Daerah budaya Minangkabau adalah bagian yang tidak terpisahkan dari daerah administratif Sumatra Barat, sebuah nama yang diperkenalkan pertama kali oleh kolonialis Belanda. Pada masa VOC, Minangkabau atau sebagian dari daerah budaya Minangkabau, menjadi bagian dari Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust. Pada masa Hindia Belanda, Minangkabau menjadi bagian dari unit administratif setingkat Gouvernement atau Residentie yang juga memakai nama Sumatra’s Westkust. Hal yang sama juga berlaku pada masa pendudukan Jepang dan Indonesia merdeka. Pada masa Japang Minangkabau menjadi bagian dari Sumatora Nishai Kaigan Shu (Keresidenan Pantai Barat Sumatra), dan pada era republik Minangkabau menjadi bagian dari Keresidenan dan kemudian Propinsi Sumatera Barat.
Menjadi bagian dari sebuah unit administratif “modern” menyebabkan banyak aspek sosial dan politik tradisional Minangkabau yang dipengaruhi, secara langsung atau tidak, oleh sistem politik “modern” ini. Tanpa mengurangi arti dan pengaruh politik yang lain, pengaruh pemerintah Hindia Belanda bisa dikatakan sangat kuat dan mendalam memengaruhi (termasuk mengubah dan menciptakan) berbagai bentuk lembaga, unit pemerintahan, atau gelar/jabatan politik tradisional yang ada di Minangkabau. Hal ini antara lain disebabkan oleh lamanya pengaruh politik Hindia Belanda di daerah ini, masifnya kekuasaan mereka di daerah ini, dan diterimanya kekuasan mereka oleh sebagian besar warga daerah serta elit daerah ini, karena berkuasanya Belanda memberi keuntungan kepada kelompok elit ini.
Kurun pasca-Perang Padri adalah periode yang sangat penting artinya dalam proses perubahan dan keberlanjutan sistem politik tradisional Minangkabau. Pada era itu pulalah sejumlah kepala atau pejabat bumiputra Minangkabau diciptakan oleh kolonialis Belanda atau diutak-atik keberadaannya oleh penjajah Belanda. Tidak itu saja, pada saat itu pulalah aparat atau pejabat bumiputra tersebut diberi gaji oleh Belanda sehingga jabatan-jabatan politik tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang didambakan oleh banyak orang. Literatur kolonial menamakan para kepala atau pejabat bumiputra tersebut dengan Inlandsche Bestuur (IB).
Intrusi kolonialis dalam keberadaan para kepala dan pejabat bumiputra Minangkabau pada era selepas Perang Padri ada hubungannya dengan pelaksanaan Tanam Paksa Kopi. Keberadaan para pejabat tersebut diharapkan bisa membantu pemerintah Belanda menyukseskan pelaksanaan Tanam Paksa Kopi. Menyukseskan Tanam Paksa Kopi artinya menyukseskan proses penyediaan lahan, penanaman dan perawatan kopi, pengolahan hasil panen dan mengantarkan biji-biji kopi ke gudang-gudang kopi, serta selanjutnya mendistribusikan kopi dari gudang-gudang yang berada di banyak tempat (di daerah pedalaman) ke kawasan pantai (terutama ke kota Padang).
Pemerintah kolonial melegalkan keberadaan para pejabat bumiputra Minangkabau tersebut. Tidak tanggung-tanggung, keberadaannya dibentuk dan dikukuhkan berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jendral Hindia Belanda. Besluit tersebut dikeluarkan tahun 1863, pada saat jaya-jayanya Tanam Paksa Kopi. Besluit bernomor 25 tertanggal 22 April 1863 tersebut dinamakan Vaststelling der Bezoldigingen van de Inlandsche Hoofden ter Sumatra’s Westkust. Besluit yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsche Indie 1863, No. 45 itu adalah salah satu dari sedikit informasi yang mengungkapkan banyak hal tentang keberadaan para pemimpin atau kepala-kepala penduduk bumiputra di daerah ini. Karena Gouvernement Sumatra’s Westkust juga mencakup daerah budaya Batak (Tapanuli), maka dalam tulisan ini hanya dikemukakan para kepala atau pejabat bumiputra di daerah budaya Minangkabau.
Setidaknya ada lima informasi utama yang disajikan oleh Besluit tersebut. Kelima informasi itu adalah: 1). Penamaan, penyebutan atau gelar para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra; 2). Nama-nama unit pemerintahan bumiputra di daerah ini; 3). Daerah di mana para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra berada (memerintah); 4). Sebaran para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra; 5). Gaji atau besaran gaji yang diterima oleh para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra per-tahun.
Ada delapan belas penamaan, penyebutan atau gelar para pemimpin/kepala-kepala penduduk bumiputra yang diakui (dan juga dibentuk) oleh pemerintah Hindia Belanda di daerah ini. Ke-18 penamaan, penyebutan atau gelar itu adalah: Regen, Bendahara, Penghulu (Kampung/Wijk), Penghulu Sawah, Penghulu Muara, Penghulu Kawal, Penghulu Tandil, Kepala (Kampung), Kepala (Utama), Kepala Distrik, Raja, Raja Muda, Pamuncak, Tuanku (Raja), Kepala (Orang) Melayu, Yang Dipertuan, Kepala (Tuanku) Laras, dan Penghulu Kepala.
Tidak semua pejabat yang disebut di atas mengepalai sebuah unit pemerintahan, sebab ada dari mereka yang hanya memiliki gelar namun tidak memiliki wilayah kekuasaan (unit administratif). Untuk kelompok yang disebut terakhir, pengakuan terhadap gelar dan jabatan mereka lebih didasarkan pada pengaruh tradisional (warisan) yang mereka miliki. Adapun nama-nama unit pemerintahan yang dibawahi oleh para pejabat pemegang gelar di atas antara lain: Keregenan, Kampung (Wijk), Distrik, Kelarasan, dan Nagari.
Berdasarkan Besluit di atas bisa dirincikan jumlah dan lokasi keberadaan masing-masing pejabat:
Pertama, Regen ada tiga, yaitu Regen Padang, Indrapura dan Pariaman (sebelum tahun 1863, khusus untuk Padang dan Indrapura gelar mereka adalah Hoofdregen atau Regen Kepala, yang oleh Urang Awak sering juga disebut dengan Regen Gadang)
Kedua, Bendahara ada satu, yakni di Padang.
Ketiga, Penghulu Kampung (Wijk) ada 13 dan tujuh di Padang, dua di Air Bangis, satu di Aur Kuning, Aia Gadang, Koto Baru dan Lubuk Puding.
Keempat Penghulu Sawah ada satu, yaitu di Padang.
Kelima, Penghulu Muara ada satu, ada di Padang.
Keenam, Penghulu Kawal ada satu, ada di Padang.
Ketujuh, Penghulu Tandil ada satu, ada di Padang.
Kedelapan, Kepala (Wilayah) ada tiga yaitu di Bungus, Sasak, dan Katiagan.
Kesembilan, Kepala (Utama) ada empat yaitu di Sungai Pagu.
Kesepuluh, Kepala Distrik ada empat, yaitu di Pulut-pulut, Painan, Batang Kapas dan Air Haji.
Kesebelas, Raja ada empat yaitu di Mangguang, Air Bangis, Pulau Batu, dan Batahan.
Kedua belas, Raja Muda ada satu, yaitu di Tiku.
Ketiga belas, Pamuncak ada dua, yaitu di Pilubang dan Sintuak.
Keempat belas, Tuanku ada dua yaitu di Air Bangis dan VIII Koto.
Kelima belas, Kepala (Penduduk) Melayu ada satu di Air Bangis.
Keenam belas, Yang Dipertuan ada satu, yaitu di Padang Nunang.
Ketujuh belas, Kepala (Tuanku) Laras ada sebanyak 110 orang.
Kedelapan belas, Penghulu Kepala ada sebanyak 439 orang.
Bila dikaji dengan saksama maka gelar-gelar di atas, kecuali Kepala Laras dan Penghulu Kepala, adalah gelar-gelar yang dominan dikenal dan dipergunakan di daerah rantau Minangkabau, sedangkan Gelar Kepala Laras dan Penghulu Kepala umumnya terdapat di daerah pedalaman (inti) Minangkabau. Bila diperbandingkan, maka didapat angka-angka sebagai berikut:
Afdeeling Padang ada 5 Kepala Laras, 24 Penghulu Kepala
Afdeeling Pariaman ada 11 Kepala Laras dan 71 Penghulu Kepala
Afdeeling Air Bangis dan Rao ada 16 Kepala Laras dan 11 Penghulu Kepala
Afdeeling Tanah Datar ada 27 Kepala Laras dan 106 Penghulu Kepala
Afdeeling Agam ada 26 Kepala Laras dan 123 Penghulu Kepala
Afdeeling Limapuluh Kota ada 16 Kepala Laras dan 62 Penghulu Kepala
Afdeeling XIII dan IX Koto ada 14 Kepala Laras dan 51 Penghulu Kepala.
Masing-masing pejabat mendapat gaji dari pemerintah Hindia Belanda. Besaran gaji mereka dihitung per tahun. Rincian gaji tersebut adalah:
Regen Padang sebesar f.6.000,-
Regen Indrapura dan Pariaman masing-masing sebesar f.1.200,-
Bendahara Padang sebesar f.960,-
Penghulu Kampung (Wijk) Padang sebesar f.960,-
Penghulu Sawah sebesar f.192,-
Penghulu Muara, Penghulu Kawal, dan Penghulu Tandil masing-masing sebesar f.144,-
Kepala (Wilayah) di luar Padang f.600,-
Kepala Distrik sebesar f.600,-
Raja Mangguang, Raja Muda Tiku dan Pamuncak Pilubang masing-masing sebesar f.600,- (Pamuncak Sintuak sebesar f.360,-)
Raja Air Bangis sebesar f.720,-
Penghulu Air Bangis sebesar f.720,-
Kepala (Penduduk) Melayu di Air Bangis sebesar f. 240,-,
Raja Batahan, Sasak dan Katiagan masing-masing sebesar f.240,-,
Penghulu Aur Kuning, Aia Gadang, Koto Baru, dan Lubuk Puding masing-masing sebesar f. 180,-
Yang Dipertuan Padang Nunang sebesar f.600,-
Penghulu Gadang Sungai Pagu sebesar f.480,-
Penghulu Kepala sebesar f.240,-
Kepala Laras digaji dengan empat tingkatan penggajian, yaitu sebesar f.1.200,-, f.960,-, f.600,-, f. 480,- dan f. 240,-
Dilihat dari sebaran daerah, di mana para Kepala Laras digaji dengan besaran yang berbeda, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa gaji tertinggi diperuntukkan kepada Kepala Laras di daerah-daerah penghasil utama kopi. Dalam konteks inilah sesungguhnya bisa dikatakan, bahwa pengakuan, pembentukan, hingga penggajian para pejabat bumiputra Urang Awak ini ditujukan untuk menyukseskan Tanam Paksa Kopi. Nama-nama Keregenan, Wijk, Kampung, Wilayah, Distrik, Kerajaan, Kelarasan, dan Nagari dimuat dengan lengkap dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1863, No. 45.
Seperti yang dimuat dalam tulisan lain pada blog ini, ketika produksi kopi mulai menurun dan ketika Tanam Paksa Kopi dihapuskan sebagian besar jabatan dan gelar di atas dengan segera ditiadakan dan gaji mereka juga tidak dibayarkan lagi oleh pemerintah kolonial. Sebagai gantinya diciptakan pula pejabat-pejabat yang sesuai dengan pratik politik dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah kolonial yang baru.
Sumber: Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1863. Batavia: Ter Land Drukkerij, 1863.
Ditulis oleh Gusti Asnan