Perjalanan ke Pengasingan

Ada dua versi tentang lokasi kuburan Tuanku Imam Bonjol. Versi pertama mengatakan kuburan Tuanku Imam Bonjol berada di Lotak, Sulawesi Utara.  Versi kedua mengatakan makam Tuanku Imam Bonjol berlokasi di suatu tempat di Bonjol. Versi pertama bisa dikatakan sebagai karya sejarah yang empiris, sedangkan versi kedua lebih bersifat pengetahuan sejarah (sebagian) masyarakat.

Sebagai rekonstruksi sejarah, versi pertama atau versi kedua, pasti memiliki bukti atau sumber. Versi pertama, yang lazim kita kenal, menjadikan makam sang tuanku dan bangunan pendukungnya di Lotak, serta sejumlah catatan atau dokumen historis sebagai bukti atau sumber. Sebaliknya, versi kedua, juga menyatakan ada bukti atau sumber pendukung yang mereka miliki. Sayangnya, para pendukung versi kedua ini tidak mau menampilkan data atau sumber yang mereka miliki. Mereka menyelimuti sumber mereka dengan ungkapan bahwa kuburan itu “berada di lokasi yang dirahasiakan”.

Para pendukung versi kedua tetap mempercayai dan berupaya pula meyakinkan orang lain bahwa kuburan Tuanku Imam Bonjol bukan di Lotak. Mereka juga mencoba meyakinkan orang lain bahwa Tuanku Imam Bonjol tidak pernah ditangkap, ditawan dan dibuang ke sejumlah negeri sebelum akhirnya sampai ke Lotak. Mereka juga meyakinkan orang bahwa yang ditangkap dan dibuang, serta berkubur di Lotak itu adalah orang lain yang disuruh ‘berakting’ menjadi Tuanku Imam Bonjol.

Walaupun versi kedua ini tidak menghebohkan lagi, sebagaimana terjadi tahun 1980-an, tetapi keberadaannya tetap dirasakan hingga sekarang. Tidak hanya itu, keberadaan versi kedua ini dianggap bersifat kontra produktif. Pernyataan ini berpotensi menghadirkan penilaian negatif terhadap Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut TIB), dia akan dikatakan pengecut, mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya, dan tidak berjuang sampai akhir hayat. Penilaian ini akan menguatkan pernyataan Taufik Abdullah dan Muchtar Luthfi saat polemik itu menghangat tahun 1980-an, yang mengatakan “kalau begitu cabut saja gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan kepada Tuanku Imam Bonjol”. Versi yang kedua ini juga berpotensi melemahkan kesahihan Naskah Tuanku Imam Bonjol, yang dewasa ini diusulkan menjadi Memory of the World.

Naskah Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya disebut NTIB) adalah salah satu sumber yang tidak hanya menginformasikan berbagai hal yang dialami Tuanku Imam Bonjo selama Perang Padri, tetapi juga informasi khusus mengenai penangkapan serta pembuangannya. Ada banyak informasi menarik yang tersaji dalam naskah ini. Informasi yang memperlihatkan mengapa Tuanku Imam Bonjol memilih datang ke Palupuh menemui wakil Belanda, keberadaan ‘tentara niniak mamak’ yang sangat setia pada Belanda, sikap politik Belanda terhadap penangkapan dan pembuangan Tuanku Imam Bonjol, sikap Tuanku Imam Bonjol terhadap penangkapan dan pembuangannya, serta berbagai ‘fakta sosial’ tentang simpati dan hasat sejumlah orang yang ikut menjadi lakon cerita, termasuk juga informasi tentang keramatnya TIB.

Tulisan ini akan menampilkan kisah perjalanan Tuanku Imam Bonjol sejak dia ditangkap hingga sampai Lotak. Bahan utama yang digunakan untuk tulisan ini adalah NTIB.

Ada dua alasan penggunaan sumber ini: Pertama, setakat ini isi NTIB relatif belum banyak dikenal masyarakat luas. Kedua, menggunakan NTIB sebagai sumber berarti menyajikan informasi mengenai penangkapan, pembuangan dan pengalaman hidup TIB di tanah pembuangan sebagaimana yang dia sajikan sendiri. Ketiga, memberikan penghargaan kepada NITB sebagai sebuah karya yang bernilai historis dan layak digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Disadari juga, ada satu kelemahan NTIB, yakni kurang memiliki kesadaran waktu. Untuk mengatasi kelemahan ini bisa digunakan sumber lain.

II

Dari NTIB kita mengetahui bahwa memenuhi undangan Belanda (Residen Francis) untuk berunding di Palupuh adalah pilihan terbaik, dari yang terburuk, oleh TIB. TIB memutuskan menemui sang residen setelah melihat banyaknya korban yang jatuh dan semakin brutalnya Belanda menghajar para pendukungnya. NTIB menyajikan banyak informasi mengenai kekejaman dan kebrutalan Belanda sejak beberapa waktu sebelum kejatuhan Benteng Bonjol (16 Agustus 1837) hingga hari-hari menjelang Tuanku Imam Bonjol memenuhi undangan Francis untuk berunding di Palupuh. Tidak hanya pihak lelaki, kaum perempuan juga dibunuh, dilukai atau yang paling ringan ditangkapi oleh tentara Belanda.

TIB pergi ke Palupuh, sebuah nagari yang berlokasi antara Bonjol dengan Bukittinggi dan saat itu di sana ada benteng Belanda, bersama empat pengiringnya. Keempat pengiring itu adalah Durahap (keponakan TIB), Sutan Saidi (anak TIB), Bagindo Tan Labiah (semenda TIB), dan si Golong (‘ajudan’ TIB). Mereka sampai di Palupuh pada tanggal 28 Oktober 1838.

Ada proses yang cukup rumit dalam pertemuan itu. Proses pertemuan TIB dengan petinggi Belanda itu difasilitasi oleh ‘broker’, Tuanku Manis namanya. Tuanku Manis ini dahulunya adalah murid TIB namun kemudian berkhianat dan bergabung dengan Belanda. Sesampai di Palupuh ternyata Francis tidak ada, TIB kemudian hanya bersua dengan Kapten Steinmetz, Asisten Residen di Bukittinggi.

Setelah pertemuan dengan Steinmetz, tengah malam saat menginap di rumah Tuanku Manis, TIB dijemput oleh jaksa dengan mengatakan Tuan Besar (Asisten Residen) menunggu di Bukittinggi. Dari Palupuh TIB berjalan ke Bukittinggi bersama jaksa dan diiringi oleh tentara.

Setelah tiga hari di Bukittinggi, TIB dan kawan-kawan bertemu dengan Asisten Residen serta para kepala laras dan regen (pejabat bumiptra atau Inlandsche Bestuur) pendukung Belanda.  Dalam pertemuan itu, Steinmetz mengatakan bahwa TIB harus tinggal di Bukittinggi, akan diberi uang belanja, boleh bersenang-senang diri dengan beribadah di surau dan mengaji. Dikatakan juga istri dan keluarga TIB diizinkan untuk datang dan tinggal di Bukittinggi.

Namun, Regen Batipuh, seorang tokoh adat pendukung Belanda dan sangat benci kepada kaum Padri mengatakan bahwa selama TIB ada di Tanah Darat maka Belanda tidak akan pernah tenang.

Dipengaruhi oleh hasungan Regen Batipuh atau memang telah direncanakan oleh Belanda, pada selepas shalat isya, empat hari setelah pertemuan dengan Steinmetz dan para pemimpin bumiputra kaki tangan kolonialis itu, anak buah Regen Tanah Datar menangkap Bagindo Tan Labiah dan seorang pengikut TIB. TIB yang ingin membela anak buahnya dibawa menghadap Seteinmetz serta komandan tentara Bukittinggi. Dalam pertemuan malam itu dikatakan bahwa TIB akan dibawa ke Padang menemui Residen Francis. Dikatakan bahwa masalah TIB tidak bisa diputuskan oleh Asisten Residen. TIB yang menduga dia akan dipenjara atau dibunuh (TIB menyebut akan dibinasakan) ditampik oleh komandan tentara (Letnan Arbacht) bahwa TIB tidak akan dibinasakan. TIB menulis, komandan tentara itu berkata “Tidak Tuanku akan binasa, tidak berkicuh pada Tuanku. Saya bersumpah kepada hari malam dan kepada lampu yang hidup ini, tidak Tuanku dibinasakan kompeni”.

Pandai benar komandan tentara tersebut meyakin TIB, pakai sumpah segala.

Setelah itu, malam itu juga TIB dan empat pengikutnya dibawa ke Padang. Dikatakan TIB dibawa dalam usungan. Beliau ditandu oleh anggota pasukan Regen Batipuh.

Ada informasi yang menarik dalam proses perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang. Perjalan ke Padang dilakukan dalam delapan kali berhenti dan pergantian “tuan” (pejabat militer Belanda) yang mendampingi perjalanannya. Delapan kali berhenti ini nampaknya menjadi pola perjalanan Bukittinggi – Padang atau sebaliknya sejak masa pembangunan jalan via Lembah Anai. Pada masa-masa berikutnya, jarak antar perhentian itu dinamakan  etape.

Delapan etape yang ditempuh TIB adalah Bukittinggi – Padangpanjang, Padangpanjang – Kayutanam, Kayutanam – Kiambang, Kiambang – Lubukalung, Lubukalung – Batanganai, Batanganai – Duku, Duku – Ujungkarang, dan Ujungkarang – Padang.

Di setiap tempat perhentian, TIB dan rombangan makan, minum, shalat dan istirahat (bermalam kalau sampai malam hari).

Perjalanan TIB dari Bukittinggi ke Padang ternyata telah diketahui orang banyak. Karena itu, TIB menyebut dalam BTIB bahwa sepanjang jalan banyak warga yang menantinya atau mengiringi rombongannya untuk jarak tertentu.

Berbeda dengan perjalan sebelumnya, sesampai di Ujungkarang, TIB dan pengikutnya dibawa dengan kereta menuju Padang. Tidak disebutkan di mana mereka berhenti dan makan-minum di Padang, informasi yang disajikan hanyalah setelah makan mereka langsung dibawa lagi dengan kereta menuju kuala (muara). Muara adalah pelabuhan kota Padang. Setiba di pelabuhan itu TIB baru sadar bahwa dia ditipu, bahwa dia tidak dibawa untuk bersua dengan Residen Francis. Apalagi setelah itu dia dan rombongannya disuruh naik sekoci menuju Pulau Pisang. Pulau Pisang adalah reede kota Padang saat itu. Reede adalah pelabuhan tempat kapal samudra berlabuh, karena Pelabuhan Muara terlalu dangkal untuk kapal-kapal besar. Dalam dunia maritim Indonesia reede umumnya berlokasi di sebuah pulau.

Sesampai di Pulau Pisang TIB dan rombongan langsung naik ke kapal yang sudah menunggu di sana. Saat itu, sekali lagi, TIB menyadari bahwa dia akan dibawa jauh menyeberang lautan dan tidak akan kembali lagi ke Alahan Panjang (Bonjol).

Kapal yang dinaiki TIB adalah kapal layar tiang tiga layar. Kapal tidak langsung berangkat, karena itu TIB tidur di kapal malam itu.

Besoknya Residen Francis datang ke kapal menemui TIB. TIB menulis dalam NTIB bahwa ada banyak dialog antara dia dengan Francis. Inti dari dialog itu adalah: Pertama, TIB mengatakan bahwa dia ditipu Belanda; kedua, TIB rela menerima apapun yang diputuskan kompeni terhadapnya; ketiga, Francis mengatakan masalah TIB harus diputuskan oleh “Tuan Besar” di Betawi; keempat, dengan sombongnya Francis bahwa sekarang TIB berhadapan dengan orang yang menang perang.

Selama dalam pelayaran TIB tidak boleh memegang senjata. Tiga jenis senjata TIB, yakni sebuah sewah, dua keris dan satu rudus mesti diserahkan kepada kapten kapal.

Setelah Residen datang pula jaksa menemui TIB. Dia datang dengan membawa beberapa perlengkapan untuk TIB, seperti pakaian dan bahan makanan.

Pada pagi-pagi hari ketiga kapal berlayar meninggalkan Pulau Pisang menuju Batavia. TIB menyebut ada tujuh hari lama pelayarannya, kapal berlayar dengan kecepatan penuh, sebab semua layar terkembang sempurna.

Seperti di Padang, di Batavia kapal juga berlabuh di reede (Pulau Onrust). Karena itu TIB dan rombongannya harus naik sekoci lagi menuju pelabuhan.

Di pelabuhan TIB ditunggu oleh Komandan Hamzah. Dan dengan kereta TIB dibawa menemui residen. TIB selalu menyebut bahwa setiap kali bersua dengan pejabat tinggi Belanda selalu ada kalimat sapaan yang menyenangkan, pertanyaan basa-basi. Ketika bersua dengan Residen Betawi misalnya sang residen menyapa “Sudah datang Tuanku. Ada baik Tuanku”.

Sesudah pertemuan dengan residen, TIB tinggal di rumah Komandan Hamzah selama empat bulan.

Setelah empat bulan, residen memberi tahu TIB bahwa dia akan tinggal di Cianjur. Dikatakan bahwa TIB akan dapat gaji (50 rupiah/gulden) per bulan, dapat makan, dan dapat rumah tempat tinggal.

Lima hari setelah itu, dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh enam kuda, TIB bersama Komandan Hamzah berangkat menuju Bogor. Di Bogor mereka ingin menemui residen, tetapi residen hanya berpesan agar TIB dibawa menemui regen depati Bogor. TIB juga tidak sempat bersua dengan regen/bupati Bogor, namun sempat bermalam di sana. Besoknya perjalanan dilanjutkan menuju Cianjur. Setelah itu TIB menetap di sana.

Dalam NTIB ini tidak disebutkan aktivitas TIB selama di Cianjur. Namun ada satu informasi yang menarik. Tidak lama sesampai di Cianjur, TIB membuat surat permintaan kepada Tuan Besar (Gubernur Jendral Hindia Belanda) melalui Residen Cianjur untuk diizinkan pulang ke kampung halamannya. Tiga bulan menunggu, akhirnya datang balasan yang isinya meminta TIB datang ke Batavia. Tidak datang sembarang datang, tetapi datang dengan membawa semua barang dan perkakas yang dimiliki.

Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, TIB dijemput tengah malam. Dibawa ke Bogor dengan pengawalan penuh, 12 serdadu di depan dan 12 dibelakang. Dari Bogor dibawa ke Betawi. Sesampai di Betawi menginap lagi di rumah Komandan Hamzah,

Di Betawi TIB baru sadar bahwa jawaban atas permintaannya agar diizinkan pulang kampung dijawab oleh Gubernur Jendral dengan keputusan memindahkannya ke Ambon.

NTIB memberikan rincian perjalanan ke Ambon dengan cukup lengkap. Dari Betawi TIB berangkat dengan kapal perang menuju Surabaya. Di Surabaya menginap selama tiga malam. Dari Surabaya pelayaran dilanjutkan ke Negeri Sido Tabing, bermalam pula selama tiga malam. Di Sido Tabing TIB membeli bahan makanan (bahan yang akan dimasak). Dari Sido Tabing pelayaran dilanjutkan ke Buton. Berlabuh selama enam malam di Buton. Dari Buton pelayaran dilanjutkan menuju Ambon. TIB menulis dibutuhkan waktu dua bulan untuk menempuh jarak Betawi dengan Ambon tersebut.

Di pelabuhan TIB dijemput fiskal dan dibawa menghadap “tuan besar” (gubernur). Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan dan kesehatan “tuan besar” mengataka bahwa TIB akan tinggal di Ambon, mendapat gaji 65 rupiah (gulden) sebulan, 200 pon beras, namun tidak mendapat pakaian.

TIB tinggal di rumah Al Haji Umar. Rumah itu disewakan oleh pemerintah sebesar 15 rupiah per bulan. TIB tinggal selama 2 tahun di rumah itu.

Karena kondisi rumah yang buruk dan sewa mahal, TIB berniat untuk pindah rumah. Pindah ke  rumah seorang saudagar bangsa Belanda.

Al Haji Umar tidak setuju TIB pindah, sebab pasti membuat dia rugi. Selama ini dia diuntungkan dengan kehadiran TIB, sebab rumahnya jelek dan dibayar mahal. Karena hasat dan dengki ini, Haji Umar melapor pada gubernur dan mengasung gubernur dengan mengatakan bahwa dia tidak bertanggung jawab kalau TIB lari atau mengamuk.

Hasungan sang haji tersebut diterima sang gubernur, sehingga gubernur memutuskan akan memindahkan TIB ke Menado. Namun, ketika menyampaikan rencana itu kepada TIB, gubernur mengatakan bahwa kepindahan TIB ke Menado adalah demi kebaikan TIB sendiri. Dikatakan bahwa Menado negeri baik, tempat baik, makan murah. Di sini (Ambon) segala barang mahal karena negeri kecil.

TIB mencoba meminta kepada sang gubenur agar dia tidak dipindahkan ke Menado. Tetapi gubernur bersikeras mengatakan TIB harus pindah.

Dalam NTIB kemudian dikemukakan bagaimana usaha TIB agar diizinkan tetap tinggal di Ambon. Dikatakan bagaimana lika-liku usaha yang ditempuh TIB dalam membuat surat permohonan agar tidak dipindahkan ke Menado. Bagaimana dia membuat surat permohonan yang juga ditandatangi dan didukung oleh banyak pihak, di antaranya fiskal dan Kapiten Melayu. Diceritakan juga bagaimana pandangan Kapiten Melayu dan seorang Belanda (Tuan Pinner) juru tulis yang membantu TIB membuat surat permohonan tentang negeri Menado. Keduanya mengatakan bahwa Menado tidak Islam. Banyak babi di situ. Negerinya kotor sekali.

Surat permintaan agar tidak dipindahkan ke Menado dibalas oleh gubernur dengan perintah segera berangkat. Tidak pakai lama, besok harinya TIB harus berangkat karena kapal sudah menunggu.

Dari Ambon kapal yang ditumpangi TIB singgah dulu di Ternate (pelayaran Ambon-Ternate ditempuh selama lima hari). Bermalam selama tiga hari di Ternate. Sewaktu berlabuh itu TIB dikunjungi oleh Raja Ternate. Dari Ternate, pelayaran dilanjutkan menuju Menado. Setelah berlayar selama tiga hari tiga malam sampailah di pelabuhan, tetapi kapal tidak bisa merapat ke dermaga. Ombak besar dan angin kencang. Akibatnya kapal hanyut terbawa arus hingga mendekat ke Ternate lagi. Kapal kemudian balik lagi ke Menado, dan pengalaman yang sama terulang lagi. Terulang sampai tiga kali. Dinyatakan dalam NTIB, ada hubungan antara kegagalan kapal tersebut merapat ke pelabuhan dengan keramat TIB. TIB tidak rela pindah ke Menado.

Setelah turun ke darat diketahui bahwa negri tempat kapal berlabuh itu bukan Menado, tetapi Kimah. Dari Kimah kapal berlayar lagi selama satu hari dan barulah sampai di Menado.

Sesampai di Menado TIB dibawa menemui residen, dan residen memerintahkan agar TIB dibawa menemui Letnan Melayu.

TIB tinggal di Menado selama empat bulan. Setelah itu diputuskan pula bahwa TIB dipindahkan ke Komba. TIB, yang telah mengetahui bahwa Komba adalah negeri kecil dan berada di pedalaman, serta memiliki suhu yang dingin, meminta agar dia jangan dipindahkan ke sana. Permintaannya ditolak dengan jawaban yang kasar. “Belum lagi Tuanku rasa sudah tuanku minta, mana boleh. Pai malah Tuanku dulu. Coba barang satu atau dua bulan. Kalau rasa tidak baik boleh datang sama saya minta tolong”.

Setelah delapan bulan tinggal di Komba, TIB merasa tidak cocok. Suhu di sana terlalu dingin sehingga TIB minta dipindahkan kembali. Dijawab oleh petinggi setempat dengan mengatakan boleh pindah tetapi ini yang terakhir. TIB ditawarkan pindah ke beberapa tempat, boleh pindah ke Menado, Lotak, Tomohon, atau Tondano. Akhirnya dipilih Lotak dan disetujui.

Tetapi kemudian oleh pemerintah TIB dibuatkan rumah di Kokas dan dipindahkan ke sana. TIB merasa tidak cocok tinggal di Kokas. Alasannya Kokas terlalu kecil, airnya kotor dan tidak cocok untuk beribadah.

Setelah setahun tinggal di Kokas, TIB minta kepada residen agar dia diizinkan membeli tanah tempat tinggal di Lotak, tempat yang semula dia pilih dan disetujui residen. Usulannya ini disetujui residen, bahkan dikatakan TIB boleh membeli tanah sebanyak yang dia suka. TIB beli tanah seluas 100 benih padi, dengan harga 60 rupiah delapan puluh kepeng.

Setelah itu dibangunlah rumah tempat tinggal di tanah yang dibeli tersebut.

Namun sewaktu akan pindah, ketika TIB melapor, komandan militer tidak terima dan menghasung residen agar TIB tidak diizinkan pindah ke Lotak. TIB disalahkan karena tidak melapor kepadanya terlebih dahulu. Residen menerima pengaduan komandan tentara sehingga dia juga tidak mengizinkan TIB pindah ke Lotak. Protes TIB yang mengatakan mengapa dulu dia diizinkan, tidak didengar sang residen.

Nasib baik berpihak pada TIB. Tidak lama setelah komandan tentara dan residen membatalkan kepindahannya ke Lotak, “Tuan Besar” (gubernur) dari Ambon datang berkunjung ke Menado dan juga Lotak. “Tuan Besar” bahkan memanggil TIB untuk bertemu. Saat itulah TIB mengadukan permasalahan yang dihadapinyadengan sang residen. Setelah pertemuan tersebut, residen mengizinkan TIB pindah ke Lotak.

TIB tinggal selama 10 tahun di Lotak. Sebagaimana tertulis pada NTIB, hari Selasa bulan November 1864 TIB berpulang ke Rahmatullah.

TIB berpulang pada usia 92 tahun. Usia ini dihitung dengan menjumlahkan keterangan yang disampaikan TIB saat bersua dengan Elout di Bonjol tahun 1832, saat itu beliau mengatakan bahwa beliau berusia 60 tahun. Bila dihitung bahwa beliau meninggal tahun 1864  (32 tahun setelah pertemuan dengan Elout), maka berarti usianya saat meninggal TIB berusiadalah 92 tahun.

Berpulangnya TIB berarti berakhir pulalah masa pembuangannya yang berlangsung selama 26 tahun. Angka 26 tahun diambil dari perhitungan mulai dia ditangkap tahun 1838 hingga meninggal tahun 1864. Angka ini juga berarti bahwa hampir sepertiga umurnya dihabiskan di pengasingan.

III

Pengasingan TIB memiliki dinamika tersendiri. Tidak seperti kebanyakan pejuang Indonesia musuh Belanda, yang umumnya diasingkan ke satu tempat saja, maka TIB diasingkan ke banyak tempat. Pada awalnya diasingkan ke negeri yang penduduknya Islam, selanjutnya ke negeri yang mayoritas warganya non-muslim. Pola pengasingan ini ada hubungannya dengan upaya pengasingan TIB dari lingkungan yang islami.

Perjalanan TIB menuju tanah pengasingan juga diisi banyak pertemuan dengan sejumlah sosok yang memiliki berbagai karakter. Ada komandan tentara yang munafik dan sombong, ada tokoh adat Urang Awak yang penuh hasat dan dengki, ada ‘menak’ atau bangsawan dan pejabat Sunda yang tidak mau menemui TIB, ada pejabat Belanda yang sama dan orang sipil Belanda yang suka menolong, ada haji yang juga penuh hasat dan dengki, ada ‘orang lain’ (komandan orang Bali di Betawi, Kapiten dan Letnan Melayu di Ambon dan Menado) yang penuh simpati dan suka membantu, ada Raja Ternate yang memberi penghargaan kepada TIB, dan sejumlah sosok lain dengan sifat dan karakter yang berbeda. Semua orang yang ditemui TIB dalam pengasingannya memiliki sifat yang menampilkan karakter manusia dengan segala kurenah dan perangainya. Itu semua sangat manusiawi.

Tidak hanya pengalaman fisik serta kasat mata yang ditampilkan, NTIB juga menyajikan sejumlah informasi tentang dunia spritual bahkan dunia magis yang ada pada TIB. Ada banyak informasi tentang dunia ini dalam NITB. Salah satu contoh aspek ini dikemukakan TIB dalam kaitannya dengan kegagalan kapal merapat ke pelabuhan dalam perjalanan menuju Menado.  Kapal gagal merapat karena TIB tidak rela diasingkan ke negeri di mana kapal akan berlabuh. Dikatakan, keramat TIB-lah yang membuat kapal selalu gagal berlabuh, dan karena keramat TIB pulalah akhirnya, atas izin beliau, kapal akhir bisa sandar di dermaga. TIB ‘mengalah’ karena tidak ingin kapal dan penumpang kapal lebih lama menderita karena ketidakikhlasannya dipindahkan ke negeri yang tidak disukainya.

Sebagai sebuah karya ‘biografi’ yang ditulis menurut pola histriografi tradisional, NTIB memang memiliki sejumlah unsur yang tidak ditemukan dalam karya sejarah moderen (empiris). NTIB tidak memiliki kesadaran waktu, NITB sering memasukkan aspek-aspek non-empiris dalam narasinya, dan sejumlah ciri histriografi tradisional lainnya. Namun itu semua tidak mengurangi makna historis kandungan isinya, tidak mengurangi nilainya untuk dijadikan sebagai sumber sejarah. Kelemahan-kelemahan NTIB bisa diperkuat dengan penggunaan sumber-sumber tertulis lain yang bejibun jumlahnya.

Di samping bisa digunakan untuk penulisan sejarah Perang Padri khususnya, NTIB juga bisa dijadikan “senjata” untuk mengkaunter pendapat atau pandangan yang mengatakan bahwa TIB tidak pernah ditangkap, tidak pernah dibuang, dan tidak meninggal serta tidak berkubur di Lotak. Karena dari NTIB ini kita bisa mengetahui bahwa pendapat itu adalah sangat tidak mungkin. NTIB menyebut ada banyak orang, dengan siapa Tuanku Imam Bonjol berhubungan dalam proses penangkapanan dan pembuanganya. Dan sebagian dari orang-orang itu, kenal dan pernah berhubungan dengan Tuanku Imam Bonjol. Jadi tidak mungkin, bahwa orang-orang banyak itu bisa ditipu oleh orang yang ‘berakting’ sebagai Tuanku Imam Bonjol.

TIB memang ditangkap, dibuang ke banyak tempat, dan meninggal serta berkubur di Lotak.

Perjalanan TIB menuju tanah pembuangan adalah sejarah perjuangan yang juga perlu dihayati dan diapresiasi. Ada banyak perderitaan yang juga dialami dan ada banyak upaya yang dilakukan TIB agar tetap survive dalam perjalanan menuju dan tinggal di pengasingan. Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa Tuanku Imam Bonjol betul-betul berjuang hingga akhir hayatnya.

Daftar Kepustakaan:

Darwis Madjolelo Dt. dan Ahmad Marzuki, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan. Djakarta: Djam­batan, 1951.

L. Dt. R Dihoeloe, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam. Medan: Buchhandel Islamijah, 1939.

Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat, 1803-1838. Djakarta: Kementerian P.P. dan K. Perpustakaan Perguruan, 1954

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Ditulis oleh Gusti Asnan