Perang Padri adalah iven historis yang bisa digunakan untuk menggugat atau melengkapi teori lama tentang migrasi orang Minang. Pengalaman migrasi orang Minang pada masa Perang Padri tidak bersifat spontan (voluntary migation), tetapi karena adanya tindak kekerasan. Dalam kaitannya dengan pengalaman tersebut, konsep diaspora, yang lazim digunakan untuk pola migrasi kaum Yahudi, yakni kepergian meninggalkan negeri asal karena terpaksa, lebih tepat untuk kasus ini. Sehingga konsep diaspora cocok dipakaikan untuk pola migrasi orang Minang saat itu.
Artikel ini mencoba menelusuri kekerasan-kekerasan yang terjadi pada masa Perang Padri yang berujung pada ‘migrasi terpaksa’ orang Minang. Karena itu tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Pertama, bagaimana bentuk kekerasan yang ada pada masa Perang Padri? Kedua, sejauh mana kekerasan tersebut menyebabkan terjadinya migrasi warga? Ketiga, ke mana arah migrasi mereka itu?
Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada bagian berikut akan disajikan terlebih dahulu beberapa pendapat mengenai pola migrasi orang Minang.
II
Pendapat yang paling lazim dikemukakan oleh ilmuwan sosial dan dipahami oleh masyarakat awam mengenai pola migrasi orang Minang adalah migrasi spontan. Pola ini berangkat ungkapan yang berkembang pada masyarakat Minang:
“karatau madang di hulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di rumah baguno balun”
Migrasi spontan yang lazim disebut dengan merantau ini umumnya dikaitkan dengan kepergian untuk mencari ilmu (baik ilmu agama atau duniawi) dan kepergian untuk keuntungan ekonomi (berdagang), serta medapatkan barang-barang yang tidak bisa diperoleh di daerah asal (pedalaman). Karena itu, tujuan perantauan orang Minang adalah ke pusat-pusat kegiatan sosial, ekonomi, politik dan budaya, serta daerah-daerah yang bisa memberikan berbagai komoditas yang dibutuhkan masyarakat pedalaman.
Di samping perantauan untuk mencari ilmu dan bekal finasial, dan mendapatkan kebutuhan hidup, perantauan Urang Awak juga ditujukan untuk perluasan daerah (nagari). Maksudnya, ketika pemukiman lama sudah dirasa tidak lagi bisa menampung penduduk yang selalu bertambah, maka sebagian warga membuka lahan baru untuk membuat pemukiman baru. Tujuan perantauan yang disebut terakhir ini adalah kawasan baru, baik di sekitar pemukiman lama atau kawasan lain yang berada jauh dari pemukiman lama.
Hasil studi Mochtar Naim (1977) dan Kato (1982) adalah dua contoh yang mewakili pandangan pola perantauan spontan orang Minang.
Satu aspek yang nyaris tidak disinggung dalam studi migrasi Urang Awak pada masa-masa sebelumnya adalah perantauan karena terpaksa, Orang Minang meninggalkan kampung halamannya tidak dengan suka rela. Dan perantauan dengan pola ini, karena adanya kekerasan, pernah terjadi dan itu terjadi pada masa Perang Padri.
III
Perang Padri (1821-1836/1842) yang merupakan kelanjutan dari Gerakan Padri (sejak awal abad ke-19-1821) adalah peristiwa yang juga diisi oleh tindakan kekerasan. Masing-masing kelompok yang menjadi aktor dalam perang dan gerakan itu pernah melakukan tindakan kekerasan pada lawannya. Kaum Padri, orang/tentara Belanda, tentara non-Minang, dan ‘orang Minang’ yang bekerja sama dengan Belanda, pernah melakukan tindakan kekerasan. Bahkan tindak kekerasan yang dilakukan pada masa Perang Padri bisa dikatakan lebih keras bila dibandingkan dengan kekerasan yang dilakukan pada masa Gerakan Padri. Hal ini disebabkan oleh karena kekerasan pada masa Perang Padri juga dilandasi oleh keinginan membalas dendam terhadap kaum Padri dan keinginan membalas kekerasan yang dilakukan pada masa Gerakan Padri.
Beberapa bentuk kekerasan yang dilakukan oleh masing-masng pihak adalah penyerangan terhadap kampung ‘lawan’, pembunuhan terhadap warga kampung yang diserang, pembakaran kampung yang diserang, dan pengambilan harta benda warga kampung yang diserang, serta penawanan/penyanderaan untuk dijadikan budak warga (khususnya kaum wanita) kampung yang diserang.
Dalam Memoar Tuanku Imam Bonjol dan karya Stuers, Geen, Kielstra, serta penulis-penulis Belanda lainnya ditemukan banyak informasi berkenaan dengan tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Imam Bonjol dengan jujur mengungkapkan bahwa banyak penyerangan yang dilakukan oleh kaum Padri, baik yang dia sendiri bertindak sebagai pemimpin atau yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Padri lainnya. Kampung-kampung yang diserang ada yang berlokasi di sekitar Bonjol, Alahan Mati, Simpang Malampah, Pasaman (dari Lubuk Sikaping hingga Rao dan Air Bangis), Limapuluh Kota atau Agam.
Tuanku Imam menuliskan dalam memoarnya berbagai kekerasan yang dilakukan kaum Padri, mulai dari pembakaran kampung, pembunuhan terhadap tokoh-tokoh utama serta penduduk kampung yang diserang, perampasan harta benda warga kampung yang diserang, termasuk juga penawanan/penyanderaan warga (khususnya kaum perempuan) kampung yang diserang. Bahkan Tuanku Imam menceritakan bagaimana lasykar Padri membunuh puluhan ekor kerbau di Kuok Bangkinang yang tidak dibawa.
Menurut Tuanku Imam Bonjol, beberapa kampung atau nagari yang diserang lasykar Padri adalah Muaro Bubus, Kampung Talang, Ganggo Mudik, Limo Koto, Lungguak Batu, Kampung Ambacang, Lariang, Sumauang, Alahan Mati, Simpang, Malampah, Lubuk Sikaping, Rao, Kampung Durian, Lubuk Layang, Padang Matinggi, dan Languang. Serangan juga dilakukan ke Agam (Nagari XII) yang meliputi kawasan Matur dan sekitarnya. Serangan juga dilakukan ke Limapuluh Kota (Suliki dan sekitarnya). Tidak itu saja, serangan juga dilakukan hingga Kuok (Bangkinang) serta Rokan Hulu.
Serangan terhadap kampung ‘musuh’ tidak hanya dilakukan oleh Lasykar Padri yang bermarkas di Bonjol, di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, dalam memoir yang ditulisnya, Imam Bonjol juga menyebut bahwa serangan juga dilakukan oleh Lasykar Padri yang berada di Agam dan Tanah Datar yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh serta Tuanku Lintau.
Ada banyak contoh tentang kekerasan yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, diantaranya: pembakaran Kampung Talang, pembakaran Kampung Ambacang, perampasan semua harta-benda termasuk 500 ekor kerbau orang Simauang, ‘dikemasinya’ harta benda orang Alahan Mati, pembakaran Kampung Kuranji dan pengambilan semua kerbau dari sapi warga kampung tersebut, pembakaran kampung Languang dan pengambilan harta benda warga kampung, pembakaran dan pengambilan harta benda penduduk Suliki dan Pandam Gadang serta penyanderaan perempuannya, pembakaran kampung di sekitar Mahek dan ‘pengampungan’ kerbau dan jawi, pinggan dan cawan, serta periuk dan belanga warga setempat. Dan banyak lagi contoh-contoh kekerasan yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam bukunya.
Walaupun banyak aksi kekerasan yang dilakukan, dalam memoar Tuan Imam Bonjol juga didapat informasi bahwa sejak pulangnya Tuanku Tambusai (Haji Muhammad Saleh), Pakiah Muhammad (Haji Muhammad Amin), Pakiah Malano (Haji Abdullah), dan Pakiah Sialu (Haji Muhammad Razak) dari Mekkah tahun 1829/1830, maka semua aksi kekerasan dihentikan oleh kaum Padri. Bahkan disebutkan dalam memoarnya, sejumlah barang yang telah diambil sebelumnya dikembalikan kepada para pemiliknya.
Bila Tuanku Imam Bonjol banyak bercerita tentang kekerasan yang dilakukan oleh Lasykar Padri dan puncaknya adalah penghentian aksi kekerasan oleh kaum Padri, maka Stuers, Geen, Hendrik, dan Kielstra misalnya menuliskan kekejaman tentara Belanda, hulp tropen (barisan tentara yang terdiri dari orang Jawa, Madura, dan Bugis), serta hulp benden (gerombolan Melayu: Urang Awak) terhadap orang dan perkampungan Padri. Dalam karya-karya ini diketahui bahwa tentara penjajah dan hulp tropen,serta hulp benden juga melakukan kekerasan yang sama. Bila dibaca dengan saksama karya-karya penulis Belanda di atas dan karya-karya lainnya yang jumlah sangat banyak, maka bisa dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda, tentara bantuan non-Minang, dan lasykar Urang Awaknya jauh lebih luas dan massif dan lama. Kekerasan yang dilakukan Belanda dan tentara pendukungnya tetap berlanjut hingga akhir perang.
Serangan tentara Belanda dan hulp tropen, serta hulp bendennya umumnya dilancarkan terhadap daerah (kampung atau nagari) yang dikuasai oleh kaum Padri. Sulit Air adalah nagari pertama yang diserang, dan serangan itu sekaligus pernyataan perang oleh Belanda terhadap kaum Padri. Kielstra mengatakan, sesungguhnya, di samping Sulit Air ada dua lagi nagari yang diserang saat itu, tapi nagari apa saja yang diserang tersebut tidak disebutkan namanya. Namun, dari kesan yang ditangkap, bahwa dengan menyerang tiga nagari sekaligus membuktikan bahwa Belanda dan pasukan bantuannya betul-betul serius ingin menghabisi kaum Padri. Dikatakan, bahwa salah satu alasan penyerangan Sulit Air adalah karena nagari itu adalah nagari Padri dan mereka menganggu orang Melayu di darek, dan gangguan itu juga bisa membahayakan kedudukan Belanda. Dalam penyerangan itu warga nagari juga diusir atau melarikan diri.
Serangan Belanda dan hulp tropen, serta hulp bendennya semakin menjadi-jadi pada tahun 1822, terutama sejak datangnya tambahan pasukan dibawah komando Letkol A.T. Raaf. Nagari-nagari Padri di Tanah Datar adalah sasaran serangan pertama. Di samping Lintau, beberapa nagari yang diserang adalah Tanjung, Andaleh, Tabek Patah, Rao-Rao, Balimbiang, Supayang, dlsbnya. Setidaknya ada 20-an nagari di Tanah Datar yang diserang pada tahun 1822 dan 1823.
Sesudah Tanah Datar serangan dilanjutkan ke Agam dan Limapuluh Kota. Karena hampir semua nagari di daerah itu sebelumnya sudah jatuh ke tangan Padri, maka hampir semua nagari di daerah tersebut diserang oleh Belanda dan pasukan bantuannya.
Hulp benden yang terdiri dari Urang Awak sangat besar peranannya dalam proses penghancuran kampung atau nagari-nagari yang diserang. Kekerasan dan kebrutalan mereka sudah terlihat sebelum penyerangan dimulai. Mereka telah merancang apa yang akan dilakukan, mulai dari penyerangan, mengambilan harga benda, hingga penyanderaan warga (kaum perempuan) untuk dijadikan budak, pada waktu persiapan penyerangan tengah dilakukan. Lasykar Batipuh dianggap sebagai kesatuan yang paling ganas. Seperti ditulis dalam banyak buku, kekejaman lasykar hulp benden ini ada hubungannya dengan balas dendam terhadap apa yang dilakukan kaum Padri sebelumnya.
Jumlah hulp benden ini ribuan banyaknya dan kerja sama mereka dengan Belanda sesungguhnya tetap berlanjut hingga Perang Padri usai. Jadi pernyataan yang menyebut bahwa ‘gewapene Maleirs’ ini semuanya berbalik melawan Belanda sekitar tahun 1833 tidaklah benar. Bahkan semakin banyak dari mereka yang melakukan kerja sama dan mendukung Belanda hingga perang berakhir. Bantuan yang mereka berikan selama periode Perang Padri itulah yang membuat kaum Padri tetap menjadi sasaran penyerangan dan tindak kekerasan hingga perang berakhir. Padahal, seperti disebut di atas, kaum Padri sudah menghentikan kekerasan terhadap ‘sanak saudara’ mereka sejak tahun 1829/1830, pascakepulangan Tuanku Tambusai dkk. menunaikan ibadah haji. Kondisi inilah yang akhirnya membuat berdiasporanya warga daerah.
IV
Hampir setiap sumber, baik memoir Tuanku Imam Bonjol atau sumber-sumber Belanda, selalu menyebut bahwa setiap kali penyerangan dilakukan, ada warga kampung atau nagari yang diserang yang melarikan diri meninggalkan kampung/nagarinya. Tidak itu saja, bahkan sering kali disebutkan bahwa sebelum kampung/nagari diserang warganya sudah melarikan diri terlebih dahulu.
Diakui juga oleh para penulis, bahwa sebagian warga kampung /nagari yang melarikan diri kembali lagi ke kampung/nagari mereka. Namun tidak sedikit pula dari mereka yang tidak pulang lagi. Memoar Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa banyak penduduk kampung/nagari yang diserang kaum Padri, baik yang ada di Pasaman, Agam, Limapuluh Kota, Bangkinang (Kampar) atau Rokan, melarikan diri ke daerah-daerah tetangganya. Dalam memoir itu juga disebut bahwa banyak penduduk kampung/nagari di Agam yang berdiaspora ke Pasaman ketika Belanda dalam lasykar-lasykar bantuannya menyerang Agam. Tuanku Imam Bonjol juga menyebut bahwa banyak warga Pasaman yang berdiaspora ke Rokan atau juga ke kawasan yang lebih jauh di hilir Rokan ketika Belanda dan lasykar-lasykarnya menyerang Pasaman di akhir episode Perang Padri.
Informasi yang sama juga didapat dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis Belanda. Banyak penduduk (kaum Padri) yang melarikan diri ketika kampung/nagari mereka diserang oleh pasukan Belanda. Sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa sebagian penduduk kampumg/nagari tersebut kembali lagi, terutama setelah kepala-kepala mereka, menyatakan tunduk dan mau bekerja sama dengan Belanda. Namun, sumber yang sama juga mengatakan bahwa banyak juga warga kampung/nagari yang lari yang tidak kembali lagi. Umumnya mereka yang tidak kembali ini adalah tokoh-tokoh Padri atau keluarga-keluarga Padri ‘yang fanatik’, dan mereka melarikan diri ke kawasan timur atau ke kawasan utara (dari Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota).
Suatu kesamaan dari kedua sumber (memoar Imam Bonjol atau karya-karya penulis Belanda) adalah banyak ‘pelarian’ yang menjadikan daerah Pasaman umumnya dan Rao khususnya sebagai titik pemberangkatan terakhir mereka. Tidak diragukan lagi, mereka yang ‘lari’ itu adalah pendukung Padri. Mereka melarikan diri karena tidak mau tunduk kepada Belanda dan mereka memilih daerah Pasaman dan Rao sebagai titik pemberangkatan terakhir karena daerah itulah yang relatif akhir dikuasai oleh Belanda. Disamping itu, dipilihnya Pasaman atau Rao sebagai titik pemberangkatan terakhir adalah karena daerah itu memiliki akses untuk ‘lari’. Akses yang dimaksud adalah jalan setapak dan sungai-sungai yang mengalir ke kawasan timur Sumatra. Dari Rao ada jalan setapak lazim ditempuh sejak waktu yang lama oleh para pedagang atau penduduk yang ingin pergi ke kawasan timur Sumatra. Setelah menempuh jalan setapak mereka akan sampai ke sejumlah pangkalan yang berada di Sungai Rokan, baik Rokan Kiri atau Rokan Kanan. Dengan menghiliri kedua sungai itu mereka akan sampai di Sungai Rokan dan kemudian terus ke hilir sampai Selat Malaka.
Ruas Jalan Setapak dan Rute Pelayaran Sungai Rokan
Diaspora Minangkabau dari Pasaman/Rao
Sesampai di Selat Malaka, mereka bisa melanjutkan ‘pelarian’ mereka negeri-negeri yang ada di di Sumatra Timur atau ke Tanah Semenanjung Malaysia. ‘Lari’ ke negeri-negeri di Sumatra timur atau ke Tanah Semenanjung bukanlah suatu yang asing, karena daerah-daerah itu telah menjadi tujuan perantauan orang Minangkabau sejak masa yang lama. Alasan lain adalah hingga saat itu, kawasan-kawasan tersebut aman bagi mereka, karena Belanda tidak berkuasa di sana.
Di samping diaspora lokal (dalam daerah Minang), pada masa Perang Padri juga muncul diaspora lintas daerah (diaspora ke daerah budaya yang lain di Pulau Sumatra, dan ke Tanah Semenanjung). Hingga saat ini, ‘perantau karena terpaksa serta terusir’ dari kampung halaman ini masih belum banyak dikaji. Mudah-mudahan, tulisan ini bisa menjadi pembuka jalan bagi kajian yang lebih serius dan komprehensif diaspora orang Minang tempo doeloe.
Sumber:
ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827.
Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.
Kato, Tsuyoshi, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca London: Cornel University Press, 1982.
Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.
— , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 38 tahun 1889, hal. 467-514.
— , “Sumatra’s Westkust van 1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 37, tahun 1888, hal. 216-380.
— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 36 tahun 1887, hal. 7-163.
— , “Het Onstaan van den Padri-Oorlog” dalam Indische Militaire Tijdschrift, II, 1887, hal. 224-248.
Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press, 1977.
Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.
Oki, Akira, “The River Trade in Central Sumatra and South Sumatra in the 19th Century” dalam Tsuyosho Kato, Muchtar Lutfi dan Narifumi Maeda (eds.), Environtment, Agriculture and Society in the Malay World. Kyoto: CSAS-Kyoto University, 1986, hal. 1- 48.
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.
Ditulis oleh Gusti Asnan