Skip to content

Aspek-Aspek Maritim Perang Padri

Rekonstruksi sejarah Perang Padri selama ini cendrung menjadikan daerah pedalaman (darek) sebagai setting geografisnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena kaum Padri memulai dan memokuskan gerakannya di darek. Konfrontasi bersenjata Belanda dengan kaum Padri umumnya juga terjadi di daerah pedalaman. Perubahan-perubahan sosial, politik, ekonomi, serta budaya selama dan selepas Perang Padri juga paling nampak terjadi di daerah darek.

Kecenderung penulisan sejarah yang bersifat ‘daratsentris’ini melahirkan sejumlah pertanyaan, apakah laut atau kawasan pantai, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari tanah darat, tidak terlibat dalam perang itu? Apakah aspek-aspek maritim, seperti pelayaran dan perkapalan, pelabuhan, perdagangan maritim, atau perompakan, tidak punya andil dalam perang yang dimulai tahun 1821 itu?

Tulisan ini berangkat dari pendapat bahwa aspek-aspek maritim mempunyai peran yang penting dalam Perang Padri. Ada banyak aspek maritim yang menjadi bagian dari perang tersebut. Karena itu, bisa dikatakan, tanpa aspek maritim, Perang Padri tidak akan terjadi.

II

Laut dan kawasan pesisir adalah ruang geografis yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Perang Padri. Penguasaan atas laut dan kawasan pesisir adalah juga tujuan Belanda meletuskan perang dengan kaum Padri. Hal ini disebabkan karena wilayah yang dikuasai Belanda segera setelah menerima daerah ini dari tangan Inggris hanya terbatas sekitar kota Padang, Pariaman, Pulau Cingkuk dan Airhaji. Belanda tidak puas dengan wilayah yang terbatas tersebut, mereka ingin menguasai semua wilayah yang sebelumnya dikuasasi Inggris dan juga dikuasai oleh VOC, yang mencakup dari Singkel di utara hingga Indrapura di selatan. Bahkan mereka menginginkan kawasan yang lebih luas dari itu.

Keinginan Belanda untuk menguasai laut dan kawasan pesisir juga didorong oleh maraknya aktivitas kaum Padri di perairan dan wilayah pantai (terutama di Pasaman hingga Natal). Kaum Padri memanfaatkan laut dan kawasan pesisir untuk mendukung usaha (perdagangan) mereka. Di samping sebagai pembaharu agama Islam, kaum Padri adalah juga saudagar ulung. Mereka aktif berdagang dengan saudagar asing, terutama Aceh dan juga Amerika dan Inggris. Kontak dagang saudagar Padri dengan pedagang Aceh sangat dibenci Belanda. Karena itu Belanda betul-betul ingin mendepak Aceh dari dunia niaga maritim Sumatra Barat, dan itu bisa dilakukan kalau kawasan perairan dan pesisir Pasaman hingga ke Singkel, yang dalam beberapa literatur juga dikatakan sebagai Padri Gebied (Daerah Padri) bisa dikuasai.

Seperti yang akan dibicarakan pada bagian berikut tulisan ini, upaya penguasaan kawasan perairan dan pesisir itu memang dilakukan oleh Belanda, terutama sejak tahun-tahun permulaan 1830-an. Puncaknya adalah setelah Bonjol ditaklukkan. Sejumlah aspek maritim hadir, dihadirkan dan berperan penting saat itu.

III

Laut menjadi penting dalam Perang Padri karena lewat lautlah orang Belanda secara umum, serta tentara atau para pejabat sipil dan militer Belanda secara khusus datang ke Sumatra Barat. Aspek-aspek kelautan, berupa pelayaran dan perkapalan, menjadi sangat penting dalam proses kedatangan (atau keberangkatan) mereka ke dan dari Sumatra Barat. Di samping kedua aspek itu, keberadaan pelabuhan juga tidak kalah pentingnya. Karena kapal akan berlabuh, serta menurunkan dan menaikkan penumpangnya di pelabuhan.

Sebagai bagian dari Hindia Belanda, tentara dan para pejabat sipil/militer Belanda datang ke Sumatra Barat dari Batavia. Pelayaran dari Batavia ke Padang saat itu adalah pelayaran yang lama dan berbahaya. Hal ini disebabkan oleh sarana transportasi yang digunakan dan kondisi perairan Samura Hindia berupa laut lepas dengan gelombang yang tinggi serta hembusan angin yang kuat.

Kapal yang digunakan dalam pelayaran dari Batavia ke Padang pada saat Perang Padri berkecamuk umumlah adalah kapal jenis fergata (fregat) dan barque (bark), serta korvet. Fergata adalah kapal layar, biasanya terdiri dari tiga buah layar dan dilengkapi dengan meriam di bagian haluan, sisi kanan dan kiri, serta buritan. Fergata yang lazim digunakan pada masa Perang Padri mampu membawa sekitar 200-an penumpang. Bark adalah kapal dengan tiga atau lebih layar, yang salah satu di antaranya menjadi layar utama. Di samping itu juga ada ‘anak’ layar di bagian depan serta belakang. Bark yang biasa digunakan dalam pelayaran antara Batavia dan Padang saat Perang Padri mampu membawa 300-an penumpang. Korvet adalah kapal dengan dua atau tiga layar dan dipersenjatai di bagian haluan, samping kiri dan kanan, serta buritan. Ukuran korvet yang digunakan untuk pelayaran Batavia – Padang lebih kecil dari fergata atau bark, dengan penumpang sekitar 100-an orang. Salah satu korvet yang sering digunakan selama Perang Padri adalah Zr. Ms. Korvet Zwaluw milik Angkatan Laut (Departeman Perang dan Angkatan Laut).

Du Puy, sebagai Residen Padang adalah petinggi Hindia Belanda pertama yang melakukan pelayaran dari Batavia ke Padang segera setelah Belanda kembali menguasai daerah ini. Dalam pelayaran itu dia diikuti oleh 150 orang tentara dari kesatuan infantri (Eropah), 12 orang dari kesatuan artileri, dan 2 pucuk meriam 6 ponders. Du Puy berlayar dengan kapal jenis fergata yang bernama Zr. Ms. Fregat Wilhelmina.

Zr. Ms. Fregat Wilhelmina (lengkapnya Zijner Majesteits Fregat Wilhelmina) adalah salah satu kapal perang Hindia Belanda yang banyak digunakan untuk pengangkutan para pejabat sipil dan militer tingkat daerah atau Hindia Belanda ke dan dari Sumatra Barat. Beberapa Residen, bahkan Komisaris dan Gubernur Jendral Hindia Belanda yang pernah berkunjung ke daerah ini juga diangkut dengan kapal ini. Di samping itu, Zr. Ms. Fregat Wilhelmina sering digunakan untuk pengangkutan tentara.

Pelayaran dari Batavia ke Padang atau sebaliknya adalah pelayaran yang lama dan sangat sering menegangkan. Waktu yang dibutuhkan adalah selama tiga sampai empat minggu. Perbedaan waktu pelayaran umumnya disebabkan oleh cuaca, atau keadaan angin. Bila pelayaran dilakukan pada waktu yang tepat, dalam artian sesuai dengan arah angin atau angin lagi bersahabat, maka pelayaran berlangsung dengan lancar. Biasanya dalam waktu tiga minggu. Sebaliknya bila angin lagi tidak bersahabat, pelayaran menjadi lama (sampai satu bulan atau bahkan lebih).

Pengaruh angin yang bisa menyebabkan pelayaran menjadi sangat menegangkan sesungguhnya telah dirasai sejak dimulainya pelayaran di Batavia, atau dirasakan pada saat kapal tiba di Padang. Pada era Perang Padri, baik di Batavia atau di Padang, kapal berangkat dari pelabuhan yang berada di pulau (Pulau Onrust di Batavia dan Pulau Pisang Gadang di Padang). Dalam dunia maritim Indonesia, pelabuhan yang berada di pulau ini dinamakan reede.

Reede Padang
Epp, Franz, Schilderungen aus Ostindische Archipel. Heidelberg: J.E.B. Mohr, 1841).

Para penumpang atau barang dibawa ke reede dengan perahu pantai yang ukurannya relatif kecil. Jenis perahu yang lazim digunakan adalah sloep dengan empat pendayung. Perahu pantai ini sangat rentan terhadap cuaca. Bila angin kencang perahu tidak bisa beroperasi, bahkan kalau nekad berlayar bisa-bisa dihanyutkan dan berakhir dengan kegagalan mencapai reede. Ada banyak pengalaman mengerikan yang dialami penumpang dengan perahu pantai ini. Boelhouwer (1831) misalnya mengisahkan pengalamannya yang gagal total mencapai Reede Pulau Onrust, padahal sudah diupayakan selama empat hari. Kegagalan itu menyebabkan pelayarannya ke Padang dibatalkan selama satu bulan (menunggu angin yang lebih bersahabat). Penyebab utama kegagalan itu adalah angin yang bertiup sangat kencang (angin barat daya yang biasanya berhembus pada bulan Januari).

Pengalaman mengerikan yang sama juga dikisahkan oleh Nahuijs (1825). Nahuijs menceritakan betapa berbahayanya situasi di sekitar Reede Pulau Pisang Gadang di Padang. Ganasnya ombak tidak hanya membuat tegangnya para penumpang perahu pantai dari reede menuju Muaro yang jaraknya hanya 3 englische mijlen itu, tetapi juga menghanyutkan sebuah kapal yang tengah berlabuh saat itu, yaitu kapal Zr. Ms. Colonial Korvet Zwaluw. Kapal itu hanyut karena sauhnya terbongkarnya disebabkan oleh angin yang sangat kencang serta tingginya gelombang. Nahuijs mengatakan bahwa korvet tersebut sempat terseret arus ke laut lepas hingga beberapa hari. Berbahanya Reede Pulau Pisang juga dikisahkan oleh H.J. Lion. Lion mengisahkan pengalaman yang dialaminya bersama 100 serdadu yang terseret arus saat menaiki perahu dari Reede Pulau Pisang Gadang menuju Muaro pada tahun 1835. Karena kuatnya hembusan angin dan ganasnya ombak, dia dan kawan-kawan terseret arus hingga ke tengah laut selama satu hari.

Di samping Padang, reede juga ada di Pariaman dan Tiku serta Air Bangis. Namun berbeda dengan Reede Pulau Pisang Gadang, ketiga reede yang disebut terakhir digunakan untuk keperluan pelayaran lokal. Pada masa Perang Padri ketiga reede ini khusus digunakan oleh Belanda guna menghadapi Padri atau untuk transportasi militer dari dan ke Padang atau antar reede. Dari tiga reede tersebut, Reede Pariaman dan Tiku yang paling banyak digunakan. Kedua reede ini bahkan disebut juga sebagai pangkalan angkatan laut Belanda. Penyebutan ini berhubungan dengan tingginya aktivitas kapal-kapal perang Belanda di sana.

Untuk pelayaran lokal, digunakan kapal dalam ukuran yang lebih kecil. Ada tiga jenis kapal yang sering digunakan, yaitu jenis corvet, brik dan sekuner. Pada awal-awal tahun 1830-an pemerintah menggunakan tujuh kapal perangnya di daerah ini. Nama-nama ketujuh kapal tersebut adalah Pullux, Circe, Janus, Argo, Hippomenes, Daphine, dan Pilades. Di samping itu, pemerintah juga menyewa kapal milik swasta. Beberapa kapal sipil yang sering disewa adalah De Vlieg, Grace, Norfolk, Silph, dan Eleonor.

Karena terletak pada kawasan perairan yang sama, dunia pelayaran lokal Sumatra Barat sama berbahayanya dengan pelayaran antara Batavia dengan Padang. Angin kencang atau badai juga menjadi momok utama dalam dunia pelayaran lokal ini. Bagaimana menegangkannya pelayaran lokal ini bisa dilihat dari pengalaman Boelhouwer. Jarak Pariaman Tiku yang bisa ditempuh dalam beberapa jam harus ditempuhnya dalam waktu delapan hari, karena kapal yang ditumpanginya diamuk badai sehingga terseret jauh ke tengah laut. Pengalaman yanag sama juga sering dialami oleh berbagai pelaut, Belanda atau bumiputera, baik di bagian utara atau selatan Padang. Bahkan ada sejumlah kisah yang mengatakan adanya sejumlah kapal (perahu) yang hilang karena dihantam badai dan ombak besar. Untuk informasi yang terakhir juga ditemukan dalam sejumlah cerita rakyat di kawasan Pariaman, Tiku, Pasaman dan Natal, serta Bandar Sepuluh (Pesisir Selatan).

Namun, bagaimana pun ganasnya ombak dan kencangnya angin, kapal-kapal perang Belanda tetap dimanfaatkan dalam upaya menumpas kaum Padri. Ada banyak catatan pengerahan kapal-kapal perang itu, di antaranya pengiriman sejumlah kapal perang untuk menaklukan Padri yang mengepung dan menyerang tentara Belanda di Singkel dan Air Bangis, serta pengerahan sejumlah kapal perang untuk menyerang kubu pertahanan Padri di Katiagan, dan kawasan di bagian utara, seperti Tapus, Barus dan kawasan sekitarnya.

Setiap kali ekspedisi penyerangan dilakukan, rata-rata kapal perang (dan kapal swasta yang disewa) yang dikerahkan berjumlah empat sampai tujuh buah. Kapal-kapal itu dipersenjatai dengan meriam dengan berbagai kaliber (yang paling besar 30 pon). Sedangkan jumlah serdadu yang dikirim rata-rata sebanyak 200 sampai 300-an orang.

Didukung oleh persenjataan yang kuat serta strategi perang yang jitu, umumnya setiap penyerangan yang dilakukan berbuah manis bagi pasukan Belanda. Mereka hampir selalu mendapat kemenangan. Walaupun demikian, kemenangan tersebut bukanlah diraih dengan mudah, kaum Padri memberikan perlawanan hebat.

IV

Tidak ada atau sangat minim informasi mengenai jumlah dan jenis kapal yang dimiliki oleh kaum Padri. Dari informasi yang sedikit itu diketahui bahwa umumnya kapal yang dimiliki oleh kaum Padri adalah jenis perahu atau kapal layar dalam ukuran kecil. Ada juga kapal jenis sekuner yang mereka miliki.

Kapal-kapal ini umumnya dipakai untuk kegiatan perdagangan antarkota (negeri) di kawasan utara, di kawasan mulai dari Katiagan ke utara. Disebutkan juga kapal-kapal mereka juga berlayar dan berdagang hingga Barus, Singkel dan Meulaboh. Orang atau saudagar Aceh adalah mitra dagang utama mereka. Di samping itu, terutama hingga akhir 1820-an mereka juga berdagang dengan saudagar Amerika dan Inggris. Kontak dagang Padri dengan saudagar Amerika dan juga Inggris dikurangi oleh Belanda dengan membuka pelabuhan Padang bagi kedua kelompok saudagar tersebut.

Orang atau saudagar Aceh yang tidak mau bersahabat dengan Belanda adalah mitra saudagar Padri yang aktif. Mereka tidak hanya menunggu kedatangan saudagar Padri di kawasan mereka. Mereka bahkan lebih aktif mendatangi dan berdagang di kawasan Pasaman, kawasan yang hingga awal 1830-an dikatakan sebagai kawasan Padri.

Aktivitas pelayaran, perkapalan dan perdagangan kaum Padri dan Aceh ini sangat dibenci Belanda. Aktivitas mereka tidak hanya merugikan Belanda secara ekonomi, tetapi merongrong kedaulatan mereka. Apalagi dalam beberapa kesempatan, kaum Padri yang didukung oleh saudagar Aceh menyerang tentara (benteng) Belanda atau orang, serta kawasan yang bekerjasama dengan Belanda. 

Untuk itulah, berbagai ekspedisi militer melalui laut dan menggunakan sejumlah kapal perang dikerahkan ke kawasan utara. Tidak hanya ekspedisi militer yang dilakukan, pemerintah Belanda juga melahirkan tudingan ala kolonialis terhadap para saudagar dan pelaut Padri atau Aceh. Terhadap saudagar dan pelaut Padri atau Aceh yang paling besar pengaruhnya serta paling gencar melawan Belanda di laut dijuluki sebagai perompak. Salah seorang saudagar dan pelaut hebat yang sangat ditakuti dan dibenci Belanda, serta digelari sebagai bajak laut adalah Sidi Mara.

Tudingan sebagai bajak laut terhadap para pejuang bumiputra yang melakukan perlawanan di kawasan perairan sangat lazim diciptakan oleh kaum kolonialis di Nusantara ini. Ada banyak, dan sangat banyak saudagar dan pelaut Nusantara yang dituding sebagai bajak laut oleh Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol sebagai bajak laut. Dan sekali tudingan diberikan, maka ada alasan bagi kolonialis untuk menyerang, menghukum atau bahkan membunuh mereka. Sidi Mara dan sejumlah saudagar pelaut Padri dan Aceh akhirnya juga diserang dan dibunuh oleh Belanda (dan Urang Awak yang bekerjasama dengannya).

Tudingan sebagai bajak laut adalah salah satu senjata pamungkas kolonialis Belanda dalam menghancurkan perlawanan kaum Padri di kawasan pantai. Ditawan atau dibunuhnya saudagar pelaut Padri sekaligus menjadi akhir kejayaan dunia maritim Padri di daerah ini. Ditangkap, dibunuh dan hilang atau menghilangnya saudagar pelaut Padri semakin mengukuhkan dominasi Belanda di dunia maritim pantai barat Sumatra Barat.

V

Pemerintah kolonial Belanda ingin menubuhkan dominasinya secara maksimal di kawasan perairan. Setelah mengalahkan saudagar dan pelaut Padri serta menjadikan Kawasan Padri (Padri Gebied) sebagai bagian dari daerah administratifnya, maka Belanda mulai mengintensifkan penelitian terhadap kawasan pantai dan laut di daerah ini. Upaya ini dilakukan karena selama ini, kawasan perairan dan sebagian besar daerah pesisir Pantai Barat merupakan kawasan yang asing bagi pemerintah dan orang Belanda. Hingga awal tahun 1830-an beberapa penulis Belanda masih menyebut kawasan ini sebagai kawasan yang masih liar dan belum dikenal. Karena itu, seiring dengan ditaklukkannya saudagar dan pelaut, serta kawasan Padri lewat operasi militer, maka dimulailah sejumlah penyelidikan terhadap perairan dan kawasan pantai Sumatra Barat. Tiga peneliti yang melakukan pengkajian pada saat berkecamuknya Perang Padri adalah Dr. S. Müller, Dr. L. Horner, dan H.L. Osthoff. Para peneliti itu ditugaskan khusus oleh pemerintah kolonial untuk melakukan penelitian ini, bahkan ada permyataan alu-aluan terhadap Gubernur Jendral dalam laporan yang mereka buat. Mereka pun bekerja (meneliti) atas nama lembaga yang memiliki wewenang dan ditugaskan khusus melakukan penelitian ini. Dr. S. Müller, Dr. L. Horner adalah anggota komisi ilmu pengetahuan Hindia Belanda dan H.L. Osthoff adalah anggota komisi hidrografi Pantai Barat Sumatra. Di samping ketiga peneliti di atas, sejumlah kapten kapal perang yang pernah bertugas di perairan pantai barat Sumatra Bara selama Perang Padri juga telah membuat sejumlah peta kawasan perairan kawasan ini.

Peta Kawasan Perairan Sumatra’s Westkust
(Osthoff, H.L., Beschrijving van het Vaarwater Langs de Westkust van Sumatra, Tusschen Padang en Tapanoly: Behoorende bij de Kaart Opgenomen op Indische Bestuur in de Jaren 1834 tot 1838. Batavia: Landsdurkkerij, 1840).

Hasil penelitian dan peta-peta mereka yang dipublikasikan beberapa saat setelah penelitian dilakukan atau pada tahun-tahun terakhir Perang Padri sangat besar artinya bagi ekspansi politik Belanda di kawasan pesisir (terutama bagian utara) dan kemudian sangat besar artinya bagi eksploitasi ekonomi kawasan ini. Hasil penelitian dan peta-peta tersebut memberikan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai keadaan semua reede yang ada di Pantai Barat, jumlah, lokasi dan keadaan semua pulau dan gosong (karang) yang ada perairan Pantai Barat, serta keadaan (lingkungan) pesisir di kawasan ini.

Pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai lingkungan maritim Pantai Barat Sumatra ini adalah modal atau bekal bagi Belanda dalam menguasai daerah ini. Bukankah ilmu pengetahuan adalah salah satu senjata hebat yang bisa digunakan untuk menguasai suatu daerah dan sekelompok orang?

Pengetahuan akan lingkungan laut dan pesisir adalah aspek maritim yang lain yang menentukan bagi hegemoni Belanda selama dan setelah Perang Padri di Sumatra Barat. Dengan demikian tidak salah kiranya mengatakan bahwa aspek-aspek maritim ada dan mempunyai peran yang besar dalam Perang Padri.

Daftar Bacaan

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkut Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Epp. Franz, Schilderungen aus Ostindische Archipel. Heidelberg: J.E.B. Mohr, 1841.

Kielstra, E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Lion, H.J., Een Uit Naar Padang. Batavia: Ogilvie en Co., 1869.

Müller, S., L. Horner, Reizen en Onderzoekingen in Sumatra op Last der Nederlandsche Indische Regerring Tusschen de Jaren 1833 en 1838. ‘s-Gravenhage: K. Fuhri, 1855.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (Tweede, Vermeerde Druk) (Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Osthoff, H.L., Beschrijving Van Het Vaarwater Langs De Westkust Van Sumatra, Tusschen Padang En Tapanoly: Behoorende Bij De Kaart Opgenomen Op Last Van Het Nederlandsch Oost Indisch Bestuur, In De Jaren 1834 Tot 1838. Batavia: Landsdrukkerij, 1840.

Regeerings­almanaken van Nederlandsch Indie van 1830 dan 1833. Batavia: Ter Land Drukkerij, 1830 dan 1833.

Verbeek, R.D.M., Topograpsche en Geologische Beschrijving van Een Gedeelte van Sumatra’s Westkust. Amsterdam: Stemberg, 1880.

Ditulis oleh Gusti Asnan