Orang Tionghoa di Sumatra Barat Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti yang besar dalam proses penganekaragaman penduduk Sumatra Barat. Untuk mendukung aksi militernya, pemerintah Belanda membawa tentara reguler dan tentara bantuan (hulptropen), yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa ke Sumatra Barat. Selain bangsa Belanda, dalam jajaran tentara reguler juga ada orang Perancis dan Jerman, serta orang India dan Tionghoa. Pada jajaran hulptropen ada orang Jawa, Madura, Bugis, Ambon, dan Gorontalo. Pada masa sebelum perang, sebagian besar dari orang-orang ini belum pernah hadir di Sumatra Barat. Kalau pun pernah datang, seperti Bugis, jumlahnya relatif terbatas.

Perang Padri, tidak saja tercatat sebagai iven historis yang menghadirkan keberagaman bangsa/etnik bagi Sumatra Barat, tetapi juga memberi kesempatan kepada ‘orang asing’ tersebut masuk ke daerah pedalaman. 

Memang benar, hingga meletusnya Perang Padri, daerah pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau) masih merupakan terra incognita (daerah yang belum dikenal) bagi ‘orang asing’, khususnya bagi orang Eropa. Hingga meletusnya Perang Padri hanya dua kali daerah pedalaman dikunjungi orang Eropa. Pertama Thomas Dias yang mendatangi daerah pedalaman Minangkabau dari pantai timur (1684) dan Thomas Stamford Raffles yang didampingi istri dan beberapa kawan Eropanya yang memasuki daerah pedalaman dari pantai barat (1818).

Perang Padri mengubah semua itu. ‘Orang asing’ yang masa-masa sebelumnya hanya tinggal dan beraktivitas di kawasan pantai, maka sejak meletusnya Perang Padri, mereka dengan mudah dan leluasa bisa masuk ke daerah pedalaman. ‘Orang asing’ yang masuk ke pedalaman itu tidak hanya dari kalangan tentara, tetapi juga masyarakat sipil yang aktivitasnya nyaris tidak berhubungan dengan kampanye militer. Salah satu kelompok masyarakat yang dimaksud adalah orang Tionghoa.

Keberadaan dan dinamika sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa Perang Padri relatif belum dikaji oleh sejarawan atau ilmuwan sosial lainnya selama ini. Karena itu, walaupun dalam lingkup yang relatif terbatas, tulisan ini akan mencoba mengungkapkannya. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Berapa jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat pada masa-masa awal Perang Padri dan di mana konsentrasi pemukiman mereka? Bagaimana peran sosial, politik dan ekonomi mereka pada masa Perang Padri? Bagaimana hubungan mereka dengan penguasa kolonial dan bagaimana pula respon Urang Awak terhadap peran sosial-ekonomi orang Tionghoa, terutama di daerah pedalaman, selama Perang Padri?

II

Orang Tionghoa mulai hadir dan beraktivitas di Pantai Barat Sumatra sejak penghujung abad ke-16 dan mereka datang dari Banten. Kedatangan mereka tidak terlepas dari kegiatan perdagangan dan pela­yaran yang tengah tumbuh dan berkembang di kawasan barat Sumatra saat itu. Mereka datang untuk mencari lada dengan kapal-kapal mereka sendiri. Memasuki dekade ke-4 abad ke-17 mereka telah bermukim di kota Pariaman dan itu adalah pemukiman mereka yang pertama di kawasan ini. Pada perempat ketiga abad ke-17, ketika Belanda (VOC) menjadikan kota Padang sebagai pusat kegiatan politik dan ekonominya, orang Tionghoa juga menjadikan kota itu sebagai pusat pemukiman dan aktivitas niaga mereka. Pada abad ke-18 orang Tionghoa bisa ditemukan dan telah beraktivitas di banyak kota dagang Pantai Barat Sumatra.

Padang dan Pariaman adalah dua kota yang menjadi konsentrasi pemukiman dan aktivitas orang serta saudagar Tionghoa di Sumatra Barat.

Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang Tionghoa di Sumatra Barat sebelum masa Perang Padri. Namun sebagaimana disebut E. Francis, tahun 1683 di Padang telah disetujui pengangkatan Letnan Cina, dan E. Netscher menyebut bahwa tahun 1781 di Padang telah ada Kapten Cina yang bernama Louw Tjoanko. Adanya Letnan dan Kapten Cina menunjukan terdapatnya konsentrasi pemukim Tionghoa dalam jumlah yang banyak di kota itu.

Hierarki jabatan ‘kepala’ kelompok masyarakat (penduduk) pada masa penjajahan sekaligus menggambarkan jumlah kelompok masyarakat yang bersangkutan. Penambahan jumlah penduduk senantiasa diikuti oleh pengangkatan ‘kepala’ yang baru serta pengakuan ‘kepala’ yang baru tersebut oleh pemerintah. Ketika jumlahnya relatif sedikit, pemerintah menetapkan (mengakui) jabatan ‘kepala’ cukup setingkat Letnan, namun ketika jumlah mereka semakin bertambah, ‘kepala’nya ditingkatkan menjadi Kapten. Bila jumlah semakin bertambah maka diangkat Mayor. Hingga akhir abad ke-18 jabatan ‘kepala’ tertinggi orang Tionghoa di Padang hanya setingkat Kapten (jabatan Mayor dicapai pada parohan kedua abad ke-19).

Tidak hanya jumlahnya yang banyak, orang Tionghoa juga memiliki peran sosial, ekonomi dan politik yang relatif besar. Dalam politik kolonialnya, Belanda menempatkan orang Tionghoa pada posisi kedua dalam struktur masyarakat tanah jajahannya. Posisi ini terlihat jelas dalam tata kota Padang. Pemukiman orang Tionghoa berada pada ‘lapisan kedua’ dalam tata ruang kota. Maksudnya, pemukiman orang Tionghoa berbatasan langsung dengan pemukiman orang Belanda (Eropa) yang berada di pusat kota.

Orang Tionghoa di Padang dan Pariaman khususnya aktif dalam dunia niaga, dan mereka menjadi mitra bisnis utama VOC. Di Padang mereka berperan sebagai pemegang hak penarikan pajak pelabuhan, dan perdagangan beberapa komoditas niaga. Hak ini didapat dengan cara memenangkan lelang yang dilakukan kompeni.

Orang Tionghoa di Padang juga memiliki peran politik yang kuat. Salah satu peran politik yang mereka mainkan dicatat oleh Netscher. Pada saat Padang akan diserang Inggris (1781), Kapten Cina mengirim surat kepada Gubernur Jendral di Batavia yang isinya meminta Gubernur Jendral agar mengirim sebuah kapal ke Padang untuk membawa warga Eropa dan Tionghoa Padang ke Batavia. Sayangnya, Batavia tidak bisa memenuhi permintaan itu, sehingga orang Eropa dan Tionghoa Padang beserta semua warga kota lainnya takluk pada Inggris. Peran politik yang mereka mainkan juga terlihat saat mana mereka bersama-sama dengan orang Eropa berupaya sekuat tenaga mempertahankan (membela) Padang dari serangan Inggris.

Pada masa pemerintahan pendudukan Inggris (1781) hingga berkuasanya Belanda kembali tahun 1819 orang Tionghoa Padang relatif tidak punya peran sosial, politik, dan ekonomi yang penting. Bahkan ketika François Le Mėme, bajak laut Perancis menguasai Padang untuk beberapa hari, orang Tionghoa termasuk kelompok masyarakat yang mendapat perlakuan buruk. Harta kekayaan mereka sebanyak 25.000 rijksdaalders (ringgit) dikuras habis dan banyak dari mereka melarikan diri ke arah mudik (pedalaman). Rumah-rumah yang ditinggalkan banyak yang dibakar. Bahkan ada dari mereka yang dibunuh, salah seorang di antaranya adalah ‘pembantu’ Kapten Cina yang digantung di pintu rumah sang Kapten.

III

Seiring dengan berkuasanya Belanda kembali (1819) muncul pula informasi tentang keberadaan orang Tionghoa di Padang khususnya dan Sumatra Barat pada umumnya. Saat itu mulai ada data tentang jumlah mereka. Stuers menyebut bahwa hari-hari pertama berkuasanya Belanda, jumlah orang Tionghoa di Padang sebanyak 200 orang. Sebagai perbandingan, jumlah orang Eropa sebanyak 150 orang (yang terdiri pegawai dan tentara Belanda serta mantan pegawai VOC, orang Inggris, dan ‘orang Indo’ hasil perkawinan perempuan bumiputera dengan orang Eropa), 200 orang India (Bengalezen), 7.000 orang Melayu (Minangkabau) dan 1.500 orang Nias.

Disebutkan juga bahwa pemukiman orang Tionghoa berada di pinggir sungai (Batang Arau) dan dekat dengan rumah atau gedung-gedung utama pemerintah. Orang Tionghoa di Padang memiliki rumah dan tanah yang luas. Rumah mereka umumnya ‘sederhana’. ‘Sederhana’nya rumah mereka adalah sebuah realitas daerah. Seperti disebut Nahuijs, pada saat dia berkunjung ke Padang (1824) tidak satu pun rumah yang bagus di kota itu. Jangankan rumah penduduk biasa, rumah dan kantor milik pemerintah saja berada dalam ‘kondisi yang menyedihkan’.

Sejak hadir pertama kali di kota Padang pada pertengahan abad ke-17, orang Tionghoa telah ‘mendapat’ tanah, di mana rumah mereka dibangun. Tanah-tanah tersebut umumnya mereka dapatkan dari ‘Panglima Padang’ (Urang Kaya Kecil). Sayangnya, seperti disebut Kielstra, tanah-tanah tersebut dikatakan tidak tercatat (teregister). Bukti yang dimiliki pemiliknya hanya berupa ‘surat jual beli’ dengan pemilik lama. Walaupun demikian, hampir semua tanah tersebut mendapat pengakuan dari pemerintah. Karena itulah, ketika  pajak bangunan diperkenalkan, rumah-rumah milik orang Tionghoa ini termasuk salah satu ‘objek pajak’ yang memberikan pemasukan cukup besar bagi pemerintah. Itu pulalah sebabnya, orang Tionghoa termasuk satu kelompok masyarakat yang relatif awal kena pajak di Sumatra Barat. Karena berada di pusat pemerintahan, mereka dapat dikatakan tidak bisa berkelit untuk tidak membayar pajak.

Di Padang ada sebuah Sekolah Melayu yang didirikan oleh seorang pendeta dari Ordo Lancaster berkebangsaan Inggris. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk menampung (mendidik) anak-anak Melayu, ‘anak Indo’, dan anak-anak Tionghoa. Dilaporkan bahwa yang rajin bersekolah adalah anak-anak Tionghoa, sedangkan anak-anak Melayu dan anak-anak Indo ‘tidak serius’. Secara pendidikan, anak-anak orang Tionghoa dikatakan jauh lebih hebat daripada ‘anak-anak Kristen’ (anak-anak Indo) dan anak-anak Melayu.

Nahuijs yang dalam bukunya mengungkapkan tata kota, lingkungan sosial serta dunia niaga dan politik kota Padang tahun 1824 menyebut adanya sejumlah saudagar Tionghoa di kota itu. Nahuijs menyebut bahwa mereka menjadi pachter candu serta aktif dalam dunia niaga pantai Barat, termasuk perniagaan dengan Batavia. Di samping aktif berdagang, Kielstra juga menyebut bahwa orang Tionghoa juga dipercaya pemerintah untuk menarik pajak (bangunan), dan pajak pasar, pajak sarang burung, dan bea pelabuhan. Salah satu saudagar besar Tionghoa di Padang saat itu dan sekaligus menjabat Kapten Cina adalah Lau Tiang King.

Pedagang Tionghoa memegang peranan yang penting dalam dunia niaga Pantai Barat saat itu. Pentingnya peran mereka sangat terlihat dalam perdagangan antarkota pantai, antara kota-kota pantai dengan pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Banyak, Pulau Batu, dan Nias), serta antara Padang dengan Batavia. Dilaporkan juga, walau pun tidak dilakukan secara reguler, mereka juga menjalin kontak dagang dengan Tanah Semenanjung (Pulau Penang). Peran ini bisa mereka lakoni karena mereka memiliki armada niaga (kapal dagang) yang bisa digunakan untuk pelayaran jarak jauh. Regeering Almanaak 1831, 1832, 1833 menginformasikan sejumlah saudagar Tionghoa sebagai pemilik kapal dagang yang ada di kota Padang. Sumber yang sama juga menginformasikan nama-nama kapal serta tonase kapal tersebut. Beberapa di antara pemilik kapal itu adalah Lim Piet dengan kapal jenis wankang bernama ‘Kim Banan’ dengan tonase 35 ton, Lim Tjioen dengan kapal jenis wankang bernama ‘Sen Singhang’ dengan tonase 128 ton, Kim Wattjouw dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Bin’ dengan tonase 30 ton, dan Kim Phokthaij dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Leksoeli’ dengan tonase 14 ton.

Di samping itu, laporan tahunan yang dibuat Stuers, serta tulisan-tulisan tentang Sumatra Barat pada masa Perang Padri juga menyebut adanya sejumlah perahu yang dimiliki orang Tionghoa di daerah ini. Perahu-perahu yang relatif kecil ini umumnya berlayar (berdagang) ke sejumlah negeri di utara Padang (Pariaman, Tiku, Katiagan, dan Air Bangis) dan ke sejumlah negeri di selatan Padang, seperti Salido, Pulau Cingkuak, Air Haji dan Indrapura. Kapal-kapal ini juga digunakan untuk berniaga ke pulau-pulau di lepas pantai (Kepulauan Mentawai, Pulau Banyak, Pulau Batu, dan Pulau Nias).

Kesempatan menjadi penarik pajak pasar adalah momen historis yang sangat penting artinya bagi perluasan wilayah pengaruh (aktivitas) orang Tionghoa di Sumatra Barat. Menjadi penarik pajak pasar memberi kesempatan bagi orang Tionghoa untuk masuk ke daerah pedalaman. Hal ini disebabkan karena umumnya pasar-pasar yang akan dipajaki berada di daerah pedalaman. Sebagai telah disebut di atas, daerah pedalaman adalah daerah yang sebelumnya nyaris tidak pernah didatangi oleh orang Tionghoa pada masa sebelum Perang Padri.

Masuknya orang Tionghoa ke daerah pedalaman tidak hanya dilakoni oleh kalangan sipil (para penarik pajak), tetapi juga oleh kalangan militer. Boelhouwer menyebut bahwa ada sejumlah opsir Tionghoa dalam pasukan tentara Belanda yang ikut bertempur melawan kaum Padri di darek. Informasi Boelhouwer ini sangat penting artinya, karena setakat ini, hampir tidak ada tulisan yang mengungkapkan keterlibatan orang Tionghoa dalam kesatuan militer Belanda pada masa Perang Padri.

Di samping adanya sejumlah opsir yang menandai ikut-sertanya orang Tionghoa dalam aksi militer melawan kaum Padri, sesungguhnya pada saat itu juga ada sejumlah orang Tionghoa yang terlibat dalam korp keamanan. Sejak awal kekuasaannya, Belanda yang kekurangan sumber daya manusia dalam sektor keamanan warga (daerah) senantiasa berusaha melibat warga untuk ikut-serta menciptakan rust en orde (ketertiban dan keamanan). Pada awal tahun 1820-an misalnya orang Tionghoa dilibatkan dalam Burgerwacht (Satuan Pengamanan Kota). Pada tahun 1833 orang Tionghoa diikutsertakan dalam Korp Pengaman Kota yang dinamakan ‘Korp Cina’. Kesatuan ini terdiri dari sejumlah warga Tionghoa yang berbadan tegap (sehat) di bawah komando pimpinannya dan dengan senjatanya sendiri bertugas untuk menjaga ketertiban, mencegah kerusuhan (mendamaikan orang yang berkelahi), mencegah kebakaran atau ikut-serta memadamkan kebakaran, menjaga dan mengamankan kampung atau daerah tempat tinggal mereka. Mereka juga dibebani tugas mengamankan berbagai acara kegiatan sosial-keagamaan orang Tionghoa di Padang.

Altar Klenteng Tionghoa di Padang Akhir Abad ke-19

(Sumber: KITLV 3393)

Seperti disebut di atas, pimpinan tertinggi orang Tionghoa di Padang masa Perang Padri adalah setingkat Kapten (tidak berbeda dari kondisi terakhir era VOC). Salah satu Kapten Cina yang populer dan dekat hubungannya dengan pejabat Belanda saat itu adalah Lau Tiang King. Sang Kapten sering diundang dan ikut-serta dalam berbagai acara yang diadakan pejabat Belanda (Residen) di kota Padang.

Tidak hanya menjalin hubungan yang dekat dengan pejabat sipil atau militer Belanda, orang Tionghoa di Padang juga berhubungan akrab dengan NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij). NHM adalah sebuah perusahaan dagang Belanda yang didukung serta diberi banyak kemudahan oleh pemerintah dalam menjalankan bisnisnya. Beberapa tahun setelah perusahaan itu membuka keagenannya di Padang (1826), perusahan itu telah langsung akrab dengan saudagar Tionghoa dan menjadikannya sebagai salah satu mitra bisnisnya. Barang-barang yang didatangkan NHM dibeli dan kemudian didistribusikan oleh saudagar Tionghoa atau sebaliknya, sebagian barang yang akan dikirim keluar oleh NHM, didapatkan dari saudagar Tionghoa. Pada perkembangan selanjutnya, sejumlah saudagar Tionghoa juga tercatat sebagai ‘nasabah’ perusahaan itu, terutama sekali setelah perusahaan tersebut juga berperan sebagai lembaga perbankan. Mereka diberi modal (pinjaman) oleh NHM, namun sayangnya, banyak dari mereka yang gagal membayar hutang sehingga menyulitkan operasional NHM di kawasan tersebut.

Seperti telah disebut sebelumnya, orang Tionghoa tidak hanya bermukim dan beraktivitas di kota Padang. Mereka juga bermukim dan beraktivitas di Pariaman. Boelhouwer menyebut bahwa ada Kampung Cina di Pariaman, dan mereka adalah orang-orang yang rajin. Walaupun tidak disebutkan secara tegas tentang peran yang mereka mainkan, dari aktivitas yang dilakukan, misalnya “menjemur kopi di atas tikar di halaman rumahnya agar cepat kering” bisa dikatakan mereka adalah saudagar (pengumpul) kopi.

Tidak diketahui berapa jumlah orang Tionghoa di kota yang terletak di bagian utara Padang tersebut. Namun pada tahun 1836 dikatakan di sana adalah Letnan Cina.

Satu lagi informasi mengenai orang Tionghoa di Padang atau di Pariaman adalah mengenai kedekatan mereka dengan orang Nias. Stuers mengatakan bahwa sejumlah saudagar Tionghoa memiliki budak orang Nias. Sedangkan salah satu laporan pejabat NHM menyebut bahwa ada sejumlah orang Tionghoa yang memperistri orang Nias.

IV

Ada perbedaan respon yang berbeda antara orang Minang yang bermukim di daerah pesisir (Padang dan Pariaman) dengan yang tinggal di pedalaman terhadap orang Tionghoa. Urang Awak yang tinggal di Padang dan Pariaman nampaknya tidak mempersoalkan keberadaan dan peran sosial, politik, dan ekonomi yang dimainkan orang Tionghoa. Bahkan mereka tidak mempedulikan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah kepada orang Tionghoa (menjadi pachter atau penarik pajak) atau menjadi penjual candu. Kontak dan interaksi yang sudah lama menyebabkan cairnya hubungan di antara mereka.

Relatif tidak adanya respon negatif orang Minang yang tinggal di Padang atau Pariaman terhadap orang Tionghoa juga disebabkan oleh kuatnya posisi sosial, politik, dan ekonomi orang Tionghoa di kota-kota tersebut. Persatuan di antara mereka juga sangat kuat. Dalam hal ini, keberadaan ‘Burgerwacht’ dan ‘Korp Cina’ sangat penting artinya. Satuan ini akan melindungi komunitas Tionghoa dari setiap gangguan yang dilakukan kelompok masyarakat lain. Hal lain yang membuat minimnya respon negatif orang Minang di Padang dan Pariaman terhadap orang Tionghoa adalah adanya keberpihakan pemerintah terhadap mereka. Pembukaan Raad van Justitie (Pengadilan) di Padang tahun 1833 antara lain ditujukan untuk memberikan keadilan (perlindungan hukum) kepada orang Tionghoa, India, dan Eropa yang ‘dizalimi’ secara pidana atau perdata.

Berbeda dengan daerah pantai, Urang Awak di pedalaman memberi respon yang negatif terhadap kehadiran orang Tionghoa di negeri mereka. Dilaporkan bahwa berkali-kali penarik pajak (pasar) Tionghoa diserang oleh warga pedalaman. Berkali-kali mereka diburu oleh warga pedalaman sehingga lari terbirit-birit menyelamatkan diri ke rumah penghulu yang juga menjadi kaki tangan Belanda. Ada juga laporan tentang orang Tionghoa (penarik pajak) yang disamun (dirampok) di daerah pedalaman.

Respon negatif orang Minang di daerah pedalaman bisa dilihat dari dua sisi. Pertama mereka menyerang orang Tionghoa karena mereka tidak setuju terhadap pajak yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Jadi, orang Tionghoa (pengumpul pajak Tionghoa) dalam hal ini hanya menjadi sasaran perlawanan terhadap kebijakan (pemerintah) Belanda semata. Dalam kasus ini, orang Tionghoa hanya menjadi tumbal kekesalan orang Minang terhadap pemerintah Belanda. Kedua, orang Minang memang tidak suka dengan orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda (menjadi penarik pajak) serta peran mereka sebagai penjual candu, suatu produk yang sangat ditentang oleh Padri. Karena ketidaksukaan itu mereka menyerang setiap orang Tionghoa penarik pajak atau yang mereka anggap sebagai wakil dari saudagar penjual candu.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, secara perlahan namun pasti, respon negatif tersebut mulai berkurang. Laporan pemerintah dan NHM mengatakan bahwa ada sejumlah pedagang pedalaman yang bekerja sama dengan saudagar Tionghoa di Padang. Mereka ‘mengambil barang’ pada saudagar Tionghoa di Padang dan menjual barang dagangan mereka kepada saudagar Tionghoa pula. Praktik ini semakin banyak terjadi pada tahun-tahun terakhir Perang Padri. Di Padang sendiri sejumlah saudagar Urang Awak bekerja sama dengan saudagar Tionghoa.

V

Perang Padri adalah salah iven historis terpenting dalam kaitannya dengan meluasnya sebaran pemukiman dan pengaruh jangkauan pengaruh sosial-ekonomi orang Tionghoa di Sumatra Barat.

Selepas Perang Padri, seiring dengan munculnya pusat-pusat administrasi dan ekonomi di daerah pedalaman, semakin banyak orang Tionghoa yang menetap dan beraktivitas di darek. Perluasan wilayah pemukiman dan aktivitas niaga mereka ini mulai terlihat dengan nyata sejak tahun 1860-an, yakni seiring dengan mulai suksesnya Tanam Paksa Kopi dan bangkitnya ekonomi daerah pedalaman. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa orang Tionghoa bisa ditemukan di hampir semua kota penting di daerah pedalaman (dan pantai).

Sebagaimana di Padang, di kota-kota di daerah pedalaman atau di kawasan pantai orang Tionghoa tinggal mengelompok, umumnya di pusat kota, serta dekat gedung atau bangunan penting pemerintah. Sebagian pusat pemukiman mereka tersebut dinamakan Urang Awak dengan Kampuang Cino.

Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tidak ditemukan adanya catatan sejarah berkenaan dengan respon negatif, berupa penyerangan fisik terhadap orang Tionghoa, seperti yang terjadi pada masa Perang Padri, yang dilakukan Urang Awak.

Gaduh terhadap orang Tionghoa muncul lagi tahun 1944, saat mana adanya pembunuhan terhadap sejumlah orang Tionghoa di Pariaman. Dikatakan bahwa pembunuhan tersebut berhubungan erat dengan ulah beberapa orang di antara mereka yang diketahui menjadi mata-mata Jepang. Kemarahan terhadap ulah mata-mata itulah yang menyebabkan munculnya amuk massa terhadap orangTionghoa. Pembunuhan dan amuk massa tersebut menyebabkan eksodusnya orang Tionghoa dari kota itu, khususnya ke kota Padang.

Peristiwa itu menyebar luas ke seluruh Sumatra Barat sehingga banyak pula orang Tionghoa yang bermukim di kota-kota yang lebih kecil di Sumatra Barat juga pindah ke kota yang lebih besar, seperti Bukittinggi dan Padang.

Kegaduhan politik tahun 1950-an, seperti PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indoensia) dan gonjang-ganjing politik tahun 1960-an adalah iven historis lain yang juga menyebabkan semakin ditinggalkannya kota-kota, terutama di daerah pedalaman, oleh orang Tionghoa. Di samping itu, semakin lesunya ekonomi daerah semenjak tahun 1950-an, adalah faktor penting lain yang menyebabkan semakin terkonsentrasinya orang Tionghoa di kota yang (masih) penting dalam aktivitas ekonomi, yakni Padang dan Bukittinggi. Untuk masa yang akan datang, wallahu’alam.

Namun, di tengah naik-turunnya hubungan orang Awak dengan orang Tionghoa, ada yang menarik dari jalinan interaksi mereka. Orang Minang termasuk salah satu suku bangsa di Indoensia yang bisa dikatakan memiliki jiwa dagang yang nyaris setara dengan orang Tionghoa. Di samping itu, orang Tionghoa menjadi ‘role model’ dari suatu aktivitas yang menjadi ciri khas Urang Awak, yakni suka merantau. Bahkan salah satu dari sekian banyak jenis merantau dikaitkan dengan orang Tionghoa, yakni marantau cino (merantau meninggalkan kampung untuk waktu yang lama atau bahkan tidak pulang lagi ke kampung halamannya). Tidak itu saja, tambo, historiografi tradisional Minangkabau, menyebut Urang Awak berkerabat dengan orang Tionghoa. Tambo dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau (Sutan Maharaja) adalah saudara dari nenek moyang orang Tionghoa (Maharaja Dipang).

Sumber:

Almanak van Nederlandsch Indie voor het Jaar 1831-1833. Batavia: Land Drukkerij, 1831-1833.

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827

ARA NHM 9064;10, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1833/34

ARA NHM 9064; 15, Jaarlijksch Verslag over het Jaar 1838/39

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

“Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan