Mesjid yang Dirusak, Mesjid yang Dibangun, Mesjid yang Dilecehkan: Mesjid dalam Dinamika Perang Padri

Gerakan dan Perang Padri adalah gerakan dan perang yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai keagamaan (Islam). Para pendukung Padri melakukan aksinya dengan mengatasnamakan agama. Simbol-simbol keagamaan mereka gunakan, baik sebagai pembeda antara mereka dengan kelompok sasaran gerakan atau pihak musuh, atau untuk mengobarkan semangat juang. Untuk itu simbol-simbol agama mereka jaga dan ciptakan. Sebaliknya, simbol-simbol keagamaan menjadi sasaran serangan kelompok antipadri. Kalaupun tidak diserang, simbol-simbol agama dilecehkan oleh kelompok lawan kaum Padri.

Salah satu dari sekian banyak simbol agama (Islam) yang menjadi bagian terpenting dalam Perang Padri adalah mesjid. Mesjid pernah menjadi salah satu titik awal pecahnya perang. Mesjid pernah diruntuhkan karena dituding sebagai sumber ajaran yang merusak adat-kebiasaan. Demi menjaga kesuciannya, kaum Padri pernah membantai puluhan serdadu Belanda yang menjadikan masjid sebagai tangsi mereka. Ada banyak lagi kejadian historis lainnya tentang masjid pada masa Perang Padri. Sayangnya, selama ini faktor masjid ini nyaris tidak disinggung dalam rekonstruksi sejarah perang tersebut. Karena itu, tulisan ini mencoba mengungkapkan sejarah mesjid di Minangkabau dalam kaitannya dengan Perang Padri. Tulisan ini juga mencoba mengungkapkan bagaimana kaum Padri membina dan menjaga mesjid, serta bagaimana kelompok antipadri memperlakukan masjid. Di samping itu tulisan ini juga akan menampilkan bagaimana gambaran masjid pada saat Perang Padri.

II

Tidak ada atau nyaris tidak ditemukan informasi mengenai gambaran mesjid di Minangkabau hingga dekade ketiga abad ke-19. Minimnya informasi ini juga berkenaan dengan apresiasi dan perlakuan warga terhadapnya, serta kedudukannya dalam tatanan sosial-kemasyarakatan Minangkabau.

Minimnya informasi tersebut terutama sekali disebabkan oleh hampir tidak adanya sumber-sumber tertulis, baik yang berasal dari penulis Minangkabau atau penulis asing, yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua dari masa Perang Padri. Minimnya informasi tersebut akan semakin terlihat bila pandangan ditukikkan ke kawasan pedalaman. Karena hingga saat itu hanya ada dua orang Eropa (Thomas Dias dan Thomas Stamford Raffles) yang pernah menjejakkan kaki mereka di kawasan darek tersebut. Hingga saat itu, daerah pedalaman masih merupakan terra incognita bagi orang Barat.

Keterangan tertulis mengenai mesjid di Minangkabau sesungguhnya baru mulai tersedia sejak dimulainya Gerakan dan Perang Padri. Ada dua jenis sumber tentang itu: Pertama, sumber naskah yang ditulis oleh pelaku sejarah dari kalangan Urang Awak; dan kedua, catatan perjalanan ke Sumatra Barat atau kenang-kenangan semasa bertugas di Sumatra Barat, atau buku mengenai Perang Padri khususnya dan Sejarah Sumatra Barat pada umumnya yang dibuat oleh pelaku sejarah dari pihak Belanda. Sumber dalam bentuk naskah yang ditulis oleh Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Sanghir yang telah dialihaksarakan dan kemudian telah diterbitkan dalam bentuk buku (Naskah Tuanku Imam Bonjol: 2002) dan Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir: 2002). Sedangkan sumber-sumber yang dibuat oleh orang Belanda semuanya berbentuk buku. Ada tiga buku yang digunakan untuk penulisan ini. Buku pertama ditulis dan diterbitkan pada saat Perang Padri berlangsung (Nahuijs 1827). Buku kedua adalah karya Boelhouwer yang diterbitkan tahun 1841, namun isinya tentang pengalaman penulis pada saat perang berlangsung (1831-34). Buku ketiga dipublikasikan sekitar 10 tahun setelah perang usai, dan ditulis oleh seorang petinggi sipil dan militer Belanda pada saat Perang Padri berlangsung (Stuers 1849).

Tulisan ini membatasi pembahasannya pada penggunaan dua jenis sumber yang disebut di atas. Alasannya adalah untuk membuat rekonstruksi berdasarkan informasi dari tangan pertama, langsung dari lapangan, dan ‘apa adanya’.

III

Ada lima informasi mengenai keberadaan mesjid pada masa Perang Padri. Kelima informasi yang dimaksud adalah: pertama, mesjid sebagai tempat bermulanya konflik antara kaum Padri atau pendukung pembaharu Islam dengan kelompok Melayu (penamaan kelompok antipadri sebagaimana dikemukakan dalam banyak sumber); kedua, mesjid yang dirusak atau diruntuhkan; ketiga, mesjid yang dibangun; keempat, mesjid sebagaimana dilukiskan oleh saksi mata; kelima, mesjid diperlakukan secara tidak wajar (dilecehkan) dari fungsinya sebagai bangunan suci.

Informasi tentang mesjid yang berperan sebagai tempat bermulanya konflik ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Pemimpin kaum Padri tersebut bahkan menempatkan mesjid sebagai titik awal konflik pada bagian-bagian awal karyanya. Disebutkan bahwa pada mulanya telah ada kesepakatan antara berbagai komponen masyarakat Alahan Panjang (Bonjol) untuk mendirikan agama Allah dan Rasullullah. Namun dua bulan setelah itu sebagian warga Ganggo Mudiak dan Ganggo Hilir (dua kampung di Bonjol) membatalkan perjanjian itu. Mereka menggap bahwa perjanjian itu menghilangkan adat kebiasaan mereka (terutama mendirikan gelanggang di mana diadakan adu ayam/balam, perjudian, mengisap madat, dlsbnya). Pembatalan perjanjian tersebut terjadi di dalam mesjid saat diadakannya acara maulud di dalam mesjid. Tidak disebutkan siapa yang memulai, yang jelas pembatalan tersebut berubah menjadi cakak dan perkelahian. Mesjid sebagai rumah Allah berubah menjadi ajang perkelahian. Selanjutnya Tuanku Imam Bonjol menyebut bahwa cakak dan kelahi dalam mesjid itu berlanjut menjadi perang yang berlangsung hingga tiga bulan, perang menyebabkan jatuhnya korban kaum Padri serta kelompok Melayu.

Pada masa-masa awal Gerakan dan Perang Padri, nampaknya mesjid belum dipahami atau dihargai sebagai rumah ibadah dan rumah Allah yang mesti disucikan oleh warga, baik oleh kaum Padri atau kelompok Melayu yang antipadri. Mereka masih belum menjadikan mesjid sebagai bangunan yang bebas dari hawa nafsu dan sikap emosional.

Informasi mengenai perusakan atau penghancuran mesjid ditemukan dalam Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir (selanjutnya disebut SKSJ). Fakih Saghir menyebut tentang perusakan mesjid di Batu Tebal. Tidak hanya itu, Fakih Saghir juga menyebut bahwa suraunya juga dirusak (diruntuhkan), serta buku-buku milik surau dibuang keluar dan seluruh isi surau dirampok. Perusakan Mesjid Batu Tebal dan surau Fakih Saghir berhubungan erat dengan larangan oleh para ulama (Tuanku Nan Tuo serta Tuanku-Tuanku yang lain) terhadap adu ayam yang dilakukan warga Nagari Ampang Gadang. Para ulama melarang adu ayam karena umumnya adu ayam mengandung unsur judi dan selalu berujung dengan perkelahian. Anak Nagari Ampang Gadang tidak terima larangan para tuanku tersebut, sehingga mereka marah dan menyerang para tuanku. Karena kalah jumlah maka para tuanku terpaksa melarikan diri. Gagal menghajar para tuanku mereka menyerang mesjid dan surau, karena mereka memandang bahwa ajaran yang disiarkan lewat mesjid dan surau itulah yang menyebabkan para tuanku melarang mereka menyabung ayam.

Dalam SKSJ ditemukan banyak konflik antara para tuanku dengan warga sejumlah nagari di Sumatra Barat. Konflik-konflik tersebut umumnya berhubungan dengan ajaran yang dibawa para tuanku yang melarang warga nagari menyabung ayam, meminum tuak, mengisap madat, berjudi, merampok, menculik warga, menjua orang, dlsbnya. Informasi tentang perusakan mesjid dan surau hanya sekali disebut, namun bisa dikatakan, mesjid dan surau adalah simbol Islam yang menjadi sasaran amuk para penentang dakwah kaum pembaharu saat itu.

Informasi mengenai pembangunan mesjid ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol. Ada beberapa informasi mengenai pembangunan mesjid dalam naskah itu. Informasi pertama adalah pembangunan mesjid segera setelah terjadinya cakak dan perkelahian sebagaimana disebut di atas. Segera setelah perkelahian tersebut, kaum Padri segera mendirikan koto (permukiman) yang baru yang terletak di luar kampung. Berdasarkan infomasi ini bisa ditafsirkan bahwa mesjid, di mana cakak dan perkelahian itu terjadi, adalah ‘mesjid nagari’ yang telah ada sebelumnya, dan mesjid itu bukanlah milik kaum Padri. Hal ini dikuatkan oleh penegasan Imam Bonjol dalam memoarnya yang mengatakan bahwa perkelahian itu terjadi di mesjid orang dahulu, bukan mesjid yang sekarang.

Proses pembangunan mesjid yang baru (kaum Padri) dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pembangunan koto (unit permukimaan). Seperti disebut Imam Bonjol, pembangunan dilakukan dengan cara bergotong royong dan melibatkan banyak orang. Dikatakan bahwa dalam proses pembangunan itu ikut-serta orang dari berbagai daerah di sekitar Bonjol, Agam, Lubuk Sikaping dan Rao.

Pembangunan permukiman dan mesjid umumnya dilakukan pada masa-masa awal Gerakan atau Perang Padri. Hal ini bisa dimaklumi, karena pada masa itulah tenaga dan biaya bisa sepenuh dikerahkan dan diarahkan untuk pembangunan permukiman dan mesjid. Ketika fase gerakan berubah menjadi perang yang lebih serius, terutama sejak awal 1830-an, maka tenaga dan biaya telah beralih penggunaannya. Saat itu, tenaga dan dana sepenuhnya dialihkan untuk menghadapi musuh.

Informasi mengenai gambaran mesjid ditemukan dalam catatan perjalanan dan kenang-kenanganan selama bertugas di Sumatera Barat yang dibuat oleh orang Belanda. Seperti yang disebut di atas, dua penulis yang berkontribusi besar dalam hal ini adalah Nahuijs dan Boelhouwer. Walaupun begitu ada perbedaan narasi yang cukup prinsip di antara kedua penulis. Nahuijs hanya menyebut satu mesjid dalam bukunya dan Boelhouwer menyebut beberapa mesjid dan informasi yang disajikannya juga cukup beragam.

Nahuijs menyajikan gambaran mesjid (dinamakannya temple atau candi) yang ditemuinya di Saruaso dan menggeneralisasikan mesjid-mesjid lain di Kawasan Tanah Datar (atau juga Agam) mirip dengan mesjid yang ada di Suruaso. Ada sejumlah kesan yang disajikannya mengenai mesjid. Pertama, mesjid umumnya berukuran kecil (kleine Mohamedaansche meziegiet). Kedua, mesjid umumnya berlokasi di tempat yang tersembunyi dari mata orang banyak dan berlokasi di tempat terpencil, biasanya berada di dasar lembah-lembah kecil di luar permukiman utama. Hal ini, menurut Nahuijs, sangat berbeda dengan apa yang ditemuinya di Pulau Jawa. Di Jawa, katanya, mesjid biasanya berlokasi dekat jalan raya dan berada di lingkungan permukiman yang ramai penduduknya. Ketiga, mesjid-mesjid di Tanah Datar sekaligus tempat tinggal ulamanya (de priesters). Tinggalnya sang ulama di masjid dan di tempat terpencil sekaligus menggambarkan minim atau tidak adanya peran sosial sang ulama dalam strukur masyarakat nagari. Keempat, hampir semua mesjid biasanya dilengkapi dengan sebuah kolam kecil yang berisi banyak ikan kaluih (gurami). Walaupun tidak dikatakan Nahuijs, kolam tersebut biasanya digunakan untuk mengambil wuduk dan juga tempat mandi.

Sama dengan Nahuijs, Boelhouwer menyebut mesjid dengan istilah yang lazim digunakannya atau orang Barat terhadap rumah ibadah, yakni kerk (gereja) atau tempel (candi). Berbeda dengan Nahuijs, Boelhouwer menyajikan gambaran mesjid yang umumnya berukuran besar dan dengan kontruksi yang mengagumkan, serta berlokasi di kawasan yang cukup strategis di dalam nagari. Misalnya di Pakandangan, mesjid yang bagus berlokasi dekat pasar, di sebelah ‘alun-alun’ nagari, dan dikelilingi oleh dinding batu. Di belakang mesjid ada kolam dengan sejumlah pancuran (untuk tempat berwuduk).

Selanjutnya Boelhouwer menyebut adanya mesjid yang sangat bagus besar di Bonjol. Mesjid ini dikatakan memiliki ruang yang luas, yang bisa menampung 3.000 orang (serdadu) dan itupun masih banyak tempat yang kosong. Mesjid yang saat didatangi Boelhouwer belum sepenuhnya selesai itu berbentuk segi empat dan memiliki atap lima tingkat, yang makin ke atas semakin kecil. Atapnya terbuat dari sirap, dan di puncak atap tersebut, di ujung tiang kayu, terdapat sebuah bulatan yang kelihatannya menyerupai bola perak. Logam mengkilap tersebut, yang diyakini bukan terbuat dari perak, juga dipasang pada keempat parabuangan atap mesjid.

Boelhouwer mengatakan bahwa masjid itu tingginya dua kaki dari tanah dan memiliki lantai papan. Mesjid ini memiliki tiang utama (soko guru) yang besarnya tiga kali tubuh lelaki dewasa. Tiang utama tersebut merupakan titik tumpu dari sejumlah balok yang digunakan untuk menyangga atap.

Selanjutnya Boelhouwer memperlihatkan kekagumannya pada masjid yang dikatakannya sebagai bangunan raksasa itu. Dia kagum karena seluruh pengerjaan dilakukan dengan tangan tanpa peralatan yang canggih. Dia kagum pada pengerjaan yang tanpa menggunaan seng, besi dan paku. Dia juga memuji tukang yang mengerjakan pembuatan masjid tersebut.

Mesjid yang diceritakan Boelhouwer ini adalah masjid yang baru dibangun (bahkan belum sepenuhnya selesai). Di samping itu, Boelhouwer juga menyebut ada masjid lama (tua) di Bonjol.

Boelhouwer juga mengatakan bahwa masjid dibangun di pusat permukiman Padri dalam benteng (benteng juga disebut bonjol dalam bahasa Minangkabau lama). Dalam benteng itu juga ada sejumlah rumah yang didiami warga dan juga para pemimpin Padri. Permukiman ini juga dilengkapi dengan banyak kolam yang penuh dengan ikan gurami. Di samping tempat memelihara ikan, kolam-kolam tersebut juga digunakan sebagai tempat mengambil wuduk, dan juga prasarana sanitasi lainnya.

Ada dua lagi masjid dengan gambaran yang hampir sama dengan masjid di Bonjol yang dikisahkan Boelhouwer dalam bukunya. Kedua masjid itu ditemukannya di Lundar dan Padang Matinggi. Kedua daerah itu adalah daerah kaum Padri.

Lukisan Sebuah Mesjid di Pedalalaman Minangkabau pada Abad ke-19

(Sumber: Veth, P.J., Midden Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879, Derde Deel: Volksbeschrijving en Taal, 1ste Gedeelte, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).

Dari karya Nahuijs dan Boelhouwer di atas dapat kita katakan bahwa di daerah inti Minangkabau (Tanah Datar) masjid umumnya berukuran kecil, terletak di kawasan yang terpencil, dan bukan merupakan bangunan yang memiliki arti sosial-keagamaan yang istimewa. Sebaliknya di daerah rantau umumnya (termasuk juga Pariaman), dan di daerah Padri khususnya, masjid merupakan bangunan yang istimewa, berukuran besar, megah, dengan arsitektur yang sophisticated untuk masanya, berlokasi di tempat strategis dan dilengkapi dengan prasarana sanitasi yang baik.

Informasi mengenai pelecehan terhadap masjid ditemukan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol dan Boelhouwer. Naskah Tuanku Imam Bonjol mengatakan pelecehan dilakukan oleh tentara Belanda, di mana mereka menjadikan mesjid sebagai tempat tinggal (tangsi), memasukkan anjing ke dalam masjid, dan mengambil ikan yang dipelihara dalam kolam masjid. Menurut Imam Bonjol, dijadikan mesjid sebagai tempat tinggal menyebabkan pelaksanaan ibadah warga menjadi terganggu, bahkan akhirnya warga tidak bisa lagi shalat di masjid lagi.

Imam Bonjol juga menyebut bahwa sejumlah masjid di Lubuk Sikaping, Rao, Padang Matinggi, Payakumbuh, dan sejumlah nagari lainnya juga dijadikan sebagai tempat tinggal (tangsi) dan gudang oleh tentara Belanda. Imam Bonjol mengatakan bahwa perlakukan seperti itu adalah tindakan pelecehan atau bahkan penghinaan terhadap mesjid sebagai bangunan suci umat Islam.

Dijadikan masjid sebagai tempat tinggal juga disebut oleh Boelhouwer. Dia mengatakan, bahwa di banyak tempat, para serdadu langsung menuju mesjid untuk bermalam. Boelhouwer juga menyebut bahwa pemakaian mesjid sebagaitempat tinggal bagi tentar aBelanda juga membuat mesjid tidak bisa difungsikan warga untuk tempat ibadah, bahkan kolam dan tempat mandi di mesjid (pancuran) juga tidak bisa lagi digunakan warga. Dengan kata lain, akses warga ke mesjid menjadi terputus.

Pelecehan terhadap mesjid, dan juga kezaliman-kezaliman lain yang dilakukan tentara Belanda membuat warga Bonjol marah. Mereka tidak bisa merima penodaan terhadap masjid mesjid. Sikap ini akhirnya menyebabkan warga melawan.

Pada suatu malam, mereka menyerbu tentara yang tinggal di mesjid. Sebanyak 10 orang pejuang Padri, dibawah pimpinan tuo dubalang yang bergelar Tuanku Garang dan Rajo Layang mereka menyerang tentara yang tinggal di mesjid. Hampir semua tentara yang mereka serang, baik serdadu Jawa dan Belanda, mati semua. Bahkan Tuan Regen, yang semula pendukung Padri dan mendapat rekomendasi pemimpin Padri untuk diangkat menjadi Regen, yang mencoba membela tentara Belanda juga kena amuk dan mengalami luka-luka sehingga akhirnya juga tewas.

Informasi yang disajikan Tuanku Imam Bonjol, memperlihatkan apresiasi warga (terutama kaum Padri) terhadap mesjid, bahwa mereka marah atau melawan kalau mesjid dinodai. Karya Imam Bonjol sekaligus menginfomasikan bahwa kaum Padrilah kelompok masyaraklt di Minangkabau yang mengawali pemberian penghargaan yang tinggi pada mesjid.

IV

Informasi yang disajikan penulis Urang Awak dan Belanda memberikan pemahaman pada kita bahwa sesungguhnya pembangunan mesjid dalam ukuran besar dengan arsitektur yang mengagumkan marak dilakukan segera setelah dimulainya Gerakan Padri dan pada hari-hari pertama meletusnya Perang Padri. Mesjid-mesjid dalam ukuran besar dan megah banyak dibangun di daerah-daerah yang dikuasai kaum Padri.

Pembangunan umumnya dilakukan ‘untuk meningkatkan marwah’ masjid, untuk menampilkan mesjid sebagai sebuah bangunan suci dan rumah ibadah yang memiliki arti yang penting dalam tatanan sosial-keagamaan warga.

Pembangunan masjid nampaknya menjadi bagian dari dakwah kaum Padri.

Di sisi lain, perlu juga disadari, bahwa hingga masa Perang Padri, mesjid sesungguhnya masih belum atau tidak memiliki arti istimewa bagi kalangan kelompok Melayu. Bahkan mereka tega merusak (menghancurrkan) masjid. Di samping itu, kalau pun ada bangunan masjid di daerah-daerah yang didominasi kelompok Melayu, maka bangunannya kecil, jauh dari keramaian, dan berlokasi di tempat-tempat yang sukar didatangi. Kaum ulamanya di kawasan mereka juga belum atau tidak memiliki peran sosial-kemasyarakatan yang berarti.

Orang Belanda melecehkan masjid bisa saja disebabkan oleh tiga alasan: Pertama, kurangnya pemahaman mereka akan arti mesjid di kalangan umat Islam; kedua, mereka melecehkan mesjid karena meniru atau didukung oleh kelompok Melayu yang juga melecehkan mesjid; ketiga, sebagian bagian dari strategi perang mereka, perang melawan kaum Padri adalah juga perang agama, dalam mana simbol-simbol agama juga ikut diperangi oleh orang Belanda.

Pelecehan terhadap mesjid menjadi salah satu faktor bangkitnya perlawanan kaum Padri terhadap Belanda dan para pendukungnya. Belajar dari perlawanan yang dilakukan kaum Padri pulalah akhirnya pemerintah Belanda yang berkuasa di Sumatra Barat pascapadri menerapkan politik membiarkan pembanguan masjid yang dlakukan oleh orang Minang. Itu pulalah sebabnya, dalam sejarah Islam di Minangkabau ditemuka fase pembangunan masjid-mesjid besar dan indah pada kurun waktu setelah perang. Tidak hanya itu, mesjid sebagai salah satu syarat keberadaan sebuah nagari (babalai bamusajik, balabuah batapian tampek mandi), dan kemudian pembangunan mesjid di lokasi yang strategis di pusat nagari, diperkirakan muncul segera setelah Perang Padri berakhir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Perang Padri memiliki arti sendiri dalam sejarah mesjid di Sumatra Barat.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir (Penyelenggara), Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I). Amsterdam: P. Baeumer & Co., 1849.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).

Ditulis oleh Gusti Asnan