang Arab yang dikenal sebagai juru runding Belanda, yaitu Syeikh Achmad dan Said Salimoel Jafrid. Syeikh Achmad dimanfaatkan pada tahun-tahun pertama keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, sedangkan Said Salimoel Jafrid dimanfaatkan pada saat Belanda mengurangi tensi perangnya dengan Belanda, saat tentaranya ditarik ke Pulau Jawa.

Pekerjaan Said Salimoel Jafrid diakui Belanda jauh lebih berhasil dibandingkan dengan Syeikh Achmad. Melunaknya sikap kaum Padri pada tahun-tahun pertama parohan kedua 1820-an ada hubungannya dengan kerja Said Salimoel Jafrid ini. Karena itu tidak salahlah kiranya jika Belanda memberikan apresiasi khusus kepadanya. Apresiasi itu diwujudkan dengan pemberian gelar Raja Perdamaian. Tidak hanya itu, Said Salimoel Jafrid bahkan digadang-gadang akan menjadi Regen Tanah Tanah Datar. Namun sayang, tanggal 1 April 1829 Raja Perdamaian ini tewas terbunuh, Steurs menduga kematiannya ada hubungannya dengan kecemburuan sang Regen yang akan digantikannya dan sang Regen itu dicurigai terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Juru runding yang berasal dari orang Belanda adalah van den Berg. Dia adalah seorang saudagar yang telah lama beraktivitas di daerah ini. Dia adalah mantan pegawai EIC dan telah menjadi mitra dagang kaum Padri khususnya dan pedagang Minangkabau dari daerah pedalaman pada umumnya. Karena itu perundingan yang dimediasi van den Berg juga berlangsung mulus dan membuahkan hasil yang diharapkan oleh Belanda. Hasil perjanjian tersebut antara lain tidak adanya serangan kaum Padri yang serius terhadap Belanda selama penarikan tentara ke Pulau Jawa (Perang Diponegoro).  

Kisah menarik lainnya dari era Perang Padri adalah adanya seorang serdadu Belanda berbangsa Perancis yang sempat menjadi mualaf. Dia adalah seorang anak muda yang sejak dari Perancis sudah memiliki ketertarikan yang besar terhadap dunia timur dan Islam. Dia bahkan telah mempelajari Bahasa Arab serta sejarah dan budaya Timur (Islam) sejak sebelum bergabung dengan tentara Belanda. Suatu saat dia tertangkap oleh kaum Padri dan kemudian menjadi mualaf. Perkembangan ini tidak disukai oleh komandannya, sehingga diupayakannya mengembalikannya ke kesatuan induknya. Atas bantuan ‘orang Melayu’ kaki tangan Belanda dia berhasil dibawa keluar dari lingkungan Padri, setelah dihukum dia ‘kembali’ orang biasa lagi. Sayang Boelhouwer tidak memberi tahu siapa nama orang Perancis yang sempat menjadi mualaf ini.

Informasi lain yang berkenaan dengan keberadaan tentara ‘asing’ ini di Minangkabau dan menarik untuk diungkapkan adalah tentang pengetahuan sejarah masyarakat yang ‘menduga’ bahwa adanya jalinan kasih antara tentara ‘asing’ itu dengan perempuan Minang. Salah satu diantaranya adalah jalinan kasih antara tentara India yang ditempatkan di Semawang dengan perempuan di kawasan itu. Mitos tentang asal-usul sejumlah orang Tanah Datar yang memiliki warna kulit seperti orang-orang Sipahi adalah salah satu contoh pengetahuan masyarakat tentang jalinan kasih antara Orang Kaliang tersebut dengan perempuan Minang. Pengetahuan sejarah yang sama sesungguhnya berkembang luas di Sumatera Barat, karena ada banyak tentara India yang ditempatkan di daerah ini, dan mereka memiliki kebutuhan biologis.

‘Mitos’ yang sama juga berkembang di banyak daerah tentang adanya asal-usul sejumlah keluarga atau kelompok masyarakat (kampung/nagari) yang dikaitkan dengan orang Belanda dan juru runding Arab. Misalnya postur dan warna kulit sejumlah Urang Awak yang kebarat-baratan (dikaitkan dengan adanya jalinan kasih antara tentara Belanda dengan perempuan tempatan di masa dulu), atau postur dan warna kulit sejumlah orang Minang yang kearab-araban (dikaitkan dengan adanya jalinan kasih antara perempuan tempatan dengan aktor Arab yang berperan dalam Perang Padri).

Satu lagi pengetahuan sejarah tentang asal usul Urang Awak dikaitkan dengan keberadaan tentara Jawa (Barisan Sentot). Seperti disebut sebelumnya, Barisan Sentot ini ditinggalkan oleh komandannya di Sumatera Barat dan mereka tetap di sini setelah perang usai. Bagi yang ‘bujangan’ pasti ada dari mereka yang mencari pasangan hidup di daerah ini, atau diminta menjadi sumando oleh mamak-mamak sejumlah perempuan Minang. Anak keturunan merekalah yang menjadi Jawa Minang (Jamin) versi awal.

Keberagaman bangsa dan suku bangsa tentara Belanda atau pejuang Padri adalah kenyataan historis yang selama ini kurang atau tidak terungkap dalam kajian sejarah Perang Padri. Perlu kajian yang lebih mendalam tentang keberadaan dan aktivitas mereka. Termasuk juga ‘legacy’ yang mereka tinggalkan, ‘legacy’ tentang adanya adanya ‘darah asing’ yang mengalir dalam sejumlah keluarga atau kelompok warga Minang.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Carthaus, Emil, Aus dem Reich von Insulinde, Sumatra und Malaiische Archipel. Leipzig: Verlag von Willem Friedrich, 1891.

Colijn, H., Neerlandsch Indie, Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenleving (2de Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913).

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Perang Padri, Kekerasan, dan Diaspora Orang Minangkabau

Perang Padri adalah iven historis yang bisa digunakan untuk menggugat atau melengkapi teori lama tentang migrasi orang Minang. Pengalaman migrasi orang Minang pada masa Perang Padri tidak bersifat spontan (voluntary migation), tetapi karena adanya tindak kekerasan. Dalam kaitannya dengan pengalaman tersebut, konsep diaspora, yang lazim digunakan untuk pola migrasi kaum Yahudi, yakni kepergian meninggalkan negeri asal karena terpaksa, lebih tepat untuk kasus ini. Sehingga konsep diaspora cocok dipakaikan untuk pola migrasi orang Minang saat itu.

Artikel ini mencoba menelusuri kekerasan-kekerasan yang terjadi pada masa Perang Padri yang berujung pada ‘migrasi terpaksa’ orang Minang. Karena itu tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Pertama, bagaimana bentuk kekerasan yang ada pada masa Perang Padri? Kedua, sejauh mana kekerasan tersebut menyebabkan terjadinya migrasi warga? Ketiga, ke mana arah migrasi mereka itu?

Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada bagian berikut akan disajikan terlebih dahulu beberapa pendapat mengenai pola migrasi orang Minang.

II

Pendapat yang paling lazim dikemukakan oleh ilmuwan sosial dan dipahami oleh masyarakat awam mengenai pola migrasi orang Minang adalah migrasi spontan. Pola ini berangkat ungkapan yang berkembang pada masyarakat Minang:

 “karatau madang di hulu

babuah babungo balun

marantau bujang dahulu

di rumah baguno balun”

Migrasi spontan yang lazim disebut dengan merantau ini umumnya dikaitkan dengan kepergian untuk mencari ilmu (baik ilmu agama atau duniawi) dan kepergian untuk keuntungan ekonomi (berdagang), serta medapatkan barang-barang yang tidak bisa diperoleh di daerah asal (pedalaman). Karena itu, tujuan perantauan orang Minang adalah ke pusat-pusat kegiatan sosial, ekonomi, politik dan budaya, serta daerah-daerah yang bisa memberikan berbagai komoditas yang dibutuhkan masyarakat pedalaman.

Di samping perantauan untuk mencari ilmu dan bekal finasial, dan mendapatkan kebutuhan hidup, perantauan Urang Awak juga ditujukan untuk perluasan daerah (nagari). Maksudnya, ketika pemukiman lama sudah dirasa tidak lagi bisa menampung penduduk yang selalu bertambah, maka sebagian warga membuka lahan baru untuk membuat pemukiman baru. Tujuan perantauan yang disebut terakhir ini adalah kawasan baru, baik di sekitar pemukiman lama atau kawasan lain yang berada jauh dari pemukiman lama.

Hasil studi Mochtar Naim (1977) dan Kato (1982) adalah dua contoh yang mewakili pandangan pola perantauan spontan orang Minang.

Satu aspek yang nyaris tidak disinggung dalam studi migrasi Urang Awak pada masa-masa sebelumnya adalah perantauan karena terpaksa, Orang Minang meninggalkan kampung halamannya tidak dengan suka rela. Dan perantauan dengan pola ini, karena adanya kekerasan, pernah terjadi dan itu terjadi pada masa Perang Padri.

III

Perang Padri (1821-1836/1842) yang merupakan kelanjutan dari Gerakan Padri (sejak awal abad ke-19-1821) adalah peristiwa yang juga diisi oleh tindakan kekerasan. Masing-masing kelompok yang menjadi aktor dalam perang dan gerakan itu pernah melakukan tindakan kekerasan pada lawannya. Kaum Padri, orang/tentara Belanda, tentara non-Minang, dan ‘orang Minang’ yang bekerja sama dengan Belanda, pernah melakukan tindakan kekerasan. Bahkan tindak kekerasan yang dilakukan pada masa Perang Padri bisa dikatakan lebih keras bila dibandingkan dengan kekerasan yang dilakukan pada masa Gerakan Padri. Hal ini disebabkan oleh karena kekerasan pada masa Perang Padri juga dilandasi oleh keinginan membalas dendam terhadap kaum Padri dan keinginan membalas kekerasan yang dilakukan pada masa Gerakan Padri.

Beberapa bentuk kekerasan yang dilakukan oleh masing-masng pihak adalah penyerangan terhadap kampung ‘lawan’, pembunuhan terhadap warga kampung yang diserang, pembakaran kampung yang diserang, dan pengambilan harta benda warga kampung yang diserang, serta penawanan/penyanderaan untuk dijadikan budak warga (khususnya kaum wanita) kampung yang diserang.

Dalam Memoar Tuanku Imam Bonjol dan karya Stuers, Geen, Kielstra, serta penulis-penulis Belanda lainnya ditemukan banyak informasi berkenaan dengan tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Imam Bonjol dengan jujur mengungkapkan bahwa banyak penyerangan yang dilakukan oleh kaum Padri, baik yang dia sendiri bertindak sebagai pemimpin atau yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Padri lainnya. Kampung-kampung yang diserang ada yang berlokasi di sekitar Bonjol, Alahan Mati, Simpang Malampah, Pasaman (dari Lubuk Sikaping hingga Rao dan Air Bangis), Limapuluh Kota atau Agam.

Tuanku Imam menuliskan dalam memoarnya berbagai kekerasan yang dilakukan kaum Padri, mulai dari pembakaran kampung, pembunuhan terhadap tokoh-tokoh utama serta penduduk kampung yang diserang, perampasan harta benda warga kampung yang diserang, termasuk juga penawanan/penyanderaan warga (khususnya kaum perempuan) kampung yang diserang. Bahkan Tuanku Imam menceritakan bagaimana lasykar Padri membunuh puluhan ekor kerbau di Kuok Bangkinang yang tidak dibawa.

Menurut Tuanku Imam Bonjol, beberapa kampung atau nagari yang diserang lasykar Padri adalah Muaro Bubus, Kampung Talang, Ganggo Mudik, Limo Koto, Lungguak Batu, Kampung Ambacang, Lariang, Sumauang, Alahan Mati, Simpang, Malampah, Lubuk Sikaping, Rao, Kampung Durian, Lubuk Layang, Padang Matinggi, dan Languang. Serangan juga dilakukan ke Agam (Nagari XII) yang meliputi kawasan Matur dan sekitarnya. Serangan juga dilakukan ke Limapuluh Kota (Suliki dan sekitarnya). Tidak itu saja, serangan juga dilakukan hingga Kuok (Bangkinang) serta Rokan Hulu.

Serangan terhadap kampung ‘musuh’ tidak hanya dilakukan oleh Lasykar Padri yang bermarkas di Bonjol, di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, dalam memoir yang ditulisnya, Imam Bonjol juga menyebut bahwa serangan juga dilakukan oleh Lasykar Padri yang berada di Agam dan Tanah Datar yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh serta Tuanku Lintau.

Ada banyak contoh tentang kekerasan yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, diantaranya: pembakaran Kampung Talang, pembakaran Kampung Ambacang, perampasan semua harta-benda termasuk 500 ekor kerbau orang Simauang, ‘dikemasinya’ harta benda orang Alahan Mati, pembakaran Kampung Kuranji dan pengambilan semua kerbau dari sapi warga kampung tersebut, pembakaran kampung Languang dan pengambilan harta benda warga kampung, pembakaran dan pengambilan harta benda penduduk Suliki dan Pandam Gadang serta penyanderaan perempuannya, pembakaran kampung di sekitar Mahek dan ‘pengampungan’ kerbau dan jawi, pinggan dan cawan, serta periuk dan belanga warga setempat. Dan banyak lagi contoh-contoh kekerasan yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam bukunya.

Walaupun banyak aksi kekerasan yang dilakukan, dalam memoar Tuan Imam Bonjol juga didapat informasi bahwa sejak pulangnya Tuanku Tambusai (Haji Muhammad Saleh), Pakiah Muhammad (Haji Muhammad Amin), Pakiah Malano (Haji Abdullah), dan Pakiah Sialu (Haji Muhammad Razak) dari Mekkah tahun 1829/1830, maka semua aksi kekerasan dihentikan oleh kaum Padri. Bahkan disebutkan dalam memoarnya, sejumlah barang yang telah diambil sebelumnya dikembalikan kepada para pemiliknya.

Bila Tuanku Imam Bonjol banyak bercerita tentang kekerasan yang dilakukan oleh Lasykar Padri dan puncaknya adalah penghentian aksi kekerasan oleh kaum Padri, maka Stuers, Geen, Hendrik, dan Kielstra misalnya menuliskan kekejaman tentara Belanda, hulp tropen (barisan tentara yang terdiri dari orang Jawa, Madura, dan Bugis), serta hulp benden (gerombolan Melayu: Urang Awak) terhadap orang dan perkampungan Padri. Dalam karya-karya ini diketahui bahwa tentara penjajah dan hulp tropen,serta hulp benden juga melakukan kekerasan yang sama. Bila dibaca dengan saksama karya-karya penulis Belanda di atas dan karya-karya lainnya yang jumlah sangat banyak, maka bisa dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda, tentara bantuan non-Minang, dan lasykar Urang Awaknya jauh lebih luas dan massif dan lama. Kekerasan yang dilakukan Belanda dan tentara pendukungnya tetap berlanjut hingga akhir perang.

Serangan tentara Belanda dan hulp tropen, serta hulp bendennya umumnya dilancarkan terhadap daerah (kampung atau nagari) yang dikuasai oleh kaum Padri. Sulit Air adalah nagari pertama yang diserang, dan serangan itu sekaligus pernyataan perang oleh Belanda terhadap kaum Padri. Kielstra mengatakan, sesungguhnya, di samping Sulit Air ada dua lagi nagari yang diserang saat itu, tapi nagari apa saja yang diserang tersebut tidak disebutkan namanya. Namun, dari kesan yang ditangkap, bahwa dengan menyerang tiga nagari sekaligus membuktikan bahwa Belanda dan pasukan bantuannya betul-betul serius ingin menghabisi kaum Padri. Dikatakan, bahwa salah satu alasan penyerangan Sulit Air adalah karena nagari itu adalah nagari Padri dan mereka menganggu orang Melayu di darek, dan gangguan itu juga bisa membahayakan kedudukan Belanda. Dalam penyerangan itu warga nagari juga diusir atau melarikan diri.

Serangan Belanda dan hulp tropen, serta hulp bendennya semakin menjadi-jadi pada tahun 1822, terutama sejak datangnya tambahan pasukan dibawah komando Letkol A.T. Raaf. Nagari-nagari Padri di Tanah Datar adalah sasaran serangan pertama. Di samping Lintau, beberapa nagari yang diserang adalah Tanjung, Andaleh, Tabek Patah, Rao-Rao, Balimbiang, Supayang, dlsbnya. Setidaknya ada 20-an nagari di Tanah Datar yang diserang pada tahun 1822 dan 1823.

Sesudah Tanah Datar serangan dilanjutkan ke Agam dan Limapuluh Kota. Karena hampir semua nagari di daerah itu sebelumnya sudah jatuh ke tangan Padri, maka hampir semua nagari di daerah tersebut diserang oleh Belanda dan pasukan bantuannya.

Hulp benden yang terdiri dari Urang Awak sangat besar peranannya dalam proses penghancuran kampung atau nagari-nagari yang diserang. Kekerasan dan kebrutalan mereka sudah terlihat sebelum penyerangan dimulai. Mereka telah merancang apa yang akan dilakukan, mulai dari penyerangan, mengambilan harga benda, hingga penyanderaan warga (kaum perempuan) untuk dijadikan budak, pada waktu persiapan penyerangan tengah dilakukan. Lasykar Batipuh dianggap sebagai kesatuan yang paling ganas. Seperti ditulis dalam banyak buku, kekejaman lasykar hulp benden ini ada hubungannya dengan balas dendam terhadap apa yang dilakukan kaum Padri sebelumnya.

Jumlah hulp benden ini ribuan banyaknya dan kerja sama mereka dengan Belanda sesungguhnya tetap berlanjut hingga Perang Padri usai. Jadi pernyataan yang menyebut bahwa ‘gewapene Maleirs’ ini semuanya berbalik melawan Belanda sekitar tahun 1833 tidaklah benar. Bahkan semakin banyak dari mereka yang melakukan kerja sama dan mendukung Belanda hingga perang berakhir. Bantuan yang mereka berikan selama periode Perang Padri itulah yang membuat kaum Padri tetap menjadi sasaran penyerangan dan tindak kekerasan hingga perang berakhir. Padahal, seperti disebut di atas,  kaum Padri sudah menghentikan kekerasan terhadap ‘sanak saudara’ mereka sejak tahun 1829/1830, pascakepulangan Tuanku Tambusai dkk. menunaikan ibadah haji. Kondisi inilah yang akhirnya membuat berdiasporanya warga daerah.

IV

Hampir setiap sumber, baik memoir Tuanku Imam Bonjol atau sumber-sumber Belanda, selalu menyebut bahwa setiap kali penyerangan dilakukan, ada warga kampung atau nagari yang diserang yang melarikan diri meninggalkan kampung/nagarinya. Tidak itu saja, bahkan sering kali disebutkan bahwa sebelum kampung/nagari diserang warganya sudah melarikan diri terlebih dahulu.

Diakui juga oleh para penulis, bahwa sebagian warga kampung /nagari yang melarikan diri kembali lagi ke kampung/nagari mereka. Namun tidak sedikit pula dari mereka yang tidak pulang lagi. Memoar Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa banyak penduduk kampung/nagari yang diserang kaum Padri, baik yang ada di Pasaman, Agam, Limapuluh Kota, Bangkinang (Kampar) atau Rokan, melarikan diri ke daerah-daerah tetangganya. Dalam memoir itu juga disebut bahwa banyak penduduk kampung/nagari di Agam yang berdiaspora ke Pasaman ketika Belanda dalam lasykar-lasykar bantuannya menyerang Agam. Tuanku Imam Bonjol juga menyebut bahwa banyak warga Pasaman yang berdiaspora ke Rokan atau juga ke kawasan yang lebih jauh di hilir Rokan ketika Belanda dan lasykar-lasykarnya menyerang Pasaman di akhir episode Perang Padri.

Informasi yang sama juga didapat dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis Belanda. Banyak penduduk (kaum Padri) yang melarikan diri ketika kampung/nagari mereka diserang oleh pasukan Belanda. Sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa sebagian penduduk kampumg/nagari tersebut kembali lagi, terutama setelah kepala-kepala mereka, menyatakan tunduk dan mau bekerja sama dengan Belanda. Namun, sumber yang sama juga mengatakan bahwa banyak juga warga kampung/nagari yang lari yang tidak kembali lagi. Umumnya mereka yang tidak kembali ini adalah tokoh-tokoh Padri atau keluarga-keluarga Padri ‘yang fanatik’, dan mereka melarikan diri ke kawasan timur atau ke kawasan utara (dari Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota).

Suatu kesamaan dari kedua sumber (memoar Imam Bonjol atau karya-karya penulis Belanda) adalah banyak ‘pelarian’ yang menjadikan daerah Pasaman umumnya dan Rao khususnya sebagai titik pemberangkatan terakhir mereka. Tidak diragukan lagi, mereka yang ‘lari’ itu adalah pendukung Padri. Mereka melarikan diri karena tidak mau tunduk kepada Belanda dan mereka memilih daerah Pasaman dan Rao sebagai titik pemberangkatan terakhir karena daerah itulah yang relatif akhir dikuasai oleh Belanda. Disamping itu, dipilihnya Pasaman atau Rao sebagai titik pemberangkatan terakhir adalah karena daerah itu memiliki akses untuk ‘lari’. Akses yang dimaksud adalah jalan setapak dan sungai-sungai yang mengalir ke kawasan timur Sumatra. Dari Rao ada jalan setapak lazim ditempuh sejak waktu yang lama oleh para pedagang atau penduduk yang ingin pergi ke kawasan timur Sumatra. Setelah menempuh jalan setapak mereka akan sampai ke sejumlah pangkalan yang berada di Sungai Rokan, baik Rokan Kiri atau Rokan Kanan. Dengan menghiliri kedua sungai itu mereka akan sampai di Sungai Rokan dan kemudian terus ke hilir sampai Selat Malaka.

Ruas Jalan Setapak dan Rute Pelayaran Sungai Rokan
Diaspora Minangkabau dari Pasaman/Rao

Sesampai di Selat Malaka, mereka bisa melanjutkan ‘pelarian’ mereka negeri-negeri yang ada di di Sumatra Timur atau ke Tanah Semenanjung Malaysia. ‘Lari’ ke negeri-negeri di Sumatra timur atau ke Tanah Semenanjung bukanlah suatu yang asing, karena daerah-daerah itu telah menjadi tujuan perantauan orang Minangkabau sejak masa yang lama. Alasan lain adalah hingga saat itu, kawasan-kawasan tersebut aman bagi mereka, karena Belanda tidak berkuasa di sana.

Di samping diaspora lokal (dalam daerah Minang), pada masa Perang Padri juga muncul diaspora lintas daerah (diaspora ke daerah budaya yang lain di Pulau Sumatra, dan ke Tanah Semenanjung). Hingga saat ini, ‘perantau karena terpaksa serta terusir’ dari kampung halaman ini masih belum banyak dikaji. Mudah-mudahan, tulisan ini bisa menjadi pembuka jalan bagi kajian yang lebih serius dan komprehensif diaspora orang Minang tempo doeloe.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kato, Tsuyoshi, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca London: Cornel University Press, 1982.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , “Het Onstaan van den Padri-Oorlog” dalam Indische Militaire Tijdschrift, II, 1887, hal. 224-248.

Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press, 1977.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Oki, Akira, “The River Trade in Central Sumatra and South Sumatra in the 19th Century” dalam Tsuyosho Kato, Muchtar Lutfi dan Narifumi Maeda (eds.), Environtment, Agriculture and Society in the Malay World. Kyoto: CSAS-Kyoto University, 1986, hal. 1- 48.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Dunia Magis, Dunia Hiburan, dan Gaya Hidup Masa Perang Padri

Perang Padri tidak hanya diisi dengan kecamuk pertempuran yang menggunakan keris atau tombak, serta menggunakan bedil dan meriam, tetapi juga racun, guna-guna, dan ‘kebaji’. Perang Padri tidak hanya dilakoni oleh para ahli perang dan para perwira militer ahli strategi perang, tetapi juga oleh para tuanku pakar ‘pelangkahan’ dan urang pandai turiah. Perang Padri tidak hanya diisi oleh gemerincing keris dan tombak yang saling beradu, atau letusan senapan dan meriam yang saling bersautan, tetapi juga oleh kenduri syukuran, batagak penghulu, serta pesta dansa. Perang Padri tidak hanya dilakoni oleh tokoh yang berbaju jubah, bersorban, bertasbih, atau berbaju hitam dengan destar seperti pakaian para pendekar silat, tetapi juga oleh uniform militer yang keren, serta juga kuda tunggangan yang tegap dan kereta kencana dengan empat ekor kuda yang mempesona.

Siapa yang menggunakan kekuatan magis dan bagaimana corak kekuatan magis yang digunakan pada masa Perang Padri? Bagaimana corak kehidupan duniawi yang diamalkan atau dunia hiburan yang dilakukan serta dinikmati warga daerah pada masa Perang Padri?  Bagaimana pula gaya hidup para tokoh dan warga masyarakat masa Padri? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Perang Padri diambil sebagai batasan temporal tulisan ini karena Perang Padri sesungguhnya adalah juga sebuah wadah yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana upaya pembaruan yang dilakukan kaum Padri mencapai sasarannya. Di samping itu, Perang Padri juga bisa dijadikan sebagai wahana untuk mengetahui sejauh mana upaya pemberantasan praktik-praktik bid’ah dalam pengamalan dan ritual keagamaan (Islam), serta menghabisi praktik-praktik jahiliyah dalam kehidupan sosial-budaya orang Minangkabau mencapai hasilnya.

II

Sama dengan kelompok-kelompok masyarakat lain di Indonesia, orang Minang juga sangat akrab dengan dunia magis, suatu dunia yang diisi oleh adanya kekuatan gaib yang dapat menaklukkan atau menguasai orang, binatang, jin, dan hantu serta lingkungan sekitar, termasuk juga menguasai pikiran dan peri laku orang, binatang, jin dan hantu. Hampir semua aspek hidup dan kehidupan mereka, berkaitan secara langsung atau tidak dengan dunia magis.

Unsur-unsur magis tidak hanya tampil pada aspek dan aktivitas kehidupan yang bersifat duniawi, tetapi juga kehidupan religi. Bahkan ada pencampuradukan unsur-unsur magis ke dalam ritual atau amalan keagamaan yang mereka anut, sehingga sampai taraf tertentu, sangat sukar membedakan antara unsur-unsur magis buatan manusia dengan ajaran agama, apalagi ada penganut agama bersangkutan yang memandang bahwa unsur-unsur magis ciptaan manusia tersebut adalah bagian dari ajaran, serta bagian dari ritual dan amalan keagamaan.

Kenyataan di atas sangat terlihat pada saat agama Hindu dan Budha masuk serta berkembang di Minangkabau. Gejala yang sama juga menjadi bagian dari hidup dan kehidupan orang Minang saat mereka menganut agama Islam, setidaknya hingga akhir abad ke-18.

Sejarah Islam Minangkabau memperlihatkan bagaimana dunia magis begitu kuat pengaruhnya pada ritual dan amalan keagamaan orang Minang saat itu.

Adanya unsur-unsur magis dalam ritual dan amalan keagamaan (Islam) itu adalah satu alasan kaum Padri melancarkan gerakan pemurnian Islam di daerah ini. Mereka ingin membuang jauh unsur-unsur magis serta amalan-amalan keagamaan  yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist. Untuk itulah mereka mereka menentang serta mengeritik keras, bahkan menyerang ulama yang dipercayai memiliki tuah, kekuatan gaib, serta juga menyerang dengan keras ‘jamaah’ yang mengkultuskan ulama tertentu, atau yang melakukan ziarah kubur, bernazar di kuburan atau tempat-tempat keramat, dlsbnya.

Menentang amalan-amalan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist adalah gagasan utama kaum pembaru pada fase awal Gerakan Padri. Namun ketika gerakan tersebut berubah menjadi perang, saat mana kaum pembaru Islam juga berhadapan dengan kelompok masyarakat lain dari luar Minang (orang Belanda), maka ajaran dan pola aksi mereka mulai berubah. Beberapa amalan yang dulu sangat mereka kutuk dan hujat, maka pada saat Perang Padri mereka sendiri yang mengamalkannya. Saat perang berlangsung, ternyata mereka juga menggunakan dan mempercayai kekuatan-kekuatan magis dan menjadikan kepercayaan kepada sesuatu yang tidak diajarkan Al-Qur’an dan hadist sebagai amalan mereka.

Di samping kaum Padri, kekuatan gaib yang bersifat mistis itu juga dipercayai dan diamalkan oleh ‘orang Melayu’ (sebutan terhadap orang Minang yang bekerjasama dengan Belanda melawan kaum Padri).

III

Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa kaum Padri mempercayai dan menggunakan kekuatan magis selama Perang Padri. Tidak tanggung-tanggung, mereka yang mempercayai dan menggunakannya mulai dari pemimpin tertinggi, mulai dari Tuanku Imam Bonjol hingga para pendukung dari kalangan masyarakat bawah.

Ada sejumlah fakta dan iven historis yang berkaitan dengan kepercayaan Tuanku Imam Bonjol pada kekuaan magis. Beberapa di antaranya adalah penggunaan ‘palangkahan’. Walaupun dinegasikan oleh Darwis Daoek Madjoelo dan Ahmad Marzoeki, bahwa buku ‘pelangkahan’ yang dimiliki oleh keluarga Tuanku Imam Bonjol bukan hasil karya beliau, tetapi diyakini, isi buku tersebut adalah amalan Tuanku Imam Bonjol. Gambar berikut adalah “palangkahan” yang disajikan oleh kedua penulis dalam buku mereka yang berjudul Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951).

“Pelangkahan”
(Sumber: Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951)

Dipercayai bahwa dalam kesehariannya atau dalam memimpin perjuangan melawan Belanda, Tuanku Imam Bonjol sering berpedoman kepada pelangkahan. Sebelum memutuskan sesuatu, misalnya pergi berperang, dia mempedomani simbol-simbol dan petunjuk-petunjuk yang tertera pada “palangkahan” yang dimilikinya. Perang bisa dilakukan apabila simbol-simbol dan petunjuk-petunjuk yang tertera pada “pelangkahan” menampilkan pertanda positif. Sebaliknya perang harus dibatalkan bila simbol atau petunjuk penampilkan pertanda negatif.

Tidak hanya dalam aktivitas yang sifatnya besar dan menentukan, serta melibatkan orang dalam jumlah yang banyak, mempedomani “palangkahan” bahkan dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam kegiatan yang sifatnya personal. Misalnya saat melepas anaknya pergi berjalan atau mendirikan rumah, serta membuka kebun.

“Pelangkahan”
(Sumber: Darwis Datoek dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951).

Informasi lain yang mengatakan bahwa Tuanku Imam Bonjol mempercayai kekuatan magis ditemukan dalam memoar yang ditulisnya sendiri. Dikatakannya, bahwa dalam perjalanannya sekembali menyerang gaduang (benteng Belanda di Air Bangis), Tuanku Imam Bonjol berhenti di Koto Baru. Beliau mengetahui bahwa di sana ada dua pucuk meriam yang pernah digunakan sewaktu perang di Mesir, dan beliau menginginkan meriam tersebut.

Menurut tokoh masyarakat setempat (penghulu pangka tuo Pasaman), salah satu meriam tersebut berada di tengah padang (mudah diambil), sedangkan yang satu lagi terbenam di dalam sungai (lubuk), dan dikatakan sudah terbenam ke dalam lumpur. Namun karena Tuanku Imam yang menginginkan, maka diupayakanlah pencarian meriam yang terbenam tersebut. Setelah beberapa hari pencarian dilakukan meriam yang dicari belum juga ditemukan. Maka atas izin Tuanku Imam Bonjol dipanggillah urang pandai turiah (seseorang yang memiliki kemampuan gaib untuk melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat secara kasat mata, atau mencari suatu benda yang hilang). Dengan kemampuan gaib yang dimilikinya maka dalam sekejap diketahuilah lokasi meriam tersebut dan terpenuhilah keinginan Tuanku Imam Bonjol.

Kaum Padri mempercayai bahwa para tuanku atau pemimpin mereka memiliki kekuatan gaib. Kekuatan gaib yang dimiliki oleh para tuanku atau pemimpin tersebut sangat menentukan aktivitas yang mereka lakukan. Ada konsep pars pro toto dalam hal ini, dengan kata lain tuah atau kesaktian yang dimiliki oleh seorang tuanku atau pemimpin akan memberi tuah atau kesaktian pula kepada seluruh pengikutnya. Dipercayai bahwa keberhasilan-keberhasilan yang mereka raih dalam perang adalah karena tuah yang dimiliki oleh para tuanku atau pemimpin mereka. Sebaliknya, kesialan atau musibah yang dialami seorang tuanku atau pemimpin mereka merupakan pertanda yang tidak baik bagi semua pengikutnya.

Karena itu, sangat sering dilaporkan oleh orang Belanda bahwa pada saat mereka sudah hampir mati atau menyerah kalah karena dikepung atau diserang oleh orang Padri, tiba-tiba saja para pejuang Padri membiarkan atau meninggalkan mereka begitu saja. Pengalaman seperti pada awalnya menjadi sesuatu yang mencengangkan atau sangat sukar dimengerti oleh orang Belanda. Namun akhirnya mereka menyimpulkan bahwa pembiaran atau pengunduran pihak Padri tersebut disebabkan oleh cederanya atau tewasnya tuanku/pemimpin mereka. Kematian tuanku atau pemimpin tersebut dianggap sebagai petaka yang bisa membahayakan semua pasukan. Karena itu mundur adalah solusi yang terbaik.

Kepercayaan kepada kekuatan gaib juga dimiliki oleh ‘orang Melayu’. De Stuers, Nahuijs, dan Elout serta Boelhouwer – untuk menyebut empat nama – mengatakan bahwa sejumlah tokoh ‘orang Melayu’ dan anggota pasukan Melayu sering mengumbar pernyataan bahwa mereka memiliki kekuatan gaib yang bisa menghukum (mencederai) orang yang berada di tempat lain.

Laporan-laporan orang Belanda juga menyebut bahwa sejumlah prajurit ‘gewapene maleiers’ sering mempelagakkan kehebatan mereka di hadapan orang banyak. Kehebatan yang dipertontonkan itu antara lain ilmu tahan bacok alias kebal terhadap benda tajam.

Ilmu gaib lain yang juga sering digunakan saat Perang Padri adalah racun hidup. Racun yang dimaksud adalah ‘racun piaraan’, racun yang dimiliki oleh orang atau keluarga tertentu, dan racun itu harus diberikan kepada orang (korban). Bila tidak diberikan maka orang atau salah satu anggota keluarga orang yang memiliki racun tersebut yang harus memakannya atau harus dikorbankan. Tuanku Imam Bonjol menyebut dalam memoarnya bahwa Datuk Bandaro, seorang ‘senior’ Tuanku Imam Bonjol tewas diracun orang. Diduga racun yang digunakan adalah racun hidup ini.

Racun hidup ini atau kekuatan pembunuh yang bisa dikirim dari jarak jauh juga dimiliki oleh ‘orang Melayu’. Rusli Amran, mengutip De Stuers dan Elout menyebut bahwa salah seorang Regent di daerah pedalaman (darek) meracun atau mengirim sesuatu dari jarak jauh untuk membunuh seseorang yang digadang-gadang oleh banyak pihak sebagai penggantinya.

Dunia mistik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kaum Padri atau ‘orang Melayu’ dalam Perang Padri.

IV

Orang Padri, ‘orang Melayu’ dan orang Belanda yang terlibat dalam Perang Padri adalah bagian dari apa yang disebut sebagai homo festivus, manusia yang suka pesta atau bersenang-senang. Karena ‘pembawaannya’ ini, setiap ada kesempatan, mereka selalu berupaya memenuhi panggilan jiwanya untuk berpesta atau bersenang-senang. Karena itu, dalam suasana perang, bila ada kesempatan, maka mereka juga akan mengadakan pesta atau bermain, serta menghibur diri.

Dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjol banyak kali menyebut adanya pesta atau perayaan yang dilakukan kaum Padri. Pesta atau perayaan yang mereka lakukan umumnya pesta atau perayaan syukuran, misalnya syukuran atas selesainya pembangunan kampung atau masjid. Di samping itu juga ada syukuran atas kemenangan dalam perang menyebarkan faham (pembaharuan) kepada kelompok yang belum ‘sempurna’ keislamannya, atau syukuran atas kemenangan melawan Belanda dan ‘orang Melayu’. Pesta yang disebut terakhir ini lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan pesta syukuran atas kemenangan dalam perang melawan Urang Awak.

Pesta, perayaan, dan syukuran ini umumnya diisi dengan makan-makan yang diikuti oleh banyak orang. Sebuah pesta yang diadakan di Bonjol sebagai syukuran atas selesainya pembangunan mesjid dihadiri oleh seribu orang lebih dengan menyembelih beberapa ekor kerbau. Acara syukuran ini juga diisi dengan ceramah serta doa permohonan kepada Allah SWT agar diberi kelapangan dan keberhasilan dalam hidup.

‘Orang Melayu’ juga sering mengadakan pesta dan perayaan. Beberapa pesta yang mereka lakukan adalah perayaan penobatan penghulu, alek kawin, dan perayaan (syukuran) atas kemenangan yang diperoleh melawan kaum Padri. Salah satu pesta yang disebut terakhir dilaksanakan di Pakandangan tanggal 18 Desember 1831. Pesta diadakan dalam rangka merayakan kemenangan Belanda menghancurkan salah satu basis kekuatan Padri di Ujung Rajo (Pasaman). Saat pesta dilangsungkan dikibarkan berdera Belanda di lokasi pesta. Pesta diadakan dekat pasar dan dekat masjid nagari. Pesta itu dihadiri oleh Boehouwer, tuanku dan para penghulu serta warga masyarakat dengan jumlah sekitar 600 orang. Makanan yang disuguhkan antara hidangan (gulai) dari daging kerbau yang disajikan dengan piring yang sangat banyak di atas tikar bersih yang terhampar, dan nasi yang dihidangkan di atas talam-talam besar yang dibawa oleh 100 orang perempuan banyaknya. Dikatakan juga, saat tamu makan, maka kaum perempuan mendendangkan lagu dari tempat yang tidak kelihatan (dibalik tirai).

Pesta-pesta besar seperti ini sering diadakan oleh ‘orang Melayu’. De Stuers dan Elout menyebut adanya pesta pelewaan penghulu dan alek kawin yang meriah yang dihadiri oleh banyak orang dan sajian makanan yang melimpah. Karena dekat dengan Belanda maka pada pesta ‘orang Melayu’ tersebut ada tempat khusus bagi orang Belanda. Orang (pejabat) Belanda ditempatkan di anjuang atau ‘singgasana’ khusus. Orang (pejabat) Belanda tersebut sangat menikmati pesta atau perayaan itu, apalagi mereka juga orang-orang yang juga menyukai pesta.

V

Mengadakan atau menghadiri pesta adalah hal yang lumrah di kalangan orang Belanda di daerah ini. Pesta adalah momen yang sangat penting bagi mereka untuk saling bertemu dan saling bertukar cerita di daerah ‘rantau’. Umumnya pesta itu diadakan pada waktu-waktu tertentu atau pada kesempatan khusus.

Pesta yang paling sering diadakan adalah pesta saat dilaksanakannya serah terima jabatan ‘kepala daerah’, mulai dari resident hingga kepala post. Di samping acara seremonial, berupa sambutan-sambutan dan pidato-pidatoan, pada kesempatan itu biasanya diadakan acara makan-makan, minum-minum serta acara dansa. Untuk pesta yang besar diadakan di kota Padang, pada saat serah terima resident atau acara khusus. Boelhouwer misalnya pernah menghadiri acara pesta dansa yang diadakan Resident Padang en Onderhoorigheden (Kol. Elout) di Padang. Pesta diadakan di rumah saudagar besar terkemuka (Boyle) dan berlangsug semalam suntuk. Pesta itu dihadiri oleh banyak orang Eropa, baik yang berdomisili di Padang atau yang ada di daerah. Pesta itu juga dihadiri oleh orang China kaya, pemuka penduduk bumiputra, serta juga Sentot Alibasya yang didampingi oleh dua orang istrinya, yang saat itu tengah berada di daerah ini sebagai sekutu Belanda.

Pengunjung pesta, terutama orang Eropa sangat menikmati acara tersebut. Hampir semua pengunjung Eropa (terutama para nyonya) seakan-akan tidak merasa lebih  berdansa yang dilakukan tiga atau empat kali secara berpasang-pasangan. Pesta baru berakhir menjelang subuh.

Pada acara dansa tersebut, undangan dari kalangan bumiputra hanya sekedar hadir dan ikut makan dan minum saja.

Perayaan atau pesta yang lain, yang lebih kecil biasanya di daerah saat serah terima jabatan Asisten Residen atau Kepala Post. Biasanya pada kesempatan itu, di samping diisi dengan pidato-pidato, juga disertai dengan acara makan-makan. Acara seperti ini juga dihadiri oleh para pemuka ‘orang Melayu’ di daerah yang bersangkutan. Boelhouwer, Baud dan Elout mencatat beberapa acara seperti yang dilakukan, baik di kawasan pantai atau di darek.

Dunia hiburan lain yang sering dilakukan oleh orang Eropa pada masa Perang Padri adalah main kartu.

Kebiasaan berpesta yang dilakukan orang Belanda pada masa Perang Padri tetap berlanjut pada masa-masa pasca-perang. Bahkan, kebiasaan ini semakin menjadi-jadi  pada saat Belanda telah ‘aman’ di daerah ini. Sehingga Lion, seorang veteran Perang Padri menyebut bahwa dalam kunjungannya kembali ke kota Padang selama 17 hari dia menghadiri 5 kali pesta dansa, satu kali konser, dua kali pertujukan musik, dan pesta-pesta biasa pada hampir setiap malam.

VI

Perang Padri adalah juga suatu periode yang bisa digunakan untuk melihat apa-apa yang berubah serta berlanjut dalam penampilan atau gaya hidup kaum Padri, ‘orang Melayu’, dan orang Belanda. Sebuah perubahan yang paling drastis pada penampilan kaum Padri adalah pakaian yang mereka kenakan. Kaum Padri yang laki-laki hampir semuanya mengenakan pakaian putih berbentuk jubah, bersorban, memelihari jenggot, dan para pemimpinnya memegang tasbih. Kaum perempuan memakai pakaian berwarna hitam yang menutup seluruh tubuh dan hanya terbuka sedikit pada bagian mata.

Boelhouwer menyebut pakaian dan penampilan kaum Padri umumnya bersih. Para pemimpinnya beristri satu. Poligami umumnya dilakukan oleh lelaki pengikut Padri dari kalangan warga biasa.

Di samping pakaian, hal lain yang paling menonjol di kalangan kaum Padri adalah pembangunan masjid. Cukup banyak masjid yang dibangun saat itu. Bahkan, merujuk informasi yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, ada semacam perlombaan pembangunan masjid di antara para tuanku. Mereka tidak mau kalah dari tuanku yang sebelumnya yang telah membangun masjid, atau tidak mau kalah dengan tuanku dari daerah lain yang juga telah membangun masjid. Mesjid yang dibangun juga memiliki ukuran yang besar serta terbuat dari bahan (kayu) yang bagus. Keindahan dan kebesaran masjid nampaknya menjadi semacam kebanggaan bagi seorang tuanku atau sebuah kampung (nagari) saat itu.

Pakaian Penghulu dan Haji di Minangkabau
(Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Midden Sumatra Expeditie: Volkbeschrijving (III-1-2). Leiden: E.J. Brill, 1882)

Berbeda dengan kaum Padri, pakaian ‘orang Melayu’ umumnya berwarna hitam. Para lelaki umumnya memakai baju dan celana berwarna hitam diserta destar. Sangat sering di pinggang mereka terselip pisau atau keris. Para petinggi, terutama penghulu mengenakan pakaian yang terbuat dari beludru yang bersuji emas, dan destar (saluak) yang berenda emas, pin emas serta juga keris yang bersarung dan berhulukan emas.

Kaum lelaki “orang Melayu” sering pergi mengepit ayam ke gelanggang penyabungan ayam yang umumnya berlokasi dekat pasar dan pulang setelah uangnya habis, atau pergi ke tempat mengisap madat dan tinggal (tertidur) di sana hingga pagi hari. Perempuan ‘orang Malayu’ umumnya memakai baju kurung dan sering dengan bagian atas dada dibiarkan terbuka. Namun perempuan ‘orang Melayu’ ini adalah orang-orang yang rajin, terutama dalam pengerjaan sawah.

Penampilan ‘Orang Melayu’ di Pedalaman Minangkabau
(Sumber: Budhing, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861).

Penampilan orang Belanda, terutama para pejabatnya, juga sangat mempesona. Penampilan yang ‘wah’ ini akan semakin mengesankan ketika mereka memakai pakaian (uniform) lengkap yang penuh dengan tanda pangkat, lencana, umbai-umbai, dan asesori lainnya. Di samping pakaian (uniform) lengkap tersebut, penampilan orang Belanda dengan kemeja dan celana (pantalon) bagi lelaki, serta gaun bagi kaum perempuan merupakan sesuatu yang baru di Ranah Minang.

C. Th. Elout
(Sumber: Colijn, H., Neerlandsch Indie: Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenwerking (Tweede Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913)

Di samping pakaian, kehadiran orang Belanda di daerah ini juga memperkenalkan model rumah yang baru, serta sarana transportasi yang baru. Rumah modern yang dilengkapi dengan beranda, ruang tamu dan kamar tidur dengan dinding batu adalah salah satu unsur baru dalam dunia seni bina orang Minang. Kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda adalah juga sesuatu yang baru bagi Ranah Minang. Kendaraan model kereta ini kemudian juga digunakan Sentot Alibasya dan orang China kaya yang tinggal di kota Padang. Beberapa waktu setelah  Perang Padri usai, model kereta kuda ini juga ditiru oleh orang Minang, baik oleh kalangan penghulu atau orang kaya, atau oleh orang kebanyakan. Khusus untuk yang terakhir digunakan sebagai alat transportasi massal.

Orang Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya membawa dan memperkenalkan gaya hidup yang baru di daerah ini.

VII

Gerakan pembaruan yang diperkenalkan oleh kaum Padri ternyata tidak mampu menghabiskan amalan-amalan dan pratik-praktik keagamaan yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan hadist di kalangan orang Minang. Gerakan itu juga tidak mampu melenyapkan kebiasaan-kebiasaan jahilyah, seperti menyabung ayam, minum tuak menghisap madat dan berjudi, atau gaya hidup ‘badunia’ di kalangan orang Minang. Gerakan Padri yang kemudian berubah menjadi Perang Padri, yang ditandai dengan masuk serta hadirnya orang Belanda di daerah ini semakin membuat amalan-amalan dan praktik-praktik keagamaan non-islami, serta gaya hidup non-islami semakin kuat hadirnya di daerah ini.

Dunia magis, kesukaan dan kesenangan mengadakan pesta, serta gaya hidup yang bersifat ‘hedon’ ternyata tetap hadir dalam diri orang Minang dan warga non-Minang yang tinggal di daerah ini pada masa-masa selepas Padri, bahkan hingga saat kini. Kepercayaan akan hal-hal yang bersifat magis, mengadakan pesta, menikmati kesenangan dan hidupan serta gaya hidup ‘badunia’ adalah hal-hal yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan seseorang atau sekelompok orang, termasuk dari orang Minang dan warga masyarakat yang tinggal di Ranah Minang. Karena itu, gerakan pembaharuan keagamaan yang sangat radikal dan keras pun ternyata tidak mampu mengenyahkan kepercayaan akan kekuatan magis, kesenangan berpesta, dan gaya hidup yang “hedon” dari warga daerah dan dari daerah ini.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Budhhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861.

Colijn H., Neerlandsch Indie: Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenwerking (Tweede Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913.

Darwis Datoek Madjoelelo dan Ahmad Mazoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perinis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951.

Lion, H.J., Een Uit Naar Padang. Batavia: Ogilvie en Co., 1869.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Midden Sumatra Expeditie: Volkbeschrijving (III-1-2). Leiden: E.J. Bril, 1882.


Ditulis oleh Gusti Asnan