Perang Padri adalah perang antara dua pihak yang sama-sama ingin mengalahkan lawannya. Ambisi untuk mengalahkan lawan menyebabkan kedua belah pihak menggunakan semua cara agar tujuannya tercapai. Karena itu, kitab-kitab sejarah mengenai Perang Padri umumnya diisi oleh narasi tentang berbagai taktik dan strategi perang yang dilakukan kedua belah pihak. Menariknya, narasi yang disajikan umumnya berisikan tindak kekerasan, yang diselingi oleh beberapa kisah perundingan (yang sesungguhnya hanya berupa taktik yang licik dan busuk, karena hasil perundingan itu dengan segera akan diingkari). Kalaupun ada sejumlah karya yang narasinya menyimpang dari kecendrungan ini, maka jumlahnya sangat sedikit dan baru muncul beberapa waktu belakangan. Karya-karya yang disebut terakhir ini juga cenderung melihat Perang Padri dari perspektif makro, bukan mengambarkan dunia keseharian para pelakunya. Padahal, sebagai manusia, para aktor Perang Padri pasti juga melakukan aktivitas yang jauh dari watak perang yang keras dan kasar, membunuh atau dibunuh. Mereka pasti juga melakukan sejumlah tradisi atau ritual atau kebiasaan yang sangat manusiawi, serta sarat dengan nilai budaya atau nilai relijius yang halus.
Tulisan ini mencoba mengungkapkan aktivitas-aktivitas non-senjata para pelaku Perang Padri. Aktivitas yang dimaksud adalah jamuan makan, perayaan-perayaan hari besar keagamaan atau syukuran atas nikmat atau keberuntungan yang diperoleh, serta perayaan yang dikaitkan dengan tradisi atau adat-budaya masing-masing pihak. Karena itu beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah bentuk jamuan, perayaan dan pesta yang diadakan pada masa Perang Padri? Bagaimana pelaksanaannya? Apa menunya? Bagaimana pula respon dari pihak-pihak yang berperang terhadap pelaksanaan berbagai acara tersebut?
Bahan utama untuk penulisan artikel ini diambilkan dari catatan atau tulisan pelaku sejarah serta sumber-sumber sezaman lainnya.
II
Jamuan, perayaan, dan pesta dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam Perang Padri. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan nyaris sepanjang masa perang dan dilakukan di semua daerah di mana perang berlangsung.
Bila dicermati dengan saksama, maka berbagai acara yang diselenggarakan di atas bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori: pertama, acara yang berkaitan dengan adat dan tradisi (budaya daerah/Minangkabau); kedua, acara yang berkaitan dengan adat dan tradisi (budaya penjajah); ketiga, acara yang berkaitan dengan ritual keagamaan (Islam). Kecuali untuk acara yang kedua, acara dalam kategori pertama dan ketiga sesungguhnya bisa dilakukan oleh kaum Padri atau orang Melayu (Minangkabau) antipadri.
Ada banyak acara yang dipraktikkan yang termasuk kelompok pertama. Beberapa di antaranya adalah jamuan makan, syukuran atas kesuksesan suatu kegiatan, syukuran melepas niat, baralek atau kenduri kawin, memancang atau mendirikan gelanggang, dlsbnya. Acara yang termasuk ke dalam kelompok kedua adalah pesta dalam rangka perkenalan dan perpisahan dengan pejabat lama/baru, pesta atau perayaan ‘hari besar kebangsaan’, jamuan menghormati tamu, dlsbnya. Sedangkan acara yang termasuk kelompok ketiga antara lain perayaan hari besar keagamaan yang ditradiisikan di daerah ini.
Jamuan makan adalah acara yang paling lazim dilakukan Urang Awak. Namun, dari sumber-sumber yang tersedia, acara ini paling sering disebut dalam sumber yang berasal dari kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol misalnya berkali-kali menyebut bahwa dia diajak makan terlebih dahulu oleh berbagai pihak dalam berbagai kesempatan dan di berbagai tempat bila dia melakukan kunjungan atau mendatangi seseorang/sekelompok orang untuk urusan tertentu. Pengalaman yang sama juga dialami oleh Sutan Chaniago dan juga Sutan Pakih Saidi anak Tuanku Imam Bonjol dan beberapa tuanku atau tokoh Padri lainnya. Ada belasan, kalau tidak puluhan kali acara jamuan makan ini disajikan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Dalam konteks ini, jamuan makan adalah perwujudan ungkapan ‘barundiang sasudah makan’ yang telah menjadi aturan main dalam praktik sosial Urang Awak.
Walaupun inti dari jamuan adalah makan nasi dengan gulai dan sambal (makan langkok), Imam Bonjol juga menyebut bahwa acara jamuan kadang-kadang ‘hanya’ diisi dengan minum kopi. Minum kopi berarti tamu yang baru datang disuguhi minuman kopi yang ditemani dengan beberapa juadah oleh tuan rumah.
Acara selanjutnya adalah syukuran atas kesuksesan suatu kegiatan. Acara ini juga banyak ditemukan, baik dalam sumber-sumber yang dibuatkan oleh kaum Padri atau yang ditulis orang Belanda. Naskah Tuanku Imam Bonjol berkali-kali menyebut diadakannya syukuran atas keberhasilan kampanye kaum Padri. Syukuran biasanya diadakan segera setelah sebuah kampung atau nagari dikalahkan serta menyatakan akan melaksanakan agama Allah dan Rasulullah dengan sungguh-sungguh. Di samping memanjatkan doa syukur kepada Allah yang telah memberkati usaha kam Padri dan janji untuk menjalankan agama Islam, melengkapi struktur sosial nagari dengan menambahkan pranata-pranata islami, acara syukuran juga diisi dengan makan-makan. Penanggung jawab acara adalah penghulu atau pemimpin tertinggi di kampung yang bersangkutan. Tiga dari sekian banyak acara ini adalah syukuran yang diselenggarakan oleh para penghulu Lubuk Sikaping, dan oleh Yang Dipertuan di Lubuk Layang, Padang Matinggi, serta pemuka masyarakat Kabun di Rokan Hulu.
Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir juga mengisahkan syukuran yang diadakan oleh sejumlah nagari, salah satu diantaranya adalah Nagari Air Terbit, segera setelah warga nagari tersebut berikrar untuk betul-betul menjalankan agama Allah. Fakih Saghir menyebut acara syukuran itu dengan nama ‘alas tobat’.
Syukuran atas kesuksesan dalam perang juga dilaksanakan oleh kelompok antipadri (dan pro-Belanda). Sebagaimana dikisahkan Boelhouwer, dalam rangka ‘mensyukuri’ kemenangan pasukan Belanda mengganyang Padri di Ujung Rajo di Pasaman (markas Peto Magek, seorang saudagar dan tokoh Padri terkemuka), maka Tuanku Pakandangan dan sejumlah penghulu dari nagari itu mengadakan pesta. Mereka ‘mensyukuri’ kemenangan tersebut, karena mereka juga ikut-serta dalam pasukan Belanda memerangi kaum Padri. Karena acara tersebut dikaitkan dengan kemenangan pasukan Belanda maka pembuat acara meminjam bendera Belanda untuk dikibarkan selama acara berlangsung. Bendera Belanda dikibarkan pada sebuah bukit yang sebelumnya dikuasai kaum Padri.
Acara diadakan di lapangan di pusat nagari, dekat mesjid dan tidak jauh dari pasar. Lapangan tempat acara diadakan dipasangi kain linen. Untuk Boelhouwer dan petinggi nagari (saudara tuanku yang berperan sebagai wakil beliau) disediakan kursi khusus. Sedangkan untuk undangan yang hadir dibentangkan tikar yang bersih.
Boelhouwer menyebut bahwa acara yang diadakan pada malam hari itu adalah sebuah pesta yang meriah dan besar. Tuanku utama dan warga nagari setempatnya nampaknya senang dengan kegiatan itu. Penghulu-penghulu dari sejumlah nagari di sekitar Pakandangan juga hadir. Diperkirakan acara dihadiri oleh sekitar 600 orang banyaknya. Makanan disajikan dalam piring di atas tikar dihadapan para undangan sangat banyak. Di samping nasi ada gulai dan juadah lainnya.
Makanan itu dibawa oleh para wanita warga kampung dalam jamba. Para wanita juga menghibur para tamu yang sedang makan dengan mendendangkan lagu dari dalam mesjid. Para hadirin mengenakan pakaian yang rancak dan mewah.
Ada sejumlah pesta atau perayaan lain yang dilakukan oleh kelompok antipadri atau pendukung kolonialis Belanda. Salah satu acara yang dimaksud, sebagaimana diceritakan oleh Nahuijs, adalah pesta perayaan ulang tahun raja yang dilakukan di Tanah Datar. Perayaan ini diisi dengan sejumlah acara kesenian (seni tradisi), seperti pacu kerbau dan tari kuda, serta keramaian anak nagari lainnya. Perayaan ini dselenggarakan oleh pemimpin masyarakat setempat, serta didukung oleh pejabat Belanda yang ditempatkan di sana.
Kegiatan lain yang dilakukan oleh Urang Awak, terutama di kawasan yang dikuasai oleh pemerintah Belanda adalah alek kawin. Ada beberapa pesta perkawinan yang disebut dalam buku atau tulisan selama Perang Padri. Beberapa di antaranya adalah pesta perkawinan yang diadakan di Pariaman, Tiku dan Tanah Datar. Diceritakan, pesta diadakan dengan meriah, ada keramaian dan diselang-selingi oleh bunyi-bunyian (yang berasal dari tembakan senjata).
Untuk sekedar penyelenggaraan acara helat kawin, nampaknya pejabat Belanda yang berkuasa di daerah, di mana pesta diadakan, selalu memberi izin. Namun, penggunaan senapan untuk menghasilkan bunyi-bunyian kemudian dilarang. Larangan ini akan semakin keras bila di daerah pesta masih ada kelompok kaum Padri. Bahkan pernah pesta perkawinan dibubarkan oleh tentara karena ditengarai yang punya helat dan yang meletuskan senapan adalah pengikut Padri.
Perayaan lain yang juga lazim diadakan pada masa Perang Padri adalah memancang atau mendirikan gelanggang. Ada dua acara dalam bentuk ini yang disajikan dalam sumber yang berasal dari kalangan Padri. Pertama mendirikan gelanggang dalam rangka pelewaan atau penobatan penghulu, dan kedua mendirikan gelanggang sebagai bagian dari tradisi lama yang diamalkan oleh para penghulu dan warga nagari yang antipadri.
Naskah Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa warga Bonjol pernah mendirikan gelanggang untuk melewakan naik nobatnya Basa Datuak Bandaro nan mudo. Dikatakan gelanggang diadakan selama dua minggu dan dihadiri oleh banyak undangan. Disebut juga, bahwa hampir semua warga kampung terlibat dalam kegiatan itu. Walaupun tidak disebut dalam naskah, acara naik nobat ini diisi dengan berbagai acara (kesenian dan makan-minum).
Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir juga menyebut tentang ada kegiatan memancang gelanggang. Kegiatan memancang gelanggang yang dikisahkan oleh Fakih Saghir adalah acara yang sarat dengan ‘hiburan’, seperti adu ayam, berjudi, minum tuak, mengisap madat, yang mana kegiatan-kegiatan tersebut biasanya diakhiri dengan perkelahian. Penyelenggara kegiatan ini adalah kelompok antipadri, bahkan mereka mengadakan kegiatan ini dalam rangka ‘menantang’ kaum Padri, di antaranya di Bukit Betabuh, Parabek, dlsbnya.
Acara mendirikan gelanggang, baik yang diadakan oleh kaum Padri atau antipadri umumnya berakhir dengan perkelahian. Acara yang diadakan dalam rangka naik nobatnya Basa Datuak Bandaro nan mudo, serta mendirikan gelanggang di Bukit Betabuh dan Parabek sama-sama berakhir dengan adanya kericuhan. Gelanggang di Bonjol digaduh oleh kelompok antipadri yang memasang ranjau saat acara diadakan, sedangkan gelanggang yang diselenggarakan oleh kelompok antipadri berubah menjadi perang karena dihalangi atau ingin dibubarkan oleh kaum pembaharu (Tuanku Nan Tuo dan sejumlah tuanku lainnya).
Orang Belanda yang ada di Sumatra Barat juga menyelenggarakan sejumlah acara. Sebagian acara yang mereka adakan ‘ditempelkan’ pada kegiatan yang diselenggrakan oleh “Urang Awak”. Seperti yang disebut di atas, perayaan ulang tahun (raja), yang jelas-jelas kegiatan yang murni berasal dari tradisi Barat (orang Minang sebelumnya tidak mengenal tradisi merayakan hari lahir), diselenggarakan dengan melibatkan Urang Awak serta diisi dengan serangkaian acara ‘seni tradisi’ Minangkabau.
Acara lain yang khas Belanda adalah pesta perpisahan dengan pejabat yang mengakhiri masa tugasnya di daerah ini, serta acara perkenalan atau penyambutan pejabat baru yang akan memulai tugas. Di samping diisi dengan serangkaian pidato, acara pisah sambut ini biasanya juga diisi dengan makan-makan dan acara kesenian ala Barat, seperti pesta dansa.
Acara ala Barat, khususnya pesta dansa yang sifatnya insidentil, barangkali sekedar untuk refreshing bagi para perwira dan petinggi sipil dan militer yang tengah berperang, juga pernah diadakan. Residen Elout misalnya pernah mengadakan acara seperti ini pada bulan Januari 1833. Sang kolonel mengundang hampir semua petinggi sipil dan militer Belanda, baik ada di kota Padang atau yang bertugas di daerah, termasuk juga Sentot Ali Basha dan istri-istrinya (sekutu Belanda saat itu) untuk hadir dalam acara itu. Nmanya pesta dansa, maka dalam acara para hadirin diberi kesempatan untuk melantai (sampai pagi).
Acara perpisahan yang telah dibiasakan oleh orang Belanda tidak selalu diiringi oleh makan-makan dan pesta dansa. Hal ini misalnya terjadi bila acara perpisahan dilakukan secara mendadak dan di daerah. Hal ini dialami oleh Boelhouwer, yang acara perpisahannya dilaksanakan secara mendadak (karena persetujuan kepindahannya diizinkan saat Kolonel Elout singgah di Pariaman). Walaupun tidak diiringi oleh acara makan-makan dan pesta dansa, acara perpisahan ini diisi dengan berbagai sambutan, mulai dari sang residen serta para tokoh daerah. Pidato dan sambutan adalah ‘ritual’ khas acara perpisahan dengan pejabat yang akan mengakhiri tugas, atau pejabat yang akan memulai tugas.
Acara pisah sambut pejabat denga sejumlah pidato nampaknya diperkenalkan dan ditradisikan oleh kolonialis Belanda di daerah ini.
Satu lagi acara yang lazim diadakan pada masa Perang Padri adalah acara yang berhubungan dengan perayaan keagamaan. Salah satu acara yang termasuk kelompok ini dan disebut Tuanku Imam Bonjol adalah perayaan maulud. Tuanku Imam tidak memberikan banyak keterangan tentang jalannya acara maulud tersebut. Namun, ada penjelasan yang menarik, yakni perayaan diadakan di mesjid (Bonjol), dihadiri oleh kaum Padri dan non-padri, dan diakhiri dengan terjadinya perkelahian antara kedua kelompok. Dikatakan bahwa perkelahian terjadi ketika kaum antipadri mengingkari janji untuk sama-sama menegakkan agama Allah dan Rasulullah serta meninggalkan kebiasaan jahiliah.
Tidak ditemukan informasi lain mengenai pelaksanaan acara-acara lain yang berhubungan dengan ritual keagamaan untuk masa itu.
Informasi lain yang ditemukan dari pelaksanaan berbagai acara dalam bentukan jamuan, syukuran, perayaaan, dlsbnya itu adalah menu (makanan) yang disajikan. Salah satu menu makanan yang paling sering disebut adalah olahan daging kerbau. Tidak disebutkan dengan jelas apa jenis menunya, yang jelas menu tersebut terbuat dari daging kerbau. Namun diduga menu yang disajikan adalah gulai, karena Boelhouwer misalnya menyebut salah satu makanan yang disajikan terbuat dari daging kerbau yang dipotong kecil-kecil.
Diinformasikan dengan tegas dalam berbagai sumber bahwa ada banyak kerbau yang dibantai setiap kali diadakan acara. Pemotongan dua ekor kerbau nampaknya sudah sangat lazim dalam setiap kegiatan. Untuk acara yang lebih besar, pernah dibantai sembilan ekor kerbau. Memotong kerbau dan menyajikan menu dari daging kerbau adalah tuah atau prestise bagi yang punya acara.
Di samping daging kerbau, orang Minang juga lazim mengkonsumsi daging sapi dan kuda. Nahuijs menyebut dalam tulisannya tentang kebiasaan orang Minang memakan daging sapi dan kuda ini.
Sayangnya sumber-sumber dari tangan Belanda tidak banyak bercerita tentang menu yang disajikan dalam berbagai acara yang mereka adakan. Namun Tuanku Imam Bonjol pernah menyebut bahwa ketika dia bertemu dengan Elout di Bonjol dia disuguhi roti dan juadah (tanpa merinci jenisnya). Boelhouwer menyebut bahwa di samping makan roti dan nasi, orang Belanda di Sumatra Barat masa Perang Padri juga suka mengkonsumsi minuman keras (grog). Sedangkan dalam laporan tahunannya Stuers juga menulis bahwa genever adalah salah satu minuman yang banyak didatangkan (impor) ke Sumatra Barat pada tahun-tahun 1820-an.
Seperti yang disebut di atas, minuman yang lazim dikonsumsi Urang Awak adalah kopi. Sayangnya tidak ada sumber yang menegaskan, apakah kopi yang dimaksud adalah kopi daun (kahwa) atau kopi bubuk. Namun, mengingat tradisi minum kopi orang Minang saat itu, maka kemungkinan kopi yang diminum adalah kopi daun (kahwa). Di samping itu, karena yang berkuasa adalah kaum Padri, kemungkinan besar kopi yang diminum adalah memang kopi daun (kahwa), sebab ada anggapan dikalangan fanatik Islam haram meminum kopi bubuk, karena ada efek ‘sensasi’nya.
Walaupun tidak banyak dikemukakan, dalam berbagai acara itu, makanan disajikan atau dihidangkan oleh kaum lelaki. Hanya pada acara tertentu, acara yang bersifat keluarga atau menjamu orang yang dianggap akrab (dekat) makanan kadang-kadang disajikan oleh perempuan.
Dikalangan orang Belanda, terutama pejabat yang bertugas di daerah, makanan kadang-kadang disajikan oleh ‘perempuan’ (‘istri’ sang pejabat). Sutan Caniago misalnya beberapa kali disuguhi makanan oleh ‘perempuannya’ Tuan Albacht sewaktu dia menghadap petinggi Belanda itu di Bukittinggi. Dari Naskah Tuanku Imam Bonjol diketahui bahwa ‘perempuan’nya Tuan Albacht adalah urang awak.
III
Di tengah kecamuk perang, kaum Padri, Urang Awak antipadri, dan juga orang Belanda masih sempat atau masih tetap menyelenggarakan sejumlah jamuan, perayaan, syukuran dan pesta. Namun bila dikaji dengan saksama, maka bisa ditarik sejumlah kesimpulan dari pelaksanaan berbagai acara tersebut.
Sebagian besar acara syukuran yang dilakukan oleh sejumlah kampung atau nagari yang baru saja dikalahkan kaum Padri dilaksanakan dengan keterpaksaan. Ada kesan bahwa para tuanku Padri meminta pemimpin kampung atau nagari yang dikalahkan untuk mengadakan acara tersebut. Seperti terlihat pada pelaksanaan syukuran di Lubuk Layang, ada kesan bahwa ‘meminta’ artinya ‘harus dilaksanakan’. Yang dipertuan di Lubuk Layang harus mengadakan acara itu. Bayangkan, dalam suasana kampung atau nagari baru kalah perang atau baru saja diserang, mereka harus pula menyelenggarakan acara syukuran. Acara yang diisi dengan makan-makan (menyembelih kerbau), di mana tentu mereka harus sibuk dengan persiapan acara (memasak nasi dan gulai serta juadah lain yang akan disajikan). Jelas acara ini memberatkan bagi mereka. Mereka terpaksa mengadakannya.
Acara syukuran atau perayaan yang dilaksanakan oleh Urang Awak antipadri nampaknya lebih murni berasal dari keinginan petinggi atau warga nagari. Mereka mengadakan acara karena ingin membuktikan kepada pejabat kolonial bahwa mereka dan warga nagarinya setia dan mendukung aksi serta kebijakan kolonialis. Para warga antipadri nampaknya lebih leluasa dan suka cita melaksanakan acara-acara tersebut. Nampaknya tidak ada paksaan dari pejabat Belanda agar mereka mengadakan acara itu, inisatif datang dari para pemimpin penduduk setempat. Mereka merasa enjoy mengadakan acara, karena imbalannya adalah nagari mereka terjaga dan terlindungi oleh kekuatan kolonialis (dari serangan Padri).
Kontrol penguasa terhadap pelaksanaan acara, seperti alek kawin dan pemancangan gelanggang mulai muncul pada masa Perang Padri. Pemerintah kolonial mulai mengontrol pelaksanaan alek kawin di wilayah-wilayah yang didukuki. Mereka memerintahkan agar penduduk yang akan mengadakan perayaan alek kawin minta izin terlebih dahulu. Aturan ini dikeluarkan karena sebelumnya acara alek kawin lazim diisi dengan bunyi-bunyian yang berasal dari letusan senapan. Pemerintah kolonial beralasan jangan ada penyusup yang meletuskan senapannya untuk merusak rust en orde.
Kaum Padri mulai mengontrol pemancangan gelanggang yang dilaksanakan oleh warga nagari, baik di daera yang dikuasainya atau di nagari-nagari non-Padri. Mereka meminta agar kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti adu ayam, judi, meminum tuak, mengisap madat tidak dilakukan. Bila pelaksana tetap mengadakan acara-acara ‘jahiliyah’ tersebut, maka kaum Padri tidak segan-segan membubarkan atau menyerang nagari pemilik gelanggang.
Pola-pola pelaksanaan acara seperti di atas (terpaksa karena tekanan penguasa atau untuk mengambil hati penguasa), serta kontrol atau berbagai aturan yang dikeluarkan dalam pelaksanaan berbagai oleh penguasa nampaknya menjadi bagian dari sejarah Perang Padri. Sayangnya aspek ini kurang dikaji selama ini. Mudah-mudahan setelah ini akan muncul kajian yang lebih serius dan komprehensif tentang aspek yang ‘non-fisik’ ini.
Kesimpulan terakhir, hadirnya menu yang terbuat dari daging dalam setiap acara menyiratkan bahwa Urang Awak adalah ‘pemakan daging’ dan secara ekonomi adalah warga yang makmur. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang diadakan pada tahun 1920-an yang mengatakan bahwa orang Minang adalah warga suku bangsa yang paling tinggi mengkonsumsi daging di antara warga seluruh suku bangsa di Hindia Belanda dan ekonomi mereka relatif lebih baik. Bagaimana keadaannya dewasa ini? Wallahu a’lam bissawab.
Sumber:
ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827.
Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.
Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.
Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.
Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.
Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).
Ditulis oleh Gusti Asnan