Skip to content

Haji yang Menjinakkan Padri, Belanda yang Memperpolitisasi Haji

Haji pernah memiliki peran yang penting dalam Perang Padri. Sayangnya, pentingnya peran haji tersebut kurang atau bahkan tidak terungkap dalam penulisan sejarah Perang Padri selama ini. Kalaupun haji ada disebut, maka itu dikaitkan dengan peran tiga orang haji (Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang) sebagai percikan pemantik (casus belli) Perang Padri. Keberadaan dan peran dari sosok haji-haji yang lain nyaris tidak dikemukakan. Padahal, keberadaan dan peran mereka sempat mengubah jalannya sejarah Perang Padri.

Sejumlah haji yang tampil ke panggung sejarah pada masa Perang Padri memang mampu mengubah sikap dan ideologi Padri. Kaum Padri yang semula lebih mengedepankan fanatisme dalam memahami mazhab keagamaannya serta memilih jalan kekerasan untuk menyebarluaskan ajarannya berubah menjadi orang-orang yang lebih toleran dan memilih jalan damai dalam mendakwahkan ajarannya setelah mendapat ‘pencerahan’ dari sejumlah haji yang baru pulang dari Mekkah.

Sebaliknya, pemerintah kolonial, yang semula memandang rendah dan sinis terhadap segala yang berhubungan dengan Islam, kemudian memberikan apresiasi yang tinggi pada sejumlah haji, bahkan menjadikan mereka sebagai mitra. Pemerintah kolonial menggunakan haji untuk menghadapi (menjinakkan) kaum Padri.

Pemanfaatan haji oleh pemerintah kolonial untuk kepentingan politik pada saat berlangsungnya Perang Padri – barangkali – bisa dikatakan sebagai cikal bakal politik pemanfaatan ‘organ’ Islam untuk menjinakkan atau menenangkan umat Islam oleh penguasa di negeri ini.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan keberadaan haji dan peranan haji dalam kaitannya dengan perubahan sikap kaum Padri, baik dalam menyebarkan paham keagamaannya kepada sesama Urang Awak dan perlawanan terhadap penguasa kolonial, serta pemanfaatan haji oleh penguasa kolonial untuk keperluan ekspansi politiknya. Untuk itu ada dua pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, yaitu: Pertama, bagaimana pengaruh haji terhadap kaum Padri dalam menjalankan dakwahnya kepada sesama orang Minang dan perjuangan mereka melawan Belanda?; kedua, bagaimana Belanda memanfaatkan haji untuk menundukkan kaum Padri?

Namun, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, berikut ini akan dibahas terlebih dahulu secara ringkas keberadaan haji di Minangkabau hingga masa Perang Padri.

II

Pada masa sebelum Padri, haji tidak memiliki peran sosial-keagamaan yang penting di Minangkabau. Haji tidak memiliki posisi istimewa dalam kehidupan sosial- kemasyarakatan orang Minang saat itu. Haji juga tidak memiliki peran yang besar dalam proses masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau prapadri.

Minimnya peran sosial-keagamaan haji saat itu disebabkan oleh dua hal: pertama, sedikitnya jumlah mereka; dan kedua, baru dikenalnya tradisi berhaji oleh orang Minang.

Data tentang jumlah haji di Minangkabau sebelum awal abad ke-19 dapat dikatakan tidak tersedia. Sehingga sangat susah untuk mengetahui jumlah dan keberadaan haji di daerah tersebut saat itu. Namun, seperti yang disebut di atas, jumlahnya bisa dikatakan masih sedikit. Hal ini disebabkan, bahwa ritual menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci baru mulai dilaksanakan Urang Awak sejak perempat ketiga abad ke-18.

Kepergian orang Minang ke Tanah Suci berhubungan dengan membaiknya perekonomian daerah. Membaiknya perekonomian daerah ditandai dengan mulai lakunya komoditas perdagangan daerah, terutama cassia, di pasaran dunia. Berkah booming ekonomi inilah yang dimanfaatkan oleh sejumlah orang Minang untuk pergi naik haji. Diperkirakan, orang Minang yang pergi menunaikan rukun Islam kelima itu adalah para saudagar atau petani tanaman ekspor tersebut dan juga anak-anak mereka. Kelompok sosial dari kalangan inilah yang relatif awal menyandang gelar haji di Minangkabau.

Haji yang baru pulang dari Mekkah tersebut masih kalah pamor dalam bidang keagamaan atau sosial bila dibandingkan dengan sejumlah ulama (tuanku) yang telah lebih dahulu mendapat tempat dalam tatanan sosial-keagamaan daerah. Mereka ‘hanya’ kaum saudagar dan petani kaya yang menyandang gelar haji karena adanya kesempatan untuk menunaikan rukun Islam kelima itu. Pemahaman agama mereka tentu tidak sedalam ulama atau tuanku yang memiliki surau (sekolah). Kecampinan mereka beragama tentu tidak sehebat para tuanku yang telah menjadi mubaligh dan menyiarkan agama dalam waktu yang lama (walaupun sebagian besar atau hampir semua ulama atau tuanku tersebut tidak menyandang gelar haji).

Setelah kembali dari Mekkah, haji-haji prapadri tersebut umumnya kembali ke tengah masyarakat menjadi ‘orang biasa’. Kalau pun ada beberapa dari mereka yang memiliki surau maka paham keagamaan yang mereka ajarkan nyaris tidak berbeda dari apa yang telah ada atau dikenal sebelumnya. Aktivitas mereka seperti itu tidak memberi perubahan pada pemahaman dan praktik beragama Urang Awak. Di samping itu, mereka yang nyaris ‘terkurung’ dalam lingkungan surau dan menyibukkan diri dengan urusan akhirat menyebabkan keberadaan mereka nyaris tidak memberi pengaruh bagi perubahan posisi ulama dalam struktur sosial kemasyarakatan Minangkabau yang sangat didominasi oleh kaum adat dan ulama tarikat.

Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan peranan haji nyaris tidak pernah disebut dalam proses perkembangan agama Islam dan dinamika sosial-politik Minangkabau hingga awal abad ke-19.

III

Orang-orang bijak mengatakan bahwa perubahan dilakukan oleh orang-orang yang kreatif, inovatif atau membawa sesuatu yang baru. Pernyataan ini juga berlaku bagi kalangan haji Minangkabau. Pada awal abad ke-19, tiga haji (Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang) kembali dari Mekkah dengan membawa paham keagamaan yang baru, sebuah aliran agama yang hanya mendasarkan pemahaman dan praktik beragama (dan juga adat serta kebiasaan sehari-hari) pada Al-Qur’an dan hadist.

Dengan paham seperti ini, praktik beragama orang Minang saat itu mereka anggap sarat dengan unsur bid’ah, serta tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan orang Minang saat itu mereka anggap sebagai tradisi dan kebiasaan jahiliyah. Berdasarkan paham yang mereka anut, praktik beragama dan tradisi serta kebiasaan yang tidak berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadist ini mesti dihabisi. Caranya, pertama dengan lisan, kalau gagal dengan lisan bisa dengan kekerasan.

Haji-haji pembaharu tersebut dengan segera mengimplemetasikan paham beragama mereka. Setelah dakwah billisan-nya diabaikan oleh warga, salah satu di antaranya oleh warga dan para penghulu di Koto Tuo, maka Haji Miskin misalnya membakar balai di nagari tersebut. Tidak hanya terhadap warga, parewa dan penghulu, serangan juga dilancarkan kepada para tuanku dan ulama-ulama tarikat.

Faham baru dan pengamalan ajaran yang sangat berbeda dari apa yang diketahui dan dipraktikkan warga daerah sebelumnya ternyata mendapat sambutan di Ranah Minang. Dalam waktu yang singkat faham ini mendapat banyak pengikut. Bahkan sejumlah tuanku juga ikut mendukung, di antaranya Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman (Tuanku Lintau), Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, dlsbnya. Kenyataan ini sangat berbeda dari masa-masa sebelumnya. Pada masa sebelumnya, haji ‘hanya’ menjadi pengikut seorang tuanku, atau pesona haji segera hilang terserap oleh popularitas tuanku. Maka sejak kembalinya Haji Miskin dkk., para tuankulah yang menjadi follower atau yang terpengaruh oleh haji.

Tidak itu saja, para tuanku tersebut kelihatannya menerima mentah-mentah apa yang dikatakan sang haji. Para tuanku kemudian tampil sebagai ‘pewaris’ haji dan ‘penyambung tangan’ haji untuk mengimplementasikan ajaran yang dibawa (diajarkan) sang haji. Para Tuanku tersebut juga meniru pola kekerasan yang dilakukan oleh Haji Miskin diawal dakwahnya. Tidak sampai di sana saja, dalam banyak kasus, pola dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh para tuanku jauh lebih keras, luas dan masif dibandingkan dengan apa yang dilakukan Haji Miskin dkk.

IV

B.J.O. Schrieke, menamakan aksi yang dilakukan para tuanku ‘pewaris’ dan ‘penyambung’ tangan Haji Miskin dkk. ini sebagai revolusi intelektual dan sosial di Minangkabau. Dan yang namanya revolusi cenderung diisi dengan aksi kekerasan. Aksi kekerasan akhirnya menjadi pilihan karena penyebarluasan ajaran secara lunak tidak mencapai hasil yang diharapkan. Dakwah secara lunak yang mereka lakukan, bahkan perjanjian damai yang telah disepakati, diingkari oleh kaum hitam atau kelompok Melayu (sebagai dinyatakan dalam berbagai literatur tentang Gerakan atau Perang Padri terhadap kelompok sosial yang menjadi target dakwah para tuanku atau kaum Padri).

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kaum Padri dibawah komando para tuanku tersebut diakui adanya oleh Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Padri. Pengakuan ini tertulis dalam memoarnya. Imam Bonjol mengakui ada banyak aksi penyerangan, pembakaran, perampokan, penyanderaan warga (kaum perempuan dan anak-anak), serta penangkapan warga (khususnya kaum perempuan dan anak-anak) untuk selanjutnya dijadikan budak yang dilakukan oleh kaum Padri.

Pernyataan yang sama, mengenai tindak kekerasan kaum Padri juga dikemukakan oleh penulis Belanda seperti Stuers, Nahuijs, Boelhouwers, Lange, dan Kielstra. Di samping aksi kekerasan yang dilakukan kaum Padri, para penulis Belanda ini juga mengemukakan aksi kekerasan, yang juga tidak kalah sadis dan brutalnya, yang dilakukan oleh kaum adat atau kelompok Melayu terhadap pendukung Padri.

Namun, berbeda dengan literatur yang dibuat oleh orang Belanda, Tuanku Imam Bonjol juga menyajikan informasi tentang hasil evaluasi dan introspeksi terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol menulis, bahwa pada suatu waktu (tidak disebutkan tahunnya) dia mengatakan kepada Tuanku Mudo dan Tuanku Kadi Basa (dua panglimanya), bahwa aksi mereka selama ini banyak melanggar hukum Kitabullah. Pernyataan Tuanku Imam tersebut dibenarkan dan diperkuat oleh Tuanku Mudo dan Tuanku Kadi Basa.

Selanjutnya Tuanku Imam Bonjol mengatakan bahwa hasil evaluasi tersebut melahirkan sebuah keputusan untuk mengirim anak-kemenakan mereka ke Mekkah. Di samping untuk menunaikan ibadah haji, mereka ditugaskan untuk mencari hukum Kitabullah nan adil yang akan digunakan sebagai landasan dakwah. Dengan kata lain, menurut istilah terkininya, mereka ditugaskan melakukan ‘studi banding’ guna mencari informasi tentang pelaksanaan dakwah Islam di Tanah Suci, yang akan diterapkan nantinya.

Tuanku Imam Bonjol dan pemimpin Padri lainnya mengutus empat orang untuk melakukan ‘studi banding’ tersebut. Keempat orang itu adalah Tuanku Tambusai, Pakih Sialu (kemenakan Tuanku Rao), Pakih Muhammad (kemenakan Tuanku Imam Bonjol), dan Pakih Malano (kemenakan Tuanku Kadi Basa. Sekitar tahun 1829 mereka kembali dari Mekkah. Segera setelah pulang dari Tanah Suci, selain bergelar haji, sesuai dengan tradisi yang berlaku di Minangkabau, maka mereka diberi pula gelar sebagai pengganti nama kecil. Pakih Muhammad digelari Haji Muhammad Amin, Pakih Malano digelari Haji Abdullah, Pakih Sialu digelari Haji Muhammad Razak, dan Tuanku Tambusai digelari Haji Muhammad Saleh. Tidak hanya mendapat gelar haji dan gelar ‘kehormatan’, gaya dan penampilan, terutama pakaian mereka juga mulai berubah, penghormatan terhadap mereka juga semakin besar, dan fatwa atau apa yang mereka sampaikan semakin didengar. Termasuk hasil ‘studi banding’ mereka ke Tanah Arab.

Setelah pulang menunaikan ibadah haji dan melakukan pengamatan di Tanah Arab, keempat haji itu mengatakan bahwa aksi kekerasan tidak lagi dipraktikkan dalam upaya menyiarkan Islam. Informasi yang disampaikan oleh keempat haji tersebut menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam pelaksanaan dakwah kaum Padri. Tuanku Imam dan pemuka Padri lainnya bersepakat untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan dalam dakwah terhadap sesama (Urang Awak). Segala harta rampasan harus dikembalikan kepada yang punya. Para ulama lebih fokus mengurus persoalan agama, dan basa serta penghulu akan kembali mengemban segala urusan adat. Perubahan sikap ini dan keputusan ini dinyatakan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya.

Kepulangan haji dari Mekkah dan laporan hasil pengamatan mereka di sana bahwa tidak ada lagi aksi kekerasan dalam menyebarkan agama memang telah mengubah jalannya sejarah Perang Padri. Serangan dan aksi kekerasan terhadap sesama Urang Awak dengan segera ditiadakan. Fokus serangan sekarang lebih tertuju kepada Belanda. Haji-haji Padri telah mengubah sikap dan aksi kaum (para tuanku) Padri.

Apresiasi yang tinggi terhadap haji juga dilakukan oleh kolonialis Belanda. Pejabat Belanda, khususnya Mac Gillavry (Resident Padang en Onderhoorigheden) memperlihatkan respeknya yang tinggi terhadap sejumlah haji. Selanjutnya, dia mencoba mendekati sejumlah haji.

Ada dua kelompok haji yang didekati Gillavry. Pertama, haji yang telah lama menyandang gelar haji, haji yang telah lama pulang dari Mekkah, dan umumnya telah berumur lanjut, serta telah memiliki pengaruh sosial-keagamaan. Umumnya mereka adalah pendukung Padri, namun tidak termasuk ‘lingkaran dalam’ Tuanku Imam Bonjol. Kedua, Gillavry mendekati sejumlah haji yang baru pulang dari Mekkah dan masih berumur muda.

Sebagaimana ditulis oleh Kielstra, Gillavry mendekati haji-haji ‘senior’ karena dia mengetahui adanya perpecahan di kalangan tuanku (pemimpin) Padri. Ada tuanku dan haji yang dekat dengan Tuanku Imam, dan ada tuanku atau haji yang agak jauh dari Tuanku Imam. Di samping itu, Kielstra juga menyebut bahwa Gillavry menyadari bahwa haji-haji ini (terutama yang berumur relatif muda) adalah kelompok moderat, yang tidak fanatik, serta tidak mendukung aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kaum Padri.

Gillavry bisa dikatakan sangat agresif mendekati para tuanku atau haji-haji senior yang agak jauh atau sedikit berseberangan dengan Tuanku Imam. Gillavry sering berkirim surat kepada mereka. Dua diantara tuanku dan haji senior itu adalah Tuanku Haji Ibrahim dan Tuanku Haji Nan Garang. Walaupun surat dialamatkan kepada kedua tuanku haji tersebut, namun dalam suratnya Gillavry juga menyebutk haji-haji lain yang baru pulang dari Mekkah. Dalam sebuah suratnya, sebagaimana dikutip Kielstra, Gillavry mencoba mempengaruhi kedua tuanku haji dan haji-haji muda dengan mengatakan bahwa “…..ajaran sejati Nabi Muhammad di Mekkah tidak menghendaki adanya kekerasan, ajaran itu ingin menciptakan kedamaian yang menyinari alam dan mencitrakan Islam sebagai agama yang menjadi rahmatan bagi semesta”.

Untuk menyakinkan para haji tersebut, Gillavry mengirim Al-Qur’an dan mengajak para haji untuk memahaminya dengan sungguh-sungguh, serta juga mengajak para haji untuk betul-betul mengamalkan ajaran Rasullah dengan benar. Gillavry kemudian menganjurkan agar para haji mengakhiri tindak kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban dan tumpahnya darah.

Gillavry juga memuji-muji haji muda yang baru pulang dengan mengatakan bahwa mereka pasti telah berdiskusi atau berguru dengan ulama atau orang-orang bijak di Mekkah selama bertahun-tahun. Mereka pasti telah mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang salahnya aksi-aksi yang dilakukan oleh Tuanku Pasaman dan tuanku-tuanku Padri lainnya. Gillavry bahkan menggiring haji-haji muda tersebut  pada pandangan bahwa tuanku-tuanku Padri adalah orang-orang jahat, dan aksi-aksi yang mereka lakukan adalah bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Gillavry mengupayakan agar haji-haji muda tersebut meyakini bahwa kaum Padri telah membutakan mata mereka sehingga tega menganiaya, membunuh, merampok, dan merusak harta benda orang-orang Melayu yang juga mengamalkan ajaran Nabi Muhammad (yang juga menganut agama Islam). Dengan kata lain, Gillavry mencoba mengadu antara haji-haji senior dan junior yang didekatinya dengan tokoh-tokoh Padri.

Selanjutnya Gillavry memuji keberadaan haji-haji yang disurati dengan mengatakan bahwa mereka pasti akan mengembalikan ajaran agama pada posisi yang sebenarnya, yang membawa kedamaian bagi semua (termasuk berdamai dengan Belanda).

Surat Gillavry tersebut dibalas oleh kedua tuanku haji. Mereka menyatakan bahwa mereka memaklumi isi surat tersebut. Mereka juga mengharapkan Tuan Residen dan daerah (Residentie Padang en Onderhoorigheden) akan menjadi damai. Khusus untuk keamanan daerah Limapuluh Kota mereka katakan bisa dikendalikan, karena daerah itu berada dalam kekuasaan atau pengaruh mereka. Tidak itu saja, mereka bahkan mau berperang untuk menciptakan perdamaian, asal ada dukungan dari pemerintah, termasuk dukungan keuangan.

Surat menyurat antara Gillavry dengan para haji dari kalangan Padri membuktikan bahwa pemerintah juga merasakan pentingnya peranan haji. Dengan mendekati haji yang tidak merupakan ‘orang dalam’ Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya, untuk saat itu agresivitas Padri bisa dikendorkan. Maksudnya Gillavry bisa menjinakkan para haji moderat, haji yang tidak begitu dekat dengan Tuanku Iamam Bonjol.

V

Kepulangan Haji Muhammad Saleh dkk. tidak saja mengubah pola dakwah dan aksi kaum Padri, tetapi juga mengubah imej kaum Padri terhadap haji. Haji mendapat apresiasi yang tinggi oleh kaum Padri. Sehubungan dengan itu banyak warga atau kaum Padri yang juga ingin menunaikan ibadah haji. Salah satu di antaranya adalah Tuanku Pasaman atau Tuanku Lintau. Sayangnya niat beliau tidak sampai, karena beliau tewas dibunuh oleh segerombolan perampok di daerah Palalawan.

Gairah untuk menunaikan ibadah haji dari kalangan Padri kemudian mengalami kemunduran, karena memasuki tahun 1830-an Belanda mulai melakukan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri. Pada waktu yang bersamaan, Belanda mulai mengabaikan keberadaan dan peran haji. Elout, residen baru, meninggalkan dan tidak lagi bekerjasama dengan haji-haji yang pernah didekati oleh Gillavry.

Perubahan sikap pnguasa kolonial ini menyebabkan kaum Padri kembali kepada pola dakwah yang lama, tidak hanya keras terhadap Belanda sebagai musuh utmaanya, tetapi juga terhadap semua kelompok masyarakat pendukungnya, termasuk orang-orang Minang yang bekerjasama dengan penguasa kolonial tersebut. Itu pulalah sebabnya mengapa Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya, atau Stuers, Boelhouwer,  dan Kielstra masih menyebut adanya aksi kekerasan kaum Padri terhadap Urang Awak pendukung kolonialis pada tahun-tahun 1830-an.

Bila dikaji dengan saksama, pendekatan dan penghargaan terhadap haji oleh Belanda (Gillavry) hanya bagian dari strategi perang mereka. Seperti diketahui, sejak tahun 1825 Belanda sesungguhnya telah mengirim sebagian besar tentaranya di Sumatra Barat ke Pulau Jawa. Pengiriman tersebut ditujukan untuk menambah pasukan menghadapi Pangeran Diponegoro. Khawatir terhadap munculnya perlawanan kaum Padri, maka penguasa kolonial di Sumatra Barat berupaya untuk menjinakkan kaum Padri. Upaya itu antara lain dilakukan dengan membuat berbagai perjanjian damai dengan kaum Padri, memanfaatkan jasa orang Arab (yang dikatakan keturunan Rasulullah) sebagai mediator perdamaian, dan terakhir bekerja sama para tuanku atau haji yang tidak dekat dengan Tuanku Imam Bonjol, serta memprogandakan pengalaman (pemikiran) haji-haji muda yang tidak mendukung aksi kekerasan dalam menyebarluaskan ajaran agama, serta mau berdamai dengan penguasa kolonial.

Perubahan sikap kolonialis Belanda ini, apalagi mulai intensif dan gencarnya serangan mereka terhadap kaum Padri, menyebabkan tertutupnya peluang bagi mereka untuk menunaikan ibadah haji lagi. Konsentrasi pikiran, tenaga dan cadangan finansial mereka akhirnya terkuras pada perjuangan menghadapi Belanda. Karena itulah, pada tahun-tahun 1930-an nyaris tidak ditemukan informasi tentang perjalanan kaum Padri menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Pada tahun-tahun terakhir Perang Padri juga nyaris tidak ada informasi tentang kiprah haji dalam dinamika politik daerah dan kecamuk Perang Padri, termasuk kiprah haji-haji moderat yang pro-Belanda. Politik haji kolonialis hanya untuk menjinakkan Padri dan Padri yang jinak lebih mudah untuk ditaklukan.

Sumber:

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: De Erven Doorman, 1841.

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

Mueller, Solomon, Berigten over Sumatra: Met Eene Kaart van Een Gedeelte van Hetzelve, Voornamelijk Aantoonende de Wegen en Rivieren, Welke Uit de Padangsche Binnenlanden Naar de Oostkust Afloopen. Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1837.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Schrieke, B.J.O., Pergolakan Agama di Sumatra Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara, 1973.

Sjafnir Aboe Naim, Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Vol. I & II). Amsterdam: P. Baeumer & Co., 1849, 1850.

Veth, P.J., Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie 1877-1879: Derde Deel, Volksbeschrijving en Taal. 1ste Gedeel, 2de Afdeeling. Leiden: E.J. Brill, 1882).

Ditulis oleh Gusti Asnan