Category: Sejarah Perang

Perang Padri, Kekerasan, dan Diaspora Orang Minangkabau

Perang Padri adalah iven historis yang bisa digunakan untuk menggugat atau melengkapi teori lama tentang migrasi orang Minang. Pengalaman migrasi orang Minang pada masa Perang Padri tidak bersifat spontan (voluntary migation), tetapi karena adanya tindak kekerasan. Dalam kaitannya dengan pengalaman tersebut, konsep diaspora, yang lazim digunakan untuk pola migrasi kaum Yahudi, yakni kepergian meninggalkan negeri asal karena terpaksa, lebih tepat untuk kasus ini. Sehingga konsep diaspora cocok dipakaikan untuk pola migrasi orang Minang saat itu.

Artikel ini mencoba menelusuri kekerasan-kekerasan yang terjadi pada masa Perang Padri yang berujung pada ‘migrasi terpaksa’ orang Minang. Karena itu tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Pertama, bagaimana bentuk kekerasan yang ada pada masa Perang Padri? Kedua, sejauh mana kekerasan tersebut menyebabkan terjadinya migrasi warga? Ketiga, ke mana arah migrasi mereka itu?

Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada bagian berikut akan disajikan terlebih dahulu beberapa pendapat mengenai pola migrasi orang Minang.

II

Pendapat yang paling lazim dikemukakan oleh ilmuwan sosial dan dipahami oleh masyarakat awam mengenai pola migrasi orang Minang adalah migrasi spontan. Pola ini berangkat ungkapan yang berkembang pada masyarakat Minang:

 “karatau madang di hulu

babuah babungo balun

marantau bujang dahulu

di rumah baguno balun”

Migrasi spontan yang lazim disebut dengan merantau ini umumnya dikaitkan dengan kepergian untuk mencari ilmu (baik ilmu agama atau duniawi) dan kepergian untuk keuntungan ekonomi (berdagang), serta medapatkan barang-barang yang tidak bisa diperoleh di daerah asal (pedalaman). Karena itu, tujuan perantauan orang Minang adalah ke pusat-pusat kegiatan sosial, ekonomi, politik dan budaya, serta daerah-daerah yang bisa memberikan berbagai komoditas yang dibutuhkan masyarakat pedalaman.

Di samping perantauan untuk mencari ilmu dan bekal finasial, dan mendapatkan kebutuhan hidup, perantauan Urang Awak juga ditujukan untuk perluasan daerah (nagari). Maksudnya, ketika pemukiman lama sudah dirasa tidak lagi bisa menampung penduduk yang selalu bertambah, maka sebagian warga membuka lahan baru untuk membuat pemukiman baru. Tujuan perantauan yang disebut terakhir ini adalah kawasan baru, baik di sekitar pemukiman lama atau kawasan lain yang berada jauh dari pemukiman lama.

Hasil studi Mochtar Naim (1977) dan Kato (1982) adalah dua contoh yang mewakili pandangan pola perantauan spontan orang Minang.

Satu aspek yang nyaris tidak disinggung dalam studi migrasi Urang Awak pada masa-masa sebelumnya adalah perantauan karena terpaksa, Orang Minang meninggalkan kampung halamannya tidak dengan suka rela. Dan perantauan dengan pola ini, karena adanya kekerasan, pernah terjadi dan itu terjadi pada masa Perang Padri.

III

Perang Padri (1821-1836/1842) yang merupakan kelanjutan dari Gerakan Padri (sejak awal abad ke-19-1821) adalah peristiwa yang juga diisi oleh tindakan kekerasan. Masing-masing kelompok yang menjadi aktor dalam perang dan gerakan itu pernah melakukan tindakan kekerasan pada lawannya. Kaum Padri, orang/tentara Belanda, tentara non-Minang, dan ‘orang Minang’ yang bekerja sama dengan Belanda, pernah melakukan tindakan kekerasan. Bahkan tindak kekerasan yang dilakukan pada masa Perang Padri bisa dikatakan lebih keras bila dibandingkan dengan kekerasan yang dilakukan pada masa Gerakan Padri. Hal ini disebabkan oleh karena kekerasan pada masa Perang Padri juga dilandasi oleh keinginan membalas dendam terhadap kaum Padri dan keinginan membalas kekerasan yang dilakukan pada masa Gerakan Padri.

Beberapa bentuk kekerasan yang dilakukan oleh masing-masng pihak adalah penyerangan terhadap kampung ‘lawan’, pembunuhan terhadap warga kampung yang diserang, pembakaran kampung yang diserang, dan pengambilan harta benda warga kampung yang diserang, serta penawanan/penyanderaan untuk dijadikan budak warga (khususnya kaum wanita) kampung yang diserang.

Dalam Memoar Tuanku Imam Bonjol dan karya Stuers, Geen, Kielstra, serta penulis-penulis Belanda lainnya ditemukan banyak informasi berkenaan dengan tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Imam Bonjol dengan jujur mengungkapkan bahwa banyak penyerangan yang dilakukan oleh kaum Padri, baik yang dia sendiri bertindak sebagai pemimpin atau yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Padri lainnya. Kampung-kampung yang diserang ada yang berlokasi di sekitar Bonjol, Alahan Mati, Simpang Malampah, Pasaman (dari Lubuk Sikaping hingga Rao dan Air Bangis), Limapuluh Kota atau Agam.

Tuanku Imam menuliskan dalam memoarnya berbagai kekerasan yang dilakukan kaum Padri, mulai dari pembakaran kampung, pembunuhan terhadap tokoh-tokoh utama serta penduduk kampung yang diserang, perampasan harta benda warga kampung yang diserang, termasuk juga penawanan/penyanderaan warga (khususnya kaum perempuan) kampung yang diserang. Bahkan Tuanku Imam menceritakan bagaimana lasykar Padri membunuh puluhan ekor kerbau di Kuok Bangkinang yang tidak dibawa.

Menurut Tuanku Imam Bonjol, beberapa kampung atau nagari yang diserang lasykar Padri adalah Muaro Bubus, Kampung Talang, Ganggo Mudik, Limo Koto, Lungguak Batu, Kampung Ambacang, Lariang, Sumauang, Alahan Mati, Simpang, Malampah, Lubuk Sikaping, Rao, Kampung Durian, Lubuk Layang, Padang Matinggi, dan Languang. Serangan juga dilakukan ke Agam (Nagari XII) yang meliputi kawasan Matur dan sekitarnya. Serangan juga dilakukan ke Limapuluh Kota (Suliki dan sekitarnya). Tidak itu saja, serangan juga dilakukan hingga Kuok (Bangkinang) serta Rokan Hulu.

Serangan terhadap kampung ‘musuh’ tidak hanya dilakukan oleh Lasykar Padri yang bermarkas di Bonjol, di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, dalam memoir yang ditulisnya, Imam Bonjol juga menyebut bahwa serangan juga dilakukan oleh Lasykar Padri yang berada di Agam dan Tanah Datar yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh serta Tuanku Lintau.

Ada banyak contoh tentang kekerasan yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, diantaranya: pembakaran Kampung Talang, pembakaran Kampung Ambacang, perampasan semua harta-benda termasuk 500 ekor kerbau orang Simauang, ‘dikemasinya’ harta benda orang Alahan Mati, pembakaran Kampung Kuranji dan pengambilan semua kerbau dari sapi warga kampung tersebut, pembakaran kampung Languang dan pengambilan harta benda warga kampung, pembakaran dan pengambilan harta benda penduduk Suliki dan Pandam Gadang serta penyanderaan perempuannya, pembakaran kampung di sekitar Mahek dan ‘pengampungan’ kerbau dan jawi, pinggan dan cawan, serta periuk dan belanga warga setempat. Dan banyak lagi contoh-contoh kekerasan yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam bukunya.

Walaupun banyak aksi kekerasan yang dilakukan, dalam memoar Tuan Imam Bonjol juga didapat informasi bahwa sejak pulangnya Tuanku Tambusai (Haji Muhammad Saleh), Pakiah Muhammad (Haji Muhammad Amin), Pakiah Malano (Haji Abdullah), dan Pakiah Sialu (Haji Muhammad Razak) dari Mekkah tahun 1829/1830, maka semua aksi kekerasan dihentikan oleh kaum Padri. Bahkan disebutkan dalam memoarnya, sejumlah barang yang telah diambil sebelumnya dikembalikan kepada para pemiliknya.

Bila Tuanku Imam Bonjol banyak bercerita tentang kekerasan yang dilakukan oleh Lasykar Padri dan puncaknya adalah penghentian aksi kekerasan oleh kaum Padri, maka Stuers, Geen, Hendrik, dan Kielstra misalnya menuliskan kekejaman tentara Belanda, hulp tropen (barisan tentara yang terdiri dari orang Jawa, Madura, dan Bugis), serta hulp benden (gerombolan Melayu: Urang Awak) terhadap orang dan perkampungan Padri. Dalam karya-karya ini diketahui bahwa tentara penjajah dan hulp tropen,serta hulp benden juga melakukan kekerasan yang sama. Bila dibaca dengan saksama karya-karya penulis Belanda di atas dan karya-karya lainnya yang jumlah sangat banyak, maka bisa dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda, tentara bantuan non-Minang, dan lasykar Urang Awaknya jauh lebih luas dan massif dan lama. Kekerasan yang dilakukan Belanda dan tentara pendukungnya tetap berlanjut hingga akhir perang.

Serangan tentara Belanda dan hulp tropen, serta hulp bendennya umumnya dilancarkan terhadap daerah (kampung atau nagari) yang dikuasai oleh kaum Padri. Sulit Air adalah nagari pertama yang diserang, dan serangan itu sekaligus pernyataan perang oleh Belanda terhadap kaum Padri. Kielstra mengatakan, sesungguhnya, di samping Sulit Air ada dua lagi nagari yang diserang saat itu, tapi nagari apa saja yang diserang tersebut tidak disebutkan namanya. Namun, dari kesan yang ditangkap, bahwa dengan menyerang tiga nagari sekaligus membuktikan bahwa Belanda dan pasukan bantuannya betul-betul serius ingin menghabisi kaum Padri. Dikatakan, bahwa salah satu alasan penyerangan Sulit Air adalah karena nagari itu adalah nagari Padri dan mereka menganggu orang Melayu di darek, dan gangguan itu juga bisa membahayakan kedudukan Belanda. Dalam penyerangan itu warga nagari juga diusir atau melarikan diri.

Serangan Belanda dan hulp tropen, serta hulp bendennya semakin menjadi-jadi pada tahun 1822, terutama sejak datangnya tambahan pasukan dibawah komando Letkol A.T. Raaf. Nagari-nagari Padri di Tanah Datar adalah sasaran serangan pertama. Di samping Lintau, beberapa nagari yang diserang adalah Tanjung, Andaleh, Tabek Patah, Rao-Rao, Balimbiang, Supayang, dlsbnya. Setidaknya ada 20-an nagari di Tanah Datar yang diserang pada tahun 1822 dan 1823.

Sesudah Tanah Datar serangan dilanjutkan ke Agam dan Limapuluh Kota. Karena hampir semua nagari di daerah itu sebelumnya sudah jatuh ke tangan Padri, maka hampir semua nagari di daerah tersebut diserang oleh Belanda dan pasukan bantuannya.

Hulp benden yang terdiri dari Urang Awak sangat besar peranannya dalam proses penghancuran kampung atau nagari-nagari yang diserang. Kekerasan dan kebrutalan mereka sudah terlihat sebelum penyerangan dimulai. Mereka telah merancang apa yang akan dilakukan, mulai dari penyerangan, mengambilan harga benda, hingga penyanderaan warga (kaum perempuan) untuk dijadikan budak, pada waktu persiapan penyerangan tengah dilakukan. Lasykar Batipuh dianggap sebagai kesatuan yang paling ganas. Seperti ditulis dalam banyak buku, kekejaman lasykar hulp benden ini ada hubungannya dengan balas dendam terhadap apa yang dilakukan kaum Padri sebelumnya.

Jumlah hulp benden ini ribuan banyaknya dan kerja sama mereka dengan Belanda sesungguhnya tetap berlanjut hingga Perang Padri usai. Jadi pernyataan yang menyebut bahwa ‘gewapene Maleirs’ ini semuanya berbalik melawan Belanda sekitar tahun 1833 tidaklah benar. Bahkan semakin banyak dari mereka yang melakukan kerja sama dan mendukung Belanda hingga perang berakhir. Bantuan yang mereka berikan selama periode Perang Padri itulah yang membuat kaum Padri tetap menjadi sasaran penyerangan dan tindak kekerasan hingga perang berakhir. Padahal, seperti disebut di atas,  kaum Padri sudah menghentikan kekerasan terhadap ‘sanak saudara’ mereka sejak tahun 1829/1830, pascakepulangan Tuanku Tambusai dkk. menunaikan ibadah haji. Kondisi inilah yang akhirnya membuat berdiasporanya warga daerah.

IV

Hampir setiap sumber, baik memoir Tuanku Imam Bonjol atau sumber-sumber Belanda, selalu menyebut bahwa setiap kali penyerangan dilakukan, ada warga kampung atau nagari yang diserang yang melarikan diri meninggalkan kampung/nagarinya. Tidak itu saja, bahkan sering kali disebutkan bahwa sebelum kampung/nagari diserang warganya sudah melarikan diri terlebih dahulu.

Diakui juga oleh para penulis, bahwa sebagian warga kampung /nagari yang melarikan diri kembali lagi ke kampung/nagari mereka. Namun tidak sedikit pula dari mereka yang tidak pulang lagi. Memoar Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa banyak penduduk kampung/nagari yang diserang kaum Padri, baik yang ada di Pasaman, Agam, Limapuluh Kota, Bangkinang (Kampar) atau Rokan, melarikan diri ke daerah-daerah tetangganya. Dalam memoir itu juga disebut bahwa banyak penduduk kampung/nagari di Agam yang berdiaspora ke Pasaman ketika Belanda dalam lasykar-lasykar bantuannya menyerang Agam. Tuanku Imam Bonjol juga menyebut bahwa banyak warga Pasaman yang berdiaspora ke Rokan atau juga ke kawasan yang lebih jauh di hilir Rokan ketika Belanda dan lasykar-lasykarnya menyerang Pasaman di akhir episode Perang Padri.

Informasi yang sama juga didapat dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis Belanda. Banyak penduduk (kaum Padri) yang melarikan diri ketika kampung/nagari mereka diserang oleh pasukan Belanda. Sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa sebagian penduduk kampumg/nagari tersebut kembali lagi, terutama setelah kepala-kepala mereka, menyatakan tunduk dan mau bekerja sama dengan Belanda. Namun, sumber yang sama juga mengatakan bahwa banyak juga warga kampung/nagari yang lari yang tidak kembali lagi. Umumnya mereka yang tidak kembali ini adalah tokoh-tokoh Padri atau keluarga-keluarga Padri ‘yang fanatik’, dan mereka melarikan diri ke kawasan timur atau ke kawasan utara (dari Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota).

Suatu kesamaan dari kedua sumber (memoar Imam Bonjol atau karya-karya penulis Belanda) adalah banyak ‘pelarian’ yang menjadikan daerah Pasaman umumnya dan Rao khususnya sebagai titik pemberangkatan terakhir mereka. Tidak diragukan lagi, mereka yang ‘lari’ itu adalah pendukung Padri. Mereka melarikan diri karena tidak mau tunduk kepada Belanda dan mereka memilih daerah Pasaman dan Rao sebagai titik pemberangkatan terakhir karena daerah itulah yang relatif akhir dikuasai oleh Belanda. Disamping itu, dipilihnya Pasaman atau Rao sebagai titik pemberangkatan terakhir adalah karena daerah itu memiliki akses untuk ‘lari’. Akses yang dimaksud adalah jalan setapak dan sungai-sungai yang mengalir ke kawasan timur Sumatra. Dari Rao ada jalan setapak lazim ditempuh sejak waktu yang lama oleh para pedagang atau penduduk yang ingin pergi ke kawasan timur Sumatra. Setelah menempuh jalan setapak mereka akan sampai ke sejumlah pangkalan yang berada di Sungai Rokan, baik Rokan Kiri atau Rokan Kanan. Dengan menghiliri kedua sungai itu mereka akan sampai di Sungai Rokan dan kemudian terus ke hilir sampai Selat Malaka.

Ruas Jalan Setapak dan Rute Pelayaran Sungai Rokan
Diaspora Minangkabau dari Pasaman/Rao

Sesampai di Selat Malaka, mereka bisa melanjutkan ‘pelarian’ mereka negeri-negeri yang ada di di Sumatra Timur atau ke Tanah Semenanjung Malaysia. ‘Lari’ ke negeri-negeri di Sumatra timur atau ke Tanah Semenanjung bukanlah suatu yang asing, karena daerah-daerah itu telah menjadi tujuan perantauan orang Minangkabau sejak masa yang lama. Alasan lain adalah hingga saat itu, kawasan-kawasan tersebut aman bagi mereka, karena Belanda tidak berkuasa di sana.

Di samping diaspora lokal (dalam daerah Minang), pada masa Perang Padri juga muncul diaspora lintas daerah (diaspora ke daerah budaya yang lain di Pulau Sumatra, dan ke Tanah Semenanjung). Hingga saat ini, ‘perantau karena terpaksa serta terusir’ dari kampung halaman ini masih belum banyak dikaji. Mudah-mudahan, tulisan ini bisa menjadi pembuka jalan bagi kajian yang lebih serius dan komprehensif diaspora orang Minang tempo doeloe.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kato, Tsuyoshi, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca London: Cornel University Press, 1982.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , “Het Onstaan van den Padri-Oorlog” dalam Indische Militaire Tijdschrift, II, 1887, hal. 224-248.

Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press, 1977.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Oki, Akira, “The River Trade in Central Sumatra and South Sumatra in the 19th Century” dalam Tsuyosho Kato, Muchtar Lutfi dan Narifumi Maeda (eds.), Environtment, Agriculture and Society in the Malay World. Kyoto: CSAS-Kyoto University, 1986, hal. 1- 48.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Dunia Magis, Dunia Hiburan, dan Gaya Hidup Masa Perang Padri

Perang Padri tidak hanya diisi dengan kecamuk pertempuran yang menggunakan keris atau tombak, serta menggunakan bedil dan meriam, tetapi juga racun, guna-guna, dan ‘kebaji’. Perang Padri tidak hanya dilakoni oleh para ahli perang dan para perwira militer ahli strategi perang, tetapi juga oleh para tuanku pakar ‘pelangkahan’ dan urang pandai turiah. Perang Padri tidak hanya diisi oleh gemerincing keris dan tombak yang saling beradu, atau letusan senapan dan meriam yang saling bersautan, tetapi juga oleh kenduri syukuran, batagak penghulu, serta pesta dansa. Perang Padri tidak hanya dilakoni oleh tokoh yang berbaju jubah, bersorban, bertasbih, atau berbaju hitam dengan destar seperti pakaian para pendekar silat, tetapi juga oleh uniform militer yang keren, serta juga kuda tunggangan yang tegap dan kereta kencana dengan empat ekor kuda yang mempesona.

Siapa yang menggunakan kekuatan magis dan bagaimana corak kekuatan magis yang digunakan pada masa Perang Padri? Bagaimana corak kehidupan duniawi yang diamalkan atau dunia hiburan yang dilakukan serta dinikmati warga daerah pada masa Perang Padri?  Bagaimana pula gaya hidup para tokoh dan warga masyarakat masa Padri? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Perang Padri diambil sebagai batasan temporal tulisan ini karena Perang Padri sesungguhnya adalah juga sebuah wadah yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana upaya pembaruan yang dilakukan kaum Padri mencapai sasarannya. Di samping itu, Perang Padri juga bisa dijadikan sebagai wahana untuk mengetahui sejauh mana upaya pemberantasan praktik-praktik bid’ah dalam pengamalan dan ritual keagamaan (Islam), serta menghabisi praktik-praktik jahiliyah dalam kehidupan sosial-budaya orang Minangkabau mencapai hasilnya.

II

Sama dengan kelompok-kelompok masyarakat lain di Indonesia, orang Minang juga sangat akrab dengan dunia magis, suatu dunia yang diisi oleh adanya kekuatan gaib yang dapat menaklukkan atau menguasai orang, binatang, jin, dan hantu serta lingkungan sekitar, termasuk juga menguasai pikiran dan peri laku orang, binatang, jin dan hantu. Hampir semua aspek hidup dan kehidupan mereka, berkaitan secara langsung atau tidak dengan dunia magis.

Unsur-unsur magis tidak hanya tampil pada aspek dan aktivitas kehidupan yang bersifat duniawi, tetapi juga kehidupan religi. Bahkan ada pencampuradukan unsur-unsur magis ke dalam ritual atau amalan keagamaan yang mereka anut, sehingga sampai taraf tertentu, sangat sukar membedakan antara unsur-unsur magis buatan manusia dengan ajaran agama, apalagi ada penganut agama bersangkutan yang memandang bahwa unsur-unsur magis ciptaan manusia tersebut adalah bagian dari ajaran, serta bagian dari ritual dan amalan keagamaan.

Kenyataan di atas sangat terlihat pada saat agama Hindu dan Budha masuk serta berkembang di Minangkabau. Gejala yang sama juga menjadi bagian dari hidup dan kehidupan orang Minang saat mereka menganut agama Islam, setidaknya hingga akhir abad ke-18.

Sejarah Islam Minangkabau memperlihatkan bagaimana dunia magis begitu kuat pengaruhnya pada ritual dan amalan keagamaan orang Minang saat itu.

Adanya unsur-unsur magis dalam ritual dan amalan keagamaan (Islam) itu adalah satu alasan kaum Padri melancarkan gerakan pemurnian Islam di daerah ini. Mereka ingin membuang jauh unsur-unsur magis serta amalan-amalan keagamaan  yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist. Untuk itulah mereka mereka menentang serta mengeritik keras, bahkan menyerang ulama yang dipercayai memiliki tuah, kekuatan gaib, serta juga menyerang dengan keras ‘jamaah’ yang mengkultuskan ulama tertentu, atau yang melakukan ziarah kubur, bernazar di kuburan atau tempat-tempat keramat, dlsbnya.

Menentang amalan-amalan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist adalah gagasan utama kaum pembaru pada fase awal Gerakan Padri. Namun ketika gerakan tersebut berubah menjadi perang, saat mana kaum pembaru Islam juga berhadapan dengan kelompok masyarakat lain dari luar Minang (orang Belanda), maka ajaran dan pola aksi mereka mulai berubah. Beberapa amalan yang dulu sangat mereka kutuk dan hujat, maka pada saat Perang Padri mereka sendiri yang mengamalkannya. Saat perang berlangsung, ternyata mereka juga menggunakan dan mempercayai kekuatan-kekuatan magis dan menjadikan kepercayaan kepada sesuatu yang tidak diajarkan Al-Qur’an dan hadist sebagai amalan mereka.

Di samping kaum Padri, kekuatan gaib yang bersifat mistis itu juga dipercayai dan diamalkan oleh ‘orang Melayu’ (sebutan terhadap orang Minang yang bekerjasama dengan Belanda melawan kaum Padri).

III

Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa kaum Padri mempercayai dan menggunakan kekuatan magis selama Perang Padri. Tidak tanggung-tanggung, mereka yang mempercayai dan menggunakannya mulai dari pemimpin tertinggi, mulai dari Tuanku Imam Bonjol hingga para pendukung dari kalangan masyarakat bawah.

Ada sejumlah fakta dan iven historis yang berkaitan dengan kepercayaan Tuanku Imam Bonjol pada kekuaan magis. Beberapa di antaranya adalah penggunaan ‘palangkahan’. Walaupun dinegasikan oleh Darwis Daoek Madjoelo dan Ahmad Marzoeki, bahwa buku ‘pelangkahan’ yang dimiliki oleh keluarga Tuanku Imam Bonjol bukan hasil karya beliau, tetapi diyakini, isi buku tersebut adalah amalan Tuanku Imam Bonjol. Gambar berikut adalah “palangkahan” yang disajikan oleh kedua penulis dalam buku mereka yang berjudul Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951).

“Pelangkahan”
(Sumber: Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951)

Dipercayai bahwa dalam kesehariannya atau dalam memimpin perjuangan melawan Belanda, Tuanku Imam Bonjol sering berpedoman kepada pelangkahan. Sebelum memutuskan sesuatu, misalnya pergi berperang, dia mempedomani simbol-simbol dan petunjuk-petunjuk yang tertera pada “palangkahan” yang dimilikinya. Perang bisa dilakukan apabila simbol-simbol dan petunjuk-petunjuk yang tertera pada “pelangkahan” menampilkan pertanda positif. Sebaliknya perang harus dibatalkan bila simbol atau petunjuk penampilkan pertanda negatif.

Tidak hanya dalam aktivitas yang sifatnya besar dan menentukan, serta melibatkan orang dalam jumlah yang banyak, mempedomani “palangkahan” bahkan dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam kegiatan yang sifatnya personal. Misalnya saat melepas anaknya pergi berjalan atau mendirikan rumah, serta membuka kebun.

“Pelangkahan”
(Sumber: Darwis Datoek dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951).

Informasi lain yang mengatakan bahwa Tuanku Imam Bonjol mempercayai kekuatan magis ditemukan dalam memoar yang ditulisnya sendiri. Dikatakannya, bahwa dalam perjalanannya sekembali menyerang gaduang (benteng Belanda di Air Bangis), Tuanku Imam Bonjol berhenti di Koto Baru. Beliau mengetahui bahwa di sana ada dua pucuk meriam yang pernah digunakan sewaktu perang di Mesir, dan beliau menginginkan meriam tersebut.

Menurut tokoh masyarakat setempat (penghulu pangka tuo Pasaman), salah satu meriam tersebut berada di tengah padang (mudah diambil), sedangkan yang satu lagi terbenam di dalam sungai (lubuk), dan dikatakan sudah terbenam ke dalam lumpur. Namun karena Tuanku Imam yang menginginkan, maka diupayakanlah pencarian meriam yang terbenam tersebut. Setelah beberapa hari pencarian dilakukan meriam yang dicari belum juga ditemukan. Maka atas izin Tuanku Imam Bonjol dipanggillah urang pandai turiah (seseorang yang memiliki kemampuan gaib untuk melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat secara kasat mata, atau mencari suatu benda yang hilang). Dengan kemampuan gaib yang dimilikinya maka dalam sekejap diketahuilah lokasi meriam tersebut dan terpenuhilah keinginan Tuanku Imam Bonjol.

Kaum Padri mempercayai bahwa para tuanku atau pemimpin mereka memiliki kekuatan gaib. Kekuatan gaib yang dimiliki oleh para tuanku atau pemimpin tersebut sangat menentukan aktivitas yang mereka lakukan. Ada konsep pars pro toto dalam hal ini, dengan kata lain tuah atau kesaktian yang dimiliki oleh seorang tuanku atau pemimpin akan memberi tuah atau kesaktian pula kepada seluruh pengikutnya. Dipercayai bahwa keberhasilan-keberhasilan yang mereka raih dalam perang adalah karena tuah yang dimiliki oleh para tuanku atau pemimpin mereka. Sebaliknya, kesialan atau musibah yang dialami seorang tuanku atau pemimpin mereka merupakan pertanda yang tidak baik bagi semua pengikutnya.

Karena itu, sangat sering dilaporkan oleh orang Belanda bahwa pada saat mereka sudah hampir mati atau menyerah kalah karena dikepung atau diserang oleh orang Padri, tiba-tiba saja para pejuang Padri membiarkan atau meninggalkan mereka begitu saja. Pengalaman seperti pada awalnya menjadi sesuatu yang mencengangkan atau sangat sukar dimengerti oleh orang Belanda. Namun akhirnya mereka menyimpulkan bahwa pembiaran atau pengunduran pihak Padri tersebut disebabkan oleh cederanya atau tewasnya tuanku/pemimpin mereka. Kematian tuanku atau pemimpin tersebut dianggap sebagai petaka yang bisa membahayakan semua pasukan. Karena itu mundur adalah solusi yang terbaik.

Kepercayaan kepada kekuatan gaib juga dimiliki oleh ‘orang Melayu’. De Stuers, Nahuijs, dan Elout serta Boelhouwer – untuk menyebut empat nama – mengatakan bahwa sejumlah tokoh ‘orang Melayu’ dan anggota pasukan Melayu sering mengumbar pernyataan bahwa mereka memiliki kekuatan gaib yang bisa menghukum (mencederai) orang yang berada di tempat lain.

Laporan-laporan orang Belanda juga menyebut bahwa sejumlah prajurit ‘gewapene maleiers’ sering mempelagakkan kehebatan mereka di hadapan orang banyak. Kehebatan yang dipertontonkan itu antara lain ilmu tahan bacok alias kebal terhadap benda tajam.

Ilmu gaib lain yang juga sering digunakan saat Perang Padri adalah racun hidup. Racun yang dimaksud adalah ‘racun piaraan’, racun yang dimiliki oleh orang atau keluarga tertentu, dan racun itu harus diberikan kepada orang (korban). Bila tidak diberikan maka orang atau salah satu anggota keluarga orang yang memiliki racun tersebut yang harus memakannya atau harus dikorbankan. Tuanku Imam Bonjol menyebut dalam memoarnya bahwa Datuk Bandaro, seorang ‘senior’ Tuanku Imam Bonjol tewas diracun orang. Diduga racun yang digunakan adalah racun hidup ini.

Racun hidup ini atau kekuatan pembunuh yang bisa dikirim dari jarak jauh juga dimiliki oleh ‘orang Melayu’. Rusli Amran, mengutip De Stuers dan Elout menyebut bahwa salah seorang Regent di daerah pedalaman (darek) meracun atau mengirim sesuatu dari jarak jauh untuk membunuh seseorang yang digadang-gadang oleh banyak pihak sebagai penggantinya.

Dunia mistik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kaum Padri atau ‘orang Melayu’ dalam Perang Padri.

IV

Orang Padri, ‘orang Melayu’ dan orang Belanda yang terlibat dalam Perang Padri adalah bagian dari apa yang disebut sebagai homo festivus, manusia yang suka pesta atau bersenang-senang. Karena ‘pembawaannya’ ini, setiap ada kesempatan, mereka selalu berupaya memenuhi panggilan jiwanya untuk berpesta atau bersenang-senang. Karena itu, dalam suasana perang, bila ada kesempatan, maka mereka juga akan mengadakan pesta atau bermain, serta menghibur diri.

Dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjol banyak kali menyebut adanya pesta atau perayaan yang dilakukan kaum Padri. Pesta atau perayaan yang mereka lakukan umumnya pesta atau perayaan syukuran, misalnya syukuran atas selesainya pembangunan kampung atau masjid. Di samping itu juga ada syukuran atas kemenangan dalam perang menyebarkan faham (pembaharuan) kepada kelompok yang belum ‘sempurna’ keislamannya, atau syukuran atas kemenangan melawan Belanda dan ‘orang Melayu’. Pesta yang disebut terakhir ini lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan pesta syukuran atas kemenangan dalam perang melawan Urang Awak.

Pesta, perayaan, dan syukuran ini umumnya diisi dengan makan-makan yang diikuti oleh banyak orang. Sebuah pesta yang diadakan di Bonjol sebagai syukuran atas selesainya pembangunan mesjid dihadiri oleh seribu orang lebih dengan menyembelih beberapa ekor kerbau. Acara syukuran ini juga diisi dengan ceramah serta doa permohonan kepada Allah SWT agar diberi kelapangan dan keberhasilan dalam hidup.

‘Orang Melayu’ juga sering mengadakan pesta dan perayaan. Beberapa pesta yang mereka lakukan adalah perayaan penobatan penghulu, alek kawin, dan perayaan (syukuran) atas kemenangan yang diperoleh melawan kaum Padri. Salah satu pesta yang disebut terakhir dilaksanakan di Pakandangan tanggal 18 Desember 1831. Pesta diadakan dalam rangka merayakan kemenangan Belanda menghancurkan salah satu basis kekuatan Padri di Ujung Rajo (Pasaman). Saat pesta dilangsungkan dikibarkan berdera Belanda di lokasi pesta. Pesta diadakan dekat pasar dan dekat masjid nagari. Pesta itu dihadiri oleh Boehouwer, tuanku dan para penghulu serta warga masyarakat dengan jumlah sekitar 600 orang. Makanan yang disuguhkan antara hidangan (gulai) dari daging kerbau yang disajikan dengan piring yang sangat banyak di atas tikar bersih yang terhampar, dan nasi yang dihidangkan di atas talam-talam besar yang dibawa oleh 100 orang perempuan banyaknya. Dikatakan juga, saat tamu makan, maka kaum perempuan mendendangkan lagu dari tempat yang tidak kelihatan (dibalik tirai).

Pesta-pesta besar seperti ini sering diadakan oleh ‘orang Melayu’. De Stuers dan Elout menyebut adanya pesta pelewaan penghulu dan alek kawin yang meriah yang dihadiri oleh banyak orang dan sajian makanan yang melimpah. Karena dekat dengan Belanda maka pada pesta ‘orang Melayu’ tersebut ada tempat khusus bagi orang Belanda. Orang (pejabat) Belanda ditempatkan di anjuang atau ‘singgasana’ khusus. Orang (pejabat) Belanda tersebut sangat menikmati pesta atau perayaan itu, apalagi mereka juga orang-orang yang juga menyukai pesta.

V

Mengadakan atau menghadiri pesta adalah hal yang lumrah di kalangan orang Belanda di daerah ini. Pesta adalah momen yang sangat penting bagi mereka untuk saling bertemu dan saling bertukar cerita di daerah ‘rantau’. Umumnya pesta itu diadakan pada waktu-waktu tertentu atau pada kesempatan khusus.

Pesta yang paling sering diadakan adalah pesta saat dilaksanakannya serah terima jabatan ‘kepala daerah’, mulai dari resident hingga kepala post. Di samping acara seremonial, berupa sambutan-sambutan dan pidato-pidatoan, pada kesempatan itu biasanya diadakan acara makan-makan, minum-minum serta acara dansa. Untuk pesta yang besar diadakan di kota Padang, pada saat serah terima resident atau acara khusus. Boelhouwer misalnya pernah menghadiri acara pesta dansa yang diadakan Resident Padang en Onderhoorigheden (Kol. Elout) di Padang. Pesta diadakan di rumah saudagar besar terkemuka (Boyle) dan berlangsug semalam suntuk. Pesta itu dihadiri oleh banyak orang Eropa, baik yang berdomisili di Padang atau yang ada di daerah. Pesta itu juga dihadiri oleh orang China kaya, pemuka penduduk bumiputra, serta juga Sentot Alibasya yang didampingi oleh dua orang istrinya, yang saat itu tengah berada di daerah ini sebagai sekutu Belanda.

Pengunjung pesta, terutama orang Eropa sangat menikmati acara tersebut. Hampir semua pengunjung Eropa (terutama para nyonya) seakan-akan tidak merasa lebih  berdansa yang dilakukan tiga atau empat kali secara berpasang-pasangan. Pesta baru berakhir menjelang subuh.

Pada acara dansa tersebut, undangan dari kalangan bumiputra hanya sekedar hadir dan ikut makan dan minum saja.

Perayaan atau pesta yang lain, yang lebih kecil biasanya di daerah saat serah terima jabatan Asisten Residen atau Kepala Post. Biasanya pada kesempatan itu, di samping diisi dengan pidato-pidato, juga disertai dengan acara makan-makan. Acara seperti ini juga dihadiri oleh para pemuka ‘orang Melayu’ di daerah yang bersangkutan. Boelhouwer, Baud dan Elout mencatat beberapa acara seperti yang dilakukan, baik di kawasan pantai atau di darek.

Dunia hiburan lain yang sering dilakukan oleh orang Eropa pada masa Perang Padri adalah main kartu.

Kebiasaan berpesta yang dilakukan orang Belanda pada masa Perang Padri tetap berlanjut pada masa-masa pasca-perang. Bahkan, kebiasaan ini semakin menjadi-jadi  pada saat Belanda telah ‘aman’ di daerah ini. Sehingga Lion, seorang veteran Perang Padri menyebut bahwa dalam kunjungannya kembali ke kota Padang selama 17 hari dia menghadiri 5 kali pesta dansa, satu kali konser, dua kali pertujukan musik, dan pesta-pesta biasa pada hampir setiap malam.

VI

Perang Padri adalah juga suatu periode yang bisa digunakan untuk melihat apa-apa yang berubah serta berlanjut dalam penampilan atau gaya hidup kaum Padri, ‘orang Melayu’, dan orang Belanda. Sebuah perubahan yang paling drastis pada penampilan kaum Padri adalah pakaian yang mereka kenakan. Kaum Padri yang laki-laki hampir semuanya mengenakan pakaian putih berbentuk jubah, bersorban, memelihari jenggot, dan para pemimpinnya memegang tasbih. Kaum perempuan memakai pakaian berwarna hitam yang menutup seluruh tubuh dan hanya terbuka sedikit pada bagian mata.

Boelhouwer menyebut pakaian dan penampilan kaum Padri umumnya bersih. Para pemimpinnya beristri satu. Poligami umumnya dilakukan oleh lelaki pengikut Padri dari kalangan warga biasa.

Di samping pakaian, hal lain yang paling menonjol di kalangan kaum Padri adalah pembangunan masjid. Cukup banyak masjid yang dibangun saat itu. Bahkan, merujuk informasi yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, ada semacam perlombaan pembangunan masjid di antara para tuanku. Mereka tidak mau kalah dari tuanku yang sebelumnya yang telah membangun masjid, atau tidak mau kalah dengan tuanku dari daerah lain yang juga telah membangun masjid. Mesjid yang dibangun juga memiliki ukuran yang besar serta terbuat dari bahan (kayu) yang bagus. Keindahan dan kebesaran masjid nampaknya menjadi semacam kebanggaan bagi seorang tuanku atau sebuah kampung (nagari) saat itu.

Pakaian Penghulu dan Haji di Minangkabau
(Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Midden Sumatra Expeditie: Volkbeschrijving (III-1-2). Leiden: E.J. Brill, 1882)

Berbeda dengan kaum Padri, pakaian ‘orang Melayu’ umumnya berwarna hitam. Para lelaki umumnya memakai baju dan celana berwarna hitam diserta destar. Sangat sering di pinggang mereka terselip pisau atau keris. Para petinggi, terutama penghulu mengenakan pakaian yang terbuat dari beludru yang bersuji emas, dan destar (saluak) yang berenda emas, pin emas serta juga keris yang bersarung dan berhulukan emas.

Kaum lelaki “orang Melayu” sering pergi mengepit ayam ke gelanggang penyabungan ayam yang umumnya berlokasi dekat pasar dan pulang setelah uangnya habis, atau pergi ke tempat mengisap madat dan tinggal (tertidur) di sana hingga pagi hari. Perempuan ‘orang Malayu’ umumnya memakai baju kurung dan sering dengan bagian atas dada dibiarkan terbuka. Namun perempuan ‘orang Melayu’ ini adalah orang-orang yang rajin, terutama dalam pengerjaan sawah.

Penampilan ‘Orang Melayu’ di Pedalaman Minangkabau
(Sumber: Budhing, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861).

Penampilan orang Belanda, terutama para pejabatnya, juga sangat mempesona. Penampilan yang ‘wah’ ini akan semakin mengesankan ketika mereka memakai pakaian (uniform) lengkap yang penuh dengan tanda pangkat, lencana, umbai-umbai, dan asesori lainnya. Di samping pakaian (uniform) lengkap tersebut, penampilan orang Belanda dengan kemeja dan celana (pantalon) bagi lelaki, serta gaun bagi kaum perempuan merupakan sesuatu yang baru di Ranah Minang.

C. Th. Elout
(Sumber: Colijn, H., Neerlandsch Indie: Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenwerking (Tweede Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913)

Di samping pakaian, kehadiran orang Belanda di daerah ini juga memperkenalkan model rumah yang baru, serta sarana transportasi yang baru. Rumah modern yang dilengkapi dengan beranda, ruang tamu dan kamar tidur dengan dinding batu adalah salah satu unsur baru dalam dunia seni bina orang Minang. Kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda adalah juga sesuatu yang baru bagi Ranah Minang. Kendaraan model kereta ini kemudian juga digunakan Sentot Alibasya dan orang China kaya yang tinggal di kota Padang. Beberapa waktu setelah  Perang Padri usai, model kereta kuda ini juga ditiru oleh orang Minang, baik oleh kalangan penghulu atau orang kaya, atau oleh orang kebanyakan. Khusus untuk yang terakhir digunakan sebagai alat transportasi massal.

Orang Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya membawa dan memperkenalkan gaya hidup yang baru di daerah ini.

VII

Gerakan pembaruan yang diperkenalkan oleh kaum Padri ternyata tidak mampu menghabiskan amalan-amalan dan pratik-praktik keagamaan yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan hadist di kalangan orang Minang. Gerakan itu juga tidak mampu melenyapkan kebiasaan-kebiasaan jahilyah, seperti menyabung ayam, minum tuak menghisap madat dan berjudi, atau gaya hidup ‘badunia’ di kalangan orang Minang. Gerakan Padri yang kemudian berubah menjadi Perang Padri, yang ditandai dengan masuk serta hadirnya orang Belanda di daerah ini semakin membuat amalan-amalan dan praktik-praktik keagamaan non-islami, serta gaya hidup non-islami semakin kuat hadirnya di daerah ini.

Dunia magis, kesukaan dan kesenangan mengadakan pesta, serta gaya hidup yang bersifat ‘hedon’ ternyata tetap hadir dalam diri orang Minang dan warga non-Minang yang tinggal di daerah ini pada masa-masa selepas Padri, bahkan hingga saat kini. Kepercayaan akan hal-hal yang bersifat magis, mengadakan pesta, menikmati kesenangan dan hidupan serta gaya hidup ‘badunia’ adalah hal-hal yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan seseorang atau sekelompok orang, termasuk dari orang Minang dan warga masyarakat yang tinggal di Ranah Minang. Karena itu, gerakan pembaharuan keagamaan yang sangat radikal dan keras pun ternyata tidak mampu mengenyahkan kepercayaan akan kekuatan magis, kesenangan berpesta, dan gaya hidup yang “hedon” dari warga daerah dan dari daerah ini.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Budhhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861.

Colijn H., Neerlandsch Indie: Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenwerking (Tweede Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913.

Darwis Datoek Madjoelelo dan Ahmad Mazoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perinis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951.

Lion, H.J., Een Uit Naar Padang. Batavia: Ogilvie en Co., 1869.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Midden Sumatra Expeditie: Volkbeschrijving (III-1-2). Leiden: E.J. Bril, 1882.


Ditulis oleh Gusti Asnan

Aspek-Aspek Maritim Perang Padri

Rekonstruksi sejarah Perang Padri selama ini cendrung menjadikan daerah pedalaman (darek) sebagai setting geografisnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena kaum Padri memulai dan memokuskan gerakannya di darek. Konfrontasi bersenjata Belanda dengan kaum Padri umumnya juga terjadi di daerah pedalaman. Perubahan-perubahan sosial, politik, ekonomi, serta budaya selama dan selepas Perang Padri juga paling nampak terjadi di daerah darek.

Kecenderung penulisan sejarah yang bersifat ‘daratsentris’ini melahirkan sejumlah pertanyaan, apakah laut atau kawasan pantai, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari tanah darat, tidak terlibat dalam perang itu? Apakah aspek-aspek maritim, seperti pelayaran dan perkapalan, pelabuhan, perdagangan maritim, atau perompakan, tidak punya andil dalam perang yang dimulai tahun 1821 itu?

Tulisan ini berangkat dari pendapat bahwa aspek-aspek maritim mempunyai peran yang penting dalam Perang Padri. Ada banyak aspek maritim yang menjadi bagian dari perang tersebut. Karena itu, bisa dikatakan, tanpa aspek maritim, Perang Padri tidak akan terjadi.

II

Laut dan kawasan pesisir adalah ruang geografis yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Perang Padri. Penguasaan atas laut dan kawasan pesisir adalah juga tujuan Belanda meletuskan perang dengan kaum Padri. Hal ini disebabkan karena wilayah yang dikuasai Belanda segera setelah menerima daerah ini dari tangan Inggris hanya terbatas sekitar kota Padang, Pariaman, Pulau Cingkuk dan Airhaji. Belanda tidak puas dengan wilayah yang terbatas tersebut, mereka ingin menguasai semua wilayah yang sebelumnya dikuasasi Inggris dan juga dikuasai oleh VOC, yang mencakup dari Singkel di utara hingga Indrapura di selatan. Bahkan mereka menginginkan kawasan yang lebih luas dari itu.

Keinginan Belanda untuk menguasai laut dan kawasan pesisir juga didorong oleh maraknya aktivitas kaum Padri di perairan dan wilayah pantai (terutama di Pasaman hingga Natal). Kaum Padri memanfaatkan laut dan kawasan pesisir untuk mendukung usaha (perdagangan) mereka. Di samping sebagai pembaharu agama Islam, kaum Padri adalah juga saudagar ulung. Mereka aktif berdagang dengan saudagar asing, terutama Aceh dan juga Amerika dan Inggris. Kontak dagang saudagar Padri dengan pedagang Aceh sangat dibenci Belanda. Karena itu Belanda betul-betul ingin mendepak Aceh dari dunia niaga maritim Sumatra Barat, dan itu bisa dilakukan kalau kawasan perairan dan pesisir Pasaman hingga ke Singkel, yang dalam beberapa literatur juga dikatakan sebagai Padri Gebied (Daerah Padri) bisa dikuasai.

Seperti yang akan dibicarakan pada bagian berikut tulisan ini, upaya penguasaan kawasan perairan dan pesisir itu memang dilakukan oleh Belanda, terutama sejak tahun-tahun permulaan 1830-an. Puncaknya adalah setelah Bonjol ditaklukkan. Sejumlah aspek maritim hadir, dihadirkan dan berperan penting saat itu.

III

Laut menjadi penting dalam Perang Padri karena lewat lautlah orang Belanda secara umum, serta tentara atau para pejabat sipil dan militer Belanda secara khusus datang ke Sumatra Barat. Aspek-aspek kelautan, berupa pelayaran dan perkapalan, menjadi sangat penting dalam proses kedatangan (atau keberangkatan) mereka ke dan dari Sumatra Barat. Di samping kedua aspek itu, keberadaan pelabuhan juga tidak kalah pentingnya. Karena kapal akan berlabuh, serta menurunkan dan menaikkan penumpangnya di pelabuhan.

Sebagai bagian dari Hindia Belanda, tentara dan para pejabat sipil/militer Belanda datang ke Sumatra Barat dari Batavia. Pelayaran dari Batavia ke Padang saat itu adalah pelayaran yang lama dan berbahaya. Hal ini disebabkan oleh sarana transportasi yang digunakan dan kondisi perairan Samura Hindia berupa laut lepas dengan gelombang yang tinggi serta hembusan angin yang kuat.

Kapal yang digunakan dalam pelayaran dari Batavia ke Padang pada saat Perang Padri berkecamuk umumlah adalah kapal jenis fergata (fregat) dan barque (bark), serta korvet. Fergata adalah kapal layar, biasanya terdiri dari tiga buah layar dan dilengkapi dengan meriam di bagian haluan, sisi kanan dan kiri, serta buritan. Fergata yang lazim digunakan pada masa Perang Padri mampu membawa sekitar 200-an penumpang. Bark adalah kapal dengan tiga atau lebih layar, yang salah satu di antaranya menjadi layar utama. Di samping itu juga ada ‘anak’ layar di bagian depan serta belakang. Bark yang biasa digunakan dalam pelayaran antara Batavia dan Padang saat Perang Padri mampu membawa 300-an penumpang. Korvet adalah kapal dengan dua atau tiga layar dan dipersenjatai di bagian haluan, samping kiri dan kanan, serta buritan. Ukuran korvet yang digunakan untuk pelayaran Batavia – Padang lebih kecil dari fergata atau bark, dengan penumpang sekitar 100-an orang. Salah satu korvet yang sering digunakan selama Perang Padri adalah Zr. Ms. Korvet Zwaluw milik Angkatan Laut (Departeman Perang dan Angkatan Laut).

Du Puy, sebagai Residen Padang adalah petinggi Hindia Belanda pertama yang melakukan pelayaran dari Batavia ke Padang segera setelah Belanda kembali menguasai daerah ini. Dalam pelayaran itu dia diikuti oleh 150 orang tentara dari kesatuan infantri (Eropah), 12 orang dari kesatuan artileri, dan 2 pucuk meriam 6 ponders. Du Puy berlayar dengan kapal jenis fergata yang bernama Zr. Ms. Fregat Wilhelmina.

Zr. Ms. Fregat Wilhelmina (lengkapnya Zijner Majesteits Fregat Wilhelmina) adalah salah satu kapal perang Hindia Belanda yang banyak digunakan untuk pengangkutan para pejabat sipil dan militer tingkat daerah atau Hindia Belanda ke dan dari Sumatra Barat. Beberapa Residen, bahkan Komisaris dan Gubernur Jendral Hindia Belanda yang pernah berkunjung ke daerah ini juga diangkut dengan kapal ini. Di samping itu, Zr. Ms. Fregat Wilhelmina sering digunakan untuk pengangkutan tentara.

Pelayaran dari Batavia ke Padang atau sebaliknya adalah pelayaran yang lama dan sangat sering menegangkan. Waktu yang dibutuhkan adalah selama tiga sampai empat minggu. Perbedaan waktu pelayaran umumnya disebabkan oleh cuaca, atau keadaan angin. Bila pelayaran dilakukan pada waktu yang tepat, dalam artian sesuai dengan arah angin atau angin lagi bersahabat, maka pelayaran berlangsung dengan lancar. Biasanya dalam waktu tiga minggu. Sebaliknya bila angin lagi tidak bersahabat, pelayaran menjadi lama (sampai satu bulan atau bahkan lebih).

Pengaruh angin yang bisa menyebabkan pelayaran menjadi sangat menegangkan sesungguhnya telah dirasai sejak dimulainya pelayaran di Batavia, atau dirasakan pada saat kapal tiba di Padang. Pada era Perang Padri, baik di Batavia atau di Padang, kapal berangkat dari pelabuhan yang berada di pulau (Pulau Onrust di Batavia dan Pulau Pisang Gadang di Padang). Dalam dunia maritim Indonesia, pelabuhan yang berada di pulau ini dinamakan reede.

Reede Padang
Epp, Franz, Schilderungen aus Ostindische Archipel. Heidelberg: J.E.B. Mohr, 1841).

Para penumpang atau barang dibawa ke reede dengan perahu pantai yang ukurannya relatif kecil. Jenis perahu yang lazim digunakan adalah sloep dengan empat pendayung. Perahu pantai ini sangat rentan terhadap cuaca. Bila angin kencang perahu tidak bisa beroperasi, bahkan kalau nekad berlayar bisa-bisa dihanyutkan dan berakhir dengan kegagalan mencapai reede. Ada banyak pengalaman mengerikan yang dialami penumpang dengan perahu pantai ini. Boelhouwer (1831) misalnya mengisahkan pengalamannya yang gagal total mencapai Reede Pulau Onrust, padahal sudah diupayakan selama empat hari. Kegagalan itu menyebabkan pelayarannya ke Padang dibatalkan selama satu bulan (menunggu angin yang lebih bersahabat). Penyebab utama kegagalan itu adalah angin yang bertiup sangat kencang (angin barat daya yang biasanya berhembus pada bulan Januari).

Pengalaman mengerikan yang sama juga dikisahkan oleh Nahuijs (1825). Nahuijs menceritakan betapa berbahayanya situasi di sekitar Reede Pulau Pisang Gadang di Padang. Ganasnya ombak tidak hanya membuat tegangnya para penumpang perahu pantai dari reede menuju Muaro yang jaraknya hanya 3 englische mijlen itu, tetapi juga menghanyutkan sebuah kapal yang tengah berlabuh saat itu, yaitu kapal Zr. Ms. Colonial Korvet Zwaluw. Kapal itu hanyut karena sauhnya terbongkarnya disebabkan oleh angin yang sangat kencang serta tingginya gelombang. Nahuijs mengatakan bahwa korvet tersebut sempat terseret arus ke laut lepas hingga beberapa hari. Berbahanya Reede Pulau Pisang juga dikisahkan oleh H.J. Lion. Lion mengisahkan pengalaman yang dialaminya bersama 100 serdadu yang terseret arus saat menaiki perahu dari Reede Pulau Pisang Gadang menuju Muaro pada tahun 1835. Karena kuatnya hembusan angin dan ganasnya ombak, dia dan kawan-kawan terseret arus hingga ke tengah laut selama satu hari.

Di samping Padang, reede juga ada di Pariaman dan Tiku serta Air Bangis. Namun berbeda dengan Reede Pulau Pisang Gadang, ketiga reede yang disebut terakhir digunakan untuk keperluan pelayaran lokal. Pada masa Perang Padri ketiga reede ini khusus digunakan oleh Belanda guna menghadapi Padri atau untuk transportasi militer dari dan ke Padang atau antar reede. Dari tiga reede tersebut, Reede Pariaman dan Tiku yang paling banyak digunakan. Kedua reede ini bahkan disebut juga sebagai pangkalan angkatan laut Belanda. Penyebutan ini berhubungan dengan tingginya aktivitas kapal-kapal perang Belanda di sana.

Untuk pelayaran lokal, digunakan kapal dalam ukuran yang lebih kecil. Ada tiga jenis kapal yang sering digunakan, yaitu jenis corvet, brik dan sekuner. Pada awal-awal tahun 1830-an pemerintah menggunakan tujuh kapal perangnya di daerah ini. Nama-nama ketujuh kapal tersebut adalah Pullux, Circe, Janus, Argo, Hippomenes, Daphine, dan Pilades. Di samping itu, pemerintah juga menyewa kapal milik swasta. Beberapa kapal sipil yang sering disewa adalah De Vlieg, Grace, Norfolk, Silph, dan Eleonor.

Karena terletak pada kawasan perairan yang sama, dunia pelayaran lokal Sumatra Barat sama berbahayanya dengan pelayaran antara Batavia dengan Padang. Angin kencang atau badai juga menjadi momok utama dalam dunia pelayaran lokal ini. Bagaimana menegangkannya pelayaran lokal ini bisa dilihat dari pengalaman Boelhouwer. Jarak Pariaman Tiku yang bisa ditempuh dalam beberapa jam harus ditempuhnya dalam waktu delapan hari, karena kapal yang ditumpanginya diamuk badai sehingga terseret jauh ke tengah laut. Pengalaman yanag sama juga sering dialami oleh berbagai pelaut, Belanda atau bumiputera, baik di bagian utara atau selatan Padang. Bahkan ada sejumlah kisah yang mengatakan adanya sejumlah kapal (perahu) yang hilang karena dihantam badai dan ombak besar. Untuk informasi yang terakhir juga ditemukan dalam sejumlah cerita rakyat di kawasan Pariaman, Tiku, Pasaman dan Natal, serta Bandar Sepuluh (Pesisir Selatan).

Namun, bagaimana pun ganasnya ombak dan kencangnya angin, kapal-kapal perang Belanda tetap dimanfaatkan dalam upaya menumpas kaum Padri. Ada banyak catatan pengerahan kapal-kapal perang itu, di antaranya pengiriman sejumlah kapal perang untuk menaklukan Padri yang mengepung dan menyerang tentara Belanda di Singkel dan Air Bangis, serta pengerahan sejumlah kapal perang untuk menyerang kubu pertahanan Padri di Katiagan, dan kawasan di bagian utara, seperti Tapus, Barus dan kawasan sekitarnya.

Setiap kali ekspedisi penyerangan dilakukan, rata-rata kapal perang (dan kapal swasta yang disewa) yang dikerahkan berjumlah empat sampai tujuh buah. Kapal-kapal itu dipersenjatai dengan meriam dengan berbagai kaliber (yang paling besar 30 pon). Sedangkan jumlah serdadu yang dikirim rata-rata sebanyak 200 sampai 300-an orang.

Didukung oleh persenjataan yang kuat serta strategi perang yang jitu, umumnya setiap penyerangan yang dilakukan berbuah manis bagi pasukan Belanda. Mereka hampir selalu mendapat kemenangan. Walaupun demikian, kemenangan tersebut bukanlah diraih dengan mudah, kaum Padri memberikan perlawanan hebat.

IV

Tidak ada atau sangat minim informasi mengenai jumlah dan jenis kapal yang dimiliki oleh kaum Padri. Dari informasi yang sedikit itu diketahui bahwa umumnya kapal yang dimiliki oleh kaum Padri adalah jenis perahu atau kapal layar dalam ukuran kecil. Ada juga kapal jenis sekuner yang mereka miliki.

Kapal-kapal ini umumnya dipakai untuk kegiatan perdagangan antarkota (negeri) di kawasan utara, di kawasan mulai dari Katiagan ke utara. Disebutkan juga kapal-kapal mereka juga berlayar dan berdagang hingga Barus, Singkel dan Meulaboh. Orang atau saudagar Aceh adalah mitra dagang utama mereka. Di samping itu, terutama hingga akhir 1820-an mereka juga berdagang dengan saudagar Amerika dan Inggris. Kontak dagang Padri dengan saudagar Amerika dan juga Inggris dikurangi oleh Belanda dengan membuka pelabuhan Padang bagi kedua kelompok saudagar tersebut.

Orang atau saudagar Aceh yang tidak mau bersahabat dengan Belanda adalah mitra saudagar Padri yang aktif. Mereka tidak hanya menunggu kedatangan saudagar Padri di kawasan mereka. Mereka bahkan lebih aktif mendatangi dan berdagang di kawasan Pasaman, kawasan yang hingga awal 1830-an dikatakan sebagai kawasan Padri.

Aktivitas pelayaran, perkapalan dan perdagangan kaum Padri dan Aceh ini sangat dibenci Belanda. Aktivitas mereka tidak hanya merugikan Belanda secara ekonomi, tetapi merongrong kedaulatan mereka. Apalagi dalam beberapa kesempatan, kaum Padri yang didukung oleh saudagar Aceh menyerang tentara (benteng) Belanda atau orang, serta kawasan yang bekerjasama dengan Belanda. 

Untuk itulah, berbagai ekspedisi militer melalui laut dan menggunakan sejumlah kapal perang dikerahkan ke kawasan utara. Tidak hanya ekspedisi militer yang dilakukan, pemerintah Belanda juga melahirkan tudingan ala kolonialis terhadap para saudagar dan pelaut Padri atau Aceh. Terhadap saudagar dan pelaut Padri atau Aceh yang paling besar pengaruhnya serta paling gencar melawan Belanda di laut dijuluki sebagai perompak. Salah seorang saudagar dan pelaut hebat yang sangat ditakuti dan dibenci Belanda, serta digelari sebagai bajak laut adalah Sidi Mara.

Tudingan sebagai bajak laut terhadap para pejuang bumiputra yang melakukan perlawanan di kawasan perairan sangat lazim diciptakan oleh kaum kolonialis di Nusantara ini. Ada banyak, dan sangat banyak saudagar dan pelaut Nusantara yang dituding sebagai bajak laut oleh Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol sebagai bajak laut. Dan sekali tudingan diberikan, maka ada alasan bagi kolonialis untuk menyerang, menghukum atau bahkan membunuh mereka. Sidi Mara dan sejumlah saudagar pelaut Padri dan Aceh akhirnya juga diserang dan dibunuh oleh Belanda (dan Urang Awak yang bekerjasama dengannya).

Tudingan sebagai bajak laut adalah salah satu senjata pamungkas kolonialis Belanda dalam menghancurkan perlawanan kaum Padri di kawasan pantai. Ditawan atau dibunuhnya saudagar pelaut Padri sekaligus menjadi akhir kejayaan dunia maritim Padri di daerah ini. Ditangkap, dibunuh dan hilang atau menghilangnya saudagar pelaut Padri semakin mengukuhkan dominasi Belanda di dunia maritim pantai barat Sumatra Barat.

V

Pemerintah kolonial Belanda ingin menubuhkan dominasinya secara maksimal di kawasan perairan. Setelah mengalahkan saudagar dan pelaut Padri serta menjadikan Kawasan Padri (Padri Gebied) sebagai bagian dari daerah administratifnya, maka Belanda mulai mengintensifkan penelitian terhadap kawasan pantai dan laut di daerah ini. Upaya ini dilakukan karena selama ini, kawasan perairan dan sebagian besar daerah pesisir Pantai Barat merupakan kawasan yang asing bagi pemerintah dan orang Belanda. Hingga awal tahun 1830-an beberapa penulis Belanda masih menyebut kawasan ini sebagai kawasan yang masih liar dan belum dikenal. Karena itu, seiring dengan ditaklukkannya saudagar dan pelaut, serta kawasan Padri lewat operasi militer, maka dimulailah sejumlah penyelidikan terhadap perairan dan kawasan pantai Sumatra Barat. Tiga peneliti yang melakukan pengkajian pada saat berkecamuknya Perang Padri adalah Dr. S. Müller, Dr. L. Horner, dan H.L. Osthoff. Para peneliti itu ditugaskan khusus oleh pemerintah kolonial untuk melakukan penelitian ini, bahkan ada permyataan alu-aluan terhadap Gubernur Jendral dalam laporan yang mereka buat. Mereka pun bekerja (meneliti) atas nama lembaga yang memiliki wewenang dan ditugaskan khusus melakukan penelitian ini. Dr. S. Müller, Dr. L. Horner adalah anggota komisi ilmu pengetahuan Hindia Belanda dan H.L. Osthoff adalah anggota komisi hidrografi Pantai Barat Sumatra. Di samping ketiga peneliti di atas, sejumlah kapten kapal perang yang pernah bertugas di perairan pantai barat Sumatra Bara selama Perang Padri juga telah membuat sejumlah peta kawasan perairan kawasan ini.

Peta Kawasan Perairan Sumatra’s Westkust
(Osthoff, H.L., Beschrijving van het Vaarwater Langs de Westkust van Sumatra, Tusschen Padang en Tapanoly: Behoorende bij de Kaart Opgenomen op Indische Bestuur in de Jaren 1834 tot 1838. Batavia: Landsdurkkerij, 1840).

Hasil penelitian dan peta-peta mereka yang dipublikasikan beberapa saat setelah penelitian dilakukan atau pada tahun-tahun terakhir Perang Padri sangat besar artinya bagi ekspansi politik Belanda di kawasan pesisir (terutama bagian utara) dan kemudian sangat besar artinya bagi eksploitasi ekonomi kawasan ini. Hasil penelitian dan peta-peta tersebut memberikan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai keadaan semua reede yang ada di Pantai Barat, jumlah, lokasi dan keadaan semua pulau dan gosong (karang) yang ada perairan Pantai Barat, serta keadaan (lingkungan) pesisir di kawasan ini.

Pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai lingkungan maritim Pantai Barat Sumatra ini adalah modal atau bekal bagi Belanda dalam menguasai daerah ini. Bukankah ilmu pengetahuan adalah salah satu senjata hebat yang bisa digunakan untuk menguasai suatu daerah dan sekelompok orang?

Pengetahuan akan lingkungan laut dan pesisir adalah aspek maritim yang lain yang menentukan bagi hegemoni Belanda selama dan setelah Perang Padri di Sumatra Barat. Dengan demikian tidak salah kiranya mengatakan bahwa aspek-aspek maritim ada dan mempunyai peran yang besar dalam Perang Padri.

Daftar Bacaan

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkut Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Epp. Franz, Schilderungen aus Ostindische Archipel. Heidelberg: J.E.B. Mohr, 1841.

Kielstra, E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lion, H.J., Een Uit Naar Padang. Batavia: Ogilvie en Co., 1869.

Müller, S., L. Horner, Reizen en Onderzoekingen in Sumatra op Last der Nederlandsche Indische Regerring Tusschen de Jaren 1833 en 1838. ‘s-Gravenhage: K. Fuhri, 1855.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (Tweede, Vermeerde Druk) (Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Osthoff, H.L., Beschrijving Van Het Vaarwater Langs De Westkust Van Sumatra, Tusschen Padang En Tapanoly: Behoorende Bij De Kaart Opgenomen Op Last Van Het Nederlandsch Oost Indisch Bestuur, In De Jaren 1834 Tot 1838. Batavia: Landsdrukkerij, 1840.

Regeerings­almanaken van Nederlandsch Indie van 1830 dan 1833. Batavia: Ter Land Drukkerij, 1830 dan 1833.

Verbeek, R.D.M., Topograpsche en Geologische Beschrijving van Een Gedeelte van Sumatra’s Westkust. Amsterdam: Stemberg, 1880.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Benteng-Benteng Pada Masa Perang Padri

Benteng menjadi salah satu bagian penting dalam Perang Padri. Kaum Padri dan Belanda sama-sama membuat benteng dan sama-sama berupaya pula menghancurkan benteng lawan. Karena itu ada banyak benteng yang dibangun selama perang Padri, dan seiring dengan itu ada banyak pula benteng yang dihancurkan. Hingga saat sekarang, atau hingga beberapa dekade yang lalu, di banyak daerah di Minangkabau masih ditemukan kampung atau kawasan yang dinamai benteng, atau penamaan lain yang memiliki makna benteng. Kata orang-orang tua, benteng-benteng tersebut adalah benteng-benteng peninggalan masa Padri.

Signifikansi posisi benteng dalam Perang Padri bahkan bisa dilihat dari kenyataan, bahwa Perang Padri sesungguhnya dimulai dengan pendudukan sebuah benteng, yakni Benteng Simawang oleh Belanda (20 Februari 1821). Pendudukan Benteng Simawang itu dilakukan sekitar 10 hari setelah ditandatanganinya Perjanjian 10 Februari. Perjanjian 10 Februari adalah perjanjian antara Belanda dengan wakil-wakil Keluarga Kerajaan Pagaruyung, Suruaso, dan sejumlah penghulu dari Tanah Datar, yang isinya antara lain tentang penyerahan secara formal dan mutlak nagari-nagari Pagaru­yung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-dae­rah di sekeliling Kerajaan Mi­nang­­ka­bau kepa­da pemerin­tah Hindia Belanda, pernyataan kesetiaan para penanda tangan perjanjian kepada Belanda, termasuk kesediaan membantu Belanda menghancurkan Padri. Dalam perjanjian itu juga dinyatakan bahwa Belanda akan menyerang Padri dan melindungi rakyat (anak kemenakan para penghulu penandatangan perjanjian tersebut) dari gangguan kaum Padri.

Benteng Simawang sesungguhnya adalah benteng Inggris yang dijaga oleh 80 tentara dari kesatuan Bengali (India), dan mulai ditempati sejak akhir Juli 1818, pada saat Raffles dan rombongannya kembali dari ‘kunjungan ilmiah’ ke pedalamanan Minangkabau. Bagi Belanda, pendudukan Benteng Simawang berarti mengakhiri tapak kekuasaan Inggris di daerah pedalaman, dan sebagai bagian dari pernyataan perang terhadap Padri. Menurut du Puy, Residen Padang, kalau tidak diduduki, Padri akan menguasai Benteng Simawang. Du Puy berprinsip, lebih baik mendahului (mengambil alih Benteng Simawang) daripada didahului oleh Padri. Jadi, benteng adalah salah satu titik pangkal Perang Padri.

Benteng Simawang yang diambil alih dari tentara Inggris dari kesatuan Bengali itu adalah benteng pertama Belanda di daerah pedalaman.

Benteng kedua Belanda adalah benteng yang secara langsung berkaitan dengan Perang Padri. Maksudnya, benteng kedua ini dibangun dalam kaitannya dengan perang antara Belanda dengan kaum Padri. Benteng itu dibangun sebagai bagian dari kampanye militer dan ekspansi politik Belanda di daerah pedalaman. Benteng kedua itu dinamakan Fort van der Capellen.

Cikal bakal benteng ini adalah berupa post militer yang dibangun oleh Letkol Raaff pada awal Maret 1822. Raaff memilih sebuah puncak bukit di Batu Sangkar sebagai lokasi pembangunan post militer ini. Dalam waktu singkat post tersebut berkembang menjadi sebuah benteng yang tangguh, yang pada awalnya dinamakan Het Fort van Pagaroejong. Ketangguhan benteng tersebut terlihat dari sketsa berikut.

Het Fort van Pagaroejong.
(Koleksi Yayasan Rusli Amran)

Seiring dengan perjalanan waktu dan seiring pula dengan makin hebatnya suasana perang, Belanda meningkatkan kualitas dan kapasitas benteng. Perkembangan ini berhubungan juga dengan dijadikannya lokasi benteng sebagai kedudukan komandan militer dan ibu kota pemerintahan sipil di daerah pedalaman. Nama benteng (dan daerah) pun diganti menjadi Fort van der Capellen.

Mengacu pada pengalaman sebelumnya, terutama pengalaman pada masa VOC, Fort van der Capellen juga dirancang sebagai ‘kantor’ komandan tentara dan pimpinan tertinggi (pejabat) sipil, kantor aparatur pemerintahan sipil dan militer, dan sekaligus sebagai tempat tinggal para pegawai dan tentara (prajurit), serta juga gudang. Karena itu benteng menjadi sebuah (komplek) bangunan yang besar dan luas. Di samping dibangun pada tempat yang strategis, di atas puncak sebuah bukit, benteng juga dikelilingi oleh lapangan yang luas (yang memungkinkan para penjaga segera dapat melihat kalau ada musuh yang datang). Untuk itu, pohon-pohon di sekitar benteng ditebangi hingga jarak belasan atau puluhan meter dari pagar atau tembok terluar benteng. Gambar berikut, yang diambil dari buku de Stuers menampilkan gambaran Fort van der Capellen yang telah ‘sempurna’ beberapa tahun setelah didirikan.

Fort Van der Capellen.
(Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdan: P.N. van Kampen, 1849).

Fort van Capellen adalah basis kedudukan Belanda pertama di daerah pedalaman. Seperti disebut di atas, benteng ini kemudian menjadi pusat komando militer dan pusat pemerintahan sipil. Itulah sebabnya, Fort van der Capellen menjadi ibu kota unit administratif setingkat District (District Minangkabau) yang dibentuk pada saat awal Perang Padri. Keberadaan benteng ini menjadikan daerah sekitarnya ramai didatangi oleh penduduk berbagai nagari di Tanah Datar. Itu pulalah sebabnya dalam waktu yang tidak begitu lama Fort van der Capellen menjadi sebuah hunian yang ramai.

Pola pembangunan Fort van der Capellen menjadi model pembangunan beberapa benteng Belanda lainnya. Keberadaan benteng diawali dengan pembuatan post dan dilanjutkan dengan pembuatan benteng. Namun bisa dikatakan, bahwa tidak semua post yang kemudian berubah menjadi benteng. Perubahan post menjadi benteng sesungguhnya didasari oleh strategis atau tidaknya lokasi di mana post berada, serta yang lebih penting lagi, adalah potensi ancaman kaum Padri, dan besarnya peluang untuk memenangi perang melawan kaum Padri.

Pada tahun-tahun pertama perang, Belanda membangun banyak post di Tanah Datar dan Agam. Beberapa di antaranya adalah post Suruaso, Rao-Rao, Tanjung Alam, Gunung, Guguk Sigandang, Bukittinggi, Kapau, Kayutanam, dlsbnya. Sebagian dari post itu kemudian dikembangkan menjadi benteng, bahkan menjadi pusat komando militer dan pusat kegiatan politik (adminsitratif). Berikut adalah gambar Fort Tanjung Alam, Suruaso, Fort de Kock, dan Kayutanam.

Fort Tandjoeng Alam.
(Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849)
Fort Suruaso.
(Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbtreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol.I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849)
Fort de Kock.
(Stuers, H,J,J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849).
Fort van Kajutanam.
(Budhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861)

Segera setelah perang usai, sebagian besar benteng Belanda ditinggalkan dan terlantar, terutama benteng yang tidak berada di pusat pemerintahan sipil atau militer. Namun untuk Fort van der Capellen dan Fort de Kock tetap dipertahankan, bahkan berkembang menjadi tangsi yang besar. Gambar berikut menyajikan gambaran tangsi Fort de Kock sekitar 30 tahun seusai Perang Padri sebagai disajikan dalam buku E.W.A. Ludeking (1865).

Tangsi Militer Fort de Kock.
Ludeking, E.W.A., Natuur en Geneeskunde Topograhie van Agam (Weskust van Sumatra) (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867).

Sesuatu yang menarik dari keberadaan benteng Belanda adalah bahwa semua benteng diberi nama, terutama untuk benteng yang memiliki arti dan kedudukan penting secara militer, politik dan administrasi pemerintahan. Nama-nama yang diberikan umumnya nama-nama pejabat tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jendral), nama komandan tentara, baik yang berada di tingkat pusat (Batavia) atau yang ikut dalam perang Padri. Di samping nama-nama benteng yang di sebut di atas, seperti nama Fort van der Capellen dan Fort de Kock, juga ada nama Fort Veldman, Fort Cochius, Fort Amerongen, Fort Reiss, dlsbnya.

Setidaknya ada 22 (atau lebih) benteng yang dibuat oleh Belanda selama Perang Padri. Seperti disebut di atas, setelah dipergunakan banyak benteng itu yang ditelantarkan, dan beberapa di antaranya masih dipergunakan untuk keperluan pemerintahan sipil dan militer hingga perempat ketiga abad ke-19. Benteng-benteng yang ditinggalkan atau ditelantarkan akan hancur dalam waktu yang tidak begitu lama. Hal ini disebabkan sebagian oleh material pembangunan benteng umumnya terdiri dari bambu dan kayu atau batang kelapa, serta atap ilalang dan nipah. Hanya benteng-benteng utama yang bertahan karena tetap dipelihara dan senantiasa dilakukan peningkatan kualitas materialnya, termasuk penggunakan semen dan atap seng.

Pembangunan benteng dilakukan oleh tentara Belanda dengan bantuan ‘orang Melayu’, sebutan beberapa penulis Belanda terhadap Urang Awak yang berkerjasama dengan Belanda.

Di samping Tanah Datar dan Agam sebaran benteng lebih banyak di Limapuluh Kota dan Pasaman. Untuk kawasan selatan (Solok hingga Sijunjung) jumlahnya tidak banyak, karena setelah terdesak dari Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, kaum Padri mengonsentrasikan perlawanannya di bagian utara, sehingga kampanye militer Belanda mengganyang Padri relatif sedikit di kawasan selatan.

Dalam perang menghadapi Belanda, kaum Padri juga memiliki dan membuat benteng. Sejak hari-hari pertama berperang melawan Padri, pejabat atau komandan tentara Belanda telah menyebut adanya benteng kaum Padri. Du Puy malah melaporkan ke Batavia tentang adanya benteng kaum Padri di Sulit Air, nagari pertama yang diserang Belanda segera setelah mereka menduduki Benteng Simawang. Du Puy melaporkan bahwa pemimpin Padri di Sulit Air telah mempersiapkan diri dengan membentengi nagarinya, serta menyediakan meriam dan persenjataan lengkap dalam rangka menghadapi musuh.

Benteng sesungguhnya bukan sesuatu yang baru bagi Padri khususnya dan orang Minang pada umumnya. Benteng, dalam artian sesuatu yang bisa dipakai untuk mempertahankan diri atau berlindung dari serangan musuh telah lazim dikenal orang Minang, bahkan sejak sebelum Perang Padri. Dua ungkapan yang lazim digunakan orang Minang untuk sistem pertahanan atau perlindungan diri ini adalah bonjol dan koto. Bonjol dan koto memiliki makna yang hampir sama dengan benteng.

Secara umum, bonjol atau koto lebih sederhana bila dibandingkan dengan benteng ‘modern’ milik orang Eropa. Biasanya bonjol atau koto hanya terbuat dari onggokan atau gundukan tanah mengelilingi suatu kawasan atau lokasi tertentu, yang dilengkapi dengan bambu (aur) berduri hidup yang ditanam rapat dan cukup tebal. Bonjol atau koto umumnya berlokasi di tempat yang tinggi (bukit), dan tidak jauh dari pusat pemukiman (kampung). Keberadaan bonjol atau koto itu ada kaitannya dengan tradisi ‘perang batu’, ‘perang adat’, dan ‘cakak banyak’ yang lazim dilakukan Urang Awak di masa lalu.

Kebangkitan agama Islam, dalam artian penegakkan ketertiban dan keamanan dilakukan oleh pembaharu Islam pada perempat terakhir abad ke-18 dan kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Padri semakin menumbuhsuburkan pembuatan bonjol dan koto di daerah ini. Bahkan pada masa Gerakan Padri dan kemudian pada saat Perang Padri kualitas bonjol dan koto semakin ditingkatkan. Di samping dilindungi oleh pagar bambu (aur) berduri yang rapat dan padat, serta gundukan tanah, pada saat itu bonjol dan koto juga diperkuat oleh tumpukan batu dan dinding kayu atau batang kelapa, serta ditempatkan di lokasi-lokasi yang strategis, termasuk di atas bukit. Saat itu jumlah bonjol dan koto meningkat dengan signifikan. Itulah sebabnya, catatan-catatan perjalanan atau laporan-laporan yang dibuat pejabat (militer dan sipil) Belanda pada masa Perang Padri, seperti du Puy, Nahuijs, de Stuers, dan Boelhouwer, sering menyebut adanya banyak bonjol atau koto di daerah ini.

informasi tentang bonjol dan koto juga dikemukakan oleh pelaku sejarah dan tokoh Padri sendiri, salah satu di antaranya adalah Tuanku Imam Bonjol. Dalam autobiografinya, Tuanku Imam Bonjol menyebutkan tentang pembangunan dan keberadaan koto di Bonjol. Dia juga menceritakan tentang koto-koto Padri lainnya yang ada di perbukitan sekitar Bonjol, serta yang ada di nagari-nagari lain di sekitar Bonjol.

Cerita rakyat atau ingatan kolektif warga berbagai nagari di Minangkabau juga menyebut adanya benteng (Padri) di nagari mereka.

Sayangnya, hampir semua gambaran tentang bonjol atau koto itu hanya berupa narasi. Para penulis tersebut hanya mendeskripsikan lewat rangkaian kata-kata posisi dan keadaan bonjol atau koto tersebut. Cerita rakyat atau ingatan kolektif warga nagari bahkan mengambarkan bonjol atau koto dengan deskripsi yang luar biasa. Misalnya dikatakan “benteng itu berpagarkan aur berduri yang sangat rapat dan tebal sehingga untuk menghancurkannya Belanda terpaksa menembakkan uang koin dengan meriam ke dalam rimbunan aur berduri itu. Dan Urang Awak yang berada di dalam benteng yang ‘lapar uang’ serta-merta menebangi batang demi batang aur berduri itu untuk mendapatkan koin-koin tersebut, sehingga akhirnya Belanda dengan mudah menguasai benteng’.

Dengan membaca deskripsi para penulis tentang bonjol atau koto dengan membaca secara saksama kita akan mampu mengimajinasikan bagaimana kehebatan dan kecanggihan bonjol atau koto tersebut. Apalagi dalam karya-karya itu, penulis Belanda mengatakan kekaguman mereka akan struktur dan perlengkapan bonjol dan koto tersebut. Bahkan berkali-kali pula mereka mengatakan bahwa gerak maju pasukan Belanda sangat terganggu oleh adanya bonjol atau koto itu, serta berkali-kali pula dikatakan dibutuhkan upaya yang luar biasa oleh pasukan Belanda hingga mereka bisa menaklukan bonjol atau koto kaum Padri. Itulah pulalah sebabnya, mengapa dalam tulisan ini tidak disajikan sketsa atau lukisan bonjol atau koto tersebut. Karena tidak didapat (atau tepatnya belu ditemukan) adanya sketsa atau lukisan tentang bonjol atau koto yang lengkan.

Sistem pertahanan kaum Padri sesungguhnya tidak hanya berupa bonjol atau koto, tetapi juga kampung secara keseluruhan. Kampung-kampung Padri khususnya dan kampung-kampung di Minangkabau di masa lalu secara umumnya, ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan struktur yang mampu melindungi warga dari serangan atau serbuan musuh dari luar. Di sekeliling kampung biasanya dipagari dengan bambu (aur) berduri yang hidup yang tebal, atau dikelilingi oleh bandar atau aliran air yang cukup lebar dan dalam, atau juga dikelilingi oleh gundukan (onggokan) tanah yang di beberapa tempat juga disertai oleh batu-batu. Tidak jarang, pada kampung-kampung tertentu pagar hidup bambu (aur) berduri atau bandar/aliran air tersebut terdiri dari dua atau tiga lapis dengan ketebalan bambu hidup dan kedalaman air yang berbeda antara lapisan pertama dengan lapisan kedua. Pada masa Padri, di beberapa perkampungan Padri ditemukan juga adanya rumah-rumah jaga dan gerbang khusus tempat keluar masuk penduduk kampung. Salah satu contoh perkampungan Padri yang seperti benteng itu terdapat di Dalu-Dalu. Sketsa berikut menggambarkan kecanggihan struktur kampung Padri tersebut.

Menghancurkan bonjol atau koto serta perkampungan yang laksana benteng itu adalah salah satu strategi Belanda dalam Perang Padri. Berbagai cara dilakukan Belanda untuk menguasai dan menghancurkan benteng atau perkampungan itu. Dalam kenyataannya, salah satu penyebab kekalahan kaum Padri adalah dihancurkan atau dikuasainya benteng-benteng mereka oleh Belanda. Bahkan, salah satu berakhirnya Perang Padri, menurut salah satu versi yang dinarasikan oleh Belanda ditandai dengan jatuhnya benteng Padri di Bonjol tahun 1837.

Sebagaimana disebut di atas, sebagian besar benteng Belanda, bonjol atau koto telah hilang dan tidak meninggalkan jejak lagi. Namun informasi tentang lokasi dan keberadannya masih bisa ditemukan dalam sejumlah literatur dan ingatan kolektif anak nagari. Karena itu, dalam rangka 200 Tahun Perang Padri tahun ini, ada baiknya juga diadakan serangkaian kegiatan yang bisa mengaktualkan keberadaan benteng atau bonjol serta koto, yang pernah berperan penting dalam Perang Padri dulu. Misalnya mengadakan wisata sejarah ke benteng atau bonjol serta koto itu atau pelaksanaan upacara mengingat para pahlawan Padri di lokasi benteng atau bonjol serta koto, atau kegiatan-kegiatan lain yang mengingatkan kita akan keberadaan dan peran benteng atau bonjol serta koto dalam Perang Padri. Atau perlu juga dipertimbangkan oleh pemerintahan daerah, baik tingkat Provinsi atau Kabupaten untuk menghadirkan kembali (merekonstruksi atau merehabilitasi) benteng, bonjol atau koto-koto yang ada di daerah mereka, sehingga itu bisa menjadi bagian dari pembelajaran sejarah, serta sekaligus menjadi objek wisata. Semoga.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Budhhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Ludeking, E.W.A., Natuur-en Geneeskundige Topographie van Agam (Westkust van Sumatra). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L., de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849 dan 1850.

Ditulis oleh Gusti Asnan

Perang Padri dan Pemerintahan Daerah Sumatra Barat

Perang Padri mempunyai arti yang penting bagi terbentuknya pemerintahan Sumatra Barat. Tidak hanya berperan dalam proses pembentukannya, Perang Padri menjadi iven historis yang penting bagi perluasan wilayah administratif, serta perluasan struktur dan aparatur pemerintahan Sumatra Barat. Perang Padri adalah salah satu dari sedikit perang di Indonesia yang diiringi dengan sangat banyak perubahan dalam berbagai komponen pemerintahan daerah di mana perang itu berlangsung.

Pada saat pemerintah Hindia Belanda mulai berkuasa tahun 1819, unit administratif yang ada di daerah ini dinamakan Residentie Padang. Unit administratif ini dipimpin oleh seorang Resident yang dibantu oleh seorang Asisten Residen, yang sekaligus berperan sebagai juru tulis. Wilayah yang menjadi bagiannya hanya mencakup kawasan sekitar Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, dan Air Haji. Aparatur pemerintahannya sangat terbatas karena wilayahnya juga terbatas.

Lukisan Tuanku Imam Bonjol sebagaimana dilampirkan dalam buku H.J.J.L. de Stuers, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. II). (1850).

Luas wilayah seperti ini berlangsung selama tiga tahun. Tahun 1823 ada perubahan, dan perubahan itu berhubungan secara langsung dengan Perang Padri. Perubahan tersebut merupakan perubahan nama, luas wilayah, dan perubahan aparaturnya yang mulai melibatkan pejabat Urang Awak, serta pembentukan pemerintahahan bumiputra (Inlandsche Bestuur) di samping pejabat dan pemerintahan Eropa (Europesche Bestuur).

Melalui perubahan yang diundangkan bulan April 1823 nama Keresidenan diganti menjadi Residentie Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukannya). Dari namanya terlihat, bahwa wilayah yang menjadi bagian dari unit administratif ini telah diperluas dengan kawasan-kawasan yang telah dikuasai (ditaklukkan) oleh Padang sebagai pusat pemerintahan (melalui aksi militer). Di samping empat daerah yang telah disebut sebelumnya, wilayah Residentie Padang en Onderhoorigheden juga mencakup Kawasan sekitar Tanah Datar, Tanah Datar Di Bawah (Lintau dan Sekitarnya), Agam dan Limapuluh Kota. Tiga yang disebut terakhir belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.

Mengapa Tanah Datar yang seutuhnya menjadi bagian dari keresidenan itu?  Apa hubungannya dengan Perang Padri?

Perang Padri pada awalnya adalah perang antara Belanda yang didukung oleh sejumlah orang Minang dalam menghadapi kaum Padri. Keadaan seperti ini berlangsung hingga tahun 1833, karena sejak tahun 1833 itu Perang Padri telah berubah menjadi perang antara Belanda dengan orang Minang secara keseluruhan.

Perang Padri bermula dari adanya permintaan bantuan kepada Belanda oleh wakil-wakil Kerajaaan Pagaruyung dan Suruaso dalam memerangi kaum Perang Padri. Permintaan bantuan itu diperkuat dengan adanya Perjanjian 10 Februari 1821 antara wakil pemerintah Belanda di Padang (Residen du Puys) dengan wakil-wakil Kerajaaan Pagaruyung (Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar), dan Saruaso (Jang dipertuan Radja Tangsir Alam dan Jang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam), serta sejumlah penghulu dari Tanah Datar, yang salah satu isinya adalah para pemuka masyarakat dan rakyat yang menandatangani perjanjian itu akan membantu Belanda mengempur kaum Padri.

Menurut Kielstra, pada awal-awal perang Belanda menghadapi Padri mendapat bantuan sekitar 5.000 hingga 6.000 ‘gewapene Maleier”, anak-kemenakan para penghulu yang telah menyatakan kesetiaannya kepada Belanda. Sebagian besar “tentara lokal” ini berasal dari Batipuh, Singkarak, Saningkabakar, Bungo Tanjung, Pitalah, Tanjuang Barulak, Batusangkar, Sumpur, Malalo, Sambilan Koto dan Simawang. Mereka adalah anak-kemenakan dari para penghulu yang ikut menandatangai Perjanjian 10 Februari 1821.

Nagari-nagari inilah sesungguhnya yang dikatakan Tanah Datar yang menjadi bagian dari Keresidenan Padang dan Daerah-Daerah Taklukkannya itu. Itulah sebabnya mengapa hanya daerah Tanah Datar yang seutuhnya menjadi bagian dari wilayah keresiden yang baru dibentuk tahun 182 itu.

Hubungan antara Perang Padri dengan pemerintahan daerah juga terlihat dari dibentuknya dua daerah administratif setingkat District, yaitu District Padang dengan ibu kotanya Padang dan District Minangkabau dengan ibu kotanya Fort van der Capellen, yang masing-masing dipimpin oleh Asisten Residen. District Minangkabau mencakup semua daerah pedalaman yang disebut di atas, walaupun kekuasaan efektif administratifnya hanya di kawasan Tanah Datar semata.

Di samping District, juga dibentuk unit administratif yang dinamakan Hoodfdafdeeling. Ada dua Hoofdafdeeling yang dibentuk, yaitu Hoofdafdeeling Padang dan Hoofdafdeeling Minangkabau. Unit ini dikepalai oleh Hoofdregent. Berbeda dengan Asisten Residen yang merupakan orang Belanda, maka Hoofdregent dijabat oleh orang orang Minang. Hoofdregent Minangkabau diberikan kepada Sutan Alam Bagagar. Pengangkatannya sebagai pejabat tertinggi dalam barisan pemerintahan bumiputra ini sekaligus membuktikan adanya hubungan Perang Padri dengan pembentukan dan keberadaan pemerintah daerah. Seperti disebut di atas, Sutan Alam Bagagarsyah adalah satu penanda tangan Perjanjian 10 Februari 1821.

Kaitan antara Perang Padri dengan pemerintah daerah (terutama pada aparaturnya) juga terlihat dari pembentukan unit administratif Bumiputra setingkat Regentschap (Keregenan) yang dikepalai oleh Regen, Kelarasan yang dikepalai oleh Kepala Laras, dan Kenagarian yang dikepalai oleh Kepala Nagari. Para pejabat yang mengepalai unit-unit pemerintahan ini umumnya adalah para penghulun yang ikut menandatangani Perjanjian 10 Februari 1821 atau yang berperan aktif dalam membantu Belanda memerangi kaum Padri.

H.J.J.L. de Stuers, Residen Sipil dan Militer Padang dan Daerah Taklukannya yang memilih politik berdamai dengan Padri (untuk sementara waktu), selama Perang Diponegoro.

Tahun 1825, ketika jabatan Residen Sipil dan Militer dipegang H.J.J.L de Stuers, ada perubahan luas wilayah dan perombakan unit-unit administratif di daerah ini. Di samping Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, wilayah pemerintahan Residentie Padang en Onderhoorigheden diperluas hingga Barus di utara sampai Indrapura di selatan. Unit administratif Europesche Bestuut setingkat District ditiadakan dan diganti dengan Adeeling yang dikepalai oleh Asisten Residen. Ada tiga Afdeeling saat itu, yaitu:

Pertama, Zuidelijke Afdeeling (Afdeeling Selatan) yang meli­puti kawasan mulai dari Ujung Masang hingga Indra­pura. Ibu kotanya Padang

Kedua, Afdeeling Padangsche Bovenlanden (Afdeeling Da­rek) yang mencakup kawasan Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota. Ibu kota Afdeeling ini adalah Fort van der Capellen.

Ketiga, Noordelijke Afdeeling (Afdeeling Utara), yang me­liputi kawasan mulai dari Ujung Masang hingga Barus. Ibu kota dari Afdeeling ini adalah Tapanuli (Pulau Poncan).

Kecuali Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji, dan Tanah Datar, hampir kesemua daerah lainnya, yang dikatakan sebagai bagian dari Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukannya ini masih belum dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Belanda. Perluasan wilayah ini lebih disebabkan oleh keputusan politik tingkat ‘nasional’ atau ‘internasional’, yaitu diserahkannya daerah-deaerah yang sebelumnya dikuasai Inggris kepada Belanda sebagai Realisasi dari Londonsche Tractaat (1824).

Sesuatu yang menarik, dan itu ada hubungannya dengan Perang Padri adalah dibentuknya tiga jabatan Komandan Sipil Militer untuk Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan ketiga mereka diperbantukan kepada Asisten Residen Padang Darek. Ketiga Komandan Sipil dan Militer tersebut ditem­patkan di Agam, Simawang dan Pa­dang Gan­ting. Pen­ciptaan jabatan komandan sipil militer di tiga lokasi tersebut ber­kaitan erat de­ngan rumitnya tugas Asisten Residen Padang Darek akibat makin berkecamuknya Perang Paderi di kawasan pedalaman. Pengangkatan para pejabat tersebut memang ditujukan untuk memimpin dan memenangkan perang melawan kaum Padri.

Tahun 1826, masih oleh de Stuers, diadakan lagi perubahan dalam tata pemerintahan di daerah ini. Tahun itu Keresidenan Padang dan Daerah-Daerah Taklukannya dibagi menjadi empat Afdeeling, yaitu:

Pertama, Afdeeling Padangsche Benedenlanden yang meliputi kawas­an pantai, mulai dari Tiku hingga Tarusan dan ke arah daratan dinyatakan berbatas dengan kaki-kaki perbukitan.

Kedua, Afdeeling Padangsche Bovenlanden meliputi kawas­an pedalaman Sumatera Barat. Batas-batas Afdeeling ini antara lain: Sebelah utara berbatas dengan de­ngan Bonjol dan Agam, ke arah timur berbatas de­ngan Li­ma­puluh Kota dan Lintau, ke arah selatan ber­batas dengan Talawi dan ke arah barat dengan Bukit Baris­an.

Ketiga, Zuidelijke Afdeeling yang mencakup kawasan mulai dari Tarusan hingga Indrapura. Ke dalam Afdeeling ini juga dimasukkan Onderafdeeling der Eilanden, yaitu unit administratif yang baru dibentuk untuk meng­urus pulau-pulau yang terdapat di kawasan ba­rat Sumatera Barat. Pulau Batu dianggap seba­gai pulau utama sehingga di sana ditempatkan se­orang Gezag­hebber untuk On­der­­afdeeling ini.

Keempat, Noordelije Afdeeling, yang mencakup kawasan dari Ba­rus hingga Ujung Masang. Afdeeling ini dibagi la­gi menjadi empat Onderafdeelingen, yaitu: a). Barus; b). Tapanuli; c). Natal; d). Air Bangis.

Di samping berkaitan dengan pengembalian Pantai Barat oleh Inggris, perubahan pemerintahan daerah tahun 1826 itu juga berhubungan dengan gerak maju pasukan Belanda dalam perang melawan kaum Padri di daerah pedalaman. Wilayah yang dikuasai Belanda semakin luas, dan sebagian besar Agam serta Limapuluh Kota sudah mereka masuki.

Pada saat tentara Belanda semakin banyak meraih kemenangan di kawasan darek, meletus Perang Jawa. Batavia memutuskan untuk mengonsentrasikan kekuatannya guna mengakhiri perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro tersebut. Karena itu, sebagian besar tentara yang tengah berperang melawan Padri ditarik ke Pulau Jawa. Selama Perang Diponegoro berlangsung (1825-1830) nyaris tidak ada perang di Ranah Minang. De Stuers mengambil kebijakan berdamai dengan para petinggi Padri sehingga pada kurun waktu itu banyak dibuat perjanjian damai dengan kaum Padri. Kebijakan de Stuers ini juga dilanjutkan oleh penggantinya Mac Gilavry dan Elout.

Sikap politik seperti ini menyebabkan nyaris tidak ada perubahan dalam pemerintahan daerah, terutama pada jajaran Europesche Bestuur. Sebaliknya, ada perubahan yang cukup signfikan dalam barisan Inlandsche Bestuur. Posisi Sutan Alam Bagagarsyah sebagai Hoofdregent diturunkan menjadi Regen biasa. De Stuers juga memperbanyak jumlah Keregenanan, Kelarasan, dan Nagari. Belum diketahui jumlah pasti masing-masing unit pemerintah ini saat itu, tetapi menurut Westenenk ada sebanyak 17 Keregenan, dan menurut de Stuers ada 42 Kelarasan dan 80 Nagari yang diciptakan saat itu.

Penciptaan Nagari adalah sebuah fenomenan baru pada era pemerintahan de Stuers. Dalam laporan tahunannnya de Stuers menyebut bahwa dia merencanakan untuk membentuk 100 Nagari baru guna mendukung pemerintahannya. Namun yang terealisir hanya 80-an buah.

Berbeda dengan Nagari, yang sebetulnya telah merupakan unit sosial-politik ‘asli’ milik Minangkabau, Kelarasan dan Keregenan adalah bentuk baru di daerah ini. Unit-unit administratif ini memang diciptakan oleh Belanda untuk mendukung mesin kekuasaannya. Para pejabat Kepala Nagari, Kepala Laras, Regen atau juga Hoofdregent diangkat dan digaji oleh pemerintah. Sebagai konsekuensinya, mereka mesti patuh dan mengabdi kepada pemerintah.

Pada era pemerintahannya, de Stuers memang lebih banyak mengutak-atik pemerintah Inlandsche Bestuur yang umumnya para penghulu yang telah menyatakan takluk dan setia kepada pemerintah. Kelompok-kelompok inilah yang sesungguhnya berada dalam kendali serta kekuasaannya. Sebaliknya, seperti yang disebut di atas, de Stuers memilih politik ‘berdamai’ dengan kaum Padri. Keadaan seperti ini berlangsung sekitar tujuh tahun. Ketentuan seperti ini adalah salah satu penyebab mulai jauhnya jarak antara kepala-kepala penduduk bumiputra (Inlandsche Hoofden) dengan warganya, khususnya jarak antara Kepala Nagari dengan warga nagari.

Setelah Perang Diponegoro usai dan bala tentara Belanda dikirim kembali ke daerah ini, Belanda meninggalkan politik berdamai dengan Padri. Belanda yang semakin percaya diri seusai memenangkan perang melawan Diponegoro dengan segera meningkatkan tekanan serangan terhadap Padri. Dengan dukungan tentara serta peralatan tempur yang semakin lengkap, dan persediaan logistik yang memadai, Belanda meraih kemenangan demi kemenanganpada berbagai medan laga. Pada saat itulah dirasaka adanya kebutuhan terhadap aparatur dan struktur pemerintahan daerah yang lebih sempurna lagi. Maka tahun 1833 diadakankan perubahan tatata pemerintah daerah.

Perubahan, terutama sekali dilakukan pada penamaan Afdeling dan daerah-daerah yang menjadi bagian dari Afdeeling tersebut. Nama-nama Afdeeling dan daerah-daerah yang menjadi bagiannya adalah:

Pertama, Afdeeling Padang en Onderhoorigheden yang meli­puti kawasan sekitar Padang hingga Indrapura di se­la­tan. Afdeeling ini berada di bawah pimpinan se­orang Asisten Residen.

Kedua, Afdeeling Pariaman yang meliputi daerah-daerah Paria­man, Tiku, Danau, XII Koto Darek, Bonjol, Lubuk Sikaping serta Rao. Afdeeling ini ber­ada di bawah pimpinan seorang Komandan Sipil dan Militer.

Ketiga, Afdeeling Padangsche Bovenlanden yang meliputi dae­rah Agam, Limapuluh Kota, Buo dan XX Koto. Pim­pinan tertinggi dari Afdeeling ini adalah seorang Komandan Si­pil dan Militer.

Keempat, Afdeeling Natal en Onderhorigheden (termasuk Tapa­nuli) di bawah pimpinan seorang Penguasa Sipil dan Militer.

Kaitan antara penataan pemerintahan daerah dengan Perang Padri, terutama sekali terlihat dari perluasan wilayah yang menjadi bagian dari Afdeeling Pariaman. Ke dalam unit administratif ini dimasukkan Bonjol, Lubuk Sikaping serta Rao yang menjadi pusat perlawanan Padri sejak awal tahun 1830-an. Sedangkan Paria­man, Tiku, Danau, dan XII Koto Darek dijadikan sebagai bagian dari unit administratif ini karena daerah-daerah tersebut akan dimanfaatkan sebagai kawasan untuk mendukung mobilitas pasukan (tentara dan logistik) guna menggempur Padri di kawasan Bonjol, Lubuk Sikaping dan Rao.

Sejak awal 1830-an konsentrasi perlawanan Padri memang berada di kawasan utara. Bonjol yang kemudian dinamakan oleh Belanda sebagai Fort Cochius menjadi benteng terakhir perlawanan Padri. Karena itu, dikuasainya Bonjol atau ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol tanggal 16 Agustus 1837 dianggap sebagai akhir dari Perang Padri oleh penulis kolonial.

Segera setelah itu (29 November 1837) pemerintah kolonial melakukan perubahan dalam tatanan pemerintahan daerah. Status daerah ditingkatkan menjadi Gouvernement, dan dinamakan Gouvernement Sumatra’s Westkust. Ini adalah satu-satunya daerah administratif setingkat Gouvernement di Sumatra saat itu. Pemimpinannya digelari Civiele en Militaire Gouverneur (Gubernur Sipil dan Militer). Pada unit administratif ini ada dua Residentie, yang dibagi lagi menjadi beberapa Afdeelingen. Nama-nama lengkap unit-unit administratif itu adalah:

I. Residentie van Padang dibagi ke dalam lima Afdeelingen. Kelima Afdeelingen itu terdiri dari:

Pertama, Afdeeling van Padang (tempat kedudukan Residen) meli­puti daerah Padang, Nanggalo, XX Koto, Limau Manis, Lu­buk Kilangan, Bungus, Cindakir, Teluk Kabung, Pau (Standplaats van een controleur 4e kl.), Koto Tangah, Tarusan, Siguntur dan Pulut-pulut.

Kedua, Afdeeling van Pariaman yang terbagi lagi menjadi Paria­man dengan V Koto, Naras (Mangguang), Pa­ria­­man (Controleur kelas 1), VII Koto Ulakan; Tiku (Controleur kelas 3), Manggopoh, Gragahan, Lubuk Basung, XII Koto; Kayutanam (Controleur kelas 3) dengan Pakandangan dan Sintuk Lubuk Alung.

Ketiga, Afdeeling Pulau Cingkuak (Controleur kelas 3) dengan Bayang, Salido, Painan, Batangkapas, Tello, Taratta, Surantiah, Kambang, Palagai, Sungaitoro, Pangisan, Air Haji dan Indrapura.

Keempat, Afdeeling Pulau-pulau Batu (Controleur kelas 4).

Kelima, Afdeeling van Padangsche Bovenlanden yang dibagi ke dalam Onderafdeelingen: a). Padang Panjang (IX Koto, XX Koto, Batipuah) dengan seorang Controleur kelas 1 di Padang Pan­jang dan seorang Controleur kelas 2 di Singkarak; b). Fort van der Capellen (Tanah Datar dan Tanjung Alam) dengan seorang Controleur kelas 1 di Fort van der Capellen dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjung Alam; c). Fort de Kock (Agam dan VII Koto) dengan 1 Con­troleur kelas 1 di Fort de Kock dan seorang Con­troleur kelas 4 di Palupuh; d). Matua (XII Koto dan Danau-districten) dengan se­orang Controleur kelas 2 di Matua, seorang Contro­leur kelas 3 di Bambang dan seorang Contro­leur kelas 4 di Maninjau; e). Payakumbuh (Limapuluh Kota dan Halaban) de­ngan seorang Controleur kelas 1 di Payakumbuh, 1 orang Controleur kelas 3 di Halaban, 2 orang Controleur kelas 4 di Fort van den Bosch (Suliki) dan Fort Veltman (Situjuh); f). Buo (Lintau dan Koto Tujuah) dengan seorang Controleur kelas 2 di Buo dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjuang Ambalo (Ampalu?)

II. Noordelijke Residentie atau Residentie Air Bangis, terdiri dari lima Afdeelingen.

Pertama, Afdeeling van Air Bangis (tempat kedudukan Residen).

Kedua, Afdeeling van Pasaman dan Westerlijke Ophirdistricten, dengan se­orang Controleur kelas 2 (ditempatkan di Katia­gan) dan seorang Controleur kelas 1 di Parik Batu (atau Kinali).

Ketiga, Afdeling van Natal en Tapanuli dengan seorang Controleur kelas 1 di Natal dan seorang Controleur kelas 3 di Tapa­nuli.

Keempat, Afdeeling van Mandahiling en Angkola, dengan seorang Contro­leur kelas 2 di Koto Nopan dan seorang Controleur ke­las 3 di Angkola.

Kelima, Afdeeling Rao, Bonjol en Oosterlijke Ophirdistricten, dengan seorang Controleur kelas 1 di Rao, 1 Controleur ke­las 2 di Bonjol (Kota General Cochius), 1 Controleur ke­las 3 di Talu atau Malampah, 1 Controleur kelas 4 di Lubuk Sikaping.

Dari penataan pemerintahan di atas terlihat, bahwa kawasan bagian utara mendapat porsi yang lebih banyak. Bahkan kawasan Tapanuli mulai dimasukkan dan ditata dengan rinci. Unit-unit administratif yang lebih rendah juga lebih banyak di kawasan itu. Ini tentu berhubungan dengan upaya Belanda yang masih mengejar sejumlah pemimpin Padri, yang masih aktif melakukan perlawanan di kawasan tersebut. Dan memang kenyataannya hingga tahun 1842, sejumlah perlawanan dari tokoh-tokoh Padri tetap terjadi di kawasan utara atau Mandahiling hingga Rokan Hulu (dan juga di wilayah Darek, di pedalaman Minangkabau). Bahkan, dalam sejumlah literatur dikatakan bahwa Perang Padri sesungguhnya baru berakhir tahun 1842, seiring dengan berakhirnya perlawanan Rakyat Batipuh.

Sehubungan dengan itu, sejak tahun 1837 hingga 1842 diadakan sejumlah perubahan dalam pemerintahan daerah. Hasil dari beberapa penataan itu, maka tahun 1842, Gouvernement Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga Keresidenan dan 14 Afdeelingen, serta 88 Districten. Dengan rincian sebagai berikut: 1). Keresidenan Padangsche Benedenlanden (4 Afdeeling dan 35 District); 2). Keresidenan Padangsche Bovenlanden (3 Afdeeling dan 18 District); 3). Keresidenan Tapanuli (7 Afdeeling da 36 District).

Dari data di atas sangat terlihat, bahwa pasca-penaklukan Padri, ikhtiar utama Belanda adalah memperluas kekuasan di kawasan utara (Mandahiling dan Tapanuli, serta di kawasan pantai). Dari data di atas juga terlihat, bahwa pemerintah memperbanyak unit-unit administratif yang lebih rendah tingkatannya. Ini berarti sasaran utama penataan pemerintahan saat itu adalah untuk menegakkan rust en orde (ketertiban dan keteraturan), yang sasaran utamanya adalah penduduk biasa.  Dan dalam kenyataannya, pasca-1842, perlawanan atas nama Padri memang tidak ada lagi, dan kalau ada penataan dan perubahan pemerintahan daerah selepas tahun 1842, bisa dikatakan tidak ada kaitannya dengan anasir Padri.

Sejak usainya Perang Padri umumnya dan selepas tahun 1842 khususnya, jalannya pemerintahan daerah Sumatra Barat memang memperlihatkan arah yang berbeda. Penataan-penataan dan perubahan-perubahan yang dilaksanakan lebih banyak mengarah pada upaya pengeksploitasi ekonomi daerah. Eksploitasi ekonomi bisa dilakukan kalau adanya ketertiban dan keteraturan. Upaya penegakan rust en orde ini trnyata juga menjadi alasan diadakannya sejumlah penataan dan perubahan pemerintahan daerah selepas tahun 1842. Pemerintahan daerah Sumatra Barat, memang sebuah pemerintah yang sangat dinamis, senantiasa berubah. Bahkan bisa dikatakan bahwa daerah ini adalah salah satu daerah yang paling dinamais di Indonesia. Tidak percaya, cobalah simak tulisan-tulisan lainnya dalam blog ini.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatra Barat: Dari VOC hingga Reformasi. Yogyakarta: Dian Pustaka, 2006.

Kielstra, E.B., , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , “Het Onstaan van den Padri-Oorlog” dalam Indische Militaire Tijdschrift, II, 1887, hal. 224-248.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Stuers, H.J.J.L.de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Westenenk, L.C., “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.

Ditulis oleh Gusti Asnan