Benteng menjadi salah satu bagian penting dalam Perang Padri. Kaum Padri dan Belanda sama-sama membuat benteng dan sama-sama berupaya pula menghancurkan benteng lawan. Karena itu ada banyak benteng yang dibangun selama perang Padri, dan seiring dengan itu ada banyak pula benteng yang dihancurkan. Hingga saat sekarang, atau hingga beberapa dekade yang lalu, di banyak daerah di Minangkabau masih ditemukan kampung atau kawasan yang dinamai benteng, atau penamaan lain yang memiliki makna benteng. Kata orang-orang tua, benteng-benteng tersebut adalah benteng-benteng peninggalan masa Padri.
Signifikansi posisi benteng dalam Perang Padri bahkan bisa dilihat dari kenyataan, bahwa Perang Padri sesungguhnya dimulai dengan pendudukan sebuah benteng, yakni Benteng Simawang oleh Belanda (20 Februari 1821). Pendudukan Benteng Simawang itu dilakukan sekitar 10 hari setelah ditandatanganinya Perjanjian 10 Februari. Perjanjian 10 Februari adalah perjanjian antara Belanda dengan wakil-wakil Keluarga Kerajaan Pagaruyung, Suruaso, dan sejumlah penghulu dari Tanah Datar, yang isinya antara lain tentang penyerahan secara formal dan mutlak nagari-nagari Pagaruyung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-daerah di sekeliling Kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda, pernyataan kesetiaan para penanda tangan perjanjian kepada Belanda, termasuk kesediaan membantu Belanda menghancurkan Padri. Dalam perjanjian itu juga dinyatakan bahwa Belanda akan menyerang Padri dan melindungi rakyat (anak kemenakan para penghulu penandatangan perjanjian tersebut) dari gangguan kaum Padri.
Benteng Simawang sesungguhnya adalah benteng Inggris yang dijaga oleh 80 tentara dari kesatuan Bengali (India), dan mulai ditempati sejak akhir Juli 1818, pada saat Raffles dan rombongannya kembali dari ‘kunjungan ilmiah’ ke pedalamanan Minangkabau. Bagi Belanda, pendudukan Benteng Simawang berarti mengakhiri tapak kekuasaan Inggris di daerah pedalaman, dan sebagai bagian dari pernyataan perang terhadap Padri. Menurut du Puy, Residen Padang, kalau tidak diduduki, Padri akan menguasai Benteng Simawang. Du Puy berprinsip, lebih baik mendahului (mengambil alih Benteng Simawang) daripada didahului oleh Padri. Jadi, benteng adalah salah satu titik pangkal Perang Padri.
Benteng Simawang yang diambil alih dari tentara Inggris dari kesatuan Bengali itu adalah benteng pertama Belanda di daerah pedalaman.
Benteng kedua Belanda adalah benteng yang secara langsung berkaitan dengan Perang Padri. Maksudnya, benteng kedua ini dibangun dalam kaitannya dengan perang antara Belanda dengan kaum Padri. Benteng itu dibangun sebagai bagian dari kampanye militer dan ekspansi politik Belanda di daerah pedalaman. Benteng kedua itu dinamakan Fort van der Capellen.
Cikal bakal benteng ini adalah berupa post militer yang dibangun oleh Letkol Raaff pada awal Maret 1822. Raaff memilih sebuah puncak bukit di Batu Sangkar sebagai lokasi pembangunan post militer ini. Dalam waktu singkat post tersebut berkembang menjadi sebuah benteng yang tangguh, yang pada awalnya dinamakan Het Fort van Pagaroejong. Ketangguhan benteng tersebut terlihat dari sketsa berikut.
Seiring dengan perjalanan waktu dan seiring pula dengan makin hebatnya suasana perang, Belanda meningkatkan kualitas dan kapasitas benteng. Perkembangan ini berhubungan juga dengan dijadikannya lokasi benteng sebagai kedudukan komandan militer dan ibu kota pemerintahan sipil di daerah pedalaman. Nama benteng (dan daerah) pun diganti menjadi Fort van der Capellen.
Mengacu pada pengalaman sebelumnya, terutama pengalaman pada masa VOC, Fort van der Capellen juga dirancang sebagai ‘kantor’ komandan tentara dan pimpinan tertinggi (pejabat) sipil, kantor aparatur pemerintahan sipil dan militer, dan sekaligus sebagai tempat tinggal para pegawai dan tentara (prajurit), serta juga gudang. Karena itu benteng menjadi sebuah (komplek) bangunan yang besar dan luas. Di samping dibangun pada tempat yang strategis, di atas puncak sebuah bukit, benteng juga dikelilingi oleh lapangan yang luas (yang memungkinkan para penjaga segera dapat melihat kalau ada musuh yang datang). Untuk itu, pohon-pohon di sekitar benteng ditebangi hingga jarak belasan atau puluhan meter dari pagar atau tembok terluar benteng. Gambar berikut, yang diambil dari buku de Stuers menampilkan gambaran Fort van der Capellen yang telah ‘sempurna’ beberapa tahun setelah didirikan.
Fort van Capellen adalah basis kedudukan Belanda pertama di daerah pedalaman. Seperti disebut di atas, benteng ini kemudian menjadi pusat komando militer dan pusat pemerintahan sipil. Itulah sebabnya, Fort van der Capellen menjadi ibu kota unit administratif setingkat District (District Minangkabau) yang dibentuk pada saat awal Perang Padri. Keberadaan benteng ini menjadikan daerah sekitarnya ramai didatangi oleh penduduk berbagai nagari di Tanah Datar. Itu pulalah sebabnya dalam waktu yang tidak begitu lama Fort van der Capellen menjadi sebuah hunian yang ramai.
Pola pembangunan Fort van der Capellen menjadi model pembangunan beberapa benteng Belanda lainnya. Keberadaan benteng diawali dengan pembuatan post dan dilanjutkan dengan pembuatan benteng. Namun bisa dikatakan, bahwa tidak semua post yang kemudian berubah menjadi benteng. Perubahan post menjadi benteng sesungguhnya didasari oleh strategis atau tidaknya lokasi di mana post berada, serta yang lebih penting lagi, adalah potensi ancaman kaum Padri, dan besarnya peluang untuk memenangi perang melawan kaum Padri.
Pada tahun-tahun pertama perang, Belanda membangun banyak post di Tanah Datar dan Agam. Beberapa di antaranya adalah post Suruaso, Rao-Rao, Tanjung Alam, Gunung, Guguk Sigandang, Bukittinggi, Kapau, Kayutanam, dlsbnya. Sebagian dari post itu kemudian dikembangkan menjadi benteng, bahkan menjadi pusat komando militer dan pusat kegiatan politik (adminsitratif). Berikut adalah gambar Fort Tanjung Alam, Suruaso, Fort de Kock, dan Kayutanam.
Segera setelah perang usai, sebagian besar benteng Belanda ditinggalkan dan terlantar, terutama benteng yang tidak berada di pusat pemerintahan sipil atau militer. Namun untuk Fort van der Capellen dan Fort de Kock tetap dipertahankan, bahkan berkembang menjadi tangsi yang besar. Gambar berikut menyajikan gambaran tangsi Fort de Kock sekitar 30 tahun seusai Perang Padri sebagai disajikan dalam buku E.W.A. Ludeking (1865).
Sesuatu yang menarik dari keberadaan benteng Belanda adalah bahwa semua benteng diberi nama, terutama untuk benteng yang memiliki arti dan kedudukan penting secara militer, politik dan administrasi pemerintahan. Nama-nama yang diberikan umumnya nama-nama pejabat tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jendral), nama komandan tentara, baik yang berada di tingkat pusat (Batavia) atau yang ikut dalam perang Padri. Di samping nama-nama benteng yang di sebut di atas, seperti nama Fort van der Capellen dan Fort de Kock, juga ada nama Fort Veldman, Fort Cochius, Fort Amerongen, Fort Reiss, dlsbnya.
Setidaknya ada 22 (atau lebih) benteng yang dibuat oleh Belanda selama Perang Padri. Seperti disebut di atas, setelah dipergunakan banyak benteng itu yang ditelantarkan, dan beberapa di antaranya masih dipergunakan untuk keperluan pemerintahan sipil dan militer hingga perempat ketiga abad ke-19. Benteng-benteng yang ditinggalkan atau ditelantarkan akan hancur dalam waktu yang tidak begitu lama. Hal ini disebabkan sebagian oleh material pembangunan benteng umumnya terdiri dari bambu dan kayu atau batang kelapa, serta atap ilalang dan nipah. Hanya benteng-benteng utama yang bertahan karena tetap dipelihara dan senantiasa dilakukan peningkatan kualitas materialnya, termasuk penggunakan semen dan atap seng.
Pembangunan benteng dilakukan oleh tentara Belanda dengan bantuan ‘orang Melayu’, sebutan beberapa penulis Belanda terhadap Urang Awak yang berkerjasama dengan Belanda.
Di samping Tanah Datar dan Agam sebaran benteng lebih banyak di Limapuluh Kota dan Pasaman. Untuk kawasan selatan (Solok hingga Sijunjung) jumlahnya tidak banyak, karena setelah terdesak dari Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, kaum Padri mengonsentrasikan perlawanannya di bagian utara, sehingga kampanye militer Belanda mengganyang Padri relatif sedikit di kawasan selatan.
Dalam perang menghadapi Belanda, kaum Padri juga memiliki dan membuat benteng. Sejak hari-hari pertama berperang melawan Padri, pejabat atau komandan tentara Belanda telah menyebut adanya benteng kaum Padri. Du Puy malah melaporkan ke Batavia tentang adanya benteng kaum Padri di Sulit Air, nagari pertama yang diserang Belanda segera setelah mereka menduduki Benteng Simawang. Du Puy melaporkan bahwa pemimpin Padri di Sulit Air telah mempersiapkan diri dengan membentengi nagarinya, serta menyediakan meriam dan persenjataan lengkap dalam rangka menghadapi musuh.
Benteng sesungguhnya bukan sesuatu yang baru bagi Padri khususnya dan orang Minang pada umumnya. Benteng, dalam artian sesuatu yang bisa dipakai untuk mempertahankan diri atau berlindung dari serangan musuh telah lazim dikenal orang Minang, bahkan sejak sebelum Perang Padri. Dua ungkapan yang lazim digunakan orang Minang untuk sistem pertahanan atau perlindungan diri ini adalah bonjol dan koto. Bonjol dan koto memiliki makna yang hampir sama dengan benteng.
Secara umum, bonjol atau koto lebih sederhana bila dibandingkan dengan benteng ‘modern’ milik orang Eropa. Biasanya bonjol atau koto hanya terbuat dari onggokan atau gundukan tanah mengelilingi suatu kawasan atau lokasi tertentu, yang dilengkapi dengan bambu (aur) berduri hidup yang ditanam rapat dan cukup tebal. Bonjol atau koto umumnya berlokasi di tempat yang tinggi (bukit), dan tidak jauh dari pusat pemukiman (kampung). Keberadaan bonjol atau koto itu ada kaitannya dengan tradisi ‘perang batu’, ‘perang adat’, dan ‘cakak banyak’ yang lazim dilakukan Urang Awak di masa lalu.
Kebangkitan agama Islam, dalam artian penegakkan ketertiban dan keamanan dilakukan oleh pembaharu Islam pada perempat terakhir abad ke-18 dan kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Padri semakin menumbuhsuburkan pembuatan bonjol dan koto di daerah ini. Bahkan pada masa Gerakan Padri dan kemudian pada saat Perang Padri kualitas bonjol dan koto semakin ditingkatkan. Di samping dilindungi oleh pagar bambu (aur) berduri yang rapat dan padat, serta gundukan tanah, pada saat itu bonjol dan koto juga diperkuat oleh tumpukan batu dan dinding kayu atau batang kelapa, serta ditempatkan di lokasi-lokasi yang strategis, termasuk di atas bukit. Saat itu jumlah bonjol dan koto meningkat dengan signifikan. Itulah sebabnya, catatan-catatan perjalanan atau laporan-laporan yang dibuat pejabat (militer dan sipil) Belanda pada masa Perang Padri, seperti du Puy, Nahuijs, de Stuers, dan Boelhouwer, sering menyebut adanya banyak bonjol atau koto di daerah ini.
informasi tentang bonjol dan koto juga dikemukakan oleh pelaku sejarah dan tokoh Padri sendiri, salah satu di antaranya adalah Tuanku Imam Bonjol. Dalam autobiografinya, Tuanku Imam Bonjol menyebutkan tentang pembangunan dan keberadaan koto di Bonjol. Dia juga menceritakan tentang koto-koto Padri lainnya yang ada di perbukitan sekitar Bonjol, serta yang ada di nagari-nagari lain di sekitar Bonjol.
Cerita rakyat atau ingatan kolektif warga berbagai nagari di Minangkabau juga menyebut adanya benteng (Padri) di nagari mereka.
Sayangnya, hampir semua gambaran tentang bonjol atau koto itu hanya berupa narasi. Para penulis tersebut hanya mendeskripsikan lewat rangkaian kata-kata posisi dan keadaan bonjol atau koto tersebut. Cerita rakyat atau ingatan kolektif warga nagari bahkan mengambarkan bonjol atau koto dengan deskripsi yang luar biasa. Misalnya dikatakan “benteng itu berpagarkan aur berduri yang sangat rapat dan tebal sehingga untuk menghancurkannya Belanda terpaksa menembakkan uang koin dengan meriam ke dalam rimbunan aur berduri itu. Dan Urang Awak yang berada di dalam benteng yang ‘lapar uang’ serta-merta menebangi batang demi batang aur berduri itu untuk mendapatkan koin-koin tersebut, sehingga akhirnya Belanda dengan mudah menguasai benteng’.
Dengan membaca deskripsi para penulis tentang bonjol atau koto dengan membaca secara saksama kita akan mampu mengimajinasikan bagaimana kehebatan dan kecanggihan bonjol atau koto tersebut. Apalagi dalam karya-karya itu, penulis Belanda mengatakan kekaguman mereka akan struktur dan perlengkapan bonjol dan koto tersebut. Bahkan berkali-kali pula mereka mengatakan bahwa gerak maju pasukan Belanda sangat terganggu oleh adanya bonjol atau koto itu, serta berkali-kali pula dikatakan dibutuhkan upaya yang luar biasa oleh pasukan Belanda hingga mereka bisa menaklukan bonjol atau koto kaum Padri. Itulah pulalah sebabnya, mengapa dalam tulisan ini tidak disajikan sketsa atau lukisan bonjol atau koto tersebut. Karena tidak didapat (atau tepatnya belu ditemukan) adanya sketsa atau lukisan tentang bonjol atau koto yang lengkan.
Sistem pertahanan kaum Padri sesungguhnya tidak hanya berupa bonjol atau koto, tetapi juga kampung secara keseluruhan. Kampung-kampung Padri khususnya dan kampung-kampung di Minangkabau di masa lalu secara umumnya, ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan struktur yang mampu melindungi warga dari serangan atau serbuan musuh dari luar. Di sekeliling kampung biasanya dipagari dengan bambu (aur) berduri yang hidup yang tebal, atau dikelilingi oleh bandar atau aliran air yang cukup lebar dan dalam, atau juga dikelilingi oleh gundukan (onggokan) tanah yang di beberapa tempat juga disertai oleh batu-batu. Tidak jarang, pada kampung-kampung tertentu pagar hidup bambu (aur) berduri atau bandar/aliran air tersebut terdiri dari dua atau tiga lapis dengan ketebalan bambu hidup dan kedalaman air yang berbeda antara lapisan pertama dengan lapisan kedua. Pada masa Padri, di beberapa perkampungan Padri ditemukan juga adanya rumah-rumah jaga dan gerbang khusus tempat keluar masuk penduduk kampung. Salah satu contoh perkampungan Padri yang seperti benteng itu terdapat di Dalu-Dalu. Sketsa berikut menggambarkan kecanggihan struktur kampung Padri tersebut.
Menghancurkan bonjol atau koto serta perkampungan yang laksana benteng itu adalah salah satu strategi Belanda dalam Perang Padri. Berbagai cara dilakukan Belanda untuk menguasai dan menghancurkan benteng atau perkampungan itu. Dalam kenyataannya, salah satu penyebab kekalahan kaum Padri adalah dihancurkan atau dikuasainya benteng-benteng mereka oleh Belanda. Bahkan, salah satu berakhirnya Perang Padri, menurut salah satu versi yang dinarasikan oleh Belanda ditandai dengan jatuhnya benteng Padri di Bonjol tahun 1837.
Sebagaimana disebut di atas, sebagian besar benteng Belanda, bonjol atau koto telah hilang dan tidak meninggalkan jejak lagi. Namun informasi tentang lokasi dan keberadannya masih bisa ditemukan dalam sejumlah literatur dan ingatan kolektif anak nagari. Karena itu, dalam rangka 200 Tahun Perang Padri tahun ini, ada baiknya juga diadakan serangkaian kegiatan yang bisa mengaktualkan keberadaan benteng atau bonjol serta koto, yang pernah berperan penting dalam Perang Padri dulu. Misalnya mengadakan wisata sejarah ke benteng atau bonjol serta koto itu atau pelaksanaan upacara mengingat para pahlawan Padri di lokasi benteng atau bonjol serta koto, atau kegiatan-kegiatan lain yang mengingatkan kita akan keberadaan dan peran benteng atau bonjol serta koto dalam Perang Padri. Atau perlu juga dipertimbangkan oleh pemerintahan daerah, baik tingkat Provinsi atau Kabupaten untuk menghadirkan kembali (merekonstruksi atau merehabilitasi) benteng, bonjol atau koto-koto yang ada di daerah mereka, sehingga itu bisa menjadi bagian dari pembelajaran sejarah, serta sekaligus menjadi objek wisata. Semoga.
Sumber:
ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827.
Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.
Budhhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861.
Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 36 tahun 1887, hal. 7-163.
Ludeking, E.W.A., Natuur-en Geneeskundige Topographie van Agam (Westkust van Sumatra). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1867.
Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.
Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.
Stuers, H.J.J.L., de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849 dan 1850.
Ditulis oleh Gusti Asnan