Skip to content

Pemerintahan Bumiputra (Inlandsche Bestuur) di Sumatra Barat

Pemerintah kolonial Hindia Belanda, di samping memiliki aparatur pemerintahan berbangsa Eropa (Europesche Bestuur atau disingkat EB) juga memiliki barisan pegawai bumiputra (Inlandsche Bestuur disingkat IB). Dualisme pemerintahan ini berlaku di seluruh Hindia Belanda dan mulai efektif dipraktikkan sejak Hindia Belanda mengambil alih pemerintahan di kawasan ini setelah bankrutnya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pascainterregnum-phase pemerintahan Inggris.

Jajaran EB adalah orang-orang Belanda atau juga Eropa yang terdiri dari para pejabat tertinggi dan tinggi pemerintahan, baik pada tingkat ‘nasional’ atau daerah. Jabatan-jabatan yang mereka sandang mulai Gubernur Jendral, Gubernur, Residen, Asisten Residen, hingga Gezaghebber dan Kontrolir (yang juga terdiri dari beberapa kelas, biasanya merentang dari Kontrolir Kelas 1 s.d. 4). Barisan IB terdiri dari para pejabat bumiputra yang umumnya menduduki posisi tertinggi di berbagai daerah yang telah dikuasai. Di Sumatra Barat, beberapa jabatan yang termasuk ke dalam dan pernah menjadi bagian dari struktur IB ini adalah Hoofdregent, Regen, Kepala Laras, Penghulu Kepala, Penghulu (yang juga terdiri dari beberapa jabatan), Demang, Asisten Demang, dlsbnya. Para pejabat IB sekaligus menjadi ujung tombak kekuasaan kolonial terhadap rakyat jajahan. Para pejabat IB inilah yang akan berhubungan secara langsung dengan penduduk, merekalah kaki tangan penjajah yang berfungsi untuk menyukseskan kolonialisme pemerintah. Namun pad asaat yang besamaan, mereka juga menjadi wakil atau mewakili rakyat. Sehingga kadang-kadang mereka juga disebut sebagai ‘separo pegawai yang bekerja untuk kepen­tingan peme­rintah, separo penghulu (pemimpin masyarakat) yang dituntut juga me­mi­kirkan anak-kemenakannya).

Jenis dan jumlah IB di Sumatra Barat sangat bervariasi, sangat tergantung pada perkembangan atau dinamika sosial, ekspansi politik dan eksploitasi ekonomi, serta penetrasi budaya pemerintah di daerah ini. Bisa saja pada suatu periode jenis dan jumlahnya relatif sedikit, namun pada kurun waktu lain bisa saja ragam dan jumlahnya melonjak drastis. Pemerintah kolonial berbuat sekehendak hatinya saja dalam menciptakan atau menghapus jenis dan jumlah pejabat IB ini. Semuanya tergantung kepada kepentingan mereka.

Pada awalnya, pembentukan jajaran IB ini berhubungan erat dengan perluasan wilayah kekuasaan pemerintah Belanda, serta juga berkaitan dengan adanya dukungan dari warga daerah terhadap ekspansi politik yang mereka lakukan. Karena ini orang-orang yang diangkat menduduki jabatan tersebut adalah mereka yang nyata-nyata bekerjasama dengan kaum kolonialis serta mendukung penjajah mencaplok daerah mereka serta menguasai/mengeksploitasi warga daerah. Pada perkembangan selanjutnya, para pejabat IB adalah para aparatur yang menunjukkan kesetiaannya pada kaum kolonialis, yang dibuktikan dengan kerelaan mereka mendukung berbagai kebijakan pemerintah, terutama kebijakan ekonomi, di samping kebijakan sosial, politk dan budaya yang dijalankan pemerintah.

Keberadaan IB di Sumatra Barat diawali pada hari-hari pertama pemerintah kolonial meluaskan pengaruh politiknya ke daerah pedalaman. Pembentukan barisan pejabat IB ini dilakukan setelah tentara Belanda, yang didukung oleh anak kemenakan para penghulu yang meminta bantuan Belanda melawan kaum Padri, berhasil menguasai sejumlah daerah di pedalaman, khususnya kawasan Tanah Datar dan sebagian Agam serta sebagian Limapuluh Kota. Sebagaimana yang dinyatakan pada Provisioneel Reglement op het Binnen­landsch Bes­tuur en dat der Financien in de Residentie Padang en Onder­­hoorigheden tertanggal 4 November 1823, adapun jabatan-jabatan yang diciptakan saat itu meliputi Hoofdregent (Regen Kepala), Regent (Regen), Districthoofd (Kepala Laras), Dorfhoofd (Kepala Nagari). Pada saat itu ada dua Hoofdregent, yaitu Hoofdregent van Minangkabau dan Hoofdregent van Padang. Pada hari-hari pertama pembentukan jaringan pemerintahah tersebut, pada masing-masing Hoofdregentschap dibagi menjadi empat Keregenan (Regentchap) yang dipimpin oleh Regen. Seiring dengan semakin luasnya wilayah yang ditaklukan maka semakin banyak pejabat yang diangkat. Tidak ada informasi yang bisa dijadikan rujukan mengenai jumlah pasti regen yang pernah ada saat itu. Dari data yang dikemukakan oleh Kielstra dan Westenenk maka pada tahun 1820-an dan 30-an jumlah regen di daerah ini adalah 17, yakni Regen Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji, Tanah Datar, Tanah Datar di Bawah, Agam, Lima Puluh Kota, Indrapura, Pariaman, Halaban, Batipuh, Padang Panjang, VIII Koto (Palembayan), Banuhampu (Balai Bagambar-Agam), IV Angkek (Agam), dan Sulit Air.

Seiring dengan perjalanan waktu, terutama sejak usainya Perang Padri, jumlah Regen mulai dikurangi oleh pemerintah. Tidak hanya jumlahnya, tetapi juga statusnya juga dikurangi.

Berdasarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië No. 25 tertanggal 22 April 1863, yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jar 1863 No. 45 dinyatakan bahwa gelar Hoofdregent ditiadakan dalam struktur IB Sumatra Barat, sebagai gantinya gelar tersebut dturunkan levelnya menjadi Regent semata. Dalam ‘Daftar Pejabat Bumiputra’ yang disajikan dalam Staatsblad yang sama hanya ditemukan tiga posisi Regent di Sumatra Barat pada awal dekade ketujuh abad ke-19 itu, yakni Regent te Padang, Regent te Indrapoera, Regent te Pariaman. Pada awal abad ke-20, posisi regen ini bahkan dihapuskan dalam jajaran IB di Sumatra Barat. Regen Padang diakhiri tahun 1910 dan Regen Indrapura diakhiri tahun 1911.

Sama juga dengan keberadaan Regen, pada tahun-tahun pertama keberadaannya, jumlah Kepala Laras juga tidak diketahui dengan pasti. Namun berbeda dengan Regen, jumlah Kepala Laras semakin banyak sejak tahun 1840-an, terutama sejak tahun 1850-an. Banyaknya jumlah pejabat IB ini berhubungan erat dengan diperkenalkannya Tanam Paksa Kopi. Mereka dijadikan oleh pemerintah kolonial sebagai salah satu tenaga penggerak bagi suksesnya sistem Tanam Paksa tersebut. Pada saat jaya-jayanya Tanam Paksa Kopi, saat pemerintah mengumumkan jenis dan gaji para pejabat IB di Sumatra (sebagaimana dinyatakan dalam Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië No. 25 tertanggal 22 April 1863, yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jar 1863 No. 45) dinyatakan ada sebanyak 129 Kepala Laras di seluruh Sumatra Barat. Adanya hubungan keberadaan Kepala dengan Tanam Paksa kopi juga terlihat dari tamatnya riwayat jabatan ini. Diakhirinya jabatan Kepala Laras hampir bersamaan waktunya dengan berakhirnya praktik Tanam Paksa Kopi di Sumatra Barat. Jabatan Kepala Laras diakhirinya tahun 1905 dan itu berarti tiga tahun sebelum diakhirinya praktik Tanam Paksa Kopi oleh pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat.

Jabatan ketiga dalam barisan IB yang jumlahnya cukup banyak dan memiliki fungsi yang penting pada masa Belanda di Sumatra Barat adalah Penghulu Kepala. Jabatan ini diperkenalkan pada era Tanam Paksa Kopi dan fungsi utamanya adalah untuk membantu menyukseskan sistem eksploitasi ekonomi tersebut. Pejabat penyandang jabatan ini biasanya membawahi daerah yang umumnya terdiri dari satu atau dua nagari. Sama juga dengan jabatan Kepala Laras, pada saat diumumnya ‘Daftar Pejabat Bumiputra’ Sumatra Barat tahun 1863, jumlah Penghulu Kepala di seluruh Sumatra Barat adalah sebanyak 503 orang.

Jabatan keempat dalam struktur IB di Sumatra Barat adalah Kepala Nagari. Posisi ini telah ada sejak barisan IB pertama kali diperkenalkan (berbeda dengan Hoofdregent, Regent dan Districthoofd atau Kepala Laras). Kepala Nagari sesungguhnya adopsi langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dari sistem pemerintahan tradisional Minangkabau. Jabatan ini telah ada dan dikenal Uran Awak jauh sebelum Belanda menguasai daerah ini. Namun, walaupun demikian, ada sejumlah perubahan yang dilakukan oleh kaum kolonialis. Kepala Nagari tersebut tidak lagi sepenuhnya dipilih oleh anak nagari, tetapi ada, bahkan banyak, yang diangkat oleh pemerintah. Tidak hanya itu, dalam sejarah keberadaannya, ada banyak nagari yang dibuat atau dibubarkan oleh pemerintah. Sama dengan Kepala Laras dan Penghulu kepala, peran Kepala Nagari juga terlihat sangat penting pada era Tanam Paksa Kopi. Walaupun pernah mencapai jumlah hampir mencapai 600 buah pada tahun 1860-an dan 1870-an, namun karena sifatnya yang fluktuatif, maka selama keberadaannya, jumlah Kepala Nagari berada pada kisaran 500-an buah pertahun atau per periode reorganisasi pemerintaan daerah.

Satu lagi jabatan lain yang sangat penting perannya dalam sistem Tanam Paksa Kopi (namun tidak tercantum dalam struktur IB) adalah Penghulu Suku Rodi. Jabatan ini sangat penting artinya dalam menyukseskan Tanam Paksa Kopi. Dialah yang mengerahkan warga masyarakat untuk mengolah tanah, menanam kopi dan merawat kebun, memetik kopi dan mengolah, serta membawanya ke gudang-gudang kopi. Suksesnya Tanam Paksa Kopi sesungguhnya sangat tergantung pada keberadaan Penghulu Suku Rodi ini. Karena itu dibutuhkan banyak Penghulu Suku Rodi. Pada saat jaya-jaya Tanam Paksa Kopi, Westenenk menyebut jumlahnya mencapai 1.500 orang.

Di samping jabatan-jabatan utama ini, juga ada sejumlah pejabat lain yang juga diakui oleh pemerintah kolonial Belanda (tertera dalam Besluit Gubernur Jendral sebagai ‘pejabat’ bumiputra yang diberi gaji). Adapun jabatan yang yang dimaksud adalah Bandharo, Penghulu, Kepala Distrik, Raja, Raja Muda, Pamuncak, dan Jang Dipertuan. Hampir kesemua gelar (Jabatan) yang disebut terakhir umumnya terdapat di daerah pantai dan rantau (daerah pinggiran daerah daerah budaya Minangkabau).

Posisi Hoofdregent, Regen, Kepala Laras, Penghulu Kepala, Kepala Nagari, Penghulu, dan Suku Rodi, serta berbagai jabatan lain yang disebut di atas, diisi oleh sosok-sosok yang secara tradisional memang memiliki ‘darah biru’, mereka adalah keturunan raja atau penghulu. Secara tradisi mereka memang mewarisi hak sebagai pemimpin di tengah masyarakatnya. Tidak hanya itu, jabatan tersebut berhak pula mereka wariskan kepada anak atau kemenakan mereka.

Namun, dalam praktiknya, ‘darah’ dan hak waris tidak menjadi jaminan. Kunci terpenting untuk mendapatkan jabatan itu adalah kepatuhan dan kesetiaan kepada penjajah. Karena itu, bila ada pengkhianatan, maka jabatan bisa hilang. Jabatannya dibatalkan, pejabatnya ditangkap dan dibuang, jabatannya tidak boleh diwariskan kepada anak atau kemenakan, jaginya dihentikan, dlsbnya. Umumnya jabatan yang pernah hilang tidak akan pernah dipulihkan kembali, walaupun kemudian sang pejabat meminta maaf dan menegaskan kesetiaannya. Ada banyak kasus seperti ini dalam perjalanan sejarah para pegawai IB di daerah ini.

Walaupun hampir semua pejabat IB adalah kaum penghulu, ada juga kalangan agama (seorang haji) yang diangkat menjadi Kepala Laras, yaitu Kepala laras IV Angkek, Onderafdeelng Oud Agam pada awal dasawarsa 1870-an. Pengangkatan kalangan agama ini sempat menjadi isu dan heboh di pemerintah Sumatra Barat. Kaum penghulu adalah kelompo masyarakat yang paling lantang suaranya memprotes pengangkatan haji ini menjadi pejabat IB.

Sesuatu yang pasti adalah bahwa para pejabat IB tersebut mendapat imbalan (gaji) serta berbagai fasilitas dari pemerintah. Gaji yang paling tinggi diperoleh oleh Hoofdregent (antara f.300 s.d. f.500,-) per bulan. Kemudian menyusul Regent (f.100,-), Kepala Laras (f.50 s.d. f.80,-), Penghulu Kepala (f.20 s.d. 30,-), Kepala Nagari (f.12 s.d. f20,-) dan seterusnya.

Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam struktur pemerintah IB di Sumatra Barat. Seperti yang disebut sebelumnya, hampir semua jabatan IB yang dikemukakan sebelumnya diakhiri keberadaannya. Sebagai gantinya, pemerintah Hindia Belanda menghadirkan jabatan Demang dan Asisten Demang serta ‘merevitalisasi’ Kepala Nagari (Wali Nagari). Demang dan Asisten Demang adalah jabatan yang dikaitkan dengan pendidikan atau keahlian penyandangnya. Jabatan ini tidak lagi didapat melalui warisan yang diturunkan dari ayah ke anak atau dari mamak ke kemenakan (seperti yang berlaku pada semua posisi atau jabatan yang disebut sebelumnya). Perbedaan lain dari keberadaan posisi Demang atau Asisten Demang ini dengan jabatan-jabatan yang disebut sebelumnya adalah jumlah yang yang jauh lebih sedikit. Ketika pertama kali dibentuk (1913) jumlahnya hanya sebanyak 47 orang. Jumlah ini kemudian diciutkan lagi menjadi 20 orang pada tahun 1935.

Jabatan lain yang mendapat perhatian utama oleh pemerintah Belanda pada awal abad ke-20 adalah Kepala Nagari. Posisi ini nampaknya betul-betul diharapkan pemeringah sebagai ujung tombak kekuasaannya di Sumatra Barat. Sehubungan dengan itu pemerintah kolonial menata dengan serius keberadaan jabatan ini dan tentu saja keberadan unit administratif nagari. Dalam kaitan dengan itulah bisa dipahami lahirnya Nagari Ordonantie di Sumatra Barat tahun 1914 (yang diringi dengan munculnya sejumlah kajian tentang pemerintahan dan keberadaan nagari), serta lahirnya IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten) atau Peraturan Nagari (Daerah) Otonom di Luar Jawa dan Madura tahun 1935. Melalui kedua produk hukum ini, pemerintah kolonial betul-betul ingin memanfaatkan Kepala Nagari sebagai aparat yang akan membantunya menyukseskan berbagai program yang dia rancang.

Sumber:

ANRI Swk 125/3, Jaarlijksch Verslag van het Sumatra’s West­kust 1819-1827.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust Sedert 1850” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  41 tahun 1892, hal. 254-330; 622-706.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

Kielstra E.B. , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jar 1863 No. 45. Batavia: Landsdruukerij, 1863.

Westenenk, L.C. “De Inlandsche Bestuurhoofden ter Sumatra’s Westkust” dalam Koloniaal Tijdschrift, No. 2, I & II, 1913.

Ditulis oleh Gusti Asnan