Selama ini lazim diketahui bahwa hanya ada dua kelompok masyarakat yang terlibat dalam Perang Padri, yaitu orang Minang dan Belanda. Informasi ini kurang tepat, karena ada kelompok-kelompok masyarakat lain yang berperan dalam perang tersebut. Tidak itu saja, keterlibatan dan peran mereka cukup dalam dan penting, serta juga ada pengalaman historis mereka yang relatif unik, yang manusiawi. Sampai taraf tertentu pengalaman tersebut menjadi ‘legacy’ dan pengetahuan sejarah orang Minang dewasa, ‘legacy’ dan pengetahuan sejarah yang pantas untuk direnungkan atau dibuktikan lebih lanjut.
Simplifikasi rekonstruksi sejarah yang hanya menampilkan dua kelompok masyarakat sebagai aktor Perang Padri dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan historiografis. Dikatakan kegagalan, karena ada aspek-aspek faktual dari peristiwa historis tersebut yang tidak terungkap secara utuh.
Tulisan ini mencoba menelusuri dan mengungkapkan adanya kelompok-kelompok masyarakat lain, bangsa-bangsa atau suku-suku bangsa lain yang terlibat dalam perang tersebut. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, di antaranya: Bangsa-bangsa dan suku bangsa-suku bangsa apa sajakah yang terlibat dalam perang itu? Bagaimana gambaran tentang masing-masing bangsa dan suku bangsa yang terlibat dalam perang tersebut? Apa peran yang mereka lakoni? Bagaimana kenangan atau warisan kehadiran mereka bagi daerah ini?
II
Perang Padri adalah perang yang memaksa kedua pihak yang bersiteru untuk menampilkan kehebatan tentara, persenjataan, serta strategi dan taktik perang mereka. Belanda sebagai pihak yang memicu perang dan sangat berkepentingan dengan (pemenangan) perang itu menampilkan sebaik mungkin semua aspek yang disebutkan di atas. Kaum Padri, sebagai pihak yang dipaksa Belanda untuk berperang juga tidak mau kalah, mereka juga menampilkan perlawanan yang terbaik yang bisa mereka lakukan.
Ikhtiar Belanda untuk memenangkan perang terlihat dari peningkatan jumlah tentara pada tahun-tahun permulaan perang. Kemudian mengubah strategi dan taktik perang konfrontatis pada saat mereka mesti memboyong tentaranya ke Jawa untuk mengakhiri Perang Diponegoro, serta menambah jumlah tentara kembali serta mengubah strategi perang, termasuk menghalalkan segala macam cara demi memenangkan perang sejak awal tahun 1830-an.
Pada saat Belanda mulai berkuasa kembali (1819), jumlah tentaranya relatif sedikit, hanya sebanyak 150 orang dari kesatuan infantri dan 12 orang dari kesatuan artileri (orang Eropa). Tentara sebanyak ini datang dari Batavia bersamaan dengan kedatangan Du Puy sebagai Residen untuk daerah ini tanggal 17 Mai 1819. Jumlah ini ditambah lagi dengan sejumlah mantan tentara Inggris yang sudah ada di daerah ini, yang diserahkan kepada penguasa Belanda. Sebagian mereka berasal dari kesatuan tentara yang ditinggalkan di Benteng Simawang serta kesatuan tentara yang ditinggalkan di Natal. Mantan tentara Inggris ini terdiri dari orang India (Sipahi dan Benggala) serta Bumiputra (Inlandsch). Mereka berasal dari kesatuan infantri dan artileri.
Total kekuatan Belanda pada hari-hari pertama kekuasaannya adalah sebanyak 315 orang yang terdiri dari 8 perwira dan 307 serdadu (gabungan dari tentara ‘asli’ Belanda dan mantan tentara Inggris).
Pada akhir 1821, datang bala bantuan dari Batavia. Bala bantuan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel A.T. Raaf ini berjumlah 191 orang, yang terdiri dari 4 perwira dan 187 tentara. Sehingga bila digabungkan dengan tentara yang telah ada sebelumnya maka jumlahnya menjadi 12 perwira dan 494 serdadu. Rinciannya adalah 284 orang dari kesatuan infantri (Eropa), 20 orang dari kesatuan artileri (Eropa), 50 orang Benggala/Sipahi, 96 orang dari kesatuan infantri (Bumiputra), dan 11 orang dari kesatuan artileri (Bumiputra).
Setahun kemudian, dikirim lagi bala tentara sebanyak 10 perwira dan 350 tentara dari kesatuan infantri, serta 50 orang tentara dari kesatuan artileri. Bala bantuan yang didatangkan tahun 1822 itu sebanyak 206 orang berasal dari Batavia dan 204 orang berasal dari Surabaya.
Tahun 1823 dikirim lagi sebanyak 256 orang tentara ke daerah ini. Dari jumlah itu 8 orang perwira dan 193 orang serdadu Eropa serta 62 orang serdadu Bumiputra.
Pada tahun 1825, sebagai realisasi dari Traktat London, Inggris betul-betul meninggalkan Sumatra dan menyerahkan kekuasaannya di pulau ini kepada Belanda. Tidak hanya itu, Inggris juga meninggalkan (menyerahkan) tentaranya sebanyak 900 orang tentara India (Benggala/Sipahi) dan 80 orang tentara Eropa kepada Belanda.
Data di atas menyebut bahwa pada hari-hari pertama kekuasaannya tentara Belanda terdiri dari orang Eropa, orang India, dan Melayu (sejumlah suku bangsa di Nusantara yang non-Minang). Sayangnya, berbagai sumber sejarah tentang kekuatan tentara Belanda pada hari-hari pertama kekuasaan mereka di daerah ini tidak menyebut secara lebih terperinci mengenai bangsa-bangsa Eropa mana saja yang bergabung ke dalam kesatuan tentara Europeanen (orang Eropa) ini, dan suku-suku bangsa apa saja yang tergabung kedalam kelompok Inlandsch (Bumiputra/Melayu). Namun berdasarkan sumber-sumber sejarah yang terbit kemudian diketahui bahwa di samping orang Belanda, kesatuan tentara yang tergabung kedalam kelompok Europeanen juga terdiri dari orang Perancis, Jerman dan Inggris. Sedangkan kesatuan tentara yang tergabung ke dalam kelompok Inlandsche terdiri dari orang Bugis, Gorontalo, Jawa, dan Madura. Seperti yang disebut di atas, satu bangsa lagi yang juga menjadi bagian terpenting dari tentara Belanda adalah orang India (Sipahi/Benggala).
Memasuki tahun 1830-an ada perubahan yang cukup penting dalam komposisi tentara Belanda ini. Boelhouwer menyebut bahwa pada kurun waktu itu ada sejumlah opsir China dalam ketentaraan Belanda, suatu informasi yang nyaris belum pernah dikemukakan selama ini. Opsir-opsir China tersebut tiba bersamaan dengan kedatangan pasukan bantuan yang dipimpin oleh Jendral Mayor Riesz. Sayangnya tidak diketahui informasi di daerah mana saja mereka ikut bertempur melawan lasykar Padri dan juga tidak diketahui jumlah pasti opsir-opsir China tersebut.
Jumlah tentara Belanda yang berasal dari berbagai bangsa dan suku bangsa tersebut senantiasa berubah sepanjang sejarah Perang Padri. Perubahan ini ada hubungannya dengan ‘rotasi’ penempatan serdadu tersebut. Jumlah yang paling banyak adalah tentara dari bangsa Belanda. Tentara yang berkewarganegaraan Perancis pernah tercatat sebanyak 52 orang, Jerman 22 orang dan Inggris 120 orang. Tentara Jawa, sebelum Barisan Sentot datang sebanyak 200 orang, Madura 100 orang, Bugis 112 orang, Gorontalo 151 orang.
Perang Padri diawali oleh pendudukan Benteng Simawang dan penyerangan Sulit Air oleh Belanda. Pendudukan Benteng Simawang dilakukan tanggal 29 Februari 1821 dan penyerangan Sulit Air terjadi tanggal 28 April 1821.
Casus belli perang yang kemudian berlanjut hingga sekitar dua dekade lamanya itu adalah Perjanjian 20 Februari 1821. Intisari perjanjian tersebut adalah permintaan bantuan yang diajukan oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar Syah (Pagaruyung), Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam (Saruaso), serta sekitar 120 penghulu dari kawasan Tanah Datar kepada Belanda agar mereka dibantu menghadapi kaum Padri. Mereka meminta bantuan Belanda karena mereka mengaku telah dizalimi oleh kaum Padri. Sebagai imbalannya, mereka menjanjikan akan menyerahkan alam Minangkabau kepada Belanda dan membantu Belanda memerangi kaum Padri.
Karena itu, berdasarkan perjanjian tersebut, anak-kemenakan para penanda tangan Perjanjian 20 Februari 1821 tersebut, yang membantu Belanda dalam menyerang kaum Padri, yang dalam literatur Belanda disebut sebagai Maleiers, Gewapene Maleiers, atau Hulp benden, adalah juga bagian dari tentara Belanda.
Jumlah tentara ninik mamak yang berasal dari Tanah Datar ini juga tidak diketahui dengan pasti. Berbagai tulisan tentang tentara niniak mamak ini menyebut bahwa jumlah mereka pernah mencapai 6.000 orang atau 7.000 orang, dan bahkan pernah dalam sebuah penyerbuan (ke Tanjung Barulak) jumlahnya mencapai 15.000 orang.
Bila pada awalnya tentara ninik mamak ini hanya terbatas pada anak kemenakan para penghulu dari Tanah Datar, maka pada perkembangan selanjutnya, mereka juga berasal dari hampir seluruh nagari di Minangkabau. Sehubungan dengan itu jumlahnya juga meningkat dengan sangat signifikan.
Keberagaman bangsa dan suku bangsa tentara Belanda ini tetap berlanjut pada tahun-tahun 1830-an. Kalau ada perbedaan adalah adanya penambahan jumlah pasukan dari suku bangsa Jawa yang cukup besar (639 orang), sekaitan dengan kedatangan pasukan Sentot Ali Basya. Lengkapnya, Barisan Sentot ini terdiri dari 1 mayor (pangeran), 3 kapten (raden temenggung), 2 letnan pertama (temenggung tua), 20 letnan dua (temenggung muda), 178 kopral (ngabehi), 16 orang pemain musik (tambur dan trompet), 375 orang prajurit.
Satu lagi warga bangsa asing yang juga menjadi bagian penting dalam perang yang dijalankan Belanda melawan kaum Padri adalah orang Arab. Tidak sama dengan keterlibatan bangsa dan suku bangsa yang lain, yang lebih terlibat pada aksi militer, maka keterlibatan bangsa Arab lebih terbatas pada bidang diplomasi. Sosoknya juga bukan tukang perang, tetapi ulama atau syekh dengan simbol-simbol keagamaan.
Dengan demikian, tentara dan aktor-aktor yang menjadi bagian dari imperialis Belanda sangat banyak macam ragamnya. Ada bangsa asing (Eropa, India dan Arab), ada suku-suku bangsa dari Nusantara non-Minang, dan ada Urang Awak.
Berbeda dengan pendukung Belanda yang sangat banyak macam ragam bangsa dan suku bangsanya, maka kekuatan Padri lebih terbatas pada orang Minangkabau dan Batak (Tapanuli). Jumlahnya dikatakan sumber Belanda ‘tidak terhitung’ banyaknya. Ada juga yang mengatakan bahwa Sebagian besar orang Minang adalah pendukung Padri. Di samping itu, pada tahun-tahun pertama perang, kaum Padri juga mendapat bantuan dari orang Aceh. Jadi tentara Padri hanya terdiri dari tiga suku bangsa dan ‘lokal’ sifatnya.
Aneka ragam bangsa dan suku bangsa yang terlibat dalam perang tersebut akan menghadirkan warna dan situasi perang yang relatif beragam pula. Apa saja pengalaman dan suasana perang itu?
III
Perang Padri adalah peristiwa politik. Sebagai sebuah peristiwa politik, maka aspek ‘kepentingan’ menjadi yang dominan dalam berbagai sikap, tindakan, keputusan atau juga penilaian yang dilakukan. Karena itu setiap penilaian yang dikemukakan oleh masing-masing pihak terhadap ‘lawan’ mereka umumnya didasari oleh kepentingan masing-masing. Namun, sebagai manusia yang juga memiliki nurani, akal, dan budi, maka ada saat-saat tertentu dimana rasionalitas mereka yang tampil, sehingga muncullah penilaian terhadap lawan yang lebih jujur.
Secara umum, penilaian yang diberikan oleh orang Belanda terhadap kaum Padri adalah jelek. Penilaian yang paling sering diajukan adalah kaum Padri merupakan kaum fanatik, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksi (dakwah) mereka. Tetapi bila dibaca dengan saksama, juga ada sejumlah tulisan yang menampilkan bahwa kaum Padri sebagai orang yang disiplin, bersih, setia kawan, membela (dan menegakkan) kebenaran serta mencegah kemungkaran. Mereka adalah kaum yang taat beribadah, bila hampir masuk waktu shalat maka mereka akan menghentikan semua kegiatannya. Bila dipaksa juga bekerja, mereka akan melawan. Mereka lebih takut kepada Tuhan (Allah) daripada manusia (Belanda atau kelompok tentara yang mendukungnya). Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Boelhouwer.
Sementara itu, Urang Awak yang mendukung Belanda digambarkan oleh penulis Belanda sebagai pendukung yang setia. Namun ada juga penulis Belanda yang kritis memberikan penilaian sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa Gewapene Maleirs ini adalah orang-orang yang penakut. Biasanya sebelum penyerangan dimulai, mereka berakting akan melakukan ini-itu pada saat pertempuran nanti. Mereka juga memperagakan bahwa mereka kebal senjata. Namun ketika pertempuran berlangsung mereka hanya berada di belakang, tapi mereka akan sangat garang merampok dan mengganyang kaum Padri setelah kaum Padri tersebut terdesak oleh tentara Belanda dan tentara pendukungnya yang non-Minang. Tidak itu saja, beberapa dari mereka dikatakan sebagai pengkhianat. Mereka tega mengkhianati kawan atau warganya demi kepentingannya sendiri. Informasi seperti ini dikemukakan oleh Stuers, Boelhouwer, Kielstra, Rusli Amran, dlsbnya.
Tentara Belanda digambarkan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya sebagai orang yang jahat dan juga baik (bahkan dianggap sahabat). Mereka dianggap jahat karena memerangi kaum Padri dan mengganggu aktivitas ekonomi serta keagamaan kaum Padri. Pernyataan ini diucapkan Tuanku Imam Bonjol karena ulah sejumlah tentara Belanda yang mengambil harta benda orang Bonjol dan menjadikan mesjid sebagai ‘markas’nya. Di samping itu, pandangan bahwa Belanda jahat tentu didasarkan pada perlakukan Belanda yang memerangi kaum Padri dan menzalimi kaum Padri. Walaupun demikian, Tuanku Imam Bonjol juga menganggap orang Belanda (Elout) sebagai sahabat karena bersikap baik kepadanya. Dia bahkan mempercayai pemimpin tentara itu serta mau berunding dan menerima beberapa tawaran Elout untuk berdamai. Tidak itu saja, Tuanku Imam Bonjol juga pernah mempercayai dan menjalin hubungan yang baik de Stuers melalui juru rundingnya van den Berg.
Diakhir perlawanannya, pada tahun 1837 Tuanku Imam Bonjol juga mempercayai tawaran pejabat Belanda (Steinmez) untuk berunding. Kepercayaan yang akhirnya mengantarkannya ke pembuangan. Dia dikhianati oleh pejabat kolonalis (termasuk Residen Francis), yang menghalalkan segala macam cara demi kekuasaannya. Dia tidak diajak berunding, tetapi ditangkap dan kemudian di buang ke Cianjur, Ambon dan terakhir ke Lotak.
Beberapa catatan penulis Belanda juga menampilkan pandangan negatif kaum Padri terhadap orang Belanda dan tentara bantuan Belanda yang terdiri dari beragam bangsa dan suku bangsa. Sebaliknya di mata penulis Belanda, para tentara bantuannya ini digambarkan sebagai kawan yang sangat loyal. Khusus untuk tentara Jawa dan Madura digambarkan sebagai kesatuan yang sangat setia. Pandangan seperti itu ditemukan dalam banyak tulisan penulis Belanda, salah satu diantaranya Nahuijs. Dia menggambarkan bagaimana setia dan loyalnya tentara Madura yang ditempatkan di Kayutanam, dan di tempat-tempat lain yang dia temui. Sejumlah penulis Belanda yang lainnya, seperti Stuers, Boelhouwer, Hoyers, Kielstra, dan Colijn juga mengungkapkan kesetiaan dan loyalnya sejumlah tentara Madura, Jawa, dan Bugis yang bertempur di daerah pedalaman.
Salah satu pandangan yang negatif dari pejabat dan penulis Belanda tentang keberadaan tentara Jawa, khusus komandannya, adalah pandangan terhadap Sentot Ali Basya. Dalam sejumlah literatur era Perang Padri disebutkan bahwa Sentot adalah seseorang yang senantiasa tampil dengan gaya ‘wah’, bak ‘bangsawan’, cenderung arogan, serta kurang atau tidak pandai menempatkan dirinya dalam pergaulan dengan pejabat tinggi (Residen) Belanda. Sentot akhirnya dituding tidak setia dan berkianat kepada Belanda. Tudingan tersebut menyebabkan dia disingkirkan ke Bengkulu.
Ada banyak lagi kesan dan pandangan tentang masing-masing pihak (tentara atau tokoh) yang terlibat dalam Perang Padri. Kesan serta pandangan tersebut ‘sangat dinamis’, bisa saja pada suatu saat digambarkan sangat negatif, namun pada saat lain ditampilkan dengan sangat baik. Itulah politik.
IV
Di samping tentara, ada satu lagi aktor Perang Padri, yaitu juru runding. Juru runding adalah sosok-sosok yang umumnya digunakan oleh Belanda untuk mendekati kaum Padri. Juru runding sangat berperan pada saat pertama mereka terlibat dalam Perang Padri dan pada saat mereka mengendorkan serangannya terhadap kaum Padri (pada saat tentaranya ditarik ke Pulau Jawa untuk menghadapi Diponegoro).
Dalam kesempatan ini akan dikemukakan adanya dua kelompok masyarakat (bangsa) yang digunakan Belanda sebagai juru runding mereka. Kedua bangsa itu adalah orang Arab dan orang Belanda. Pemanfaatan orang Arab sebagai juru runding adalah bagian dari kecerdikan Belanda. Mereka menggunakan jasa orang Arab, yang Islam dan dihargai serta disegani oleh kaum Padri sebagai juru runding mereka.
Ada dua orang Arab yang dikenal sebagai juru runding Belanda, yaitu Syeikh Achmad dan Said Salimoel Jafrid. Syeikh Achmad dimanfaatkan pada tahun-tahun pertama keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, sedangkan Said Salimoel Jafrid dimanfaatkan pada saat Belanda mengurangi tensi perangnya dengan Belanda, saat tentaranya ditarik ke Pulau Jawa.
Pekerjaan Said Salimoel Jafrid diakui Belanda jauh lebih berhasil dibandingkan dengan Syeikh Achmad. Melunaknya sikap kaum Padri pada tahun-tahun pertama parohan kedua 1820-an ada hubungannya dengan kerja Said Salimoel Jafrid ini. Karena itu tidak salahlah kiranya jika Belanda memberikan apresiasi khusus kepadanya. Apresiasi itu diwujudkan dengan pemberian gelar Raja Perdamaian. Tidak hanya itu, Said Salimoel Jafrid bahkan digadang-gadang akan menjadi Regen Tanah Tanah Datar. Namun sayang, tanggal 1 April 1829 Raja Perdamaian ini tewas terbunuh, Steurs menduga kematiannya ada hubungannya dengan kecemburuan sang Regen yang akan digantikannya dan sang Regen itu dicurigai terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Juru runding yang berasal dari orang Belanda adalah van den Berg. Dia adalah seorang saudagar yang telah lama beraktivitas di daerah ini. Dia adalah mantan pegawai EIC dan telah menjadi mitra dagang kaum Padri khususnya dan pedagang Minangkabau dari daerah pedalaman pada umumnya. Karena itu perundingan yang dimediasi van den Berg juga berlangsung mulus dan membuahkan hasil yang diharapkan oleh Belanda. Hasil perjanjian tersebut antara lain tidak adanya serangan kaum Padri yang serius terhadap Belanda selama penarikan tentara ke Pulau Jawa (Perang Diponegoro).
Kisah menarik lainnya dari era Perang Padri adalah adanya seorang serdadu Belanda berbangsa Perancis yang sempat menjadi mualaf. Dia adalah seorang anak muda yang sejak dari Perancis sudah memiliki ketertarikan yang besar terhadap dunia timur dan Islam. Dia bahkan telah mempelajari Bahasa Arab serta sejarah dan budaya Timur (Islam) sejak sebelum bergabung dengan tentara Belanda. Suatu saat dia tertangkap oleh kaum Padri dan kemudian menjadi mualaf. Perkembangan ini tidak disukai oleh komandannya, sehingga diupayakannya mengembalikannya ke kesatuan induknya. Atas bantuan ‘orang Melayu’ kaki tangan Belanda dia berhasil dibawa keluar dari lingkungan Padri, setelah dihukum dia ‘kembali’ orang biasa lagi. Sayang Boelhouwer tidak memberi tahu siapa nama orang Perancis yang sempat menjadi mualaf ini.
Informasi lain yang berkenaan dengan keberadaan tentara ‘asing’ ini di Minangkabau dan menarik untuk diungkapkan adalah tentang pengetahuan sejarah masyarakat yang ‘menduga’ bahwa adanya jalinan kasih antara tentara ‘asing’ itu dengan perempuan Minang. Salah satu diantaranya adalah jalinan kasih antara tentara India yang ditempatkan di Semawang dengan perempuan di kawasan itu. Mitos tentang asal-usul sejumlah orang Tanah Datar yang memiliki warna kulit seperti orang-orang Sipahi adalah salah satu contoh pengetahuan masyarakat tentang jalinan kasih antara Orang Kaliang tersebut dengan perempuan Minang. Pengetahuan sejarah yang sama sesungguhnya berkembang luas di Sumatera Barat, karena ada banyak tentara India yang ditempatkan di daerah ini, dan mereka memiliki kebutuhan biologis.
‘Mitos’ yang sama juga berkembang di banyak daerah tentang adanya asal-usul sejumlah keluarga atau kelompok masyarakat (kampung/nagari) yang dikaitkan dengan orang Belanda dan juru runding Arab. Misalnya postur dan warna kulit sejumlah Urang Awak yang kebarat-baratan (dikaitkan dengan adanya jalinan kasih antara tentara Belanda dengan perempuan tempatan di masa dulu), atau postur dan warna kulit sejumlah orang Minang yang kearab-araban (dikaitkan dengan adanya jalinan kasih antara perempuan tempatan dengan aktor Arab yang berperan dalam Perang Padri).
Satu lagi pengetahuan sejarah tentang asal usul Urang Awak dikaitkan dengan keberadaan tentara Jawa (Barisan Sentot). Seperti disebut sebelumnya, Barisan Sentot ini ditinggalkan oleh komandannya di Sumatera Barat dan mereka tetap di sini setelah perang usai. Bagi yang ‘bujangan’ pasti ada dari mereka yang mencari pasangan hidup di daerah ini, atau diminta menjadi sumando oleh mamak-mamak sejumlah perempuan Minang. Anak keturunan merekalah yang menjadi Jawa Minang (Jamin) versi awal.
Keberagaman bangsa dan suku bangsa tentara Belanda atau pejuang Padri adalah kenyataan historis yang selama ini kurang atau tidak terungkap dalam kajian sejarah Perang Padri. Perlu kajian yang lebih mendalam tentang keberadaan dan aktivitas mereka. Termasuk juga ‘legacy’ yang mereka tinggalkan, ‘legacy’ tentang adanya adanya ‘darah asing’ yang mengalir dalam sejumlah keluarga atau kelompok warga Minang.
Sumber:
Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.
Carthaus, Emil, Aus dem Reich von Insulinde, Sumatra und Malaiische Archipel. Leipzig: Verlag von Willem Friedrich, 1891.
Colijn, H., Neerlandsch Indie, Land en Volk, Geschiedenis en Bestuur, Bedrijf en Samenleving (2de Deel). Amsterdam: Elsevier, 1913).
De Stuers, H.J.J.L., Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.
Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1836-1840” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 39 tahun 1890, hal. 127-21; 263-348.
— , “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 38 tahun 1889, hal. 467-514.
— , “Sumatra’s Westkust van 1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 37, tahun 1888, hal. 216-380.
— , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No. 36 tahun 1887, hal. 7-163.
Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.
Ditulis oleh Gusti Asnan