Perempuan Pada Masa Perang Padri

Perempuan adalah warga daerah yang relatif tidak terungkap dalam rekonstruksi sejarah Perang Padri. Sangat sedikit narasi tentang keberadaan perempuan dalam buku-buku sejarah Perang Padri selama ini. Minimnya pengungkapan perempuan tersebut tentu membuat dinamika perang yang berlangsung hampir selama dua dasawarsa itu agak terasa hambar, karena rekonstruksi Perang Padri selama ini seakan-akan merepresentasikan historiografi yang androsentris, yakni penulisan sejarah yang berpusat pada kaum lelaki semata. Padahal, sebagai warga daerah yang hidup pada saat perang berlangsung, perempuan dipastikan mengalami berbagai kejadian dan perlakuan dari pihak yang berperang, dan menjadi bagian dari yang tidak terpisahkan dari iven histrois tersebut. Karena itu, keberadaan dan pengalaman perempuan selama Perang Padri sudah saatnya untuk diungkapkan. Sejarah mereka tidak boleh hilang atau dihilangkan sebagaimana yang terjadi selama ini.

Tulisan ini mencoba memulai pengungkapan keberadaan perempuan pada masa Perang Padri. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Pertama, adakah perempuan yang ikut-serta atau terjun langsung dalam Perang Padri? Kedua, bagaimana perlakuan pihak-pihak yang berperang terhadap perempuan selama Perang Padri? Bagaimana kehidupan (gaya hidup) dan pengalaman sehari-hari perempuan pada saat Perang Padri berlangsung?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu dikemukakan terlebih dahulu, bahwa perempuan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perempuan dari berbagai etnik yang hidup di ruang geografis, di mana perang berlangsung. Mereka antara lain terdiri dari perempuan Minangkabau, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu perempuan Padri dan perempuan kelompok Melayu (orang Minang pendukung Belanda), perempuan Batak (Tapanuli) dan perempuan Belanda (Eropa).

II

Dari hasil penelusuran terhadap berbagai sumber sejarah, baik primer maupun sekunder, diketahui bahwa tidak ditemukan adanya perempuan (Minang atau Batak) yang ikut terjun ke medan laga dalam Perang Padri. Tidak ditemukan adanya perempuan Padri yang mengangkat senjata dan ikut dalam kecamuk perang melawan Belanda dan kelompok Melayu pendukung Belanda. Sebaliknya tidak pula ditemukan adanya perempuan kelompok Melayu yang ikut berperang melawan kaum Padri.

Tidak terlibatnya perempuan, khususnya lagi perempuan Minang dalam Perang Padri, disebabkan oleh dua latar belakang: pertama, kaum Padri merupakan kaum ‘fanatik’ yang tidak mengizinkan perempuan ikut berperang. Jangankan ikut berperang bersama dengan para lelaki, beraktivitas di luar rumah saja kaum perempuan sangat dibatasi atau tidak diizinkan oleh ajaran Padri. Ideologi Padri bahkan mengharamkan wajah perempuan terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya. Dengan kata lain, kaum Padri hanya mengizinkan perempuan beraktivitas di rumah saja dan bergaul hanya dengan suami, anak-anak dan kerabat dekatnya saja. Aspek inilah yang membuat tidak adanya perempuan Padri yang ikut tampil di medan laga. Dalam konteks inilah maka tidak ditemukan adanya ‘Cut Nyak Dhien Minangkabau’.

Berbeda dengan Padri, absennya perempuan dalam barisan tentara Niniak Mamak (orang Minang pendukung Belanda) disebabkan oleh pembatasan/aturan adat. Adat Minang tidak memberi ruang bagi perempuan untuk terjun ke medan perang (bersama laki-laki). Tidak ada pernyataan atau ungkapan dalam buku-buku adat Minang yang membolehkan atau menganjurkan perempuan mengangkat senjata, terjun ke medan perang, apalagi berjuang bersama kaum lelaki melawan musuh. Walaupun tidak terlibat secara langsung dalam medan perang, dari beberapa sumber, terutama yang dibuat oleh kalangan tentara atau pejabat sipil Belanda, diketahui adanya dukungan kaum perempuan kelompok Melayu terhadap tentara Niniak Mamak atau juga tentara Belanda, terutama dukungan logistik.

Karena Perang Padri juga melibatkan orang Belanda (Eropa), maka perlu juga ditampilkan di sini, bahwa tidak ditemukan adanya perempuan Belanda (Eropa) yang ikut terjun ke medan tempur. Sebagaimana yang akan dikemukakan nanti, keterlibatan perempuan Belanda (Eropa) pada masa Perang Padri juga lebih terbatas pada sektor dukungan moral, semangat, dan aktivitas domestik semata.

III

Seperti disebutkan sebelumnya, kajian historiografis membuktikan, bahwa sangat sedikit narasi mengenai perempuan dalam tulisan-tulisan mengenai Perang Padri. Dari kajian historiografis juga diketahui bahwa dari narasi yang sedikit tersebut, narasi tentang perempuan lebih terfokus pula pada satu sosok saja, yakni sosok etek Tuanku Nan Renceh. Dikisahkan bahwa perempuan tersebut dibunuh oleh Tuanku Nan Renceh karena tetap saja memakan/mengunyah sirih, walaupun sudah diingatkan berkali-kali oleh sang tuanku. Memakan/mengunyah sirih adalah sebuah perbuatan yang dilarang oleh ajaran Padri, apalagi memakan/mengunyah sirih yang disertai oleh pemakaian sugi (tembakau yang digumpalkan dan diselipkan antara gigi dengan bibir atas). Sugi atau tembakau akan memberikan efek sensasi yang dikategorikan ‘haram’ dalam ideologi Padri.

Dalam rekonstruksi ini, perempuan disajikan hanya sebagai korban dalam Gerakan/ Perang Padri.

Perempuan sebagai korban dalam Perang Padri juga dikemukakan oleh Christine Dobbin. Dalam bukunya yang berjudul Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847, Dobbin menyebut bahwa ada banyak perempuan yang ditawan oleh lasykar Padri dan dibawa ke Bonjol.

Apa yang disajikan Dobbin memang benar adanya, sehingga tidak berlebihan rasanya untuk mengatakan bahwa keberadaan sebagian besar perempuan (Minang atau Batak) pada masa Perang Padri hanyalah sebagai korban semata. Hal ini sangat nampak bila keberadaan perempuan itu dikaitkan dengan aksi kaum Padri. Namun, perlu juga dikatakan, bahwa ada juga perempuan Minang yang tidak berstatus sebagai korban, keberadaan dan peran mereka sedikit ‘lebih terhormat’, mereka diikutsertakan atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang lazim diadakan di tengah masyarakat. Keberadaan dan peran yang disebut terakhir berlaku pada perempuan dalam lingkungan kelompok Melayu.

Perempuan sebagai korban memang sangat terlihat dalam kaitannya dengan aksi kaum Padri. Literatur yang dibuat oleh kalangan Padri sendiri, seperti Tuanku Imam Bonjol, lebih jujur mengakui hal itu. Ada lima bentuk ‘pengorbanan’ kaum perempuan dalam aksi Padri itu:

Pertama, perempuan terpaksa melarikan diri meninggalkan rumah dan kampung halamannya karena serbuan kaum Padri. Dalam pelarian mereka akan mengalami berbagai kesulitan. Tidak sedikit pula perempuan yang melarikan diri (bersama anak dan suami mereka) itu yang tidak Kembali lagi ke kampung halaman mereka, Mereka melarikan diri, meninggalkan rumah dan kampung halaman, karena takut terhadap aksi dan perlakuan kaum Padri. Seperti yang akan disebut pada bagian berikut, kaum Padri umumnya akan menangkapi perempuan negeri yang mereka kalahkan.

Kedua, perempuan akan kehilangan harta benda dan rumah milik mereka. Kaum Padri umumnya sangat marah bila menemui kampung yang ditinggalkan oleh penduduknya. Acap kali rumah dan harta benda yang ditinggalkan diambil atau dibakar oleh kaum Padri. Bila kaum Padri mendapatkan perlawanan dari lelaki suatu kampung atau negeri, maka mereka sering melakukan tindakan anarkis. Mereka sering membakar dan mengambil harta benda penduduk kampung/negeri yang diserang tersebut (kalau berhasil dikalahkan). Perempuan adalah pihak yang sangat dirugikan oleh penyitaan atau pembakaran itu. Karena barang-barang yang disita atau dibakar adalah bagian dari kehidupan dan hak milik yang berharga kaum perempuan.

Ketiga, perempuan warga kampung atau negeri yang dikalahkan akan ditawan dan dibawa oleh lasykar Padri, terutama ke Bonjol (pusat politik dan konsentrasi Padri), serta dijadikan budak di sana. Banyak informasi tentang aksi ini dalam Tuanku Imam Bonjol. Di antaranya adalah perempuan Pandam Gadang, Silayang dan sejumlah nagari lainnya di Rao hingga Rokan Hulu yang dibawa ke dan dijadikan budak di Bonjol. Sayangnya kita tidak memperoleh keterangan lebih lanjut, bagaimana nasib mereka setelah dijadikan budak di negeri Bonjol. Namun, masih menurut keterangan Tuanku Imam Bonjol, setelah kembalinya Tuanku Tambusai dan rombongannya menunaikan ibadah haji (diperkirakan tahun 1829), dan dari kesaksian mereka di Tanah Arab tidak ada tindak kekerasan dalam menegakkan agama, maka dihentikanlah aksi perang, disepakatilah untuk mengembalikan semua harta rampasan, serta (kemungkinan) membebaskan budak dan hamba sahaya.

Keempat, ada beberapa perempuan dari daerah atau tokoh kelompok Melayu yang ditaklukkan dijadikan istri oleh pemimpin kaum Padri. Dua diantaranya adalah: pertama, putri Raja Rokan yang dijadikan istri oleh Tuanku Muda, salah seorang panglima Tuanku Imam Bonjol;kedua putri Raja Muning yang dinikahi oleh Tuanku Pasaman. Di samping itu, ada juga informasi yang mengatakan bahwa sejumlah pemimpin Padri cendrung beristri banyak. Salah satu diantaranya adalah Tuanku Muda dari Bonjol (yang disebut di atas). Banyaknya istri sang Tuanku, sebagaimana disebutkan oleh sebuah sumber Belanda, terlihat dari banyaknya kamar yang disediakan untuk mereka di rumah sang Tuanku.

Kelima, perempuan dijadikan sandera oleh lasykar Padri. Dikatakan bahwa sering kali, setelah melakukan perlawanan, kaum lelaki kampung atau nagari yang diserang lasykar Padri lari meninggalkan kampung/nagari mereka. Mereka melarikan diri tanpa sempat membawa kaum perempuan, anak-anak dan orang tua yang ada di kampung/nagari mereka. Dalam Tuanku Imam Bonjol, ditemukan informasi yang mengatakan bahwa perempuan yang ditinggalkan tersebut sering dijadikan sandera oleh kaum Padri. Mereka disandera sampai kaum lelaki yang melarikan diri tersebut kembali untuk menyerahkan diri. Sumber lain juga mengatakan bahwa Tuanku Nan Cerdik, seorang tokoh Padri dari Pariaman, juga pernah menjadikan perempuan XII Koto sebagai sandera setelah sang Tuanku menyerang negeri itu pascapembantaian istri dan anak-anaknya oleh warga XII Koto tersebut.

Bila Tuanku Imam Bonjol cenderung menggambarkan perempuan sebagai korban dalam Perang Padri, Boelhouwer menyajikan informasi tentang keseharian atau juga kepejuangan perempuan Padri. Di samping itu, sebagaimana layaknya suasana perang, Boelhouwer juga menyajikan nasib tragis yang dialami perempuan (Padri). Karya Boelhouwer adalah salah satu sumber informasi, dari mana kita bisa mendapatkan gambaran keseharian, terutama pakaian perempuan Padri.  Boelhouwer menyebut bahwa ‘perempuan Padri memakai kerudung (baju dalam) yang menutup seluruh bagian tubuhnya, hanya matanya saja yang terbuka (ada lobang kecil di bagian mata) tersebut’. Selanjutnya dia mengatakan bahwa perempuan Padri hanya tinggal di rumah. Sangat jarang ditemukan perempuan Padri berada di luar rumah. Pernah satu kali, di daerah Rao, Boelhouwer kebetulan melihat dua orang anak gadis Padri tanpa kerudung (cadar) menjulurkan kepalanya dari jendela. Namun, ketika mereka sadar ada lelaki asing tengah memandangnya, maka dengan segera mereka masuk ke dalam dan menutup daun jendela. Dikesankan, bahwa perempuan Padri sangat ketat menutup aurat mereka.

Lukisan Perempuan Padri dan Non-Padri

(Sumber: Stuers, H.J.J.L., de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849.

Dalam karya Boelhouwer juga ditemukan informasi tentang sikap perempuan Padri yang melindungi suaminya. Pada suatu malam tentara Belanda melakukan penggerebekan terhadap seorang tokoh Padri. Tentara Belanda dan lasykar Melayu mengepung rumah seorang Tuanku di Toboh (Pariaman). Setelah menggeledah seluruh isi rumah, mereka tidak menemukan sosok Tuanku. Diujung pencarian, mereka menemukan seorang perempuan berkelumun tikar pandan yang mengatakan dirinya sakit. Pada mulanya mereka mengabaikan temuan itu, tetapi kemudian mereka jadi curiga, karena kaki perempuan tersebut terlihat terlalu panjang. Maka ketika ‘selimutnya’ dibuka, terlihatnya bahwa sang perempuan yang pura-pura sakit itu sengaja membalut dirinya dengan tikar pandan untuk melindungi suaminya (sang Tuanku). Sang Tuanku ditangkap (setelah melakukan perlawanan terlebih dahulu). Kisah ini menampilkan keberanian perempuan Padri dalam mendukung perjuangan suaminya.

Sama dengan kaum Padri, tentara Ninik Mamak (kelompok Melayu) juga sering melakukan tindakan sadis dan kejam. Ada banyak aksi sadis dan kejam yang mereka lakukan terhadap perempuan Padri. Salah satu di antaranya adalah pembantaian oleh warga XII Koto terhadap istri dan anak-anak Tuanku Nan Cerdik. Tidak hanya itu, kepala istri dan dua anak Tuanku Nan Cerdik dipotong kemudian ditusuk dengan bambu dan diarak serta dipertontonkan kepada klayak di Pariaman. Sekali lagi, perempuan dalam kasus ini tetap menjadi korban dalam Perang Padri.

Gambaran lain mengenai perempuan, khususnya perempuan kelompok Melayu, juga disajikan dalam beberapa sumber Belanda. Boelhouwer misalnya menyebut bahwa kaum perempuan kelompok Melayu beraktivitas seperti biasa pada masa Perang Padri. Di Pakandangan, kaum perempuan dengan jumlah sekitar 100 orang, membawa jamba pada saat diadakan pesta, dan mereka mendendangkan lagu di balik tirai pada saat kaum lelaki makan. Informasi ini mengisahkan bahwa perempuan kelompok Melayu saat itu tampil dalam kegiatan sosial sebagai biasa mereka tampil (seakan-akan tidak terpengaruh oleh adanya perang). Berbeda dengan Boelhouwer, Nahuijs menceritakan bagaimana perempuan kelompok Melayu ikut-serta menonton sejumlah acara, antara lain pacu kerbau dan tarian kuda, yang diadakan di Tanah Datar dan Agam. Nahuijs juga menyebut bahwa di sana perempuan juga pergi ke pasar dan menggalas di pasar.

Para saksi mata kolonialis juga menginformasikan dalam tulisan mereka tentang gaya berpakaian dan aksesoris yang dipakai perempuan kelompok Melayu. Dikatakan bahwa pakaian perempuan kelompok Melayu terdiri dari ‘pakaian biasa’, tidak berlebihan (menutup seluruh tubuh) sebagaimana pakaian perempuan Padri. Dikatakan pula perempuan kelompok Melayu suka memakai perhiasan, gelang, kalung dan juga anting. Tidak hanya itu, Boelhouwer mencatat bahwa di Pariaman ada kebiasaan perempuan untuk melubangi telinga mereka dan memasang tadah (atau gelang) di lubang telinga itu. Karena telah dilubangi sejak kecil dan dipasangi tadah yang makin lama makin besar ukurannya, maka ketika dewasa lubang dan tadah yang dipasang di telinga itu sudah sangat besar.

Catatan lain disajikan dalam literatur kolonial adalah perempuan kelompok Melayu adalah orang-orang yang rajin. Mereka rajin ke sawah, mengolah sawah hingga panen. Mereka tahan bekerja di bawah terik matahari. Dikatakan juga bahwa hampir semua pekerjaan diserahkan  kepada mereka. Sebaliknya, sumber kolonial ini mengatakan bahwa lelaki tak pernah bekerja. Kaum lelaki lebih suka pergi ke pasar untuk menyabung ayam dan pulang dalam keadaan melarat karena kalah bertaruh di medan persabungan. Tidak ada niat mereka untuk berusaha menafkahi anak istri. Banyak pula dari lelaki Minang yang suka mengisap madat dan tidur berlama-lama karena teler.

Perempuan Belanda atau Eropa pada masa Perang Padri umumnya menetap di Padang. Jumlah mereka tidak banyak. Mereka menjadi ibu rumah tangga dan sibuk dengan aktivitas domestik. Saat yang paling membahagiakan bagi mereka adalah saat diadakannya pesta (dansa). Disebutkan, selama Perang Padri berkecamuk diadakan beberapa kali pesta (dansa), terutama sekali pada saat diadakannya acara pisah sambut pejabat atau peringatan hari besar kerajaan di ibu kota keresidenan tersebut.

Di samping itu ada juga perempuan Belanda (Eropa) yang ikut suami mereka bertugas di daerah atau mengikuti suami mereka ke lapangan. Tentu ada banyak pengalaman yang mereka alami, salah satu di antaranya adalah seorang perempuan Belanda yang pingsan ketika tiba-tiba dihadapannya muncul seorang Padri bersenjatakan tombak dan badan yang penuh dililiti ranjau. Dengan kata lain, informasi yang disajikan mengenai perempuan Belanda (Eropa) adalah mereka hanya cocok untuk hidup di kota, hidup enak dan lemah (sangat takut dengan kaum Padri). Gejala yang terakhir, barangkali, disebabkan oleh kisah yang menakutkan dan gambaran yang menyeramkan tentang kaum Padri yang disampaikan oleh lelaki Belanda (Eropa) kepada istri dan anak-anak mereka.

IV

Perempuan sesungguhnya adalah warga daerah yang menjadi bagian dari sejarah daerah pada masa Perang Padri. Ada banyak pengalaman yang mereka alami. Namun yang paling lantang dikemukakan adalah ‘nasib buruk’ yang mereka alami. Mereka menjadi korban kekerasan perang, korban kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berperang.

Sajian mengenai ‘nasib buruk’ perempuan dalam perang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru dan bukanlah sesuatu yang menarik untuk diungkapkan. Pengungkapan ‘nasib buruk’ itu hanyalah model rekonstruksi sejarah ala konvensional. Dengan kata lain, tidak ada aspek novelty dari rekonstruksi bentuk itu.

Makanya perlu penelusuran atau pengungkapan terhadap pengalaman yang lain, di luar ‘nasib buruk’ yang mereka alami. Kisah-kisah hidup dan aktivitas keseharian kaum perempuan, seperti aktivitas domestik mereka, keterlibatan mereka pada sejumlah pesta perkawinan, kegiatan ke pasar dan jual beli yang mereka lakukan di pasar, keikutsertaan mereka dalam sejumlah acara hiburan atau gaya hidup perempuan pada masa Perang Padri kiranya menarik untuk diungkapkan. Pengungkapan aspek-aspek ini dipastikan akan menambah pengetahuan kita tentang dunia perempuan Minangkabau pada masa Perang Padri, suatu era yang menjadi tonggak perubahan penting dalam sejarah Minangkabau.

Pengungkapan aspek-aspek ini sangat mungkin dilakukan. Apalagi dewasa ini semakin banyak alat-alat analisis dan konsep-konsep baru dalam metode penelitian sejarah khususnya, serta ilmu sosial dan humaniora pada umumnya yang diperkenalkan. Di samping itu, akses untuk mendapatkan sumber juga semakin mudah. Mudah-mudahan, selepas ini ada kajian yang lebih serius dan komprehensif mengenai salah satu atau sejumlah pengalaman non-politik perempuan Minangkabau pada era Perang Padri yang dilakukan oleh sejarawan atau peminat sejarah. Semoga.

Sumber;

Boelhouwer, J.C., Herrineringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust gedurende de Jaren 1831-1834. ‘s-Gravenhage: Mouton & Co., 1841.

Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847 London: Curzon Press, 1983).

Kielstra, E.B., “Sumatra’s Westkust van 1833-1835” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  38 tahun 1889, hal. 467-514.

 — , “Sumatra’s Westkust van  1826-1832” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  37, tahun 1888, hal. 216-380.

 — , “Sumatra’s Westkust van 1819-1825” dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, No.  36 tahun 1887, hal. 7-163.

Muhammad Rajab, Perang Paderi di Sumatra Barat (1803-1838). Jakarta: Kementerian PP dan K, 1952.

Nahuijs, Kolonel, Brieven over Bencoolen, Padang, enz.het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang (2de vermeerde Druk). Breda: F.B. Holingerus Pijpers, 1827.

Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Sjafnir Aboe Naim, Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2002.

Stuers, H.J.J.L. de, Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (I). Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849.

Ditulis oleh Gusti Asnan