Historiografi Perang Padri

Sejak beberapa waktu yang lalu, ada upaya yang dilakukan oleh sejarawan atau peminat sejarah untuk melakukan re-rekonstruksi sejarah Perang Padri. Mereka mencoba mengkaji dan menulis Perang Padri dari sudut pandang lain, salah satu di antaranya adalah menampilkan aspek kekerasan dalam Perang Padri. Ada dari mereka yang menyamakan aksi kaum Padri dengan Taliban atau ISIS. Karena itu, ada dari mereka yang mengeritik kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol.

Sebelumnya ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian respon dari warga daerah terhadap perubahan ekonomi yang terjadi di daerah ini dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi skala regional atau internasional.

Sebelumnya lagi, ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian dari revolusi sosial dan intelektual yang ingin menata ulang struktur, serta tatanan sosial Minangkabau.

Sebelumnya dan sebelumnya lagi, ada sejumlah perspektif atau sudut pandang lain yang digunakan dalam merekonstruksi sejarah Perang Padri.

Bisa dikatakan, Perang Padri adalah salah satu iven historis di Minangkabau (Sumatra Barat) yang ditulis dengan banyak sudut pandang atau perspektif.

Apa-apa saja sudut pandang atau perspektif yang pernah ditampilkan dalam rekonstruksi sejarah Perang Padri selama ini? Dalam tulisan yang mana sudut pandang itu hadir? Siapa penulisnya? Kapan ditulis? Untuk apa ditulis?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

II

Sejarah atau informasi historis tertulis mengenai Perang (atau Gerakan) Padri telah mulai muncul beberapa saat setelah Perang Padri meletus (1821), dan terus berlanjut hingga saat sekarang.

Informasi tertulis tersebut diwujudkan dalam bentuk buku, artikel, karya ilmiah untuk mencapai gelar akademis tertentu, makalah-makalah yang disajikan dalam berbagai seminar, artikel di surat kabar dan majalah, hingga tulisan-tulisan di media sosial.

Karya tulis berupa buku bisa lagi dibagi ke dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya adalah kenang-kenangan hidup, kompilasi dari pengalaman hidup dan berbagai catatan yang dibuat berkenaan dengan perang tersebut, bagian dari travelogue (catatan perjalanan), dan hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut. Di samping itu juga ada buku yang merupakan alih aksara dari buku bertuliskan Arab Melayu  mengenai keterlibatan/kesaksian penulisnya dalam Perang Padri, serta buku berupa kumpulan tulisan (artikel) mengenai Perang Padri.

Hal yang relatif sama juga berlaku pada tulisan dalam bentuk artikel. Sebagian artikel merupakan kenang-kenangan hidup atau pemahaman penulis berkenaan dengan Perang Padri. Sebagian lain berkenaan dengan tinjauan kritis tentang Perang atau Gerakan Padri, dan tulisanitu lahir dari hasil bacaan dan penelitian dari berbagai sumber (tulisan) mengenai perang tersebut.

Makalah, artikel surat kabar dan majalah atau media sosial umumnya merupakan hasil bacaan atau penelitian dari berbagai sumber primer dan sekunder mengenai Perang Padri.

Bila dilihat dari urutan waktu terbitnya, para penulis, dan isi tulisannya, maka secara umum bisa dikatakan ada enam periode penulisan sejarah Perang Padri: Pertama, periode 1820-1850-an; kedua, 1860-an hingga akhir 1920-an; ketiga, 1930-an hingga awal 1950-an; keempat tahun 1960-an; kelima, 1970-an hingga akhir 1990-an; dan keenam, awal tahun 2000-an hingga saat sekarang.

Periodesasi sejarah penulisan sejarah Perang Padri ini jangan dipahami secara sempit, karena bisa saja ada ‘jiwa zaman’ pada satu periode muncul lagi pada zaman yang lain. Namun, tidak diragukan lagi, keenam kurun waktu ini menghadirkan corak tersendiri dalam rekonstruksi sejarahnya.

III

Ada belasan tulisan yang ditulis mengenai Perang Padri pada kurun waktu 1820-an hingga 1850-an.  Beberapa di antaranya adalah Nahuijs dan Anderson (1827), Raffles (1830), Mueller (1837), v.d.H. (1838), “Bondjol“ (1839), Francis (1839), Boelhouwer dan Epp (1841), “De Secte der Padries in de Padangsche Bovenlanden” (1844), B.d. (1845); Stuers (1849, 1850), Lange (1854); Francis (1956), dlsbnya. Di samping itu juga ada karya yang ditulis oleh Urang Awak, yakni Fakih Saghir (1829) dan Tuanku Imam Bonjol (n.t.).

Dilihat dari nama-nama penulisnya, maka bisa dipastikan bahwa tulisan-tulisan yang terbit pada periode pertama ini umumnya ditulis oleh pelaku sejarah atau saksi sejarah. Dengan kata lain, sebagian besar dari mereka ikut-serta dalam Perang Padri. Penulis bangsa Belanda umumnya terdiri dari para pejabat dan petinggi sipil dan militer (Nahuijs, Stuers, Francis, Lange, dan Boelhouwer). Penulis dari kalangan Urang Awak adalah pemimpin Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) dan tokoh penting  daerah (Fakih Sanghir). Karya penulis dari kalangan pelaku sejarah ini sarat dengan informasi penting mengenai jalannya Perang.

Ada juga penulisnya yang hanya mendengar kisah tentang Gerakan atau Perang Padri dari orang yang terlibat dalam perperangan itu (Anderson dan Raffles). Sehubungan dengan itu, deskripsi yang disajikan dalam tulisan-tulisan mereka t hanya berisikan informasi secara umum atau aspek tertentu tentang Perang Padri.

Di samping itu, ada beberapa tulisan (artikel di jurnal) yang tidak menyertakan nama penulis. Namun, membaca narasi, deskripsi yang rinci, dan pemahaman mereka terhadap apa yang ditulis, diperkirakan, para penulis artikel itu adalah juga pelaku sejarah.

Khusus untuk karya Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Saghir, walaupun ditulis pada saat berlangsung perang, namun untukperiode pertama ini keberadaannya tidak tampil. Karya Tuanku Imam Bonjol ‘hanya’ dijadikan Lampiran (Bijlage) dalam karya Stuers, dan tulisan Fakih Sangir ‘tersimpan rapat’ entah di mana saat itu (kedua tulisan ini baru mulai banyak diperbincangkan dan dikutip sejak awal abad ke-20).  

Ada ‘evolusi’ yang sangat sempurna dari penulisan sejarah Perang Padri pada periode pertama ini. Maksudnya adalah ada porsi pembahasan mengenai dinamika dan jalannya Perang Padri yang makin lama semakin luas dan mendalam yang dilakukan oleh para penulis. Bila pada tulisan-tulisan yang  terbit pada tahun-tahun pertama pembahasan mengenai Perang Padri relatif sedikit, atau hanya menyinggung sepintas lalu, dengan pengecualian karya Boelhouwer, maka karya-karya yang terbit pada tahun-tahun terakhir periode pertama ini, pembahasannya semakin mendalam dan luas. Bahkan karya-karya itu terdiri dari dua atau tiga jilid tebal-tebal, seperti terlihat dari karya Stuers, Lange, dan Francis.

Pokok bahasan dalam karya-karya yang terbit pada periode pertama ini bisa dibagi kedalam tiga pokok pembahasan: Pertama, tentang penamaan-penamaan; kedua, jalannya perang; dan ketiga, tinjauan menyeluruh mengenai perang dalam kontek sejarah daerah dan Hindia Belanda.

Pokok pembahasan pertama menjadi penting karena penamaan yang diberikan pada kurun waktu ini akan menjadi penamaan di masa-masa berikutnya. Ada beberapa penamaan yang diberikan atau disajikan saat itu, di antaranya penamaan terhadap kelompok yang melancarkan aksi pembaruan. Raffles misalnya menamai mereka sebagai ‘Para Fanatik’, Anderson menyebut ‘Gerakan Nan Renceh’, Nahuijs menyebut ‘Kaum Putih’, Boelhouwer,  v.d.H., , Francis, Epp, Stuers dan Lange menamakan mereka ‘Kaum Padri’.

Sedangkan perang itu sendiri, hampir semua penulis Belanda sepakat menamainya Perang Padri (Padrioorlog).

Penamaan-penamaan yang diberikan pada periode inilah yang kemudian menjadi penamaan ‘resmi’ yang lazim dipakai oleh banyak penulis di masa-masa selanjutnya (hingga saat sekarang)

Pokok pembahasan kedua dari karya-karya yang terbit pada periode pertama ini adalah pembahasan menyeluruh mengenai jalannya perang. Karya Boelhouwer adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Buku ini menyajikan kecamuk perang dan dinamika perang, serta gambaran sosial-budaya kaum Padri, kaum adat, orang Batak, dan orang Belanda. Sebagian sajian Boelhouwer adalah deskripsi non-senjata atau non-fisik sifatnya, sajian tentang manusia dan kemanusiaan dalam perang. Buku ini sangat kaya informasi mengenai jalannya perang serta informasi sosial-budaya Urang Awak saat perang berlangsung. Termasuk informasi tentang aspek-aspek kehidupan sehari-hari Urang Awak saat itu. Hal yang sama sebetulnya juga ditemukan dalam karya Nahuijs.

Pokok bahasan ketiga, adalah tinjauan menyeluruh mengenai Perang Padri dalam konteks sejarah daerah dan Hindia Belanda. Karya Stuers, Lange dan Francis adalah contoh untuk pokok bahasan yang ketiga ini. Di samping membahas jalannya perang secara luas dan mendalam, para pengarangnya juga menyajikan perjalanan sejarah daerah (Sumatra Barat dan juga Hindia Belanda), termasuk juga dinamika sosial-politik daerah dalam karya-karya mereka. Membaca ketiga karya ini maka kita akan disuguhi sajian mengenai jalannya perang, banyaknya tentara yang diterjunkan, tempat-tempat terjadinya kontak senjata, komandan tentara (penyerangan), jumlah korban yang jatuh dipihak Belanda dan kaum Padri (biasanya korban pihak Padri jauh lebih banyak), dan kekejaman Padri (kekejaman Belanda tidak atau ditampilkan ). Juga ada pembahasan, alaupun dalam porsyang tidak begitu banyak mengenai pembangunan infratruktur transportasi, dunia niaga dan kehidupan ekonomi, dan pembentukan unit administratif daerah.

Kesimpulan kajian untuk historiografi Perang Padri periode awal ini adalah kaum Padri dikatakan jahat, pengacau dan perusak ketentraman, sedangkan orang/pemerintahan Belanda adalah baik dan berperang demi menciptakan perdamaian, serta memajukan kehidupan sosial-ekonomi daerah.

Karya-karya in sangat berarti bagi penulisan sejarah Perang Padri, karena menyimpan data dari tangan pertama. Karya-karya ini adalah sumber terpenting dan sumber utama penulisan sejarah Perang Padri.

IV

Kurun waktu kedua adalah periode yang paling ‘subur’, sehingga bisa dikatakan berupakan periode yang paling banyak melahirkan karya tulis tentang Perang Padri. Ada dua puluhan tulisan  yang terbit pada kurun waktu ini. Tidak hanya jumlahnya yang banyak, tetapi corak dan penulisnya juga beragam.

Tulisan yang khusus mengenai Perang Padri masih tetap ada, namun persentase dan ragamnya semakin berkurang. Umumnya karya khusus ini berbentuk artikel yang terbit di jurnal. Tulisan yang paling terkenal adalah karya Kielstra (1887- 1890), Hart (1876), Gerlach (1860, Ronkel (1915).

Di samping karya khusus, ada karya yang membincangkan Perang Padri namun sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain. Beberapa contoh tulisan bentuk ini adalah karya Veth (1867),  Hooyer (1895), Bosch (1864), Joustra (1923), Buys (1896).

Perspektif yang tampil dari karya-karya yang terbit pada kurun waktu ini masih menempatkan kaum Padri sebagai para fanatik, pemberontak, kejam, menganut ideologi kekerasan, dlsnya. Sebaliknya, Belanda masih digambarkan sebagai pihak yang ingin menciptakan rust en orde, serta membawa kemakmuran untuk daerah Sumatra Barat.

Satu pengecualian dari pandangan itu adalah karya Schrieke. Penulis ini mencoba melihat Gerakan dan Perang Padri sebagai revolusi sosial dan intelektual di kalangan orang Minangkabau. Sebuah gerakan yang ingin menata ulang tatanan sosial masyarakat Minangkabau dan pemberian peluang kepada kalangan intelektual untuk tampil dan unjuk intelektualitas mereka bagi kebaikan umat dan masyarakat.

Seperti disebut di atas, pada periode ini karya-karya Fakhir Saghir dan Tuanku Imam Bonjol mulai mendapat perhatian peminat sejarah Barat (Belanda). Ada upaya pengalihaksaraan dan pemberian tinjauan kritis terhadap karya-karya ini oleh ilmuan Belanda (Hollander 1857) dan Ronkel (1915).

Karya-karya Schrieke, Hollander dan Ronkel bisa pula dikatakan sebagai tonggak baru dalam historiografi kolonial dalam memandang Perang Padri. Tonggak baru historiografi Perang Padri yang menghadirkan perspektif lebih moderat dibandingkan dengan karya-karya penulis lain yang sangat kentara pandangan neerlandosentrisnya. Perspektif  ketiga penulis yang disebut terakhir ini pulalah yang disambut oleh penulis “Urang Awak” yang melahirkan karya tentang Perang Padri dari perspektif non-kolonialsentris.

V

Pada periode ketiga, secara kuantitas, jumlah tulisan mengenai Perang Padri tidak banyak. Jumlahnya bisa dikatakan hanya sebanyak bilangan jari tangan. Namun ada perubahan yang sangat signifikan pada kurun waktu ini. Perubahan-perubahan itu antara lain: pertama, tampilnya Urang Awak sebagai penulis; kedua, ‘digesernya’ fokus penulisan dari sejarah perang secara keseluruhan ke penulisan sejarah tokoh (Padri); ketiga, dikaitkannya penulisan sejarah dengan semangat nasionalisme dan patriotisme; keempat, dijadikannya sejarah Perang Padri sebagai bagian dari rekonstruksi sejarah daerah, regional, dan nasional; kelima, berkurangnya dengan drastis keterlibatan sejarawan (penulis sejarah Belanda) dalam penulisan sejarah Perang Padri.

Karya-karya penulis Belanda memang berkurang dengan drastis pada periode kelima ini. Walaupun demikian, ada juga yang menarik dari karya penulis Belanda yang sedikit itu, yakni dijadikannya Perang Padri sebagai salah satu bahasan dalam apa yang dinamakan ‘buku babun’ sejarah Hindia Belanda, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, yang dieditori Stapel (1938-1940).

Buku pertama karya Urang Awak tentang Perang Padri pada periode ketiga ini adalah karya L. Dt. R Dihoeloe yang berjudul Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam (1939). Bukunya tipis (41 halaman) sehingga pengalaman dan kejadian sejarah yang disajikan hanya secara sekilas pintas saja atau sangat umum sifatnya. Walaupun sebagai besar isi buku ini ditujukan kepada Tuanku Imam Bonjol, namun sajiannya sangat banyak dan itu terlihat jelas dari banyak ‘bab’ yang disajian seperti: negeri asal uanku Imam Bonjol, ‘biografi’ beliau, pertentangan kaum hitam dan kaum putih (paling panjang), Tuanku Imam Bonjol dan ulama yang mengembangkan agama Islam, Tuanku Imam Bonjol menjadi pemimpin (tuanku), pembahasan mengenai kubu dan benteng pertahanan, selanjutnya mengirim utusan ke Mekkah untuk mengetahui dakwah dan Islam yang sesungguhnya, kemudian perang antara kaum Padri dengan kaum adat yang meminta bantuan kepada Belanda, serta terakhir Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang.

Dengan kata lain, dalam buku ini sangat sedikit narasi mengenai perang antara kaum Padri dengan Belanda yang mendukung kaum adat. Hal ini bisa dimaklumi, karena saat buku ini ditulis Belanda masih berkuasa sehingga tidak mungkin memberikan pandangan yang berbeda (non-belandasentris) terhadap keterlibatan Belanda dalam Perang Padri. Karena itu, fokus kajian dialihkan kepada Tuanku Imam Bonjol sebagai pejuang Islam, bukan penjuang daerah atau bangsa/negara, walapun konsep nation (Indonesia) sudah ada saat itu. Di samping  pengalihan fokus kajian dengan menyebut pejuang Islam, karya L. Dt. R. Dihulu ini juga menekankan penciptakan  kehidupan yang damai antara orang Padri dan kaum adat (di Bonjol) dengan mengajukan konsep keserasian antara adat dan Islam, dengan melahirkan kesepakatan ‘Adat bersendi sjara’, sjara’ bersendi kitaboellah’.

Segera setelah pengakuan kedaulatan terbit lagi satu buku yang khusus menampilkan Tuanku Imam Bonjol. Buku yang dikarang oleh Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini berjudul Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951). Ada perbedaan yang sangat jelas dari judul buku karya L. Dt. R Dihoeloe. Dalam buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini telah ada kata-kata ‘kemerdekaan’. Jadi, dalam buku Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki Tuanku Imam onjol sudah dikatakan berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu Indonesia sudah merdeka dan Belanda hengkang.

Berbeda juga dengan L. Dt. R Dihoeloe, buku karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki ini lebih banyak menyajikan campur tangan Belanda dalam kehidupan masyarakat Sumatra Barat (Minangkabau) dan lebih banyak mengungkapkan jalannya perang antara kaum Padri (dan juga orang Minang) dengan Belanda. Tidak itu saja, dalam buku ini juga ditampilkan heroismenya kaum Padri (dan orang Minang), serta ditampilkan juga taktik licik Belanda, termasuk strategi berdamai Stuers, tipu muslihat lewat Plakat Panjang, dlsbnya.

Karena buku ini ditujukan untuk menganjungkan Tuanku Imam Bonjol, maka pada bagian akhir buku ini ditampilkan bagaimana baiknya Tuanku Imam Bonjol dibandingkan dengan Tuanku Pasaman dan Tuanku Nan Renceh. Dikatakan “…Tuanku Imam Bondjol ada mempunjai kebidjaksanaan, sehingga beliau hampir tiada mendapat perlawanan dari penghulu-penghulu dan anak negeri, melainkan segala golongan anak negeri suka menolong beliau…..’, dan banyak lagi pernyataan yang senada dengan itu. Puji-pujian seperti ini disajikan pada empat setengah halaman lebih.

Hal ini bisa dimaklumi, karena tujuan penulisan buku ini adalah mere-rekonstruksi penulisan sejarah Tuanku Imam Bonjol khususnya dan sejarah Perang Padri umumnya dengan perspektif baru, sesuai dengan semangat baru, semangat Indonesia merdeka.

Penulisan sejarah adalah bagian dari dekolonisasi yang dilakukan orang dan bangsa Indonesia. Penulisan sejarah saat itu ingin ‘membersihkan’ Tuanku Imam Bonjol dan kaum Padri dari warna hitam yang dilumurkan penulis kolonial terhadap mereka.

Senada dengan ikhtiar Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Muhammad Radjab menulis buku Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838) (1954). Buku dengan ketebalan hampir 500 halaman ini bisa dikatakan sebagai sajian mendetil mengenai Perang Padri. Buku ini sangat kaya dengan penceritaan mengenai aksi militer, pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda yang didukung oleh kaum adat, serta pasukan bantuan (Hulptroepen) dari berbagai etnis di Nusantara. Tidak hanya lokasi di mana perang/pertempuaran terjadi yang disajikan, tetapi juga ditampilkan jumlah tentara dan jenis atau banyak senjata yang dilibatkan. Disajikan juga banyak korban yang jatuh serta strategi-strategi peran yang dijalankan kedua belah pihak.

Buku Muhammad Radjab adalah kisah Perang Padri dalam bahasa Indonesia yang paling lengkap. Karya ini dibuat berdasarkan referensi yang banyak mengenai Perang Padri. Radjab menggunakan hampir semua referensi utama mengenai Perang Padri, yakni karya-karya ditulis oleh para pelaku sejarah atau saksi sejarah, karya-karya yang terbit pada periode pertama dan kedua historiografi Perang Padri.

Sebagai karya pada era dekolonisasi Indonesia dalam segala bidang, termasuk penulisan sejarah, maka Belanda dalam buku ini dikesankan sebagai penjajah dan kaum Padri (orang Sumatra Barat) sebagai orang yang ingin mengenyahkan Belanda, serta ingin memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Belanda dikesankan sebagai bangsa yang suka mengingkari janji, Belanda memiliki siasat licik. Sebaliknya semangat nasionalisme dan partriotisme dikalangan kaum Padri dan orang Minang, serta juga orang Jawa (Sentot pasukannya) sangat ditonjolkan. Karena itu dalam buku ini ditemukan banyak narasi tentang Sentot Ali Basya yang sebelumnya bersekutu dengan Belanda akhirnya bergabung dengan orang Minang melawan Belanda. Juga disebutkan ada banyak anggota pasukan Sentot yang desersi karena bergabung dengan kaum Padri. Bahkan penangkapan Sutan Alam Bagagar Syah dikatakan juga sebagai akibat dari berpihaknya dia kembali pada bangsa dan negara (walaupun kemudian tidak terbukti).

Di samping menampilkan perspektif indonesiasentris, sebagaimana disebut H.A.J. Klooster (1980), buku-buku mengenai Perang Padri  yang terbit pada periode ketiga ini juga sarat dengan nilai-nilai kedaerahan. Penulisnya adalah orang daerah dan terasa sekali nuansa penonjolan sejarah daerah dalam karya mereka. Namun, karena karya ini ditulis dalam kerangka dekolonisasi, maka sejarah yang ditampilkan adalah sebagai bagian dari sejarah nasional. Dukungan Sentot dan pasukannya terhadap kaum Padri (orang Minang) dan dukungan Tuanku Rao, serta Tuanku Tambusai (yang secara etnik bukan orang Minang) adalah perwujudan sejarah daerah dalam kerangka sejarah nasional itu.

Di samping dalam bentuk buku utuh, periode ketiga ini juga menghadirkan tulisan mengenai Perang Padri sebagai bagian dari buku yang ditulis dengan tema yang lain. Setidaknya ada dua tulisan dalam bentuk ini, yakni buku Sedjarah Minangkabau karya Dali Mutiara (1946) dan buku Propinsi Sedjarah Sumatera Tengah yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan (1953). Penulis buku kedua ini adalah juga Urang Awak (Decha et.al).

Karena sebagai bagian dari penulisan dengan tema yang lain, maka pembahasan tentang Perang Padri relatif sedikit dalam kedua buku di atas. Namun, sebagai karya yang ditulis sesudah kemerdekaan, maka dalam kedua buku ini Perang Padri dikatakan sebagai perang melawan penjajah, perang yang ditujukan untuk memerdekakan Minangkabau/Sumatra Barat khususnya dan Indonesia umumnya dari cengkeraman kolonialis Belanda.

Tanpa mengabaikan arti buku karya Dali Mutiara dan terbitan Kementerian Penerangan, karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, Perintis Djalan ke Kemerdekaan dan Muhammad Radjab Perang Padri di Sumatera Barat bisa dikatakan sebagai klimaks tulisan mengenai Perang Padri untuk periode ketiga. Tidak ada karya lain yang ditulis atau diterbitkan pada periode ini lagi, dan tidak ada pula karya lain yang melebihi luasnya pembahasan tentang Perang Padri atau tokoh Padri dari kedua buku ini.

VI

Periode keempat historiografi Perang Padri menghadirkan dua fenomena yang sangat menarik. Fenomena yang pertama adalah tidak ada lagi Urang Awak yang menulis tentang Perang Padri secara serius (berupa buku). Kalau pun hanya berupa tulisan singkat dan cetak ulang atas buku karya Urang Awak yang telah terbit sebelumnya. Fenomena kedua, adalah hadirnya karya mengenai Perang Padri yang ditulis oleh penulis orang Indonesia non-Minang (Batak) dan dengan perspektif yang sangat jauh berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya. Perspektif yang ditampilkan adalah kaum Padri adalah kaum fanatik, brutal, kejam, tangan dan pedang mereka penuh darah, serta aksi yang penuh dengan pemaksanaan. Aksi mereka sama dengan aksi teror. Perspektif yang ditampilkan ini mencari ciri khas dari historiografi Perang Padri periode keempat.

Master peice untuk historiogfai periode keempat ini adalah karya Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongki Nangongolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Teror Islam Marzab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 (1964). Seperti disebut oleh Parlindungan, dia menulis karyanya itu berdasarkan sumber-sumber sejarah keluarga yang diwariskan moyangnya (namun sayang sekali, seperti kata penulis, bahan-bahan itu sudah tidak ada lagi). Parlindungan juga mengaku bahwa bukunya ini ditulis sebagai hadiah untuk anak-cucunya tentang ‘sejarah keluarga’.

Buku ini diterbitkan pada tahun 1964, pada saat orang Minangkabau di Sumatra Barat baru saja dilibas habis oleh tentara pusat karena pemberontakan PRRI. Aksi PRRI memang direspon secara keras dan represif oleh Jakarta. Tindakan keras dan represif Jakarta itu dilakukan dalam segala aspek, mulai dari tindakan fisik hingga penghancuran mental. Termasuk juga penghilangan kebanggaan orang Minang akan masa lalunya. Penghilangan kebanggaan akan masa lalu itu, salah satu diantaranya diwujudkan penulisan ulang buku-buku sejarah. Ada perspektif baru dalam penulisan sejarah Minangkabau ditulis pada masa pemerintahan militer itu.

Ada banyak contoh untuk kasus ini, salah satu di antaranya adalah penghapusan kebanggaan orang Minangkabau akan ‘kecerdikan’ mereka ‘menipu orang Jawa’ dalam tambo, historiografi tradisional mereka. Kebanggaan seperti ini dihilangkan dalam historiografi pasca-PRRI. Hal ini bisa dilihat pada Tambo Minangkabau (B. Dt. Nagari Basa 1964). Tambo itu telah mengalami perubahan total dari versi sebelumnya. Bila dalam tambo lama dikatakan bahwa asal usul nama Minangkabau dikaitkan dengan adu kerbau orang Minang dengan orang Jawa dan kerbau orang Jawa kalah, maka dalam tambo B. Dt. Nagari Baa dikatakan asal usul nama itu berasal dari adu kerbau orang Minang dengan saudagar Aceh, yang kalah adalah kerbau orang Aceh. Pesan yang tersirat dalam perspektif  baru ini adalah Jawa tidak boleh dianggap kalah (oleh orang Minang) untuk masa itu. Kebetulan yang berkuasa di Sumatra Barat saat itu adalah para petinggi militer dari Jawa, dan orang jawa dari kalangan militer (tentara) sangat banyak jumlah di Sumatra Barat saat itu.

Penulisan buku Parlindungan adalah juga bagian dari upaya itu. Dalam buku ini kaum Padri, Perang Padri, ideologi Padri (agama Islam yang mereka bawa dan dakwahkan), dan orang Minang secara keseluruhan digugat dan dicerca sehabis-habisnya. Bagaikan kutu, kaum Padri, ideologi Padri dan bahkan Urang awak ditindas habis dalam buku tersebut.

Parlindungan bisa bersilantas angan menindas, menggugat serta mencerca kaum Padri, ideologi Padri dan Urang Awak, karena saat itu orang Minang dalam kondisi tidak berdaya sama sekali. Kalaupun ada orang Minang yang tengah memegang posisi hebat di pusat pemerintahan (Jakarta), maka mereka adalah bagian dari rezim yang berkuasa saat itu, rezim yang melumatkan orang Minang di Sumatra Barat.

Segera setelah terbit, karya Parlindungan mendapat apresisi dari sejumlah sejarawan muda Minang (yang umumnya besar di rantau) dan kurang atau tidak memiliki ikatan historis dengan kebanggaan akan masa lalu Minang. Mereka ini pulalah yang tahun 1970 menulis buku Sedjarah Minangkabau, serta meminta endorsemen Parlindungan atas buku yang mereka tulis. Namun, bagi sebagian besar orang Minang, terutama kalangan tua, yang telah tampil di panggung sejara sebelum PRRI, karya Parlindungan itu dianggap sebagai ‘tidak benar’. Salah satu di antaranya mereka yang mengeritik karya Parlindungan ini adalah Hamka. Dan sebagai layaknya orang hebat, Hamka menyampaikan kritiknya melalui buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (1974).

Seperti yang akan dibicarakan nanti, Hamka bisa mengeritik buku Parlindungan karena zaman telah berubah dan angin telah berganti arah. Perubahan zaman ternyata juga membuat buku Parlindungan tidak begitu ramai dibincangkan sejak tahun-tahun terakhir 1960-an (barangkali demi menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana prinsipnya Orde Baru). Seperti juga yang akan dibicakan nanti, buku Parlindungan ini ramai lagi dibincangkan para Era Reformasi. Sekali lagi, itu bisa terjadi karena zaman juga telah berubah.

Sebelum mengakhiri bahasan pada bagian ini, perlu juga disampaikan, seiring dengan terbitnya buku Parlindungan juga terbit tulisan Urang Awak tentang Perang Padri. Tapi karya itu nyaris tidak ada gaung dan relatif tidak mendapat perhatian pembaca. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya edisi revisi buku Pusaka Indonesia, Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air karya Tamar Djaja (1964). Dalam buku ini disebutkan ada empat tokoh Padri (Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam, dan Tuanku Tambusai). Di samping itu, dalam buku ini juga ditampilkan Sutan Alam Bagagar Syah.

Periode ini juga ditandai dengan cetak ulang buku yang telah diterbitkan sebelumnya. Dua buku yang dicetak ulang tersebut Tuanku Imam Bondjol, Perintis Djalan Ke Kemedekaan (1964) dan Perang Padri (1964).

Periode keempat, adalah sebuah peiode yang paling dinamis dalam historiografi Perang Padri pasca-proklamasi kemerdekaan. Sebab ada tulisan dan penulis yang tampil dengan perspektif baru dan itu betul-betul mewakili  zaman saat buku itu ditulis. Tulisan yang melanggar ‘pakem’ penulisan Perang Padri pada era selepas perang, yang sejatinya masih mengedepankan atau menonjolkan aspek nasionalisme, patriotisme serta semangat persatuan san kesatuan bangsa.

VII

Seperti disebut di atas, periode kelima historiografi Perang Padri ditandai dengan adanya perubahan zaman di Indonesia, dan itu bisa terjadi karena adanya perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagaimana yang terjadi di tempat lain di Indonesia, di Sumatra Bara, peralihan zaman ini juga ditandai dengan adanya proses ‘deordelamaisasi’. Segala yang berbaru Orde Lama dikritik dan dihujat. Temasuk penulisan sejarahnya.  Dalam konteks inilah bisa kita terima, mengapa pada awal tahun 1970-an, Hamka menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” yang isinya mengeritisi karya Parlindungan. Buku ini sesungguhnya adalah kelanjutan dari tulisan-tulisan Hamka yang sebelumnya (1969-1970) telah terbit dalam surat kabar Haluan.

Buku Hamka ini adalah satu-satunya karya yang tampil beda pada kurun waktu kelima historiografi Perang Padri. Karya Hamka adalah satu-satunya karya yang menyajikan narasi dan penceritaan dengan sumber yang baru. Di samping menyanggah tulisan Parlindungan yang dikatakannya 98 % dusta, karya Hamka ini memberikan sebuah informasi yang baru mengenai sejarah Perang Padri khususnya dan sejarah Islam di Sumatra (Indonesia) umumnya, informasi yang didasarkan pada sumber-sumber yang tidak digunakan dalam tulisan penulis Belanda atau Urang Awak sebelumnya.

Karya Hamka ini adalah satu-satunya karya yang menampilkan diskursus intelektual orang Minang dalam penulisan sejarah Perang Padri. Karya-karya lain yang terbit pada periode kelima ini, adalah karya-karya yang dikategorikan sebagai ‘karya-karya biasa’ saja.

‘Karya-karya biasa’ adalah penamaan terhadap karya yang dibuat ‘hanya’ dengan menulis ulang karya-karya yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, relatif tidak ada novelty dari karya-karya tersebut.

Apalagi, karya-karya yang terbit pada saat itu termasuk pula pada kategori buku-‘buku proyek’.  Walaupun ada juga yang tinggi kualitasnya, namun sebagian besar ‘buku proyek’ dinilai mengandung makna hampir sama dengan pengertian ‘karya-karya’ biasa di atas.

Aspek perang kurang mendapat pembahasan khusus pada periode kelima ini. Kalau pun ada, maka pembahasannya berupa bagian dari karya dengan tema yang lain. Sebagai gantinya, buku-buku mengenai Perang Padri yang terbit pada saat itu lebih mengarah pada penceritaan tokoh Padri. Di samping Tuanku Rao, ditulis juga riwayat hidup Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol (Mahdin Said 1969; Sjafnir Abu Naim 1979; Mardjani Martamin 1983). Di samping itu juga ada karya mengenai tokoh non-Padri, namun nama dan peran sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari Perang Padri, yakni Sutan Alam Bagagar Syah (Mardanas Sjafwan 1975).

Penerbitan karya-karya tokoh yang terlibat Perang Padri ini juga ada hubungannya dengan upaya pemberian gelar pahlawan nasional kepada mereka, serta upaya untuk menjadikan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Masa Orde Baru juga ditandai dengan maraknya penulisan sejarah tokoh, yang dikatakan berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka, walaupun pada saat mereka hidup dan berperang konsep Indonesia sebagaimana yang dipahami dewasa ini belum ada. Sebagai imbalan dari perjuangan mereka itu maka mereka diangerahi gelar pahlawan, salah satu diantarany adalah pahlawan nasional. Tuanku Imam Bonjol diangerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 1973 dan Tuanku Tambusai tahun 1995. Sedangkan penulisan buku tentang Sutan Alam bagagar ada hubungannya dengan upaya pelegitimasian pemindahan makam beliau dari Mangga Dua ke Taman Makam Pahlawan.

Jadi aspek keilmuan kurang menonjol dari buku-buku yang ditulis dengan genre ini.

Tidak diragukan pula, bahwa periode kelima ini juga ditandai dengan munculnya karya-karya sejarah Perang Padri yang ditulis dengan standar akademis yang tinggi, karena penulisannya ditujukan untuk meraih gelar akademis tertinggi. Tidak hanya itu, karya-karya dalam bentuk ini bahkan menghadirkan penafsiran baru mengenai latar belakang dan jalannya Perang Padri. Karya Chrisine Dobin adalah contoh yang paling tepat untuk kasus ini. Dobbin melihat Perang Padri tidak dari persoalan konflik antara kaum pembaharu Islam (kaum Padri) dengan kaum anti pembaharuan (kaum adat), atau tidak hanya melihat Perang Padri dari keinginan para fanatik untuk mengadakan pembaharuan kehidupan beragama semata, tetapi juga digerakkan oleh adanya dorongan ekonomi yang dilatarbelakangi  oleh adanya kebangkitan ekonomi daerah, serta masuknya orang (daerah) Minangkabau pada aktivitas ekonomi tingkat regonal atau global (Dobbin 1983). Pandangan Dobbin itu diperkuat puloa oleh Kato yang mengatakan bahwa “….gerakan Padri tampaknya lebih dari sekedar perselisihan paham mengenai ajaran Islam… atau pertentangan di antara adat dan agama. ….gerakan Padri juga merupakan satu usaha untuk mencari jalan lain supaya dapat mempersatukan dan memperkuat Alam Minangkabau (Kato 1982). Jauh sebelum Dobbin dan Kato, Taufik Abdullah (1967; 1971) juga telah melihat Perang Padri dalam perspektif lain, perspektif perubahan sosial (inletelektual) orang Minang. Beda Kato dan Taufik Abdullah dengan Dobbin adalah bahwa Kato dan Taufik Abdullah menjadikan pembahasan mengenai Perang Padri hanya sebagai bagian dari karya mereka dengan topik dan tema yang lain, sedangkan Dobbin lebih fokus pada Perang (Gerakan) Padrinya.

Di samping tiga tulisan di atas, ada beberapa tesis dan skripsi yan juga membicarakan Perang Padri, namun karena dibuat setelah tiga karya monumental itu terbit maka apa yang ditampilkan dalam tesis atau skrispi itu bisa dikatakan ‘pengikut’ dari karya Taufik Abdullah, Dobbin dan Kato.

Satu lagi hal yang menarik mengenai sejarah Perang Padri pada periode kelima ini adalah dijadikan kisah perang ini sebagai bahan ajar dalam buku-buku teks sejarah yang digunakan berbagai jenjang pendidikan. Dan ketika pemerintah menulis serta menerbitkan buku Sejarah Nasional Indonesia (1975), Perang Padri juga mendapat tempat yang cukup banyak dalam buku babun sejarah Indonesia itu.

Peran dan campur tangan pemerintah cukup menonjol dalam penulisan sejarah Perang Padri pada kurun waktu itu.

VIII

Periode keenam dalam historiografi Perang Padri bersamaan juga dengan terjadinya perubahan politik di Indonesia, yakni berakhirnya  era Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi. Dalam sejarah penulisan sejarah Indonesia, Era Reformasi juga ditandai dengan keinginan untuk ‘meluruskan’ atau menulis ulang sejarah nasional. Keinginan itu diwujudkan dengan terbitnya buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), sebuah buku yang merupakan karya bersama puluhan sejarawan Indonesia.

Era Reformasi juga ditandai dengan terbitnya buku atau karya sejarah yang menampilkan tindak kekerasan yang pernah terjadi di masa lampau. Hal ini, misalnya , ditandai dengan terbitnya buku-buku mengenai aksi kekerasan yang dialami pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kecenderungan menulis kekerasan yang dialami oleh suatu kelompok masyarakat di masa lampau akhirnya juga merambah masuk ke penulisan sejarah Perang Padri. Sehubungan dengan itu, buku Tuanku Rao karya Parlindungan yang sarat dengan narasi kekerasan dicetak ulang. Buku ini mendapat sambutan luar biasa dari pembaca dan laris manis.

Dicetak ulang pada era semua orang boleh menyampaikan apa yang ingin disampaikannya (era kebebasan yang kebablasan), maka segera setelah terbitnya buku ini muncul gugatan terhadap kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Berdasarkan sajian buku Tuanku Rao, Muhdi Situmorang, seorang Batak, yang merasa keturunan dari korban kekerasan kaum Padri membuat petisi agar gelar pahlawan Tuanku Imam Bonjol dicabut. Muhdi berpendapat, Tuanku Imam Bonjol tidak layak menyandang gelar itu. Karena dia adalah tokoh penyebar teror di negerinya pada di masa lalu.

Terbitnya buku Tuanku Rao dan keluarnya petisi Muhdi kemudian dilanjutkan oleh majalah Tempo dengan menyajikan tulisan yang berjudul “Kontroversi Kebrutaralan Kaum Padri” sebagai supplemennya (Tempo, 21 Oktober 2007).  

Kekerasan dan kebrutalan Padri menjadi aspek yang menonjol dalam penulisan Sejarah Perang Padri pada awal Era Reformasi. Perspektif yang sama tetap berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, bahkan sampai beberapa waktu belakangan. Beberapa tulisan dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dipraktikan kaum Padri.Namun berbeda dengan karya Parlindungan dan Tempo, tulisan-tulisan yang dimuat dalam blog ini juga menampilkan aksi kekerasan yang dilakukan kaum adat dan Belanda.

Di samping menampilkan aksi kekerasan, penulisan sejarah Perang Padri pada Era Reformasi ini juga mencoba melihat Perang Padri ‘apa adanya’. Cetak ulang buku Tuanku Rao misalnya direspon dengan penerbitan buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidi Harahap (2007) dengan mengajukan sejumlah kritik dan koreksian terhadap karya Parlindungan, serta penulisan sejarah Islam di Tanah Batak (Tapanuli) ‘as actuality was’. Mardjohan (2009) menerbitkan buku Gerakan Padri, Pahlawan dan Dendam Sejarah yang berisikan sejumlah tulisan tentang Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol) juga menyajikan narasi Perang Padri dan keterlibatan Tuanku Imam Bonjol ‘sebagaimana adanya’.

Tidak diragukan lagi, hadirnya nuansa kekerasan dalam historiografi Perang Padri pada Era Reformasi tidak bisa dipisahkan dari maraknya aksi kekerasan di Indonesia pada permulaan era ini. Saat itu, terjadi aksi kekerasan di banyak tempat diIndonesia. Ada aksi kekerasan di Ambon, Sambas, Palu, Lampung, Aceh, dan di lain-lain tempat di persada tercinta ini. Tidak itu saja, di tingkat global, kata kekerasan dan teror didengar setiap saat di media elektronik (televisi dan radio) atau dibaca setiap waktu dalam media cetak. Dan orang Islam, apalagi  ‘kelompok radikal’ dianggap sebagai bagian atau aktor utama dari aksi kekerasan itu. Apalagi saat itu ada aksi pemboman WTC dan juga Bom Bali serta ‘kebangkitan’ Taliban. Maka sangat masuk akal jika penulisan sejarah mengenai Perang Padri juga menampilkan Tijdgeest (jiwa zaman) yang sarat dengan aksi kekerasan ini. Apalagi narasi yang ditampilkan oleh Parlindungan dan juga kesaksian Fakih Sanghir dan pengakuan Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya cocok pula dengan semangat zaman ini.

IX

Historiografi adalah sebuah kajian sejarah penulisan sejarah. Dalam kajian ini yang dibincangkan adalah apa yang ditulis, siap penulisnya (latar belakang ilmu, ideologi, ’status’ kepenulisan penulis), kapan ditulis (bagaimana jiwa zaman saat ditulis), untuk apa karya itu ditulis, dlsbnya. Kajian historiografi tidak mempersoalkan sahih atau tidaknya sumber yang dipergunakan.

Tujuan utama kajian historiografi adalah untuk memahami bahwa sebuah iven sejarah bisa saja ditulis berulang kali dengan berbagai perspektif, sehingga dengan memahami adanya berbagai perpekstif  tersebut kita akan bisa menerima adanya perbedaan dalam penulisan sejarah. Kajian historiografi akan menyadarkan kita bahwa sebuah karya sejarah sangat dipengaruhi oleh siapa penulisnya, jiwa zaman sat karya itu ditulis, dan untuk apa karya itu ditulis dan diterbitkan.

Dengan pemahaman itu, diharapkan kita lebih dewasa dan bijaksana menerima adanya pernbedaan dalam sebuah penulisan sejarah.

Perang Padri adalah contoh yang paling menarik. Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang (200 tahun), telah lahir sejumlah perspektif  tentang perang itu. Ada karya yang melihat kaum Padri sebagai pemberontak, perusak ketentraman dan kedamaian,  namun ada tulisan yang melihat kaum Padri sebagai pejuang yang berperang menghadapi Belanda untuk mencapai kedamaian, mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia. Ada tulisan yang mengatakan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemberontak atau teroris, namun ada pula yang mengatakannya sebagai pejuang kemerdekaan dan penyatu antarberbagai kelompok masyarakat (etnik).

Adanya perspektif, sudut pandang dan pemahaman yang tidak sama sekaligus menyadarkan kita bahwa Perang Padri ditulis oleh penulis dalam berbagai kurun waktu dengan berbagai jiwa zaman yang berbeda. Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, karena sudut pandang dan pemahaman sejarah sesungguhnya adalah refleksi zaman. Setiap zaman akan menghadirkan penulisan sejarah (terhadap objek yang sama) sesuai dengan perspektif zaman dia ditulis. Kenyataan ini akan menyakinkan kita akan diktum yang disampaikan sejarawan Italia, Benedigto Grooce yang berbunyi, ogni vera storia, e storia comtemporanea (sejarah yang benar, adalah sejarah masa kini). Karena itu, tidak perlulah kita risau atau sampai uring-uringan bila ada sebuah karya tulis yang tampil dengan perspektif dan sudut pandang yang berbeda dari perspektif dan sudut pandang kita. Tidak perlu pula kita risau dan uring-uringan bila ada suara yang menggugat sebuah tulisan sejarah. Terimalah itu sebagai ‘sunatullah’.  Sebab perbedaan itu adalah hakikatnya sejarah dan penulisan sejarah.

Daftar Kepustakaan:

Basyral Hamidi Harahap, Greget Tuanku Rao. Depok: Komunitas Bambu, 2007.

B..d., ‘De Padries op Sumatra’, Indische Magazijn, 1845: 2.

B. Dt. Nagari Basa¸ Tambo Minangkabau. Pajakumbuh: Elionora, 1964.

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Buys, M., Twee Jaren op Sumatra’s Westkust. Amsterdam: A. Akkeringa, 1886.

Dali Mutiara, Sedjarah Minangkabau. Djokja: Moetiara, 1946.

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951           .

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.  London: Curzon Press, 1983.

 — , ‘Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830’ dalam Indonesia, 1977: 23.

 — , ‘Tuanku Imam Bondjol (1772-1864) dalam  Indonesia, 1972: 13.

Francis, E., Herinneringen uit den Levensloop van een’ Indisch’ Ambtenaar van 1815 tot 1851. Medegedeeld in Brieven (I, II, III). Batavia, 1856-59.

H., v.d., ‘Oorsprong der Padaries’ dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1838: I.

Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Hollander, J.J. de (ed.), Sjech Djilal Eddin: Verhaal van den Aanvang der Padri-Onlusten op Sumatra. Leiden: E.J. Brill, 1857.

Hooyer, G.B., De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsch-Indie van 1811 tot 1894 (3 Deelen). The Hague/Batavia: De Bebr. van Cleef/G. Kolff & Co. , 1895.  

Joustra, M., Minangkabau: Overzicht van het Land, Geschie­denis en Volk. Leiden: Drukkerij Louis H. Becherer, 1923.

Kato, Tsuyoshi, Matriliny and migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 1982.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

 — , ‘Het Ontstaan van den Padrie-Oorlog’ dalam Indisch Militair Tijdschrift, 1887: II.

Klooster, H.A.J., Indonesiers Schrijven Hun Gechiedenis: De Ontwikkeling van de Indoneisiche Geschiedbeofening in Theori en Praktijk 1900-1980. Dordrecht/ Cinaminson: Foris Publication, 1985.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Parlindungan, M.O., Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. TerrorAgama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak. 1816-1833. Djakarta: Tandjung Pengaharapan, 1964.

Mahdin Said, Rokan. Tuanku Tambusai Berdjuang. Padang: Sri Dharma, 1969.

Mardanas Safwan, Sultan Alam Bagagar Syah (1789-1849). Jakarta: Panitia1975.

Mardjani Martamin, Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983.

Mardjohan (ed.), Gerakan Paderi, Pahlawan dan Dendam Sejarah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009,

M.D. Mansoer et al. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara. 1970

Muhammad Radjab, Perang Padr di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Propinsi Sumatera Tengah. Djakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953.

Raffles, Sophia, Memoirs of the Life and Public Servives of Sir Stamford Raffles. Londion: John Murray, 1830.

Ronkel, Ph.S. van, ‘Inlandsche getuigenissen aangaande den Padri-Oorlog’, Indische Gids, 1915, XXXVII.

Schrieke, B. J.O., ‘Bijdrage tot de Bibliografie van de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust’, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1920: 59.

Stein Parve, H.A., ‘De Secte der Padaries (Padries) in de Bovenlanden van Sumatra’ dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1855: 3.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stapel, F.W. (d.), Geschiedenis van Nederlandsch Indie (5 Deelen). Amsterdam: Jost van der Vodelt, 1838-40.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia (Riwajat Hidup Orang Besar Tanah Air. Djakarta: Bulan Bintang, 1964.

Taufik Abdullah et.all. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemendikbud, 2012.

Taufik Abdullah, ‘Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies in Social Development’, M.A. Thesis, Cornell University, 1967            .

 — , , School and politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Ithaca, New York: Cornell University, 1971            .

Tempo, 21 Oktober 2007.

Veth, P.J., Schets van het Eiland van Sumatra. Amsterdam: P.N. van Kampen, 1867.

Ditulis oleh Gusti Asnan