Dalam banyak literatur dinyatakan bahwa orang Indonesia adalah bangsa pelaut. Dalam lagu didendangkan bahwa orang Indonesia adalah keturunan para pelaut. Di alam nyata, jauh panggang dari api.
Sejak beberapa abad yang lalu orang Indonesia lebih menumpukan hidup dan kehidupan mereka pada tanah darat. Aspek-aspek kebudayaan dan peradaban agraris tumbuh dan berkembang dengan pesat. Secara kuantitatif, sangat sedikit orang Indonesia yang terlibat dalam kegiatan/pekerjaan yang berhubungan dengan laut. Dari yang sedikit itu, kualitas keterlibatan mereka juga relatif rendah. Kenyataan ini akan semakin terlihat dari berbagai catatan/data statistik yang disajikan akhir-akhir ini. Sekitar 96 % muatan angkutan laut dari Indonesia ke luar negeri diambil kapal asing dan sekitar 46.8 % muatan laut dalam negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing. Dari seluruh angkutan ekspor Indonesia hanya 4 % yang menggunakan kapal nasional. Sektor perikanan hanya menyumbang 2 % dari GDP Indonesia (dengan nilai kurang dari 2 milar dollar AS). Nilai ini sangat jauh di bawah Thailand (4,2 miliar dollar AS), padahal Negeri Gajah Putih itu hanya memiliki garis pantai sepanjang 2.600 km atau hanya 3 % panjang pantai Indonesia. TNI-AL yang seharusnya memiliki 300 kapal cobatan hanya punya 130 buah kapal yang umumnya tua dan rapuh. Thailand memiliki kapal induk, kapal combatan Indonesia hanya jenis korvet. Malaysia punya kapal selam canggih jenis Scorpene buatan Perancis dan Indonesia hanya punya dua kapal usang buatan 1960-an dan awal 1970-an yang tidak bisa optimal digunakan (karena kekurangan suku cadang). Dan ada banyak data lain yang membuat kita miris membacanya.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, hal yang sama juga berlaku di Minangkabau. Sejatinya, orang Minang adalah bagian dari bangsa pelaut. Namun dalam kenyataan, orang Minang dirasakan lebih identik dengan masyarakat agraris. Sama dengan yang terjadi pada lingkup Indonesia, aspek-aspek kebudayaan dan peradaban agraris juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan orang Minang dewasa ini. Tradisi bersawah, berkebun dan berladang serta beternak menjadi identitas orang Minang. Kedudukan seseorang diukur dari luasnya sawah, kebun dan ladang serta banyak ternak yang dimiliki. Sektor perikanan terabaikan dan kaum nelayan atau perkampungan nelayan sangat jauh dari gambaran sejahtera. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dicatat dan dikemukakan dalam berbagai risalah sejarah daerah umumnya meliputi peristiwa yang terjadi di tanah darat. Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan laut, nyaris tidak terungkap. Lagu-lagu tentang laut orang Minang hanya “ratok” kesedihan dan kegagalan semata.
Kenyataan-kenyataan di atas menjadi pertanyaan bagi orang yang berpikiran kritis. Benarkah kita keturunan para pelaut? Kalau benar apakah buktinya (di mana buktinya bisa ditemukan)? Dan mengapa tradisi bahari itu bisa lenyap?
Tulisan ini mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena Indonesia terlalu luas maka – sebagai langkah awal – jawaban terhadap pertanyaan tersebut lebih difokuskan pada suku bangsa Minangkabau. Namun berbeda dari kecenderungan kajian sejarah “moderen”, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dicarikan jawabannya pada karya sejarah tradisional orang Minang, yakni tambo. Dengan menggunakan metode hermeunistik, informasi yang disajikan tambo dicoba untuk digunakan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas. Tambo dipakai sebagai sumber jawaban karena karya sejarah ini adalah salah satu “bukti tertulis tertua” yang mencatat dan mengiformasikan berbagai pengalaman hidup orang Minang di masa lampau. Di dalamnya terdapat banyak “kebenaran” historis, demografis, geografis, politis, dan budaya, yang hingga sekarang ditemukan kenyataannnya serta diakui keberadaannya. Berbagai kearifan lokal (tradisional) juga terhimpun dalam penulisan sejarah ini. Tambo dipakai karena sumber-sumber lain, terutama yang berasal tangan sejarawan kolonial atau nasional cenderung menghilangkan informasi tentang dunia maritim “urang awak” dahulunya. Di samping itu, untuk melengkapi informasi tambo, maka juga dipergunakan beberapa sumber (karya) lain, baik yang masih berhubungan dengan tambo, seperti karya Datoek Soetan Maharadja sebagaimana dimuat dalam Adatrechtbundel (1928), karya Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires (1944), dan berbagai sumber/bahan lainnya.
Tambo, Laut dan Alam Minangkabau
Dalam ilmu sejarah, tambo dikategorikan sebagai penulisan sejarah (historiografi) tradisional. Historiografi dalam corak ini berkembang dalam masyarakat dengan peradaban dan kebudayaan yang masih bersahaja. Masyarakat dalam fase ini cenderung mencampuradukkan kenyataan (realitas) dengan hal-hal yang bersifat supranatural. Kecenderungan ini menyebabkan banyak kenyataan (realitas) dalam kehidupan nyata mereka dikemukakan dalam narasi yang – bagi kita “manusia moderen” – sering dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat mitologis, irrasional, anakronistis, pars-prototo, dan lain sebagainya.
Dibutuhkan pengetahuan untuk memahami penulisan sejarah masyarakat bersahaja ini. Ilmu sejarah (historiografi) menawarkan pengetahuan itu. Dalam historiografi terdapat sebuah diktum yang mengatakan “sejarah yang benar adalah sejarah masa kini”. Ungkapan yang dikemukakan oleh Benedicto Grooce ini mengandung makna bahwa sebuah penulisan sejarah sesuai dengan latar belakang sosial, politik dan latar belakang kebudayaan berkembang pada saat ia ditulis. Sebuah penulisan yang mencampuradukkan kenyataan dengan hal-hal yang bersifat supranatural akan diakui sebagai sebuah kebenaran bagi masyarakat bersahaja yang dalam keseharian mereka memang hidup dalam dunia yang penuh pantangan, tabu, magi, mitos, dlsbnya. Sebaliknya, penulisan sejarah yang berkembang saat ini, harus berdasarkan sumber yang kredibel, rasional (empiris) serta juga sesuai dengan jiwa zaman dan latar belakang kebudayaan masyarakat yang moderen, serba bukti dan rasional (empiris).
Dalam setiap karya sejarah tersimpan “kenyataan”, sebab karya sejarah itu sendiri adalah rekonstruksi dari kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lampau. Namun karena sejarawan khususnya dan masyarakat pendukung penulisan sejarah tersebut pada umumnya, memiliki perbedaan tingkat peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahuan (untuk menyebut beberapa faktor), maka kedalaman, kekayaan, dan jumlah “kenyataan” yang disajikan dalam setiap karya sejarah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Historiografi tradisional menyajikan “kenyataan” yang menurut kita manusia moderen termasuk dalam kategori “tersamar”, sedangkan “kenyataan” yang disajikan historiografi moderen lebih “nyata”.
“Kenyataan-kenyataan” yang disajikan tambo umumnya termasuk ke dalam kategori “tersamar”. Karena itulah dibutuhkan pengetahuan (metode) tambahan guna mengambil atau memahami “kenyataan” yang disajikannya. Metode hermeunistik adalah alat bantu yang bisa digunakan untuk itu. Walaupun demikian, tidak semua informasi tambo yang membutuhkan bantuan ilmu lain untuk memahaminya, bahkan ada banyak keterangan (deskripsi) yang bisa langsung dibuktikan kenyataannya.
Tambo menyebut, alam Minangkabau terdiri dari dua daerah utama, darek dan rantau. Darek adalah penyebutan terdadap daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan rantau adalah kawasan di sekeliling daerah pedalaman. Secara etimologis (dalam bahasa Indonesia) kata rantau bermakna pantai sepanjang teluk (sungai) atau pesisir (sebagai lawan dari darat). Tanpa menggunakan bantuan ilmu lain, keterangan tambo ini bisa langsung dibuktikan kebenarannya, bahwa kawasan yang termasuk darek dalam daerah budaya Minangkabau memang terdapat di daerah pedalaman yang secara geografis berkukit-bukit, dan daerah rantau umumnya terdapat di kawasan sepanjang aliran sungai dan kawasan pantai.
Ungkapan-ungkapan yang membutuhkan tafsiran (hermeunistik) juga ada. Bahkan jumlahnya cukup banyak, bila dibandingkan dengan keterangan yang langsung bisa dibuktikan kebenarannya. Dalam hal ini termasuk informasi mengenai laut atau dunia maritim orang Minangkabau.
Laut sesungguhnya mendapat tempat yang banyak dalam tambo, maksudnya kata laut atau keterangan mengenai laut ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dalam karya sejarah tersebut. Dalam kaitannya dengan wilayah (teritori), tambo telah bertegas-tegas menyebut bahwa laut (dan kawasan pantai) sebagai bagian dari alam Minangkabau. Dari keterangan tambo mengenai wilayah “urang awak” dikemukakan bahwa Alam Minangkabau mencakup:
„Dari sirangkak nan badangkuang, Siluluak punai mati, Hinggo buayo putiah daguak, Sampai ka pintu rajo ilia, taruih ka durian ditakuak rajo, Dari sipisau-pisau anyuik, sampai ka sialang balantak basi, hinggo aia babaliak mudiak, sampai ka ombak nan badabua, sailiran Batang Sikilang, hinggo lauik nan sadidiah, sampai ka timua ranah Aia Bangih, taruih ka Rao jo Guguak Malintang, Pasisia Banda Sapuluah, hinggo Taratak Aia Itam, sampai ka Tanjuang Simalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah“.
Ada ungkapan “ombak nan badabua” serta “lauik nan sadidiah” dalam pernyataan di atas. Dua keterangan ini menyatakan bahwa tambo telah mengakui laut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Alam Minangkabau. Di samping adanya keterangan mengenai sejumlah nagari atau kawasan yang terletak dipinggir pantai, seperti “Aia Bangih”, “Sikilang”, dan “Pasisia Banda Sapuluah” juga mengindikasikan bahwa tambo juga memasukkan kawasan di pinggir laut tersebut sebagai bagian dari Alam Minangkabau.
Dari tambo juga diketahui bahwa laut Minangkabau tersebut terhampar dari kawasan pantai bagian barat hingga ke gugusan Kepulauan Mentawai. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan “…..dari Sipisau-pisau anyuik….” yang disebutkan dalam kutipan di atas, dan “sipisau-pisau anyuik” ditafsirkan sebagai Kepulauan Mentawai.
Kebetulan atau tidak, berbagai peta etnografis atau atlas sejarah yang dibuat ilmuwan selama ini menempatkan daerah budaya Minangkabau di bagian tengah kawasan barat Pulau Sumatera. Gambaran dari berbagai peta dan atlas tersebut, melukiskan Minangkabau sebagai sebuah daerah yang memiliki kawasan pantai, sebuah daerah yang berhadapan langsung dengan laut.
(Sumber: Marsden, William, The History of Sumatra. London: J. M’Creery, 1811)
Orang Minang sebagai Bangsa Pelaut
Hampir tidak ada suku bangsa di Indonesia yang dengan tegas mengaitkan asal-usul mereka dengan dunia bahari, kecuali orang Minang. Umumnya etnik-etnik lain penghuni Nusantara ini menghubungkan para leluhur mereka dengan dewa (yang bersemayam di langit) atau putri cantik yang keluar dari dalam tanah (perut bumi) atau bayi lelaki yang keluar dari belahan betung. Orang Minang menegaskan leluhur mereka datang dari negeri yang jauh (Benua Ruhum/Makedonia), datang melalui laut dan menggunakan perahu. Mereka melakukan perjalanan (pelayaran) yang lama, menyinggahi berbagai negeri (pulau) yang berlokasi di tengah laut (seperti Langkapuri), menyebut berbagai istilah yang berhubungan dunia perkapalan (seperti mualim), serta kisah yang terjadi selama dalam pelayaran (jatuhnya mahkota ke dalam laut) sebelum sampai di negeri ini. Sebagaimana dikemukakan Tambo Minangkabau buah karya Ahmad Dt. Batuah, rombongan nenek moyang tersebut sampai ke Pulau Andalas, Pulau Perca. Perahu mereka tersekat di sebuah karang di pesisir barat pulau itu. Deskripsi ini menegaskan bahwa nenek moyang mereka itu adalah pelaut sejati. Dengan demikian orang Minang adalah keturunan para pelaut.
(Sumber: Treasures Uit de Collecties van het Koninklijke Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde; Leiden: KITLV, 2009).
Deskripsi lain yang menyatakan leluhur orang Minang berhubungan dengan dunia laut adalah ungkapan yang menyebut ”ruso nan datang dari lauik”. Tafsiran yang diajukan terhadap pernyataan ini adalah kedatangan Adityawarman, dan seperti diketahui Adityawarman adalah salah satu ”founding father”, peletak dasar sistem politik dan sosial Minangkabau. Dia menjadi raja di daerah ini pada abad ke-14. Orang Minang mengapresiasi kedatangannya dengan bertegas-tegas menyebut kedatangannya dari laut.
Laut juga dicatat sebagai tonggak sejarah matrilineal yang dianut orang Minang. Tambo mengaitkan pilihan kepada sistem sosial ini kepada sebuah kisah yang terjadi di di kawasan Tiku, sebuah negeri yang berlokasi di pinggir pantai kawasan barat Minangkabau. Menurut tambo, Tuanku Rajo Tuo yang memerintah di rantau tersebut membuat sebuah kapal. Namun ketika akan dilayarkan, kapal tidak bisa bergerak. Dan setelah Sutan Balun (anak Daulat Yang Dipertuan Minangkabau) ikut-serta diketahuilah bahwa kapal baru akan turun ke laut bila “dikalangkan” sesosok tubuh manusia. Ketika Tanku Rajo meminta anaknya melakukan hal itu, mereka menolak, namun ketika dia meminta kemenakannya (dengan seizin ibunya) sang kemenakan segera menuruti. Dengan kesaktian Sutan Balun, kapal turun ke laut, badan sang kemenakan selamat tanpa cacat. Cati Bilang Pandai yang hadir di saat itu kemudian menitahkan bahwa pusaka benda, sawah-ladang, emas-perak yang selama ini diturunkan ke anak dialihkan kekemenakan. Sebab sang anak hanya ingin enak dan yang baik saja, sedangkan kemenakan suka atau menanggung buruk atau baiknya, sekalipun nyawanya hilang. Sekali lagi, laut diungkapkan sebagai sebuah dunia yang ikut-serta membentuk tatanan sosial orang Minang.
Selanjutnya tambo menegaskan bahwa laut harus dijaga dan dipelihara, tugas menjaga dan memelihara laut itu diemban oleh raja. Karena itu, raja sesungguhnya adalah sebuah jabatan (pangkat) yang diberikan kepada seseorang yang memelihara laut dari Alam Minangkabau.
Tugas sang raja dinyatakan dengan ungkapan ”….mengamankan dan memakmurkan sekalian taluak taluak rantau, palabuhan, kuala, muaro dan sebagainya…”. sebagai imbalan dari tugas-tugasnya itu, raja juga memiliki sejumlah hak. Raja berwenang menerima hak daciang, pangaluaran, gantuang kamudi dan ubua-ubua. Hak pangaluaran artinya bea atas perniagaan barang yang masuk, pangaluaran artinya bea atas barang perniagaan yang keluar, gantuang kamudi artinya sewa atau bea pelabuhan, serta ubua-ubua artinya bea atas barang-barang yang diambil dari laut.
Posisi raja sesungguhnya tidak lebih dari penghulu, dinamai raja hanya agar dimaklumi oleh juragan-juragan atau nakhoda-nakhoda (asing atau non-Minang) yang datang. Bukankah ”raja” adalah sebuah sebutan yang lazim dikenal di seantero bandar niaga dan kawasan pesisir Nusantara. Sedangkan sistem politik tradisional Minangkabau menegaskan bahwa raja adalah pemegang kuasa di wilayah rantau. ”Luhak bapanghulu, ranjau barajo”.
Ada posisi raja dan berbagai tugas, kewajiban dan hak raja mengindikasikan bahwa aktivitas bahari menjadi bagian dari kehidupan orang Minang tempo doeloe. Lantas mengapa aktivitas bahari orang Minang itu dewasa ini nyaris tidak berbekas lagi?
Menjadi ”Urang Darek”
Setidaknya ada dua pengalaman sejarah penting yang mengurangi (dan bahkan ikut serta menghabisi) aktivitas bahari orang Minang. Pertama, kebijakan politik yang dijalankan Adityawarman; dan kedua, kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda.
Dalam rangka menghindari pengejaran dari penguasa dan bala tentara Majapahit, Adityawarman yang melarikan diri serta memutuskan hubungan dengan Majapahit. Pada mulanya dia mendirikan kerajaan tersendiri yang berdaulat di ”negeri leluhurnya” di kawasan Darmasraya. Merasa lokasi kerajaannya kurang aman dari gangguan Majapahit, Adiyawarman memindahkan pusat kerajaannnya jauh ke daerah pedalaman bagian tengah Pulau Sumatera (Tanahdatar). Pemindahan pusat kegiatan politik ini sekaligus juga mengurangi aktivitas bahari kerajaan. Padahal, sebelum dipindahkan ke Tanahdatar, pusat kerajaan berada di pinggir sungai (Batanghari) yang sangat strategis dan sejak zaman purba menjadi ”jalan raya” utama dari daerah pedalaman ke dunia niaga Selat Malaka.
Pemindahan pusat politik ini bahkan diiringi dengan perubahan orientasi perekenomian menjadi ekonomi agraris. Menurut Dobbin dan Ambler, tradisi bersawah diperkirakan tumbuh dengan pesat pada saat tampuk kekuasaan politik Minangkabau berada di bawah kendali Aditywarman. Proses ”daratisasi” Minangkabau oleh Adityawarman juga dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya di Majapahit yang secara umum dikenal sebagai kerajaan yang mengembangkan tradisi agraris. Sebagaimana dikemukakan Denys Lombard, kerajaan-kerajaan konsentris di sekitar pusat atau pedalaman Jawa bagian tengah adalah transplantasi dari kultur stepa bangsa Arya di India. Sebuah kultur yang dengan kekuatan peradaban kuno, penjelajah daratannya yang panjang dan diaspora yang hebat kala itu, mampu melakukan tekanan keras pada bangsa-bangsa pelaut serta pesisir. Sehingga bangsa-bangsa yang disebut terakhir ini takluk dan membiarkan dirinya tenggelam dalam cara berpikir, cara hidup, relasi sosial, spritualitas hingga ekspresi yang berpola pedalaman (daratan/konsentris).
Orang Belanda ikut-serta menghilangkan tradisi bahari orang Minang. Orang Belanda khususnya dan Eropa umumnya sangat menyadari kekuatan maritim penduduk Nusantara. Catatan yang dibuat Tome Pires dalam The Suma Orientalnya menggambarkan betapa dinamisnya dan majunya dunia bahari penduduk Nusantara. Dalam buku tersebut juga diungkapkan betapa banyaknya jenis kapal atau perahu yang dimiliki penduduk Nusantara dan betapa repotnya bangsa “Sipatokah” tersebut menghadapi ”kerewelan” berbagai reinos dan terras yang memiliki tradisi bahari yang luar biasa itu. Portugis membutuhkan waktu yang lama serta pengorbanan moril dan materil yang tidak sedikit guna mengenyahkan aspek-aspek maritim penduduk Sumatra khususnya. Kesan yang sama juga dikemukakan juga dalam berbagai catatan pejabat VOC, catatan harian berbagai loji VOC, serta berbagai laporan yang dibuat pada era pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai sebuah kesimpulan dirumuskan sebuah kebijakan untuk menyingkirkan penduduk bumiputera dari samudera. Untuk itu berbagai aspek maritim yang dimiliki penduduk Nusantara sengaja dikurangi dan dihilangkan keberadaannya (dan digantikan dengan aspek-aspek maritim Barat).
Di Minangkabau, penyingkiran pertama dilaksanakan oleh VOC. Berbagai ekspedisi militer dilakukan VOC untuk mengakhiri kedaulatan raja-raja yang berada di sepanjang pantai barat. Penaklukan raja-raja tersebut, di samping ditujukan untuk menjadikan mereka sebagai bawahan VOC, juga dimaksudkan untuk mereduksi (mengakhiri) peranan berbagai aspek maritim mereka. Hal ini terlihat dari perintah pimpinan ekspedisi untuk menghancurkan kapal dan perahu serta pusat-pusat pembuatan kapal dan perahu inlanders. Kehancuran kapal, perahu dan pusat pembuatan perahu sudah pasti berdampak pada aspek maritim yang lain, seperti aspek pelayaran, perdagangan, perikanan, dan bahkan bajaklaut.
Kebijakan VOC lainnya menggantikan peranan orang Minang dalam dunia maritim dengan peran-serta orang Belanda (Eropa) serta timur asing lainnya (terutama Tionghoa). Data-data statistik yang disajikan berbagai sumber yang dibuat VOC memang menunjukan bahwa keterlibatan orang Belanda (Eropa) dan Tionghoa dalam dunia maritim (terutama perkapalan dan perniagaan laut) Minangkabau memang meningkat dengan sangat signifikan. VOC misalnya mengganti peranan pialang pantai pribumi dengan para koopman, baik yang masih aktif dalam jajaran kompeni dagang itu atau yang sudah pensiun. Peranan raja (penghulu dagang) di bandar-bandar niaga atau pelabuhan di setiap teluk dan kuala diganti oleh para pachter Tionghoa, dlsbnya.
Sesudah VOC bankrut, pemerintahan Hindia Belanda melanjutkan kebijakan ”mendaratkan” orang Minangkabau. Pemerintah Hindia Belanda dinyatakan sebagai pemegang monopoli perkapalan, pelayaran dan penguasaan pelabuhan. Kapal-kapal VOC yang diambilalih pemerintah Hindia Belanda diberi hak melayani aktivitas perkapalan di pantai barat Minangkabau. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan dengan pengoperasian kapal NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij), kapal-kapal dari perusahaan NISM (Nederlandsch Indische Stoomvaart Maatschappij, Core de Vries, NISM (kembali) dan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Kapal-kapal KPM mengunjungi hampir semua pelabuhan yang ada di pantai barat Minangkabau, mulai dari Airhaji di selatan hingga Airbangis di utara. Di samping itu prioritas juga diberikan kepada kapal-kapal dari perusahaan milik orang Belanda (dan Eropa) serta orang Tionghoa untuk ikut-serta melayani transportasi laut di kawasan pesisir barat negeri ini. Kapal-kapal dan perahu orang Minangkabau dipersulit dan dipersempit ruang geraknya. Jumlah dan ukuran serta lingkup operasi mereka juga dibatasi. Banyak pembatasan yang diberikan kepada mereka. Tidak itu saja, berbagai pusat pemuatan kapal atau perahu diminimasilir keberadaannya dengan pengurangan jatah mendapatkan kayu yang baik untuk pembuatan kapal.
Proses ”daratisasi” orang Minang ini kemudian dilanjutkan dengan menggalakkan aktivitas penanaman kopi khususnya, perkebunan dan persawahan pada umumnya, serta juga penggalakkan usaha peternakan dan kegiatan-kegiatan lain yang jamak dilaksanakan di tanah “darek”. Penanaman kopi diterapkan dengan cara paksa dan massal (lewat praktik tanam paksa kopi). Penanaman padi diprogramkan dengan berbagai aturan atau plakat sawah yang dibuat dan disetujui pemerintah. Berbagai tentoonstelling (pameran atau pasar malam) untuk menampilkan atau berbagai produk dari keberhasilan pertanian, perkebunan dan peternakan diadakan di berbagai tempat di Sumatera Barat serta mendapat apresiasi yang tinggi dari pemerintah. Padi yang bulirnya paling besar dan banyak, buah kopi yang paling lebat dan bernas, sapi atau kerbau yang paling besar dan gemuk dihadiahi oleh para pejabat. Bahkan kegiatan kesenian atau alek nagari seperti pacu kuda yang diperkenalkan sejak tahun 1889 (dengan membuat gelanggang pacuan kuda di berbagai kota di Sumatera Barat) adalah juga merupakan bagian dari upaya kaum penjajah Belanda untuk melupakan orang Minang dengan tradisi baharinya. Berbagai kebijakan dan kegiatan seperti inilah, secara lambat namun pasti menggiring orang Minang menjadi orang ”darek” sejati.
Sebaliknya, berbagai data sejarah menampilkan kenyataan bahwa kaum kolonialis Belanda hampir tidak pernah membuat kebijakan atau kegiatan yang menghidupkan gairah berlaut orang Minangkabau. Kalaupun ada kebijakan atau kegiatan yang dilakukan dan berhubungan dengan dunia laut, maka dapat dipastikan tujuan kebijakan atau kegiatan itu ditujukan untuk kepentingan penjajah. Sebutlah misalnya pembuatan peta laut dan pendokumentasian wilayah pesisir Minangkabau diakhir dekade 1830-an hingga pertengahan abad ke-19 (dan akhir abad ke-19), pencatatan berbagai jenis perahu atau kapal yang dimiliki penduduk pantai barat Minangkabau, peningkatan kondisi pelabuhan atau pembuatan pelabuhan yang baru serta melengkapi sarana transportasi laut (seperti lampu suar), semuanya ditujukan bagi kepentingan penjajah. Tidak itu saja, semua kebijakan dan kegiatan itu bahkan semakin mengurangi atau bahkan mematikan keberadaan aspek-aspek maritim “urang awak”.
Akhirul Kalam
Walaupun demikian kasar dan “kejam” upaya yang dilakukan pihak luar untuk menghilangkan tradisi bahari orang Minang, ternyata hingga saat sekarang, dalam jumlah yang sangat minim, aspek-aspek-aspek maritim itu masih tersisa. Walaupun dalam porsi yang sangat sedikit, jejak-jejak kebesaran dunia maritim “urang awak” di masa lampau masih terasa jejaknya. Jejak tersebut, antara lain ditemukan dalam penulisan sejarahnya (tambo sebagai historiografi tradisional), berbagai penulisan sejarah yang dibuat oleh orang asing, serta kenyataan-kenyataan sosiologis, demografis, geografis, dan budaya yang bisa ditemukan dewasa ini.
Kebetulan, sejak dua dekade terakhir muncul gairah yang luar biasa dalam penelitian dan penulisan sejarah maritim di Indonesia. Gairah tersebut terlihat dari bermunculan sejumlah karya sejarah maritim, mulai dari yang sangat ilmiah (terutama sebagai bagian dari karya ilmiah atau disertasi guna mencapai gelar akademis doktor hingga karya-karya yang sifatnya sangat “eskperimental”, seperti karya-karya yang mengatakan bahwa Benua Atlantis dengan tradisi bahari yang demikian tinggi ada di sini (Nusantara) ini, atau karya-karya yang mengatakan bahwa nenek moyang Indonesia sebelum kedatangan bangsa Palaeo- dan Deuteromelanesoid adalah pelaut-pelau ulung yang telah berlayar mengharungi samudera luas hingga mencapai pulau-pulau kecil Lautan Pasifik dan pantai timur serta barat Benua Afrika.
Di tengah gairah penulisan sejarah maritim yang tengah menggebu sekarang, ada baiknya sejarawan daerah (Minangkabau) khususnya, juga menukikkan pandangan mereka pada dunia bahari negeri ini. Ada banyak banyak aspek maritim negeri ini yang masih membutuhkan uluran tangan para peneliti (terutama sejarawan) untuk mengungkapkannya.
Di samping itu, di saat tanah darat kita mulai susut potensinya, kawasan laut masih menyimpan kekayaan yang melimpah. Itu bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejarahan anak negeri. Dan jujur diakui, seperti disebut di atas, potensi laut itu belum tergarap dengan maksimal. Orang Minang masih bangga dengan banyak makin daging (sapi, kerbau, ayam) daripada memakan ikan. Padahal riset membuktikan bahwa memakan daging (sapi, kerbau, ayam) jauh lebih beresiko terhadap kesehatan bila dibandingkan dengan memakan ikan. Konsumsi ikan kita masih rendah, baru 26 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 45 kg dan Jepang 70 kg. Kita buktikan orang Jepang memiliki usia harapan hidup tertinggi di dunia (mungkin mereka juga termasuk manusia dengan otak yang tercerdas di dunia). Sedangkan kita, “urang awak”?
Ketika kita telah menghadapkan wajah ke laut, bertekad memanfaatkan laut secara maksimal, kita dihadapkan pada tantangan untuk mengelola laut dengan “penuh perasaan”. Artinya laut tidak bisa dieksploitasi dengan serampangan tanpa memikirkan kerusakan yang akan terjadi padanya. Pengalaman telah membuktikan, bahwa selama ini, ketika kita mengeksploitasi tanah darat dengan membabibuta, lingkungan telah rusak parah. Hutan menjadi gundul, kesuburan tanah berkurang dengan drastis, sungai dan tanah tercemar. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta keracunan pestisida atau bahan kimia lain mengancam di mana-mana.
Karena itu, ketika laut (pada saat sekarang dan nantinya) kita eksploitasi, dibutuhkan kehati-hatian dalam mengelolanya. Pengetahuan eksakta semata tidak cukup untuk itu. Pengetahuan akan sistem sosial, budaya dan kearifan tradisional masyarakat lingkungan juga memegang peranan penting. Ini semua bisa didapatkan dengan pengkajian dan penelusuran sejarah. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah maritim. Bukankah sejarah maritim adalah sejarah yang menyangkut laut (mer), kelautan (marine) dan pelaut (marins)? Dalam kondisi sekarang, kegiatan ini masih belum terlambat, sebab kita baru saja mulai memalingkan diri ke laut dan kerusakan laut itu, walaupun telah terjadi , tetapi “masih belum begitu parah”. Masih ada waktu untuk mengurangi bencana yang mungkin (pasti) terjadi bila kita lalai memperhatikannya.
Daftar Kepustakaan
Ambler, John S., „Historical Perspectives on Sawah Cultivation and the Political and Economical Contex for Irrigation in West Sumatra“, Indonesia, No. 46 (October), 1988.
Batuah, Ahmad Dt. dan A. Dt. Madjoindo, Tambo Minangkabau. Djakarta: Balai Pustaka, 1956 .
Cortesao, Armando, The Suma Oriental of Tome Pires. London: Haklyut Society, 1944.
Dj. Datuak Batuah, Tambo Alam Minangkabau. Pajakombo: n.p. 1930.
Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. London: Curzon Press, 1983.
Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak, 2007.
“Het Minangkabausche Gebied” No. 66 ‘Artikelen van Datoek Soeta Maharadja in de Oetoesan Melajoe (1911-1913’ dalam Adatrechtbundel. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1928.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium (Jilid 1). Jakarta: Gramedia, 1984.
Ditulis oleh Gusti Asnan