Keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) Pada Masa Perang Padri

Perang Padri memiliki arti tersendiri bagi keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Sayangnya, penulisan sejarah selama ini cenderung mengerdilkan arti perang itu bagi mereka, sehingga yang banyak dikemukakan hanyalah mengenai penangkapan (serta pembuangan) Sutan Alam Bagagar Syah dan pembunuhan keluarga kerajaan oleh kaum Padri. Dengan kata lain, penulisan sejarah selama ini kurang menampilkan adanya sejumlah sosok lain dari keluarga kerajaan serta pengalaman sejarah yang mereka alami. Di samping itu penulisan sejarah selama ini juga kurang menampilkan hubungan (harmoni dan konflik) antara keluarga kerajaan dengan pelaku lain dari Perang Padri, seperti Belanda, kaum Padri, kelompok adat, dlsbnya.

Tulisan ini mencoba merekonstruksi keberadaan dan pengalaman sejarah keluarga kerajaan Pagaruyung secara lebih menyeluruh, serta menyajikan kerjasama dan konkurensi antara mereka dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri.  

Sehubungan dengan itu ada sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab pada kesempatan ini. Beberapa di antaranya adalah: Bagaimana proses keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung dalam Perang Padri? Siapa-siapa saja anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung yang tampil di panggung sejarah saat itu? Apa saja peran sejarah yang mereka lakoni? Bagaimana pula keharmonisan yang tercipta dan konflik yang terjadi antara keluarga kerajaan dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam Perang Padri? Sejauh mana keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung serta respon pemerintah Belanda dan pelaku Perang Padri yang lain terhadap keberadaan Kerajaan Pagaruyung?

II

Keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dalam Perang Padri dapat dibagi kedalam dua pokok pembahasan. Pertama, keterlibatan pada masa sebelum perang; dan kedua, keterlibatan pada kurun waktu perang berlangsung.

Keterlibatan pada masa sebelum perang bisa pula dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, keterlibatan karena ‘dipaksa terlibat’ oleh kaum Padri; dan kedua, keterlibatan sebagai reaksi atau respon atas pemaksaan yang dilakukan kaum Padri.

Keterlibatan dalam pengertian pertama, berawal dari pembunuhan yang dilakukan Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman dan kawan-kawannya terhadap sejumlah anggota  keluarga kerajaan. Tuanku Lintau dan kawan-kawannya, sebagai bagian dari kaum Padri, telah menyeret keluarga kerajaan ke dalam pusaran revolusi sosial dan keagamaan yang mereka kobarkan sejak tahun-tahun permulaan abad ke-19. Mereka melibatkan keluarga kerajaan ke dalam revolusi yang mereka sulut karena hingga saat pembunuhan dilakukan, keluarga kerajaan menempatkan diri mereka pada posisi netral, tidak berpihak kepada Padri dan tidak pula kepada kelompok non-Padri.

Kaum Padri tidak bisa menerima sikap netral itu. Di tengah revolusi yang mereka cetuskan, sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap ajaran yang mereka anut hanya ada dua, setuju atau tidak setuju. Pihak yang setuju akan dirangkul dan dijadikan kawan dan pihak yang tidak setuju akan dianggap sebagai musuh. Dilandasi oleh ideologi kekerasan yang mereka amalkan, maka pihak yang tidak setuju boleh diserang atau dibunuh. Deskripsi sejarah yang dibuat oleh pihak Padri, seperti Tuanku Imam Bonjol atau saksi sezaman dari kalangan modernis, seperti Fakih Sanghir membuktikan pernyataan ini. Dari karya kedua tokoh ini diketahui bahwa kekerasan dan pembunuhan mewarnai sejarah dakwah kaum Padri. Atas dasar itulah sejumlah anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dibunuh oleh Padri. Aksi pembunuhan itu terjadi dalam pertemuan Kototangah, sebuah pertemuan yang diinisiasi oleh Tuanku Lintau. Menurut Stuers dan Kielstra, ada tiga anggota kerajaan yang tewas, yaitu Yang Dipertuan Radja Nari, Yang Dipertuan Raja Tallan dan anak lelaki Raja Muning (tidak disebut namanya). Anggota keluarga kerajaan yang selamat melarikan diri ke daerah rantau, baik Rantau Pesisir di sebelah barat atau Rantau Hilir di sebelah timur Tanah Datar. Stuers menyebut Muning syah, Raja Minangkabau saat itu menyelematkan diri ke Jambi (Kuantan).

Lukisan Seorang Padri {Tuanku Lintau (?), Aktor Intelektual dan Eksukutor Peristiwa Kototangah}
Sumber: Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1839, 2,1

Peristiwa Kototangah adalah klimaks serangan Padri terhadap keluarga kerajaan. Seperti yang akan disebut di bawah nanti, merujuk informasi yang disampaikan Raffles, kaum Padri sesungguhnya menyerang keluarga kerajaan berkali-kali.

Ada berbagai informasi tentang tahun terjadinya peristiwa Kototangah. Sejumlah penulis menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1806, 1812, 1806, dlsbnya. Beragam informasi ini disebabkan oleh tidak adanya tradisi mencatat (menulis) dikalangan Urang Awak. Namun bila melihat apa yang dikatakan oleh Raffles yang sempat bertemu dengan keluarga kerajaan yang selamat, termasuk Tuan Gadis, serta sempat mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, maka bisa dikatakan bahwa pendapat yang menyebut peristiwa itu terjadi tahun 1816 nampaknya sukar diterima. Mestinya peristiwa itu terjadi sebelum tahun tersebut.

Raffles menyebut saat dia berkunjung ke Pagaruyung, nyaris tidak ditemukan lagi bekas permukiman dan bekas istana di sana. Permukiman itu nampaknya telah lama ditinggalkan. Lokasi di mana istana berdiri telah dikuasai oleh petani. Di bekas tapak istana yang tanahnya subur  telah ditanami mentimun, dan tanah-tanah di sekitarnya telah ditanami dengan tebu.

Membaca keterangan Raffles, sekali lagi, bisa dikatakan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffles.

Penegasan bahwa peristiwa itu terjadi lebih dari dua atau tiga tahun sebelum kunjungan Raffes juga bisa kita ambil dari keterangan pejabat Inggris yang saat itu berkuasa di Padang. Tahun 1816 telah ada keluarga Kerajaan Pagaruyung di kota tersebut dan mereka telah meminta bantuan  Inggris untuk menyerang Padri.

Seperti disebut di atas, Raffles sempat bersua dengan Tuan Gadis di Suruaso. Raffles menaruh hormat kepada Tuan Gadis yang disebut dan diakuinya sebagai ganti Raja Minangkabau (karena raja yang sesungguhnya tidak bisa menjalankan fungsi dan perannya). Sebagai bagian dari rasa hormatnya, Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang dan memintanya tinggal di sana. Sesuai dengan namanya, Benteng Simawang adalah sebuah benteng yang dibangun Inggris di Nagari Simawang, di pinggir timur Danau Singkarak. Pembangunan benteng itu sebagai pembuktian oleh Inggris bahwa dia juga memiliki kedaulatan di daerah pedalaman. Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang  dengan tujuan memberi perlindungan kepadanya dari kemungkinan gangguan kaum Padri. Di samping itu, tafsiran lain menyebut bahwa perlindungan yang diberikan Raffles tersebut sebagai respon dari usulan yang diajukan oleh Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, dua anggota Kerajaan Suruaso, yang mendampingi Raffles dalam perjalanannya dari Padang ke pedalaman.

Dalam perjalanan ke pedalamanan, Raffles didampingi oleh lima orang Eropa (termasuk istrinya), 50 tentara dari kesatuan Benggala, sejumlah saudagar terkemuka di kota Padang, ratusan kuli angkat, dan dua keluarga Kerajaan Suruaso (Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam) yang telah mengungsi ke kota Padang.

Merujuk laporan Stuers, Kielstra menyebut bahwa Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam adalah wakil Kerajaan Minangkabau di Padang yang diakui oleh Inggris. Oleh pemerintah Inggris mereka berdua diberi ‘tunjangan hidup’ sebesar f.100,- (Raja Tangsir Alam) dan f.20,- (Sutan Kerajan Alam) per bulan. Hubungan mereka sangat akrab dengan Inggris. Itu pulalah sebabnya, ketika terdengar kabar bahwa Padang akan dikembalikan kepada Belanda, kedua anggota kerajaan tersebut hijrah ke Bengkulu yang saat itu masih dikuasai Inggris.

Namun, pada saat Belanda mengambil alih kekuasaan Inggris di Sumatra Barat, kedua anggota kerajaan itu kembali ke Padang. Mereka juga mengucapkan selamat kepada Belanda yang telah berkuasa kembali. Tidak itu saja, sesampai di Padang mereka menyatakan kesetiaan kepada Belanda dan meminta bantuan kepada Belanda untuk menyerang Padri.

Sikap oportunis mereka ini khususnya dan keluarga kerajaan pada umumnya telah lama dicatat oleh Inggris. Sebagaimana ditulis Marsden, tahun 1781, saat Inggris baru saja mendepak Belanda dari Pantai Barat, datang serombongan utusan Raja Minangkabau ke Padang dan mereka mengucapkan selamat kepada Inggris yang telah berhasil mengusir Belanda. Namun, seorang pejabat Inggris di Padang mengomentari ucapan selamat keluarga Kerajaan Minangkabau itu dengan mengatakan bahwa ucapan yang sama akan disampaikan kepada siapa pun yang berpeluang menggantikan kami (Upon the capture of Padang by the English in 1871, deputations arrived from two of these chiefs with congratulations upon the success of our arms; which will be repeated with equal sincerity to those who may chance to succeed us).

Setelah berkorespondensi dengan Batavia, pemerintahan Keresidenan Padang menerima kedatangan dan ketundukan Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Du Puy, Residen Padang berencana akan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Belanda di daerah ini. Untuk itu mereka juga diberi tunjangan hidup. Namun karena dulu mereka pernah setia kepada Inggris, musuh Belanda, maka tunjangan yang diberikan hanya separo dari yang mereka terima sebelumnya, yakni f.50, – dan f.10,- per bulan.

Dalam rangka merespon permintaan bantuan yang diajukan anggota keluarga kerajaan itu, pemerintah di Padang membentuk satu tim penyelidik keinginan masyarakat mengenai keterlibatan Belanda dalam memerangi Padri. Anggota inti tim ini adalah Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Mereka didampingi oleh 12 orang anggota (menurut Stuers ke-12 anggota itu terdiri dari 12 Inlandsche Soldaten (tentara bumiputra, kemungkinan orang Bugis), sedangkan Lange mengatakan bahwa ke-12 anggota lainnya itu hanyalah penduduk biasa saja).

Hasil penyelidikan tim, sebagaimana dilaporkan kedua ‘toeankoe’ adalah warga pedalaman betul-betul menginginkan campur tangan atau keterlibatan Belanda memerangi kaum Padri.

Bekerja sama dengan atau meminta bantuan kepada Inggris dan Belanda adalah respon atau reaksi keluarga kerajaan terhadap pemaksaan (pembunuhan) yang dilakukan oleh kaum Padri. Permintaan bantuan untuk menyerang Padri kepada Inggris dan Belanda bentuk konkrit respon atau reaksi keluarga kerajaan atas pembunuhan yang dilakukan kaum Padri terhadap kerabatnya. Mereka ingin menuntut balas atas kekejaman kaum Padri terhadap anggota keluarga mereka. Di samping untuk membalas perlakukan Padri, seperti yang akan dibicarakan nanti, permintaan bantuan tersebut juga ditujukan untuk memulihkan keberadaan kerajaan dan mengembalikan raja ke posisinya semula.

Puncak dari move keluarga kerajaan pada periode sebelum perang dan sekaligus menjadi awal perang adalah dibuatnya Perjanjian 10 Februari 1821. Perjanjian itu adalah ‘tiket’ bagi Belanda untuk menguasai Minangkabau dan terlibat secara langsung dalam perang melawan Padri. Perjanjian itu sekaligus pernyataan dukungan, pernyataan takluk dari keluarga Kerajaan Pagaruyung dan Suruaso, serta sejumlah penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya kepada Belanda.

Keterlibatan keluarga kerajaan dalam perjanjian itu sangat nyata. Tiga penandatangan pertama perjanjian adalah keluarga kerajaan, yaitu Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suuaso, dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso. Penandatangan berikutnya adalah 12 penghulu, yang mengatasnamakan lebih dari 100 penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya.

Perjanjian tersebut terdiri dari enam pasal dan lima pasal pertamanya berisikan:

Pasal 1, Kepala-kepala (anggota keluarga kerajaan dan para penghulu) tersebut di atas dengan ini menyerahkan  secara resmi dan mutlak, negeri  Pagaru­yung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-dae­rah di sekeliling Kerajaan Mi­nang­­ka­bau kepa­da pemerin­tah Hindia Belanda

Pasar 2, Kepala-kepala tersebut berjanji dengan sung­guh-sungguh – atas nama mereka dan rakyat maupun ketu­run­­an mereka – untuk patuh dan taat kepada pemerin­tah Hindia Belanda dan sekali-kali tidak akan menen­tang perintah apa pun dari Belanda.

Pasal 3, Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah dise­rah­­kan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari Kaum Paderi, untuk menghancurkan Kaum Paderi dan men­­ciptakan perdamaian di Minang­kabau, peme­rintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam.

Pasal 4, Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli da­lam jum­lah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara de­ngan sebaik-baiknya.

Pasal 5, Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu de­ngan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pa­sal dalam per­janjian.

Pasal keenam berisikan pernyataan tentang perjanjian, tentang perjanjian yang dibuat dengan sumpah yang khidmat, menjunjung Al-Qur’an, disaksikan oleh sejumlah petinggi di Padang. Di samping itu ada keterangan waktu pembuatan perjanjian, serta dibuatnya perjanjian dalam tiga rangkap (1 rangkap dikirim kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, satu rangkap dipegang Residen di Padang, dan satu rangkap dikirim pada Tuan Gadis di Suruaso).

Perjanjian 10 Februari 1821 inilah yang menjadi dasar keterlibatan Belanda dalam perang melawan kaum Padri awalnya dan kemudian perang menghadapi orang Sumatra Barat untuk menguasai daerah ini. Di sisi lain, perjanjian ini adalah titik puncak dari respon keluarga kerajaan terhadap aksi kaum Padri yang membunuh kerabat mereka, membuat mereka terpencar ke mana-mana, dan menghabisi Kerajaan Minangkabau. Perang Padri yang terjadi segera setelah Perjanjian 10 Februari 1821 menghadirkan pengalaman sejarah yang tersendiri pula bagi keluarga kerajaan.

III

Ada lima keluarga Kerajaan (Pagaruyung dan Suruaso) yang banyak mengisi lembaran sejarah Perang Padri. Di samping Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, tiga nama lainnya adalah Raja Muning, Tuan Gadis, dan Sutan Alam Bagagar Syah. Ada peran dan pengalaman sejarah yang berbeda dan menarik dari masing-masing anggota keluarga kerajaan itu.

Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, sebagai sosok yang tinggal di Padang dan aktif membantu Belanda sejak awal, serta dipandang ‘menguasai medan/lapangan’ adalah anggota keluarga kerajaan yang dilibatkan secara langsung dalam kampanye militer yang dilakukan oleh Belanda. Mereka dilibatkan, terutama sekali, pada masa-masa awal kampane militer ke daerah pedalaman. Mereka diminta mendampingi aksi militer yang dipimpin Raaf. Para pejabat di Padang umumnya dan Raaff khususnya meyakini keterlibatan mereka akan banyak membantu aksi militer menghadapi Padri. Mereka diyakini memiliki hubungan yang baik dengan kaum adat atau para penghulu, sehingga akan memudahkan untuk memobilisasi dukungan rakyat.

Namun, walaupun telah membantu Belanda dengan ikut menandatangan Perjanjian 10 Februari 1821, serta ikut mendampingi Raaff menyerang Padri, pada bulan April 1822 Raaff menangkap mereka berdua dan mengirim mereka ke Padang. Kielstra menyebut mereka ditangkap karena dituduh membunuh seorang penghulu di Belimbing. Mereka marah karena sang penghulu serta warga nagarinya tidak bersimpuh atau menyembah kepada mereka. Aksi “main hakim sendiri’ yang mereka lakukan tidak bisa diterima Raaff, aksi mereka tersebut dinilai Raaff dapat menggagalkan pendekatan “winning the heart” yang juga diterapkan komandan tempur tersebut. Apalagi saat pembunuhan dilakukan telah ada beberapa tokoh Padri yang menyerah dengan suka rela.

Sikap tegas Raaff di atas didasarkan pada tidak adanya hubungan pribadi antara dia dengan kedua keluarga kerajaan tersebut. Raaff juga dipandang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang peran sosial-budaya kedua keluarga kerajaan tersebut, serta tidak mengetahui hubungan antara kedua keluarga kerajaan itu dengan pemerintah Belanda di masa lampau.

Apapun tafsiran yang dikemukakan, yang jelas baru saja kedua anggota keluarga kerajaan itu terlibat secara langsung dalam Perang Padri, mereka telah menjadi korban perang yang mereka kobarkan.

Keluarga kerajaan selanjutnya yang tampil ke panggung Perang Padri dan berurusan dengan Raff, serta kemudian juga menjadi korban kebijakan Raff adalah Muning Syah, Raja Pagaruyung (Minangkabau) yang melarikan diri ke Kuantan.

Raja Muning, yang nama dan gelar lengkapnya adalah Daulat Yang Dipertuan Raja Muning, Raja Alam Yang Kerajaan Di Dalam Alam Minangkabau, mengirim surat kepada Raaff pada bulan September 1822. Isi suratnya antara lain minta diizinkan pulang ke Pagaruyung dan kemudian minta diizinkan (direstui) kembali menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Sekali lagi, sebagai ‘orang baru’ di daerah, Raaff tidak serta-merta menyetujui permintaan Raja Muning. Dia membentuk tim (komisi) penyelidik kebenaran status dan kedudukan Muning Syah. Salah satu tugas tim atau komisi tersebut adalah meneliti kebenaran status dan kedudukan Muning Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau).

Setelah bekerja dan menunaikan tugasnya, tim atau komisi tersebut mengumumkan bahwa ‘tidak diragukan lagi, Raja Muning adalah raja terakhir Kerajaan Minangkabau’. Berdasarkan temuan tersebut Raaff mengizinkan Raja Muning kembali pulang ke Pagaruyung. Namun, permintaannya agar dia diangkat menjadi Raja Pagaruyung (Minangkabau) tidak disetujui. Alasannya adalah usianya telah lanjut. Walaupun demikian dia diberi uang pensiun. Tiga tahun setelah usulannya menjadi raja ditolak, tanggal 1 Agustus 1825 Raja Muning meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Raaff kemudian mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Minangkabau.

Pemerintahan Keresidenan Padang menyetujui keputusan Raaff menolak permohonan Raja Muning untuk menjadi Raja Minangkabau. Pemerintahan Keresidenan Padang juga menyetujui keputusan Raaff untuk mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau). Raaff (yang disetujui oleh Gubernur Jendral) juga mengangkat Sutan Alam Bagagar Syah menjadi Hoofdregent van Minangkabau dengan gelar Raja Alam Minangkabau (karena telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Di samping Hoofdregent dia juga sekaligus diamanahi jabatan sebagai Regent Tanahdatar. Sebagai Raja Minangkabau dia diberi gaji f.200,- per bulan, dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan.

Menurut Raaff pengangkatan Bagagar Syah sebagai Raja Pagaruyung (Minangkabau), Hoofdregent van Minangkabau serta Regent Tanah Datar adalah sebagai bagian dari imbalan yang diberikan kepadanya atas jasa-jasanya yang memungkinkan Belanda bisa masuk ke pedalaman. Alasan ini pulalah yan menjadi dasar penolakan usulan Raja Muning agar dia diangkat kembali menjadi Raja Pagaruyung. Raja Muning dianggap tidak memiliki kontribusi  bagi ekspansi politik Belanda.

Kepemimpinan Raaff sebagai komandan tentara dan residen digantikan oleh Baud dan kemudian Stuers (1825). Berbeda dengan masa Raaff yang sarat dengan aksi militer menggempur Padri, maka era pemerintahan Stuers adalah kurun waktu ‘tenang’ dari konfrontasi fisik dengan Padri. Hal ini disebabkan oleh ditariknya sebagian besar tentara Belanda ke Pulau Jawa guna menghadapi Pangeran Diponegoro. Tidak hanya membuat banyak ‘perjanjian damai’ dengan kaum Padri, Stuers juga memperkenalkan kebijakan politik khusus pada keluarga Kerajaan Pagaruyung. Stuers membebaskan duo Tuanku Suruaso dari hukuman yang dijatuhkan Raaff. Tidak sekedar dibebaskan, mereka berdua dan juga Tuan Gadis diberi uang pensiun sebesar f.20,- per bulan. Sutan Kerajaan Alam, bila ada kesempatan, diizinkan untuk terlibat dalam kegiatan politik, sedangkan kakaknya, Raja Tangsir Alam, karena pernah menyalahgunakan wewenang di masa lalu, tidak diizinkan kembali terjun ke dunia politik.

Sutan Alam Bagagar Syah juga kena kebijakan politik Stuers. Stuers menghapus gelar Hoofdregent van Minangkabau dan menurunkan status Bagagar Syah hanya menjadi regent. Penurunan satus ini menjadikan Bagagar Syah menempati posisi yang sama dengan sejumlah orang Minangkabau lainnya yang menjadi regent saat itu di Sumatra Barat.

Stuers mengatakan bahwa penghapusan jabatan Hoofdregent dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ‘unit administratif’ setingkat Hoofdafdeeling vanMinangkabau yang menjadi wilayah kekuasannya tidak pernah terwujud. Jadi adanya jabatan itu dianggap tidak efektif (mubazir).

Tidak hanya menghapus gelar Hoofdregent, Stuers juga mengakhiri pengakuan Raja Minangkabau kepada Bagagar Syah, dan mengakhiri keberadaan Kerajaan Minangkabau (Het rijk van Minangkabau dus niet meer bestande).

Sutan Alam Bagagar Syah menerima semua kebijakan yang dilakukan Stuers. Bagagar Syah nampaknya tidak merasa kehilangan dengan ditiadakannya dua gelar yang sebelumnya pernah disandangnya, serta dia juga tidak merasa kehilangan ketika Kerajaan Minangkabau dihapuskan keberadaannya.

Berbagai gelar yang disandangnya dan keberadaan Kerajaan Minangkabau nyaris tidak ada artinya bagi diri Bagagar Syah. Sebagai ‘pejabat tinggi’ pemerintahan dan sebagai raja, Bagagar Syah nyaris tidak mendapat banyak keistimewaan. Walaupun pernah disebut, bahwa sebagai Raja Minangkabau, Bagagar Syah menerima gaji f.200,- per bulan dan sebagai Hoofdregent (dan Regent) dia diberi gaji antara f.300,- s.d f.400,- per bulan, namun sebagaimana dilaporkan Nahuijs, Bagagar Syah hanya berpenghasilan f. 100,- per bulan. Ini bukanlah penghasilan yang ‘sangat besar’, sehingga dia tidak bisa hidup mewah.

Kemewahan memang jauh dari Bagagar Syah. Hal ini terlihat dari penampilan sehari-harinya yang relatif tidak berbeda dari penduduk biasa. Tempat tinggalnya, walaupun disebut sebagai istana, namun jauh berbeda dari gambaran orang tentang istana raja. Nahuijs menambahkan, apa yang disebut istana Raja Pagaruyung bagaikan gudang kayu yang sangat sederhana dibandingkan dengan rumah-rumah lain (Het zoogenaamde vorstelijk paleis van Pagaruyung is eene zeer onaanzienlijke houten schuur, in vergeleijking van andere huizen).

Tidak hanya memiliki kekurangan secara ekonomi dan kemewahan hidup, sebagai Raja, Hoofdregent dan Regent, Bagagar Syah juga kurang mendapat penghormatan dari penduduk. Nahuijs menyebut bahwa warga masyarakat, bahkan dari kalangan rendah sekalipun, biasa saja lalu lalang di dekatnya tanpa memperlihatkan sikap homat. Nahuijs juga mengatakan bahwa dia menyaksikan bahwa banyak rakyat yang tidak mengenal Bagagar Syah sebagai raja.

Kalaupun ingin dicari juga perbedaan antara Sang Raja, Hoofdregent dan Regent dengan penduduk biasa atau saudagar kaya, maka perbedaan itu terlihat dari adanya seorang pengiring yang membawa payung bewarna coklat serta sejumlah perangkat lain untuk keperluan Bagagar Syah. Payung berwarna cokllat (kuning)inilah sesungguhnya yang paling membedakannya dengan warga lain, karena dalam kenyataan ada juga orang Minang yang kaya yang juga didampingi (diiringi) oleh pengiring saat dia bepergian atau membawa barang-barang keperluannya.

Dengan kondisi seperti ini, bisa dipahami mengapa Bagagar Syah relatif tidak bereaksi ketika Stuers menghapuskan gelar Hoofdregent dan Raja, serta meniadakan Kerajaan Minangkabau. Di samping itu, diamnya Bagagar Syah, seperti yang disebut oleh Stuers, juga disebabkan oleh “begitu tergantungnya dia kepada kita, kitalah yang membuat dia besar dan berkuasa”.

Bila Bagagar Syah diam terhadap kebijakan Stuers, maka dia akan bereaksi keras kepada orang biasa yang dirasanya mengancam jabatannya. Hal ini terlihat dari pernyataan Stuers yang mengatakan bahwa dia terlibat dalam pembunuhan Said Salimul Jafrid. Stuers mengatakan bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuhan juru runding Arab yang juga digelari Raja Perdamaian itu, karena Said Salimul Jafrid berpotensi menggantinya sebagai Regent Tanah Datar. Said Salimul Jafrid dekat dengan Stuers dan juga mendapat dukungan dari kaum Padri ntuk menjadi Regen Tanah Datar (pendapat lain menyebut bahwa pembunuhan Said Salimul Jafrid itu didalangi oleh Tuanku Lintau atau kaum penghulu).

Pejabat Belanda lain yang tidak suka dengan Bagagar Syah adalah Elout. Residen yang mulai berkuasa sejak akhri tahun 1832 ini bahkan menuduh Bagagar Syah berkhianat kepada Belanda dan merencanakan makar terhadap pemerintah. Itu pulalah sebabnya, Muhammad Rajab dan Rusli Amran menyebut, bahwa Bagagar Syah bersama Sentot Alibasyah, Tuanku Nan Cerdik, serta sejumlah tokoh lainnya, sebagai orang-orang yang dikhianati Belanda (Elout). Elout menangkap Bagagar Syah dan kemudian mengasingkannya ke Batavia. Namun setelah ditinjau ulang, ternyata tuduhan itu tidak terbukti. Artinya, Bagagar Syah tidak pernah berkhianat kepada Belanda. Karena itu nama baiknya dipulihkan, dan selanjutnya dia diberikan tunjangan hidup yang bisa dinikmatimya sampai akhir hayatnya di Batavia.

IV

Tidak hanya Raaf, Stuers dan Elout yang memperlihatkan sikap kritis atau tidak suka kepada keluarga Kerajaan Pagaruyung, kaum adat dan Padri juga memiliki sikap yang sama. Sebagaimana disebut Kielstra, segera setelah Raaff menyetujui pengangkatan Bagagar Syah sebagai Hoofdregent dan Regent, kaum adat menyatakan ketidaksukaan mereka. Mereka merasa bahwa gelar Regent seharusnya diberikan kepada penghulu (bukan kepada keluarga kerajaan yang telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Pengangkatan Bagagar Syah sebagai Regent dianggap kaum penghulu sebagai pelanggaran terhadap hak mereka. Karena itu, akibat pengangkatan tesrebut, ada sejumlah penghulu di Tanah Datar tidak mendukung Belanda ‘sepenuh hati’.

Regen Batipuh, yang pernah menjadi ‘tangan kanan’ Belanda dalam menumpas kaum Padri, juga memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Bagagar Syah. Bahkan pasukan Regen Batipuh ini menumpas habis hulubalang-hulubalang Regen Tanah Datar (Bagagar Syah) ketika mereka melawan pemerintah beberapa waktu setelah Babagar Syah ditawan dan dibuang Batavia. Ketidaksukaan Regen Batipuh disebabkan bahwa dia sesungguhnya menginginkan jabatan Raja Minangkabau.

Sikap tidak suka terhadap keluarga kerajaan juga berasal dari kaum Padri. Tidak hanya karena peran mereka dalam ‘mengundang’ Belanda untuk memerangi kaum Padri, tetapi juga disebabkan oleh tidak diserahkannya jabatan Regen Tanah Datar kepada Said Salimul Jafrid, calon unggulan mereka, oleh Belanda. Setelah reorganisasi tahun 1825, jabatan Regent Tanah Datar tetap dipegang Bagagar Syah. Hal ini mengecewakan kaum Padri dan kekecewaan itu dilampiaskan kepada Bagagar Syah. Apalagi dikemudian hari mereka mendengar kabar bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuh Said Salimul Jafri.

Persiteruan antara Bagagar Syah khususnya dan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dengan Belanda, kaum adat (penghulu) dan kaum Padri adalah bagian dari dinamika Perang Padri. Persiteruan itu adalah sebuah pembuktian bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia politik. Hampir semua anggota keluarga kerajaan yang mendukung Belanda dan kaum adat pernah dizalimi serta dikhianati oleh Belanda dan juga dimusuhi oleh kaum adat/kaum Padri. Bagagar Syah yang mendukung Belanda memerangi Padri akhirnya dihukum dan dibuang oleh Belanda bersama dengan tokoh Padri (Tuanku Imam Bonjol) yang diperanginya. Perang Padri merefleksikan pepatah lama, habis manis sepah dibuang. Perang Padri adalah sebuah pembuktian bahwa bekerjasama dengan kolonialis tidak akan pernah berbuah manis.

Sumber:

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Lange, H.M., Het Nederlandsch Oost-Indische Leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845) (I). ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders-Muller, 1854.

Marsden, William, The History of Sumatra. London: J. M’Creery, 1811.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Djakarta: Balai Pustaka, 1964.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz. het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Ditulis oleh: Gusti Asnan