Pantun, Talibun, Teka-Teki “Tempo Doeloe” dan Perlawanan Terhadap Belanda di Sumatra Barat

Sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia menentang dengan keras setiap bentuk penindasan yang dilakukan oleh para penguasa yang zalim, baik penguasa yang berasal dari negeri sendiri atau penguasa yang datang dari luar. Dari sejarah juga diketahui bahwa perlawanan terhadap penguasa yang zalim itu dilakukan melalui berbagai cara. Kitab-kitab sejarah menginformasikan bahwa secara umum ada dua bentuk perlawanan; pertama, perlawanan secara fisik; dan kedua perlawanan secara non-sisik.

Sesuai dengan sifatnya, perlawanan secara fisik antara lain ditandai dengan penggunaan organ jasmaniah dan badaniah, serta ditambah dengan alat/senjata yang biasa digunakan untuk sebuah tindak kekerasan, seperti parang, pedang, hingga senjata api. “Tindak kegaduhan” hingga “perang basosoh” adalah wujud perlawanan secara fisik ini. Sebaliknya, perlawanan secara non-fisik lebih mengandalkan aktivitas rohaniah dan otak. Perlawanan corak ini juga menggunakan alat/senjata, tetapi alat/senjata yang biasanya digunakan bertujuan untuk mencerdaskan dan mencerahkan rohani dan pemikiran, seperti pena, kuas, kertas, mesin ketik, dinding, dan alat-alat yang berhubungan dengan dunia seni. Pidato, pemogokan, tulisan di media-massa, buku, corat-coret di tembok-tembok, dan berbagai bentuk karya seni (termasuk seni bertutur) adalah sebagian contoh pelawanan secara non-fisik ini.

Pelawanan secara fisik (ditambah dengan pengunaan alat/senjata yang berhubungan dengan dunia kekerasan) telah dilakukan dalam waktu yang lama. Perlawanan corak ini telah dilakukan sejak peradaban/kebudayaan anak bangsa ini masih bersahaja. Pola perlawanan ini menjadi karakter utama yang dilakukan terhadap penguasa (raja) yang zalim. Pola ini juga menjadi bentuk perlawanan utama yang dilakukan terhadap kolonialis kulit putih hingga pertengahan kedua abad ke-19 khususnya. Tidak dipungkiri, perlawanan dengan pola kekerasan ini tetap berlanjut hingga beberapa waktu belakangan, namun persentase jumlahnya semakin lama semakin menurun.

Perlawanan secara non-fisik sesungguhnya juga telah dilakukan sejak zaman “bahuela”. Namun perlawanan corak ini mulai banyak dilakukan pada pertengahan kedua abad ke-19. Seiring dengan kemajuan peradaban/kebudayaan, termasuk di dalamnya kemajuan ilmu dan pengetahuan, persentase perlawanan dalam bentuk ini semakin lama semakin besar.

Sejarah penulisan sejarah Indonesia hingga tahun 1970-an mencatat bahwa perlawanan secara fisik (dan ditambah dengan penggunaan senjata) adalah bentuk perlawanan yang paling banyak diungkapkan. Kitab-kitab sejarah Indonesia umumnya dipenuhi oleh rekonstruksi peristiwa/kejadian yang bernuansakan kekerasan ini.

Bertolak belakang dengan itu, perlawanan yang sifatnya non-fisik, relatif sedikit diungkapkan. Tingginya minat sejarawan (penulis sejarah) untuk mengung­kapkan perlawanan dengan menggunakan kekerasan, barangkali, disebabkan oleh langsung nampaknya akibat dari perlawanan itu, banyaknya jejak (bekas) perlawanan yang ditinggalkan, serta bisa diaksesnya dengan mudah sumber-sumber yang berkenaan dengan perlawanan tersebut. Sebaliknya, sedikitnya karya-karya mengenai perlawanan secara non-fisik, diduga, disebabkan oleh tidak langsung nampaknya hasil dari perlawanan bentuk itu, serta relatif sedikitnya jejak (bekas) yang ditinggalkan, dan relatif susah didapatkannya sumber-sumber yang berkaitan dengan perlawanan tersebut.

Namun seiring dengan perjalanan zaman, perlawanan secara fisik semakin ditinggalkan dan perlawanan secara non-fisik semakin banyak digunakan. Seiring dengan itu, sarana pendukung penelitian guna mengungkapkan bentuk perlawanan secara non-fisik semakin banyak ditawarkan lembaga penelitian. Apresiasi masyarakat banyak terhadap hasil karya yang mengungkapkan perlawanan secara non-fisik ini juga semakin lama semakin besar. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mencoba mengungkapkan perlawanan non-fisik yang dilakukan orang Sumatra Barat/Minangkabau terhadap penjajah Belanda.

Ada banyak bentuk perlawanan secara non-fisik yang dilakukan orang Minangkabau terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Namun dalam tulisan ini, fokus bahasan ditujukan pada perlawanan melalui ungkapan seni (bertutur) dan permainan kata. Tegasnya, tulisan ini akan mendiskusikan perlawanan yang dilakukan terhadap kolonialis Belanda melalui pantun, talibun, dan teka-teki. Sehingga tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimana corak perlawanan terhadap rezim kolonialis tersebut dinyatakan dalam pantun, talibun, dan teka-teki itu? Mengapa mereka memiliki corak perlawanan secara non-fisik ini? Apa dimensi historis dari pola perlawanan tersebut?

Tulisan ini memfokuskan pembahasannya pada pantun, talibun, dan teka-teki “tempo doeloe” (zaman kolonial Belanda), karena – sejauh yang penulis ketahui – pembahasan seperti ini belum pernah dilakukan. Di samping itu tulisan ini juga ingin mengungkapkan bahwa perlawanan terhadap kolonialis Belanda juga dilakukan oleh orang Minangkabau melalui ungkapan seni. Dan corak seni yang dipilih bukan bentuk seni yang sudah lazim dikenal, tetapi seni dalam wujud yang selama ini nyaris tidak diduga mengandung untuk perlawanan terhadap penguasa kulit putih itu. Zaman kolonial yang dimaksud dalam tulisan ini adalah parohan kedua abad ke-19 khususnya. Pemilihan batasan waktu itu juga dilatarbelakangi oleh sumber yang digunakan, yang memang berasal dari kurun waktu itu. Di samping itu, pemilihan batasan waktu ini juga ditujukan untuk menginformasikan bahwa perlawanan melalui ungkapan seni ini telah dilakukan dalam waktu yang lama, pada saat kekuasaan kolonialis tersebut masih demikian kuatnya di Minangkabau.

II

Sumber yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari Midden Sumatra Expeditie Jilid III Bagian 2. Buku itu pada dasarnya adalah catatan penelitian dan perjalanan yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan Belanda yang menjelajah kawasan pedalaman Sumatra (bagian tengan hingga selatan) yang dilakukan pada tahun 1877-1879 di bawah pimpinan P.J. Veth. Hasil ekspedisi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku tersebut dipublikasikan tahun 1881. Jilid II Bagian 2 karya ini umumnya mengungkapkan mengenai keadaan penduduk dan bahasa (serta berbagai tradisi seni bertutur), permainan, nyanyian, sejarah, dlsbnya. yang dimiliki penduduk bagian tengah hingga selatan kawasan pedalaman pulau itu. Namun perlu dicatat, meskipun deskripsi yang dikemukakan adalah kondisi yang berlaku pada perempat terakhir abad ke-19, namun spirit zaman dan latar belakang kebudayaan yang ditampilkan pastilah meliputi kurun waktu yang jauh lebih luas dari 25 tahun terakhir abad ke-19, setidaknya deskripsi itu juga mewakili era satu atau dua dekade sebelumnya. Hal ini pulalah yang mendasari pemilihan batasan waktu kajian ini meliputi pada parohan kedua abad ke-19 umumnya dan perempat terakhir abad ke-19 pada khususnya.

Sejumlah Alat Musik Tradisi Minangkabau Pada Perempat Terkahir Abad ke-19

(Sumber: P. J. Veth, Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-2. Leiden: E.J. Brill, 1881).

Pantun, talibun, dan teka-teki adalah tiga dari sejumlah produk budaya (karya seni) yang dimiliki orang Minangkabau yang dikemukakan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Ada 342 pantun yang disajikan dalam buku ini. Hampir semua pantun yang ditampilkan terdiri dari bait (kuplet) empat baris (namun ada juga beberapa buah yang terdiri dari 6, 8, dan 10 baris). Dari 342 pantun tersebut ada sejumlah pantun yang tumpuan atau sampirannya berkaitan dengan kehadiran atau aktivitas kaum kolonialis Belanda di Minangkabau dan ada dua dua pantun yang tumpuan atau sampiran serta isinya langsung berkenaan dengan kehadiran dan aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau. Kedua pantun inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.

Ada satu talibun yang dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Sebagaimana yang dikemukakan penulisnya, talibun yang ditampilkan dalam buku ini didengarnya di Padang. Sesuai dengan cirinya sebagai puisi bebas, maka talibun yang disajikan dalam buku itu terdiri dari 19 bait dengan jumlah baris yang sangat bervariasi, ada yang terdiri dari 27 baris dan ada pula yang hanya terdiri dari empat baris. Karena talibun juga bercirikan menceritakan satu cerita/kisah, maka sangat jelas terlihat bahwa talibun yang ditampilkan dalam buku ini adalah kisah penderitaan yang dialami penceritanya (orang Minangkabau) sebagai akibat kehadiran dan aktivitas politik/ekonomi kolonialis Belanda di daerah ini.

Teka-teki adalah juga karya seni “Urang Awak” yang ditampilkan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2 ini. Dikatakan oleh penulisnya, ada banyak teka-teki yang dikenal/dimiliki orang Minangkabau saat itu, namun dalam buku ini penulisnya hanya menampilkan 56 buah. Ada dua teka-teki yang langsung berkenaan dengan kehadiran dan aktivitas Belanda di Minangkabau. Kedua teka-teki itulah yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Sama dengan pantun, sesungguhnya ada sejumlah teka-teki lainnya yang secara tidak langsung berhubungan dengan kehadiran dan aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau/ Sumatra Barat, namun karena penyampaiannya tidak begitu tegas, hanya dijadikan sebagai sampiran, maka teka-teki yang termasuk kelompok itu tidak termasuk yang didiskusikan dalam tulisan ini.

Merujuk informasi yang dikemukakan penulis buku tersebut, bisa dipastikan ada banyak lagi pantun, talibun, dan teka-teki yang dikenal serta dimiliki orang Minangkabau pada saat buku itu ditulis. Dan bisa pula dikatakan bahwa dalam banyak pantun, talibun, dan teka-teki tersebut ada juga ekspresi perlawanan terhadap kehadiran dan aktivitas kaum kolonialis Belanda di Minangkabau. Namun, karena apa yang disajikan dalam buku tersebut pasti setelah melalui seleksi oleh penulisnya, maka pantun, talibun, atau teka-teki yang terlalu “tajam” menohok kolonialis Belanda tidak ditampilkan.

III

Perlawanan secara fisik, sering disebut sebagai “reaksi yang ideal”. Seperti yang dikemukakan di atas, para penulis sejarah lebih memilih perlawanan secara fisik ini untuk diungkapkan dalam kitab-kitab sejarah yang mereka tulis. Setakat ini, pemerintah RI juga cenderung lebih menghargai anak bangsa yang berjuang secara fisik daripada non-fisik. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah pemberian gelar pahlawan kepada mereka yang berjuang secara fisik dibandingkan dengan mereka yang berjuang secara non-fisik. Bahkan, dalam perspektif agama Islam, perlawanan yang diberikan secara fisik juga mendapat tempat yang utama di mata Rasulullah. Realitas ini terlihat dari hadist beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim:

Daripada Abu Said al Khudri r.a. katanya: Aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesiapa dikalangan kamu melihat kemungkaran maka hendaknya dia mencegah dengan tangannya, sekiranya dia tidak mampu hendaknya dia mencegah dengan lidahnya, sekiranya dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (hadist sahih riwayat Muslim).

Perlawanan secara fisik telah dilakukan orang Minangkabau terhadap penzaliman kaum kolonialis dalam waktu yang lama. Pola perlawanan ini telah lakukan sejak pertama kali kaum kolonialis hadir di negeri ini (pada awal abad ke-17). Pola perlawanan seperti ini ini tetap berlanjut hingga mereka hengkang dari Minangkabau/Sumatra Barat tahun 1949. Namun, dari sejarah perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di daerah ini diketahui, bahwa puncak perlawanan secara fisik itu terjadi pada awal abad ke-19. Klimaks perlawanan tersebut dikenal dengan Gerakan atau Perang Padri. Sebagaimana diketahui, Perang Padri diakhiri dengan kekalahan orang Minangkabau/Sumatra Barat.

Setelah kalah dalam Perang Padri, walaupun perlawanan secara fisik ini masih tetap ada, pola perlawanan dengan senjata atau tulang delapan kerat bukan lagi yang paling utama. Orang Minangkabau mulai mengalihkan perlawanannya ke bentuk lain. Peralihan bentuk perlawanan itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: pertama, kekalahan yang dialami orang Minangkabau dalam Perang Padri menyadarkan mereka bahwa perlawanan secara fisik tidak mungkin dilanjutkan lagi. Pemerintah kolonial begitu represif menghadapi setiap bentuk perlawanan secara fisik yang dilakukan “Urang Awak”; kedua, semakin kuatnya kontrol atau upaya penegakan ketertiban dan keamanan (rust en orde) yang dijalankan oleh penguasa kolonial. Upaya ini ditandai dengan pengintensifan upaya pencegahan terhadap semua gejala yang mengarah pada perlawanan yang bersifat fisik serta penggunaan senjata; ketiga, semakin cerdas dan terpelajarnya “Urang Awak” sehingga mereka menghindari perlawanan menggunakan organ fisik dan senjata yang membahayakan keselamatan jiwa dan raga, serta mudah dideteksi oleh rezim kolonialis.

Pasca-Gerakan/Perang Padri pemerintah kolonial Belanda memang berupaya secara sungguh-sungguh menegakkan ketertiban dan keamanan di Minangkabau/Sumatra Barat. Mereka bereaksi dengan cepat terhadap semua perlawanan fisik yang dilakukan oleh orang Minang terhadap kehadiran mereka di daerah ini. Tidak itu saja, reaksi yang dilakukan juga sangat keras, serta umumnya dilakukan sampai tuntas hingga ke akar-akarnya. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman satuan tentara yang diberi wewenang melakukan apa saja dan kemudian ditindaklanjuti dengan pemenjaraan atau pembuangan para tokoh perlawanan ke daerah lain.

Sikap tegas dan keras kaum kolonialis Belanda inilah yang menyebabkan orang Minang menurunkan “level” perlawanan mereka, yakni melalui perlawanan secara non-fisik. Pola perlawanan secara non-fisik ini sesungguhnya juga merefleksikan kecerdasan dan keintelektualan para pelakunya, sebab, bila ditelaah dengan saksama, perlawanan secara fisik bukanlah reaksi yang elegan dan mencerminkan reaksi manusia sebagai makhluk yang berakal. Reaksi secara fisik (bila yang bersangkutan diusik), juga dilakukan oleh binatang. Makanya, perlawanan yang dilakukan secara non-fisik adalah reaksi yang seharusnya yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk yang berfikir, karena dibutuhkan kecerdasan dan keterampilan yang melibatkan otak. Perlawanan secara non-fisik sesungguhnya adalah perlawanan yang lebih beradab dan berbudaya.

Realitias historis memang menunjukan bahwa sejak parohan kedua abad ke-19 jumlah orang Minangkabau terpelajar memang meningkat dengan tajam. Mereka tampil menjadi kaum terpelajar, antara lain disebabkan oleh diperkenalkannya lembaga pendidikan (sekolah-sekolah) sekuler oleh kolonialis Belanda di daerah itu. Sejak tahun 1840-an berbagai bentuk dan jenjang sekolah diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat. Lulusan sekolah-sekolah itulah yang kemudian tampil menjadi golongan terpelajar di daerah tersebut. Merekalah yang mulai menyadari betapa kuatnya Belanda dan naifnya bangsa kita bila menghadapi kekuatan Belanda tersebut dengan mengandalkan kemampuan badaniah dan jasmaniah saja. Dari buah pikiran merekalah lahir berbagai ide dan bentuk perlawanan yang termasuk kategori perlawanan secara non-fisik terhadap kolonialis di negeri ini.

Perlawanan secara non-fisik ini juga dihadirkan oleh intelektual Islam yang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan Islam (tradisional) saat itu. Sejak kalah dalam Perang Padri, sebagian besar ulama Minangkabau melanjutkan perjuangan mereka melalui lembaga pendidikan (surau) dan surau tumbuh di berbagai tempat di Minangkabau (Sumatra Barat). Ada belasan kalau tidak puluhan surau besar (dengan jumlah murid ratusan orang banyak) di Minangkabau pasca-Perang Padri. Dari lembaga pendidikan itulah munculnya sejumlah intelektual Islam yang memiliki pandangan lebih moderat dalam menghadapi kehadiran dan aktivitas Belanda di daerah ini.

Pilihan perlawanan secara non-fisik, apalagi dengan menggunakan pantun, talibun, dan teka-teki juga didukung oleh situasi zaman saat itu dan latar belakang sosial-politik saat itu. Berpantun, bertalibun dan berteka-teki saat itu juga menjadi alternatif pengalihan kesusahan hidup. Aktivitas ini adalah juga sebagai hiburan yang menyenangkan. Namun pada saat yang sama, kegiatan ini juga menyisipkan “pesan-pesan politik” dari penggubah ke pendengarnya. Berpantun, bertalibun dan berteka-teki adalah salah satu upaya atau strategi bertahan di tengah kuatnya sikap opresif penguasa kolonial. Di samping itu, aktivitas ini adalah juga sebuah potret tingginya intelektualitas masyarakat pendukungnya, sebab mereka masih mampu menemukan cara lain yang lebih beradab dan berbudaya di tengah sikap opresif yang berlebihan dari pemerintah. Sebaliknya, bagi kaum kolonialis, apa yang disampaikan ini memang dirasakan (disadari) sebagai sebuah perlawanan atau setidaknya kritikan, tetapi karena disampaikan dengan cara yang halus (lewat “ungkapan seni”), maka “hantamannya” tidak begitu keras dirasakan.

III

Seperti disebut pada bagian terdahulu, ada dua bait pantun yang langsung berhubungan dengan kehadiran atau aktivitas kolonialis Belanda di Minangkabau/ Sumatra Barat yang dikemukakan dalam buku Midden Sumatra Expeditie Jilid III bagian 2. Lengkapnya, kedua bait pantun itu berbunyi:

Dahoeloe rabab nan batangkai

Kinilah kopi nan baboengo

Dahoeloe adat nan bapakai

Kinilah rodi nan bagoeno

(Dahulu rebab yang bertangkai

Sekarang kopi yang berbunga

Dahulu adat yang dipakai

Sekarang rodi yang berguna)

Bakudo ka Boekit-tinggi

Djalan ka sowoeq di kidakan

Ko datang rodi Gompani

Nasi di soewoeq di tinggakan

(Berkuda ke Bukittinggi

Jalan ke kanan dikirikan

Jika datang rodi Kompeni

Nasi yang sedang disuap ditinggalkan)

Kedua bait pantun di atas sangat jelas memperlihatkan situasi dan pengalaman Minangkabau/Sumatra Barat zaman kolonial Belanda (khususnya pada saat pantun ini diperkenalkan). Bisa dikatakan, pantun ini memang dibuat beberapa saat sebelum dituliskan dalam buku Midden Sumatra Expeditie ini. Sampiran dan isi dari kedua pantun ini berkaitan langsung dengan jiwa zaman dan pengalaman sosial, politik, ekonomi, dan budaya Minangkabau/Sumatra Barat yang terjadi pada masa kolonial (abad ke-19).

Pernyataan mengenai “kinilah kopi nan baboengo” menginformasikan tentang telah dikenalnya penanaman kopi di daerah ini. Kopi bukan tanaman asli Minangkabau/Sumatra Barat. Tanaman kopi baru diperkenalkan ke daerah ini sejak parohan kedua abad ke-18, dibawa dari Mekkah oleh orang Minangkabau yang pulang menunaikan ibadah haji.

Pada waktu-waktu awal masuknya tanaman ini, kopi hanya dibiarkan tumbuh liar, terutama di pekarangan rumah/kebun-kebun di sekitar kampung, atau dijadikan pagar pembatas kebun/pekarangan rumah. Tanaman ini belum dibudidayakan dengan sungguh-sungguh, apalagi orang Minangkabau/ Sumatra Barat belum/tidak mengonsumsi bijinya. “Urang awak” hanya memanfaatkan daun kopi yang telah dikeringkan. Pengeringan daun kopi biasanya dilakukan dengan cara merangkai sejumlah daun kopi dalam sebuah bilah dan disalai di atas tungku pemasakan (tentu saja juga bisa dilakukan dengan pengeringan di bawah terik sinar matahari). Pada saat-saat awal itu, biji kopinya dibuang begitu saja.

Keadaan mulai berubah sejak kehadiran pedagang Amerika akhir abad ke-18 dan ekspansi politik serta eksploitasi ekonomi Belanda pada awal abad ke-19 di daerah ini. Sejak saat itu biji kopi mulai dimanfaatkan (diperdagangkan). Puncaknya adalah dengan pelaksanaan tanam paksa kopi di Minangkabau/Sumatra Barat (1847).

Tanam paksa kopi adalah sebuah kebijakan ekonomi pemerintah kolonial yang lazim mereka namakan cultuur stelsel. Kebijakan ini mewajibkan setiap keluarga petani menanam, menjaga, memanen, memproses hasil panen, serta mengantarkan biji kopi hasil panenan mereka ke gudang-gudang kopi yang telah disediakan pemerintah. Kopi yang dikirim (diserahkan) ke gudang kopi haruslah merupakan biji kopi yang terbaik. Praktik tanam paksa kopi sangat menyengsarakan. Praktik ini pernah mengalami kejayaan yang luar biasa di Minangkabau/Sumatera Barat. Kejayaan itu terjadi beberapa saat sebelum buku Midden Sumatra Expeditie ini dibuat (dipublikasikan), yakni sejak parohan kedua dasawarsa 1850-an hingga akhir dekade 1860-an).

Pada saat itu kopi berbunga (dan tentu saja berbuah) di seantero Minangkabau/ Sumatra Barat. Sehingga cocok sekali dengan gambaran yang diungkapkan dalam sampiran dalam pantun di atas.

Selanjutnya pantun pertama di atas juga menginformasi (keluhan) tentang perubahan sosial yang dialami Minangkabau/Sumatra Barat. Perubahan yang dimaksud dalam pantun ini adalah tidak atau kurang dipakainya lagi adat di tengah masyarakat. Padahal, bagi orang Minangkabau (terutama di masa-masa sebelum kedatangan orang Belanda, adat menjadi dasar dari semua aktivitas mereka. Tambo, historiografi tradisional Minangkabau mengatakan “duduk beradat, berdiri beradat, berjalan dengan adat, berbicara dengan adat”, dlsbnya. Bahkan, jika mereka berjanji, mereka mengatakan “pado adat” (jika sesuai dengan adat), jadi bukan “insya-Allah”. Dan bukan pula sesuatu yang aneh bila saat itu orang Minangkabau akan sangat marah bila dikatakan “tidak beradat” (walaupun perilaku dan perangainya tidak sesuai dengan tuntunan adat).

Sejak ekspansi politik pemerintah kolonial ke Minangkabau/Sumatra Barat, satu demi satu praktik adat mulai dipreteli. Keberadaan penghulu dan pemerintahan nagari, yang selama ini menjadi lambang supremasi sosial-politik orang Minangkabau mulai diintervensi pemerintah kolonial. Pemerintah Hindia Belanda membentuk nagari-nagari baru dan mengangkat penghulu diluar ketentuan adat. Hukum adat dan praktik-praktik yang berkenaan dengan adat istiadat mulai ditinggalkan melalui sebuah pernyataan yang dikenal dengan nama “Plakat Panjang” yang dibuat tahun 1833. Melalui plakat ini, wewenang para penghulu mulai dilucuti dan melalui tangan penghulu, hak-hak adat masyarakat akan tanah mulai dihilangkan, hukum adat mulai diganti dengan barat, dlsbnya. Jadi, setelah masuknya kolonialis Belanda, adat memang mulai/telah ditinggalkan. Instruksi, kebijakan atau perintah pemerintah lebih diutamakan daripada ajaran adat. Inilah perubahan sosial dan politik (dalam bidang adat-istiadat) yang terjadi saat itu, dan dalam konteks inilah baris ketiga dari pantun di atas bisa dipahami maknanya.

Baris yang mengatakan “kini rodi nan baguno” menginformasikan bahwa sejak kehadiran kolonialis Belanda, praktik rodi menjadi suatu yang lazim. Rodi adalah praktik kerja paksa selama tiga atau empat minggu dalam setahun yang dikenakan kepada hampir semua penduduk (laki-laki). Mereka diwajibkan bekerja pada sejumlah pekerjaan (proyek pemerintah, seperti pembangunan jalan raya, jembatan, kantor-kantor pemerintah, gudang-gudang kopi, pembangunan sekolah, dlsbnya). Bila tiba giliran seseorang untuk ikut dalam rodi, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak ikut. Ada sanksi (hukuman) yang keras bila tidak segera menunaikan kewajiban ini. Sanksi tersebut bisa berupa penambahan (penglipat­gandaan) kerja paksa atau juga hukuman fisik, seperti hukum cambuk.

Betapa keras dan kuatnya pengaruh rodi ini, nyata dan tegas diungkapkan dalam pantun kedua di atas.

“Bilo datang rodi Gompani

Nasi disuok ditinggakan”

            (Jika datang rodi kompeni

            Nasi yang senang dimakan ditinggalkan)

Bila datang giliran untuk ikut kerja rodi, nasi yang telah terhidang atau jika seseorang tengah makan nasi, harus segera pergi. Makan tidak perlu dilanjutkan. Bila tidak segera pergi, sanksi dan hukuman akan segera berlaku.  Pantun kedua ini menegaskan bahwa rodi adalah momok yang sangat menakutkan bagi orang Minangkabau pada kurun waktu pantun ini dibuat. Dan itu pastilah segera setelah Belanda betul-betul hadir dan menguasai daerah ini (pasca-Perang Padri).

Dari berbagai sumber sejarah diketahui, bahwa dengan rodi, sejumlah agenda pembangunan pemerintah Hindia Belanda terlaksana dengan baik. Rodi adalah “ujung tombak” kesuksesan pembangunan infrastruktur transportasi, gudang-gudang kopi, kantor, sekolah, dlsbnya oleh pemerintahan Belanda di daerah ini.

Pantun di atas sekaligus merupakan ekspresi perlawanan mereka terhadap kemunduran praktik adat sebagai akibat intervensi kolonialis Belanda. Pantun di atas juga memperlihatkan ketidakberdayaan mereka menentang kebijakan (yang sangat memberatkan) yang dibuat pemerintah Mereka hanya bisa mengemukakan keprihatinan atau perlawanan mereka lewat pantun, karena secara sosial dan politik mereka saat itu tidak berdaya menghadapi kekuatan Belanda.

Belanda saat itu adalah pemenang dalam berbagai peperangan di Minangkabau (seperti Perang Paderi, Perang Batipuh, Pariaman, Padangpanjang, Situjuh, Solok-Selayo, dlsbnya). Kekuatan senjata kolonialis Belanda tidak bisa lagi dilawan oleh orang Minang saat itu. Apalagi, sejumlah orang Minang saat itu telah menjadi bagian pula dari mesin politik kolonialis.

Berbagai sumber sejarah bahkan menginformasikan, bahwa ikut-sertanya Belanda dalam Perang Padri adalah karena mereka diundang oleh sejumlah elit tradisional Minangkabau. Ketika kaum Paderi kalah, elit tradisional inilah yang menjadi mitra utama pemerintah Hindia Belanda. Bila terjadi kerjasama antara elit tradisional dengan kaum kolonialis, manalah mungkin rakyat “kecil” mampu melawan mereka secara fisik, sehingga kalau mereka tetap ingin melawan, maka perlawanan yang memungkinkan hanya lewat “ungkapan seni”, seperti pantun di atas.

Ekspresi perlawanan yang sama juga dikemukakan dalam talibun. Dalam karya sastra ini juga dikemukakan tentang adanya praktik kerja paksa (rodi) yang merupakan kebijakan kompeni (pemerintah Hindia Belanda). Dinyatakan dalam talibun ini, “rodi adalah pelaksanaan dari perintah residen. Rodi dilaksanakan dengan pengawasan seorang komandan polisi yang tegas serta keras. Bila bersalah, dengan berbagai cara (baik secara diikat atau dipegang, akan dibawa ke penjara (tangsi)”. Selanjutnya, dalam talibun ini dikisahkan tentang “proses hadirnya Belanda (kekuasaan kolonial) di daerah ini, yang dikatakan datang dari Betawi dengan kapal dan mendarat di Padang dengan sekoci”.

Beberapa baris talibun yang mengungkapkan adanya informasi tentang rodi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan rodi, serta kehadiran pemerintah Belanda itu adalah:

“…….

…….

Rodi Goempani talampau garang

Palentah residen di Padang

Angkek poelisi koemandan Si Mandi-Arang

Antah tarike, tarapegang

Di baownjo ka tangsi gadang

…..

……

Tatakalo maso tanah Batawi

Toeroen Oelando dari si kotji

Siapo baoentoeang dape sandiri

…..

…..”

            …..

…..

Rodi kompeni terlampau keras

            Perintah residen di Padang

            Dilaksanakan komandan polisi yang bernama Mandi Arang

            Dalam kondisi terikat atau dipegang

            Dibawanya ke tangsi (penjara) Padang

            …..

            …..

            Tatkala zaman ranah Betawi

            Turun Belanda dari sekoci

            Siapa yang beruntung mendapat sendiri

            …..

            …..

Sesuai dengan defenisinya, teka-teki juga bermakna permainan. Namun dalam permainan tersebut juga sering terselip sindiran, kritikan atau bahkan perlawanan. Ada dua teka-teki yang menggambarkan sikap/pandangan “urang awak” terhadap kolonialis Belanda. Kedua teka-teki tersebut adalah:

Sagadang-gadang koeman

Koeman a nan gadang

Dj. Koemandoewe

                                    Sebesar-besar kuman (bakteri)

                                    Kuman apa yang paling besar

                                                Jawab: kumandor (angku mandor)

            Sagadang-gadang oela

Oela a nan gadang

            Dj. Oelandoe

                                    Sebesar-besar ular

                                    Ular apa yang paling besar

                                                Jawab: Ulanda (Belanda)

Dilihat secara sepintas lalu, teka-teki di atas kedengarannya “lunak”. “Sampiran” dalam teka-teki pertama, kedengarannya wajar sekali. “Kuman (bakteri) apa yang paling besar”. Pertanyaan ini terlihat sangat wajar dan biasa. Namun bila dialisis dengan lebih saksama, sampiran itu sesungguhnya sudah langsung memuat pandangan yang “tajam”. “Kuman” dalam bahasa Minangkabau berarti dua; pertama, bakteri (bibit) penyakit dalam artian yang sesungguhnya; kedua, sesuatu yang tidak disukai atau membawa petaka. Seseorang yang kehadiran atau keberadaannya membawa kesusahan atau kekacauan di tengah masyarakat sering disebut sebagai “kuman”.

“Kumandoewe” atau mandor adalah sosok yang merupakan perpanjangan tangan aparat kolonial dalam menjalankan berbagai kebijakan politik dan ekonominya. “Kumandoewe” atau mandor adalah salah satu sosok yang paling bertanggungjawab atas pelaksanaan rodi atau tanam paksa kopi. Dialah yang menjemput, mengawasi, bahkan menghukum para pekerja paksa (rodi) atau rakyat (petani) yang terlibat dalam pelaksanaan tanam paksa kopi. “Kumandoewe”atau mandor sangat ditakuti dan sekaligus dibenci, sehingga dikatakan sebagai „kuman” yang paling besar.

Gejala yang sama juga terlihat dalam teka-teki kedua. Isi teka-teki kedua ini kedengarannya juga “lunak”. “Sampiran” yang disajikan juga wajar kedengarannya. Namun bila dianalisis, terlihat betapa “tajamnya” pesan yang disampaikan teka teki ini. Pertanyaan tentang ular kedengarannya biasa saja, tentang sejenis makhluk melata yang tidak berbeda banyak dengan makhluk hidup yang lain. Namun, ular juga memiliki makna ganda dalam masyarakat Minangkabau. Di samping berarti makhluk hidup (melata) ular juga dimaknai sebagai sesuatu yang licik, penghianat, tidak bisa dipercaya, dlsbnya. Dalam jawaban terhadap teka-teki di atas, Belanda disamakan dengan ular.

Sama dengan pantun dan talibun, teka- teki sesungguhnya juga merupakan ekspresi perlawanan ketika orang Minangkabau/Sumatra Barat tidak mampu lagi melawan secara fisik. Teka-teki adalah bentuk perlawanan yang sekaligus upaya menghibur diri dari orang Minangkabau/Sumatra Barat. Dengan berteka-teki mereka masih bisa menertawakan aparat pemerintah kolonial khususnya dan orang Belanda pada umumnya.

IV

Bila dikaitkan dengan karakter orang Minangkabau, adanya peralihan perlawanan terhadap penguasa yang zalim (pemerintah kolonial), dari perlawanan secara fisik menjadi perlawanan lewat “seni bertutur”, bisa dikatakan bahwa orang Minangkabau memiliki karakter pantang menyerah dan mereka tidak akan berhenti melawan penindasan penguasa yang zalim. Dalam upaya menghadapi penguasa yang zalim itu, mereka rela mengganti strategi, walaupun strategi baru yang akan dipakai (dilihat dari kacamata sosial, politik atau agama) dinilai lebih rendah mutunya.

Pergantian pola perlawanan ini juga merefleksikan kecerdasan mereka dalam mencari strategi dan inovasi baru. Dengan strategi dan inovasi baru tersebut secara psikologis mereka menjadi tidak terbebani, perlawanan tetap dilanjukan, badan “selamat” dari pembalasan penguasa yang zalim, dan sekaligus bisa menghibur diri. Jadi dengan pola perlawanan “baru” ini, bagaikan pepatah, “sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.

Namun, menarik juga melihat realitas yang terjadi kemudian. Pantun, talibun, dan teka-teki – ternyata – tidak hanya bisa dimaknai sebagai ekspresi perlawanan terhadap kezaliman pemerintah kolonial, tetapi juga dilakukan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah bangsa sendiri. Ekspresi perlawanan tersebut bisa dilakukan dengan “memodifikasi” atau mengambil bentuk pantun, talibun, teka-teki “tempo doeloe” dan mengganti kata-katanya dengan kata-kata lain sehingga kandungannya jadi berubah (sesuai dengan kondisi “kini”), atau dengan membuat pantun, talibun, dan teka-teki yang baru sama sekali. Walaupun demikian, konteks pembicaraan atau realitas yang disajikan tidak lagi semata mengenai perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Minangkabau/Sumatra Barat, tetapi telah meluas ke tingkat Indonesia. Sayangnya, ungkapan “seni” ini relatif belum terkumpul (belum dibukukan) dengan utuh.  Umumnya, pantun, talibun, dan teka-teki “baru” ini hanya berkembang secara lisan (atau melalui media sosial) di tengah masyarakat luas. Sehingga tidak ada referensi khusus yang bisa dijadikan rujukan.

Ada banyak contoh yang bisa disajikan dari “modifikasi” pantun, talibun, teka-teki ini. Salah satu pantun hasil “modifikasi” dari pantun pertama di atas adalah:

            “Dahulu rabab nan batangkai

Kini kopi dan babango

Dahulu untuak jadi pegawai utak nan dipakai

Kini pitih nan baguno”

                        Dahulu rebab yang bertangkai

                        Sekarang kopi yang berbunga

                        Dahulu untuk menjadi pegawai otak yang dipakai

                        Sekarang uang yang berguna

Beberapa kalimat dari talibun yang pernah didengar di Talu (Pasaman Barat) berbunyi.

‘…..

…..

Ganti zaman, ganti pamimpin

Ganti pamimpin ganti kuaso

Kuaso marubah apo nan lah dibuek

Maurak nan lah dijalankan

Kamajuan untuak rakyaik indak nampak

….

….

Alah limo pamarentahan bajalan

Alah banyak nan barubah

Nasib kami co iko juo

…..

…..”

Berganti zaman, berganti pemimpin

Berganti pemimpin berganti kekuasaan

Kekuasaan merubah apa yang telah dibuat

Mengganti yang telah dijalankan

Kemajuan untuk rakyat tidak kelihatan

….

…..

Telah ada lima pemerintahan

Telah banyak perubahan

Nasib kami seperti ini juga

….

….

Dibandingkan dengan pantun dan talibun, teki-teki mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat. Perubahan dan pertumbuhan yang pesat bisa dilihat dari jumlah dan pola penyampaian. Walaupun belum atau tidak ada yang menghitung serta menghimpun secara khusus, dipastikan ada ribuan teka-teki yang “sarat makna” atau berisikan pesan perlawanan ini (namun sekaligus memiliki unsur menghibur).

Beberapa contoh teka-teki yang termasuk kategori “kontemporer” ini ditampilkan dalam bentuk akronim. Misalnya, pada tahun-tahun terakhir Orde Baru, sebagai kritik terhadap pemerintahan Presiden Soeharto, muncul misalnya teka-teki “apa kepanjangan BATAM?”. Jawabnya, “Bila Ada Tutut, Anda Minggir”. Teka-teki ini adalah ekspresi perlawanan terhadap dominasi keluarga Soeharto dalam bisnis (proyek pembangunan) di Indonesia saat itu. Bila ada sebuah bisnis atau proyek pembangunan yang akan dikerjakan, dan ketika pekerjaan (proyek) itu akan ditenderkan, maka bila ada perusahaan Tutut Soeharto yang ikut pelelangan proyek tersebut, maka perusahaan lain dipastikan akan kalah (sehingga sebaiknya mereka mundur saja).

Di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, di kalangan “lawan-lawan politiknya”, muncul teka-teki “apa kepanjangan SBY?” Jawabnya, “Suka Bencana Ya”. Teka-teki ini muncul atau dimunculkan, karena kebetulan (atau tidak) sejak tampilnya SBY ke tampuk pemerintah RI bencana memang silih berganti melanda negeri ini, apa banjir, gempa bumi, kekeringan, hingga kegaduhan/perkelahian antar kelompok masyarakat atau antar-aparat keamaman, dan masih banyam bencana lainnya.

Terlepas dari perkembangan yang terakhir, pantun, talibun, dan teka-teki adalah media yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai kelompok masyarakat yang sedang terjepit untuk mengaktualkan diri mereka, atau bahkan untuk melakukan perlawanan. Karena pantun, talibun, dan teka-teki adalah juga produk kebudayaan, dan kebudayaan akan senantiasa tumbuh dan berkembang, maka pantun, talibun, serta teka-teki akan terus berubah dan berkembang. Perubahan dan perkembangan ini akan semakin cepat seiring dengan cepatnya perubahan zaman.

Semua kita telah ikut-serta dalam perubahan itu dan telah ikut pula membuat pantun, talibun, teka-teki, atau karya-karya “seni” lain yang berekspresikan perlawanan. Bukankah melawan terhadap kezaliman dan penzaliman adalah sebuah kewajiban?

Daftar Kepustakaan

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784 – 1847. London: Curzon Press, 1983.

Goud, J.W., „Sumatra-America’s Pepperpot 1784-1873“ EIHC, xcii., 1956.

Graves, Elizabeth E., “The Ever Victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia Solved Their ‘Colonial Question’”. Ph. D. Disssertation, Univ. of Wisconsin, 1971.

Kraus, Werner, Zwischen Reform und Rebellion: Ueber die Entwickelung des Islams in Minangkabau (West Sumatra) Zwischen den Beiden Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908): Ein Beitrag zur Geschichte der Islamisierung Indonesiens. Wiesbaden: Frans Steiner Verslag, 1984.

Mardjani Martamin et al., Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatera Barat. Jakarta: PIDSN, Dirjen Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud, 1982.

Mestika Zed, “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Ekonomi Kolonial di Sumatera Barat 1847-1908”, Tesis M.A., Univ. Indonesia, 1983.

Mohammad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837). Djakarta: Djambatan, 1954.

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Veth, P.J., Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-1. Leiden: E.J. Brill, 1881.

Veth, P.J., Midden Sumatra Expeditie Jilid III-I-2. Leiden: E.J. Brill, 1881.