Yu Dafu adalah sastrawan Tiongkok khususnya dan dunia pada umumnya yang pernah tinggal dan beraktivitas di Sumatera Barat. Tidak hanya tinggal dan beraktivitas, dia meninggal di daerah tersebut.
Tulisan ini akan mendiskusikan keberadaan Yu Dafu di Sumatera Barat, dengan memfokuskan pembahasan proses kedatangannya serta keberadaan orang Tionghoa di Sumatera Barat.
Yu Dafu datang ke Sumatera Barat, tepatnya ke Payakumbuh, tahun 1942. Dia datang dari Singapura dan menetap di Payakumbuh (Afdeeling Limapuluh Kota). Di kota itu dia tinggal dengan identitas baru, yakni nama baru (Choulion) dan pekerjaan baru (pembuat dan penjual arak). Pada awalnya dia tinggal dengan keluarga Tionghoa (orang tua angkatnya) yaitu Che Chua Chen Song dan Upik Bonne. Setelah berkeluarga Yu Dafu pindah rumah. Yu Dafu beristri dengan He Liyou dan memiliki dua anak, yaitu Theha dan Yu Melian.
Tinggal atau menetap dengan keluarga Tionghoa dan beristri dengan wanta Tionghoa serta tinggal di perkampungan orang Tionghoa adalah suatu yang memungkinkan bagi Yu Dafu. Pada saat kedatangannya, ada banyak orang Tionghoa di Payakumbuh. Menurut sensus penduduk tahun 1930 jumlah orang Tionghoa di Payakumbuh adalah sebanyak 1.040 orang, dengan perincian 564 orang laki-laki dan 476 orang perempuan. Dengan jumlah sebanyak ini, Payakumbuh merupakan kota ketiga dalam jumlah orang Tionghoa di Sumatera Barat. Ketiga sesudah Padang dan Fort de Kock (Bukittinggi). Jumlah orang Tionghoa di Sumatera Barat tahun 1930 adalah sebanyak 14.963 orang (8.664 laki-laki dan 6.298 perempuan) (Volkstelling VII: Chinezen en Vreemde Oosterlingen in Nederlandsch Indie 1935). Jumlah ini tida begitu banyak berubah hingga datangnya Bala Tentara Jepang.
Sensus tahun 1930 juga menyebut pekerjaan orang Tionghoa di Hindia Belanda (termasuk Payakumbuh). Dengan memaralelkan data sensus tersebut dengan keadaan Payakumbuh, maka bisa dikatakan bahwa sebagian besar orang Tionghoa di
Payakumbuh bekerja di sektor perdagangan. Mereka terlibat dalam perdagangan lokal dan regional serta antarbangsa (Volkstelling VII… 1935).
Dalam perdagangan tingkat lokal mereka umumnya berdagang di Pasar Payakumbuh dan menjalin hubungan dengan saudagar Tionghoa lainnya yang ada di Afdeeling 50 Kota, seperti di Suliki dan Bangkinang (sampai saat Jepang masuk, Bangkinang menjadi bagian dari Afdeeling Limapuluh Kota). Dalam perdagangan regional mereka menjalin hubungan, terutama, dengan saudagar Tionghoa di Fort de Kock (Bukittinggi) dan Padang. Sedangkan dalam skala antarbangsa mereka menjadi hubungan dagang dengan orang Tionghoa di Tanah Semenanjung (Malaysia dan Singapura) (Oki 1977).
Hubungan antara orang Tionghoa di Payakumbuh dengan orang Tionghoa di Tanah Semenanjung (Malaysia dan Singapura) inilah yang paling menarik dalam proses kedatangan Yu Dayu ke Payakumbuh. Diduga Yu Dafu datang ke Payakumbuh bersama dengan saudagar Tionghoa Payakumbuh yang bolak balik berdagang Tanah Semenanjung (Malaysia dan Singapura).
Kontak dagang antara orang Tionghoa Payakumbuh dengan Tanah Semenanjung (Malaysia dan Singapura) mulai marak sejak tahun 1920-an. Hal ini dilatarbelakangi oleh lima hal: pertama, selesainya pembangunan jalan raya antara Bukittinggi dengan Pakanbaru yang memudahkan mobilitas saudagar Tionghoa dari Payakumbuh ke Pakanbaru; kedua, tersediannya pelayanan kapal secara reguler dan non-reguler dari Pakanbaru ke Tanah Semenanjung (Malaysia dan Singapura) serta juga ke Batavia atau sebaliknya; ketiga, beralihnya orientasi petrdagangan Sumatera Barat ke arah timur, sejak awal 1930-an, sebagian besar komoditas ekspor dan impor Sumatera Barat didatangkan dari atau dibawa ke luar melalui Pakanbaru dan dengan mengiliri Sungai Siak menuju Selat Malaka; keempat, adanya pelayanan perahu dan kapal daeri Bangkinan via ke Palalawan menuju Selat Malaka mlalui Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar; kelima, berkembangnya perdagangan gelap di kawasan timur Sumatera Barat, dan sebagian aktornya adalah saudagar Tionghoa (Oki 1977; Radjab 1947).
Seperti disebut sebelumnya, saudagar Tionghoa adalah salah satu aktor dalam perdagangan antara Sumatera Barat (Payakumbuh) dengan Tanah Semenanjung (Malaysia dan Singapura). Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sekali lagi, penulis ingin mengemukakan interpretasi penulis, bahwa bersama rombongan saudagar Tionghoa yang bolak-balik menempuh rute Singapura – Sumatera Barat (Payakumbuh) via Pakanbaru atau via Palalawan inilah Yu Dafu datang ke Payakumbuh. Rute seperti yang gambar terlampir
Alasan lain Yu Dafu memilih Sumatera Barat (Payakumbuh) adalah dia telah bisa berbahasa Melayu selama di Singapura, sehingga memudahkannya untuk bergaul dengan orang Melayu Minangkabau (Payakumbuh). Besar juga kemungkinannya, Yu Dafu telah berkenalan juga dengan orang Minangkabau di Singapura, karena menurut Tsuyoshi Kato, telah ada cukup banyak orang Minangkabau di Singapura saat itu (Kato 1980).
Yu Dafu atau Choulion bisa bertahan selama masa pendudukan Jepang karena dia telah mengubah identitasnya.
Pengangkatannya menjadi penerjemah oleh tentara Jepang adalah suatu yang wajar, karena dia bisa berbahasa Jepang. Bala Tentara Jepang tidak mencurigainya karena ada banyak orang Tiongha di Indoensia yang bisa berbahasa Jepang. Parada Harahap misalnya menyebut ada cukup banyak orang Tionghoa Indonesia yang bersekolah di Jepang (dan tentu bisa berbahasa Jepang) (Parada Harahap 1934). Kepercayaan Bala Tentara Dai Nippon itu juga dikaitkan dengan hasil sensus 1930 yang mengatakan ada banyak orang Tionghoa Indonesia saat itu yang merupakan imigran dari Tiongkok dan sebagian dari mereka juga pernah tinggal di Jepang (Volkstelling VII, 1935).
Ketika Jepang mengetahui identitasnya, Yu Dafu atau Choulion segera dihabisi (September 1945). Pembunuhan terhadapnya, sangat mungkin, dilatarbelakangi oleh banyaknya rahasia tentara Jepang yang dia ketahuinya selama menjadi penerjemah, termasuk juga rahasi penggalian lobangJepang di Bukittinggi.
Pengalaman Yu Dafu juga dialami oleh sejumlah orang Tionghoa lainnya di Sumatera Barat. Pada hari-hari terakhir kekuasaan Jepang dan pada hari-hari pertama setelah kekalahan Jepang, ada penyerangan dan pengusiran terhadap orang Tionghoa di sejumlah daerah di Sumatera Barat saat itu.
Kisah hidup Yu Dafu dan pengalaman orang Tionghoa pada masa Jepang jelas akan menambah informasi bagi sejarah Sumatera Barat khususnya dan Indonesia umumnya. Di Sumatera Barat pernah hidup dan kemudian berkubur seorang sastrawan besar Tiongkok (dunia) dan di Sumatera Barat orang Tionghoa pernah tampil di panggung sejarah. Sudah saatnya dilakukan pengkajian sejarah tentang keberadaan dan peran sejarah orang dan kelompok masyarakat yang termasuk ‘orang pinggiran’ dalam sejarah Sumatera Barat ini.