Dunia Magis, Dunia Hiburan, dan Gaya Hidup Masa Perang Padri

Perang Padri tidak hanya diisi dengan kecamuk pertempuran yang menggunakan keris atau tombak, serta menggunakan bedil dan meriam, tetapi juga racun, guna-guna, dan ‘kebaji’. Perang Padri tidak hanya dilakoni oleh para ahli perang dan para perwira militer ahli strategi perang, tetapi juga oleh para tuanku pakar ‘pelangkahan’ dan urang pandai turiah. Perang Padri tidak hanya diisi oleh gemerincing keris dan tombak yang saling beradu, atau letusan senapan dan meriam yang saling bersautan, tetapi juga oleh kenduri syukuran, batagak penghulu, serta pesta dansa. Perang Padri tidak hanya dilakoni oleh tokoh yang berbaju jubah, bersorban, bertasbih, atau berbaju hitam dengan destar seperti pakaian para pendekar silat, tetapi juga oleh uniform militer yang keren, serta juga kuda tunggangan yang tegap dan kereta kencana dengan empat ekor kuda yang mempesona.

Siapa yang menggunakan kekuatan magis dan bagaimana corak kekuatan magis yang digunakan pada masa Perang Padri? Bagaimana corak kehidupan duniawi yang diamalkan atau dunia hiburan yang dilakukan serta dinikmati warga daerah pada masa Perang Padri?  Bagaimana pula gaya hidup para tokoh dan warga masyarakat masa Padri? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Perang Padri diambil sebagai batasan temporal tulisan ini karena Perang Padri sesungguhnya adalah juga sebuah wadah yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana upaya pembaruan yang dilakukan kaum Padri mencapai sasarannya. Di samping itu, Perang Padri juga bisa dijadikan sebagai wahana untuk mengetahui sejauh mana upaya pemberantasan praktik-praktik bid’ah dalam pengamalan dan ritual keagamaan (Islam), serta menghabisi praktik-praktik jahiliyah dalam kehidupan sosial-budaya orang Minangkabau mencapai hasilnya.

II

Sama dengan kelompok-kelompok masyarakat lain di Indonesia, orang Minang juga sangat akrab dengan dunia magis, suatu dunia yang diisi oleh adanya kekuatan gaib yang dapat menaklukkan atau menguasai orang, binatang, jin, dan hantu serta lingkungan sekitar, termasuk juga menguasai pikiran dan peri laku orang, binatang, jin dan hantu. Hampir semua aspek hidup dan kehidupan mereka, berkaitan secara langsung atau tidak dengan dunia magis.

Unsur-unsur magis tidak hanya tampil pada aspek dan aktivitas kehidupan yang bersifat duniawi, tetapi juga kehidupan religi. Bahkan ada pencampuradukan unsur-unsur magis ke dalam ritual atau amalan keagamaan yang mereka anut, sehingga sampai taraf tertentu, sangat sukar membedakan antara unsur-unsur magis buatan manusia dengan ajaran agama, apalagi ada penganut agama bersangkutan yang memandang bahwa unsur-unsur magis ciptaan manusia tersebut adalah bagian dari ajaran, serta bagian dari ritual dan amalan keagamaan.

Kenyataan di atas sangat terlihat pada saat agama Hindu dan Budha masuk serta berkembang di Minangkabau. Gejala yang sama juga menjadi bagian dari hidup dan kehidupan orang Minang saat mereka menganut agama Islam, setidaknya hingga akhir abad ke-18.

Sejarah Islam Minangkabau memperlihatkan bagaimana dunia magis begitu kuat pengaruhnya pada ritual dan amalan keagamaan orang Minang saat itu.

Adanya unsur-unsur magis dalam ritual dan amalan keagamaan (Islam) itu adalah satu alasan kaum Padri melancarkan gerakan pemurnian Islam di daerah ini. Mereka ingin membuang jauh unsur-unsur magis serta amalan-amalan keagamaan  yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist. Untuk itulah mereka mereka menentang serta mengeritik keras, bahkan menyerang ulama yang dipercayai memiliki tuah, kekuatan gaib, serta juga menyerang dengan keras ‘jamaah’ yang mengkultuskan ulama tertentu, atau yang melakukan ziarah kubur, bernazar di kuburan atau tempat-tempat keramat, dlsbnya.

Menentang amalan-amalan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist adalah gagasan utama kaum pembaru pada fase awal Gerakan Padri. Namun ketika gerakan tersebut berubah menjadi perang, saat mana kaum pembaru Islam juga berhadapan dengan kelompok masyarakat lain dari luar Minang (orang Belanda), maka ajaran dan pola aksi mereka mulai berubah. Beberapa amalan yang dulu sangat mereka kutuk dan hujat, maka pada saat Perang Padri mereka sendiri yang mengamalkannya. Saat perang berlangsung, ternyata mereka juga menggunakan dan mempercayai kekuatan-kekuatan magis dan menjadikan kepercayaan kepada sesuatu yang tidak diajarkan Al-Qur’an dan hadist sebagai amalan mereka.

Di samping kaum Padri, kekuatan gaib yang bersifat mistis itu juga dipercayai dan diamalkan oleh ‘orang Melayu’ (sebutan terhadap orang Minang yang bekerjasama dengan Belanda melawan kaum Padri).

III

Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa kaum Padri mempercayai dan menggunakan kekuatan magis selama Perang Padri. Tidak tanggung-tanggung, mereka yang mempercayai dan menggunakannya mulai dari pemimpin tertinggi, mulai dari Tuanku Imam Bonjol hingga para pendukung dari kalangan masyarakat bawah.

Ada sejumlah fakta dan iven historis yang berkaitan dengan kepercayaan Tuanku Imam Bonjol pada kekuaan magis. Beberapa di antaranya adalah penggunaan ‘palangkahan’. Walaupun dinegasikan oleh Darwis Daoek Madjoelo dan Ahmad Marzoeki, bahwa buku ‘pelangkahan’ yang dimiliki oleh keluarga Tuanku Imam Bonjol bukan hasil karya beliau, tetapi diyakini, isi buku tersebut adalah amalan Tuanku Imam Bonjol. Gambar berikut adalah “palangkahan” yang disajikan oleh kedua penulis dalam buku mereka yang berjudul Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951).

“Pelangkahan”
(Sumber: Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951)

Dipercayai bahwa dalam kesehariannya atau dalam memimpin perjuangan melawan Belanda, Tuanku Imam Bonjol sering berpedoman kepada pelangkahan. Sebelum memutuskan sesuatu, misalnya pergi berperang, dia mempedomani simbol-simbol dan petunjuk-petunjuk yang tertera pada “palangkahan” yang dimilikinya. Perang bisa dilakukan apabila simbol-simbol dan petunjuk-petunjuk yang tertera pada “pelangkahan” menampilkan pertanda positif. Sebaliknya perang harus dibatalkan bila simbol atau petunjuk penampilkan pertanda negatif.

Tidak hanya dalam aktivitas yang sifatnya besar dan menentukan, serta melibatkan orang dalam jumlah yang banyak, mempedomani “palangkahan” bahkan dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam kegiatan yang sifatnya personal. Misalnya saat melepas anaknya pergi berjalan atau mendirikan rumah, serta membuka kebun.

“Pelangkahan”
(Sumber: Darwis Datoek dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951).

Informasi lain yang mengatakan bahwa Tuanku Imam Bonjol mempercayai kekuatan magis ditemukan dalam memoar yang ditulisnya sendiri. Dikatakannya, bahwa dalam perjalanannya sekembali menyerang gaduang (benteng Belanda di Air Bangis), Tuanku Imam Bonjol berhenti di Koto Baru. Beliau mengetahui bahwa di sana ada dua pucuk meriam yang pernah digunakan sewaktu perang di Mesir, dan beliau menginginkan meriam tersebut.

Menurut tokoh masyarakat setempat (penghulu pangka tuo Pasaman), salah satu meriam tersebut berada di tengah padang (mudah diambil), sedangkan yang satu lagi terbenam di dalam sungai (lubuk), dan dikatakan sudah terbenam ke dalam lumpur. Namun karena Tuanku Imam yang menginginkan, maka diupayakanlah pencarian meriam yang terbenam tersebut. Setelah beberapa hari pencarian dilakukan meriam yang dicari belum juga ditemukan. Maka atas izin Tuanku Imam Bonjol dipanggillah urang pandai turiah (seseorang yang memiliki kemampuan gaib untuk melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat secara kasat mata, atau mencari suatu benda yang hilang). Dengan kemampuan gaib yang dimilikinya maka dalam sekejap diketahuilah lokasi meriam tersebut dan terpenuhilah keinginan Tuanku Imam Bonjol.

Kaum Padri mempercayai bahwa para tuanku atau pemimpin mereka memiliki kekuatan gaib. Kekuatan gaib yang dimiliki oleh para tuanku atau pemimpin tersebut sangat menentukan aktivitas yang mereka lakukan. Ada konsep pars pro toto dalam hal ini, dengan kata lain tuah atau kesaktian yang dimiliki oleh seorang tuanku atau pemimpin akan memberi tuah atau kesaktian pula kepada seluruh pengikutnya. Dipercayai bahwa keberhasilan-keberhasilan yang mereka raih dalam perang adalah karena tuah yang dimiliki oleh para tuanku atau pemimpin mereka. Sebaliknya, kesialan atau musibah yang dialami seorang tuanku atau pemimpin mereka merupakan pertanda yang tidak baik bagi semua pengikutnya.

Karena itu, sangat sering dilaporkan oleh orang Belanda bahwa pada saat mereka sudah hampir mati atau menyerah kalah karena dikepung atau diserang oleh orang Padri, tiba-tiba saja para pejuang Padri membiarkan atau meninggalkan mereka begitu saja. Pengalaman seperti pada awalnya menjadi sesuatu yang mencengangkan atau sangat sukar dimengerti oleh orang Belanda. Namun akhirnya mereka menyimpulkan bahwa pembiaran atau pengunduran pihak Padri tersebut disebabkan oleh cederanya atau tewasnya tuanku/pemimpin mereka. Kematian tuanku atau pemimpin tersebut dianggap sebagai petaka yang bisa membahayakan semua pasukan. Karena itu mundur adalah solusi yang terbaik.

Kepercayaan kepada kekuatan gaib juga dimiliki oleh ‘orang Melayu’. De Stuers, Nahuijs, dan Elout serta Boelhouwer – untuk menyebut empat nama – mengatakan bahwa sejumlah tokoh ‘orang Melayu’ dan anggota pasukan Melayu sering mengumbar pernyataan bahwa mereka memiliki kekuatan gaib yang bisa menghukum (mencederai) orang yang berada di tempat lain.

Laporan-laporan orang Belanda juga menyebut bahwa sejumlah prajurit ‘gewapene maleiers’ sering mempelagakkan kehebatan mereka di hadapan orang banyak. Kehebatan yang dipertontonkan itu antara lain ilmu tahan bacok alias kebal terhadap benda tajam.

Ilmu gaib lain yang juga sering digunakan saat Perang Padri adalah racun hidup. Racun yang dimaksud adalah ‘racun piaraan’, racun yang dimiliki oleh orang atau keluarga tertentu, dan racun itu harus diberikan kepada orang (korban). Bila tidak diberikan maka orang atau salah satu anggota keluarga orang yang memiliki racun tersebut yang harus memakannya atau harus dikorbankan. Tuanku Imam Bonjol menyebut dalam memoarnya bahwa Datuk Bandaro, seorang ‘senior’ Tuanku Imam Bonjol tewas diracun orang. Diduga racun yang digunakan adalah racun hidup ini.

Racun hidup ini atau kekuatan pembunuh yang bisa dikirim dari jarak jauh juga dimiliki oleh ‘orang Melayu’. Rusli Amran, mengutip De Stuers dan Elout menyebut bahwa salah seorang Regent di daerah pedalaman (darek) meracun atau mengirim sesuatu dari jarak jauh untuk membunuh seseorang yang digadang-gadang oleh banyak pihak sebagai penggantinya.

Dunia mistik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kaum Padri atau ‘orang Melayu’ dalam Perang Padri.

IV

Orang Padri, ‘orang Melayu’ dan orang Belanda yang terlibat dalam Perang Padri adalah bagian dari apa yang disebut sebagai homo festivus, manusia yang suka pesta atau bersenang-senang. Karena ‘pembawaannya’ ini, setiap ada kesempatan, mereka selalu berupaya memenuhi panggilan jiwanya untuk berpesta atau bersenang-senang. Karena itu, dalam suasana perang, bila ada kesempatan, maka mereka juga akan mengadakan pesta atau bermain, serta menghibur diri.

Dalam memoarnya, Tuanku Imam Bonjol banyak kali menyebut adanya pesta atau perayaan yang dilakukan kaum Padri. Pesta atau perayaan yang mereka lakukan umumnya pesta atau perayaan syukuran, misalnya syukuran atas selesainya pembangunan kampung atau masjid. Di samping itu juga ada syukuran atas kemenangan dalam perang menyebarkan faham (pembaharuan) kepada kelompok yang belum ‘sempurna’ keislamannya, atau syukuran atas kemenangan melawan Belanda dan ‘orang Melayu’. Pesta yang disebut terakhir ini lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan pesta syukuran atas kemenangan dalam perang melawan Urang Awak.

Pesta, perayaan, dan syukuran ini umumnya diisi dengan makan-makan yang diikuti oleh banyak orang. Sebuah pesta yang diadakan di Bonjol sebagai syukuran atas selesainya pembangunan mesjid dihadiri oleh seribu orang lebih dengan menyembelih beberapa ekor kerbau. Acara syukuran ini juga diisi dengan ceramah serta doa permohonan kepada Allah SWT agar diberi kelapangan dan keberhasilan dalam hidup.

‘Orang Melayu’ juga sering mengadakan pesta dan perayaan. Beberapa pesta yang mereka lakukan adalah perayaan penobatan penghulu, alek kawin, dan perayaan (syukuran) atas kemenangan yang diperoleh melawan kaum Padri. Salah satu pesta yang disebut terakhir dilaksanakan di Pakandangan tanggal 18 Desember 1831. Pesta diadakan dalam rangka merayakan kemenangan Belanda menghancurkan salah satu basis kekuatan Padri di Ujung Rajo (Pasaman). Saat pesta dilangsungkan dikibarkan berdera Belanda di lokasi pesta. Pesta diadakan dekat pasar dan dekat masjid nagari. Pesta itu dihadiri oleh Boehouwer, tuanku dan para penghulu serta warga masyarakat dengan jumlah sekitar 600 orang. Makanan yang disuguhkan antara hidangan (gulai) dari daging kerbau yang disajikan dengan piring yang sangat banyak di atas tikar bersih yang terhampar, dan nasi yang dihidangkan di atas talam-talam besar yang dibawa oleh 100 orang perempuan banyaknya. Dikatakan juga, saat tamu makan, maka kaum perempuan mendendangkan lagu dari tempat yang tidak kelihatan (dibalik tirai).

Pesta-pesta besar seperti ini sering diadakan oleh ‘orang Melayu’. De Stuers dan Elout menyebut adanya pesta pelewaan penghulu dan alek kawin yang meriah yang dihadiri oleh banyak orang dan sajian makanan yang melimpah. Karena dekat dengan Belanda maka pada pesta ‘orang Melayu’ tersebut ada tempat khusus bagi orang Belanda. Orang (pejabat) Belanda ditempatkan di anjuang atau ‘singgasana’ khusus. Orang (pejabat) Belanda tersebut sangat menikmati pesta atau perayaan itu, apalagi mereka juga orang-orang yang juga menyukai pesta.

V

Mengadakan atau menghadiri pesta adalah hal yang lumrah di kalangan orang Belanda di daerah ini. Pesta adalah momen yang sangat penting bagi mereka untuk saling bertemu dan saling bertukar cerita di daerah ‘rantau’. Umumnya pesta itu diadakan pada waktu-waktu tertentu atau pada kesempatan khusus.

Pesta yang paling sering diadakan adalah pesta saat dilaksanakannya serah terima jabatan ‘kepala daerah’, mulai dari resident hingga kepala post. Di samping acara seremonial, berupa sambutan-sambutan dan pidato-pidatoan, pada kesempatan itu biasanya diadakan acara makan-makan, minum-minum serta acara dansa. Untuk pesta yang besar diadakan di kota Padang, pada saat serah terima resident atau acara khusus. Boelhouwer misalnya pernah menghadiri acara pesta dansa yang diadakan Resident Padang en Onderhoorigheden (Kol. Elout) di Padang. Pesta diadakan di rumah saudagar besar terkemuka (Boyle) dan berlangsug semalam suntuk. Pesta itu dihadiri oleh banyak orang Eropa, baik yang berdomisili di Padang atau yang ada di daerah. Pesta itu juga dihadiri oleh orang China kaya, pemuka penduduk bumiputra, serta juga Sentot Alibasya yang didampingi oleh dua orang istrinya, yang saat itu tengah berada di daerah ini sebagai sekutu Belanda.

Pengunjung pesta, terutama orang Eropa sangat menikmati acara tersebut. Hampir semua pengunjung Eropa (terutama para nyonya) seakan-akan tidak merasa lebih  berdansa yang dilakukan tiga atau empat kali secara berpasang-pasangan. Pesta baru berakhir menjelang subuh.

Pada acara dansa tersebut, undangan dari kalangan bumiputra hanya sekedar hadir dan ikut makan dan minum saja.

Perayaan atau pesta yang lain, yang lebih kecil biasanya di daerah saat serah terima jabatan Asisten Residen atau Kepala Post. Biasanya pada kesempatan itu, di samping diisi dengan pidato-pidato, juga disertai dengan acara makan-makan. Acara seperti ini juga dihadiri oleh para pemuka ‘orang Melayu’ di daerah yang bersangkutan. Boelhouwer, Baud dan Elout mencatat beberapa acara seperti yang dilakukan, baik di kawasan pantai atau di darek.

Dunia hiburan lain yang sering dilakukan oleh orang Eropa pada masa Perang Padri adalah main kartu.

Kebiasaan berpesta yang dilakukan orang Belanda pada masa Perang Padri tetap berlanjut pada masa-masa pasca-perang. Bahkan, kebiasaan ini semakin menjadi-jadi  pada saat Belanda telah ‘aman’ di daerah ini. Sehingga Lion, seorang veteran Perang Padri menyebut bahwa dalam kunjungannya kembali ke kota Padang selama 17 hari dia menghadiri 5 kali pesta dansa, satu kali konser, dua kali pertujukan musik, dan pesta-pesta biasa pada hampir setiap malam.

VI

Perang Padri adalah juga suatu periode yang bisa digunakan untuk melihat apa-apa yang berubah serta berlanjut dalam penampilan atau gaya hidup kaum Padri, ‘orang Melayu’, dan orang Belanda. Sebuah perubahan yang paling drastis pada penampilan kaum Padri adalah pakaian yang mereka kenakan. Kaum Padri yang laki-laki hampir semuanya mengenakan pakaian putih berbentuk jubah, bersorban, memelihari jenggot, dan para pemimpinnya memegang tasbih. Kaum perempuan memakai pakaian berwarna hitam yang menutup seluruh tubuh dan hanya terbuka sedikit pada bagian mata.

Boelhouwer menyebut pakaian dan penampilan kaum Padri umumnya bersih. Para pemimpinnya beristri satu. Poligami umumnya dilakukan oleh lelaki pengikut Padri dari kalangan warga biasa.

Di samping pakaian, hal lain yang paling menonjol di kalangan kaum Padri adalah pembangunan masjid. Cukup banyak masjid yang dibangun saat itu. Bahkan, merujuk informasi yang disajikan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, ada semacam perlombaan pembangunan masjid di antara para tuanku. Mereka tidak mau kalah dari tuanku yang sebelumnya yang telah membangun masjid, atau tidak mau kalah dengan tuanku dari daerah lain yang juga telah membangun masjid. Mesjid yang dibangun juga memiliki ukuran yang besar serta terbuat dari bahan (kayu) yang bagus. Keindahan dan kebesaran masjid nampaknya menjadi semacam kebanggaan bagi seorang tuanku atau sebuah kampung (nagari) saat itu.

Pakaian Penghulu dan Haji di Minangkabau
(Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Midden Sumatra Expeditie: Volkbeschrijving (III-1-2). Leiden: E.J. Brill, 1882)

Berbeda dengan kaum Padri, pakaian ‘orang Melayu’ umumnya berwarna hitam. Para lelaki umumnya memakai baju dan celana berwarna hitam diserta destar. Sangat sering di pinggang mereka terselip pisau atau keris. Para petinggi, terutama penghulu mengenakan pakaian yang terbuat dari beludru yang bersuji emas, dan destar (saluak) yang berenda emas, pin emas serta juga keris yang bersarung dan berhulukan emas.

Kaum lelaki “orang Melayu” sering pergi mengepit ayam ke gelanggang penyabungan ayam yang umumnya berlokasi dekat pasar dan pulang setelah uangnya habis, atau pergi ke tempat mengisap madat dan tinggal (tertidur) di sana hingga pagi hari. Perempuan ‘orang Malayu’ umumnya memakai baju kurung dan sering dengan bagian atas dada dibiarkan terbuka. Namun perempuan ‘orang Melayu’ ini adalah orang-orang yang rajin, terutama dalam pengerjaan sawah.

Penampilan ‘Orang Melayu’ di Pedalaman Minangkabau
(Sumber: Budhing, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861).

Penampilan orang Belanda, terutama para pejabatnya, juga sangat mempesona. Penampilan yang ‘wah’ ini akan semakin mengesankan ketika mereka memakai pakaian (uniform) lengkap yang penuh dengan tanda pangkat, lencana, umbai-umbai, dan asesori lainnya. Di samping pakaian (uniform) lengkap tersebut, penampilan orang Belanda dengan kemeja dan celana (pantalon) bagi lelaki, serta gaun bagi kaum perempuan merupakan sesuatu yang baru di Ranah Minang.

C. Th. Elout
(Sumber: Colijn, H., Neerlandsch Indie: Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenwerking (Tweede Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913)

Di samping pakaian, kehadiran orang Belanda di daerah ini juga memperkenalkan model rumah yang baru, serta sarana transportasi yang baru. Rumah modern yang dilengkapi dengan beranda, ruang tamu dan kamar tidur dengan dinding batu adalah salah satu unsur baru dalam dunia seni bina orang Minang. Kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda adalah juga sesuatu yang baru bagi Ranah Minang. Kendaraan model kereta ini kemudian juga digunakan Sentot Alibasya dan orang China kaya yang tinggal di kota Padang. Beberapa waktu setelah  Perang Padri usai, model kereta kuda ini juga ditiru oleh orang Minang, baik oleh kalangan penghulu atau orang kaya, atau oleh orang kebanyakan. Khusus untuk yang terakhir digunakan sebagai alat transportasi massal.

Orang Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya membawa dan memperkenalkan gaya hidup yang baru di daerah ini.

VII

Gerakan pembaruan yang diperkenalkan oleh kaum Padri ternyata tidak mampu menghabiskan amalan-amalan dan pratik-praktik keagamaan yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan hadist di kalangan orang Minang. Gerakan itu juga tidak mampu melenyapkan kebiasaan-kebiasaan jahilyah, seperti menyabung ayam, minum tuak menghisap madat dan berjudi, atau gaya hidup ‘badunia’ di kalangan orang Minang. Gerakan Padri yang kemudian berubah menjadi Perang Padri, yang ditandai dengan masuk serta hadirnya orang Belanda di daerah ini semakin membuat amalan-amalan dan praktik-praktik keagamaan non-islami, serta gaya hidup non-islami semakin kuat hadirnya di daerah ini.

Dunia magis, kesukaan dan kesenangan mengadakan pesta, serta gaya hidup yang bersifat ‘hedon’ ternyata tetap hadir dalam diri orang Minang dan warga non-Minang yang tinggal di daerah ini pada masa-masa selepas Padri, bahkan hingga saat kini. Kepercayaan akan hal-hal yang bersifat magis, mengadakan pesta, menikmati kesenangan dan hidupan serta gaya hidup ‘badunia’ adalah hal-hal yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan seseorang atau sekelompok orang, termasuk dari orang Minang dan warga masyarakat yang tinggal di Ranah Minang. Karena itu, gerakan pembaharuan keagamaan yang sangat radikal dan keras pun ternyata tidak mampu mengenyahkan kepercayaan akan kekuatan magis, kesenangan berpesta, dan gaya hidup yang “hedon” dari warga daerah dan dari daerah ini.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Budhhingh, S.A., Neerlandsch Oost-Indie: Reizen Gedaan over het Jaar 1852-1857. Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1861.

Colijn H., Neerlandsch Indie: Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenwerking (Tweede Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913.

Darwis Datoek Madjoelelo dan Ahmad Mazoeki, Tuanku Imam Bondjol: Perinis Djalan Ke Kemerdekaan. Djakarta: Penerbit Djambatan, 1951.

Lion, H.J., Een Uit Naar Padang. Batavia: Ogilvie en Co., 1869.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Midden Sumatra Expeditie: Volkbeschrijving (III-1-2). Leiden: E.J. Bril, 1882.


Ditulis oleh Gusti Asnan