Perang Padri dan Pemerintahan Daerah Sumatra Barat

Perang Padri mempunyai arti yang penting bagi terbentuknya pemerintahan Sumatra Barat. Tidak hanya berperan dalam proses pembentukannya, Perang Padri menjadi iven historis yang penting bagi perluasan wilayah administratif, serta perluasan struktur dan aparatur pemerintahan Sumatra Barat. Perang Padri adalah salah satu dari sedikit perang di Indonesia yang diiringi dengan sangat banyak perubahan dalam berbagai komponen pemerintahan daerah di mana perang itu berlangsung.

Pada saat pemerintah Hindia Belanda mulai berkuasa tahun 1819, unit administratif yang ada di daerah ini dinamakan Residentie Padang. Unit administratif ini dipimpin oleh seorang Resident yang dibantu oleh seorang Asisten Residen, yang sekaligus berperan sebagai juru tulis. Wilayah yang menjadi bagiannya hanya mencakup kawasan sekitar Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, dan Air Haji. Aparatur pemerintahannya sangat terbatas karena wilayahnya juga terbatas.

Lukisan Tuanku Imam Bonjol sebagaimana dilampirkan dalam buku H.J.J.L. de Stuers, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. II). (1850).

Luas wilayah seperti ini berlangsung selama tiga tahun. Tahun 1823 ada perubahan, dan perubahan itu berhubungan secara langsung dengan Perang Padri. Perubahan tersebut merupakan perubahan nama, luas wilayah, dan perubahan aparaturnya yang mulai melibatkan pejabat Urang Awak, serta pembentukan pemerintahahan bumiputra (Inlandsche Bestuur) di samping pejabat dan pemerintahan Eropa (Europesche Bestuur).

Melalui perubahan yang diundangkan bulan April 1823 nama Keresidenan diganti menjadi Residentie Padang en Onderhoorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukannya). Dari namanya terlihat, bahwa wilayah yang menjadi bagian dari unit administratif ini telah diperluas dengan kawasan-kawasan yang telah dikuasai (ditaklukkan) oleh Padang sebagai pusat pemerintahan (melalui aksi militer). Di samping empat daerah yang telah disebut sebelumnya, wilayah Residentie Padang en Onderhoorigheden juga mencakup Kawasan sekitar Tanah Datar, Tanah Datar Di Bawah (Lintau dan Sekitarnya), Agam dan Limapuluh Kota. Tiga yang disebut terakhir belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.

Mengapa Tanah Datar yang seutuhnya menjadi bagian dari keresidenan itu?  Apa hubungannya dengan Perang Padri?

Perang Padri pada awalnya adalah perang antara Belanda yang didukung oleh sejumlah orang Minang dalam menghadapi kaum Padri. Keadaan seperti ini berlangsung hingga tahun 1833, karena sejak tahun 1833 itu Perang Padri telah berubah menjadi perang antara Belanda dengan orang Minang secara keseluruhan.

Perang Padri bermula dari adanya permintaan bantuan kepada Belanda oleh wakil-wakil Kerajaaan Pagaruyung dan Suruaso dalam memerangi kaum Perang Padri. Permintaan bantuan itu diperkuat dengan adanya Perjanjian 10 Februari 1821 antara wakil pemerintah Belanda di Padang (Residen du Puys) dengan wakil-wakil Kerajaaan Pagaruyung (Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar), dan Saruaso (Jang dipertuan Radja Tangsir Alam dan Jang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam), serta sejumlah penghulu dari Tanah Datar, yang salah satu isinya adalah para pemuka masyarakat dan rakyat yang menandatangani perjanjian itu akan membantu Belanda mengempur kaum Padri.

Menurut Kielstra, pada awal-awal perang Belanda menghadapi Padri mendapat bantuan sekitar 5.000 hingga 6.000 ‘gewapene Maleier”, anak-kemenakan para penghulu yang telah menyatakan kesetiaannya kepada Belanda. Sebagian besar “tentara lokal” ini berasal dari Batipuh, Singkarak, Saningkabakar, Bungo Tanjung, Pitalah, Tanjuang Barulak, Batusangkar, Sumpur, Malalo, Sambilan Koto dan Simawang. Mereka adalah anak-kemenakan dari para penghulu yang ikut menandatangai Perjanjian 10 Februari 1821.

Nagari-nagari inilah sesungguhnya yang dikatakan Tanah Datar yang menjadi bagian dari Keresidenan Padang dan Daerah-Daerah Taklukkannya itu. Itulah sebabnya mengapa hanya daerah Tanah Datar yang seutuhnya menjadi bagian dari wilayah keresiden yang baru dibentuk tahun 182 itu.

Hubungan antara Perang Padri dengan pemerintahan daerah juga terlihat dari dibentuknya dua daerah administratif setingkat District, yaitu District Padang dengan ibu kotanya Padang dan District Minangkabau dengan ibu kotanya Fort van der Capellen, yang masing-masing dipimpin oleh Asisten Residen. District Minangkabau mencakup semua daerah pedalaman yang disebut di atas, walaupun kekuasaan efektif administratifnya hanya di kawasan Tanah Datar semata.

Di samping District, juga dibentuk unit administratif yang dinamakan Hoodfdafdeeling. Ada dua Hoofdafdeeling yang dibentuk, yaitu Hoofdafdeeling Padang dan Hoofdafdeeling Minangkabau. Unit ini dikepalai oleh Hoofdregent. Berbeda dengan Asisten Residen yang merupakan orang Belanda, maka Hoofdregent dijabat oleh orang orang Minang. Hoofdregent Minangkabau diberikan kepada Sutan Alam Bagagar. Pengangkatannya sebagai pejabat tertinggi dalam barisan pemerintahan bumiputra ini sekaligus membuktikan adanya hubungan Perang Padri dengan pembentukan dan keberadaan pemerintah daerah. Seperti disebut di atas, Sutan Alam Bagagarsyah adalah satu penanda tangan Perjanjian 10 Februari 1821.

Kaitan antara Perang Padri dengan pemerintah daerah (terutama pada aparaturnya) juga terlihat dari pembentukan unit administratif Bumiputra setingkat Regentschap (Keregenan) yang dikepalai oleh Regen, Kelarasan yang dikepalai oleh Kepala Laras, dan Kenagarian yang dikepalai oleh Kepala Nagari. Para pejabat yang mengepalai unit-unit pemerintahan ini umumnya adalah para penghulun yang ikut menandatangani Perjanjian 10 Februari 1821 atau yang berperan aktif dalam membantu Belanda memerangi kaum Padri.

H.J.J.L. de Stuers, Residen Sipil dan Militer Padang dan Daerah Taklukannya yang memilih politik berdamai dengan Padri (untuk sementara waktu), selama Perang Diponegoro.

Tahun 1825, ketika jabatan Residen Sipil dan Militer dipegang H.J.J.L de Stuers, ada perubahan luas wilayah dan perombakan unit-unit administratif di daerah ini. Di samping Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, wilayah pemerintahan Residentie Padang en Onderhoorigheden diperluas hingga Barus di utara sampai Indrapura di selatan. Unit administratif Europesche Bestuut setingkat District ditiadakan dan diganti dengan Adeeling yang dikepalai oleh Asisten Residen. Ada tiga Afdeeling saat itu, yaitu:

Pertama, Zuidelijke Afdeeling (Afdeeling Selatan) yang meli­puti kawasan mulai dari Ujung Masang hingga Indra­pura. Ibu kotanya Padang

Kedua, Afdeeling Padangsche Bovenlanden (Afdeeling Da­rek) yang mencakup kawasan Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota. Ibu kota Afdeeling ini adalah Fort van der Capellen.

Ketiga, Noordelijke Afdeeling (Afdeeling Utara), yang me­liputi kawasan mulai dari Ujung Masang hingga Barus. Ibu kota dari Afdeeling ini adalah Tapanuli (Pulau Poncan).

Kecuali Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji, dan Tanah Datar, hampir kesemua daerah lainnya, yang dikatakan sebagai bagian dari Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukannya ini masih belum dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Belanda. Perluasan wilayah ini lebih disebabkan oleh keputusan politik tingkat ‘nasional’ atau ‘internasional’, yaitu diserahkannya daerah-deaerah yang sebelumnya dikuasai Inggris kepada Belanda sebagai Realisasi dari Londonsche Tractaat (1824).

Sesuatu yang menarik, dan itu ada hubungannya dengan Perang Padri adalah dibentuknya tiga jabatan Komandan Sipil Militer untuk Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan ketiga mereka diperbantukan kepada Asisten Residen Padang Darek. Ketiga Komandan Sipil dan Militer tersebut ditem­patkan di Agam, Simawang dan Pa­dang Gan­ting. Pen­ciptaan jabatan komandan sipil militer di tiga lokasi tersebut ber­kaitan erat de­ngan rumitnya tugas Asisten Residen Padang Darek akibat makin berkecamuknya Perang Paderi di kawasan pedalaman. Pengangkatan para pejabat tersebut memang ditujukan untuk memimpin dan memenangkan perang melawan kaum Padri.

Tahun 1826, masih oleh de Stuers, diadakan lagi perubahan dalam tata pemerintahan di daerah ini. Tahun itu Keresidenan Padang dan Daerah-Daerah Taklukannya dibagi menjadi empat Afdeeling, yaitu:

Pertama, Afdeeling Padangsche Benedenlanden yang meliputi kawas­an pantai, mulai dari Tiku hingga Tarusan dan ke arah daratan dinyatakan berbatas dengan kaki-kaki perbukitan.

Kedua, Afdeeling Padangsche Bovenlanden meliputi kawas­an pedalaman Sumatera Barat. Batas-batas Afdeeling ini antara lain: Sebelah utara berbatas dengan de­ngan Bonjol dan Agam, ke arah timur berbatas de­ngan Li­ma­puluh Kota dan Lintau, ke arah selatan ber­batas dengan Talawi dan ke arah barat dengan Bukit Baris­an.

Ketiga, Zuidelijke Afdeeling yang mencakup kawasan mulai dari Tarusan hingga Indrapura. Ke dalam Afdeeling ini juga dimasukkan Onderafdeeling der Eilanden, yaitu unit administratif yang baru dibentuk untuk meng­urus pulau-pulau yang terdapat di kawasan ba­rat Sumatera Barat. Pulau Batu dianggap seba­gai pulau utama sehingga di sana ditempatkan se­orang Gezag­hebber untuk On­der­­afdeeling ini.

Keempat, Noordelije Afdeeling, yang mencakup kawasan dari Ba­rus hingga Ujung Masang. Afdeeling ini dibagi la­gi menjadi empat Onderafdeelingen, yaitu: a). Barus; b). Tapanuli; c). Natal; d). Air Bangis.

Di samping berkaitan dengan pengembalian Pantai Barat oleh Inggris, perubahan pemerintahan daerah tahun 1826 itu juga berhubungan dengan gerak maju pasukan Belanda dalam perang melawan kaum Padri di daerah pedalaman. Wilayah yang dikuasai Belanda semakin luas, dan sebagian besar Agam serta Limapuluh Kota sudah mereka masuki.

Pada saat tentara Belanda semakin banyak meraih kemenangan di kawasan darek, meletus Perang Jawa. Batavia memutuskan untuk mengonsentrasikan kekuatannya guna mengakhiri perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro tersebut. Karena itu, sebagian besar tentara yang tengah berperang melawan Padri ditarik ke Pulau Jawa. Selama Perang Diponegoro berlangsung (1825-1830) nyaris tidak ada perang di Ranah Minang. De Stuers mengambil kebijakan berdamai dengan para petinggi Padri sehingga pada kurun waktu itu banyak dibuat perjanjian damai dengan kaum Padri. Kebijakan de Stuers ini juga dilanjutkan oleh penggantinya Mac Gilavry dan Elout.

Sikap politik seperti ini menyebabkan nyaris tidak ada perubahan dalam pemerintahan daerah, terutama pada jajaran Europesche Bestuur. Sebaliknya, ada perubahan yang cukup signfikan dalam barisan Inlandsche Bestuur. Posisi Sutan Alam Bagagarsyah sebagai Hoofdregent diturunkan menjadi Regen biasa. De Stuers juga memperbanyak jumlah Keregenanan, Kelarasan, dan Nagari. Belum diketahui jumlah pasti masing-masing unit pemerintah ini saat itu, tetapi menurut Westenenk ada sebanyak 17 Keregenan, dan menurut de Stuers ada 42 Kelarasan dan 80 Nagari yang diciptakan saat itu.

Penciptaan Nagari adalah sebuah fenomenan baru pada era pemerintahan de Stuers. Dalam laporan tahunannnya de Stuers menyebut bahwa dia merencanakan untuk membentuk 100 Nagari baru guna mendukung pemerintahannya. Namun yang terealisir hanya 80-an buah.

Berbeda dengan Nagari, yang sebetulnya telah merupakan unit sosial-politik ‘asli’ milik Minangkabau, Kelarasan dan Keregenan adalah bentuk baru di daerah ini. Unit-unit administratif ini memang diciptakan oleh Belanda untuk mendukung mesin kekuasaannya. Para pejabat Kepala Nagari, Kepala Laras, Regen atau juga Hoofdregent diangkat dan digaji oleh pemerintah. Sebagai konsekuensinya, mereka mesti patuh dan mengabdi kepada pemerintah.

Pada era pemerintahannya, de Stuers memang lebih banyak mengutak-atik pemerintah Inlandsche Bestuur yang umumnya para penghulu yang telah menyatakan takluk dan setia kepada pemerintah. Kelompok-kelompok inilah yang sesungguhnya berada dalam kendali serta kekuasaannya. Sebaliknya, seperti yang disebut di atas, de Stuers memilih politik ‘berdamai’ dengan kaum Padri. Keadaan seperti ini berlangsung sekitar tujuh tahun. Ketentuan seperti ini adalah salah satu penyebab mulai jauhnya jarak antara kepala-kepala penduduk bumiputra (Inlandsche Hoofden) dengan warganya, khususnya jarak antara Kepala Nagari dengan warga nagari.

Setelah Perang Diponegoro usai dan bala tentara Belanda dikirim kembali ke daerah ini, Belanda meninggalkan politik berdamai dengan Padri. Belanda yang semakin percaya diri seusai memenangkan perang melawan Diponegoro dengan segera meningkatkan tekanan serangan terhadap Padri. Dengan dukungan tentara serta peralatan tempur yang semakin lengkap, dan persediaan logistik yang memadai, Belanda meraih kemenangan demi kemenanganpada berbagai medan laga. Pada saat itulah dirasaka adanya kebutuhan terhadap aparatur dan struktur pemerintahan daerah yang lebih sempurna lagi. Maka tahun 1833 diadakankan perubahan tatata pemerintah daerah.

Perubahan, terutama sekali dilakukan pada penamaan Afdeling dan daerah-daerah yang menjadi bagian dari Afdeeling tersebut. Nama-nama Afdeeling dan daerah-daerah yang menjadi bagiannya adalah:

Pertama, Afdeeling Padang en Onderhoorigheden yang meli­puti kawasan sekitar Padang hingga Indrapura di se­la­tan. Afdeeling ini berada di bawah pimpinan se­orang Asisten Residen.

Kedua, Afdeeling Pariaman yang meliputi daerah-daerah Paria­man, Tiku, Danau, XII Koto Darek, Bonjol, Lubuk Sikaping serta Rao. Afdeeling ini ber­ada di bawah pimpinan seorang Komandan Sipil dan Militer.

Ketiga, Afdeeling Padangsche Bovenlanden yang meliputi dae­rah Agam, Limapuluh Kota, Buo dan XX Koto. Pim­pinan tertinggi dari Afdeeling ini adalah seorang Komandan Si­pil dan Militer.

Keempat, Afdeeling Natal en Onderhorigheden (termasuk Tapa­nuli) di bawah pimpinan seorang Penguasa Sipil dan Militer.

Kaitan antara penataan pemerintahan daerah dengan Perang Padri, terutama sekali terlihat dari perluasan wilayah yang menjadi bagian dari Afdeeling Pariaman. Ke dalam unit administratif ini dimasukkan Bonjol, Lubuk Sikaping serta Rao yang menjadi pusat perlawanan Padri sejak awal tahun 1830-an. Sedangkan Paria­man, Tiku, Danau, dan XII Koto Darek dijadikan sebagai bagian dari unit administratif ini karena daerah-daerah tersebut akan dimanfaatkan sebagai kawasan untuk mendukung mobilitas pasukan (tentara dan logistik) guna menggempur Padri di kawasan Bonjol, Lubuk Sikaping dan Rao.

Sejak awal 1830-an konsentrasi perlawanan Padri memang berada di kawasan utara. Bonjol yang kemudian dinamakan oleh Belanda sebagai Fort Cochius menjadi benteng terakhir perlawanan Padri. Karena itu, dikuasainya Bonjol atau ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol tanggal 16 Agustus 1837 dianggap sebagai akhir dari Perang Padri oleh penulis kolonial.

Segera setelah itu (29 November 1837) pemerintah kolonial melakukan perubahan dalam tatanan pemerintahan daerah. Status daerah ditingkatkan menjadi Gouvernement, dan dinamakan Gouvernement Sumatra’s Westkust. Ini adalah satu-satunya daerah administratif setingkat Gouvernement di Sumatra saat itu. Pemimpinannya digelari Civiele en Militaire Gouverneur (Gubernur Sipil dan Militer). Pada unit administratif ini ada dua Residentie, yang dibagi lagi menjadi beberapa Afdeelingen. Nama-nama lengkap unit-unit administratif itu adalah:

I. Residentie van Padang dibagi ke dalam lima Afdeelingen. Kelima Afdeelingen itu terdiri dari:

Pertama, Afdeeling van Padang (tempat kedudukan Residen) meli­puti daerah Padang, Nanggalo, XX Koto, Limau Manis, Lu­buk Kilangan, Bungus, Cindakir, Teluk Kabung, Pau (Standplaats van een controleur 4e kl.), Koto Tangah, Tarusan, Siguntur dan Pulut-pulut.

Kedua, Afdeeling van Pariaman yang terbagi lagi menjadi Paria­man dengan V Koto, Naras (Mangguang), Pa­ria­­man (Controleur kelas 1), VII Koto Ulakan; Tiku (Controleur kelas 3), Manggopoh, Gragahan, Lubuk Basung, XII Koto; Kayutanam (Controleur kelas 3) dengan Pakandangan dan Sintuk Lubuk Alung.

Ketiga, Afdeeling Pulau Cingkuak (Controleur kelas 3) dengan Bayang, Salido, Painan, Batangkapas, Tello, Taratta, Surantiah, Kambang, Palagai, Sungaitoro, Pangisan, Air Haji dan Indrapura.

Keempat, Afdeeling Pulau-pulau Batu (Controleur kelas 4).

Kelima, Afdeeling van Padangsche Bovenlanden yang dibagi ke dalam Onderafdeelingen: a). Padang Panjang (IX Koto, XX Koto, Batipuah) dengan seorang Controleur kelas 1 di Padang Pan­jang dan seorang Controleur kelas 2 di Singkarak; b). Fort van der Capellen (Tanah Datar dan Tanjung Alam) dengan seorang Controleur kelas 1 di Fort van der Capellen dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjung Alam; c). Fort de Kock (Agam dan VII Koto) dengan 1 Con­troleur kelas 1 di Fort de Kock dan seorang Con­troleur kelas 4 di Palupuh; d). Matua (XII Koto dan Danau-districten) dengan se­orang Controleur kelas 2 di Matua, seorang Contro­leur kelas 3 di Bambang dan seorang Contro­leur kelas 4 di Maninjau; e). Payakumbuh (Limapuluh Kota dan Halaban) de­ngan seorang Controleur kelas 1 di Payakumbuh, 1 orang Controleur kelas 3 di Halaban, 2 orang Controleur kelas 4 di Fort van den Bosch (Suliki) dan Fort Veltman (Situjuh); f). Buo (Lintau dan Koto Tujuah) dengan seorang Controleur kelas 2 di Buo dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjuang Ambalo (Ampalu?)

II. Noordelijke Residentie atau Residentie Air Bangis, terdiri dari lima Afdeelingen.

Pertama, Afdeeling van Air Bangis (tempat kedudukan Residen).

Kedua, Afdeeling van Pasaman dan Westerlijke Ophirdistricten, dengan se­orang Controleur kelas 2 (ditempatkan di Katia­gan) dan seorang Controleur kelas 1 di Parik Batu (atau Kinali).

Ketiga, Afdeling van Natal en Tapanuli dengan seorang Controleur kelas 1 di Natal dan seorang Controleur kelas 3 di Tapa­nuli.

Keempat, Afdeeling van Mandahiling en Angkola, dengan seorang Contro­leur kelas 2 di Koto Nopan dan seorang Controleur ke­las 3 di Angkola.

Kelima, Afdeeling Rao, Bonjol en Oosterlijke Ophirdistricten, dengan seorang Controleur kelas 1 di Rao, 1 Controleur ke­las 2 di Bonjol (Kota General Cochius), 1 Controleur ke­las 3 di Talu atau Malampah, 1 Controleur kelas 4 di Lubuk Sikaping.

Dari penataan pemerintahan di atas terlihat, bahwa kawasan bagian utara mendapat porsi yang lebih banyak. Bahkan kawasan Tapanuli mulai dimasukkan dan ditata dengan rinci. Unit-unit administratif yang lebih rendah juga lebih banyak di kawasan itu. Ini tentu berhubungan dengan upaya Belanda yang masih mengejar sejumlah pemimpin Padri, yang masih aktif melakukan perlawanan di kawasan tersebut. Dan memang kenyataannya hingga tahun 1842, sejumlah perlawanan dari tokoh-tokoh Padri tetap terjadi di kawasan utara atau Mandahiling hingga Rokan Hulu (dan juga di wilayah Darek, di pedalaman Minangkabau). Bahkan, dalam sejumlah literatur dikatakan bahwa Perang Padri sesungguhnya baru berakhir tahun 1842, seiring dengan berakhirnya perlawanan Rakyat Batipuh.

Sehubungan dengan itu, sejak tahun 1837 hingga 1842 diadakan sejumlah perubahan dalam pemerintahan daerah. Hasil dari beberapa penataan itu, maka tahun 1842, Gouvernement Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga Keresidenan dan 14 Afdeelingen, serta 88 Districten. Dengan rincian sebagai berikut: 1). Keresidenan Padangsche Benedenlanden (4 Afdeeling dan 35 District); 2). Keresidenan Padangsche Bovenlanden (3 Afdeeling dan 18 District); 3). Keresidenan Tapanuli (7 Afdeeling da 36 District).

Dari data di atas sangat terlihat, bahwa pasca-penaklukan Padri, ikhtiar utama Belanda adalah memperluas kekuasan di kawasan utara (Mandahiling dan Tapanuli, serta di kawasan pantai). Dari data di atas juga terlihat, bahwa pemerintah memperbanyak unit-unit administratif yang lebih rendah tingkatannya. Ini berarti sasaran utama penataan pemerintahan saat itu adalah untuk menegakkan rust en orde (ketertiban dan keteraturan), yang sasaran utamanya adalah penduduk biasa.  Dan dalam kenyataannya, pasca-1842, perlawanan atas nama Padri memang tidak ada lagi, dan kalau ada penataan dan perubahan pemerintahan daerah selepas tahun 1842, bisa dikatakan tidak ada kaitannya dengan anasir Padri.

Sejak usainya Perang Padri umumnya dan selepas tahun 1842 khususnya, jalannya pemerintahan daerah Sumatra Barat memang memperlihatkan arah yang berbeda. Penataan-penataan dan perubahan-perubahan yang dilaksanakan lebih banyak mengarah pada upaya pengeksploitasi ekonomi daerah. Eksploitasi ekonomi bisa dilakukan kalau adanya ketertiban dan keteraturan. Upaya penegakan rust en orde ini trnyata juga menjadi alasan diadakannya sejumlah penataan dan perubahan pemerintahan daerah selepas tahun 1842. Pemerintahan daerah Sumatra Barat, memang sebuah pemerintah yang sangat dinamis, senantiasa berubah. Bahkan bisa dikatakan bahwa daerah ini adalah salah satu daerah yang paling dinamais di Indonesia. Tidak percaya, cobalah simak tulisan-tulisan lainnya dalam blog ini.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatra Barat: Dari VOC hingga Reformasi. Yogyakarta: Dian Pustaka, 2006.

Kielstra, E.B., , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , “Het Onstaan van den Padri-Oorlog” dalam Indische Militaire Tijdschrift, II, 1887, hal. 224-248.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Stuers, H.J.J.L.de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Westenenk, L.C., “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.

Ditulis oleh Gusti Asnan