Urang Awak dan Gerakan ke Pantai Timur Sumatra

“Go West, young man” adalah sebuah ungkapan yang terkenal dalam sejarah Amerika Serikat. Frase yang dipopulerkan oleh Horace Greeley ini menjadi “penuntun” arah perkembangan ekspansi orang Amerika ke arah barat, dari kawasan timur yang semula mereka duduki. “Anjuran” ini menjadi gerakan yang akhirnya menghadirkan kisah-kisah sukses bagi warga Amerika yang menuruti imbauan tersebut khususnya dan membuahkan kejayaan bagi bangsa Amerika yang merestui gerakan itu pada umumnya.

Berbeda dengan Amerika Serikat, pemerintah Hindia Belanda atau Republik Indonesia umumnya dan orang Minangkabau atau pemerintah Sumatra Barat khususnya, memilih melakukan gerakan ke arah timur. Hasil gerakan itu nyaris sama dengan pengalaman Amerika. Banyak kisah sukses yang dicatat oleh orang Minangkabau atau pemerintah Sumatera Barat setelah mereka melakukan gerakan ke timur itu. Sehingga bisa dikatakan, gerakan ke timur tersebut memberi arti yang besar bagi Minangkabau (Sumatra Barat). Gerakan ke timur itulah, yang secara langsung atau tidak, mengakibatkan terjadinya sejumlah perubahan di kalangan Urang Awak atau warga Sumatra Barat. Perubahan yang bisa dikatakan menuju ke arah kesempurnaan.

Dari catatan sejarah diketahui, bahwa gerakan ke timur itu telah dimulai sejak waktu yang lama. Gerakan itu telah terjadi sejak hari-hari pertama era moderen awal, namun gerakan yang paling intensif dan terencana, serta dilakukan dengan sungguh-sungguh mulai terjadi sejak hadirnya pemerintahan kolonial di daerah ini (dan tentu saja berlanjut ke zaman pemerintah RI dewasa ini). Gerakan ke timur pada era moderen awal lebih bersifat spontanitas dari “masyarakat biasa” (bisa terdiri dari kaum  saudagar  atau  para  bangsawan),   namun  gerakan  ke  timur  pada  zaman penjajahan dan Indonesia merdeka lebih terencana (terutama yang dilakukan oleh pemerintah) dan mempunyai alasan/latarbelakang serta tujuan yang jelas.

Tulisan ini mencoba menelusuri dinamika sejarah Minangkabau (Sumatra Barat) dalam kaitannya dengan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah, baik pemerintah kolonial Belanda ataupun pemerintah RI dalam melakukan gerakan ke timur. Pemerintah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemerintah daerah pada masa kolonial dan masa republik (Residentie van Padang en Onderhoorighenden, Gouvernement van Sumatra’s Westkust, Residentie Sumatra’s Westkust dan Provinsi Sumatera Barat).

Ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, di antaranya: Mengapa pemerintah daerah pada era kolonial atau repubik memilih melakukan gerakan ke timur? Ada apa di kawasan timur itu? Bagaimana gerakan tersebut diwujudkan dan mengapa aspek-aspek itu yang dipilih?

II

Gerakan ke timur betul-betul dimulai dari kawasan yang paling barat dari Sumatra Barat. Kawasan paling barat itu adalah kawasan pantai barat Sumatra Barat. Secara geografis, kawasan paling barat ini berada di bibir pantai Samudra Hindia. Di kawasan pesisir inilah sesungguhnya sejarah pembangunan dan perkembangan Sumatra Barat bermula, dan dari daerah ini pulalah gerakan ke timur itu berawal.

Berawalnya gerakan ke timur (dari kawasan pantai) karena kawasan itulah yang pertama kali didatangi oleh orang Eropa. Bangsa Eropa yang pertama kali menjejakan kaki mereka di daerah itu adalah bangsa Portugis dan kemudian diikuti oleh Perancis. Kedua bangsa ini mengunjungi kawasan Barat Sumatra sejak abad ke-16. Pada abad itu armada Portugis setidaknya mengunjungi daerah tersebut sebanyak empat kali (1519, 1521, 1543, dan 1539), sementara itu armada Perancis sebanyak dua kali (1529 dan 1539).

Walaupun datang agak kemudian (pada perkisaran abad ke-16 dan 17), bangsa Belanda (dan Inggris) ternyata punya arti yang besar bagi berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya Pantai Barat. Tidak itu saja, mereka dapat dikatakan sebagai peletak dasar pemerintahan moderen di Sumatra Barat. Hal itu bisa dilihat, bahwa segera setelah mendatangi daerah itu, mereka mulai menubuhkan kekuasaan politik mereka. Sedikit perbedaan di antara kedua penguasa tersebut, Inggris lebih fokus menguasai kawasan Pantai Barat bagian selatan, dan Belanda lebih intensif menggarap kawasan Pantai Barat bagian utara hingga (Singkel). Walaupun demikian, sebagai konsekuensi dari dinamika politik kawasan khususnya dan perkembangan politik di Eropa umumnya, Inggris juga pernah menguasai kawasan Pantai Barat bagian utara. Penguasaan Inggris yang mencakup hampir seluruh pesisir barat Sumatra berlangsung antara tahun 1895 hingga 1819. Masa itu populer disebut dengan masa interegnum pemerintahan Inggris.

Sama dengan yang berlaku di Nusantara hingga Tanah Semenanjung Malaysia, Belanda menubuhkan “pemerintahan” VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan Inggris mendirikan “pemerintahan” EIC (East Indian Company) di Pantai Barat Sumatra. “Pemerintahan” VOC di kawasan ini dinamakan Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust dan beribukotakan Padang (sebelumnya Pulau Cingkuak). Kawasan yang termasuk ke dalam unit administratif ini meliputi daerah mulai dari Indrapura di selatan hingga Singkel di utara. Namun perlu diperhatikan bahwa kawasan yang menjadi bagian dari unit administratif tersebut – sesungguhnya – hanyalah sebuah dataran sempit yang jaraknya tidak begitu jauh dari bibir pantai. Walaupun demikian kekuasaan VOC yang betul-betul eksis hanyalah pada beberapa buah kota pantai saja, terbatas di kota-kota di mana VOC mendirikan loji-lojinya.

Sekitar selama 150 tahun VOC (dan Inggris) hanya menguasai daerah sempit di bagian paling barat Sumatra. Bangsa Belanda (dan juga Inggris) betah bertahan di kawasan yang sempit dan terbatas itu karena adanya berbagai potensi yang bisa membuat aktivitas politik mereka jalan dan kegiatan perniagaan mereka bisa bergairah di sana.  Di kawasan itu tumbuh subur lada, dan lada merupakan komoditas dagang utama pantai barat saat itu. Di samping lada, kawasan tersebut juga menghasilkan emas. Walaupun dalam jumlah yang tidak begitu melimpah, emas bisa didapat di banyak nagari kawasan pantai barat. Kedua komoditas ini, adalah “modal” utama yang membuat orang Belanda merasa cukup nyaman tinggal dan menguasai kawasan sekitar tepi pantai semata. Apatah lagi, berbagai komoditas impor yang didatangkan dari negeri luar, sesungguhnya bisa diserap oleh penduduk kawasan pantai. Kawasan pantai barat (khususnya kota-kota pesisir di mana VOC mendirikan lojinya) juga menjadi pintu masuk ke daerah pedalaman dari Tanah Seberang dan sekaligus pintu keluar dari daerah pedalaman bila ingin pergi ke Tanah Seberang, sehingga dengan menguasai kawasan pantai saja, VOC – sampai pada batas tertentu – juga “menguasai” daerah pedalaman. Dengan demikian, menguasai kawasan pantai, untuk kurun waktu itu, sudah lebih dari cukup bagi mereka.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, situasi mulai berubah. Menjelang akhir abad ke-18, terjadi kebangkitan ekonomi yang diiringi dengan perubahan sosial di daerah pedalaman. Kebangkitan ekonomi itu berhubungan erat dengan dihasilkannya kopi dan kayu manis dalam jumlah yang melimpah di daerah tersebut. Kedua komoditas ini sangat laku di pasaran dunia saat itu, dan keduanya menjanjikan keuntungan yang besar bagi aktor-aktor yang terlibat di dalam penanaman dan perdagangannya. Kebangkitan ekonomi ini menjadi pemicu bagi perubahan sosial. Perubahan sosial terjadi karena produksi kopi dan kayu manis yang melimpah menghadirkan “orang kaya baru”. “Orang kaya baru” yang muncul itu menggunakan uang mereka untuk “mengubah nasib” melalui perantauan mental. “Perubahan nasib” tersebut dilakukan dengan jalan menyekolahkan anak-anak muda mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang ada masa itu, dan pendidikan itu adalah pendidikan Islam. Pada tingkat lokal, lembaga pendidikan tersebut adalah surau (kebetulan seiring dengan kebangkitan ekonomi, juga terjadi gerakan pembaruan Islam di Minangkabau dan surau-surau mulai tampil di panggung sejarah daerah saat itu). Ada banyak surau yang terkemuka pada waktu itu, dan ke surau-surau tersebut tersebut di berbagai tempat di Minangkabau. Sebagian alumni surau dan kebetulan memiliki cadangan finansial yang cukup kemudian melanjutkan pendidikan mereka ke Tanah Arab.

Sepulang menuntut ilmu tersebut, dengan pengetahuan baru yang mereka miliki, banyak dari mereka yang ingin melakukan perubahan di tengah masyarakat. Mereka mengeritisi praktik-praktik ibadah (agama) yang dianggap tidak sesuai ajaran agama (Al-Qur’an dan hadist), mereka juga mengeritisi bahkan ingin membongkar sistem/pranata sosial, politik, dan budaya daerah. Perubahan yang mereka lakukan ternyata menimbulkan “kegaduhan” sosial dan politik, yang dalam berbagai literatur sejarah, “kegaduhan” tersebut dikenal dengan Gerakan Paderi (kemudian dilanjutkan dengan Perang Paderi).

Kebangkitan ekonomi dan gejolak sosial yang terjadi di daerah pedalaman akhirnya melibatkan bangsa Barat yang berada di kawasan pantai. Inggris, yang pada saat gejolak itu mulai membara, menguasai Sumatra’s Westkust menjadi bangsa Barat pertama yang terlibat dalam persoalan itu. Namun keterlibatan tersebut tidak dalam artian ikut-serta dalam kecamuk perang, tetapi diwujudkan dengan sebuah misi “perjalanan ilmiah” ke daerah pedalaman. Perjalanan yang dimaksud adalah kunjungan ke pusat Minangkabau yang dilakukan oleh Raffles dan rombongan  tahun 1818. Walaupun dikatakan hanya sebagai sebuah “perjalanan ilmiah”, tidak diragukan lagi kunjungan itu didasarkan oleh keinginan Raffles khususnya dan “pemerintahan  Bengkulu” pada umumnya untuk mengetahui keadaan di daerah pedalaman serta potensi daerah-daerah yang ada di kawasan timur daerah pedalaman tersebut. Jelas sekali Gerakan Ke Timur Raffles ini tidak hanya sekedar kunjungan musibah, tetapi juga mengandung arti ekonomi dan politis. Kenyataan ini bisa dibuktikan dari dengan dibangunnya Benteng Simawang dan ditinggalkan satu pleton pasukan sepoy di sana oleh Raffles. Besar sekali arti ekonomis dan politisnya pembangunan benteng dan penempatan tentara ini, karena Simawang terletak pada salah satu ruas jalan yang penting antara daerah pesisir dengan pedalaman. Ini berarti Inggris ingin mengontrol pergerakan orang dan barang antara kedua daerah. Arti ekonomi dan politik lain dari misi Raffles ke pedalaman terlihat ketika Inggris harus hengkang dari Pantai barat sebagai akibat dari Konvensi London, Raffles bersikeras untuk mempertahankan Sumatra’s Westkust dan daerah pedalamannya. Raffles bahkan mengusulkan kepada pemerintahan “pusat” di India (dan juga di Inggris) agar tetap menguasai Sumatra Barat (hingga daerah pedalamannya). Penguasaan ini penting, karena Raffles mengatakan “siapa yang berhasil menguasai kawasan tengah Sumatra berarti akan dapat menguasai jantung kawasan niaga Selat Malaka”.

Gerakan ke timur yang dilakukan Raffles (Inggris) tidak bisa dilanjutkan, karena Inggris harus meninggalkan Sumatra. Ikhtiar Inggris tersebut diwujudkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda menerima Sumatra’s Westkust dari tangan Inggris. Segera setelah menguasai Sumatra’s Westkust, pemerintah Hindia Belanda langsung melanjutkan gerakan ke timur yang telah dimulai Inggris. Prahara politik yang terjadi di daerah pedalaman dijadikan sebagai alasan gerakan ke timur oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memandang kegaduhah politik di daerah pedalaman tersebut akan bisa mengancam kekuasaan Belanda yang baru saja eksis di kawasan pantai. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh munculnya sejumlah penghulu dari Luhak Tanah Datar (yang dipimpin oleh Sutan Alam Bagagarsyah) di Padang dan kedatangan mereka ke ibu kota keresidenan tersebut adalah meminta bantuan Belanda untuk memerangi kaum Paderi.

Bak pucuk dicinta ulam tiba, Residen Du Puys segera menyetujui permintaan tersebut, dan segera setelah itu Belanda memulai gerakan ke timur. Gerakan ke timur ini kemudian berhasil menubuhkan kekuasaan Belanda di daerah pedalaman. Daerah “timur” yang pertama mereka kuasai adalah Tanah Datar. Hal itu ditandai dengan jadikannya daerah itu sebagai bagian dari unit administratif Residentie Padang en Onderhoorigheden, dan ditempatkannya seorang wakil pemerintah Belanda di daerah itu (Batu Sangkar) yang saat itu populer dengan sebutan Fort van der Capellen. Tidak itu saja, Sutan Alam Bagagarsyah, tokoh yang berperan mengundang Belanda masuk ke daerah pedalaman juga diangkat penguasa kolonial sebagai Hoofdregent van Minangkabau, sebuah jabatan yang diciptakan Belanda, yang sesungguhnya tidak punya peran soial, politik, atau ekonomi apa-apa. Jabatan itu seharusnya dipandang sebagai “imbalan” dari pemerintah kolonial terhadap Alam Bagagarsyah yang melempangkan jalan baginya untuk masuk ke daerah pedalaman.

Setelah menguasai Tanah Datar, gerakan ke timur dilanjutkan dengan menguasai Agam dan Limapuluh Kota. Setelah penaklukan itu dilaksanakan maka Fort de Kock (Bukittinggi) dijadikan sebagai pusat pemerintah, militer, dan ekonomi kolonial oleh penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Residentie Padangsche Boven­landen dibentuk, maka Fort de Kock dijadikan ibu kota unit administratif yang baru dibuat itu.

Dari Agam Belanda merangsek ke arah utara dan kemudian kawasan timur dari belahan utara tersebut, di antaranya ke kawasan Dalu-Dalu (Rokan). Sehubungan dengan itu, ekspansi ke utara itu sesungguhnya juga bagian dari gerakan ke timur pemerin­tah kolonial Belanda.

Sejumlah karya sejarah mengenai masuknya Belanda ke kawasan pedalaman selama ini cenderung mengaitkan gerakan ke timur itu dengan kampanye militer. Gerakan ke timur periode awal ini dilihat dari ikut-sertanya Belanda dalam Perang Paderi. Sering dikatakan bahwa gerakan ke timur yang dilakukan pemerintah Belanda sebagai sebuah penaklukan militer yang melibatkan ribuan tentara. Dan kemenangan yang diperoleh pihak Belanda cenderung dikaitkan dengan kelebihan mereka dalam sistem persenjataan dan taktik serta strategi perang yang lebih moderen. Sangat sedikit, atau hampir tidak ada kajian yang melihat bahwa kisah sukses ekspansi ke daerah pedalaman itu adalah juga hasil dari strategi “non-militer”, yang antara lain ditandai dengan pembangunan jalan raya untuk memudahkan mobilisasi pasukan. Nyaris belum ada kajian yang lebih sungguh-sungguh menelusuri berapa banyak jalan raya antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman yang dibangun oleh Belanda pada hari-hari pertama gerakan mereka menuju kawasan pedalaman, yang nota benenya berada di sebelah timur daerah yang selama ini mereka kuasai.

Tidak diragukan lagi, kisah sukses masuknya Belanda ke kawasan pedalaman (gerakan ke timur), atau kisah sukses Belanda menaklukan Kaum Paderi  adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan jaringan jalan raya yang mereka lakukan. Setidaknya, selama Perang Paderi tersebut, Belanda membangun tiga jalur jalan raya utama yang menghubungkan kawasan pantai dengan daerah pedalaman. Pertama, antara Padang via Limau Manis terus ke Gantung Ciri, Guguak, Selayo dan ke Tanah Datar; kedua, dari Padang via Lubuk Minturun terus ke Saningbakar dan Singkarak serta dilanjutkan ke Tanah Datar; ketiga, dari Pariaman dan Tiku, terus ke Lubukbasung, Maninjau, Matur, dan dari Matur jalan bercabang dua, yang pertama ke Bukittinggi serta yang satu lagi ke Palembayan dan selanjutnya ke Bonjol.

Ada fenomena yang sangat menarik dari Gerakan ke Timur dengan cara membangun jalan raya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Jalan yang mereka bangun itu sesungguhnya adalah jalan lama (jalan setapak) yang sebelumnya telah digunakan oleh penduduk pedalaman ketika mereka pergi ke daerah pantai atau ketika mereka pulang ke daerah pedalaman dari daerah pantai. Namun jalan baru mereka bangun itu jauh lebih baik mutunya sehingga bisa dilalui oleh kuda dan kendaraan penarik meriam (orang Belanda meningkatkan mutu apa yang dibuat penduduk setempat).

Di samping membangun jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman, di daerah pedalaman itu sendiri, baik di Tanah Datar, atau antara Tanah Datar dengan Limapuluh Kota serta Agam pemerintah kolonial Belanda juga membangun puluhan atau ratusan ruas jalan. Pembangunan ruas-ruas jalan tersebut, pada awalnya adalah untuk kepentingan pergerakan pasukan (tentara). Itulah sebabnya, mengapa di kawasan Tanah Datar khususnya dan dari Tanah Datar ke kawasan Agam dan Limapuluh Kota terdapat demikian banyak ruas jalan. Ruas-ruas jalan itu masih bisa ditemukan hingga saat sekarang.

Pembangunan jaringan jalan raya inilah yang menyebabkan dinamisnya mobilisasi pasukan Belanda selama Perang Paderi. Dan dinamisnya mobilisasi pasukan ini pulalah yang menjadi salah satu faktor penentu utama kemenangan Belanda dalam Perang Paderi. Kemenangan dalam Perang Paderi berarti juga tuntasnya upaya gerakan ke timur fase awal pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat.

III

Pembangunan jaringan jalan raya kemudian menjadi salah satu prioritas pemerintah daerah Sumatra Barat pasca-penaklukan Kaum Paderi. Ruas-ruas jalan yang telah dirintis sebelumnya ditingkatkan mutunya. Program peningkatan mutu jalan ini antara lain ditandai dengan pelebaran jalan dan pengurangan terjalnya tanjakan atau tajamnya penurunan. Upaya peningkatan jalan ini menyebabkan jalan yang semula hanya bisa dilalui oleh kuda atau kereta penarik meriam sekarang bisa dilalui oleh pedati yang ditarik oleh kerbau.

Di samping peningkatan mutu jalan yang telah ada, juga dilakukan pembukaan jalan baru. Dua ruas jalan yang dibuka pasca-Perang Paderi adalah ruas jalan dari Padang atau Pariaman menuju Padang Panjang dan Bukittinggi via Sicincin dan Kayutanam serta Lembah Anai, serta ruas jalan antara Air Bangis dengan Rao.

Pembangunan ruas jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah salah satu “proyek” paling besar dan paling penting artinya di dan bagi Sumatra Barat. Pembangunan berbagai ruas jalan itu dilakukan dengan susah payah dan dengan energi serta dana yang besar. Ada perbedaan topografi yang sangat signifikan antara daerah pesisir dengan daerah  pedalaman, dan perbedaan itu menyebabkan adanya sebuah tanjakan yang paling tajam pada hampir semua ruas jalan antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman. Tanjakan yang paling tajam dalam ruas Pariaman – Lubuk Basung – Maninjau – Matur adalah Kelok 44, tanjakan palin tajam pada ruas jalan antara Padang (Pariaman) – Sicincin – Kayutanam – Padangpanjang adalah Singgalang Kariang, tanjakan yang paling tajam dalam ruas jalan Padang – Solok adalah Sitinjau Laut.

Pemerintah kolonial Belanda “nekad” membangun jalan raya antara kawasan pesisir dengan pedalaman, walaupun menguras tenaga dan biaya yang besar. Pilihan tersebut tetap mereka ambil karena itu adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik gerakan ke timur. Pembangunan jaringan jalan raya adalah kunci suksesnya gerakan ke timur pada fase kedua.

Pemerintah kolonial Belanda tetap melanjutkan  politik pembangunan jaringan jalan raya pasca-Perang Paderi. Peningkatakan mutu jalan atau pembukaan ruas jalan baru saat itu berhubungan erat dengan keinginan penguasa Belanda untuk memperlancarkan hubungan antara daerah Barat dengan Timur dalam upaya memaksimalkan eksploitasi ekonomi daerah-daerah yang telah mereka kuasai. Eksploitasi ekonomi yang dimaksud adalah penyerahan wajib (Cultuur-stelsel) kopi oleh penduduk kepada pemerintah.

Sejak tahun 1847 pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa kopi di Sumatra Barat. Dalam sistem tanam paksa ini, setiap keluarga petani diwajibkan menanam sebanyak 250 batang kopi di tanah yang tersubur yang mereka miliki, kemudian mereka diwajibkan merawat, memanen, dan mengantarkan hasil panen kopi ke gudang-gudang kopi yang telah disediakan pemerintah. Dari gudang-gudang kopi yang umumnya berada di kawasan pedalaman tersebut kopi di bawa ke kawasan pantai. Untuk itu semua dibutuhkan adanya dan tersedianya jalan raya yang baik, jalan raya yang bisa dilalui oleh petani untuk membawa kopi yang mereka hasilkan dan jalan raya yang bisa dilalui pedati untuk mengangkut kopi.

“Jalan raya kopi” yang dibangun pasca-Perang Paderi itu nyaris menghubungkan semua daerah di kawasan pantai dengan daerah pedalaman, dan nyaris pula menghubungkan semua daerah yang ada di daerah pedalaman. Puluhan atau ratusan ruas jalan raya tersebut juga “dihiasi” oleh puluhan atau ratusan jembatan. Semua jembatan yang ada pada masa itu terdiri dari jembatan kayu. Dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan jembatan tersebut, maka pemerintah atau penduduk setempat memberi atap pada banyak jembatan. Tidak tanggung-tanggung, banyak jembatan yang diberi atap menyerupai atap rumah gadang, rumah adat Minangkabau.

Suksesnya Tanam Paksa Kopi didukung oleh tersedianya jaringan jalan raya yang bisa dikatakan lebih dari cukup di Sumatra Barat. Sehingga bisa dikatakan, pada era Tanam Paksa Kopi (dan tentu saja pada masa sesudah Tanam Paksa Kopi dihapuskan), Sumatra Barat termasuk salah satu daerah yang memiliki jaringan jalan raya yang paling banyak dan dengan kondisi yang paling baik saat itu di Hindia Belanda).

Gerakan ke timur yang ditandai dengan pembangunan prasarana transporasi memasuki babak baru pada perempat terakhir abad ke-19. Pada saat itu, pemerintah kolonial membangun jaringan jalan kereta api yang menghubungkan kota Padang dengan Padang Panjang, Solok dan Sawahlunto. Secara geografis, Sawahlunto berada di bagian timur kota Padang. Pembangunan jaringan jalan kereta api ini dilakukan karena ditemukannya cadangan batubara dalam jumlah yang banyak di kawasan sekitar Sawahlunto. Kereta api menjadi alat pengangkut utama batubara ini. Dari Swahlunto, batubara tersebut dibawa ke Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur), pelabuhan laut yang ada di kota  Padang untuk selanjutnya diekpsor ke mancanegara.

Pembangunan jaringan jalan kereta api yang semula hanya hingga Sawahlunto kemudian (pada awal abad ke-20) dilanjutkan hingga ke Bukittinggi dan Payakumbuh, direncanakan hingga Suliki. Perluasan jangkauan dan layanan kereta api ini bisa juga dilihat sebagai bagian dari gerakan ke Timur yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda. Bukankah Payakumbuh khususnya dan kawasan hingga Suliki pada umumnya terletak timur dari Sumatra Barat?

Introduksi jalan kereta api menjadikan lengkapnya prasarana dan sarana transportasi darat di Sumatra Barat. Kehadiran dua prasarana transportasi ini telah ikut menyukseskan eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya kolonial Belanda di Sumatra Barat.

IV

Seiring dengan perjalanan waktu, memasuki abad ke-20 kejayaan daerah yang berada di kawasan pantai barat mulai meredup. Kelesuan juga melanda daerah pedalaman Sumatra’s Westkust. Produksi kopi menurun dengan drastis dan kopi tidak lagi menjadi komoditas primadona dalam perdagangan dunia. Penurunan produksi yang tajam juga dialami oleh berbagai komoditas dagang lain yang dihasilkan daerah pedalaman. Sehubungan dengan itu, secara lambat namun pasti, kawasan pesisir barat mulai ditinggalkan para pelaku ekonomi. Beberapa negara asing yang sebelumnya membuka konsulat perdagangan mereka di Padang misalnya, mulai meninggalkan kota itu dan memindahkan kantor mereka ke daerah lain. Sejumlah perusahan ekspor-impor yang sebelumnya memiliki handelhuizen (rumah dagang) satu demi satu juga meninggalkan kota itu. Sejumlah prusahaan pelayaran perkapalan mancanegara yang pada waktu sebelumnya menjadikan Padang sebagai pelabuhan “wajib singgah” mereka dalam pelayaran antara Batavia dengan Eropa atau sebaliknya, juga mengalihkan rute mereka ke kawasan lain. Padang khususnya dan Sumatra Barat umumnya tidak lagi termasuk kawasan yang  memiliki gairah niaga yang mempesona. Seperti di sebut di atas, kopi dan kayu manis, sebagai hasil andalan daerah pedalaman dan yang membuat bergairahnya daerah pantai barat, mulai menurun jumlah dan mutunya. Berbagai komoditas lain, yang dimasa-masa lampau juga ikut menggairahkan dunia niaga Sumatra Barat, juga merosot dengan sangat tajam produksinya. Kenyataan ini membuat lesunya hubungan antara daerah pantai barat dengan daerah pedalamannya, sebab sebagian besar komoditas perdagangan tersebut dihasilkan oleh daerah pedalaman.

Sebaliknya, memasuki awal abad ke-20 pantai timur Sumatra (termasuk daerah yang berada tepat di sebelah timur Sumatra Barat) mulai menggeliat. Secara perlahan namun pasti, kawasan itu tampil menjadi pusat pertumbuhan politik dan ekonomi di Sumatra. Di samping itu, kawasan itu juga menjadi daerah pelintasan utama yang harus dilalui bila orang Sumatra Barat ingin pergi ke pusat-pusat politik dan ekonomidi kawasan Tanah Semenanjung Malaysia.

Perkembangan yang disebut terakhir inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda mulai memberikan perhatian yang istimewa pada kawasan tersebut (kawasan paling timur dari Sumatra Barat). Sehubungan dengan itu, berbagai misi perluasan kekuasaan ke arah timur mulai dilakukan.  Beberapa ekspedisi militer dikirim ke wilayah XIII Koto dan V Koto Kampar. Di samping itu daerah Kuantan, Indragiri, Siak, dan Rokan mulai dimasuki.

Dalam rangka memudahkan pergerakan pasukan dan rombongan berbagai ekspedisi ke kawasan Kampar khususnya (dari arah Sumatra Barat, dari Bukittinggi dan Payakumbuh), serta dalam rangka mengontrol daerah yang telah dikuasai di daerah itu, maka dibangunlah jalan raya antara Bukittinggi dan Payakumbuh dengan kawasan Kampar. Dengan demikian, sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat mengintensifkan gerakan ke daerah yang lebih jauh di timur.

Gerakan ke timur dari Sumatra tidak saja ditujukan ke kawasan yang dewasa ini menjadi bagian dari Provinsi Riau. Gerakan ke timur di awal abad ke-20 ini sesungguhnya juga mengarah ke kawasan yang lazim dikenal dengan Sumatra’s Oostkust atau Sumatra Timur (kawasan yang antara lain meliputi Deli, Serdang, Langkat, dlsbnya). Di kawasan ini juga muncul sebuah kota besar, yakni Medan dan kemunculan kota tersebut dengan cepat mengambil alih kejayaan Padang. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Medan tumbuh menjadi kota terbesar dan terpenting di Sumatra. Pada decade-dekade pertama abad ke-20, Medan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang terkemuka di Sumatra. Kenyataan ini disebabkan oleh pembukaan berbagai ordernemingen (perkebunan besar) di kawasan itu. Pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan kota Medan mengambil alih peran pelabuhan Emmahaven (Padang), dan kapal-kapal samudera yang dahulu menyinggahi Padang mengalihkan rutenya ke pelabuhan Belawan. Perkembangan inilah menyebabkan hampir semua konsulat perdagangan yang ada di Padang memindahkan kegiatan mereka ke Medan. Sejumlah besar handelhuizen yang sebelumnya ada di kota Padang juga hijrah ke kota itu.

Kebangkitan Medan khususnya dan Sumatra Timur umumnya, mendorong pemerintah Hindia membangun jaringan jalan raya dari Sumatra Barat ke Sumatra Timur, tepatnya dari Bukittinggi ke kota Medan. Karena itu, hubungan darat jarak jauh pertama di Sumatra (pada mulanya menggunakan bendi dan kemudian menggunakan bus/truk), adalah pelayanan transportasi darat antara Bukittingggi dengan Medan. Pelayanan ini telah terselenggara sejak dekade-dekade permulaan abad ke-20.

Pemerintah kolonial Belanda memang menggunakan jaringan jalan raya sebagai bagian penting dari penubuhan kekuasaan mereka di Sumatra. Sarana transporasi darat adalah faktor terpenting dari politik penaklukan mereka di Sumatra. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, untuk mengintensifkan penguasaan dan peneguhan kontrol atas Kampar khususnya dan Riau pada umumnya, pemerintah kolonial Belanda juga membangun jaringan jalan raya dari Bukittinggi, Payakumbuh hingga Bangkinang dan selanjutnyake Pakanbaru (di Riau). Di kawasan selatan Sumatra Barat, Belanda juga membangun jalan raya dari Solok, Sijunjung, Kiliran Jao menuju Taluk Kuantan hingga Rengat (di Riau).

Karena terletak di jajaran Pegunungan Bukit Barisan, maka kedua ruas jalan raya ini juga dipenuhi oleh tanjakan, penurunan, tikungan, serta diapit oleh tebing yang tinggi serta lembah yang dalam. Ruas jalan yang secara intensif mulai dibangun tahun 1920-an itu dapat dikatakan “selesai” pada pertengahan tahun 1930-an.

Kelok Sembian pada Ruas Jalan Antaar Bukittinggi – Pakanbaru

(Sumber: Elout, C.K., Indisch Dagboek. Den Haag: W.P. van Stockum & Zoon N.V., 1936)

Sejak dimulai pembangunan, jalan tersebut telah dimanfaatkan oleh para pengguna (baik saudagar atau orang biasa). Beberapa Laporan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Laporan Kadin Padang yang dibuat pada tahun-tahun pengerjaan jalan tersebut memberitakan bahwa ada banyak pengguna yang melintasi jalan yang tengah dikerjakan itu. Sehingga mereka berani meramalkan bahwa nantinya kedua ruas jalan itu akan menjadi ruas jalan utama dan terpenting di bagian tengah Sumatra. Laporan PU dan Kadin Padang juga menyebut bahwa salah satu pengerjaan yang paling sulit dan membutuhkan biaya serta menyita waktu yang banyak adalah pengerjaan ruas Jalan Kelok Sembilan. Walaupun demikian kedua lembaga ini juga mengatakan bahwa keberadaan Kelok Sembilan akan menjadi sangat penting, karena menjadi penentu utama dalam hidup atau matinya hubungan antara Payakumbuh (Sumatra Barat) dengan Bangkinang dan Pakanbaru (Riau). Pembangunan ruas jalan antara Payakumbuh dengan Bangkinang dan Pakanbaru (serta antara Kiliran Jao dengan Taluk Kuantan dan Rengat) dapat dikatakan sebagai puncak dari gerakan ke timur yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda. Pembangunan ruas jalan tersebut mengantarkan Sumatra Barat menjadi sebuah daerah yang mulai menggantungkan dirinya dengan kawasan sebelah timur, Riau khususnya dan Tanah Semenanjung pada umumnya.

V

Segera setelah Indonesia merdeka, pemerintah Sumatra khususnya nyaris alpa memperhatikan kawasan timur. Fokus perhatian lebih ditujukan kepada Sumatra Barat sendiri, khususnya daerah pedalamannya. Kebetulan atau tidak, segera setelah kemerdekaan RI diproklamirkan, daerah pedalaman Sumatra Barat, terutama Bukittinggi tampil sebagai pusat pemerintahan, pada awalnya Keresidenan Sumatra Barat, dan kemudian Provinsi Sumatra Tengah.

Pengabaian kawasan timur oleh pemerintahan daerah Sumatra Barat, atau warga daerah Sumatra Barat semakin menjadi-jadi ketika aktivitas sosial, politik, dan ekonomi Sumatra Tengah (sejak awal dasawarsa 1950-an) terkonsetrasi di Sumatra Barat umumnya dan di beberapa kota di daerah itu khususnya. Akibat perkembangan ini, orang Riau atau Jambi, yang secara geografi berada di kawasan timur Sumatra “terpaksa” datang ke Sumatra Barat. Mereka datang ke Sumatra Barat untuk menuntut ilmu karena sekolah lanjutan terbaik dan sekolah tinggi (akademi dan universitas terkemuka) hanya ada di Sumatra Barat. Mereka datang ke Sumatra Barat untuk berbelanja berbagai barang kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan lain. Mereka juga harus datang ke Sumatra barat untuk berbagai urusan administrasi atau politik, karena hampir semua instansi pemerintahan yang bersifat regional menempatkan kantor pusatnya di Sumatra Barat. Hal ini terlihat dari, antara lai, ditempatkannya di Sumatra Barat kantor Pusat Pelayanan Pajak untuk daerah Sumbar, Riau, dan Jambi; Kantor Pusat PLN; Pos dan Telekomonikasi; Bank Indonesia; BPCP; Kodam III; dlsbnya.

Keadaan seperti di atas berlangsung hingga berakhirnya era Orde Baru. Setelah itu berlaku ungkapan, “zaman berganti, musim berubah”. Era reformasi yang nyaris bersamaan dengan pergantian millennium mengantarkan Riau pada era baru, menuju alaf baru, Alaf Melayu Riau. Di era baru ini Riau mendapatkan kembali haknya yang selama ini nyaris tidak pernah didapatnya (terutama karena sistem politik yang sentralistis yang dijalankan Jakarta).

Memasuki alaf baru, orang Riau menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri. Posisi-posisi penting dalam lapangan politik daerah beralih dengan segera ke tangan orang Riau. Dana yang besar, sebagai kompensasi dari eksploitasi kekayaan alam daerahnya, dikucurkan pusat ke Riau.

Dalam waktu yang relatif singkat Riau umumnya dan Pakanbaru khususnya tumbuh menjadi pusat perekonomian. Investor masuk dan menanamkan modal mereka dalam berbagai lapangan pertanian dan industri. Prasarana transportasi dibangun dengan masif dan sarana transportasi juga tumbuh mencengangkan. Dalam kaitannya dengan sektor transportasi ini, Riau menjadi daerah yang begitu terbuka. Ada banyak pilihan yang mereka miliki. Ada jaringan jalan raya memudahkan mobilitas warga daerah ke utara (Sumatra Utara) atau ke selatan (Jambi dan Sumatra Selatan serta terus ke Jakarta). Perhubungan laut (menuju Kepulauan Riau atau Malaysia) juga tersedia. Transportasi udara juga tumbuh dengan pesat. Bandara yang semula hanya “selebar telapak tangan” dan gedungnya yang sederhana diperbesar dan dirombak menjadi gedung yang megah.

Kompleks perumahan dan hotel, serta pertokoan, supermarket dan mall juga tumbuh dengan maraknya.

Dengan dana yang melimpah Riau mengembangkan dunia pendidikannya. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi baru didirikan atau ditingkatkan mutunya. Untuk itu peralatan belajar-mengajar juga dilengkapi, serta sumber daya pendidikan (dan kualitas para pengajar) juga ditingkatkan. Dana yang besar juga diberikan untuk menyekolahkan “anak-anak” Riau ke pusat-pusat pendidikan (terutama di Pulau Jawa dan Malaysia). Dengan dana yang besar pula para penentu kebijakan di Riau menyekolahkan “anak-anak’ Riau ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Riau juga menggairahkan dunia tulis menulis. Para penulis difasilitasi dan diapresiasi dengan luar biasa. Dalam waktu yang relatif pendek, ratusan (kalau tidak ribuan) buku lahir dari tangan penulis Riau. Media massa (terutama surat kabar) juga tumbuh dengan pesat di Riau. Industri penerbitan apalagi.

Kehidupan seni dan budaya juga bergairah. Inovasi dan kreasi seni (dan sastra) hadir di Riau. Tidak hanya di pusat pemerintah dan ekonomi  (Pakanbaru) tetapi juga di tingkat kabupaten dan kota). Sepanjang tahun kita saksikan selalu ada pertunjukan seni/budaya di Riau.

Perlahan namun pasti, secara resmi atau tidak, berbagai lembaga pemerintahan yang berstruktur wilayah (Sumatra Tengah) mulai “memindahkan” kantor pusat mereka ke Riau (Pakanbaru). “Pemindahan” ini terutama sekali disebabkan oleh aktivitas yang paling besar dari lembaga tersebut adalah di Riau (Pakanbaru). Kalau tidak “dipindahkan” dengan sendiri oleh lembaga tersebut, orang Riau bahkan dengan aktif mengupayakan pemindahan itu. Dalam, berbagai kesempatan misalnya, orang Riau dengan gigih mengusulkan agar BPCB Sumatra Barat, Riau dan Kepulauan Riau yang berpusat di Batusangkar dipindahkan saja ke Pakanbaru.

Tidak itu saja, orang Sumatra Barat sendiri juga menjadikan Riau sebagai “kiblat” yang baru. Dalam media cetak yang terbit di Sumatra Barat beberapa kali diberitakan adanya sejumlah kunjungan (studi banding) dari sejumlah sekolah di Sumatra Barat ke Riau, banyak “anak“ Sumatra Barat akhir-akhir ini yang melanjutkan pendidikan mereka di Riau (Pakanbaru), adanya sejumlah pemerintah daerah di Sumatra Barat yang mengadakan “rapat kerja” di Pakanbaru, melakukan studi perbandingan ke Riau, dan membuka akses jalan dari daerah merek ke Riau (seperti yang dilakukan pemerintah Kabupaten Pasaman), dlsbnya. Sehubungan dengan kasus yang terakhir, pemerintah Provinsi Sumatra Barat bahkan berupaya memperbaiki (meningkatkan mutu jalan antara Payakumbuh hingga ke perbatasan Riau), yang antara lain ditandai dengan pembangunan jembatan Kelok Sembilan.

Pembangunan Kelok Sembilan menghadirkan kembali gerakan ke timur dari pemerintah daerah Sumatra Barat, karena pada kenyataannya, pemerintah Sumatra Baratlah yang paling sibuk dan habis-habisan membangun ruas jalan itu.

Nilai penting jalan raya antara Sumatra Barat dengan Riau saat sekarang memang untuk orang Sumatra Barat. Pengguna yang paling banyak dari jalan raya itu adalah orang Sumatra Barat, dan keuntungan yang paling banyak dari jalan raya tersebut adalah untuk orang/daerah Suamtera Barat. Bagi Riau dewasa ini, tanpa Sumatra Barat mereka juga bisa hidup, setidaknya begitulah sejumlah suara yang muncul di daerah itu. Hal ini masuk akal juga karena hubungan Riau dengan daerah lain di utara dan selatan terbuka dengan lempangnya.

Gerakan ke timur fase keempat baru saja dimulai, dan yang memulai sekarang adalah orang atau pemerintah daerah Sumatra Barat. Bagaimanakah perkembangan selanjutnya dari gerakan ini? Waktulah yang akan menjawab.

Daftar Kepustakaan

Bastin, John, The Bristish in West Sumatra (1685-1825). Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1965.

Dobbin, Chiristine¸ Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784 – 1847. London: Curzon Press, 1983.

Gusti Asnan, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera” dalam Taufik Abdullah (ed.), Indonesia Dalam Arus Sejarah (Jilid IV). Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal.  42-69.

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat: Dari VOC Hingga Reformasi (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006).

Gusti Asnan “Transportation on the West Coast of Sumatra in the Nineteenth Century” dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 159-4, 2002, hal. 727-741.

Katirithamby-Wells, J, The British West Sumatran Presidency, 1760-1885: Problem of Early Colonial Enterprise. Kuala Lumpur: Penerbit University Malaya, 1977.

Kraus, Werner, Zwischen Reform und Repebellion: Ueber die Entwickelung des Islams in Minangkabau (West Sumatra, Zwischen den Beiden Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908) (Wiesbaden: Franz Steiner Verslag, 1984).

Mohammad Radjab,, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837). Djakarta: Djambatan, 1954.

Raffles, Sofia, Memoirs of the Life and Public Service of Sir Stamford Raffles. London: John Murray-Albemarke Street, 1830.

Reid, Anthony , ‘The French in Sumatra and the Malay World 1760–1890’, dalam Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (12, 2/3, 1973), hal. 195-238.

Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981);

Stuers, H.J.J.L. De, Vestiging en Uitbreiding der Nederlan­ders ter Westkust van Sumatra (Vol. I dan II). Amster­dam: P.N. van Kampen, 1849, 1850.

Thomaz, Luis Felippe, “Sumatra’s Westcoast In Portuguese Sources of the Mid 16th Century” dalam Bernhard Dahm (ed.), Region and Regional Devepment in the Malay World. Wiesbaden: Otto Harrasowitz, 1992.

Ditulis oleh Gusti Asnan